Benua Asia

60
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN BENUA ASIA MODUL Oleh Drs. Sri Wasono Widodo, M.Pd NIP. 131626323 Widyaiswara LPMP Jateng

description

Keadaan Benua

Transcript of Benua Asia

Page 1: Benua Asia

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA

KEPENDIDIKAN

BENUA

ASIA

MODUL

OlehDrs. Sri Wasono Widodo, M.Pd

NIP. 131626323Widyaiswara LPMP Jateng

Page 2: Benua Asia

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA

KEPENDIDIKAN

BENUA

ASIA

MODUL

disusun sebagai bahan referensidalam penyusunan bahan ajar

pendidikan dan pelatihandi LPMP Jawa Tengah

OlehDrs. Sri Wasono Widodo,M.Pd.

NIP. 131626323Widyaiswara LPMP Jateng

i

Page 3: Benua Asia

ii

Page 4: Benua Asia

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Drs. Sri Wasono Widodo, M.Pd.

NIP : 131626323

Jabatan : Widyaiswara Madya

Unit Kerja : Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah

Menyatakan dengan yang benar bahwa tulisan ini benar-benar merupakan karya saya

sendiri; bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang

kemudian saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya, kecuali yang secara

tertulis diacu dalam laporan ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Semarang, Mei 2007

Yang membuat pernyataan,

Drs. Sri Wasono Widodo, M.Pd.

3

Page 5: Benua Asia

4

Page 6: Benua Asia

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Buku : Benua Asia

2. Jenjang : Menengah

3. Penulis

a. Nama Lengkap : Drs. Sri Wasono Widodo, M.Pd.

b. NIP : 131626323

c. Pangkat/Gol. : Pembina IV/a

d. Jabatan : Widyaiswara Madya

e. Unit Kerja : LPMP Jawa Tengah

Semarang, November 2007

Kepala

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan

H. Makhali

NIP. 130937448

v

Page 7: Benua Asia

vi

Page 8: Benua Asia

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

penulis menyelesaikan tulisan ini. Buku Benua Asia ini disusun berdasarkan

kebutuhan yang dirasakan oleh penulis dan guru sebagai bahan ajar untuk berbagai

macam pelatihan yang berkaitan dengan pengembangan profesi guru pada umumnya

maupun pengingkatan kualitas pembelajaran di kelas pada khususnya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala , Kepala Sub Bagian,

dan semua Kepala Seksi Lembaga Penjaminan Mutu (LPMP) Jawa Tengah yang

telah memfasilitasi tersusunnya buku ini. Ucapan terima kasih juga penulis

sampaikan kepada rekan sejawat Widyaiswara atas berbagai sumbanag saran yang

sangat berharga dalam tulisan nini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan

kepada pihak-pihak lain, yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

yang telah membantu mempersiapkan atau memberikan masukan sehingga tulisan ini

dapat terselesaikan.

Segala upaya telah penulis lakukan untuk kesempurnaan buku ini, namun di

dalamnya masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan saran dan komentar yang dapat dijadikan masukan dalam

menyempurnakan buku ni di masa yang akan datang.

vii

Page 9: Benua Asia

Semoga buku ini bermanfaat tidak hanya bagi LPMP, para widyaiswara dan

peserta pendidikan dan pelatihan, tetapi juga bagi semua pihak yang berkaitan dengan

kegiatan pembelajaran pada umumnya.

Penulis

viii

Page 10: Benua Asia

DAFTAR ISI

Contents [showhide]

1 Subregions

1.1 Middle East

1.2 North Asia

1.3 Central Asia

1.4 East Asia

1.5 Southeast Asia

1.6 South Asia

1.7 Southwest Asia (or West Asia)

2 Economy

2.1 Natural resources

2.2 Manufacturing

2.3 Financial and other services

3 Early history

4 Population density

5 Religion

ix

Page 11: Benua Asia

6 See also

7 External links

Halaman Judul i

Pernyataan Keaslian Tulisan ii

Lembar Pengesahan iii

Kata Pengantar iv

Daftar Isi v

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. PENGERTIAN KONSTRUKTIVISME 2

A. Sejarah 3

B. Teori Konstruktivisme 4

BAB III. KONDISI ALAMIAH PEMBELAJAR 6

A. Pembelajar adalah Individu yang Unik 6

B. Pentingnya Latar Belakang dan Budaya Pembelajar 6

C. Tanggung Jawab Belajar 7

D. Motivasi Belajar 8

BAB IV. PERAN GURU 9

A. Guru (atau Instruktur) sebagai Fasilitator 9

x

Page 12: Benua Asia

B. Belajar Merupakan Proses Sosial Dua Arah yang Aktif 10

C. Interaksi Dinamis antara Tugas, Guru, dan Pembelajar 11

BAB V. KOLABORASI PEMBELAJAR 13

A. Pentingnya Konteks 14

B. Asesmen 15

BAB VI. MATERI PELAJARAN 17

A. Pengetahuan Seharusnya Ditemukan sebagai Keseluruhan Terpadu 17

B. Keasyikan dan Tantangan bagi Pembelajar 17

C. Penstrukturan Proses Belajar 19

D. Catatan Akhir 20

BAB VII. PEDAGOGI KONSRUKTIVISME 21

A. Konstruksionisme 22

B. Konstruktivisme Sosial 23

C. Sains Komputer dan Pemrograman 24

Daftar Pustaka 25

xi

Page 13: Benua Asia

xii

Page 14: Benua Asia

BAB I

PENDAHULUAN

Asia merupakan bagian tengah dan timur dari benua gabungan Eurasia (Eropa

dan Asia), yang terpisah karena banyak perbedaan kultural dengan semenanjung

Eropa. Secara geologis maupun geografis, Asia bukanlah benua sejati, melainkan

subbenua saja.

Karena kondisi yang demikian, batas antara Asia dengan Eropa ditentukan

dengan agak ragu-ragu. Bila demarkasi antara Asia dan Afrika sudah jelas yaitu tanah

genting Suez, maka batas antara Asia dan Eropa agak samar yaitu di sepanjang

Dardanella, Laut Marmara, Selat Bosphorus, Laut Hitam, pegunungan Kaukasia (ada

yang berpendapat melalui depresi Kuma-Manych), Laut Kaspi, dan Sungau Ural (ada

yang berpendapat berbeda yaitu Sungai Emba) dan pegunungan Ural sampai Novaya

Zemlya. Sekitar 60 % penduduk dunia menghuni benua terluas ini.

Secara pembagian politis Asia terdiri dari sebagian Eurasia yang

dideskripsikan sebelumnya dan kepulauan sekitarnya di Samudera Hindia dan

Samudera Pasifik.

Page 15: Benua Asia

BAB II

KUDER RICHARDSON FORMULA-20

Dalam statistik, Kuder-Richardson Formula 20 (KR-20) merupakan suatu

ukuran reliabilitas konsistensi internal untuk pengukuran dengan pilihan dikotomis,

yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1937. Formula KR-20 analog dengan α

Cronbach, kecuali α Cronbach digunakan untuk pengukuran non-dikotomis atau

kontinus. Koefisisen KR-20 yang tinggi (misalnya >90) mengindikasikan tes yang

homogen.

Nilai-nilai dari KR-20 memiliki rentang dari 0.00 sampai 1.00 (kadang-

kadang diekspresikan dengan 0 sampai 100), dengan nilai yang tinggi

mengindikasikan bahwa tes yang digunakan berkorelasi dengan bentuk-bentuk

penggantinya (yaitu suatu karakteristik yang dibutuhkan). Formula KR-20 ditentukan

oleh tingkat kesulitan, persebaran skor dan jumlah item tes.

Dalam kasus skor-skor yang ada tidak tau-equivalent (sebagai misal ketika

item tes tidak homogen dan lebih cenderung meningkat kesulitannya) maka KR-20

merupakan suatu indikasi dari batas bawah dari konsistensi internal (reliabilitas).

Page 16: Benua Asia

Perlu diperhatikan bahwa varians dari KR-20 adalah

Sangat penting untuk menggunakan operator yang tidak bias sehingga Sum of

Squares atau jumlah kuadrat seharusnya dibagi dengan derajat kebebasan (N − 1)

dan probabilitas dikalikan dengan

Karena α Cronbach dipublikasikan paada tahun 1951, tidak diketahui

keunggulan KR-20 dibandingkan dengan α Cronbach. KR-20 dipandang derifatif dari

formula Cronbach, dengan keunggulan α Cronbach dapat digunakan baik untuk

variabel dikotomis maupun kontinyus.

3

Page 17: Benua Asia

BAB III

KONDISI ALAMIAH PEMBELAJAR

Asumsi mendasar pertama yang perlu diperhatikan dalam konstruktivisme

adalah, pentingnya kondisi alamiah pembelajar dalam pelaksanan kegiatan

pembelajaran. Di sini perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain sifat pembelajar

sebagai individu yang unik, faktor latar belakang dan budaya pembelajar, tanggung

jawab pembelajar, dan motivasi belajar dari pembelajar.

A. Pembelajar adalah Individu yang Unik

Konstruktivisme sosial memandang setiap pembelajar sebagai individu yang

unik dengan keunikan kebutuhan dan latar belakang. Pembelajar juga dipandang

secara kompleks dan multidimensional. (Gredler 1997). Konstruktivisme sosial bukan

hanya memahami keunikan dan kompleksitas pembelajar, namun juga

membangkitkan, memanfaatkan dan memberikan penghargaan pada keduanya

sebagai bagian integral dari proses pembelajaran (Wertsch 1997).

B. Pentingnya Latar Belakang dan Budaya Pembelajar

Page 18: Benua Asia

Gredler (1997) juga menekankan pentingnya latar belakang dan budaya

pembelajar. Konstruktivisme sosial membangkitkan keberanian pembelajar untuk

sampai pada kebenaran versi masing-masing, yang dipengaruhi oleh latar

belakangnya, budaya atau lingkungannya. Perkembangan historis atau sistem simbol,

seperti bahasa, logika, dan sistem matematika, merupakan faktor bawaan dari

pembelajar sebagai anggota dari budaya tertentu dan hal ini dipelajari pembelajar di

sepanjang hidupnya. Berbagai simbol tersebut menuntun bagaimana pembelajar

belajar dan apa yang dipelajari (Gredler 1997). Hal ini juga menekankan pentingnya

interaksi sosial pembelajar secara alami dengan anggota masyarakat yang

berpengetahuan. Tanpa interaksi sosial dengan anggota masyarakat yang

berpengetahuan, adalah mustahil untuk memperoleh arti sosial dari sistem simbol

yang penting dan belajar bagaimana memanfaatkannya. Anak-anak muda

mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi dengan orang dewasa.

Dari sudut pandang konstruktivisme sosial, menjadi sangat penting

mempertimbangkan latar belakang dan budaya pembelajar sepanjang proses

pembelajaran, karena latar belakang semacam ini juga membantu membentuk

pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan, ditemukan, dan diperoleh selama proses

pembelajaran berlangsung (Gredler 1997; Wertsch 1997).

C. Tanggung Jawab Belajar

5

Page 19: Benua Asia

Lebih jauh lagi, ada alasan kuat bahwa tanggung jawab belajar seharusnya

berangsur-angsur diberikan kepada pembelajar (Von Glasersfeld 1989). Karenanya

kostruktivisme sosial menekankan pentingnya keterlibatan aktif pembelajar dalam

proses belajar, tidak seperti pandangan dunia pendidikan sebelumnya yang

meletakkan tanggung jawab belajar pada guru untuk mengajar sehingga peran

pembelajar pasif, bersifat hanya menerima. Von Glasersfeld (1989) menekankan agar

pembelajar mengkonstruksi pemahamannya sendiri dan tidak hanya sekedar meniru

dan melakukan begitu saja apa yang ia baca. Ketika tiada informasi yang lengkap,

pembelajar mencari kebermaknaan dan memiliki kemauan untuk mencoba

menemukan keteraturan dan pola kejadian-kejadian di dunia nyata.

D. Motivasi belajar

Asumsi penting lain mengenai keadaan alami pembelajar berkenaan dengan

tingkatan dan sumber motivasi belajar. Menurut Von Glasersfeld (1989) motivasi

yang paling cocok untuk belajar secara kuat bergantung pada kepercayaan diri siswa

yang ada dalam potensinya untuk belajar. Perasaan akan adanya kompetensi dan

kepercayaan akan adanya potensi untuk memecahkan masalah baru, hampir

seluruhnya diperoleh dari pengalaman langsungnya (first-hand experience) dalam

menuntaskan masalah di masa lalu dan jauh lebih kuat dari pada motivasi dan

pemberitahuan eksternal (Prawat dan Floden 1994). Hal ini terkait dengan "zone of

6

Page 20: Benua Asia

proximal development" nya Vygotsky (Vygotsky 1978) yang berpendapat bahwa

sebaiknya pembelajar diberi tantangan yang setingkat, atau sedikit di atas

perkembangannya pada saat itu. Berbekal pengalaman sukses sepenuhnya dalam

menuntaskan tugas yang menantang, pembelajar memperoleh kepercayaan diri dan

motivasi untuk menaklukkan tantangan baru yang lebih besar.

7

Page 21: Benua Asia

BAB IV

PERAN GURU

Dalam kegiatan pembelajaran yang bercirikan konstruktivisme, peran guru

amat berbeda dengan dalam kegiatan pembelajaran konvensional. Perbedaan itu

antara lain pada karakteristik pembelajaran konstruktivistik yang memposisikan guru

sebagai fasilitator atau instruktur, adanya proses sosial yang aktif dari kedua belah

pihak baik guru maupun siswa, interaksi yang dinamis antara fasilitator, bahan ajar,

dan siswa.

A. Guru (atau Instruktur) sebagai fasilitator

Menurut pendekatan konstruktivis sosial, guru harus menyesuaikan perannya

dari sebagai instruktur ke peran sebagai fasilitator (Steffe dan Gale 1995). Ketika

seorang guru memberikan pembelajaran dalam suatu mata pelajaran, perannnya

sebagai fasilitator membantu pembelajar untuk memperoleh pemahamannya sendiri

tentang materi. Selama proses pembelajaran, dalam skenario pembelajaran tradisional

pembelajar berperan pasif, dalam pembelajaran konstruktivisme sosial pembelajaran

berperan aktif. Dengan demikian, penekanannya berubah dari instruktur dan materi

ke pembelajar (Kukla 2000). Perubahan dramatik dalam hal peran ini membawa

konsekuensi pada guru untuk memiliki seperangkat keterampilan baru dari

Page 22: Benua Asia

sebelumnya sebagai suatu keharusan (Brownstein 2001). Sebagai guru ia

memberitahu, sebagai fasilitator ia bertanya; sebagai guru ia "ing ngarso", sebagai

fasilitator ia "tut wuri"; seorang guru memberikan jawaban sesuai seperangkat

kurikulum, seorang fasilitator, seorang fasilitator memberikan garis besar haluan dan

menciptakan lingkungan untuk pembelajar agar bisa menemukan kesimpulannya

sendiri; seorang guru cenderung monolog, seorang fasilitator senantiasa dialog

dengan pembelajar (Rhodes dan Bellamy 1999). Seorang fasilitator seharusnya juga

mampu mengadaptasi pengalaman belajarnya sendiri dalam rangka mengarahkan

pengalaman belajar itu menuju ke mana pembelajar ingin menciptakan sendiri nilai

yang bermakna.

Lingkungan pembelajar seharusnya juga dirancang untuk mendukung dan

memberikan tantangan pada proses berpikir pembelajar (Di Vesta, 1987). Meskipun

disarankan agar memberikan kepada pembelajar akses untuk menemukan masalahnya

sendiri dan proses pemecahannya, seringkali kegiatan ataupun solusinya tidak

memadai. Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah memberikan pembelajar dukungan

untuk menjadi pemikir efektif. Hal ini bisa dilakukan dengan memainkan peran

ganda, yaitu konsultan dan pelatih.

B. Belajar Merupakan Proses Sosial Dua Arah yang Aktif

9

Page 23: Benua Asia

Para pakar konstruktivisme sosial memiliki pandangan belajar sebagai proses

aktif di mana pembelajar seharusnya belajar untuk menemukan sendiri prinsip,

konsep, dan fakta sehingga sebaiknya diberikan teka-teki yang menantang dan cara

berpikir intuitif dari pembelajar (Brown et al.1989; Ackerman 1996; Gredler 1997).

Kenyataannya -bagi konstruktivis sosial- prinsip, konsep dan fakta bukanlah sesuatu

yang kita bisa temukan begitu saja karena sebelumnya tidak ada dan bukan menjadi

prioritas utama bagi masyarakat kita untuk menemukannya. Kukla (2000)

berpandangan bahwa prinsip.konsep dan fakta direkonstruksi oleh aktivitas sendiri

dan bahwa manusia, yang secara bersama-sama menjadi anggota masyarakat

menemukannya untuk menjadi properti dunia nyata mereka.

Pakar konstruktivis lain setuju dengan pendapat di atas namun lebih

menekankan bahwa individual memberikan makna melalui interaksinya dengan orang

lain dan dalam lingkungan tempat ia hidup. Dengan demikian pengetahuan

merupakan produk dari manusia yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Ernest

1991; Gredler 1997; Prawat dan Floden 1994). McMahon (1997) setuju bahwa

belajar merupakan proses sosial. Ia menambahkan bahwa belajar bukanlah proses

yang hanya terjadi di dalam pikiran kita, juga bukan perkembangan pasif dari

perilaku kita yang dibentuk oleh kekuatan dari luar diri kita; proses belajar yang

berarti terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial.

10

Page 24: Benua Asia

Vygotsky (1978) juga mennyoroti perpaduan dari elemen sosial dan praktikal

dalam pembelajaran dengan mengatakan bahwa peristiwa penting dalam proses

perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara dan aktivitas praktikal, dua jalur

perkembangan yang benar-benar independen satu sama lain, menyatu.

Melalui kegiatan praktikal seorang anak mengkonstruksi arti pada tingkatan

intrapersonal, sedangkan berbicara menghubungkan arti tersebut dengan dunia

interpersonal sebagai wahana ia berbagi dengan budayanya.

C. Interaksi dinamis antara tugas, guru, dan pembelajar

Karakteristik yang lebih jauh dari peran guru sebagai fasilitator dalam sudut

pandang konstruktivisme sosial, adalah bahwa guru dan pembelajar memiliki

intensitas keterlibatan yang sama (Holt dan Willard-Holt 2000). Hal ini berarti bahwa

pengalaman belajar di samping objektif juga subjektif dan membutuhkan kondisi di

mana budaya, nilai, dan latar belakang guru menjadi bagian esensial sebagai

penghubung antara pembelajar dan tugasnya dalam mengkonstruksi makna.

Pembelajar membandingkan kebenaran versinya dengan versi guru dan temannya

dalam rangka untuk mendapatkan kebenaran versi masyarakat yang telah teruji

(Kukla 2000). Tugas atau masalahnya adalah adanya interface (batas) antara guru dan

pembelajar (McMahon 1997). Hal ini akan memunculkan interaksi dinamis antara

tugas, guru dan pembelajar. Hal ini membawa konsekuensi pembelajar dan guru

11

Page 25: Benua Asia

seharusnya mengembangkan suatu kepedulian terhadap sudut pandang orang lain dan

kemudian melihat kembali kepercayaan, standar dan nilai-nilainya, dengan demikian

berperilaku subjektif sekaligus objektif secara simultan (Savery 1994).

Green dan Gredler (2002) menekankan belajar sebagai suatu proses interaktif,

meliputi proses yang diskursif (rasional), adaptif, interaktif dan reflektif secara

berkualitas. Menurut keduanya fokus utama dari belajar adalah hubungan timbal

balik antara guru-siswa. Beberapa penelitian yang lain, juga memberikan alasan

pentingnya mentoring (belajar dengan mentor, senior yang berpengalaman) di dalam

proses belajar (Archee dan Duin 1995; Brown et al. 1989). Model pembelajaran

konstruktivisme sosial dengan demikian menekankan pentingnya hubungan timbal

balik antara siswa dengan guru selama proses pembelajaran berlangsung.

Beberapa pendekatan belajar yang sesuai untuk belajar interaktif antara lain

pembelajaran reciprocal, kolaborasi kelompok, cognitive apprenticeships, problem-

based instruction, web quests, anchored instruction dan pendekatan lain yang

melibatkan belajar dengan orang lain.

BAB V

KOLABORASI PEMBALAJAR

12

Page 26: Benua Asia

Pembelajar dengan kemampuan dan latar belakang seharusnya berkolaborasi

dalam tugas dan diskusi dalam rangka menuju pemahaman bersama tentang

kebenaran suatu bidang tertentu (Duffy and Jonassen 1992).

Kebanyakan model konstruktivisme, seperti yang dikemukakan oleh Duffy

dan Jonassen (1992), juga menekankan kebutuhan akan kolaborasi antara pembelajar,

hal ini jelas berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih mengedepankan sifat

kompetitif. Salah seorang penganut Vygotski memberikan catatan bahwa begitu

berartinya implikasi dari peer collaboration, sebagai bagian dari the zone of proximal

development. Di sini, zone perkembangan proksimal (terdekat) didefinisikan sebagai

jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan

masalah secara independen dan tingkatan perkembangan potensial seperti yang

ditentukan oleh pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau

kolaborasi dengan peer lain yang sudah berpengalaman; batasan ini berbeda dengan

keadaan biologis alamiah yang fix dari tingkatan perkembangannya Piaget. Melalui

suatu proses yang disebut 'scaffolding' (dukungan) seorang pembelajar dapat dapat

dipacu mencapai tingkatan di atas keterbatasan kematangan fisik sehingga tidak

terjadi proses perkembangan tertinggal di belakang proses pembelajaran (Vygotsky

1978).

13

Page 27: Benua Asia

A. Pentingnya Konteks

Paradigma konstruktivisme sosial memandang konteks dari terjadinya

pembelajaran sebagai pusat dari pembelajaran itu sendiri (McMahon 1997).

Yang perlu digarisbawahi dari suatu catatan penting bahwa pembelajar

merupakan prosesor aktif adalah "asumsi bahwa tidak ada satu pun bagian dari

seperangkat hukum pembelajaran yang telah digeneralisasi yang dapat diterapkan

untuk semua domain " (Di Vesta 1987:208). Pengetahuan yang tidak

dikontekstualkan tidak mampu memberikan kita keterampilan untuk menerapkan

pengetahuan kita dalam tugas-tugas yang autentik. Sebagaimana yang diungkapkan

oleh Duffy dan Jonassen (1992), kita tidak bekerja dengan konsep dalam lingkungan

yang kompleks melainkan pengalaman dari hubungan timbal balik yang kompleks

dari lingkungan yang juga kompleks yang menentukan bagaimana dan kapan suatu

konsep digunakan. Salah seorang konstruktivis memberikan catatan bahwa

pembelajaran yang autentik atau sesuai situasi adalah pembelajaran di mana siswa

mengambil bagian dalam kegiatan yang secara langsung relevan dengan penerapan

hasil pembelajaran dan yang terjadi dalam budaya yang sama dengan setting

penerapannya (Brown et al. 1989). Cognitive apprenticeship (pelatihan kognitif)

dianggap sebagai model konstruktivisme yang efektif dalam pembelajaran di mana

model ini mencoba "enkulturasi (pembudayaan) siswa dalam kegiatan praktis yang

14

Page 28: Benua Asia

autentik melalui kegiatan dan interaksi sosial dalam cara yang sama dengan pelatihan

di bidang keterampilan yang telah terbukti sukses " (Ackerman 1996:25).

Konteks di mana pembelajaran terjadi maupun konteks sosial di mana

pembelajar membawanya ke lingkungan belajar dengan sendirinya menjadi faktor

penentu dalam pembelajaran itu sendiri (Gredler 1997).

B. Asesmen

Holt dan Willard-Holt (2000) menekankan konsep asesmen dinamis, suatu

cara mengases potensi yang benar dari pembelajar yang secara signifikan berbeda

dengan tes konvensional. Kondisi belajar alamiah yang esensial diperluas sampai ke

proses asesmen. Bila biasanya asesmen sebagai suatu proses dilakukan oleh

seseorang, misalnya guru, di sini dipandang sebagai suatu proses dua arah yang

melibatkan interaksi antara guru dan pembelajar. Peranan guru sebagai asesor

melakukan dialog dengan siswa yang diases untuk menemukan tingkatan

performansnya dalam melakukan tugas pada saat itu dan curah pendapat dengannya

tentang cara yang mungkin bisa ditempuh dalam memperbaiki performansnya pada

kesempatan berikutnya. Dengan demikian, asesmen dan pembelajaran dipandang

sebagai jalinan proses yang tak terpisahkan (Holt dan Willard-Holt 2000).

Berdasarkan pandangan ini seorang guru seharusnya memandang asesmen

sebagai proses yang terus menerus dalam mengukur pencapaian pembelajar, kualitas

15

Page 29: Benua Asia

pengalamannya dalam pembelajaran dan proses pembelajarannya. Asesmen juga

merupakan bagian integral dari pengalaman belajar dan bukan proses yang berdiri

sendiri (Gredler 1997). Umpan balik dari proses asesmen berfungsi sebagai masukan

langsung yang menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya. Asesmen seharusnya

tidak menjadi proses intimidasi yang menyebabkan kecemasan siswa, melainkan

proses yang bersifat mendukung yang membangkitkan keberanian siswa untuk ingin

dievaluasi di masa mendatang, sehingga harus fokus pada perkembangan yang terjadi

pada siswa (Green dan Gredler 2002).

16

Page 30: Benua Asia

17

Page 31: Benua Asia

BAB VI

MATERI PELAJARAN

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal materi pelajaran,

antara lain cakupannya dan penstrukturannya.

A. Pengetahuan Seharusnya Ditemukan sebagai Keseluruhan Terpadu

Pengetahuan seharusnya tidak dipisahkan ke dalam subjek-subjek yang

berbeda (kompartementalisasi), tetapi seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan

yang terpadu (McMahon 1997; Di Vesta 1987).

Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya konteks bagaimana pembelajaran

dilangsungkan (Brown et al. 1989). Menurut para tokoh tersebut, pengetahuan

seharusnya tidak dikompartementalisasi secara kaku ke dalam subjek atau kategori

berbeda namun seharusnya disajikan dan ditemukan sebagai keseluruhan yang

terpadu. Alasannya adalah bahwa dunia, tempat yang dibutuhkan oleh pembelajar

untuk melakukan kegiatan, tidak bisa didekati dengan bentuk subjek terpisah,

melainkan berupa suatu kompleksitas tak terhingga dari fakta, problem, dimensi dan

persepsi (Ackerman 1996).

B. Keasyikan dan Tantangan bagi Pembelajar

Page 32: Benua Asia

Pembelajar seharusnya secara konstan diberi tantangan dengan tugas-tugas

yang berhubungan dengan keterampilan dan pengetahuan sedikit di atas tingkat

ketuntasannya pada saat itu. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan membangun lagi

keberhasilan sebagaimana yang telah diraih sebelumnya dalam rangka

mempertahankan kepercayaan diri pembelajar (Brownstein 2001). Hal ini juga

sejalan dengan zone of proximal development- nya Vygotsky yang dapat

dideskripsikan sebagai jarak antara perkembangan tingkat perkembangan aktual

(yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara independen) dan tingkatan

perkembangan potensial (yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah

bimbingan orang dewasa atau melalui kolaborasi dengan peers yang lebih

berpengalaman) (Vygotsky 1978).

Vygotsky (1978) lebih jauh mempublikasikan secara luas bahwa suatu

pembelajaran dianggap baik ketika pembelajaran tersebut melampaui perkembangan.

Kemudian pembelajaran tersebut membangunkan dan membangkitkan keseluruhan

perangkat fungsi yang berada di tingkat kematangan untuk hidup di kehidupan nyata,

yang terletak di zona perkembangan proksimal. Dengan cara inilah pembelajaran

memainkan peranan yang maha penting dalam perlembangan.

Dalam rangka untuk sepenuhnya memberikan keasyikan dan tantangan bagi

pembelajar, tugas dan lingkungan pembelajaran seharusnya merefleksikan

kompleksitas lingkungan sehingga pembelajar seharusnya memiliki fungsi di akhir

19

Page 33: Benua Asia

pembelajaran. Pembelajar seharusnya tidak hanya mendapatkan proses pembelajaran

ataupun proses pemecahan masalah, namun juga masalah itu sendiri (Derry 1999).

Ketika mempertimbangakan tata urutan materi, sudut pandang konstruktivis

berpendirian bahwa dasar dari berbagai subjek dapat dibelajarkan pada siapa pun

pada tingkatan mana pun dalam banyak bentuk (Duffy dan Jonassen 1992). Hal ini

berarti bahwa guru seharusnya pertama sekali memperkenalkan gagasan dasar

sehingga menghidupkan dan membentuk banyak topik ataupun area subjek, baru

kemudian kembali lagi pada subjek semula dan membangun kembali gagasan

tersebut. Prinsip seperti ini secara ekstensif digunakan dalam kurikulum.

Juga penting bagi guru untuk relistis, karena meskipun suatu kurikulum

kemungkinan dirancang untuk mereka, tak terhidarkan lagi untuk dibentuk ulang oleh

mereka menjadi lebih personal yang merefleksikan sistem kepercayaan mereka

sendiri, pemikiran dan perasaan mereka terhadap isi pembelajaran maupun

pembelajarnya (Rhodes and Bellamy 1999). Dengan demikian, pengalaman belajar

menjadi suatu kegiatan yang harus dilakukan bersama. Dengan demikian, emosi dan

konteks kehidupan dari yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran harus dianggap

sebagai bagian integral dari pembelajaran. Tujuan dari pembelajar menjadi fokus

dalam mempertimbangkan tentang apa yang dipelajari (Brown et al. 1989; Ackerman

1996; Gredler 1997).

20

Page 34: Benua Asia

C. Penstrukturan Proses Belajar

Adalah penting untuk mendapatkan keseimbangan yang benar antara

tingkatan struktur dan fleksibilitas yang dibangun dalam proses pembelajaran. Savery

(1994) menyatakan bahwa semakin lebih terstruktur lingkungan pembelajaran,

semakin sulit bagi pembelajar dalam mengkonstruksi arti berdasarkan pemahaman

konseptual mereka sendiri. Seorang guru seharusnya menyusun struktur pengalaman

belajar sekedar cukup untuk membuat yakin bahwa siswa mendapat arahan yang jelas

dan parameter untuk mencapai tujuan pembelajaran, namun pengalaman belajar

seharusnya terbuka dan memberikan peluang yang cukup bagi pembelajar untuk

menemukan, menikmati, berinteraksi dan sampai pada kebenarannya sendiri yang

telah diverifikasi oleh masyarakat.

D. Catatan akhir

Intervensi konstruktivisme dalam pembelajaran dengan demikian merupakan

intervensi di mana kegiatan kontekstual (tugas-tugas) digunakan untuk menyediakan

pembelajar peluang untuk menemukan dan secara kolabortif mengkonstruksi arti

sebagaimana yang diungkap dalam intervensi. Pembelajar dihormati sebagai

individual yang unik, dan guru lebih cenderung berperan sebagai fasilitator daripada

instruktur.

21

Page 35: Benua Asia

22

Page 36: Benua Asia

BAB VII

PEDAGOGI KONSTRUKTIVISME

Kenyataannya, banyak pedagogi yang bergerak di sekitar teori

konstruktivisme. Kebanyakan pendekatan yang berkembang dari konstruktivisme

menyarankan bahwa belajar yang sempurna menggunakan pendekatan hands-on

(keterlibatan personal). Pembelajar belajar melalui eksperimentasi, dan tidak melalui

cara pemberitahuan apa yang akan terjadi. Mereka dibiarkan memiliki pendapat

sendiri, penemuan, dan kesimpulan. Konstruktivisme juga menekankan bahwa

pembelajaran bukanlah suatu proses "seluruhnya atau tidak sama sekali" melainkan

bahwa siswa belajar informasi baru yang disajikan untuk mereka dengan membangun

pengetahuan yang telah mereka miliki. Karenanya menjadi penting guru secara

konstan mengases pengetahuan yang telah dicapai siswanya untuk meyakinkan

bahwa persepsi siswa terhadap pengetahuan baru sama dengan apa yang

dimaksudkan guru. Guru akan menemukan bahwa karena siswa membangun

pengetahuan yang telah dimiliki, ketika diminta untuk memahami informasi baru,

mereka tidak membuat kesalahan. Bisa disebut terjadi kesalahan rekonstruksi apabila

kita mengisi kesenjangan antara pemahaman kita dengan pemikiran yang logis namun

tidak benar. Guru harus mampu mengidentifikasi dan mencoba membetulkan

kesalahan tersebut, meskipun tak pelak lagi bahwa beberapa kesalahan rekonstruksi

akan terus terjadi karena faktor bawaan berupa keterbatasan pemahan kita.

Page 37: Benua Asia

Pada kebanyakan pedagogi yang berdasarkan konstruktivisme, peran guru

bukan hanya mengamati dan mengases namun juga terlibat dalam kegiatan siswa

sementara ia juga harus menyelesaikan kegiatannya sendiri, meneriakkan keheranan

dan mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk menggalakkan cara berpikir logis

(DeVries et al., 2002). (contoh: Saya heran mengapa air tidak meluap keluar melalui

bibir gelas yang penuh?) Guru juga melakukan intervensi ketika muncul konflik;

namun mereka secara sederhana memfasilitasi resolusi di antara siswa dan regulasi

diri, dengan suatu penekanan pada siswa untuk harus mampu menemukan jalan

keluarnya sendiri. Sebagai contoh, promosi literasi dapat dilakukan dengan

mengintegrasikan kebutuhan untuk membaca dan menulis selama aktivitas individual

dalam kelas yang penuh tulisan kreatif. Seorang guru, setelah membaca suatu cerita,

membangkitkan keberanian siswa untuk menulis dan menulis ceritanya sendiri, atau

meminta siswa untuk melakonkan ulang suatu cerita yang telah mereka kenal dengan

baik, kedua kegiatan tersebut membangkitkan keberanian siswa untuk

membayangkan diri mereka sendiri sebagai pembaca ataupun penulis.

A. Konstruksionisme

Konstruksionisme merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang

dikembangkan oleh Seymour Papert dan koleganya di MIT di Cambridge,

Massachusetts. Papert pernah bekerjasama dengan Piaget institut tersebut di Jenewa.

24

Page 38: Benua Asia

Papert belakangan menyebut pendekatannya "constructionism." Pendekatan ini

menckup segala sesuatu yang berhubungan dengan konstruktivismenya Piage, namun

bergerak lebih jauh lagi dengan menyertakan bahwa pembelajaran konstruktivisme

terjadi dengan baik khususnya ketika siswa mengkonstruksi suatu produk, sesuatu

yang eksternal bagi mereka seperti benteng pasir, mesin, program komputer, atau

buku. Promotor penggunaan komputer dalam pendidikan memandang suatu

kebutuhan yang semakin meningkat untukmengembangkan keterampilan dalam

literasi Multimedia dalam rangka mengguanakan peralatan ini dalam pembelajaran

konstruktivisme.

Pendekatan lainnya: Reciprocal Learning, Procedural Facilitations for

Writing, Cognitive Tutors, Cognitively Guided Instruction (suatu program

pengembangan profesi dan riset dalam matematika untuk SD yang diciptakan oleh

Thomas P. Carpenter, Elizabeth Fennema, dan koleganya di University of Wisconsin-

Madison. Premis mayornya adalah guru dapat menggunakan strategi informal siswa

(dengan kata lain strategi yang dikontruksi oleh siswa berdasarkan pemahamannya

pada situasi kehiduopan sehari-hari, seperti memungut batu kecil dan memetik

bunga) sebagai basis utama untuk mengajar matematika di jenjang SD); Anchored

Instruction (Bransford et al), Problem dan pendekatan pemecahan solusinya

ditanamkan dalam lingkungan naratif), Cognitive Apprenticeship (Collins et al),

pembelajaran diperoleh melalui pengintegrasian ke dalam budaya pengetahuan

25

Page 39: Benua Asia

khusus yang implisit dan eksplisit); Cognitive Flexibility (Sprio et al) dan Pragmatic

Constructivism (Müller, Klaus 2001).

B. Konstruktivisme Sosial

Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas fokus

tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan

sosial.. Adalah mungkin melihat konstruktivisme sosial sebagai memadukan bersama

aspek-aspek dari karya Piaget with that of Bruner dan Vygotsky (Wood 1998: 39).

Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, "dalam model ini, siswa tidak hanya mengikuti

pembelajaran seperti halnya air mengalir melalui saringan namun membiarkan

mereka membentuk dirinya sendiri melalui proses pembelajaran."[1]

C. Sains Komputer dan Pemograman

Konstruktivisme mempengaruhi pembelajaran tentang komputer dan

pemrogramannya. Banyak bahasa pemrograman yang berhasil diciptakan untuk

pembelajaran konstruktivisme, yang seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan

pendidikan, dengan mengutip peneliti konstruktivisme. Berbagai bahasa ini telah

secara dinamis dibakukan, dan reflektif. Logo merupakan bahasa fungsional, yang

26

Page 40: Benua Asia

lebih mudah dan merupakan hasil adaptasi dari Lisp, tanpa menggunakan tanda

penghubung. Kreatornya adalah Wally Feurzeig, dan Seymour Papert. Smalltalk

merupakan bahasa berorientasi objek yang dirancang dan diciptakan oleh suatu tim

yang dipimpin oleh Alan Kay di bawah bendera Xerox PARC.

27

Page 41: Benua Asia

Daftar Pustaka

^ "Asia". Encyclopædia Britannica. 2006. Chicago: Encyclopædia Britannica, Inc. ^ a b "Asia". McGraw-Hill Encyclopedia of Science and Technology. 2006. New York: McGraw-Hill Inc. ^ Rydberg, Viktor. Teutonic Mythology: Gods and Goddesses of the Northland, London: Norroena Society, 1907. pp.33-34 ^ "Asia." MSN Encarta Encyclopedia. 2007. ^ Welty, Paul Thomas. The Asians Their Evolving Heritage, 6th ed., p. 21. New York: Harper & Row Publishers, 1984. ISBN 0-06-047001-1. ^ World University Service of Canada. Asia-WUSC WorldWide. 2006. October 7, 2006. <http://www.wusc.ca/expertise/worldwide/asia/>. ^ Menon, Sridevi. Duke University. "Where is West Asia in Asian America?Asia and the Politics of Space in Asian America." 2004. April 26, 2007. page 71 [1] ^ BBC News 2006. September 9, 2006. <http://news.bbc.co.uk/>. ^ American Heritage Book of English Usage. Asian. 1996. September 29, 2006. <http://www.bartleby.com/64/C006/007.html>. ^ Color Q World. Clarifying the Definition of Asian. 2005. October 1, 2006. <http://www.colorq.org/PetSins/article.asp?y=2005&m=5&x=5_7>. ^ Lee, Sharon M. Population Reference Bureau. Asian Americans Diverse and Growing. Accessed 2006-11-10. ^ Continental regions as per UN categorisations (map), except 12. Depending on definitions, various territories cited below (notes 6, 11-13, 15, 17-19, 21-23) may be in one or both of Asia and Europe, Africa, or Oceania.

^ Kazakhstan is sometimes considered a transcontinental country in Central Asia and Eastern Europe; population and area figures are for Asian portion only.

^ The current state is formally known as the People's Republic of China (PRC), which is subsumed by the eponymous entity and civilisation (China). Figures given are for mainland China only, and do not include Hong Kong, Macau, and Taiwan.

^ Hong Kong is a Special Administrative Region (SAR) of the PRC.

^ Macau is a Special Administrative Region (SAR) of the PRC.

Page 42: Benua Asia

^ Figures are for the area under the de facto control of the Republic of China (ROC) government, frequently referred to as Taiwan. Claimed in whole by the PRC; see political status of Taiwan.

^ Egypt is generally considered a transcontinental country in Northern Africa and Western Asia; population and area figures are for Asian portion only, east of the Suez Canal (Sinai Peninsula).

^ Russia is generally considered a transcontinental country in Eastern Europe (UN region) and Northern Asia; population and area figures are for Asian portion only.

^ Excludes Christmas Island and Cocos (Keeling) Islands (Australian external territories in the Indian Ocean southwest of Indonesia).

^ Indonesia is often considered a transcontinental country in Southeastern Asia and Oceania; figures do not include Irian Jaya and Maluku Islands, frequently reckoned in Oceania (Melanesia/Australasia).

^ The administrative capital of Myanmar was officially moved from Yangon (Rangoon) to a militarised greenfield just west of Pyinmana on 6 November 2005. ^ Timor-Leste is often considered a transcontinental country in Southeastern Asia and Oceania.

^ Includes Jammu and Kashmir, a contested territory among India, Pakistan, and the PRC.

^ Armenia is sometimes considered a transcontinental country: physiographically in Western Asia, it has historical and sociopolitical connections with Europe.

^ Azerbaijan is often considered a transcontinental country in Western Asia and Eastern Europe; population and area figures are for Asian portion only. Figures include Nakhchivan, an autonomous exclave of Azerbaijan bordered by Armenia, Iran, and Turkey.

^ The island of Cyprus is sometimes considered a transcontinental territory: in the Eastern Basin of the Mediterranean Sea south of Turkey, it has historical and sociopolitical connections with Europe. The Turkish Republic of Northern Cyprus (TRNC), distinct from the de jure Republic of Cyprus in the south (with a predominantly Greek population), is recognised only by Turkey.

29

Page 43: Benua Asia

^ Gaza and West Bank, collectively referred to as the "Occupied Palestinian Territory" by the UN, are territories partially occupied by Israel but under de facto administration of the Palestinian National Authority.

^ Georgia is often considered a transcontinental country in Western Asia and Eastern Europe; population and area figures are for Asian portion only.

^ In 1980, Jerusalem was proclaimed Israel's united capital, following its annexation of Arab-dominant East Jerusalem during the 1967 Six-Day War. The United Nations and many countries do not recognize this claim, with most countries maintaining embassies in Tel Aviv instead. ^ Turkey is generally considered a transcontinental country in Western Asia and Southern Europe; population and area figures are for Asian portion only, excluding all of Istanbul.

^ West Bank and Gaza, collectively referred to as the "Occupied Palestinian Territory" by the UN, are territories occupied by Israel but under de facto administration of the Palestinian National Authority.

^ Five Years of China’s WTO Membership. EU and US Perspectives on China’s Compliance with Transparency Commitments and the Transitional Review Mechanism, Legal Issues of Economic Integration, Kluwer Law International, Volume 33, Number 3, pp. 263-304, 2006. by Paolo Farah ^ Commonwealth Business Council-Asia. Retrieved on April 12, 2007. "Asia". The Columbia Gazetteer of the World Online. 2005. New York: Columbia University Press. World Conflicts: Asia and the Middle East [2]. Edited by Carl L. Bankston III. New York: Salem Press.

30