STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

13
25 STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT INFORMASI MANGROVE (PIM) BERAU, KALIMANTAN TIMUR (Vegetation Structure and Species Composition of Mangrove Forest in Mangrove Information Centre of Berau, East Kalimantan)* Mukhlisi dan/and Kade Sidiyasa Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. Soekarno-Hatta, km. 38 Samboja, Telp. 0542-7217663, Fax. 0542-7217665 e-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected] Diterima : 20 April 2011; Disetujui : 3 Maret 2014 ABSTRACT The research on vegetation structure and species composition of mangrove forest in Mangrove Information Center (MIC) of Berau, East Kalimantan was conducted by establishing systematic plot sampling. The transects were laid on upright position to the coastal line. The total length of the transect was 1,000 m and devided into 120 plots of 10 m x 10 m, and therefore the total area was 1.2 ha. The result showed that in the MIC region 21 species of mangrove were identified, which belong to 20 genera and 15 families. Some areas of mangrove forest in the research site have been disturbed by human activities, which was characterized by low density of trees stage (810.35 trees/ha). Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. was the only mangrove species that dominant at all level of growth stages. Based on the important value index (IVI), the species has the IVI of 48.48% at seedling stage, 92.68% at sapling, and 102.56% at tree stage. Keywords: Species composition, stand structure, Camptostemon philippinense ABSTRAK Penelitian tentang struktur vegetasi dan komposisi jenis pada hutan mangrove di kawasan Pusat Informasi Mangrove (PIM) Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dilakukan dengan metode jalur berpetak. Penempatan jalur pengamatan dilakukan secara tegak lurus dengan pantai dan dimulai dari dekat pantai ke daratan. Panjang total jalur adalah 1.000 m dengan jumlah petak 120 buah, di mana setiap petak pengamatan berukuran 10 m x 10 m, sehingga luas total areal pengamatan adalah 1,2 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kawasan PIM teridentifikasi sebanyak 21 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 20 marga dan 19 suku. Sebagian kawasan hutan mangrove di lokasi penelitian telah mengalami kerusakan yang ditandai dengan rendahnya kerapatan pada tingkat pohon yakni 810,35 pohon/ha. Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. merupakan satu-satunya jenis mangrove yang mendominasi pada semua tingkat pertumbuhan dengan INP semai 48,48%, pancang 92,68%, dan pohon 102,56%. Kata kunci: Komposisi jenis, struktur tegakan, Camptostemon philippinense I. PENDAHULUAN Mangrove merupakan satu vegetasi yang hidup di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan toleran terhadap kondisi tanah yang bersalinitas tinggi dengan reaksi anaerob (Snedaker, 1978; Tomlison, 1986; Aksornkoae, 1993; Nontji, 2002). Secara biologis, hutan mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembangbiak (nursery ground) bagi berbagai jenis organisme laut (Bengen, 2001; Kusmana et al., 2003). Hutan mangrove juga menjadi sumber plasma nutfah serta habitat berbagai jenis satwa liar seperti burung, primata, dan reptilia (Noor et al., 1999; Kusmana, et al., 2003). Kabupaten Berau memiliki hutan mangrove cukup luas yakni mencapai 80.277 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Berau, 2009). Akhir-akhir ini kawasan tersebut mengalami banyak tekanan akibat adanya kegiatan pertambakan, pemukiman, serta penebangan liar. Akibatnya adalah rusaknya hutan mangrove, khususnya di delta Berau hingga mencapai 4.000 ha (EU-FLEGHT, 2003). Meskipun ekosistem mangrove terkenal produktif dan penuh sumberdaya namun sangat rapuh (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Gangguan terhadap ekosistem mangrove

Transcript of STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Page 1: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

25

STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT INFORMASI MANGROVE (PIM) BERAU, KALIMANTAN TIMUR

(Vegetation Structure and Species Composition of Mangrove Forest in Mangrove Information Centre of Berau, East Kalimantan)*

Mukhlisi dan/and Kade Sidiyasa Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam

Jl. Soekarno-Hatta, km. 38 Samboja, Telp. 0542-7217663, Fax. 0542-7217665 e-mail: [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected]

Diterima : 20 April 2011; Disetujui : 3 Maret 2014

ABSTRACT The research on vegetation structure and species composition of mangrove forest in Mangrove Information Center (MIC) of Berau, East Kalimantan was conducted by establishing systematic plot sampling. The transects were laid on upright position to the coastal line. The total length of the transect was 1,000 m and devided into 120 plots of 10 m x 10 m, and therefore the total area was 1.2 ha. The result showed that in the MIC region 21 species of mangrove were identified, which belong to 20 genera and 15 families. Some areas of mangrove forest in the research site have been disturbed by human activities, which was characterized by low density of trees stage (810.35 trees/ha). Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. was the only mangrove species that dominant at all level of growth stages. Based on the important value index (IVI), the species has the IVI of 48.48% at seedling stage, 92.68% at sapling, and 102.56% at tree stage. Keywords: Species composition, stand structure, Camptostemon philippinense

ABSTRAK Penelitian tentang struktur vegetasi dan komposisi jenis pada hutan mangrove di kawasan Pusat Informasi Mangrove (PIM) Kabupaten Berau, Kalimantan Timur dilakukan dengan metode jalur berpetak. Penempatan jalur pengamatan dilakukan secara tegak lurus dengan pantai dan dimulai dari dekat pantai ke daratan. Panjang total jalur adalah 1.000 m dengan jumlah petak 120 buah, di mana setiap petak pengamatan berukuran 10 m x 10 m, sehingga luas total areal pengamatan adalah 1,2 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kawasan PIM teridentifikasi sebanyak 21 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 20 marga dan 19 suku. Sebagian kawasan hutan mangrove di lokasi penelitian telah mengalami kerusakan yang ditandai dengan rendahnya kerapatan pada tingkat pohon yakni 810,35 pohon/ha. Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. merupakan satu-satunya jenis mangrove yang mendominasi pada semua tingkat pertumbuhan dengan INP semai 48,48%, pancang 92,68%, dan pohon 102,56%. Kata kunci: Komposisi jenis, struktur tegakan, Camptostemon philippinense I. PENDAHULUAN

Mangrove merupakan satu vegetasi yang hidup di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan toleran terhadap kondisi tanah yang bersalinitas tinggi dengan reaksi anaerob (Snedaker, 1978; Tomlison, 1986; Aksornkoae, 1993; Nontji, 2002). Secara biologis, hutan mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembangbiak (nursery ground) bagi berbagai jenis organisme laut (Bengen, 2001; Kusmana et al., 2003). Hutan mangrove juga menjadi sumber plasma nutfah serta habitat berbagai jenis satwa liar seperti burung, primata, dan reptilia (Noor et al., 1999; Kusmana, et al., 2003).

Kabupaten Berau memiliki hutan mangrove cukup luas yakni mencapai 80.277 ha (Dinas Kelautan dan Perikanan Berau, 2009). Akhir-akhir ini kawasan tersebut mengalami banyak tekanan akibat adanya kegiatan pertambakan, pemukiman, serta penebangan liar. Akibatnya adalah rusaknya hutan mangrove, khususnya di delta Berau hingga mencapai 4.000 ha (EU-FLEGHT, 2003).

Meskipun ekosistem mangrove terkenal produktif dan penuh sumberdaya namun sangat rapuh (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Gangguan terhadap ekosistem mangrove

Page 2: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Indonesian Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 25-37

26

merupakan faktor yang mampu menyebabkan perubahan struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh di dalamnya.

Untuk mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove Berau, pada tahun 2008 pemerintah daerah setempat bekerjasama dengan Direktorat Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan hutan mangrove di Kampung Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan sebagai kawasan Pusat Informasi Mangrove (PIM), dengan luas 115 ha (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008). Untuk waktu mendatang kawasan PIM Berau akan diproyeksikan sebagai sarana lokasi penelitian, pendidikan lingkungan, ekowisata, serta sebagai kawasan konservasi ekosistem mangrove.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon melaporkan bahwa keanekaragaman jenis mangrove di pulau-pulau dan pesisir sekitar Berau mencapai 26 jenis (Ismuranty, 2001; Dinas Kelautan dan Perikanan Berau, 2009). Namun demikian, untuk mendukung upaya pembentukan PIM diperlukan informasi ilmiah terkini tentang vegetasi mangrovenya, baik dalam aspek keanekaragaman jenis maupun struktur tegakan dan komposisi vegetasi yang ada di dalamnya termasuk zonasi jenis-jenis dominan. Berkaitan dengan upaya pengelolaannya, pengetahuan menyangkut struktur dan komposisi jenis vegetasi tersebut dianggap penting sebagai pengetahuan dasar dalam mempelajari dinamika perubahan ekosistem pada suatu kawasan (Giriraj et al., 2008). Kondisi struktur vegetasi mangrove saat ini dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh perubahan ekosistem yang terjadi sebagai akibat dari tindakan pengelolaan yang dilakukan (Kon et al., 2009; Lapaix and Freedman, 2010), serta acuan dalam perencanaan strategi pengelolaan yang tepat.

Penelitian ini secara spesifik mengkaji tentang struktur dan komposisi jenis vegetasi mangrove di kawasan pengembangan PIM Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah yang berharga untuk mendukung keberhasilan perencanaan dan pengelolaan kawasan PIM Berau secara lestari dan berkesinambungan.

II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2010 di kawasan pengembangan PIM Berau tahap pertama. Secara administratif kawasan ini berada dalam wilayah Kampung Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Gambar (Figure) 1. Peta lokasi penelitian dan garis transek (Map of research site and line transect) Sumber (source): Google Earth, 2011

Page 3: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi …(Mukhlisi; K. Sidiyasa)

27

B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%, spirtus, kertas lakmus,

kertas label, kertas koran, plastik herbarium, dan tali raffia. Alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System), kamera, parang, gunting stek, flagging tape, pita ukur, meteran 50 m, kompas, buku catatan, dan pensil.

C. Metode Penelitian 1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak, yaitu kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak (Kusmana, 1997). Dalam metode ini, tingkat pohon diinventarisasi dalam jalur yang telah dibagi-bagi ke dalam petak-petak berukuran 10 m x 10 m, sedangkan untuk tingkat semai dan pancang dilakukan pada sub-petak yang lebih kecil (Gambar 1). Jumlah jalur pengamatan yang dibuat adalah 12 jalur dengan panjang masing-masing 1.000 m. Dengan demikian maka luas keseluruhan jalur atau petak pengamatan adalah 1,2 ha. Arah jalur dibuat tegak lurus dengan arah pantai.

Gambar (Figure) 2. Desain jalur pengamatan (Observation plots and transect design) Keterangan (Remarks): a = Petak 2 m x 2 m untuk pengamatan semai, yaitu tumbuhan yang mempunyai keliling batang kurang

dari 6,3 cm atau diameter kurang dari 2 cm dan termasuk tumbuhan tidak berkayu. b = Petak 5 m x 5 m untuk pengamatan pancang, yaitu tumbuhan yang mempunyai keliling antara 6,3-

31,4 cm atau diameter antara 2-10 cm. c = Petak 10 m x 10 m untuk pengamatan pohon, yaitu tumbuhan yang mempunyai keliling batang lebih

besar dari 31,4 cm atau diameter lebih besar dari 10 cm (Kartawinata et al., 1976). = Tepi pantai = Arah jalur dan garis tengah petak

2. Pengolahan dan Analisis Data

Untuk mengetahui struktur tegakan dan komposisi jenis mangrove maka pada masing-masing petak dilakukan analisis kerapatan, frekuensi, dan dominasi untuk setiap jenis menurut Soerianegara dan Indrawan (1982).

dibuatyangpetakluasTotal

ijenisindividu Jumlah(Ki)Kerapatan

%100jenisseluruhKiJumlah

Ki(Ki)relatifKerapatan x

dibuatyangpetakJumlahijenisditemukanpetakJumlah

(Fi)Frekuensi

%100jenisseluruhFiJumlah

Fi(FRi)relatifFrekuensi x

Daratan (Land)

a b

c a

b

c

Page 4: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Indonesian Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 25-37

28

dibuatyangpetakluasTotalijenisLBDSJumlah

(Di)Dominansi

%100jenisseluruhDiJumlah

Di(DRi)relatifDominansi x

2..4/1(LBDS)dasar bidangLuas d

Seluruh data yang diperoleh ditabulasikan dan selanjutnya diolah untuk mendapatkan indeks nilai penting (INP). Adapun perhitungan INP untuk masing-masing jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan mangrove yakni sebagai berikut: INP semai = KRi + FRi INP pancang dan pohon = KRi + FRi + DRi

Identifikasi jenis dilakukan di Herbarium Wanariset Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BPTKSDA) Samboja, yakni bagi jenis-jenis pohon yang tidak teridentifikasi di lapangan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi Jenis

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa komposisi vegetasi pada kawasan PIM tersusun atas 21 jenis yang termasuk ke dalam 20 marga dan 15 suku. Pada tingkat semai ditemukan sebanyak 17 jenis, pancang 20 jenis, dan pohon 15 jenis. Beberapa jenis mangrove di kawasan PIM dapat dijumpai pada semua tingkat pertumbuhan, seperti Camptostemon philippinense, Podocarpus sp., Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Nypa fruticans, Sonneratia alba, Scyphiphora hydrophyllaceae, Lumnitzera littorea, Xylocarpus granatum, dan Ceriops tagal. Jenis-jenis lain yakni Pandanus tectorius, Intsia bijuga, dan Heritiera littoralis ditemui pada tingkat semai dan pancang saja. Pouteria obovata hanya ditemui pada tingkat semai dan pohon, Ficus sp. hanya dijumpai pada tingkat pancang dan pohon, sedangkan Acrostichum aureum (jenis paku-pakuan) hanya dijumpai pada tingkat semai saja. Menurut Tomlinson (1986) dari 21 jenis mangrove tersebut, 7 jenis dikelompokkan ke dalam mangrove mayor, 5 jenis mangrove minor, dan 9 jenis merupakan asosiasi mangrove.

Jumlah jenis mangrove yang dijumpai pada lokasi PIM sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 1995 seperti yang dilaporkan oleh Ismuranthy (2001) yang menemukan 26 jenis mangrove pada pulau-pulau serta sekitar pesisir Berau. Perbedaan tersebut terletak pada komposisi jenis mangrove mayor, mangrove minor serta asosiasi mangrove. Beberapa jenis mangrove yang dijumpai pada penelitian sebelumnya namun tidak dijumpai pada penelitian ini adalah Rhizophora stylosa, Lumnitzera racemosa, Avicennia marina, A. alba, Sonneratia caseolaris, Acanthus ilicifolius, Derris trifoliata, Kandelia candel, Calophyllum inophyllum, Terminalia catappa, Scaeviola taccada, Excoecaria agallocha, dan Clerodendrum inerme. Namun demikian, beberapa jenis mangrove, khususnya kelompok mangrove minor dan asosiasi mangrove yang belum tercatat pada penelitian sebelumnya dijumpai di kawasan PIM, seperti C. philippinense, Pongamia pinnata, Oncosperma horridum, Podocarpus sp., P. obovata, I. bijuga, dan Ficus sp. Penambahan informasi jenis mangrove ini merupakan informasi ilmiah baru yang bersifat melengkapi data sebelumnya.

Page 5: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi …(Mukhlisi; K. Sidiyasa)

29

Jika dibandingkan dengan hutan mangrove di beberapa tempat lain di Kalimantan Timur, maka komposisi jenis pada tingkat semai, pancang, dan pohon yang tercatat di kawasan PIM terlihat berbeda (Tabel 1). Tabel (Table 1.) Komposisi jenis mangrove di beberapa tempat lain di Kalimantan Timur (Composition of

mangroves species at the other sites in East Kalimantan)

Lokasi (Location) Jumlah jenis (Number of species) Pustaka (Reference) Teluk Balikpapan 13 Pribadi et al. (2005) Kuala Samboja 23 Sidiyasa et al. (2005) Sungai Wain 22 Noorhidayah et al. (2007) PIM Berau 21 Makalah ini (This paper)

Berdasarkan Tabel 1 maka dapat disimpulkan bahwa komposisi jenis mangrove di

kawasan PIM termasuk memiliki tingkat keanekaragaman jenis cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa kawasan hutan mangrove di tempat lain di Kalimantan Timur. Hanya hutan mangrove di Kuala Samboja yang memiliki keanekaragaman jenis mangrove yang lebih tinggi. B. Struktur Tegakan

Struktur tegakan hutan meliputi gambaran mengenai sebaran pohon, kelas diameter, dan tinggi lapisan tajuk yang menyusun suatu tegakan (Richard, 1964; Meyer et al., 1961). Dengan demikian maka struktur tegakan juga dapat menjadi indikasi permudaan alami yang sedang berlangsung. Kondisi struktur tegakan hutan mangrove di lokasi penelitian disajikan secara lengkap pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5.

Gambar (Figure) 3. Profil ketinggian tajuk pohon pada lokasi penelitian (Profile of the trees canopy at the research site)

Hutan mangrove di PIM cenderung tidak memiliki stratifikasi tajuk yang jelas (Gambar

3). Beberapa jenis pohon terlihat menempati setiap kelas tajuk atau strata yang ada sehingga mendominasi pada masing-masing strata tersebut. Strata A sebagai kelas tajuk bagi jenis-jenis pohon menjulang ( ≥ 25 m) hanya terdiri dari jenis C. philippinense dan R. apiculata. Untuk jenis-jenis pohon yang menempati tajuk kelas atas atau strata B (15-24 m) didominasi oleh jenis C. philippinense, S. alba, R. apiculata, dan R. mucronata. Sementara itu, lapisan tajuk kelas menengah atau strata C (5-14 m) dan lapisan tajuk kelas

Strata B

Strata C

Strata A

Strata D

Page 6: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Indonesian Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 25-37

30

bawah atau strata C (< 5 m) masing-masing didominasi oleh jenis C. philippinense, R. apiculata, dan R. mucronata. Selanjutnya, jumlah individu berdasarkan kelas diameter dan hubungannya dengan rata-rata tinggi pohon ditampilkan pada Gambar 4.

n = 2499

n= 462

n= 183n= 108

n= 135

0

2

4

6

8

10

12

14

< 10 10-20 20-<30 30-40 > 40

Rat

a-ra

ta ti

nggi

(Hei

ght m

ean

)(m)

Kelas diameter (Diameter class) (cm) Gambar (Figure) 4. Histogram hubungan kelas diameter dengan rata-rata tinggi pohon (Histogram of

relation between diameter class and mean of trees height )

n=1969

n=536n=413

n=181 n=175 n=113

0

500

1000

1500

2000

2500

< 2 2--10 10--20 20--30 30-- 40 > 40

Jum

lah

indi

vidu

(Ind

ivid

ual

num

ber)

Kelas diameter (Diameter class) (cm)

Gambar (Figure) 5. Histogram hubungan kelas diameter dengan jumlah individu mangrove (Histogram of relation between diameter class and number of individual mangrove)

Gambar 4 memperlihatkan bahwa tegakan mangrove didominasi oleh pohon-pohon

dengan tinggi rata-rata < 10 m dengan jumlah individu mencapai 3.144 pohon. Pada histogram terlihat bahwa setiap kenaikan kelas diameter selalu berbanding lurus dengan rata-rata tinggi pohon namun berbanding terbalik dengan jumlah individunya. Hal ini menunjukkan sebagian besar mangrove di lokasi penelitian ditempati oleh pohon-pohon yang relatif masih muda dan trubusan. Indikasi tersebut diperkuat juga dengan data yang ditampilkan pada Gambar 5 mengenai pola hubungan antar kelas diameter pohon dengan jumlah individunya.

Page 7: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi …(Mukhlisi; K. Sidiyasa)

31

Gambar 5 memperlihatkan bahwa hubungan kelas diameter dengan jumlah individu adalah berbanding terbalik. Hal ini berarti bahwa individu semai (diameter < 2 cm) memiliki jumlah yang lebih besar. Selanjutnya jumlah individu tersebut semakin menurun seiring dengan penambahan kelas diameter pada tingkat pancang (diameter 2-10 cm) dan pohon (diameter > 10 cm). Pola hubungan tersebut jika dihubungkan maka akan terlihat seperti membentuk garis “huruf J” terbalik. Menurut Muller-Dumbois & Ellenberg (1974) kondisi atau gambaran tersebut merupakan ciri umum permudaan alami yang berlangsung dengan normal. C. Dominasi Jenis

Jika dilihat dari tingkat penguasaan (kepentingannya) di dalam tegakan mangrove, maka C. philippinense adalah jenis yang paling sering dijumpai sekaligus jenis yang paling berkuasa dengan INP tertinggi pada setiap tingkat pertumbuhan. Pada tingkat semai, C. philippinense memiliki INP sebesar 48,48%, kemudian diikuti oleh Podocarpus sp. (INP = 45,72%) dan A. aureum (INP = 35,86%). Untuk 18 jenis lainnya memiliki INP yang lebih rendah (Tabel 2). Pada tingkat pancang, selain C. philippinense (INP = 92,68%) jenis lain yang penting adalah R. apiculata (INP = 73,19%) dan R. mucronata (INP = 25,28%). Keberadaan jenis-jenis mangrove lain berada jauh di bawahnya (Tabel 3). Pada tingkat pohon, C. philippinense dominan dengan INP = 102,56%, disusul S. alba (INP = 80,62%), dan R. apiculata (INP = 56,84%) (Tabel 4).

Dominasi C. philippinense pada seluruh tingkat pertumbuhan vegetasi merupakan informasi penting dan perlu mendapatkan perhatian sebab Duke et al. (2008) dalam daftar IUCN melaporkan bahwa jenis tersebut masuk ke dalam red list (daftar merah) dengan status endangered atau terancam punah sejak tahun 2004. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan bahwa populasinya terus mengalami penurunan, diperkirakan hanya mencapai 2.500 individu pohon di seluruh dunia. Noor et al. (1999) menyebutkan kerapatan Tabel (Table) 2. Urutan tingkat kepentingan setiap jenis berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat semai

(Rank of importance level of each species based on important value index at seedling stage)

No. Jenis (Species)* Suku (Family) KR (%) FR (%) INP (%) 1. Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. Bombacaceae 24,11 24,37 48,48 2. Podocarpus sp. Podocarpaceae 36,48 9,24 45,72 3. Acrostichum aureum L. Pteridaceae 27,45 8,40 35,86 4. Rhizophora apiculata Blume Rhizophoraceae 5,96 21,00 26,96 5. Nypa fruticans Wurmb Palmae 2,77 10,92 13,69 6. Sonneratia alba J. Smith Sonneratiaceae 0,72 4,20 4,92 7. Pandanus tectorius Parkinson Pandanaceae 0,31 4,20 4,51 8. Scyphiphora hydrophyllacea C.F. Gaertn Rubiaceae 0,97 3,36 4,34 9. Rhizophora mucronata Lam. Rhizophoraceae 0,36 2,52 2,88

10. Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. Combretaceae 0,15 2,52 2,67 11. Pouteria obovata (R. Br.) Baehni Sapotaceae 0,15 2,52 2,67 12. Oncosperma horridum(Griff.) Scheff. Palmae 0,20 1,68 1,89 13. Xylocarpus granatum Koen. Meliaceae 0,16 1,68 1,83 14. Bruguiera gymnorrhiza L. (Lamk.) Rhizophoraceae 0,06 0,84 0,89 15. Intsia bijuga Kuntze Leguminosae 0,06 0,84 0,89 16. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Robin. Rhizophoraceae 0,06 0,84 0,89 17. Heritiera littoralis Aiton Sterculiaceae 0,06 0,84 0,89

Keterangan (Remark): KR = Kerapatan relatif (Relative density); FR = Frekuensi relatif (Relative frequency); DR = Dominansi relatif (Relative dominance); INP = Indeks nilai penting (Important value index); * = Termasuk jenis-jenis tidak berkayu (Includes non woody species)

Page 8: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Indonesian Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 25-37

32

Tabel (Table) 3. Urutan tingkat kepentingan setiap jenis berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pan-cang (Rank of importance level of each species based on important value index at sapling stage)

No. Jenis (Species) Suku (Family) KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) 1. Camptostemon philippinense (Vidal)

Becc. Bombacaceae 35,23 22,32 35,13 92,68

2. Rhizophora apiculata Blume Rhizophoraceae 21,02 29,46 22,71 73,19 3. Rhizophora mucronata Lam. Rhizophoraceae 10,23 5,36 11,70 25,28 4. Heritiera littoralis Aiton Sterculiaceae 7,39 6,25 8,24 21,87 5. Scyphiphora hydrophyllacea Parkinson Rubiaceae 3,60 3,60 3,60 3,60 6. Podocarpus sp. Podocarpaceae 5,67 7,14 3,05 13,79 7. Sonneratia alba J. Smith Sonneratiaceae 2,08 3,56 3,23 10,67 8. Pouteria obovata (R. Br.) Baehni Sapotaceae 4,54 3,57 2,54 10,37 9. Xylocarpus granatum Koen. Meliaceae 3,03 5,36 1,24 9,63 10. Oncosperma horridum(Griff.) Scheff. Palmae 2,08 0,89 1,94 4,91 11. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Robin. Rhizophoraceae 0,76 1,79 1,50 4,04 12. Pongamia pinnata (L.) Pierre Leguminosae 0,76 1,79 0,94 3,48 13. Pandanus tectorius Parkinson Pandanaceae 0,38 0,89 1,44 2,71 14. Cerbera manghas L. Apocynaceae 0,76 0,89 0,96 2,60 15. Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. Combretaceae 0,38 1,79 0,48 2,64 16. Ficus sp. Moraceae 0,76 0,89 0,80 2,46 17. Hibiscus tiliaceus L. Malvaceae 0,38 0,89 0,26 1,55 18. Intsia bijuga Kuntze Leguminosae 0,38 0,89 0,01 1,28 19. Nypa fruticans Wurmb Palmae 0,19 0,89 0,16 1,24

Keterangan (Remark): KR = Kerapatan relatif (Relative density); FR = Frekuensi relatif (Relative frequency); DR = Dominansi relatif (Relative dominance); INP = Indeks nilai penting (Important value index) Tabel (Table) 4. Urutan tingkat kepentingan setiap jenis berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pohon

(Rank of importance level of each species based on important value index at tree stage)

No. Jenis (Species) Suku (Family) KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) 1. Camptostemon philippinense (Vidal)

Becc. Bombacaceae 33,00 25,71 43,85 102,56

2. Sonneratia alba J. Smith Sonneratiaceae 33,00 12,00 35,63 80,62 3. Rhizophora apiculata Blume Rhizophoraceae 20,55 28,00 8,28 56,84 4. Xylocarpus granatum Koen. Meliaceae 3,40 7,51 4,46 15,37 5. Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. Combretaceae 1,85 6,29 3,47 11,60 6. Podocarpus sp. Podocarpaceae 1,44 4,57 0,47 6,48 7. Rhizophora mucronata Lam. Rhizophoraceae 1,44 3,43 1,60 6,47 8. Scyphiphora hydrophyllacea Parkinson Rubiaceae 0,92 2,86 0,56 4,34 9. Heritiera littoralis Aiton Sterculiaceae 1,13 1,71 0,38 3,22 10. Pouteria obovata (R. Br.) Baehni Sapotaceae 1,13 1,71 0,23 3,08 11. Ceriops tagal (Perr.) C.B. Robin. Rhizophoraceae 0,62 1,71 0,13 2,46 12. Nypa fruticans Wurmb Palmae 0,72 0,57 0,73 2,02 13. Bruguiera gymnorrhiza L. (Lamk.) Rhizophoraceae 0,21 1,14 0,08 1,44 14. Ficus sp. Moraceae 0,21 1,14 0,05 1,40 12. Pongamia pinnata (L.) Pierre Leguminosae 0,10 0,57 0,03 0,70

Keterangan (Remark): KR = Kerapatan relatif (Relative density); FR = Frekuensi relatif (Relative frequency); DR = Dominansi relatif (Relative dominance); INP = Indeks nilai penting (Important value index)

C. philippinense di dunia sebenarnya tidak terlalu umum, penyebarannya sangat terbatas yakni hanya di Kalimantan, Sulawesi, dan Filipina. Selain itu, informasi mengenai ekologi jenis tersebut masih belum banyak diketahui.

Kemampuan adaptasi dan kesesuaian kondisi ekologis kawasan PIM merupakan salah satu faktor yang menyebabkan C. philippinense dominan dan mampu mempertahankan

Page 9: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi …(Mukhlisi; K. Sidiyasa)

33

populasinya dalam jumlah besar. Selain itu, posisi geografis Berau yang menghadap Laut Sulawesi dan relatif berdekatan dengan Sulawesi dan Filipina memberikan keuntungan tersendiri bagi penyebarannya secara alami. Hasil pengukuran kondisi lingkungan fisik di sekitar habitat C. philippinense menunjukkan pH tanah 5-6,5 dan pH air adalah 6,8-7 dengan tekstur tanah dominan berpasir, suhu udara berkisar 32,2-33,20C, dan kelembaban udara berkisar 71-79%. Dinas Kelautan dan Perikanan Berau (2009) menyebutkan salinitas air rata-rata 33,5 ppt pada perairan yang menghadap ke laut lepas.

Jenis-jenis yang memiliki INP terendah pada tingkat semai sampai pohon adalah H. littoralis (INP = 0,89%); N. fruticans (INP = 1,24%); dan P. pinnata (INP = 0,70%). H. littoralis dan P. pinnata merupakan asosiasi mangrove yang biasa dijumpai pada kawasan hutan pantai berpasir kering. Karena kondisi habitat yang basah/becek di kawasan PIM maka populasi kedua jenis tersebut sangat kecil. Begitu juga dengan N. fruticans, di mana kondisi ekologis tidak terlalu mendukung pertumbuhannya. Jenis tersebut umumnya di alam selalu dijumpai membentuk tegakan murni dengan kondisi tanah yang berlumpur pada muara-muara sungai atau batas antara ekosistem air tawar dan laut. Keberadaan N. fruticans di kawasan PIM diduga berasal dari biji yang hanyut terbawa arus laut dan belum lama tumbuh karena hanya dijumpai sampai tingkat pancang saja.

Bila dibandingkan dengan kawasan lain, komposisi jenis mangrove dominan pada seluruh tingkat pertumbuhan di kawasan PIM terlihat berbeda dengan komposisi kawasan hutan mangrove lainnya di Kalimantan Timur. Di Taman Nasional Kutai dilaporkan hanya jenis R. apiculata yang mendominasi pada semua tingkat pertumbuhan (Bismark, 1999). Di Hutan Lindung Sungai Wain, Sonneratia caseolaris adalah jenis yang mendominasi pada semua tingkat pertumbuhan (Noorhidayah et al., 2007). Di hutan mangrove Kuala Samboja, H. littoralis hanya mendominasi pada tingkat pancang dan pohon sedangkan pada tingkat semai didominasi oleh Cerbera manghas (Sidiyasa et al., 2005). Sementara itu, di Delta Mahakam S. caseolaris mendominasi pada tingkat semai, tiang, dan pohon. Tingkat pancang didominasi oleh Hibiscus tiliaceus (Atmoko & Sidiyasa, 2008). D. Zonasi Jenis Dominan

Mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh pada kawasan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Meskipun demikian, tidak semua jenis mangrove mampu tumbuh dengan baik pada kawasan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, terutama bagi kelompok asosiasi mangrove. Hal tersebut menyebabkan timbulnya zonasi masing-masing jenis mangrove sesuai dengan adaptasi dengan karakteristik habitat untuk mendukung pertumbuhannya. Ilustrasi mengenai zonasi lima jenis mangrove yang dominan pada setiap tingkat pertumbuhan ditampilkan pada Gambar 6.

Sebagian besar jenis dominan pada lokasi penelitian menempati zonasi yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut, kecuali H. littoralis, Podocarpus sp., dan A. aureum. C. philippinense sebagai jenis yang paling dominan pada setiap tingkat pertumbuhan selalu dijumpai tepat di belakang tegakan S. alba, R. apiculata, atau R. mucronata yang merupakan formasi pertama yang menghadap ke arah pantai atau laut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa salah satu karakteristik habitat yang mendukung bagi pertumbuhan C. philippinense adalah adanya suplai air laut pada saat-saat tertentu melalui mekanisme air pasang. Namun demikian, kondisi air laut yang dibutuhkan tidak bersifat selalu tergenang.

Page 10: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Indonesian Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 25-37

34

Gambar (Figure) 6. Zonasi dan jenis pohon dominan (Zonation and dominant tree species) Keterangan (Remarks): A. Selalu tergenang saat pasang, zona yang menjadi habitat mangrove jenis S. alba, R. apiculata, R. mucronata, dan C. philippinense (Always inundated at tide, the mangrove habitat zone such as S. alba, R. apiculata, R. mucronata, and C. philippinense); B. Tergenang saat pasang tinggi, zona yang menjadi habitat mangrove jenis N. fruticans, L. littorea, S. hydrophyllacea, dan X. granatum (Inundated at high tide, the mangrove habitat zone such as N. fruticans, L. littorea, S. hydrophyllacea, and X. granatum); C. Tergenang hanya saat pasang sangat tinggi namun tidak seluruhnya tergenang, zona yang menjadi habitat mangrove jenis H. littoralis, Podocarpus sp. dan A. aureum (Inundated only at the highest tide but not all covered, the mangrove habitat zone such as H. littoralis, Podocarpus sp., and A. aureum) E. Potensi Regenerasi

Proses regenerasi bagi tumbuhan sangat penting untuk menjamin kelestarian hidup bagi jenisnya. Kondisi regenerasi yang kurang normal dapat berujung pada hilangnya jenis-jenis tertentu pada suatu ekosistem mangrove. Berbagai hal dapat mempengaruhi proses regenerasi itu sendiri. Selain faktor eksternal yang disebabkan oleh manusia, proses regenerasi juga dipengaruhi oleh faktor biotik dan fisik seperti tingkat kompetisi serta toleransi terhadap kondisi lingkungan sekitar untuk menjamin pertumbuhan suatu jenis mangrove berlangsung secara optimal.

Meskipun kawasan PIM Berau memiliki pola regenerasi yang berlangsung normal namun sesungguhnya kondisi hutan tersebut telah mengalami kerusakan. Indikasi tersebut dapat dilihat dari rendahnya kerapatan pohon yang berada di bawah angka 1.000 yakni hanya 810,35 pohon/ha. Selain itu, pada tingkat pancang juga memiliki tingkat kerapatan yang bahkan lebih rendah dari tingkat pohon yakni 488,33 individu/ha. Hanya pada tingkat semai kerapatan terlihat tinggi yakni mencapai 1.631,64 individu/ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004) , maka kawasan hutan mangrove PIM dengan kerapatan pohon kurang dari 1.000 pohon/ha dapat dikategorikan sebagai kawasan hutan mangrove yang telah rusak.

Kerusakan hutan mangrove di kawasan PIM lebih banyak disebabkan akibat penebangan pohon yang dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk pembuatan bagan-bagan, yakni sejenis alat penangkap ikan di tengah laut. Dengan penetapan kawasan PIM dan rencana pengelolaan oleh pemerintah, saat ini kawasan tersebut cenderung lebih terjaga. Sebagian kawasan PIM diberi pagar dan telah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar sehingga tidak lagi terjadi aktivitas penebangan pohon mangrove. Bila melihat kondisi regenerasi yang masih berlangsung secara normal dengan potensi kerapatan semai cukup tinggi, hutan mangrove di kawasan PIM sebenarnya berpotensi untuk melakukan suksesi secara alami hingga membentuk komunitas mangrove seperti awalnya dengan syarat tanpa gangguan aktivitas manusia yang bersifat merusak.

0 m 75 m 150 m 225 m

A B C

Page 11: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi …(Mukhlisi; K. Sidiyasa)

35

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Komposisi jenis mangrove di kawasan PIM tersusun atas 21 jenis mangrove yang terdiri

dari 7 jenis mangrove mayor, 5 jenis mangrove minor, serta 9 jenis asosiasi mangrove. 2. Struktur tegakan mangrove di lokasi penelitian didominasi oleh pohon-pohon yang

masih muda dengan ketinggian < 10 m dan diameter < 2 cm 3. Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. adalah satu-satunya jenis mangrove yang

memiliki nilai penting paling tinggi pada semua tingkat pertumbuhan dengan INP semai 48,48%; pancang 92,68%; dan pohon 102,56%.

4. Camptostemon philippinense (Vidal) Becc. sebagai jenis dominan menempati zona yang dipengaruhi oleh pasang surut, jenis tersebut berada tepat di belakang tegakan Sonneratia alba J. Smith, Rhizophora apiculata Blume, atau Rhizophora mucronata Lam. yang berada pada formasi paling depan menghadap ke arah laut.

5. Berdasarkan kritera Kepmen LH No 201 Tahun 2004, vegetasi mangrove di kawasan PIM sudah rusak yang ditandai oleh rendahnya kerapatan pohon yakni hanya 810,35 pohon/ha, kemampuan regenerasi jenis-jenis mangrove masih berlangsung secara normal yang ditunjukkan dengan histogram hubungan kelas diameter dengan jumlah individu menunjukkan “huruf J” terbalik.

B. Saran

Dalam upaya menjadikan PIM sebagai kawasan penelitian, pendidikan lingkungan, ekowisata, dan konservasi maka beberapa hal berikut ini dapat dilakukan yaitu: 1. Perlu dilakukan rehabilitasi atau pengayaan kembali jenis-jenis mangrove terutama pada

kawasan pengembangan PIM tahap pertama yang banyak terbuka dengan jenis-jenis setempat

2. Pengembangan kawasan dalam bentuk infrastuktur perlu memperhatikan zonasi mangrove dan aktivitas masyarakat di sekitarnya agar tidak terjadi konflik

3. Pelu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya mengenai ekologi, distribusi, dan status populasi Camptostemon philippinense (Vidal) Becc pada wilayah pesisir Berau lainnya mengingat kondisinya yang langka

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae, S. (1993). Ecology and management of mangroves. Bangkok: IUCN

Wetlands Programme. Atmoko, T. & Sidiyasa, K. (2008). Karakteristik vegetasi habitat bekantan (Nasalis

larvatus Wurmb) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam V(4), 307-316.

Bengen, D.G. (2001). Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB.

Bismark, M. (1999). Studi ekologi makan bekantan (Nasalis larvatus) di hutan bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Kehutanan 13(2), 42-56.

Departemen Kelautan dan Perikanan. (2008). Bantuan pembentukan pusat informasi mangorove (PIM) Berau. (Laporan Akhir). Jakarta: PIM Berau. (Tidak dipublikasikan).

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau. (2009). Buku saku kawasan konservasi Kabupaten Berau. Tanjung Redeb: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Berau.

Page 12: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Indonesian Forest Rehabilitation Journal Vol. 2 No. 1, Maret 2014: 25-37

36

Duke, N., Kathiresan, K., Salmo III, S.G., Fernando, E.S., Peras, J.R., Sukardjo, S., …, & Ngoc Nam, V. (2008). Camptostemon philippinense. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. Diakses 7 Januari 2011 dari www.iucnredlist.org.

EU-FLEGHT. (2003). 4000 Hutan mangrove Delta Berau habis dibabat. Diakses 23 Februari 2010 dari www.eu-fleght.

Giriraj, A., Murthy. M.S.R, & Ramesh, B.R. 2008. Vegetation composition, structure and patterns of diversity: A case study from the tropical wet evergreen forest of the Western Ghats, India. Edinburgh Journal of Botany 65 (3), 447-468

Google Earth. (2011). Peta digital pulau Kalimantan. Image 2011 digital globe. Diakses 24 Agustus 2011 dari www.Google Earth.com.

Ismuranty, C. (2001). Building the co-management for the conservation and suistainable use of the Derawan Island, East Kalimantan, Indonesia. Diakses 23 Februari 2010 dari www.itmems.org.

Kartawinata, K., Soenarko, S., Tantra, I G.M., & Samingan, T. (1976). Pedoman inventarisasi flora dan ekosistem. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku dan pedoman penetuan kerusakan mangrove. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.

Kon, K., Karukura, H., & Tongnunui, P. 2009. Effects of the physical structure of mangrove vegetation on a benthic faunal community. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 383 (2010), 171-180

Kusmana, C. (1997). Metode survey vegetasi. Bogor: IPB Press. Kusmana, C., Wilarso, S., Hilwan, I., Pamoengkas, P., Wibowo, C., Tiryana, T., …, &

Hamzah. (2003). Teknik rehabilitasi mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Lapaix, R. & Freedman, B. 2010. Vegetation structure and composition within urban parks of Halifax Regional Municipality, Nova Scotia, Canada. Landscape and Urban Planning 98 (2010), 124-135.

Meyer, H.A., Recknagel, A.B., & Stevenson, D.D. (1961). Forest management. New York: The Roland Press Company.

Muller-Dombois, D. & Ellenberg, H.E. (1974). Aims and method of vegetation ecology. New York: John Willey & Sons.

Nontji, A. (2002). Laut nusantara. (Edisi 3). Jakarta: Penerbit Djambatan. Noor, Y.R., Khazali, M., & Suryadiputra, I.N.N (1999). Panduan pengenalan mangrove di

Indonesia. Jakarta: Ditjen PKA dan Wetlands International Indonesia Programme. Noorhidayah, Sidiyasa, K., & Ma’ruf, A. (2007). Struktur dan komposisi vegetasi habitat

Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) pada hutan mangrove di bagian hilir Sungai Wain, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam IV(2), 107-116.

Pribadi, S.I., Bengen, D.G., Makinuddin, N., Ibrahim, A.M., & Widodo, S. (2005). Menuju keterpaduan pengelolaan Teluk Balikpapan. Jakarta: Mitra Pesisir/CRMP II USAID.

Richard, P.W. (1964). The tropical rain forset: an ecological study. Cambridge: Cambridge the University Press.

Romimohtarto & Juwana, S. (2001). Biologi laut. Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Sidiyasa, K., Noorhidayah, & Ma’ruf, A. (2005). Habitat dan potensi regenerasi pohon pakan bekantan (Nasalis larvatus) di Kuala Samboja. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam II(4), 409-416.

Page 13: STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS VEGETASI DI PUSAT …

Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi …(Mukhlisi; K. Sidiyasa)

37

Snedaker, S.C. (1978). Mangrove their values and perperuation. Nature and Resources 14, 6-13.

Soerianegara, I. & Indrawan, A. (1982). Ekologi hutan Indonesia. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Tomlinson, P.B. (1986). The botany of mangroves. Cambridge: Cambridge University Press.