PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

17
RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275 259 PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Rifqi Ridlo Phahlevy 1 , Maghfiroh 2 1,2 Prodi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Email : [email protected] ABSTRACT The regulation of narcotics in Indonesia began in the New Order era with the enactment of Law No. 22/1997 concerning Narcotics. However, in the reform era, there were revisions to the narcotics law with the enactment of the new narcotics law, which was Law No. 35/2009 concerning narcotics. This study applies a normative method based on the statutory approach and conceptual approach. This study aims to understand the shift in the concept of narcotics in Indonesia after the enactment of law 35/2009 and the concept of narcotics in Islamic law. After the enactment of law No. 35/2009 concerning narcotics, there was a shift in the concept of narcotics, which are substantial and essential in the form of changes and additions to the law No 35/2009 concerning narcotics. The amendment is related to several definitions that exist in the narcotics law, along with the addition of existing definitions in general provisions such as the definition of narcotics precursors and the definition of narcotics abuse. The concept of narcotics in Indonesia has an essential closeness to the concept of narcotics in Islamic law because narcotics and chemistry have similarities in terms of illat (legal reasons). Keywords: Narcotics, Shariah Perspectives, Shifting concepts. A. Latar Belakang Masalah Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di indonesia sudah sangat memprihatinkan. Penggunaan narkotika yang sejatinya hanya untuk tujuan pengobatan, kemudian bergeser menjadi konsumsi umum. Kejahatan yang terkait dengan penyalahgunaan hingga pengedaran narkotika sudah menjadi musuh bangsa, karena menjadi biang bagi berbagai kejahatan dan permasalahan sosial lainnya. 1 Massivenya peredaran narkotika di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ragam narkotika yang hadir dari luar melalui penyelundupan, maupun dari proses produksi di dalam negeri. 2 Imbas dari itu semua, penyalahgunaan narkotika sendiri saat ini tidak hanya di kalangan remaja, melainkan juga pada kalangan orang tua dan anak-anak. 3 Dengan populasi penduduk yang besar, Indonesia merupakan pasar potensial bagi peredaran narkotika, 1 Rico Januar Sitorus dan Merry Natalia, “Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika,” Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 9, no. 4 (2015): 348–52, https://doi.org/10.21109/kesmas.v9i4.748. 2 Fakta ini diungkap oleh Bagian Humas BNN dalam: Ilham Pratama Putra “ Indonesia Jadi Negara Produsen Narkoba”, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/xkE33YeN-indonesia-jadi-negara-produsen-narkoba, diakses pada tanggal 25 Agustus 2019. 33 Data persebaran korban penyalahgunaan narkotika dapat dibaca pada: Puslidatin, “Penggunaan Narkotika di Kalangan Remaja Meningkat”, https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat/, diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.

Transcript of PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

Page 1: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

259

PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Rifqi Ridlo Phahlevy1, Maghfiroh2 1,2Prodi Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Email : [email protected]

ABSTRACT The regulation of narcotics in Indonesia began in the New Order era with the enactment of Law No. 22/1997 concerning Narcotics. However, in the reform era, there were revisions to the narcotics law with the enactment of the new narcotics law, which was Law No. 35/2009 concerning narcotics. This study applies a normative method based on the statutory approach and conceptual approach. This study aims to understand the shift in the concept of narcotics in Indonesia after the enactment of law 35/2009 and the concept of narcotics in Islamic law. After the enactment of law No. 35/2009 concerning narcotics, there was a shift in the concept of narcotics, which are substantial and essential in the form of changes and additions to the law No 35/2009 concerning narcotics. The amendment is related to several definitions that exist in the narcotics law, along with the addition of existing definitions in general provisions such as the definition of narcotics precursors and the definition of narcotics abuse. The concept of narcotics in Indonesia has an essential closeness to the concept of narcotics in Islamic law because narcotics and chemistry have similarities in terms of illat (legal reasons). Keywords: Narcotics, Shariah Perspectives, Shifting concepts. A. Latar Belakang Masalah

Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di indonesia sudah sangat memprihatinkan.

Penggunaan narkotika yang sejatinya hanya untuk tujuan pengobatan, kemudian bergeser

menjadi konsumsi umum. Kejahatan yang terkait dengan penyalahgunaan hingga pengedaran

narkotika sudah menjadi musuh bangsa, karena menjadi biang bagi berbagai kejahatan dan

permasalahan sosial lainnya.1 Massivenya peredaran narkotika di Indonesia tidak terlepas dari

perkembangan ragam narkotika yang hadir dari luar melalui penyelundupan, maupun dari proses

produksi di dalam negeri.2 Imbas dari itu semua, penyalahgunaan narkotika sendiri saat ini tidak

hanya di kalangan remaja, melainkan juga pada kalangan orang tua dan anak-anak.3 Dengan

populasi penduduk yang besar, Indonesia merupakan pasar potensial bagi peredaran narkotika,

1 Rico Januar Sitorus dan Merry Natalia, “Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika,” Kesmas: Jurnal

Kesehatan Masyarakat Nasional 9, no. 4 (2015): 348–52, https://doi.org/10.21109/kesmas.v9i4.748. 2 Fakta ini diungkap oleh Bagian Humas BNN dalam: Ilham Pratama Putra “Indonesia Jadi Negara Produsen

Narkoba”, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/xkE33YeN-indonesia-jadi-negara-produsen-narkoba, diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.

33 Data persebaran korban penyalahgunaan narkotika dapat dibaca pada: Puslidatin, “Penggunaan Narkotika di Kalangan Remaja Meningkat”, https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat/, diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.

Page 2: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA ISSN : 2621-1602

Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

260

dan seiring berjalannya waktu indonesia mulai bertransformasi menjadi pasar dan lahan

produksi narkotika. .4

Kampanye bahaya narkotika sejatinya telah begitu massif dilakukan, tapi disisi lain korban

dan intensitas peredaran juga tidak pernah berkurang. Perkembangan narkotika terhitung sangat

dinamis, hal ini terlihat dari berbagai jenis dan turunannya yang beredar sesuai dengan

segmentasi pasarnya. Fenomena maraknya penyalahgunaan narkotika hingga perubahan status

Indonesia menjadi pasar dan produsen narkotika tersebut sangat menarik. Hal ini jika dikaitkan

dengan fleksibilitas kebijakan dan produk hukum Indonesia dalam mengikuti dan mengantisipasi

dinamika perkembangan narkotika. Fleksibilitas ini dibutuhkan sebagai kerangka perlindungan

hukum bagi setiap warganegara.

Indonesia sejatinya telah punya instrument hukum untuk mengatur peredaran dan

penggunaan narkotika dalam undang-undang No 22 tahun 1997 tentang narkotik, yang direvisi

melalui undang-undang No 39 tahun 2009 tentang narkotika. Keberadaan kedua undang-undang

tersebut selama ini menjadi payung aturan bagi penataan pemanfaatan narkotika, termasuk pula

di dalamnya sebagai kerangka bagi penegakan hukum atas penyalahgunaan narkotika dan

perlindungan atas dampak yang timbulkan dari potensi penyalahgunaan narkotika. Maraknya

permasalahan narkotika di indonesia selama ini tidak hanya terbatas pada problem di tingkat hilir

berupa penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat, tetapi juga di ruang konseptualnya.

Permasalahan konseptual ini tidak terlepas dari perkembangan wacana internasional

terkait narkotika, yang kemudian mempengarhi ruang lingkup pemahaman dan jenis narkotika itu

sendiri. Contoh sederhana adalah perkembangan pengaturan terkait pembolehan konsumsi

ganja (mariyuana) di beberapa negara semisal australia, dari yang awalnya melarang dengan

alasan melanggar hukum, namun setelah di sah kannya undang-undang yang di sebut dengan

“Acces To Medicinal Cannabis” pada awal tahun 2017, undang-undang ini jelas memberikan

kerangka hukum bagi pembuatan obat serta menciptakan sebuah produk yang berbahan

ganja.5.

Melihat perkembangan konsep dan regulasi narkotika di beberapa negara tersebut,

pengkajian atas konsep narkotika di indonesia perlu untuk dilakukan secara mendalam, karena

4Elrick Sanger, “penegakan hukum terhadap peredaran narkoba di kalangan generasi muda,” Lex Crimen 2, no. 4

(2013): 5–13, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/3083/2627. hlm. 5 5Pascal S Bin Saju, “Australia melegalkan budidaya tanaman ganja”,

https://internasional.kompas.com/read/2016/10/30/19082561/australia.melegalkan.budidaya.tanaman.ganja?page=all, diakses pada tanggal 14 Agustus 2019

Page 3: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

261

hal ini secara sistemis dan sistematis berimplikasi pada banyak aspek, tidak hanya pada aspek

legalitas suatu barang untuk diproduksi dan dikonsumsi, juga berkaitan dengan aspek kehalalan

suatu produk. Bagi bangsa indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Aspek

kehalalan menjadi bagian dari aspek kepercayaan dan ajaran agama yang harus dilindungi, dan

menjadi bagian dari instrumen dalam aspek perlindungan konsumen.6

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan

pendekatan perundang-undangan (statue approache) yang di kasud adalah mengkaji undang-

undang atau aturan hukum yang berlaku berkenaan dengan peraturan mengenai narkotika, serta

Menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach) Pendekatan konseptual digunakan

untuk melacak akar konsepsi yang dibangun dan mendasari lahirnya rumusan norma dalam

undang-undang. Adapun pendekatan perundang-undangan digunakan untuk melihat secara

menyeluruh rumusan dan lingkup konsepsi normatif yang terbentuk dalam perundang-undangan

yang ada

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Istilah narkotika merupakan saduran dari kata narcotics dalam bahasa inggris narcose

atau narcosis yang artinyamenidurkan. Narkotika sendiri berasal dari bahasa yunani yaitu “narke”

atau “narkam” yang mempunyai arti terbius. Dalam KBBI (kamus besar bahasa indonesia),

Narkotika adalah sebuah obat untuk menenagkan saraf, menghilangkan rasa sakit, serta

menimbulkan rasa ngantuk,atau merangsang seperti opium dan ganja. Menurut istilah

kedokteran sendiri yang di sebut narkotika adalah sebuah obat yang dapat menghilangkan rasa

nyeri dan sakit yang asalnya tumbuh dari alat-alat rongga dada beserta perut,

sertadapatmenimbulkanefek kecanduan yang dapat menyebabkan ketergantungan bagi

penggunanya.

Di dalam konteks kajian hukum, pengertian dapat merujuk pada kamus Blacks Law

Dictionary yang disusun oleh Bryan A. Garner, dalam kamus tersebut, narkotika di definisikan

sebagai ”Narcotic Is An Addictive Drug Ep An Piate That dulls The Senses And Induces Sleep.

Drug That Is Controlled Or Prohibited By Law (cases: controlled substance)”. Berdasarkan

6 Muntaha, “Aspek yuridis Narkotika di kalangan remaja,” Mimbar Hukum 23, no. 1 (2011): 210–20,

https://doaj.org/article/49195ac81af34bccb931303390082657. hlm. 211

Page 4: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA ISSN : 2621-1602

Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

262

pengertian tersebut narkotika yang berarti obat adiktif, sebuah candu, yang menumpulkan indra

dan menyebabkan seseorang kehilangan kesadarannya. Narkotika dalam konteks hukum adalah

jenis obat-obatan yang dilarang penggunaannya atau sekurang-kurangnya membutuhkan

pengawasan dan ijin khusus untuk penggunaannya. Sedangkan menurut soedjonodirjosisworo

narkotika adalah sejenis zat yang di gunakan atau dimasukkan kedalam tubuh yang dapat

berpengaruh terhadap tubuh si pengguna, pengaruh tersebut seperti menenangkan, dan dapat

menimbulkan khayalan ataupun halusinasi.

Adapun dalam ajaran Islam, narkotika di samakan dengan khamer, khamer sendiri

mempunyai arti minuman yang memabukkan. Khamer dalam bahasa arab dipahami sebagai

sebuah minuman, jika dimunum dapat membuat para peminum khamer mengalami mabuk serta

gangguan kesadaran. Dalam surat AL-baqarah ayat 219 Allah SWT sudah menegaskan larangan

khamer ini, Pertama di tegaskan bahwa khamer tersebut mengandung dosa besar (itsnun kabir)

padahal sesuatu yang di anggap dosa adalah haram. Namun, sebagian para jumhur ulamak

menyetujui bahwa khamer dinyatakan haram setelah turunnya ayat 90-91 surat Al-Maidah

setelah perang uhud. Dalam kedua ayat tersebut, status keharaman khamer mendapatkan

pengukuhan dari Allah dengan berbagai kondisi berikut: Pertama, “Khamer” itu termasuk najis

yang menandai keberadaannya sebagai keburukan dan kejelekan. Kedua, Allah mensejajarkan

khamer dengan perbuatan syirik dan mengundi nasib, serta mengidentifikasinya sebagai

perbuatan setan. Ketiga, secara tegas Allah memerintahkan untuk menjauhinya, karena akibat

ataupun efek yang di timbulkannya yaitu timbulnya permusuhan, kebencian dan dapat melalaikan

manusia dari semua yang di perintahkan oleh allah. Adapun menurut majelis tarjih muhamadiyah

suatu makanan atau minuman yang jika di makan ataupun di minum dalam jumlah tertentu itu

bisa memabukkan si peminum, seperti khamer, ganja, alkohol, maka hukumnya adalah haram.

Sifat keharaman dari khamer adalah mutlak, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Maidah

ayat 90-91. Dengan adanya perintah allah Melalui ayat-ayatnya maka majelis tarjih pimpinan

pusat muhamadiyah telah berdiskusi kepada para ahli dalam bidangnya masing-masing yang tak

lain para ahli farmasi dan para dokter, dari hasil diskusi tersebut terdapat kesimpulan

bahwasannya suatu makanan ataupun minuman yang kadar alkoholnya mencapai 5% ke atas

maka hukumnya haram untuk di konsumsi. Dalam konteks ini, Majelis Tarjih meletakkan khamer

dalam perspektif kondisi suatu zat, yang karena kandungannya potensial memabukkan dan

berdampak lain sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.

Page 5: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

263

Adapun perkembangan konsep narkotika dalam sistem hukum Indonesia dapat difahami

dalam uraian dibawah ini.

1. Konsep Narkotika Di Indonesia Sebelum Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

Konsep narkotika di bumi Indonesia pertama kali dikenal pada era Hindia-Belanda

melalui Verdoovende Middelen Ordonnate (Staatsblad 1927 No 287 jo.536). Ketentuan

dalam Verdoovende Middelen Ordonnatie tersebut mendefinisikan narkotika sebagai obat

bius dan candu. Dalam Verdoovende Middelen Ordonnatie juga berkaitann dengan

perkembangan lalu lintas dan pengangkutan moderen yang dapat menyebabkan

terlaksananya penyebaran narkotika ke indonesia. Serta terdapat pula penambahan

kemajuan yang dicapai dalam bentuk pembuatan obat-obatan.

Konsep dalam staatsblad tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan

narkotika moderen yang di mulai pada tahun 1805. Ketika itu seorang dokter yang bernama

Fridrech Wilhen telah menemukan sebuah senyawa opium amoniak yang di beri nama

morfin.7 Morfin tersebut diperkenalkan sebagai ganti dari opimium yang di sebut dengan

candu mentah, yang di kenalkan oleh Alexsander pada tahun 330 SM. Pada masa tersebut

candu di gunakan sebagai tambahan bumbu-bumbu pada masakan. Pada tahun 1898

narkotika baru di produksi di jerman dan menjadi obat ternama guna untuk menghilangkan

rasa sakit, dan pada saat itulah narkotika di gunakan dalam dunia medis sebagai obat

penghilang rasa sakit.8

Seiring dengan lahirnya konvensi tentang narkotika pada tahun 1961, pengaturan

narkotika dalam Verdoovende Middelen Ordonnatie dianggap tidak lagi memadahi, sehingga

diperbaharui dengan undang-undang No 9 tahun 1976 tentang narkotika. Hal ini didasarkan

atas kegagalan staatsblad tersebut dalam menghentikan laju peredaran dan

penyalahgunaan narkotika. Pertimbangan lain adalah tidak komprehensifnya staatsblad

tersebut dalam mengatur perihal narkotika, terutama terkait konsepsi narkotika dan skema

penegakan hukumnya yang dianggap tidak lagi memadahi. Dalam staatsblad tersebut belum

7Tri Septio N, “Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di

Indonesia”, https://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-narkoba-dan-pemberantasannya-di-indonesia. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.

8 Supriyadi Widodo Edyyono et al., “memperkuat revisi undang-undang narkotika di indonesia” (Jakarta Selatan, 2017), http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2017/11/Memperkuat-Revisi-UU-Narkotika.pdf. Hlm. 7

Page 6: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA ISSN : 2621-1602

Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

264

terdapat aturan mengenai korban penyalahgunaan narkotika yang membutuhkan terapi,

serta belum adanya peraturan mengenai badan atau lembaga yang diberi kewenangan

dalam menangani penanggulangan narkotika.

Di dalam undang-undang No 9 tahun 1976, konsep narkotika dituangkan dalam

ketentuan Pasal 1 yang menyatakan bahwa narkotika adalah bahan-bahan yang apabila

disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan yang bisa merugikan seperti Morfina,

Kokaina dan bahan-bahan yang di sebutkan di bawah ini :

1. Tanaman papaver yaitu tanaman papaver somniverum L, sudah termasuk biji dan

buah serta jeraminya;

2. Opium mentah adalah getah yang dapat membeku sendiri,di peroleh dari tanaman

buah papaver L yang dapat mengalami pengolahan;

3. Opium Masak adalah:

a. Candu, yaitu hasil dari opium mentah ;

b. Jicing, yaitu sisa-sisa dari candu yang sudah di isap;

c. Jicingko, yaitu hasil dari pengolahan Jicing

4. Opium obat yaitu opium yang masih mentah yang telah di olah sehingga menjadi

obat;

5. Kokaina mentah yaitu hasil yang di peroleh dari daun koka;

6. Tanaman ganja yaitu semua tanaman yang berbentuk Genus Canabis;

7. Damar ganja yaitu tanaman yang di ambil dari tanaman ganja, yang menggunakan

damar sebagai bahan dasarnya.

Beranjank dari definisi Pasal 1 tersebut, konsep narkotika menurut undang-undang No.

9 Tahun 1976 adalah garam-garam atau turunan-turunan dari morfina, kokaina dan bahan

lainnya yang menyebabkan ketergantungan dan berpotensi merugikan. Zat tersebut dapat

bersifat alamiah, sintesis maupun semi sintesis, yang penggunaannya dibatasi hanya untuk

kebutuhan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam undang-undang

Nomor 9 Tahun 1976 ini juga membahas terkait penegakan dan perlindungan hukum

terhadap penyalahgunaan narkotika. Undang-undang ini memposisikan pengguna narkotika

juga sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Terhadap mereka upaya penegakan hukum

beriringan dengan upaya perlindungan hukum. Perlakuan atas mereka dalam bentuk

pengobatan, rehabilitasi korban, serta upaya pencegahannya. Dalam undang-undang ini

juga diatur tentang peraturan tentang pemberian ganjaran (premi) yang bersangkutan

dengan narkotika seperti pananaman, produksi, perdagangan, serta pengangkutan

penggunaan narkotika, serta mengatur mengenai peyidikan dan pengaturan khusus, dan

Page 7: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

265

yang terakhir ketentuan lain yang berhubungan dengan kerjasama internasional dalam

penanggulanga narkotika.Pengaturan narkotika di Indonesia mengalami perubahan pada

tahun 1997, yakni dengan lahirnya undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

narkotika. Undang-undang ini menjadi cikal bakal lahirnya BNN sebagai lembaga negara

yang khusus menangani Narkotika. BNN yang dibentuk melalui Peraturan Keputusan

Presiden Nomor 17 tahun 2002, bertanggungjawab hampir atas keseluruhan aspek

penegakan hukum terhadap perredaran dan penggunaan narkotika. Adapun pergeseran

konsep narkotika dalam UU No. 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam rumusan pasal 1 angka

1, yang menyatakan bahwa “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dapat menimbulkan ketergantungan, yang di bedakan kedalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.”

Dari rumusan tersebut, terjadi perluasan makna narkotika dalam UU No 22 tahun 1997

jika dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya (Lihat Tabel 1). Perluasan itu terlihat

dari fleksibilitas dan keleluasaan melihat asal-muasal narkotika. Bahwa narkotika tidak lagi

terpaku pada zat atau obat yang berasal dari unsur garam-garaman, morfina, dan kokaina.

Hal ini tentunya menyesuaikan dengan perkembangan ragam sumber bahan narkotika yang

pada masa itu ditemukan. Dalam konsep Pasal 1 undang-undang No 22 tahun 1997

tersebut, juga terdapat perluasan makna terkait dengan ruang lingkup penyalahgunaan

narkotika, yakni dengan tidak dibatasinya keberadaan narkotika sebagai zat, bahan atau

obat obatan yang peruntukannya untuk kebutuhan medis dan penelitian ilmiah saja, tapi

juga terhadap beberapa zat yang bisa jadi digunakan untuk peruntukan lainnya. Perluasan

konsep yang lain juga terllihat dari penegasan dan perluasan dampak dari penyalahgunaan

narkotika, yang tidak hanya memenuhi unsur menyebabkan ketergantungan dan berpotensi

merugikan, tetapi juga menyebabkan perubahan kesadaran, hilangnya rasa dan

menghilangkan rasa nyeri.

Page 8: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA ISSN : 2621-1602

Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

266

Tabel 1 Pergeseran konsep terkait definisi Narkotika

UU No 9 tahun 1976 UU No 22 tahun 1997

Narkotika adalah garam-garam ataupun turunan dari sebuah morfina, kokaina serta bahan lainnya yang menyebabkan ketergantungan dan berpotensi merugikan, baik yang bersifat alamiah, sintesis maupun semi sintesis yang penggunaannya dapat di batasi guna untuk kebutuhan pengibatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Narkotika adalah sebuah zat yang berasal dari tanaman atupun bukan tanaman yang dapat menyebabkan penurunan kasadaran, hilangnya rasa, serta mengurangi dan menghilangkan rasa sakit yang dapat menyebabkan ketergantungan, serta di bedakan dalam beberapa golongan.

Perluasan konsep narkotika juga dapat dilihat dari bobot ancaman pidananya yang di

perberat hingga kemungkinan adanya ancaman pidana penjara seumur hidup. Dari sini

dapat lihat bahwa narkotika dalam kedudukannya adalah bahan berbahaya.

Penyalahgunaan atas narkotika dikategorikan sebagai tindak pidana berat (serious crime).

Dari aspek ruang lingkup zatnya, UU No. 22 Tahun 1997 menggolongkan narkotika kedalam

tiga golongan. Penggolongan ini menjadikan kategorisasi narkotika dalam undang-undang

ini lebih jelas dan operasional disbandingkan undang-undang sebelumnya. Dalam UU No 22

Tahun 1997 penggolongan narkotika di bagi menjadi tiga golongan, yang detail ketentuan

mengenai golongan-golongan itu diatur dalam keputusan menteri kesehatan.

Di dalam UU No. 22 tahun 1997, Narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengumbangan ilmu pengetahuan dan tidak di perbolehkan di gunakan untuk

pelayaan kesehatan. Narkotika golongan II hanya berkhasiat untuk pengobatan, hanya

boleh digunakan dalam terapi (pengobatan) dan untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahun. Karena sifatnya, narkotika jenis ini berpotensi mengakibat ketergantungan bagi

penggunanya. 9 Adapun narkotika golongan III mempunyai potensi ringan yang dapat

menyebabkan keturgantungan. Dalam perkembangannya narkotika golongan III banyak di

gunakan dalam terapi dan pengobatan karena memiliki ringan efek yang ditimbulkan. Dari

ketiga jenis tersebut, yang paling banyak dikonsumsi secara salah adalah narkotika

golongan I.

9 Uripah Nurfatimah, Retty Filliani, dan Karsih, “Profil Resiliensi Mantan Pecandu Narkoba (Studi Kasus di Balai

Besar Rehabilitasi Narkoba, BNN, Lido),” Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 4, no. 2 (2016): 110–16, https://doi.org/10.21009/INSIGHT.042.19.

Page 9: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

267

2. Konsep Narkotika Di Indonesia Setelah Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Bergulirnya reformasi 1998 secara fundamental merubah konstruksi hukum dan

ketatangeraan di Indonesia. Disamping perubahan positif berupa demokratisasi sistem

hukum dan pemerintahan, reformasi juga berdampak pada perluasan pasar dan produksi

narkotika di Indonesia.10 Di indonesia, permasalah serius yang dihadirkan dari peredaran

narkotika ada pada ranah kesehatan, khususnya penyebaran HIV/AIDS. 11 Melihat

permasalahan tersebut MPR RI pada tahun 2002 memberi rekomendasi kepada Presiden RI

dan Pimpinan DPR untuk merevisi UU No 22 tahun 1997. MPR menilai bahwa undang-

undang tersebut tidak cukup mampu mengimbangi dinamika peredaran gelap narkotika di

indonesia. Apalagi peredaran narkotika sudah menyasar pada kalangan anak-anak, remaja

dan generasi muda indonesia.12

Kebutuhan perubahan juga didasarkan kebutuhan penguatan bidang kelembagaan

dalam pemberantasan serta peredaran gelap narkotika yang ada di Indonesia. Perubahan

itu tertuang dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dinyatakan sah berlaku

pada tanggal 12 oktober 2009.13 Dalam undang-undang tersebut, definisi narkotika masih

sama dengan undang-undang sebelumnya. Kendati demikian, secara konseptual terjadi

perubahan konstruksi pengaturan dalam UU No 35 tahun 2009. Perubahan tersebut terkait

dengan definisi penyalahgunaan narkotika, ketergantungan narkotika, pemufakatan jahat,

pengadaan narkotika, kewajiban pelaporan, serta mengenai pencegahan dan

pemberantasan narkotika. Perubahan pada beberapa definisi tersebut secara esensial

mempengaruhi ruang lingkup pemahaman tentang narkotika itu sendiri.

Beberapa substansi penting dalam UU No. 35 Tahun 2009 yang tidak ada pada UU No.

22 tahun 1997 secara garis besar dapat dilihat dalam ketentuan umum. Disana terdapat

dicantumkan tentang definisi prekursor narkotika dan korban penyelahgunaan narkotika.

Prekursor narkotika adalah “zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat di gunakan

dalam pembuatan narkotika”. Sedangkan definisi dari korban penyalahgunan narkotika

10 Heyder Affan, “Mengapa 'banjir' narkoba di Indonesia terus meningkat?”,

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43198966, diakses pada 25 Agustus 2019. 11 Rico Januar Sitorus, “Komorbiditas Pecandu Narkotika,” Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8, no. 7

(2014): 301–5, https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v0i0.369. 12 Edyyono et al., “memperkuat revisi undang-undang narkotika di indonesia.” Op.cit. hlm 11-12 13Ibid.

Page 10: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA ISSN : 2621-1602

Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

268

adalah “orang yang tidak sengaja memakai narkotika karna di bujuk, di perdaya, di tipu, di

paksa dan atau untuk di ancam menggunakan narkotika”.14 Selebihnya beberapa perubahan

dan perbandingan substansi diantara kedua undang-undang tersbut dapat dipaparkan

dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2 Pergeseran Konsep Terkait Perubahan Definisi Dalam Undang-Undang Narkotika

Unsur (uu no 22 tahun 1997) Unsur (uu no 35 tahun 2009)

Penyalahguna adalah Setiap orang yang memakai narkotika tanpa se izin dan sepengetahuan dokter

Penyalahguna adalah Orang yang memakainarkotika tanpa hakatau melawan hukum.

Ketergantungan narkotika, Sebuah gejala yang mendapatkan dorongan agar menggunakan narkotika secara terus menerus tanpa toleeransi apabila penggunaannya di hentikan

Ketergantungan narkotika, Suatu keadaan yang di tandai sebuh dorongan untuk mrnggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang sangat tinggi, dan apabila penggunaannya di hentikan maka akan menimbulkan suatu gejala fisik dan psikis yang khas

Pemufakatan jahat adalahPerbuatan yang di lakukan 2 orang atau lebiih yang bersepakat untuk melakukan kejahatan tindak pidana narkotika

Pemufakatan jahat adalahPerbuatan yang di lakukan 2 orang atau lebih yang bersepakat untuk melaksanakan serta membantu dan menfasilitasi kejahatan suatu tindak pidana narkotika.

Pengadaan Narkotika yaitu mentri kesehatanmengupayakantersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau untuk pengembanganilmu pengetahuan

Pengadaan Narkotika yaitu Mentri sudah menjamin adanya kesediaan narkotika guna untuk kepentingan kesehatan atau untuk pengembangan ilmu pengetahunan dan teknologi

Kewajiban pelaporan yaitu bagi para orang tua ataupun wali dari pemakai narkotika yang masih di bawah umur harus melaporkan anaknya kepada pejabat yang sudah di tunjuk oleh pemerintahan agar mendapatkan pengobatan serta perawatan

Kewajiban pelaporan yaitudi wajibkan bagi orang tua maupun wali dari pemakai narkotika untuk melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, seperti rumah sakitb ataupun tempat rehabiliasi sosial yang sudah di tunjuk oleh pemerintah

dalam mencegah dan memberantas tindak pidana narkotika pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada presiden

dalam rangka pencegahan serta pemberantasan penyelahgunaan beserta peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dengan undang-undang No 35 tahun 2009 di bentuk Badan Narkotika Nasional yang di sebut sebagai BNN

UU No 35 tahun 2009 memberi penegasan atas lingkup penyalahgunaan narkotika,

meliputi setiap penggunaan narkotika tanpa hak dan melawan hukum yang dilakukan secara

rutin. Hal ini memperluas pengertian sebelumnya, yang terbatas pada penggunaan tanpa

sepengetahuan dan sepengawasan dokter. Penyalahgunaan juga meliputi penggunaan

obat-obatan yang berakibat pada penyimpangan perilaku dan gangguan fisik di lingkup

14 Rido Triawan et al., “Membongkar Kebijakan Narkotika (Catatan Kritis Terhadap Beberapa Ketentuan Dalam UU

No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Beserta Tinjauan Konstitusionalitasnya)” (Jakarta, 2010), http://rumahcemara.or.id/rumahcemara.or.id/perpustakaan/20. 2010 Membongkar Kebijakan Narkotika.pdf. hlm. 13-14.

Page 11: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

269

sosial. Dengan pengertian baru itu, penyalahgunaan harusnya tidak hanya dilihat dari aspek

metode dan bahannya, melainkan juga pada aspek dampak yang ditimbulkannya. Dari sini,

konsep narkotika bisa diperluas tidak hanya pada zat dan bahan tertentu, tapi setiap zat dan

bahan obat-obatan yang memiliki potensi berdampak sama.

Redaksional permufakatan jahat dalam UU No. 35 Tahun 2009 juga diperluas.

Permufakatan jahat difahami sebagai persekongkolan untuk melaksanakan, melakukan,

menyuruh, membantu, menganjurkan, menfasilitasi, memberi konsultasi, serta banyak lagi

yang di rencanakan oleh anggota kejahatan organisasi narkotika.15 Dalam pengertian ini,

konsep permufakan tidak hanya terkait atas kesepakatan dua orang atau lebih, yang

biasanya dikaitkan dengan praktek jual beli narkotika. Hal ini membuka ruang bagi

perluasan para pihak yang bisa dikenai hukuman oleh undang-undang ini.

Tekait ketentuan pengadaan dan penyaluran zat dan bahan narkotika untuk kesehatan,

UU No. 35 Tahun 2009 juga melakukan pengaturan secara lebih rinci. Pada pengadaan

kebutuhan tahunan, Kementerian kesehatan diminta membuat prosedur audit yang bersifat

konprehensif, guna mencatat dan melaporkan produksi tahunan narkotika. Produksi

narkotika tidak lagi diserahkan pada pabrik-pabrik obat. Produksi secara khusus dilakukan

oleh lembaga farmasi yang mendapat izin dari BPPOM. BPPOM dalam pelaksanaan

tugasnya bekerjasama dengan bea cukai, khususnya dalam mengawasi pelaksanaan ijin

importir. Kerjasama juga dilakukan dalam rangka pendaftaran narkotika yang dimasukkan

dalam produksi obat-obatan.16

Penggunaan narkotika untuk kebutuhan proses rehabilitasi pecandu juga dibatasi. UU

No. 35 Tahun 2009 mensyaratkan adanya ijin dan pengawasan dokter untuk dapat

menyimpan, memiliki, dan membawa narkotika secara terbatas. Skemanya adalah dengan

menjadi pasien dokter terlebih dahulu. Jenis narkotika yang diperbolehkan juga dibatasi

pada narkotika golongan II dan III. Pengguna juga diberi kewajiban pelaporan, yang bisa

diwakilkan oleh orang tua dari pengguna narkotika, baik ke rumah sakit, Puskesmas

ataupun lebaga sosial yang ditunjuk.17

Melalui UU No 35 tahun 2009 membentuk BNN sebagai lembaga negara yang khusus

menangani persoalan narkotika. BNN bertanggung jawab melakukan pencegahan,

15 Edyyono et al., “memperkuat revisi undang-undang narkotika di indonesia.” Op.cit. hlm. 13 16Ibid. 17Ibid. hlm. 14.

Page 12: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA ISSN : 2621-1602

Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

270

penyebaran, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika. BNN juga bertanggung jawab

dalam penegakan hukum terhadap penyalahguna narkotika beserta prekursor narkotika.

BNN diberi kewenangan dalam proses penyelidikan dan penyidikan, yang di lakukan oleh

anggota penyidik BNN. Undang-undang narkotika ini juga memberi kewenangan pada

penyidik pegawai negri sipil untuk malaksanakan penyidikan perkara narkotika. Dalam

melakukan penyidikannya, BNN berwenang melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap

narkotika serta prekursor narkotika di seluruh wilayah negara. Interdiksi sendiri adalah

mengejar atau menghentikan seseorang atau kelompok yang berada dalam pesawat

terbang, kapal, serta kendaran yang diduga membawa narkotika beserta prekursor

narkotika.

Perkembangan konseptual narkotika juga dapat dilihat dari kedudukan tindakan

penyalahgunaan narkotika sebagai kejahatan luar biasa. Hal ini dapat ditelusuri dari berat

sanksi yang dikenakan pada pihak yang memproduksi, mengedarkan, dan

menyalahgunakan serta precursor naskotika. UU No 35 tahun 2009 untuk beberapa kategori

kejahatan mengenakan hukuman maksimal berupa penjara seumur hidup dan hukuman

mati.18 Hal ini terutama terkait produksi, peredaran dan penyalahgunaan narkotika golongan

1. Kategorisasi tindakan yang masuk lingkup pengenaan hukuman juga ditetapkan secara

rinci. Dalam konteks penormaan, hal ini tentunya lebih bisa menjamin adanya kepastian

hukum dan kemudahan dalam penegakan hukum.

Terlepas dari kemajuan pengaturan narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009. Pembuat

undang-undang lupa memasukkan beberapa substansi yang sejatinya telah menjadi issue

internasional, yakni perihal doping. Padahal narkotika merupakan salah satu bahan utama

dalam pengembangan obat-obatan doping. Berdasarkan riset yang ada, beberapa obat

doping yang menggunakan narkotika sebagai bahan bakunya adalah buprenorfin,

dextromoramide, heroin, dan petedin analgesik.19

Tidak diaturnya Doping dalam UU No. 35 Tahun 2009 cukup disayangkan, mengingat

dampak luas dari obat-obatan doping dalam dunia olah raga yang begitu menghawatirkan.

Secara medis, obat-obatan doping bisa membahayakan keselamatan layaknya narkotika.

18 Darda Syahrizal, Undang-undang narkotika dan aplikasinya, ed. oleh Abdul Latif, 1 ed. (Jakarta: Laskar Aksara,

2013). Hlm. 114-115. 19 Ida Ayu Kade Arisanthi Dewi, “penyalahgunaan zat terlarang (doping dan napza) sebagai upaya peningkatan

stamina dalam olahraga,” JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN REKREASI 1, no. 1 (2015): 15–19, https://ojs.ikippgribali.ac.id/index.php/jpkr/article/view/3/2. Hlm. 16-17

Page 13: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

271

Bagi para atlet pengguna doping, dia akan mengalami habitutiation atau kebiasaan serta

Addiction atau ketagihan dan Drugs abuse atau ketergantungan obat yang membahayakan

jiwa.20 Di Indonesia sendiri, regulasi, struktur dan prosedur penegakan hukum untuk doping

ini masih belum jelas.

3. Konsep Narkotika dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Perspektif Hukum Islam.

Islam memandang narkotika serta obat-obatan terlarang lainya sebagai mukhaddirat

yang berarti (mematikan rasa), dan Mufattirot (membuat lemah). Hukum dari mengkonsumsi

benda-benda tersebut dalam bentuk apapun telah di sepakati keharamannya. Para ulama

mengharamkan narkotika karena telah di qiyaskan dengan haramnya khamer, karena

khamer dan narkotika mempunyai kesamaan illat (alasan hukum), yaitu sama-sama

memabukkan dan dapat menghilangkan akal pikiran.21 Haramnya narkotika juga dapat di

dasarkan pada kaidah fiqih tentang bahaya (dharar), bahwa hukum asal dari benda yang

berbahaya adalah haram. Menggunakan kaidah tersebut, keberadaan narkotika sebagai

benda yang berbahaya, hukum asal penggunannya adalah haram.22 Menurut majelis tarjih

muhamadiyah, sifat keharaman khamar adalah mutlak (li dzati), sehingga konsumsi khamar

sedikit ataupun banyak adalah haram.23 Padangan ini didasarkan atas sabda Rasulullah

yang berarti“ setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap khamer adalah haram”

(HR Muslim).

Terkait dengan narkotika sebagai sebuah benda, maka konstruksi hukumnya lebih

tepat digali dari sabda Rasulullah yang diriwayatkan A’isyah r.a. yang artinya: “setiap yang

memabukkan haram dan apa yang haram jika banyak maka setelapak tangan pun ia

haram”. Dari hadis yang di kemukakan tersebut dapat di lihat bahwa sesuatu yang

berkenaan dengan benda-benda yang dapat merusak akal dan memabukkan tanpa

membedakan jenisnya maka hukumnya haram untuk di konsumsi. 24 Istilah narkotika di

20 Ibid. 21 Lateefah Kasamasu et al., “Analisis Dalil Pengharaman Narkoba Dalam Karya-karya Kajian Islam Kontemporer,”

Wardah 8, no. 1 (2017): 42–55, https://doi.org/https://doi.org/10.19109/wardah.v18i1.1431. hlm 46-47. 22 Hasan Hamzah, “Ancaman pidana islam terhadap penyalahgunaan narkoba,” Al-Daulah 1, no. 1 (2012): 149–55,

http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/1467/1415. Hlm. 150. 23 Majelis Tarjih Muhammadiyah, “Khamr dan Alkohol”,

http;///directory.umm.ac.id/suara_muhamadiyah/SM_14_04/252025_khamr2520-dan2520alkohoh diakses pada tanggal 25 Agustus 2019

24 Kasamasu et al., “Analisis Dalil Pengharaman Narkoba Dalam Karya-karya Kajian Islam Kontemporer.” Op.cit. hlm. 49

Page 14: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA ISSN : 2621-1602

Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

272

zaman rasulullah mungkin tidak ditemui karena muncul belakangan, tetapi Rasulullah telah

menetapkan satu landasan yang secara jelas dan tegas dapat digunakan untuk menentukan

hukum dari narkotika dan zat-zat turunan lainnya. Disinilah letak kemutakhiran hukum Islam,

yang dapat diterapkan untuk semua zaman.

Beranjak dari perspektif islam tersebut, maka konsep yang dikembangkan di Indonesia

tidak sepenuhnya sama. Jika merujuk pada definisi narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009,

kesamaan konseptual yang telihat ada pada penetapan sifat dan dampak yang melekat

pada zat dan penggunaannya. Keduanya sama-sama mempunyai sifat memabukkan dan

dapat menghilangkan akal fikiran. Selain dari segi sifatnya yang mempunyai persamaan

terdapat pula persamaan akibat yang di timbulkan oleh pengguna narkotika maupun

pengguna khamer. Perbedaan sudut pandang muncul dari kedua konstruksi hukum

tersebut. UU Narkotika dalam konstruksi hukum positif yang bersifat dikotomis, kurang

memiliki fleksibilitas dalam berhukum dibanding hukum Islam. Hukum Islam dengan konsep

khamar, memberi landasan berhukum terhadap berbagai benda atau bahan konsumtif atau

non konsumtif. Dalam Islam, keharaman atas suatu benda atau bahan didasarkan atas sifat

dan dampaknya. Apapun jenis, bentuk, zat dan nama benda atau bahan selama memenuhi

kualifikasi sifat dan dampak dari khamar, hukumnya adalah haram. Adapun dalam hukum

positif, kriteria yang dibuat tidak hanya didasarkan pada sifat dan dampak yang potensial

dihasilkan. Ada identifikasi jenis dan bahan yang dituangkan dalam bentuk penggolongan

narkotika. Permasalahan yang muncul ada pada rendahnya fleksibilitas keberlakuan UU No.

35 tahun 2009, ketika dihadapkan pada potensi bahan dan zat baru.

Perbedaan juga dapat ditemukan pada perlakuan terhadap penyalahguna narkotika.

Didalam Islam, konteks keharaman Khamar sejak munculnya larangan, ada pada dimensi

pidana. Secara tegas hukuman asalnya adalah berupa cambukan dan tidak teranggapnya

amal ubudiah selama 100 hari. Namun jika dianalisa berdasarkan maqoshid al-syari’ah,

menghukumi narkotika pada sebatas akibat memabukkan dan hilangnya akal dianggap tidak

tepat.25 Hal ini didasarkan atas realitas bahwa penyalahgunaan narkotika telah menyalahi

lima tujuan syari’ah.26 Berdasarkan maqoshid itulah, disusun berat timbangan hukuman bagi

penyalah guna narkotika. Dalam konteks ini, maka berat hukuman tidak dibuat secara tegas,

25 Muhammad al-Tahir Ibn-Ashur, Ibnu Ashur Treatise on Maqasid al-Shariah, ed. oleh Mohamed El-Tahir El-

Mesawi, 1 ed. (London: The International Institute Of Islamic Thought, 2006). hlm. 7-12. 26 Ibid, hlm. 52-53.

Page 15: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

273

melainkan dibuat landasan prinsipilnya, dimana keputusan final ada pada pengadilan. 27

Adapun dalam konteks UU No. 35 Tahun 2009, penetapan hukuman dibuat secara

definitive, dengan membuka kemungkinan pada ragam tindakan. Masalahnya, tidak semua

klasifikasi perbuatan itu dipertautkan dengan akibat perbuatan, contohnya dalam klausul

Pasal 120. Seseorang tukang ojek online yang diminta mengantar paket narkotika, bisa

dijerat dengan hukuman kurungan dan denda. Padahal perbuatan mengantar paket itu tidak

dimaksudkan untuk melakukan transaksi narkotika.

Merujuk pada analisis tersebut, seudah semestinya beberapa substansi dalam UU No.

35 Tahun 2009 itu diperbaiki. Terlebih yang berkaitan dengan konsepsi dan konstruksi

penegakan hukumnya. Secara eksplisit hukuman mati untuk penyalahguna narkotika juga

tidak diatur oleh Islam, namun bukan berarti tidak dapat dihukumi demikian. Perlu ada

pengkajian mendalam terkait pengenaan hukuman yang berujung pada penghilangan

nyawa. Perlu ada illat yang jelas dan rigid untuk hukuman semacam itu.

D. Kesimpulan

Berlakunya undang-undang No 35 tahun 2009 tentang narkotika menimbulkan pergeseran

konsep narkotika. Pergeseran itu secara substansial memang tidak pada rumusan narkotika,

namun secara esensial merubah ruang lingkup makna dari narkotika dan penyalahgunaan

narkotika. Dalam konteks pemidanaan, UU No. 35 Tahun 2009 telah meletakkan

penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu kejahatan luar biasa di Indonesia. Hal ini dapat

dilihat dari berat sanksi yang dapat mengarah pada hukuman mati.

Bahwa konsep narkotika di Indonesia memiliki beberapa poin kesamaan dan keselarasan

dengan konsepsi narkotika dalam hukum islam. Di lihat dari definisi serta dampak ataupun akibat

yang di timbulkan oleh pengguna narkotika maupun pengguna khamer. Selain dari segi dampak

ataupun akibat yang di timbulkan narkotika memiliki kedekatan esensial dengan konsep khamer

dari segi illatnya (alasan hukumnya). Namun melihat dampak luas dari penyalahgunaan

narkotika, menghukumi narkotika dengan hanya berdasar pada konteks dampak

memabukkannya, adalah satu yang tidak tepat.

27 Ibid.

Page 16: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA ISSN : 2621-1602

Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/RJ/index

274

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal.

Dewi, Ida Ayu Kade Arisanthi. “penyalahgunaan zat terlarang (doping dan napza) sebagai upaya peningkatan stamina dalam olahraga.” JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN REKREASI 1, no. 1 (2015): 15–19. https://ojs.ikippgribali.ac.id/index.php/jpkr/article/view/3/2.

Edyyono, Supriyadi Widodo, Erasmus Napitupulu, Subhan Panjaitan, Anggara, Ardhany Suryadarma, dan Totok Yulianto. “memperkuat revisi undang-undang narkotika di indonesia.” Jakarta Selatan, 2017. http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2017/11/Memperkuat-Revisi-UU-Narkotika.pdf.

Hamzah, Hasan. “Ancaman pidana islam terhadap penyalahgunaan narkoba.” Al-Daulah 1, no. 1 (2012): 149–55. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/1467/1415.

Ibn-Ashur, Muhammad al-Tahir. Ibnu Ashur Treatise on Maqasid al-Shariah. Diedit oleh Mohamed El-Tahir El-Mesawi. 1 ed. London: The International Institute Of Islamic Thought, 2006.

Kasamasu, Lateefah, Ahmadzakee Mahama, Wan Mohd Yusof Bin Wan Chik, Syed Mohd Azmi bin Syed Ab Rahman, Abdul Wahab Md. Ali, dan Norizan Abd Ghani. “Analisis Dalil Pengharaman Narkoba Dalam Karya-karya Kajian Islam Kontemporer.” Wardah 8, no. 1 (2017): 42–55. https://doi.org/https://doi.org/10.19109/wardah.v18i1.1431.

Muntaha. “Aspek yuridis Narkotika di kalangan remaja.” Mimbar Hukum 23, no. 1 (2011): 210–20. https://doaj.org/article/49195ac81af34bccb931303390082657.

Nurfatimah, Uripah, Retty Filliani, dan Karsih. “Profil Resiliensi Mantan Pecandu Narkoba (Studi Kasus di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba, BNN, Lido).” Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 4, no. 2 (2016): 110–16. https://doi.org/10.21009/INSIGHT.042.19.

Sanger, Elrick. “penegakan hukum terhadap peredaran narkoba di kalangan generasi muda.” Lex Crimen 2, no. 4 (2013): 5–13. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/3083/2627.

Sitorus, Rico Januar. “Komorbiditas Pecandu Narkotika.” Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8, no. 7 (2014): 301–5. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21109/kesmas.v0i0.369.

Sitorus, Rico Januar, dan Merry Natalia. “Perilaku Seksual Berisiko Pengguna Narkotika.” Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 9, no. 4 (2015): 348–52. https://doi.org/10.21109/kesmas.v9i4.748.

Syahrizal, Darda. Undang-undang narkotika dan aplikasinya. Diedit oleh Abdul Latif. 1 ed. Jakarta: Laskar Aksara, 2013.

Triawan, Rido, Supriyadi Widodo Eddyono, Virza Roy Hizzal, Totok Yuliyanto, Patri Handoyo, dan Simplexius Asa. “Membongkar Kebijakan Narkotika (Catatan Kritis Terhadap Beberapa Ketentuan Dalam UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Beserta Tinjauan Konstitusionalitasnya).” Jakarta, 2010. http://rumahcemara.or.id/rumahcemara.or.id/perpustakaan/20. 2010 Membongkar Kebijakan Narkotika.pdf.

Page 17: PERGESERAN KONSEP NARKOTIKA DALAM SISTEM HUKUM …

RES JUDICATA Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019, Halaman 259-275

275

Internet

http;///directory.umm.ac.id/suara_muhamadiyah/SM_14_04/252025_khamr2520-dan2520alkohoh. Diakses pada tanggal 3 desember 2015

Heyder Affan, “Mengapa 'banjir' narkoba di Indonesia terus meningkat?”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43198966, diakses pada 25 Agustus 2019.

Ilham Pratama Putra “Indonesia Jadi Negara Produsen Narkoba”, https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/xkE33YeN-indonesia-jadi-negara-produsen-narkoba. diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.

Puslidatin, “Penggunaan Narkotika di Kalangan Remaja Meningkat”, https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat/ diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.

Pascal S Bin Saju, “Australia melegalkan budidaya tanaman ganja”, https://internasional.kompas.com/read/2016/10/30/19082561/australia.melegalkan.budidaya.tanaman.ganja?page=all, diakses pada tanggal 14 Agustus 2019

Tri Septio N, “Sejarah Narkoba dan Pemberantasannya di Indonesia”, https://www.tribunnews.com/tribunners/2012/05/12/sejarah-narkoba-dan-pemberantasannya-di-indonesia. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2019.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika