INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL
Transcript of INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL
INDONESIAN JOURNALOF ESSENTIAL OIL
November, 2016 Volume 1, Number 1http://ijeo.ub.ac.id/
ISOLASI CIS DAN TRANS-SITRAL DARI MINYAK ATSIRIKEMANGI (Ocimum citriodorum, L) DENGAN METODEEKSTRAKSI BISULFIT DAN METODE DISTILASI UAP
Dwiarso Rubiyanto dan Da’watun Fitriyah
DIVERSIFIKASI PRODUK FARMASI DARI MINYAK LAWANG DENGAN PENDEKATAN SINTESIS KIMIA
Imanuel Berly D. Kapelle, Tun Tedja Irawadi, Meika Syahbana Rusli, Djumali Mangunwidjaja, Zainal Alim Mas’ud
Sukardi, Mahendra Narpatmaja Nizar, Arie Febrianto Mulyadi dan Sucipto
KAJIAN EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI BUNGA MELATI (Jasminum sambac) DENGAN METODE ENFLEURASI
Sarifah Nurjanah, Isti Sulistiani, Asri Widyasanti dan Sudaryanto Zein
EFEK PULSED ELECTRIC FIELD (PEF) PADA RENDEMENDAN KUALITAS MINYAK BUNGA MELATI (Jasminum sambac) (Kajian Rasio Bahan dan Pelarut)
MINYAK ATSIRI DAUN ZINGIBERACEAE SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN ANTIGLIKASI
Irmanida Batubara, Ummi Zahra, Latifah K Darusman, Akhiruddin Maddu
PENINGKATAN RENDEMEN DESTILASI MINYAK JAHEMELALUI FERMENTASI JAHE MERAH (Zingiberofcinale var. Rubrum) MENGGUNAKAN Trichoderma harzianum
Vivi Nurhadianty, Chandrawati Cahyani, Luthfi Kurnia DewiLinda Triani, Resti Kurnia Putri
e-ISSN 2548-8295
Indonesian Journal of Essential Oil e-ISSN 2548-8295
Penanggung Jawab
Direktur Institut Atsiri
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Ir. Chandrawati Cahyani, MS.
Ketua Dewan Direksi
Prof. Dr. Ir. Chandrawati Cahyani, MS.
Anggota Dewan Direksi
Dr. Elvina Dhiaul Iftitah, S.Si., M.Si.
Editor/Redaksi Pelaksana
Prof. Dr. Ir. Hanny Wijaya, M.Agr.
Prof. Edy Cahyono, M.Si
Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA
Kesekretariatan
Yoke Kusuma Arbawa, S.Kom
Alamat Redaksi
Institut Atsiri
Jl. Veteran, Gedung Senat Lt. 2, Universitas Brawijaya
Kota Malang, Jawa Timur, 65145
Telp. 0341-4376580, Fax. 0341-4376393
E-mail : [email protected]
e-ISSN 2548-8295
Daftar Isi
Isolasi Cis- Dan Trans-Sitral Dari Minyak Atsiri Kemangi (Ocimum Citriodorum, L) Dengan
Metode Ekstraksi Bisulfit Dan Metode Distilasi Uap ................................................................ 1
Kajian Ekstraksi Minyak Atsiri Bunga Melati (Jasminum Sambac) Dengan Metode
Enfreurasi ................................................................................................................................. 12
Diversifikasi Produk Farmasi Dari Minyak Lawang Dengan Pendekatan Sintesis Kimia ...... 21
Efek Pulsed Electric Field (Pef) Pada Rendemen Dan Kualitas Minyak Bunga Melati
(Jasminum Sambac) (Kajian Rasio Bahan Dan Pelarut) ......................................................... 30
Minyak Atsiri Daun Zingiberaceae Sebagai Antioksidan Dan Antiglikasi............................. 44
Peningkatan Rendemen Destilasi Minyak Jahe Melalui Fermentasi Jahe Merah (Zingiber
officinale var. Rubrum) menggunakan Trichoderma Harzianum............................................ 53
IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5
ISSN: 1978-1520 1
Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012
Isolasi CIS- dan Trans-Sitral dari Minyak Atsiri Kemangi
(Ocimum citriodorum, L) dengan Metode Ekstraksi
Bisulfit Dan Metode Distilasi Uap
Dwiarso Rubiyanto1,2 dan Da’watun Fitriyah2 1Center of Essential Oil Studies (CEOS)
2Jurusan Kimia Fakultas MIPA
Universitas Islam Indonesia Jogjakarta
Email : [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan penelitian secara eksperimen laboratorium tentang isolasi sitral yang
merupakan komponen terbesar dari minyak kemangi (Ocimum citriodorum, L). Minyak kemangi
dapat diisolasi dari tanaman kemangi dengan penyulingan uap (steam distillation). Rendemen
minyak kemangi hasil penyulingan sebesar 0,2 % b/b. Hasil kromatogram minyak kemangi
(Ocimum citriodorum, L) menunjukkan konsentrasi sitral sebesar 33,82% dengan komposisi
cis-sitral sebesar 14,86% dan trans-sitral sebesar 18,96%. Dalam penelitian ini sitral dalam
minyak kemangi diisolasi dengan dua metode yaitu metode ekstraksi bisulfit dan metode
distilasi uap. Isolasi sitral dengan metode ekstraksi bisulfit dilakukan secara kimia dengan
mereaksikannya dengan larutan jenuh Natrium Bisulfit (NaHCO3) sementara isolasi sitral
dengan metode distilasi uap dilakukan dengan rangkaian alat gelas kimia skala 500 mL. Isolasi
sitral dengan metode distilasi uap dilakukan dengan perbandingan minyak kemangi dan air
(1:1 ; 1:3 ; 1:6). Hasil analisis dengan kromatografi gas menunjukkan bahwa pada hasil
ekstraksi bisulfit, konsentrasi sitral sebesar 58,57%. Sedangkan pada metode distilasi uap pada
perbandingan 1:1 menunjukkan konsentrasi sitral sebesar 56,65%, pada perbandingan 1:3
menunjukkan konsentrasi sitral sebesar 56,64%, sedangkan pada perbandingan 1:6
menunjukkan konsentrasi sitral sebesar 58,03%. Kesimpulan yang dapat diambil adalah isolasi
sitral dengan metode kimia maupun fisika dapat digunakan sebagai cara untuk mendapatkan
bahan kimia yang lebih bernilai dari minyak kemangi.
Kata kunci : minyak kemangi, Ocimum citriodorum, sitral, ekstraksi bisulfit, metode distilasi
uap.
Abstract Has conducted research in laboratory experiments on isolation sitral which is the
largest component of oil of basil (Ocimum citriodorum, L). Basil oil can be isolated from the
basil plant with steam distillation (steam distillation). The yield of basil oil distillates by 0.2% w
/ w. Results chromatogram oil basil (Ocimum citriodorum, L) shows sitral concentration of
33.82% with cis-sitral composition of 14.86% and trans-sitral amounted to 18.96%. In this
study sitral in basil oil was isolated by two methods of extraction methods bisulfite and steam
distillation method. Isolation sitral by bisulfite extraction method performed chemically by
treatment with a saturated solution of sodium bisulfite (NaHCO3) while insulating sitral by
steam distillation method is done by means of a series of 500-ml beaker scale. Isolation sitral by
steam distillation method is done by comparison basil oil and water (1: 1; 1: 3; 1: 6). The
results of the analysis by gas chromatography showed that the extraction result bisulfite, sitral
concentration of 58.57%. While the method of steam distillation at a ratio of 1: 1 shows the
concentration sitral of 56.65%, the ratio of 1: 3 shows sitral concentration of 56.64%, while the
ratio of 1: 6 shows sitral concentration of 58.03%. The conclusion that can be drawn is sitral
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
2
isolation by chemical and physical methods can be used as a way to get the chemicals that are
more valuable than oil basil.
Keywords: basil oil, Ocimum citriodorum, sitral, bisulfite extraction, steam distillation
method.
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan keanekaragaman
hayatinya. Sumber daya alam hayati merupakan bagian dari sumber bahan kimia alami yang
menawarkan jenis dan jumlah yang hampir tak terbatas. Pemanfaatan bahan alam seperti halnya
tanaman minyak atsiri sebagai sumber senyawa kimia memerlukan penelitian dan pengkajian
secara mendalam berkaitan dengan jenis bahan alam yang dipilih, sumber utama yang lebih
ekonomis, dan metode pengambilan serta konversinya termasuk juga kebaruan metodenya.
Pemilihan jenis tanaman yang memiliki variasi jenis yang besar membutuhkan seleksi
yang ketat. Banyaknya jenis tanaman yang mengandung sejumlah senyawa tertentu yang sama
juga penting untuk diperhatikan. Demikian juga di dalam menentukan metode pengambilan
bahan utama (minyak atsiri) dan metode konversi minyak atsirinya, penting diperhatikan
efektivitas dan efisiensi bahan, alat dan waktu yang dibutuhkan [1].
Sejak tahun 1960-an Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak atsiri besar di
dunia dengan produk andalannya minyak nilam, minyak sereh wangi dan minyak cengkeh.
Namun hingga kini, perkembangan industri minyak atsiri Indonesia masih terbilang lambat dan
tidak mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini disebabkan, komoditas yang diunggulkan masih
berkisar di level minyak mentah dan nilai tambah produksi minyak atsiri Indonesia masih
rendah [2].
Sebenarnya di sisi lain telah tersedia kapasitas penelitian dan pengembangan baik di
perguruan tinggi maupun di lembaga penelitian untuk menghasilkan produk turunan minyak
atsiri yang bernilai tinggi. Pemanfaatan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk
meningkatkan nilai tambah produk minyak atsiri Indonesia. Misalnya proses ekstraksi dan
fraksinasi minyak atsiri menjadi turunannya yaitu flavor dan fragrance [3],[4].
Secara umum, orang sudah mengenal tanaman kemangi yang merupakan bagian dari
keluarga selasih (basil) yang dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah Ocimum. Kemangi
(Ocimum citriodorum, L) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh tegak dengan cabang yang
banyak. Tanaman ini berbentuk perdu, dengan tinggi 0,3 hingga 1,0 meter. Daun-daunya hijau
dan berbau harum khas seperti jeruk. Bagian tangkai daun mempunyai panjang 2,5 cm, luas
daun berbentuk elips dengan ukuran 2,5-5 cm x 1-2,5 cm. Tanaman kemangi memiliki rasa
yang lebih tajam dan lebih pedas dari pada jenis genus Ocimum lainnya.
Kemangi tahan terhadap cuaca panas dan dingin. Jika di tanam di daerah dingin
daunnya lebih lebar dan lebih hijau, sedangkan di daerah panas daunnya kecil, tipis dan
berwarna lebih pucat. Kemangi dapat ditanam di berbagai daerah dengan berbagai jenis tanah
sehingga ada sebagian yang tumbuh liar. Kemangi tumbuh pada tepi-tepi jalan, ladang dan
sawah-sawah kering, dalam hutan jati dan disemaikan di kebun-kebun. Tanaman ini dapat
ditemukan di seluruh pulau Jawa pada ketinggian 450-110 meter di atas permukaan laut.
Meskipun penggunaannya sama dengan kemangi yaitu sebagai bagian dalam masakan, namun
di beberapa wilayah di luar Pulau Jawa seperti di Aceh, Lampung, Bengkulu, Bontang dan
Balikpapan, tanaman ini dikenal dengan nama ruku-ruku dan merupakan jenis yang berbeda
dari kemangi yang dikenal untuk lalapan dan pepes ikan.
Pada pengobatan tradisional, kemangi dapat digunakan sebagai obat, bagian-bagian
yang dapat digunakan sebagai obat adalah akar, daun, dan biji. Tanaman kemangi merupakan
tumbuhan yang berbatang lunak, berdaun tipis, berbunga putih dan mengandung minyak atsiri.
Minyak atsiri kemangi dapat diperoleh melalui proses penyulingan terhadap bagian daun.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
3
Komponen utama dari minyak kemangi adalah sitral. Kandungan sitral dalam minyak kemangi
Indonesia berkisar antara 65-70%, dengan rendemen penyulingan berkisar antara 0,2-1% [10].
Minyak kemangi banyak digunakan sebagai flavoring agen, minyak kemangi juga
digunakan untuk campuran parfum dan pewangi sabun. Senyawa sitral memiliki potensi yang
besar untuk dikonversi menjadi senyawa-senyawa terpenoid lainnya yang bermanfaat [5],[6].
Senyawa sitral merupakan senyawa yang memiliki isomer geometris yaitu trans-sitral dan cis-
sitral. Sitral (C10H16O, BM=152,24 g/mol) secara kimia disebut 3,7-dimetil-2,6-oktadienal,
suatu aldehida dari geranial. Sitral adalah cairan berminyak berwarna kuning pucat dengan bau
yang menyegarkan seperti buah lemon. Sifat fisika dari sitral antara lain: spesifik gravitasi=
0,893-0,897, titik didih= 228–229 0C, dengan sediki dekomposisi. Indeks bias= 1,4876–1,4931
dan bersifat tidak optis aktif. Sitral juga digunakan dalam sintesis vitamin A komersial, ionon
dan metil ionon yang merupakan bahan baku parfum, dan juga merupakan bahan industri yang
penting di dalam produksi flavor sintetik [7],[8].
Berbagai jenis metode pemurnian senyawa yang berharga dapat dilakukan di
laboratorium mulai dari skala gelas hingga skala meja [9]. Minyak kemangi dapat menjadi
sumber penghasil minyak atsiri meskipun belum menjadi komoditas ekonomi. Kandungan
senyawa kimia yang komersial di dalamnya perlu mendapat perhatian lebih dan eksplorasi yang
mendalam. Hal ini mengingat pemanfaatan tanaman kemangi yang hanya terbatas pada
kepentingan kuliner semata sehingga nilai tambahnya belum terlihat. Minyak kemangi memiliki
kandungan sitral hingga 80% [10],[11]. Dengan melakukan pengambilan dan pemurnian minyak
atsiri kemangi dan diteruskan dengan isolasi senyawa sitral melalui metode ekstraksi dan
distilasi diharapkan akan mendapatkan nilai manfaat yang tinggi dari tanaman kemangi.
2. METODE PENELITIAN
1. Alat dan Bahan
1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: seperangkat alat penyulingan uap,
seperangkat alat distilasi uap skala laboratorium, corong pisah, labu leher tiga, evaporator
Buchi, kromatografi Gas merk Hitachi, kromatografi gas-spektroskopi massa merk QP2010S
Shimadzu dan alat-alat gelas laboratorium.
1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: tanaman kemangi yang diperoleh dari
daerah Sleman, Jogjakarta, sitral standar merk Sigma-Aldrich, natrium bisulfit anhidrat p.a.,
natrium bikarbonat anhidrat p.a., natrium sulfat anhidrat p.a., natrium hidroksida p.a., dietil eter
teknis dan akuades.
2. Cara Kerja Penelitian
2.1 Isolasi Minyak Kemangi dari Tanaman Kemangi
Tanaman kemangi diangin-anginkan selama 24 jam hingga layu, kemudian disuling seluruh
bagian tanaman yang telah dipetik (daun, bunga, ranting) sebanyak 50 Kg. Bahan dimasukan ke
dalam alat penyuling yang memiliki wadah sampel yang berkapasitas 3 Kg bahan kering,
dilakukan penyulingan beberapa kali sampai terkoleksi minyak kemangi dalam jumlah yang
cukup. Ketel uap (boiler) berbahan stainless steel dengan pengukur tekanan yang telah diisi air
dihubungkan ke tempat sampel melalui pipa stainless steel berdiameter 1 inchi. Pemanas
dihidupkan dan uap panas ditahan hingga air mendidih. Uap dialirkan ketempat sampel dengan
aliran konstan. Minyak yang keluar dilewatkan ke pendingin air yang terdiri dari pendingin bola
satu meter dan pendingin kontinyu, kemudian ditampung dengan corong pisah 500 mL,
kemudian dihitung rendemen dan sifat-sifat fisik minyak kemangi.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
4
2.2 Analisis Kandungan Sitral Dalam Minyak Kemangi
Minyak kemangi yang diperoleh dari penyulingan uap dengan metode 2.1 kemudian dianalisis
kandungan kimianya dengan alat Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (GC-MS-QP2010S)
Shimadzu. Sitral standar juga dianalisis sebagai pembanding.
2.3 Isolasi Sitral Dalam Minyak Kemangi Dengan Metode Ekstraksi Bisulfit
Isolasi sitral dalam minyak kemangi dilakukan dengan metode ekstraksi bisulfit dengan
perbandingan (Sitral : NaHSO3 : NaHCO3 : Akuades) berdasarkan literatur [8]. Untuk langkah
mikro, terlebih dahulu menghitung jumlah mol riil berdasarkan kadar sitral sesunguhnya dalam
minyak kemangi melalui analisis kromatogram. Selanjutnya dapat dilakukan perbandingan mol
menurut perhitungan makronya. Ke dalam corong pisah dimasukan akuades, es batu, natrium
bisulfit anhidrat, natrium bikarbonat dan minyak kemangi. Corong pisah ditutup rapat dan
digojog beberapa kali selama 5-6 jam. Campuran dipisahkan dan diambil lapisan sulfitnya.
Larutan sulfit ditambahkan 20 mL eter kemudian dilakukan penggojokan sampai semua larutan
terhomogenkan, setelah itu ditambahkan secara bertetes-tetes 20 mL larutan NaOH 10%.
Kemudian dilakukan penggojogan sampai NaOH habis, penggojokan dihentikan. Larutan
campuran kemudian dipisahkan dari lapisan air. Lapisan eter yang diperoleh disimpan. Lapisan
air yang telah dipisahkan dikembalikan kedalam corong pisah dan ditambahkan lagi 10 mL eter
dan 5 mL NaOH 10%. Dipisahkan lapisan airnya dan kembali diekstraksi dengan 5 mL eter.
Seluruh fraksi eter digabungkan dan dikeringkan dengan Natrium Sulfat Anhidrat. Larutan
didekantasi dan eter dievaporasi hingga habis. Hasilnya dianalisis dengan Kromatografi Gas.
2.4 Isolasi Sitral Dalam Minyak Kemangi Dengan Metode Distilasi Uap
Ke dalam labu alas bulat leher tiga 250 mL, dimasukan beberapa butir batu didih, dan sejumlah
volume tertentu dari minyak kemangi dan air dengan perbandingan 1:1 ; 1:3 ; 1:6 dengan
volume total tidak melebihi dua per tiga dari volume labu. Boiler yang telah diisi akuades
dinyalakan hingga mendidih dan uap panas dialirkan secara perlahan dan diatur melalui kran, ke
dalam labu leher tiga yang telah diisi campuran minyak kemangi dan air. Kuantitas uap yang
dialirkan diekuivalenkan dengan volume kondensat yang dihasilkan sehingga volume campuran
di dalam labu tidak berubah. Labu leher tiga juga dipanaskan hingga mendidih (titik didih
campuran dicatat) dan uap dialirkan melalui kondensor untuk kemudian ditampung dalam
penangas es. Temperatur labu dijaga agar konstan pada temperatur awal mendidih. Distilasi
dilakukan sampai tidak ada tetesan minyak lagi pada penampung yang dapat dideteksi. Distilat
kemudian diekstraksi dengan 50 mL eter dalam keadaan dingin menggunakan corong pisah,
sitral akan larut dalam lapisan eter atas. Lapisan air diekstrak dua kali dengan 2 x 25 mL dietil
eter untuk mengambil semua sitral, kemudian ditambahkan natrium sulfat anhidrat untuk
menghilangkan sisa air. Selanjutnya pelarut diuapkan dan sitral bebas eter dianalisis dengan GC
setelah itu terlebih dahulu dihitung berat dan volumenya.
3. Analisis Kromatogram
Metode isolasi secara kimia maupun secara fisika masing-masing memiliki karakteristik
tersendiri. Hasil analisis kromatografi gas terhadap masing-masing metode isolasi sitral
kemudian dibandingkan dengan melihat kemunculan puncak sitral dan konsentrasinya. Puncak-
puncak senyawa selain sitral tidak dipertimbangkan kecuali bila terjadi keraguan pada hasil
kromatogram yang ditunjukkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Isolasi Minyak Kemangi dari Tanaman Kemangi
Penyulingan minyak kemangi (Ocimum citriodorum, L) dilakukan dengan cara distilasi uap.
Tanaman kemangi yang digunakan sebanyak 50 kg. Distilasi dilakukan sebanyak enam belas
kali dengan berat tanaman kemangi masing-masing tiga kilogram. Proses penyulingan
dilakukan selama 3 jam, untuk memperoleh minyak kemangi secara optimal. Distilat minyak
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
5
yang dihasilkan dipisahkan dari air kemudian ditambahkan Natrium Sulfat anhidrat untuk
mengikat air yang masih tersisa. Berat minyak hasil distilasi masing-masing tidak sama, hal ini
dipengaruhi oleh lamanya waktu penyulingan dan dapat juga dipengaruhi oleh tekanan api yang
besar yang akan menyebakan penyulingan yang lebih cepat dan efisien. Minyak kemangi yang
dihasilkan berupa cairan yang berwarna kuning bening dengan berat hasil minyak adalah 93
gram, dan rendemen yang diperoleh sebesar 0,2 %. Selanjutnya dilakukan pengujian sifat-sifat
fisik dan kimia terhadap minyak kemangi dan diperoleh sifat-sifat fisik dan kimia dari minyak
kemangi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia Minyak Kemangi
Karakteristik Nilai
Bobot Jenis 29 0C 0,9300
Putaran Optik -7 0 – 9 0
Indeks Bias pada 25 0C 1,482
2. Analisis Kandungan Sitral pada Minyak Kemangi
Minyak kemangi hasil penyulingan kemudian dianalisis menggunakan GC-MS dan juga
dilakukan analisis sitral standar menggunakan GC sebagai pembanding. Hasil analisis GC untuk
minyak kemangi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kromatogram GC standar sitral (atas) dan minyak kemangi (bawah)
Dari kromatogram Gambar 1, kandungan sitral yang terdapat dalam sitral standar sebesar 98%
dengan konsentrasi cis-sitral sebesar 45,48% dengan waktu retensi (tR) 9,188 menit dan
konsentrasi trans-sitral sebesar 52,52% dengan waktu retensi (tR) 9,619 menit. Kromatogram
minyak kemangi menunjukkan adanya dua puluh puncak dengan konsentrasi tertinggi sitral
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
6
sebesar 33,82% yang terdiri dari cis-sitral sebesar 14,86% dengan waktu retensi (tR) 9,161
menit dan trans-sitral sebesar 18,96% dengan waktu retensi (tR) 9,589 menit.
3. Isolasi Sitral dari Minyak Kemangi Menggunakan Metode Ekstraksi Bisulfit
Pada penelitian ini, isolasi sitral dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi
bisulfit[8] dengan perbandingan Sitral (0,06 mol): NaHSO3 (0,24 mol): NaHCO3 (0,18 mol):
Akuades (3,3 mol). Isolasi sitral ini dilakukan secara kimia dengan mereaksikannya dengan
larutan jenuh natrium bisulfit (NaHSO3). Cara kimia ini cukup selektif dan produk sitral yang
dihasilkan lebih murni bila dibandingkan dengan cara distilasi fraksinasi (Sastrohamidjojo,
2004).
Minyak kemangi tidak larut dalam air, termasuk sitral yang terkandung di dalamnya.
Bila larutan jenuh NaHSO3 dituangkan ke dalam minyak kemangi dan diekstraksi selama lima
sampai enam jam, dan yang bereaksi hanya sitral, karena sitral mengandung gugus karbonil,
>C=O. Reaksi antara sitral dengan NaHSO3 merupakan reaksi adisi dan terbentuk endapan
berwarna putih. Hasil adisi ini berwujud garam yang larut dalam air. Senyawa tambahan yang
terbentuk ketika molekul NaHCO3 berkombinasi dengan gugus karbonil dari sitral, yang mana
sitral dapat dimurnikan dengan NaHCO3.
Secara mekanisme, untuk memperoleh produk samping (garam) yang larut dalam air
maka sistem larutan diarahkan agar ion sulfonat radikal melekat pada ikatan rangkap
terkonjugasi dengan gugus karbonil. Namun, jika ion sulfonat radikal melekat pada posisi
senyawa yang stabil maka sitral tidak dapat dimurnikan. Hasil kristal atau garam yang larut
dalam air dipisahkan dan dimurnikan dengan eter. Terjadi transfer proton dari NaOH untuk
menetralkan sitral dan untuk mendapatkan Na2SO3.Dari penelitian ini diperoleh kadar sitral
terisolasi sebesar 58,57 % dengan komposisi cis-sitral sebesar 26,48 % dan trans-sitral sebesar
32,09 %. Mekanisme reaksi ekstraksi bisulfit terhadap sitral adalah sebagai berikut[7] :
C
O
H
S
O
O HONa+
CH
ONa
S
O
O
OH
CH
O
S
O
O
ONa
H
C
O
H
+ S
O
ONaNaO
OH
NaOH
Sitral
Sitral Natrium sulfit
Natrium Bisulfit
Proton transfer
Gambar 2. Mekanisme reaksi snyawa sitral dengan NaHSO3
4. Isolasi Sitral Dalam Minyak Kemangi Dengan Metode Distilasi Uap
Distilasi uap adalah tipe khusus dari destilasi atau proses pemisahan untuk bahan
sensitif seperti minyak, resin, hidrokarbon, dan lain-lain, yang tidak larut dalam air dan dapat
terurai pada titik didihnya. Sifat dasar distilasi uap adalah bahwa hal itu memungkinkan suatu
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
7
senyawa atau campuran senyawa yang disulung pada suhu jauh dibawah bahwa dari titik dari
masing-masing penyusun.
Minyak atsiri mengandung zat dengan titik didih sampai 200oC atau suhu yang lebih
tinggi. Dengan adanya uap atau air mendidih, zat ini dapat tervolatilkan pada suhu mendekati
100 0C pada tekanan atmosfer. Distilasi uap ulang atau redistilasi digunakan untuk memisahkan
campuran senyawa-senyawa yang memiliki titik didih mencapai 200 0C atau lebih. Distilasi uap
dapat menguapkan senyawa-senyawa ini dengan suhu mendekati 100 0C dalam tekanan
atmosfer dengan menggunakan uap atau air mendidih. Distilasi uap berfungsi untuk
memurnikan zat atau senyawa cair yang tidak larut dalam air, dan titik didihnya cukup tinggi,
serta tidak mengalami reaksi pengubahan.
Pada penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh sitral dengan kemurnian
yang lebih baik. Dengan adanya uap air yang masuk, maka tekanan kesetimbangan uap zat
kandungan akan diturunkan menjadi sama dengan tekanan bagian didalam suatu sistem,
sehingga sitral akan terdistilasi dan terbawa oleh uap air yang mengalir. Pada metode distilasi
uap atau redistilasi, minyak yang dihasilkan lebih jernih. Hasil penyulingan ulang terhadap
minyak atsiri dengan metode distilasi uap, ternyata dapat meningkatkan nilai transmisi
(kejernihan) dan kemurnian untuk sitral yang dihasilkan. Dari hasil distilasi uap dianalisis
dengan menggunakan GC untuk mengetahui kandungan sitral pada perbandingan minyak
kemangi : air = 1:1 ; 1:3 dan 1:6. Hasil analisis GC dari metode distilasi uap untuk
perbandingan 1:1 dapat ditunjukan pada Gambar 2.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
8
Gambar 3. Kromatogram hasil distilasi uap 1:1 (atas); 1:3 (tengah) dan 1:6 (bawah)
Gambar 3 menunjukkan kromatogram hasil distilasi uap 1:1 menunjukkan kandungan
sitral dengan konsentrasi tertinggi pada puncak enam dan delapan. Kandungan sitral hasil
distilasi uap 1:1 sebesar 56,65 % dengan konsentrasi cis-sitral sebesar 24,87 % dengan waktu
retensi (tR) 9,173 menit dan konsentrasi trans-sitral sebesar 31,78 % dengan waktu retensi (tR)
9,604 menit. Kromatogram hasil distilasi uap 1:3 menunjukkan kandungan sitral sebesar 56,64
% dengan konsentrasi cis-sitral sebesar 24,96 % dengan waktu retensi (tR) 9,171 menit dan
konsentrasi trans-sitral sebesar 31,68 dengan waktu retensi (tR) 9,600 menit. Sedangkan
kromatogram hasil distilasi uap 1:6 menunjukkan kandungan sitral sebesar 58,03% dengan
konsentrasi cis-sitral sebesar 24,47% dengan waktu retensi (tR) 9,171 menit dan konsentrasi
trans-sitral sebesar 33,56 % dengan waktu retensi (tR) 9,603 menit.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
9
Tabel 2. Perbandingan hasil isolasi sitral dan rendemennya secara kualitatif berdasarkan
kromatogram
Perbandingan Minyak
Kemangi
awal
Ekstraksi
Bisulfit
Ditilasi
Uap
1:1
Distilasi Uap 1:3 Distilasi
Uap 1:6
Kandungan
Sitral (%)
33,82 58,57 56,65 56,64 58,03
Rendemen
(%)
0,2 40 52 46 22
Tabel 3. Perbandingan hasil isolasi sitral dan rendemennya secara kuantatif berdasarkan
luas puncak senyawa sitral
Kondisi Luas puncak
% cis Luas puncak
% trans Cis-sitral Trans-sitral
M 10502642
13406902
EB 22754581 116,66↑ 27580368 105,72↑
DU 11 10706482 1,94↑ 13683621 2,06↑
DU 13 9388699 -10,61↓ 11915636 -11,12↓
DU 16 9614586 -8,46↓ 13185153 -1,65↓
Keterangan :
M= minyak kemangi sebelum isolasi; EB= metode ekstraksi bisulfit; DU 11= metode
distilasi uap perbandingan 1:1; DU 13= metode distilasi uap perbandingan 1:3; DU 16= metode
distilasi uap perbandingan 1:6; ↑= terjadi kenaikan; ↓= terjadi penurunan.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa isolasi sitral dengan perbandingan metode ekstraksi
bisulfit dan metode distilasi uap didapatkan perbedaan kandungan sitral yang diperoleh dari
masing-masing metode isolasi tersebut baik dari sisi kemurnian maupun rendemen. Metode
isolasi sitral menggunakan ekstraksi bisulfit menghasilkan kandungan sitral yang paling banyak
dibandingkan dengan metode distilasi uap. Hal ini disebabkan karena cara kimia ini cukup
selektif dan produk sitral yang dihasilkan lebih murni bila dibandingkan dengan cara distilasi
uap.
Sedangkan untuk metode isolasi sitral menggunakan metode distilasi uap menghasilkan
kandungan sitral yang berbeda-beda secara kualitatif dari tiga variasi, yaitu pada perbandingan
1:1 menghasilkan kandungan sitral sebesar 56,5%, untuk perbandingan 1:3 menghasilkan
kandungan sitral sebesar 56,64% sedangkan untuk perbandingan 1:6 menghasilkan kandungan
sitral sebesar 58,03%. Dari ketiga variasi tersebut pada perbandingan 1:6 didapatkan kandungan
sitral yang optimal. Hal ini dikarenakan semakin banyak perbandingan minyak kemangi dan air,
maka akan lebih murni kandungan sitral yang dihasilkan. Tetapi dari ketiga variasi dari metode
distilasi uap kandungan sitral yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan metode
ekstraksi bisulfit hanya pada perbandingan 1:6 hampir mendekati kandungan sitralnya. Hal ini
dikarenakan masih banyak senyawa-senyawa yang belum bisa terisolasi dengan menggunakan
metode distilasi uap, dan juga dikarenakan masih banyak pengotor dan senyawa-senyawa lain
yang masih ada di dalam minyak sehingga isolasi sitral menggunakan metode distilasi uap
kurang selektif dan kurang murni dibandingkan dengan metode ekstraksi bisulfit. Namun secara
umum kedua metode dapat meningkatkan komposisi sitral dari minyak atsiri kemangi (3,82 %)
menjadi 56,64 – 58,57 % dengan variasi rendemen yang berkisar 22 – 56 %.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
10
Tabel 3 menunjukkan perhitungan secara kuantitatif terhadap perubahan jumlah cis-
sitral dan trans-sitral yang dapat dimurnikan dengan mempertimbangkan konsentrasi awal sitral
sebelum diisolasi dengan kedua metode tersebut. Meskipun secara umum dari peak report
kromatogram menunjukkan selisih konsentrasi total sitral yang relatif kecil namun secara
spesifik terdapat perbedaan yang signifikan apabila diperhitungkan konsentrasi awal sitral
ditinjau dari luas puncak yang ditunjukkan oleh peak report kromatogram dari masing-masing
isomer sitral.
Dengan metode ekstraksi bisulfit diperoleh kenaikan jumlah cis-sitral sebesar 116,66 %
dan trans-sitral sebesar 105,72 %. Metode DU 11 diperoleh kenaikan jumlah cis-sitral sebesar
1,94 % dan trans-sitral sebesar 2,06 %. Sementara dengan metode DU 13 dan DU 16,
konsentrasi sitral mengalami penurunan, di mana jumlah cis-sitral menurun sebesar 10,61 % dan
8,46 %; trans-sitral menurun sebesar 11,12 % dan 1,65 %. Dari perhitungan tersebut
menguatkan kesimpulan bahwa metode ekstraksi bisulfit merupakan metode yang efektif dalam
isolasi sitral dari minyak kemangi.
.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Minyak kemangi (Ocimum citriodorum, L) diperoleh dengan cara penyulingan uap
dengan rendemen sebesar 0,2 %, berbentuk cair dan berwarna kuning jernih serta
berbau khas minyak kemangi serta kandungan sitral sebesar 33,82 %.
b. Metode isolasi sitral dengan metode ekstraksi bisulfit diperoleh kandungan sitral
sebesar 58,57 %.
c. Isolasi sitral dengan metode distilasi uap dengan perbandingan minyak kemangi : air =
1:1 diperoleh kadar sitral sebesar 56,65 %; untuk perbandingan 1:3 diperoleh kadar
sitral sebesar 56,64 %, dan untuk perbandingan 1:6 diperoleh kadar sitral sebesar
58,03 %.
d. Metode ekstraksi bisulfit merupakan metode yang lebih efektif dalam isolasi sitral dari
minyak kemangi dibandingkan metode distilasi uap.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimaksih kami sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Islam Indonesia Jogjakarta yang telah mendanai penelitian ini melalui skema
Penelitian Dasar.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Rubiyanto, D, dan Istiqomah N., 2006, Profil Kromatografi dan Spektra Inframerah dari
Minyak Daun Selasih Tipe Ocimum Basilicum “Lime“ dan Ocimum Basilicum ”Canum
Sims”, Jurnal EKSAKTA, Yogyakarta.
[2] Sastrohamidjojo, H., 2004, Minyak Atsiri, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
[3] Gunawan, R, 2009, Development of Essential Oil Derivatives in Indonesia, International
Seminar on Essential Oils (ISEO) II, tanggal 26-28 Oktober 2009, Bogor.
[4] Gunawan, W, 2009, Kualitas dan Nilai Minyak Atsiri, Implikasi pada Pengembangan
Turunannya, Seminar Nasional : Kimia Bervisi SETS (Science, Environment, Technogy,
Society) Kontribusi bagi Kemajuan Pendidikan dan Industri, diselenggarakan Himpunan
Kimia Indonesia Jawa Tengah, Tanggal 21 Maret 2009, Semarang.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
11
[5] Torres, R.C., 1993, Citral From Cymbopogon Citratus (D C) Stafpf (Lemongrass) Oil,
Philippine Journal of Science, 269-276.
[6] Trasarti, A. F., Marchi, A.J. and Apesteguia, C.R., 2004, Highly Selective Syntheses of
Menthols From Citral in A One – Step One Process, Journal of Catalysis, 224,484-488,
Elsevier Inc.
[7] Dodge, A., 1940, Perfumer 32, No. 3, 67. Chem. J Abstract,30, 3403.
[8] Russell, A. and Kenyon, R. L., 1955, Pseudoionones, Organic Syntheses, Coll. Vol. 3, p.747
(1995) : Vol. 23, P.78 (1943), Organic Syntheses, Inc.
[9] Armarego, W.L.F., and Perrin, D.D, 2000, Purification of Laboratory Chemicals, 4th
edition, Butter worth-Heinemann Publisher, Oxford.
[10] Rubiyanto, D, 2008, The Essential Oil of “Daun Kemangi” (Ocimum Citriodorum Sp.)
and Preliminary Study of Its Impacton The Grasshopper Feeding, Malaysian International
Conference on Essential Oil, Flavor and Fragrance Materials V(MICEOFF5), 28-30
Oktober 2008, Institut Kimia Malaysia, KL.
[11] Rubiyanto, D., Anwar, C. dan Sastrohamidjojo, H., 2015, Complete Chemo Type of Three
Species of Basils (Ocimum basilicum) Grown in Indonesia, Journal of Essential Oil
Bearing Plants (TEOP), 18 (4) 2015 pp 982 – 991, T&F Publisher.
IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5
12
Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012
Kajian Ekstraski Minyak Atsiri Bunga Melati (Jasminum
sambac) dengan Metode Enfreurasi
Sarifah Nurjanah*1, Isti Sulistiani2, Asri Widyasanti3, Sudaryanto Zain4
Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia
e-mail: *[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Bunga melati merupakan bunga yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber wewangian
sehingga berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku minyak atsiri. Penelitian ini bertujuan
mengkaji ekstraksi minyak bunga melati menggunakan metode enfluerasi. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap (lima kali
ulangan). Perbandingan penggunakan shortening dan butter adalah 100% shortening,
30%:70%, 50%:50%, 70%:30% dan 100% butter. Hasil penelitian menunjukkan rendemen
terendah didapatkan dari ekstraksi menggunakan 100% butter dan rendemen tertinggi dengan
100% shortening. Ekstraksi dengan shortening 100% menghasilkan minyak dengan aroma
paling wangi. Nilai parameter h (hue) untuk pengujian warna menunjukkan bahwa semua
perlakuan mempunyai nilai h lebih dari 90o. Bobot jenis tertinggi adalah minyak yang
diekstrak dengan 100% butter. Indeks bias minyak berkisar antara 1,447-1,458. Bilangan
asam minyak tertinggi terdapat pada minyak yang diekstrak dengan 100% butter dan terendah
terdapat pada minyak yang diekstrak dengan 100% shortening. Bilangan ester terendah
terdapat pada minyak yang diekstrak dengan 100% butter dan tertinggi terdapat pada minyak
yang diekstrak dengan 100% shortening. Semua minyak larut dalam alkohol dengan
perbandingan antara minyak dengan alkohol 95% adalah 1:1. Kadar sisa pelarut minyak
berkisar antara 2,18-4,58%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa absorben shortening
menghasilkan minyak melati yang lebih baik dibandingkan minyak yang diekstrak dengan
absorben butter.
Kata kunci : enfleurasi, minyak bunga melati, shortening, butter.
Abstract Jasmine flowers contained aromatic compound that is potentially extracted to produce
essential oil. The research aimed to study the enfluerage process in jasmine oil extraction using
two adsorben (shortening and butter). Methodology of the research was laboratory experiment
with fully randomized design in 5 replications, the treatments were composition of shortening
and butter (100% of shortening, 30% : 50% of shortening : butter, 50% : 50% of shortening :
butter, 70% : 30% of shortening : butter dan 100 % of butter). The study showed that
extraction using 100% butter produced lowest yield, while highest yield was produced from the
extraction using 100% shortening. Extraction using 100% shortening produced best fragrance
using organoleptic assessment, highest ester number, and lowest acid number. Hue number for
jasmine oils were 90o, the refractive index were 1.447 – 1.458, solubility in alcohol 96% of 1:1
and residual solvent of 2.18 – 4.58%. It can be concluded that enfluerage using shortening as
its adsorben produced jasmine oils with better quality that butter.
Keyword : enfleurage, jasmine oil, shortening, butter.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
13
1. PENDAHULUAN
Bunga melati merupakan salah satu jenis bunga yang cukup banyak ditanam di Indonesia.
Beberapa sentra budidaya bunga ini adalah di daerah Jawa Tengah yaitu Pemalang, Tegal dan
Purbalingga. Selama ini bunga melati banyak dimanfaatkan sebagai hiasan dan bunga tabur
pada saat upacara adat, sebagai pewangi teh dan sebagai bahan aromatherapy karena wanginya
yang khas dan dapat menenangkan pikiran. Untuk meningkatkan nilai tambah, bunga melati
dapat diekstrak minyak atsiri yang terkandung di dalamnya untuk menjadi bahan pewangi
parfum.
Ekstraksi minyak atsiri yang berasal dari bunga-bungaan dapat dilakukan dengan metode
maserasi, ekstraksi dengan pelarut dan dengan metode enfleurasi1. Dari ketiga metode tersebut
metode enfleurasi adalah yang terbaik jika dilihat dari mutu minyak yang dihasilkan2. Pada
metode ini digunakan lemak dingin sebagai adsorben komponen minyak atsiri bunga yang
menguap. Proses enfleurasi dilakukan di atas chasis yang terbuat dari kaca, dengan cara
mengoleskan adsorben di atas kaca dan menempatkan bunga di atas kaca tersebut. Minyak
atsiri yang telah terserap oleh adsorben tersebut kemudian dilarutkan dalam pelarut organik,
selanjutnya komponen minyak atsiri dipisahkan dari pelarut sehingga yang tertinggal adalah
ekstrak minyak atsiri bunga yang diinginkan.
Proses enfleurasi sangat dipengaruhi oleh jenis adsorben yang digunakan. Adsorben
yang digunakan adalah lemak yang pada suhu kamar berupa padatan yang berasal dari lemak
hewani atau lemak nabati. Komposisi penggunaan lemak terbaik adalah dengan mencampurkan
1 bagian lemak sapi dan 2 bagian lemak babi sebagai adsorben1. Sebagai negara yang mayoritas
penduduknya muslim maka perlu dihindari lemak yang berasal dari babi agar produk yang
dihasilkan halal untuk digunakan. Untuk itu diperlukan penelitian untuk mendapatkan jenis
lemak sebagai adsorben yang dapat menghasilkan minyak dengan rendemen tinggi dan mutu
yang paling baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari perbandingan shortening (lemak nabati) dan butter
(lemak hewani) sebagai adsorben dalam ekstraksi minyak bunga melati dengan metode
enfleurasi untuk mendapatkan minyak bunga dengan rendemen tinggi dan mutu yang terbaik.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunga melati putih (Jasminum
sambac) yang dipetik M-1 (sehari sebelum mekar) yang diperoleh dari petani bunga melati di
Desa Kaliprau, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Adsorben yang digunakan adalah
shortening dan butter. Bahan kimia yang digunakan adalah ethanol 95%, kalium hidroksida
(KOH), felophtalin (pp) dan asam klorida (HCl). Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah
chasis kaca, beaker glass, buret, freezer, refractometer, black box CIE Lab, dan rotary vacuum
evaporator.
2. 2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dengan rancangan acak
lengkap. Adapun perbandingan penggunaan shortening dan butter adalah : 100% shortening,
70% shortening dan 30% butter, 50% shortening dan 50% butter, 30% shortening dan 70%
butter, dan 100% butter. Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali ulangan. Parameter yang
dikaji adalah rendemen, warna, bobot jenis, bilangan asam, bilangan ester, kelarutan dalam
alkohol, sisa pelarut dan komponen pada minyak bunga melati.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
14
Ekstraksi minyak atsiri bunga melati dilakukan dalam beberapa tahap yaitu sortasi
bunga, pengolesan adsorben pada chasis, meletakkan bunga di atas chasis, mengganti bunga
setiap hari sampai enam kali, pengambilan pomade (adsorben yang telah menyerap minyak
bunga), pencampuran dengan pelarut (alkohol), pemisahan lemak, dan pemisahan pelarut
dengan minyak bunga melati. Sortasi bunga dilakukan untuk memisahkan bunga M-1 dengan
bunga yang bukan M-1 yang terikut, daun dan ranting yang kemungkinan masih ada. Adsorben
sesuai dengan perbandingan antara shortening dan butter diratakan di atas chasis kaca dan
digores untuk memperluas kontak adsorben dengan bunga. Bunga diletakkan di atas adsorben
dengan posisi tertelungkup dan diganti setiap pagi hari dengan bunga yang baru sampai enam
kali penggantian. Pomade (adsorben yang telah bercampur dengan minyak melati) diambil dan
dilarutkan dengan pelarut alkohol. Untuk memisahkan lemak dengan pelarut dilakukan
pengendapan pada suhu 5oC kemudian dilakukan penyaringan, hasil yang didapat adalah cairan
pelarut dengan minyak bunga melati yang disebut ekstrait. Ekstrait selanjutnya dievaporasi
untuk memisahkan pelarut etanol dengan minyak bunga melati (absolut).
Analisis bobot jenis, bilangan asam, bilangan ester, kelarutan dalam alkohol dan sisa
pelarut dilakukan menggunakan metode sesuai dengan SNI 06-2385-2006. Rendemen
merupakan perbandingan antara produk yang dihasilkan (absolut) dengan bunga melati segar
yang digunakan. Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan CIE Lab untuk melihat
derajat h (Hue). Komponen minyak bunga melati dikaji dengan menggunakan GCMS (Gas
Chromatography Mass Spectroscopy) Shimadzu QP 2010 Ultra dengan kolom ZB-5MS fused
silica capillary column. Komponen diidentifikasi menggunakan data The National Institute of
Standards and Technology (NIST 3.0) dan WILEY 275 libraries yang tersedia pada sistem
GCMS tersebut.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3. 1. Rendemen Minyak Melati
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen minyak yang dihasilkan bernilai antara
0,20 – 0,47% (Tabel 1). Nilai ini merupakan perbandingan absolut dengan bunga melati segar
sesudah sortasi. Nilai rendemen ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Sani dkk3 yang
mengekstrak minyak melati menggunakan metode enfleurasi dimana diperoleh rendemen
tertinggi adalah 0,416%. Rendemen tertinggi pada penelitian ini dihasilkan dari ekstraksi
dengan menggunakan shortening 100% sedangkan nilai rendemen terendah dihasilkan dari
ekstraksi dengan butter 100%. Adanya perbedaan nilai rendemen ini diduga karena perbedaan
konsistensi jenis absorben tersebut. Konsitensi mentega ditentukan oleh globula lemak
penyusunnya, semakin besar ukuran globula maka mentega akan semakin lunak dan
kebalikannya4. Absorben dengan konsistensi lunak dapat mempersulit proses enfluerasi5. Hal
ini terbukti pada saat proses defluerasi (pemisahan bunga dari absorben). Proses defluerasi
bahan pada ekstraksi yang menggunakan butter yang mempunyai konsistensi yang lebih lunak
dari shortening menjadi lebih sulit sehingga banyak absorben yang masih menempel pada
bunga. Hal ini menyebabkan minyak atsiri yang telah terserap pada absorben tersebut terbuang
dan tidak ikut terekstrak pada proses berikutnya sehingga rendemennya lebih rendah.
Tabel 1. Rendemen minyak melati pada beberapa imbangan abdorben
Perlakuan Bunga
Melati (g)
Minyak
Atsiri (g)
Rendemen
(%)
Standar
Deviasi
Hasil Uji lanjut
(Turkey 5%)
(A) 100% S* 1500,7 7,01 0,47 0,066 0,47 a
(B) 30% S : 70% B 1500,6 3,80 0,25 0,043 0,25 b
(C) 50% S : 50% B 1500,6 4,94 0,33 0,025 0,33 b
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
15
Perlakuan Bunga
Melati (g)
Minyak
Atsiri (g)
Rendemen
(%)
Standar
Deviasi
Hasil Uji lanjut
(Turkey 5%)
(D) 70% S : 30% B 1500,5 5,34 0,36 0,050 0,36 ab
(E) 100 % B** 1500,6 2,95 0,20 0,015 0,20 b
*Shortening
**Butter
3. 2. Warna Minyak Melati
Pengukuran warna dilakukan untuk mendapatkan parameter nilai L* (lightness), a*
(merah dan hijau), b* (kuning dan biru) dan nilai kroma C serta derajat h (Hue). Nilai L* yang
positif menunjukkan bahwa semua sampel minyak melati yang dihasilkan berpenampakan
cerah. Hal ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi yang dilakukan tidak menurunkan mutu
minyak yang dihasilkan sehingga warna minyak cerah. Diantara proses yang dapat
menurunkan mutunya adalah proses evaporasi yang menggunakan suhu tinggi. Jika suhu
evaporasi terlalu tinggi akan dapat merubah warna minyak akibat dari perubahan komponen
yang dapat mengakibatkan warna gelap. Nilai a* negatif menunjukkan semua sampel berwarna
cenderung ke hijau bukan ke merah, sedangkan nilai positif pada parameter b* menunjukkan
semua sampel berwarna kekuningan. Derajat h yang dihitung dari nilai ketiga nilai tersebut dan
menggambarkan jenis warna minyak melati menunjukkan bahwa jenis warnanya adalah warna
kuning dimana derajat hue nya berkisar antara 95,48o – 98,37o. Derajat hue 90o – 126o
dikelompokkan dalam bahan berwarna kuning6. Nilai parameter L*, a*, b* dan derajat hue
disajikan pada Tabel 2. Pengujian Anova tidak menunjukkan berbedaan nyata diantara
perlakuan yang diberikan.
Tabel 2. Parameter warna minyak melati pada beberapa imbangan absorben
Perlakuan
L*
a*
b* Derajat
h (hue)
Standar
Deviasi h
(A) 100% S* 95,19 -1,97 20,04 95,48 3,71
(B) 30% S : 70% B 96,75 -4,22 28,25 97,91 0,40
(C) 50% S : 50% B 94,59 -4,15 28,30 98,37 3,12
(D) 70% S : 30% B 96,56 -4,02 31,11 97,37 1,16
(E) 100% B** 96,13 -3,92 30,40 97,37 1,66
*Shortening
**Butter
3. 3. Bobot Jenis Minyak Melati
Bobot jenis bahan menunjukkan perbandingan antara bobot minyak dengan bobot air
pada suhu dan volume yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai bobot jenis
sampel minyak melati berkisar antara 0,9381 g/ml– 0,9467 (Tabel 3). Pengujian Anova tidak
menunjukkan berbedaan nyata diantara perlakuan yang diberikan. Hasil penelitian Sani dkk3
menunjukkan bahwa bobot jenis minyak melati yang diperoleh berkisar antara 0,943 – 0,967
g/ml. Jika dibandingkan dengan hasil tersebut maka nilai bobot jenis minyak melati yang
dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda. Bobot jenis dapat menunjukkan komponen
yang terkandung di dalam bahan serta dapat pula menunjukkan kemurnian minyak. Semakin
besar fraksi dengan bobot molekul tinggi maka semakin tinggi pula nilai bobot jenis. Adanya
kotoran atau bahan lain yang tidak diinginkan juga dapat meningkatkan nilai bobot jenis
minyak.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
16
Tabel 3. Bobot jenis minyak melati pada beberapa imbangan absorben
Perlakuan Bobot Jenis
(g/ml)
Standar
Deviasi
(A) 100% S* 0,9409 0,0082
(B) 30% S : 70% B 0,9403 0,0023
(C) 50% S : 50% B 0,9392 0,0073
(D) 70% S : 30% B 0,9381 0,0046
(E) 100 % B** 0,9467 0,0084
*Shortening
**Butter
3. 4. Indeks Bias Minyak Melati
Indeks bias merupakan perbandingan kecepatan cahaya pada ruang hampa udara dengan
kecepatan cahaya pada bahan. Hasil penelitian menunjukkan nilai indeks bias sampel minyak
melati berkisar antara 1,447 – 1,458. Nilai indeks bias dari lima kali ulangan pengukuran untuk
semua sampel disajikan pada Tabel 4. Uji Anova tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
nyata diantara semua sampel. Nilai indeks bias hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
hasil penelitian Sani dkk3 yang menguji nilai indeks bias minyak melati hasil enfleurasi sebesar
1,480-1,499. Jika dibandingkan dengan nilai indeks bias air (1,333) maka nilai indeks bias
minyak melati lebih besar. Besarnya indeks bias suatu bahan dapat menunjukkan panjang
pendeknya rantai karbon bahan. Semakin panjang rantai karbon dapat meningkatkan kerapatan
bahan. Tingginya kerapatan pada minyak dapat menyulitkan proses pembiasan sinar datang
sehingga nilai indeks biasnya meningkat.
Tabel 4. Indeks bias minyak melati pada beberapa imbangan absorben
Perlakuan Indeks
Bias
Standar
Deviasi
(A) 100% S* 1,451 0,0060
(B) 30% S : 70% B 1,458 0,0023
(C) 50% S : 50% B 1,453 0,0036
(D) 70% S : 30% B 1,447 0,0005
(E) 100% B** 1,457 0,0001
*Shortening
**Butter
3. 5. Bilangan Asam Minyak Melati
Bilangan asam menunjukkan jumlah milligram KOH yang digunakan untuk
menetralkan asam lemak bebas pada satu gram minyak. Bilangan asam sampel minyak yang
dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 18,83 – 29,85 mg KOH/ g sampel (Tabel 5). Hasil
pengujian Anova menunjukkan bahwa perlakuan memberikan perbedaan nyata pada nilai
bilangan asam. Minyak melati yang diekstrak dengan absorben shortening 100% mempunyai
bilangan asam terendah, sedangkan minyak melati yang diekstrak dengan absorben butter 100%
mempunyai bilangan asam tertinggi. Hal ini diduga disebabkan karena butter mengandung FFA
(Free Fatty Acid/ Asam Lemak Bebas) lebih banyak yang turut terekstrak oleh etanol sebagai
pelarut dan tidak menguap selama proses evaporasi7. Kandungan FFA pada shortening adalah
0,13% sedangkan kandungan FFA pada butter sebesar 0,14%8. Kandungan FFA akan
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
17
meningkat seiring dengan lamanya waktu enfleurasi. Selama proses enfleurasi berlangsung
absorben akan didiamkan selama enam hari (enam kali penggantian bunga). Lemak absorben
yang dibiarkan pada udara terbuka pada suhu ruang dapat menyebabkan kerusakan lemak
dengan adanya proses oksidasi dan hidrolisis yang akan menghasilkan FFA4.
Tabel 5. Bilangan asam minyak melati pada beberapa imbangan absorben
Perlakuan
Bilangan Asam
(mg KOH/g)
Standar
Deviasi
Uji Turkey
(5%)
(A) 100% S* 18,83 1,836 18,83 a
(B) 30% S : 70% B 26,33 0,7196 26,33 b
(C) 50% S : 50% B 25,86 0,7150 25,86 bc
(D) 70% S : 30% B 22,89 1,811 22,89 c
(E) 100% B** 29,85 0,7511 29,85 d
*Shortening
**Butter
3. 6. Bilangan Ester Minyak Melati
Bilangan ester merupakan jumlah milligram KOH yang digunakan untuk menyabunkan
ester yang terdapat pada satu gram sampel minyak. Hasil penelitian menunjukkan nilai bilangan
ester minyak berkisar antara 143,408 – 186,556 mg KOH/ g minyak (Tabel 6). Hasil uji Anova
menunjukkan bahwa perlakuan mempengaruhi nilai bilangan ester sampel. Bilangan ester
dapat menunjukkan mutu minyak atsiri karena semakin tinggi bilangan ester semakin banyak
komponen pembentuk aroma minyak. Senyawa ester merupakan senyawa golongan oxygenated
hydrocarbon yang merupakan senyawa penyebab bau wangi pada minyak atsiri5. Minyak yang
diekstrak dengan absorben 100% shortening mempunyai bilangan ester tertinggi sedangkan
minyak melati yang diekstrak dengan 100% butter mempunyai bilangan ester terendah. Hal ini
diduga karena shortening yang mempunyai konsistensi lebih keras dibandingkan butter dapat
lebih mengikat minyak melati sehingga nilai bilangan esternya lebih tinggi4,5.
Tabel 6. Bilangan ester minyak melati pada beberapa imbangan absorben
Perlakuan Bilangan Ester
(mg KOH/g)
Standar
Deviasi
Uji Turkey
(5%)
(A) 100% S* 186,556 47,301 186,5562 a
(B) 30% S : 70% B 146,147 29,242 146,1468 b
(C) 50% S : 50% B 155,433 78,678 155,4326 b
(D) 70% S : 30% B 172,4926 55,712 172,4926 c
(E) 100% B** 143,4081 21,664 143,4081 b
*Shortening
**Butter
3. 7. Kelarutan dalam Alkohol Minyak Melati
Kelarutan dalam alkohol menunjukkan perbandingan volume minyak atsiri dan alkohol
95% agar terlarur sempurna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua sampel larut dalam
alkohol 95% dengan perbandingan 1:1 (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan
penggunaan absorben tidak mempengaruhi nilai kelarutan minyak melati dalam alkohol.
Kelarutan dalam alkohol dapat menunjukkan komponen pembentuk minyak atsiri. Minyak
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
18
yang larut dalam alkohol adalah minyak yang banyak mengandung oxygenated hydrocarbon2
dan terpen alkohol. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya komponen ester yang merupakan
senyawa oxygenated hydrocarbon dan terpen alkohol yang terdapat pada minyak melati yang
dihasilkan (Tabel 9). Beberapa senyawa tersebut diantaranya adalah linalool (21,88%) dan
benzyl acetate (8,26%) yang merupakan senyawa paling banyak terdapat pada sampel minyak
melati.
Tabel 7. Kelarutan dalam alkohol minyak melati pada beberapa imbangan absorben
Perlakuan Kelarutan dalam
Alkohol
(A) 100% S* 1:1 (Larut)
(B) 30% S : 70% B 1:1 (Larut)
(C) 50% S : 50% B 1:1 (Larut)
(D) 70% S : 30% B 1:1 (Larut)
(E) 100 % B** 1:1 (Larut)
*Shortening
**Butter
3. 8. Kadar Sisa Pelarut
Nilai kadar sisa pelarut menunjukkan besarnya pelarut yang terikut pada sampel minyak
melati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sisa pelarut sampel minyak melati berkisar antara
2,18 – 4,58% (Tabel 8). Persentase sisa pelarut dalam sampel masih cukup tinggi dan belum
memenuhi standar sisa pelarut yang diijinkan untuk penggunaan farmasi dan bahan pangan.
Besarnya sisa pelarut yang diijinkan untuk penggunaan bahan pangan dan farmasi adalah
kurang dari 1%9. Kadar sisa pelarut tidak ditentukan oleh bahan baku ataupun bahan
pengekstrak tetapi ditentukan oleh proses evaporasi atau pemisahan sisa pelarut dan minyak
melati. Semakin lama proses evaporasi maka sisa pelarut akan semakin kecil akan tetapi hal ini
akan dapat menyebabkan evaporasi minyak melati yang akan dapat menurunkan rendemennya.
Tabel 8. Kadar sisa pelarut minyak melati pada beberapa imbangan absorben
Perlakuan Sisa Pelarut
(%)
Standar
Deviasi
(A) 100% S* 2,18 0,0503
(B) 30% S : 70% B 3,28 0,1457
(C) 50% S : 50% B 4,58 0,2684
(D) 70% S : 30% B 4,26 0,0838
(E) 100 % B** 2,42 0,1501
*Shortening
**Butter
3. 9. Komposisi Kimia Minyak Melati
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi dengan absorben shortening 100%
menghasilkan minyak dengan rendemen dan mutu terbaik (rendemen tertinggi, derajat h
terendah untuk warna, bilangan asam terendah, bilangan ester tertinggi dan sisa pelarut
terendah). Komposisi kimia minyak melati yang diekstrak dengan absorben shortening 100%
disajikan pada Tabel 9. Komponen tertinggi pada sampel yang dihasilkan adalah linalool
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
19
(21,88%), diikuti oleh benzyl acetate (8,26%) dan alpha farnesene (7,27%). Komponen kimia
yang terdapat pada sampel minyak melati yang dihasilkan sama dengan hasil penelitian Rao and
Rout10 yang menyatakan bahwa komponen linalool dan benzyl acetate merupakan komponen
utama pembentuk minyak melati, dimana jumlah dan jenis komponen tergantung pada lokasi
tanam.
Tabel 9. Komposisi kimia minyak melati
No Waktu
retensi Komponen
Persentase
(%)
1 4,414 Benzaldehyde 0,14
2 5,040 Hexen ol acetate 2,65
3 5,184 Hexen ol acetate 0,27
4 6,572 Linalool oxide 0,67
5 6,703 Methyl benzoate 0,33
6 6,813 Linalool 21,88
7 7,556 Benzeneacetonitrile 0,56
8 8,010 Benzyl acetate 8,26
9 8,046 Acetic acid, 2-ethylhexyl ester 0,87
10 8,348 Butanoic acid,4-hexen-1-yl ester 0,34
11 8,505 Butanoic acid, 2-hexenyl ester 0,13
12 8,626 Methyl salicylate 0,29
13 9,775 Acetic acid, phenethyl ester 0,47
14 10,585 Indole 2,94
15 10,655 2-Phenylnitroethane 0,31
16 11,457 Benzoic acid, 2-amino-, methyl ester 0,33
17 11,499 Triacetin 0,35
18 12,143 Cis 3 hexenyl lactate 0,14
19 13,984 Germacrene 0,06
20 14,333 alpha Farnesene 7,27
21 14,550 Germacrene 0,05
22 14,685 Cadina-1(10),4-diene 0,14
23 15,483 Benzoic acid cis-3-hexenyl ester 1,44
24 15,707 9-(Benzoyloxy)-9-borabicyclo[3.3.1]nonane 0,30
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan perbedaan lemak sebagai adsorben
dalam ekstraksi minyak melati secara enfleurasi memberikan pengaruh pada beberapa nilai
mutu. Penggunaan shortening (mentega putih) 100% dalam ekstraksi minyak melati
memberikan hasil dengan nilai mutu yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan
penambahan butter (mentega kuning) maupun butter 100%, dengan rendemen 0,47%, bilangan
asam 18,83 mg KOH/g, bilangan ester 186,55. mg KOH/ g. Komponen kimia utama yang
terdapat pada sampel minyak melati adalah linalool, benzyl acetate, dan alpha farnesene.
.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
20
DAFTAR PUSTAKA
[1] Guenther, E., 1987, Minyak Atsiri jilid I, Penerjemah Ketaren, S., Universitas Indonesia
Press, Jakarta
[2] Satuhu, S., 2004. Penanganan Segar dan Pembuatan Minyak Bunga Melati, Penebar
Swadaya, Depok [3] Sani, NS., Rachmawati, R., Mahfud, 2012. Pengambilan Minyak Atsiri dari Melati dengan
Metode Enfleurasi dan Ekstraksi Pelarut Menguap. Jurnal Teknik Pomits Vol 1 : 1, hal 1-4
[4] Ketaren, S., 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Universitas Indonesia
Press, Jakarta
[5] Ketaren, S., 1985, Pengantar Teknologi Minyak Atsiri, Balai Pustaka, Jakarta
[6] Hutching, JB., 1999, Food Color and Appearance, 2nd ed, Aspin Publ., Inc., Maryland
[7] Lubis, IH., 1999, Pengaruh Jenis Lemak dan Frekuensi Penggantian Bunga pada Proses
Enfleurasi terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Melati. Fakultas Teknologi Pertanian,
IPB
[8] Pujiono, 2000, Karakteristik Absorben sebagai Media pada ENfleurasi Bunga Sedap Malam
(Polianthes tuberose L.), Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
[9] Apriantono, A, 2001, Tinjaun Kritis Status Kehalalan Alkohol (Etanol), Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, www.://Indohalal.com/artikel.php?noid=79//
[10] Rao, YR, and Rout, PK, 2003. Geographical Location and Harvest Time Dependent
Variation in the Composition of Essential Oils of Jasminum sambac. (L). Aiton, Journal of
Essential Oil Research 15:6, page 398-401
pp. 1~5
SSN: 1978-1520 21
Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012
DIVERSIFIKASI PRODUK FARMASI DARI MINYAK
LAWANG DENGAN PENDEKATAN SINTESIS
KIMIA
Imanuel Berly D. Kapelle a,c*, Tun Tedja Irawadi b, Meika Syahbana Rusli a,
Djumali Mangunwidjaja a, Zainal Alim Mas’ud b
a Teknologi Industri Pertanian, FATETA, Institut Pertanian Bogor, Bogor b Kimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor, Bogor c KIMIA, FMIPA, Universitas Pattimura, Ambon
* Email : [email protected]
Abstrak
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan jenis–jenis tumbuhan penghasil
minyak atsiri namun penggunaannya tidak banyak digunakan untuk diolah menjadi produk jadi
seperti obat–obatan. Salah satu minyak atsiri yang sangat potensial dan diproduksi di wilayah
Indonesia Timur khususnya Maluku dan Papua adalah minyak lawang. Tujuan yang ingin
dicapai adalah membuat produk farmasi analog kurkumin dari minyak lawang dengan jalur
sintesis kimia. Terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan, mulai dari proses isolasi safrol
dari minyak lawang, proses isomerisasi safrol, proses oksidasi isosafrol dan tahapan proses
reaksi kondensasi. Safrol diisolasi dari minyak lawang menggunakan metode kimia (NaOH) dan
menghasilkan safrol 17,21%. Proses isomerisasi safrol menghasilkan isosafrol menggunakan
sistem bebas pelarut dengan katalis alkali KOH pada suhu 120oC selama 6 jam diperoleh
rendemen 77,56%. Piperonal diperoleh dari reaksi oksidasi isosafrol menggunakan oksidator
KMnO4 sebanyak 65,63%. Produk analog kurkumin simetris (1,5-bis-benzo[1,3]dioxol-5-yl-
penta-1,4-dien-3-one) yang diperoleh dari reaksi kondensasi antara piperonal dengan aseton.
Rendemen produk menggunakan metode gelombang mikro pada daya 140 watt selama 2 menit
adalah 53,3% (t.l=180 oC) dan metode konvensional selama 3 jam adalah 78,43% (t.l=191 oC).
Produk analog kurkumin tidak simetris (5-benzo[1,3]dioxol-5-yl-1-phenyl-penta-2,4-dien-1-
one) disintesis menggunakan dua tahapan reaksi kondensasi. Tahapan kondensasi yang pertama
antara piperonal dengan asetaldehid menggunakan katalis basa dan metanol selama 3 jam
diperoleh produk intermediate (3-benzo[1,3]dioxol-5-yl-propenal) 70,28%. Reaksi kondensasi
tahap kedua antara produk intermediate dengan asetofenon menggunakan metode gelombang
mikro pada daya 140 watt selama 2 menit diperoleh rendemen 82,82% (t.l = 104 oC) dan metode
konvensional selama 3 jam diperoleh 99,55% (t.l = 111 oC).
Kata kunci : Minyak lawang, safrol, sintesis, analog kurkumin
Abstract Indonesia is a country with these kinds of plant essential oil producer but its use was
not widely used for processed into finished products such as drugs. One of the essential oils are
highly potential and produced in the territory of Indonesia's Eastern Maluku and Papua in
particular is Mace oil. The goal to be achieved is to make pharmaceutical products of
Curcumin analogues with Mace oil chemical synthesis. There are several stages of the process,
starting from the process of insulating oil of safrol Mace, isomerization process of the oxidation
process, isosafrol oxidation process and the process of condensation reaction. Safrol isolated
from oil-chemical method using Mace (NaOH) and produce safrol 17, 21%. Isomerization
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
22
process safrol produces solvent-free system using isosafrol with alkali catalyst temperature is
120oC KOH on for 6 hours obtained 77,56% yield. Piperonal is obtained from the isosafrol
oxidation reaction using oxidizing KMnO4 65,63% as much. Analog products Curcumin
symmetrical (1.5-bis-benzo [1,3] dioxol-5-yl-penta-1.4-dien-3-one) obtained from the
condensation reaction between piperonal with acetone. The product yield using microwave
method on power 140 watt for 2 minutes is 53.3% (t. l = 180oC) and conventional methods for 3
hours is 78.43% (t. l = 191oC). Analog products not symmetrical Curcumin (5-benzo [1,3]
dioxol-5-yl-1-phenyl-penta-2.4-dien-1-one) are synthesized using two stages of condensation
reaction. The first stage of condensation between piperonal with asetaldehid using the alkaline
catalyst and methanol for 3 hours obtained intermediate products (3-benzo [1,3] dioxol-5-yl-
propenal) 70,28%. The second phase condensation reaction between intermediate products with
acetophenone using microwave method on power 140 watt for 2 minutes obtained 82.82% yield
(t. l = 104 ° c) and conventional methods for 3 hours obtained 99.55% (t. l = 111o C).
Keywords : Mace oil, safrol, analog synthesis, Curcumin
1. PENDAHULUAN (INTRODUCTION)
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan jenis–jenis tumbuhan penghasil
minyak atsiri namun penggunaannya tidak banyak digunakan untuk diolah menjadi produk jadi
seperti obat–obatan. Salah satu minyak atsiri yang sangat potensial dan diproduksi di wilayah
Indonesia timur khusunya Maluku dan Papua adalah minyak lawang. Tanaman pohon lawang
termasuk dalam famili lauraceae dan kelompok kayu manis dengan ciri-ciri daun berlendir,
kayu berwarna putih dan rapuh serta tumbuh liar di hutan. Minyak lawang diperoleh dari
destilasi kulit kayu tanaman lawang (Cinanomum cullilawan, Blume) dengan rendemen 1,49–
3,80% (Ketaren 1985).
Pada proses pemisahan minyak lawang menghasilkan dua produk yaitu eugenol (69,0%)
dan safrol (21,0%) (Sastrohamidjojo 2014). Eugenol dan safrol memiliki perbedaan struktur,
dimana safrol memiliki cincin epoksida yang sangat aktif sehingga dapat dijadikan sebagai
prekusor obat sintetik. Safrol merupakan senyawa utama minyak sasafras dan sering digunakan
sebagai prekusor obat sintesis MDMA (Stojanovska et al.2013) dan MDP2P (Cox et al.2006).
Penggunaan safrol saat ini sebagai zat aditif makanan telah dilarang karena dapat berinterkasi
dengan tubuh dan bersifat karsinogenik (Schaffer et al.2013), badan internasional untuk
penelitian kanker menggolongkan safrol pada kelompok 2B karsinogenik (Fan et al.2012).
Bahan alam yang memiliki gugus epoksida yang sama dengan safrol serta memiliki
aktifitas sebagai anti kanker adalah piperine (Soliman 2005). Piperine merupakan senyawa
alkaloid yang telah diuji aktifitas sebagai antitumor dengan metode in vivo dapat menghambat
56,8% (Bezerral et al.2006), efek antioksidan dan hepatoprotektif (Mehta et al.2012) serta dapat
meningkatkan bioavailabilitas (Jin et al.2013). Kereaktifan dari gugus epoksida yang dimiliki
oleh safrol dapat dimanfaatkan dengan cara dikonversi menjadi produk obat antikanker yaitu
senyawa turunan analog kurkumin.
Senyawa analog (homolog) kurkumin merupakan senyawa yang memiliki kemungkinan
sifat farmakologis yang sama atau bahkan lebih baik bila dibandingkan dengan senyawa induk
(Yang et al.2013) karena memiliki bioavailabilitas yang rendah (Reddy et al.2014). Kurkumin
dan analog kurkumin mempunyai aktifitas biologis sebagai antiinflamasi, antioksidan,
antitumor, dan anti kanker (pencernaan, payudara, ovarium, paru-paru, saraf) (Hahm et al.2004;
Anand et al.2008; Labbozzetta et al.2009; Shang et al.2010; Anand et al.2011).
Diversifikasi produk berbasis minyak lawang menjadi produk obat antikanker analog
kurkumin melalui beberapa tahapan proses antara lain isolasi safrol dari minyak lawang,
isomerisasi safrol, oksidasi dan kondensasi. Safrol dapat diisolasi dari minyak lawang dengan
menggunakan metode kimia dan fisik. Metode kimia dengan menggunakan NaOH (Kapelle et
al.2010) sedangkan metode fisik berdasarkan pada perbedaan titik didih komponen. Reaksi
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
23
isomerisasi safrol menggunakan katalis basa berlebih dengan suhu proses 120oC selama 6 jam
(Kapelle et al.2010) dengan reaksi tanpa pelarut atau dengan pelarut butanol (Heather et
al.2015). Proses oksidasi isosafrol menghasilkan piperonal merupakan reaksi oksidasi alkena,
dimana produk yang dihasilkan tergantung pada kondisi reaksi dan struktur alkena yang
digunakan. Reaksi oksidasi dilakukan dengan menggunakan KMnO4 sebagai pengoksidasi
dalam sistem dua fasa yaitu air dan fasa organik, maka untuk meningkatkan reaksi ditambahkan
katalis transfer fase (Sastrohamidjojo 2004).
Produk obat sintetik analog kurkumin yang akan dibuat memiliki perbedaan yaitu simetris dan
tidak simetris namun berasal dari bahan dasar piperonal hasil sintesis dari minyak lawang.
Reaksi sintesis analog kurkumin merupakan proses reaksi kondensasi antara dua senyawa
karbonil yang berbeda dan umumnya menggunakan dua kondisi reaksi yaitu kondisi asam dan
kondisi alkali (Yin et al.2013). Reaksi pada kondisi alkali sering digunakan karena dapat
memberikan hasil yang lebih baik (Chen et al.2011). Proses reaksi kondensasi dapat dipercepat
dengan menggunakan radiasi microwave pada 160W selama 60-120s (Elavarasan et al.2013).
Tujuan yang ingin dicapai adalah membuat produk farmasi analog kurkumin dari minyak
lawang dengan jalur sintesis kimia.
2. METODE PENELITIAN (MATERIALS AND METHODS)
Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain: minyak lawang (hasil
destilasi uap kulit kayu tanaman lawang di Maluku), silica gel biru, kalium hidroksida, dietil
eter, petroleum eter, asam asetat glasial, asam sulfat, diklorometana, natrium hidroksida,
natrium sulfat anhidrat, asetaldehid, asetofenon, metanol, kalium permanganat yang semuanya
p.a (e.merck), polyoxyethylene sorbitan monooleate (Tween 80) (brataco), kertas saring
wathman 42, indikator universal, aquades.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pemanas listrik dilengkapi
pengaduk magnet, microwave oven LG 700 w, alat ukur titik leleh, (FTIR, IR Prestige-21,
Shimadzu), kromatografi gas spektrometri massa (GCMS, QP-2010 Plus, Shimadzu),
kormatografi gas (GC, Shimadzu 2010) dan alat-alat gelas, kromatografi cair spektrofotometer
massa (LC-ESI-MS, L6200, Hitachi), HPLC (Shimadzu) dan alat-alat gelas.
Isolasi safrol dari minyak lawang
Ke dalam erlenmeyer ukuran 1 L dimasukkan 614,76 g minyak lawang dan ditambahkan 240 g
NaOH dalam 1250 mL aquades. Campuran diaduk sampai terbentuk dua lapisan, dan kemudian
lapisan atas dipisahkan. Lapisan bawah diekstraksi dua kali dengan 100 mL petrolium eter dan
ditambahkan pada lapisan atas, selanjutnya dicuci dengan aquades hingga netral dan
dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat. Petrolium eter dipisahkan menggunakan evaporator dan
dilakukan destilasi dengan pengurangan tekanan. Kemurnian diuji dengan kromatografi gas dan
struktur ditentukan dengan 1H-NMR dan FTIR.
Isomerisasi safrol
Ke dalam labu leher tiga ukuran 500 mL yang telah dilengkapi dengan pengaduk magnet,
termometer, pendingin bola dan tabung yang berisi gel biru dimasukan 71,56 g (0,44 mol) safrol
dan 50 g (0,89 mol) KOH. Campuran direfluks pada suhu 120º C selama 6 jam, dan didinginkan
kemudian ditambahkan 250 mL aquades, kemudian diekstrak dengan dietil eter. Hasil
dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat dan dietil eter dipisahkan menggunakan evaporator dan
dilakukan destilasi dengan pengurangan tekanan. Kemurnian diuji dengan GC dan struktur
ditentukan dengan FTIR dan 1H-NMR.
Sintesis piperonal
Kedalam labu leher tiga 500 mL dimasukan 14,85g isosafrol (0,1 mol), 500 mL aquades, 10 mL
asam asetat glacial, 75 mL asam sulfat 50%, 500 mg tween 80 dan 500 mL diklorometan.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
24
Selanjutnya 48,95 g (0,31 mol) padatan KMnO4 ditambahkan sekitar 500 mg setiap menit, suhu
dipertahankan di bawah 30oC dengan menempatkan dalam penangas es. Setelah KMnO4
ditambahkan, labu dipanaskan perlahan-lahan pada suhu 40oC sampai warna ungu KMnO4
hilang (15 menit), kemudian larutan didinginkan selama beberapa menit dan terbentuk endapan
MnO2, saring endapan MnO2 menggunakan silica gel. Larutan hasil pemisahan kemudian
dituangkan kedalam corong pisah dan kedua lapisan dipisahkan. Lapisan air (lapisan atas)
diekstrak dengan diklorometan (2 x 30 mL). Semua lapisan organik digabung, kemudian dicuci
dengan 2 x 30 mL aquades. Lapisan organik dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat, disaring dan
dievaporasi dengan evaporator. Ke dalam residu hasil evaporasi ditambahkan larutan NaOH
20% dan campuran diaduk selama 30 menit. Selanjutnya campuran diekstrak dengan
diklorometan, dicuci dengan aquades, dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat dan dievaporasi
kembali. Rekristalisasi dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol, hasil yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan GCMS dan 1H-NMR.
Proses sintesis analog kurkumin simetris metode gelombang mikro
Metode gelombang mikro dengan cara mencampurkan 45 g (0,3 mol) piperonal, 8,93 g (0,15
mol) aseton dan 30 mL metanol. Campuran diaduk dan ditambahkan 15 mL NaOH 10%.
Campuran dimasukan ke dalam mikrowave pada tingkat daya 140 watt dengan waktu
pemanasan 2 menit. Hasil kemudian didinginkan, dicuci dengan metanol, disaring. dan
dianalisis.
Proses sintesis analog kurkumin simetris metode konvensional
Pemanasan secara konvensional dengan cara mencampurkan 45 g (0,3 mol) piperonal, 8,93 g
(0,15 mol) aseton dan 30 mL metanol. Campuran diaduk dan ditambahkan 15 mL NaOH 10%.
Campuran diaduk selama 3 jam, residu dicuci dengan metanol, disaring dan hasil yang
diperoleh dianalisis.
Pembuatan produk intermediate 3-benzo[1,3]dioxol-5-yl-propenal
Produk intermediate dilakukan dengan mencampurkan 16 g (0,4 mol) NaOH, 100 mL aquades
dan 150 mL metanol. Campuran diaduk, selanjutnya 8,8 g (0,2 mol) asetaldehid dituangkan
kedalam campuran. Sebanyak 30 g (0,2 mol) piperonal ditambahkan kedalam campuran dan
diaduk selama 3 jam. Hasil kemudian didinginkan dan dimasukan dalam lemari pendingin
selama 12 jam. Padatan hasil disaring dengan penyaring Buchner dan dicuci dengan aquades
sampai pH netral. Kristal yang terbentuk di rekristalisasi dan dianalisis.
Proses sintesis analog kurkumin tidak simetris metode konvensional
Metode konvensional dengan cara mencampurkan 3,2 g (0,08 mol) NaOH, 20 mL akuades dan
30 mL metanol. Campuran diaduk, selanjutnya 4,8 g (0,04 mol) asetofenon dituangkan kedalam
campuran dan segera diaduk. Sebanyak 7,04 g (0,04 mol) produk intermediate dituangkan
kedalam campuran dan diaduk selama 3 jam. Hasil kemudian didinginkan dan dimasukan
dalam lemari pendingin selama 12 jam. Padatan hasil disaring dengan penyaring Buchner dan
dicuci dengan aquades sampai pH netral. Kristal yang terbentuk di rekristalisasi dan dianalisis.
Proses sintesis analog kurkumin tidak simetris metode gelombang mikro
Metode gelombang mikro dengan cara mencampurkan 3,2 g (0,08 mol) NaOH, 20 mL
air dan 30 mL metanol. Campuran diaduk, selanjutnya 4,8 g (0,04 mol) asetofenon dituangkan
kedalam campuran dan segera diaduk. Sebanyak 7,04 g (0,04 mol) produk intermediate
dituangkan kedalam campuran. Campuran dimasukan ke dalam mikrowave pada tingkat daya
140 watt dengan waktu pemanasan 2 menit. Hasil kemudian didinginkan dan dimasukan dalam
lemari pendingin selama 12 jam. Padatan hasil disaring dengan penyaring Buchner dan dicuci
dengan aquades sampai pH netral. Kristal yang terbentuk di rekristalisasi dan dianalisis.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
25
3. HASIL DAN PEMBAHASAN (RESULT)
Diversifikasi produk minyak lawang yang telah dibuat dengan pendekatan sintesis kimia
adalah produk sintetik analog kurkumin simetris (1,5-bis-benzo[1,3]dioxol-5-yl-penta-1,4-dien-
3-one) dan produk sintetik analog kurkumin tidak simetris (5-benzo[1,3]dioxol-5-yl-1-phenyl-
penta-2,4-dien-1-one). Terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan, mulai dari proses
isolasi safrol dari minyak lawang, proses isomerisasi safrol, proses oksidasi isosafrol dan
tahapan proses reaksi kondensasi. Transformasi produk dan proses reaksi yang terjadi pada
setiap tahapan serta rendemen hasil dapat dilihat pada gambar 1.
Produk obat sintetik analog kurkumin simetris dan tidak simetris dari minyak lawang
melalui tahapan proses yang banyak sehingga terjadi penurunan rendemen hasil dari minyak.
Presentasi rendemen produk sintetik analog kurkumin antara 4,66% – 6,86% dengan rendemen
terbesar untuk metode proses konvensional pada kedua produk sintetik. Tahapan awal proses
pembuatan produk antikanker sintetik adalah isolasi safrol dari minyak lawang. Eugenol
merupakan produk mayor dalam proses isolasi menggunakan pereaksi basa NaOH. Safrol
merupakan hasil samping dari proses isolasi eugenol, namun masih mengandung komponen lain
dalam campuran sehingga perlu dilakukan pemurnian. Pemurnian safrol menggunakan metode
fisik yaitu dengan menggunakan pengaruh suhu. Safrol dapat dimurnikan pada temperatur
rendah menghasilkan kristal putih (Villegas et al.2011) dan dapat juga pada suhu tinggi dengan
metode destilasi. Titik didih safrol pada tekanan 1 atm adalah 234,5 oC (Sastrohamidjojo 2004)
sehingga perlu dilakukan penurunan tekanan agar titik didih safrol menjadi lebih rendah dan
juga jika safrol didestilasi pada suhu 234,5 oC dapat merusak struktur kimia safrol.
Penurunan tekanan dari 760 mmHg menjadi 1 mmHg menghasilkan safrol pada suhu
destilasi 90-123 oC dengan rendemen 17,21%. Proses isomerisasi safrol menjadi isosafrol
merupakan reaksi perpindahan ikatan rangkap dari rantai lurus mendekati cincin benzen dengan
bantuan katalis alkali. Proses pada kondisi alkali tanpa adanya pelarut direfluks pada suhu
120oC selama 6 jam menghasilkan cairan bening kekuningan dengan rendemen 77,56%.
Rendemen hasil yang diperoleh dengan metode proses tersebut menghasilkan produk yang lebih
baik dari penelitian yang dilakukan oleh Gimeno et al (2005) dengan kondisi proses isomerisasi
safrol menggunakan bantuan katalis transfer fase pada suhu 80oC selama 1,25 jam diperoleh
rendemen 75%.
Mekanisme tahapan isomerisasi yang terjadi dimulai dengan pengambilan atom Hα
pada gugus alil oleh katalis basa sehingga terbentuk karbanion yang terstabilkan oleh pengaruh
resonansi. Proses berikutnya adalah perpindahan ikatan rangkap yang dilanjutkan dengan
protonasi menghasilkan dua kemungkinan struktur yaitu cis-isosafrol dan trans-isosafrol.
Produk isomerisasi yang dihasilkan sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Gimeno et al
(2005), dimana produk isomer trans-isosafrol lebih dominan dari produk cis-isosafrol karena
kestabilan struktur kimia.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
26
17,21% minyak
77,56%
13,34% minyak
65,63%
8,75% minyak
70,28%
6,14% minyak
AKAS-K : 99,55% ; 6,11% minyak
AKAS-M : 82,82% ; 5,08% minyak
Proses isolasi
Proses isomerisasi
Proses oksidasi
Proses
kondensasi
Proses kondensasi
Proses kondensasi
O
O
O
O
O
C
O
O
O
O
O
HO
HO
O
O
C
O
O
O
O
HO
O
MINYAK
LAWANG
SafrolEugenol
Isosafrol
Piperonal
Produk intermediate
Produk sintetik analog kurkumin tidak simetris
Produk sintetik analog kurkumin simetris
Gambar 1. Transformasi produk sintetik analog kurkumin dari minyak lawang
Tahapan proses transformasi produk isosafrol menjadi piperonal merupakan reaksi
oksidasi ikatan rangkap yang terdapat pada gugus alil pada isosafrol. Hasil penelitian
menggunakan oksidator kalium permanganat dan zat pendispersi tween 80 dengan pelarut
diklorometan diperoleh rendemen hasil 65,63%. Penggunaan KMnO4 encer akan menghasilkan
diol dan kedua gugus OH pada senyawa diol. Reaksi ini diduga melewati pembentukan zat
antara glikol (1,2-diol) yang teroksidasi lebih lanjut (Gimeno et al.2005). Panambahan kalium
permanganat secara bertahap agar reaksi dapat terkendali karena reaksi bersifat eksotermis dan
suhu dipertahankan dibawah 30oC untuk mencegah terjadinya oksidasi lebih lanjut menjadi
karboksilat yang tidak diharapkan. Produk samping dalam proses oksidasi dapat saja terbentuk
karena pengaruh kondisi proses yang ada namun pada penelitian ini diperoleh produk dengan
kemurnian 100%. Diol yang terbentuk akan dioksidasi lebih lanjut menjadi piperonal (Allinger
et al.1976) dan endapan MnO2. Proses penyaringan endapan MnO2 dilakukan dengan
penyaringan menggunakan silica gel dan bantuan vakum.
AKS-K : 78,43% ; 6,86% minyak
AKS-M : 53,30% ; 4,66% minyak
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
27
Produk sintetik analog kurkumin merupakan produk yang memiliki kemiripan struktur
dengan produk kurkumin hanya dibedakan oleh penghubung dua cincin benzen. Dua produk
yang disintesis pada penelitian ini adalah analog kurkumin simetris (AKS) dan analog kurkumin
tidak simetris (AKAS) dengan perbedaan pada posisi cincen benzen. Proses sintesis AKS dan
AKAS merupakan reaksi kondensasi antara dua senyawa aldehid yang berbeda yang disebut
reaksi kondensasi aldol. Prosedur sintesis menggunakan kondisi proses alkali dan metode yang
digunakan adalah metode konvensional dan gelombang mikro. Produk AKS merupakan reaksi
antara piperonal dengan aseton pada kondisi alkali. Hasil produk sintetik AKS menggunakan
metode konvensional pada suhu ruang (27oC) selama 3 jam diperoleh rendemen 78,43%.
Semakin besar molekul dan banyaknya atom Hα pada reaktan dapat mengakibatkan
terbentuknya produk samping. Kondisi sistem yang sangat bersifat basa dapat bereaksi dengan
atom Hα pada reaktan yang mengakibatkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki. Reaktan
yang digunakan untuk sintesis AKS adalah piperonal yang memiliki atom Hα pada gugus
epoksida sehingga dapat dimungkinkan terjadinya hal tersebut. Produk AKS dapat juga
disintesis menggunakan metode gelombang mikro dengan reaktan piperonal, aseton, katalis
NaOH dan pelarut metanol. Produk AKS hasil sintesis selama 2 menit dengan daya 140 watt
diperoleh rendemen 53,3%. Rendahnya rendemen produk yang dihasilkan disebabkan karena
pada proses sintesis AKS menggunakan pelarut metanol yang dapat terjadi penguapan jika
disinari radiasi gelombang mikro. Penggunaan pelarut metanol tersebut karena katalis NaOH
yang digunakan merupakan katalis homogen, sedangkan kalsium oksida merupakan katalis
heterogen. Panas dari gelombang mikro lebih cepat ditransfer bila dibandingkan dengan metode
pemanasan konvensional (Hugel 2009).
Produk sintetik AKAS merupakan produk yang memiliki kemiripan dengan AKS
namun posisi cincin benzen yang tidak simetris. Produk AKAS dapat disintesis dengan
menggunakan dua tahapan reaksi kondensasi, tahap pertama adalah sintesis produk intermediate
(3-benzo[1,3]dioxol-5-yl-propenal) dan tahap kedua sintesis AKAS. Tahap kedua sintesis
AKAS menggunakan dua metode proses yaitu metode konvensional dan gelombang mikro
dengan reaktan asetofenon, produk intermediate dan katalis alkali NaOH. Reaktan asetofenon
mempunyai atom Hα terhadap gugus karbonil, sehingga dalam kondisi basa akan terbentuk
karbanion. Karbanion ini relatif stabil karena dapat berkonjugasi menghasilkan ion enolat.
Mekanisme reaksi sintesis AKAS melibatkan dua tahap reaksi yaitu tahap adisi dan tahap
dehidrasi (Tran et al.2012). Tahap pertama adalah tahap reaksi adisi nukleofil, dimana
karbanion dari asetofenon akan menyerang gugus karbonil pada produk intermediate. Hasil
reaksi adisi nukleofil tersebut akan mengalami transfer proton dari molekul air menghasilkan β-
hidroksiketon. Reaksi tahap kedua adalah reaksi dehidrasi senyawa β-hidroksiketon, karena
senyawa β-hidroksiketon mempunyai atom Hα maka dalam kondisi basa atom Hα mudah untuk
lepas. Hal tersebut mempercepat reaksi dehidrasi senyawa β-hidroksiketon menghasilkan
produk yang stabil karena mempunyai ikatan rangkap yang terkonjugasi dalam cincin aromatik.
Tahapan proses sintesis AKAS menggunakan metode konvensional dengan reaktan
asetofenon, produk intermediate, katalis NaOH dan pelarut metanol pada suhu ruang selama 3
jam menghasilkan rendemen 99,55%. Tran et al (2012) melakukan reaksi yang sama
menggunakan beberapa reaktan turunan aldehid dan katalis KOH selama 6 jam menghasilkan
21 produk dengan rendemen 43-63%. Produk AKAS yang dihasilkan sangat baik bila
dibandingkan dengan penelitian tersebut, karena tahapan proses AKAS ditambahkan pelarut
metanol sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan antara reaktan semakin besar. Metode
proses sintesis AKAS menggunakan radiasi gelombang mikro pada daya 140 watt selama 2
menit dengan presentase reaktan yang sama dengan metode konvensional diperoleh produk
dengan rendemen 82,82%. Penggunaan radiasi gelombang mikro juga dilakukan oleh Azarifar
et al (2003) untuk reaksi kondensasi menghasilkan beberapa produk dengan besaran daya 300
watt selama beberapa menit dan diperoleh produk dengan rendemen 80-95%. Rendemen hasil
AKAS yang diperoleh dengan metode gelombang mikro memiliki hasil yang baik dan tidak
terlalu besar perbedaan dengan metode konvensional yakni 16,73%. Pengaruh pelarut metanol
pada metode gelombang mikro untuk produk AKAS tidak memberikan dampak yang signifikan
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
28
seperti hasil pada produk AKS. Hal tersebut karena mekanisme reaksi kondensasi yang terjadi
untuk kedua produk AKS dan AKAS berbeda.
4. KESIMPULAN (CONCLUSION)
Produk sintetik analog kurkumin sebagai senyawa antikanker dapat disintesis dari
minyak lawang dengan tahapan proses isolasi safrol menggunakan ekstraksi basa (17,21%),
proses isomerisasi menggunakan katalis basa tanpa pelarut pada suhu 120oC (77,56%), oksidasi
menggunakan KMnO4 (65,63%), dan reaksi kondensasi. Produk sintetik analog kurkumin
simetris dapat dibuat dengan reaksi kondensasi antara piperonal dan aseton menggunakan
katalis alkali dengan metode konvensional (78,43%) dan gelombang mikro (53,3%). Produk
sintetik analog kurkumin tidak simetris dengan menggunakan reaksi kondensasi dua tahap
dengan metode konvensional (99,55%) dan gelombang mikro (82,82%).
DAFTAR PUSTAKA (REFERENCE)
[1] Allinger NL, Cava MP, De Jongh DC, Johnson CR, Leber A, Steven CL. 1976. Organic
Chemistry. 2nd ed. New York:Worth Pulisher.
[2] Anand P, Bokyung S, Ajaikumar, Kunnumakkara, Kallikat N. Rajasekharan, Bharat,
Aggarwal. 2011. Suppression of pro-inflammatory and proliferative pathways by
diferuloylmethane (curcumin) and its analogues dibenzoylmethane, dibenzoylpropane,
and dibenzylideneacetone: Role of Michael acceptors and Michael donors. Journal
Biochemical Pharmacology. 82:1901–1909.
[3] Anand P, Thomas SG, Kunnumakkara AB, Sundaram C, Harikumar KB, Sung B,
Tharakan ST, Misra K, Priyadarsini IK, Rajasekharan KN, Aggarwal BB. 2008.
Biological activities of curcumin and its analogues (congeners) made by man and Mother
Nature. Journal Biochemical Pharmacology. 76:1590–1611.
[4] Azarifar D, Ghasemnejad H. 2003. Microwave-assisted synthesis of some 3,5-arylated 2-
pyrazolines. Molecules. 8:642-648.
[5] Bezerra1 BD, Castro FO, Alves APNN, Pessoa C, Moraes MO, Silveira ER, Lima MAS,
Elmiro FJM, Costa-Lotufo LV. 2006. In vivo growth-inhibition of Sarcoma 180 by
piplartine and piperine, two alkaloid amides from piper. Brazilian Journal of Medical and
Biological Research. 39:801-807.
[6] Chen SY, Chen Y, Li YP, Chen SH, Tan JH, Ou TM, Gu LQ, Huang ZS. 2011. Design,
synthesis, and biological evaluation of curcumin analogues as multifunctional agents for
the treatment of Alzheimer’s disease. Bioorganic & Medicinal Chemistry. 19:5596–5604.
[7] Cox M, Klass G. 2006. Synthesis by-products from the Wacker oxidation of safrole in
methanol using r-benzoquinone and palladium chloride. Forensic Science International.
164:138–147.
[8] Elavarasan S, Bhakiaraj D, Elavarasan T, Gopalakrishnan M. 2013. An efficient green
procedure for synthesis of some fluorinated curcumin analogues catalyzed by calcium
oxide under microwave irradiation and its antibacterial evaluation. Journal of chemistry.
ID 640936.
[9] Fan M-J, Lin S-Y, Yu C-C, Tang N-Y, Ho H-C, Chung H-K, Yang J-S, Huang Y-P, Ip S-
W, Chung J-G. 2012. Safrole-modulated immune response is mediated through enhancing
the CD11b surface marker and stimulating the phagocytosis by macrophages in BALB/c
mice. Human and Experimental Toxicology. 31(9):898–904.
[10] Gimeno P, Besacier F, Bottex M, Dujourdy L, Thozet HC. 2005. A study of impurities in
intermediates and 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA) samples produced via
reductive amination routes. Forensic Science International. 155:141–157.
[11] Hahm ER, Gho YS, Park S, Park C, Kim KW, Yang CH. 2004. Synthetic curcumin
analogs inhibit activator protein-1 transcription and tumor-induced angiogenesis.
Biochemical and Biophysical Research Communications. 321:337–344.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
29
[12] Heather E, Shimmon R, McDonagh AM. 2015. Organic impurity profiling of 3,4-
methylenedioxymethamphetamine (MDMA) synthesised from catechol. Forensic Science
International. 248:140–147.
[13] Hügel HM. 2009. Molecules. Microwave Multicomponent Synthesis. 14:4936-4972.
[14] Jin X, Zhang ZH, Sun E, Tan XB, Li SL, Cheng XD, You M, Jia XB. 2013. Enhanced
oral absorption of 20(S)-protopanaxadiol by self-assembled liquid crystalline
nanoparticles containing piperine: in vitro and in vivo studies. International Journal of
Nanomedicine. 8:641–652.
[15] Kapelle IBD, Rosmawati. 2010. Sintesis khalkon 3-(3”,4”-metilendioksi)-2‟hidroksifenil
prop-2-enon dari minyak kulit lawang. Journal of Pharmaceutical Science “Media
Farmasi”. Universitas Ahmad Dahlan-Yogyakarta. 9:57-67.
[16] Ketaren S. 1985. Pengantar teknologi minyak atsiri. Jakarta : Balai Pustaka.
[17] Labbozzetta M, Baruchello R, Marchetti P, Gueli MC, Poma P, Notarbartolo M, Simoni
D, D’Alessandroa N. 2009. Lack of nucleophilic addition in the isoxazole and pyrazole
diketone modified analogs of curcumin; implications for their antitumor and
chemosensitizing activities. Chemico-Biological Interactions. 181:29–36.
[18] Mehta A, Kaur G, Chintamaneni M. 2012. Piperine and quercetin enhances antioxidant
and hepatoprotective effect of curcumin in paracetamol induced oxidative stress.
International Journal of pharmacology. 8(2): 101-107.
[19] Reddy CA, Somepalli V, Golakoti T, Kanugula AK, Karnewar S. 2014. Mitochondrial-
targeted curcuminoids: a strategy to enhance bioavailability and anticancer efficacy of
curcumin. PLoS ONE. 9(3): e89351.
[20] Sastrohamidjojo H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. UGM, Press Yogyakarta
[21] Schaffer M, Groger T, Putz M , Zimmermann R. 2013. Forensic profiling of sassafras oils
based on comprehensive two-dimensional gas chromatography. Forensic Science
International. 229:108–115.
[22] Stojanovska N, Fu S, Tahtouh M, Kelly T, Beavis A, Kirkbride KP. 2013. A review of
impurity profiling and synthetic route of manufacture of methylamphetamine, 3,4-
methylenedioxymethylamphetamine, amphetamine, dimethylamphetamine and p-
methoxyamphetamine. Forensic Science International. 224:8–26.
[23] Soliman G. 2005. Effect of curcumin, mixture of curcumin and piperine and curcum
(turmeric) on lipid profile of normal and hyperlipidemic rats. The Egyptian Journal of
Hospital Medicine Vol. 21: 145–161.
[24] Shang YJ, Jin XL, Shang XL, Tang JJ, Liu GY, Dai F, Qian YP, Fan GJ, Liu G, Zhou B.
2010. Antioxidant capacity of curcumin-directed analogues: Structure–activity
relationship and influence of microenvironment. Journal Food Chemistry. 119:1435–
1442.
[25] Tran DO, Nguyen TTH, Tuong-Ha, Huynh T, Tran CT, Thai KM. 2012. Synthesis and
antibacterial activity of some heterocyclic chalcone analogues alone and in combination
with antibiotics. Journal Molecules. 17:6684-6696.
[26] Villegas AM, Catalan LE, Venegas IM, Garcia JV, Altamirano HC. 2011. New catechol
derivatives of safrole and their antiproliferative activity towards breast cancer cells.
Molecules. 16:4632-4641.
[27] Yang CH, Yue J, Sims M, Pfeffer LM. 2013. The curcumin analog EF24 targets NF-kB
and miRNA-21, and has potent anticancer activity in vitro and in vivo. PLoS ONE. 8(8):
e71130.
[28] Yin S, Zheng X, Yao X, Wang Y, Liao D. 2013. Synthesis and anticancer activity of
mono-carbonyl analogues of curcumin. Journal of Cancer Therapy. 4:113-123.
IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5
30
Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012
Efek Pulsed Electric Field (Pef) Pada Rendemen Dan
Kualitas Minyak Bunga Melati (Jasminum sambac)
(Kajian Rasio Bahan dan Pelarut)
Sukardi1, Mahendra Narpatmaja Nizar2), Arie Febrianto Mulyadi1)
, Sucipto1*)
1)Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas
Brawijaya 2)Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Brawijaya
Malang
Jl. Veteran No. 1 Malang 65145
Penulis Korespondensi: [email protected];
Abstrak
Bunga melati putih (Jasminum sambac) memiliki banyak manfaat seperti untuk bunga
dekorasi, pewangi teh, dan dapat diolah menjadi minyak atsiri. Minyak atsiri melati dapat
diekstrak dengan metode enfleurasi dan maserasi. Pemakaian metode maserasi masih
menghasilkan rendemen rendah. Perlakuan pendahuluan diperlukan untuk memperbaiki
kelemahan tersebut. Pulsed Electric Field (PEF) merupakan perlakuan pendahuluan yang saat
ini sedang berkembang. Perlakuan PEF melibatkan aplikasi denyut pendek berulang medan
listrik melalui bunga melati yang diletakkan di antara dua elektrode. Medan listrik membentuk
pori-pori pada membran sel sehingga minyak atsiri keluar tanpa menggunakan suhu tinggi.
Tujuan penelitian adalah mengetahui kombinasi yang tepat antara frekuensi PEF dan rasio
pelarut dengan bahan dengan metode maserasi untuk meningkatkan rendemen dan kualitas
minyak atsiri. Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok 2 faktor, yaitu
frekuensi PEF (1000, 1500, dan 2000 Hz), dan rasio bahan dan pelarut (b/v) (1:2 dan 1:3),
diulang 3 kali. Data diolah menggunakan analisis ragam (ANOVA). Perlakuan terbaik dipilih
berdasarkan uji GC-MS, nilai indeks bias, dan rendemen terbaik. Hasil penelitian menunjukkan
perlakuan rasio bahan dan pelarut n-heksan 1:3 (b/v) dan frekuensi berpengaruh nyata terhadap
indeks bias dan rendemen concrete minyak melati. Perlakuan terbaik diperoleh pada rasio bahan
dan n-heksan 1:3 (b/v) dan frekuensi 1500 Hz; rendemen 0,36%, indeks bias 1,479, linalool
3,46%, benzyl acetate 2,1%, farnesene 5,01%, cis-3-hexenyl benzoate 2,14% dan methyl
palmitate 0,64%, total wax 54,07% dan komponen lain 32,25%
Kata kunci : Jasminum sambac, minyak melati, PEF
Abstract White Jasmine flower (Jasminum sambac) has a lot of benefits, for example, as
decoration flower, tea fragrance and can be processed into essential oil. Jasmine essential oil
can be extracted by enfleuration and maceration method. The maceration method still produced
low yields. Pre-treatment needs to improve these weaknesses. Pulsed Electric Field (PEF) is
recently developed pre-treatment. It uses repetitive short pulsed electric field through the
jasmine flower that placed between two electrodes. Electric field exposure on cell membrane
formed pores made the essential oil extracted easily without the used of high temperature. These
studies aimed to find the best combination between PEF frequency and ratio of material and
solvent to improve oil yield and quality. The Study used randomized block design with 2 factors,
consist of PEF frequency (1000,1500, and 2000Hz), and ratio of material and n-hexane as
solvent (w/v) (1:2 and 1:3), both repeated 3 times. The data were processed using Analysis of
Variance (ANOVA). The best treatment was chosen based on GC-MS test, refractive index and
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
31
yield. Result showed the ratio of material and n-hexane solvent 1:3 (w/v) and frequency
significantly affected to the refractive index and oil yield of jasmine oil concrete. The best
treatment was obtained at a ratio material and n-hexane 1:3 (w/v) and frequency 1500Hz;
0,36%, 1,479 refractive index, 3,46% linalool, 2,1% benzyl acetate, 5,01% farnesene, 2,14%
cis-3-hexenyl benzoate and 0,64% methyl palmitate, wax total 54,07% and 32,25% other
component
Key Words : Jasmine oil, Jasminum sambac, PEF
1. PENDAHULUAN (INTRODUCTION)
Melati merupakan tanaman perdu dengan tinggi berkisar 2 m, batangnya kurus dan
panjang sehingga perlu penyangga. Aroma bunga melati sangat harum. Di Indonesia ada
beberapa jenis, yang umum ditemui adalah jenis melati putih (Jasminum sambac) dan melati
gambir (Jasminum officinale (Ratnasari et al., 2007). Kultivar melati yang umum dibudidayakan
adalah Jasminum sambac (Saraswati, 2005). Burneh-Bangkalan, Jawa Timur salah satu sentra
bibit melati (Simbolon, 2007). Menurut Rusli (2010) harga bunga melati di pasaran Indonesia
adalah 40 ribu rupiah per kilogram. Jika diolah menjadi minyak atsiri melati harganya menjadi
38 juta rupiah per kilogram.
Beberapa cara ekstraksi bunga melati meliputi ekstraksi pelarut menguap (solvent
extraction) dan ekstraksi lemak dingin (enfleurasi). Ekstraksi minyak atsiri secara komersial
umumnya dengan pelarut menguap (Rusli, 2010). Proses enfleurasi adalah pengambilan minyak
atsiri menggunakan lemak sebagai absoren. Prinsipnya, lemak sebagai absorben dikontakkan
bunga sehingga lemak menyerap perfum pada bunga (Handa et al., 2008). Maserasi sesuai
untuk bahan yang tidak tahan suhu tinggi dan minyak rusak jika mengalami pemanasan berlebih
(Said, 2007). Prinsip metode maserasi adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan pelarut
organik yang mudah menguap. Kelebihan metode ini prosedur dan peralatan relatif sederhana.
Pelarut yang dipakai produksi dapat dipakai lagi pada proses produksi selanjutnya. Selain itu
lama ekstraksi dengan metode maserasi singkat, perendaman bahan dilakukan 1 hingga 24 jam
(Rusli, 2010).
Ekstraksi minyak atsiri bunga melati menggunakan metode maserasi masih menghasilkan
rendemen rendah (Sani, 2012). Salah satu faktor yang berpengaruh adalah rasio pelarut pada
perendaman bunga. Ekstraksi bunga mawar menggunakan pelarut heksana dengan rasio bahan
baku terhadap pelarut 1:1, 1:2 dan 1:3 diperoleh rendemen tertinggi pada perlakuan 1:3. Hal ini
memperlihatkan bahwa teknik ekstraksi (rasio pelarut terhadap bahan baku) mempengaruhi
hasil (Amiarsi, 2006). Artinya perbandingan jumlah pelarut dengan bahan baku yang kurang
sesuai menyebabkan rendemen minyak tidak maksimal. Kandungan miyak atsiri di dalam sel
tidak dapat dilarutkan pelarut. Rendemen minyak atsiri tidak bisa dinaikkan dengan
meningkatkan suhu atau waktu proses. Suhu tinggi dan waktu proses terlampau lama justru
merusak minyak atsiri. Karena itu, ada alternatif penerapan Pulsed Electric Field (PEF) sebagai
perlakuan pendahuluan untuk meningkatkan rendemen dan kualitas minyak atsiri.
Menurut Siemer et al. (2012), PEF merupakan metode alternatif untuk meningkatkan laju
difusi produk keluar jaringan tanaman saat ekstraksi. Paparan medan listrik berkekuatan tinggi
pada jaringan mengakibatkan pecahnya membran sel jaringan tersebut. Maskooki et al. (2011)
menyatakan, tujuan utama proses ini adalah mendapatkan rendemen lebih tinggi serta
penggunaan energi dan waktu lebih rendah dibanding metode pemanasan biasa. Menurut Bahzal
et al. (2001), penerapan PEF memberi kemungkinan lebih baik dalam pengaturan input energi
listrik yang menyebabkan elektroporasi pada sel tanpa menaikkan suhu secara signifikan. Heinz
(2006) menyatakan bahwa salah satu parameter utama proses PEF adalah frekuensi. Frekuensi
berpengaruh pada penentuan waktu proses.
Penelitian Dobreva et al. (2012) menunjukkan penerapan PEF pada bunga mawar
meningkatkan rendemen 2 hingga 46%. Kajian tersebut menjadi dasar penelitian untuk
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
32
menentukan teknik yang tepat ekstraksi bunga melati. Karena itu akan dianalisa pengaruh
frekuensi perlakuan PEF dan rasio pelarut terhadap bahan baku pada metode maserasi terhadap
kualitas minyak atsiri bunga melati.
2. METODE PENELITIAN (MATERIALS AND METHODS)
Alat dan bahan
Alat yang digunakan adalah wadah plastik pipet tetes, generator PEF, rotary vacuum
evaporator, refrigerator, beaker glass 500 ml, gelas ukur, labu erlenmeyer 1000 ml, alumunium
foil, corong, kain saring kasar, plastik dan karet. Timbangan digital (Denver instrumen M-310).
Alat uji indeks bias adalah refraktometer, tissue dan pipet tetes. Alat GC-MS untuk uji
komponen minyak atsiri. Bahan utama bunga melati putih (Jasminum sambac) dari petani di
Batu, n-heksan teknis 95% sebagai solvent dan alkohol sebagai bahan uji indeks bias.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dua faktor yaitu rasio
bahan dan pelarut (A) dan frekuensi (B). Faktor rasio bahan dan pelarut (A) terdiri 1:2 (b/v) dan
1:3 (b/v). Faktor frekuensi (B) terdiri dari 1000Hz, 1500Hz dan 2000Hz.
Pelaksanaan Penelitian
Tahap penelitian sebagai berikut:
1. Bunga melati dipisahkan dengan pengotornya
2. Ditimbang sebanyak 300 g
3. Dimasukkan chamber PEF diberi perlakuan pendahuluan tegangan 1000 volt, waktu 10 detik
dan jarak antara anoda dan katoda 10 cm dengan perlakuan pada frekuensi PEF 1000 Hz,
1500 Hz dan 2000 Hz
4. Leaching bunga melati dengan solvent, kondisi tertutup selama 4 jam, perbandingan bahan
dan pelarut (1:2 b/v) dan (1:3 b/v)
5. Difiltrasi melalui kain saring, hasilnya berupa campuran minyak melati dan n-heksan
6. Filtrat dievaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu C, 15 – 20
menit/300ml larutan, diperoleh concrete
7. Concrete dianalisa rendemen, indeks bias dan komponen kimia dengan GC-MS
8. Hasilnya dimasukkan botol kaca disimpan dalam refrigerator.
Pengujian Prosedur uji indeks bias (Hidayanto dkk., 2008).
1. Refraktometer digital disterilkan memakai alkohol 70%.
2. Sampel minyak atsiri diteteskan ke dalam lubang uji.
3. Indeks bias minyak atsiri tertera di refraktometer.
Uji rendemen (Rahayoe dkk., 2007).
1. Bahan baku sebanyak 300 gram dimaserasi kemudian dievaporasi.
2. Rendemen dihitung dengan persamaan :
Analisis Data
Pengolahan data menggunakan analisis ragam atau ANOVA. Jika terdapat interaksi
diuji menggunakan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan kepercayaan 95%.
Pemilihan Perlakuan Terbaik
Indeks bias dapat dipakai menentukan kualitas minyak (Sutiah, 2008). Indeks bias merupakan
ciri penting sebuah medium. Pengukuran indeks bias dipakai secara luas dalam menentukan
konsentrasi larutan (Subedi et al., 2006). Indeks bias berhubungan dengan struktur dan
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
33
komposisi senyawa organik suatu bahan (Anam, 2010). Tiga perlakuan terbaik ditentukan oleh
indeks bias dengan syarat dalam rentang standar 1,4724 – 1,4859 (Balitbang) dan memiliki
rendemen tertinggi. Diagram pemilihan data pada Gambar 1.
Data
3 Perlakuan Terbaik
Analisis Kimia GC-MS
Perlakuan Terbaik
Indeks Bias (1,4724 -1,4859)
3 Rendemen Terbaik
Tidak Dipertimbangkan
Tidak Dipertimbangkan
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak Dipertimbangkan% Komponen Utama Tertinggi
Ya
Tidak
Gambar 1. Diagram alir pemilihan perlakuan terbaik
Tiga perlakuan terbaik diuji komponen penyusunnya dengan GC-MS. Hasilnya
dibandingkan antar perlakuan untuk menentukan satu perlakuan terbaik berdasar persen area
tertinggi komponen penciri concrete minyak melati. Perlakuan terbaik yang diperoleh
dibandingkan kontrol (non-PEF) dengan parameter indeks bias, komponen penciri minyak atsiri
melati, dan rendemen.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN (RESULT)
Indeks Bias
Mutu minyak melati dapat diketahui dari indeks biasnya. Indeks bias dipengaruhi
kekentalan dan kerapatan minyak. Jika kerapatan minyak semakin tinggi maka indeks biasnya
semakin besar (Suyanti, 2005). Indeks bias minyak digunakan sebagai parameter mutu karena
mempunyai nilai tetap pada sampel minyak murni pada kondisi suhu dan tekanan tetap
(Prabawati, 2000). Perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil penelitian menunjukkan rerata indeks bias concrete minyak melati bernilai 1,380
hingga 1,479. Indeks bias paling rendah dihasilkan dari rasio bahan dan pelarut 1:2 b/v dan
frekuensi 2000Hz. Indeks bias tertinggi dihasilkan rasio bahan dan pelarut 1:3 (b/v) dan
frekuensi 1500Hz. Nilai indeks bias rasio 1:2 dengan frekuensi 1000Hz dan 2000Hz di bawah
standar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen (2009), yaitu antara 1,472
sampai 1,485.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
34
Tabel 1. Nilai Rerata Indeks Bias Concrete Minyak Melati Berdasarkan Rasio Bahan Banding
Pelarut dan Frekuensi
Perlakuan
Indeks
Bias Notasi
Bahan :
Pelarut
(b/v)
Frekuensi
(Hz)
1 : 2 1000 1,380 a
1 : 2 1500 1,455 b
1 : 2 2000 1,369 a
1 : 3 1000 1,476 b
1 : 3 1500 1,479 b
1 : 3 2000 1,473 b
Keterangan: Notasi berbeda menunjukkan perlakuan beda nyata (α = 5%)
Rerata indeks bias menunjukan kombinasi faktor perbandingan pelarut dengan frekuensi
berbeda nyata terhadap indeks bias concrete minyak melati. Rasio 1:2 (b/v) berbeda nyata
dengan rasio 1:3 (b/v) di setiap frekuensi kecuali fekuensi 1500Hz. Rasio 1:2 tidak menunjukan
beda nyata antara frekuensi 1000 dan 2000Hz.
Gambar 2. Rerata Indeks Bias Concrete Minyak Melati
Gambar 2 menunjukkan nilai indeks bias tertinggi rasio bahan dan pelarut 1:3 (b/v)
pada frekuensi 1500Hz. Perlakuan rasio bahan dan pelarut 1:2 (b/v) dan 1:3 (b/v) mengalami
puncak kenaikan tertinggi di frekuensi 1500Hz kemudian turun pada frekuensi 2000Hz. Diduga
indeks bias optimal diperoleh pada frekuensi 1500Hz. Penurunan indeks bias pada frekuensi
2000Hz diduga akibat komponen lain selain penciri minyak melati. Frekuensi 2000Hz yang
dipaparkan pada bunga melati tidak hanya menghancurkan sel dimana minyak berada, tetapi
juga jaringan lain pada bunga melati. Ketika proses leaching bunga melati, komponen tersebut
larut bersama concrete minyak melati. Menurut Pataro et al. (2011), peningkatan frekuensi
berpengaruh pada ukuran elektroporasi membran sel. Semakin tinggi frekuensi akan semakin
besar terbentuknya pori serta semakin ireversibel sel tersebut. Semakin besarnya pori pada sel,
pelarut lebih mudah menjangkau bagian terdalam jaringan bahan.
Rendemen
Analisis ragam rendemen pada Tabel 2.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
35
Tabel 2. Nilai Rerata Rendemen Concrete Minyak Melati Berdasarkan Rasio Bahan Banding
Pelarut dan Frekuensi
Perlakuan
Rendemen
% Notasi
Pelarut :
Bahan
Frekuensi
(Hz)
1 : 2 1000 0,32 a
1 : 2 1500 0,31 a
1 : 2 2000 0,33 a
1 : 3 1000 0,38 a
1 : 3 1500 0,36 a
1 : 3 2000 0,43 b
Keterangan: Notasi berbeda menunjukkan perlakuan beda nyata (α = 5%)
Rerata rendemen concrete minyak melati berada pada kisaran 0,31% hingga 0,43%.
Rerata rendemen concrete minyak melati tertinggi dihasilkan oleh rasio bahan berbanding
pelarut 1:3 (b/v) dengan frekuensi 2000Hz. Rerata rendemen concrete minyak melati yang
terendah dihasilkan oleh rasio bahan berbanding pelarut 1:2 (b/v) dengan frekuensi 1500Hz.
Nilai rerata rendemen concrete minyak melati berbeda nyata pada rasio bahan berbanding
pelarut antara 1:2 (b/v) dengan (1:3). Rendemen perlakuan frekuensi 1000Hz meningkat 0,06%
dari 0,32% menjadi 0,38%. Frekuensi 1500Hz meningkat dari 0,31% menjadi 0,36% dengan
selisih 0,04%. Perlakuan dengan frekuensi 2000Hz meningkat sebanyak 0,1% dari 0,33%
menjadi 0,43%.
Gambar 3 menunjukkan rerata rendemen concrete minyak melati meningkat dengan
bertambahnya volume pelarut. Bidang kontak antara bahan dengan pelarut yang lebih luas
menyebabkan concrete minyak melati larut secara optimal. Menurut Srijanto et al. (2004),
semakin banyak penggunaan pelarut akan semakin besar jumlah yang dapat dipindahkan antara
konsentrasi senyawa bahan pada konsentrasi senyawa pelarut.
Gambar 3. Rerata Rendemen Concrete Minyak Melati
Rerata rendemen perlakuan rasio 1:2 (b/v) tidak signifikan menurun pada frekuensi
1500Hz dan naik pada frekuensi 2000Hz. Penurunan tersebut diduga akibat komponen wax dan
komponen lain yang larut lebih rendah, sedang komponen utama yang larut lebih tinggi. Rerata
rendemen hanya secara nyata naik pada perlakuan rasio 1:3 (b/v) dengan frekuensi 2000Hz.
Meningkatnya rerata rendemen diduga karena komponen utama yang dapat larut lebih rendah
sedangkan komponen wax dan komponen lain yang terlarut lebih tinggi. Besar frekuensi
perlakuan PEF berpengaruh pada jumlah rendemen. Semakin besar frekuensi medan listrik yang
dipaparkan berdampak pada besarnya kerusakan sel. Semakin besar kerusakan sel menyebabkan
lebih banyak komponen yang dapat larut. Menurut Pataro et al. (2011), meningkatkan frekuensi
menyebabkan membran sel menjadi semakin kurang tahan terhadap aliran arus dalam cairan
intraseluler. Dalam rentang frekuensi tinggi membran sel tidak menunjukkan resistensi terhadap
aliran arus sehingga praktis tidak ada perbedaan antara impedansi sel utuh dengan sel yang
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
36
membrannya pecah. Dengan demikian tingkat permeabilisasi membran meningkat hingga sel-
sel menjadi benar-benar pecah.
Gambar 4. Struktur Jaringan Bunga Melati Tanpa Perlakuan PEF
Gambar 5. Struktur Jaringan Bunga Melati dengan Perlakuan PEF
Gambar 4 dan Gambar 5 memperlihatkan perbedaan struktur jaringan tanpa perlakuan
PEF dan jaringan dengan perlakuan PEF. Minyak yang sebelumnya dalam sel menjadi di luar
dinding sel. Penerapan PEF mampu membentuk lubang pori pada dinding sel sehingga minyak
di dalam sel keluar. Menurut Pataro et al. (2011), pada sel yang diberi perlakuan PEF terdeteksi
ada kebocoran cairan intraseluler, sementara pada sampel kontrol tidak terdeteksi kebocoran.
Kebocoran tersebut diduga akibat kerusakan sel dalam jaringan oleh penerapan PEF. Menurut
Knorr et al. (2004), PEF terkait permeabilitas membran. Kerusakan membran mempercepat
ekstraksi karena meningkatkan kemampuan transfer masa membran. Membran sel yang rusak
mempercepat senyawa aktif keluar dari dalam sel ke pelarut saat proses ekstraksi.
Hasil Uji Komponen Penciri Minyak Minyak Melati dengan Gas Chromatoghaphy - Mass
Spectrometry (GC-MS)
Hasil uji komponen penciri minyak melati pada 3 perlakuan dengan indeks bias tertinggi
dan memiliki rendemen tertinggi. Dari parameter indeks bias dan rerata rendemen didapatkan 3
perlakuan rasio bahan dan pelarut 1:3 (b/v) dengan frekuensi 1000Hz, 1500Hz, serta 2000Hz.
Detail hasil uji komponen penciri, komponen wax serta komponen lain concrete minyak melati
pada Tabel 3. Menurut Edris et al. (2008), komponen peniciri minyak melati antara lain benzyl
acetate, farnesene, cis-hexenyl benzoate, dan linalool.
Hasil uji komponen menunjukkan ketiga perlakuan sesuai referensi. Tabel 3
menunjukkan perlakuan yang memiliki area penciri concrete minyak melati adalah rasio bahan
dan pelarut 1:3 (b/v) dengan frekuensi 1500Hz. Secara keseluruhan setiap komponen perlakuan
1500Hz memiliki persentase area paling tinggi dari perlakuan lain.
Minyak
Sel
Minyak
Sel
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
37
Tabel 3. Komponen Penciri Minyak Melati Hasil Uji GC-MS, Faktor Rasio (1:3 b/v) dan
Frekuensi (1000Hz, 1500Hz, 2000Hz)
Komponen
Rasio Bahan dan Pelarut
1:3 b/v
1000Hz 1500Hz 2000Hz
a. Penciri
minyak
melati (%)
11,572 13,381 8,442
Linalool 3,117 3,466 1,667
Benzyl
acetate 1,572 2,109 1,568
Farnesene 4,833 5,018 4,443
Cis-3-
hexenyl
benzoate
1,437 2,144 0,764
Methyl
palmitate 0,613 0,644 -
b. Total Wax
(%) 58,012 53,737 46,385
c. Komponen
Lain (%) 30,416 31,969 45,173
Hasil uji komponen concrete minyak melati menghasilkan wax yang terdiri dari
komponen hydrocarbon rantai panjang berupa decane, undecane, dodecane, tetradecane, dan
seterusnya. Tabel 3 menunjukkan concrete melati mengandung wax antara 46,385% sampai
58,012%. Wax menurun pada frekuensi 1000Hz hingga 2000Hz. Kandungan wax tersebut
diduga akibat frekuensi yang belum sesuai. Frekuensi yang tidak tepat menyebabkan kandungan
wax pada permukaan bunga terdampak dulu sebelum mengenai sel metabolit. Menurut
Prabawati et al. (2000), dalam minyak melati mengandung komponen hydrocarbon sebesar
21,97%.
Hasil uji komponen lain terdiri dari phenylethan, benzyl acetonitrile, methyl ester, methyl
linolenat dan cis-3-hexenyl acetate. Tabel 3 menunjukkan area komponen lain pada frekuensi
1000Hz meningkat 2,454%. Area komponen lain pada frekuensi 1500Hz meningkat 12,916%.
Peningkatan komponen lain diduga akibat frekuensi PEF. Medan listrik berfrekuensi tinggi yang
diberikan pada bunga melati tidak hanya berdampak pada sel metabolit berada tetapi juga pada
jaringan lain. Menurut Siemer et al. (2012), PEF menyebabkan elektroporasi yang berdampak
pada disintegrasi materi sel dan meningkatkan transfer massa. Jumlah kandungan bahan masuk
pelarut bergantung pada jumlah materi sel yang rusak.
Perlakuan Terbaik
Perbandingan antara kontrol dengan perlakuan terbaik pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Concrete Minyak Melati Perlakuan Kontrol dan Perlakuan Terbaik (Rasio 1:3
(b/v), Frekuensi 1500Hz)
Parameter Perlakuan
Kontrol
Perlakuan
Terbaik
Rendemen (%) 0,29 0,36
Indeks Bias 1,36 1,48
Komposisi kimia
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
38
a. Penciri
minyak melati
(%)
8,295 13,381
Linalool 3,301 3,466
Benzyl acetate 1,264 2,109
Farnesene 3,076 5,018
Cis-3-hexenyl
benzoate - 2,144
Methyl
palmitate 0,654 0,644
b. Total Wax (%) 78,452 54,65
c. Komponen
lain (%) 13,253 31,969
Hasil penelitian menunjukkan kontrol memiliki nilai indeks bias sebesar 1,36. Nilai
indeks bias tersebut di bawah standar indeks bias referensi (1,472 – 1,485). Kandungan
komponen wax yang tinggi menyebabkan nilai indeks bias perlakuan kontrol rendah. Perlakuan
terbaik memiliki nilai indeks bias lebih tinggi dari kontrol yaitu 1,48. Diduga, perlakuan PEF
mampu meningkatkan kandungan komponen penciri minyak melati sehingga meningkatkan
nilai indeks biasnya. Menurut Dobreva et al. (2010), proses PEF dapat digunakan memproduksi
minyak mawar. Penerapan PEF pada bunga mawar yang baru mekar memberikan peningkatan
rasio senyawa penting pada minyak tersebut.
Secara detail komponen linalool perlakuan kontrol sebesar 3,301%. Pada perlakuan
terbaik diperoleh linalool 3,466%. Terdapat selisih sebesar 0,165% antara perlakuan kontrol
dengan perlakuan terbaik. Komponen benzyl acetate perlakuan kontrol sebesar 1,264%
sedangkan pada perlakuan terbaik 2,109%. Komponen benzyl acetate dari perlakuan terbaik
meningkat sebesar 0,845%. Pada komponen farnesene, diperoleh area sebesar 3,076 pada
perlakuan kontrol. Pada perlakuan terbaik komponen farnesene sebesar 5,018%. Komponen
farnesene yang dihasilkan perlakuan terbaik memiliki selisih 1,942% lebih banyak dibanding
kontrol. Pada komponen cis-3-hexenyl benzoate tidak didapatkan pada perlakuan kontrol.
Komponen methyl palmitate perlakuan kontrol menghasilkan persen area sebesar 0,654%.
Perlakuan terbaik menghasilkan methyl palmitate 0,644%. Komponen methyl palmitate
perlakuan kontrol lebih banyak 0,01% dibanding perlakuan terbaik. Menurut (Nisak, 2013)
pemberian perlakuan pendahuluan berupa PEF pada bunga melati dapat meningkatkan
komponen utama pada minyak melati. Perlakuan PEF dapat meningkatkan komponen benzyl
acetate hingga 2,35% dan linalool sebesar 0,35%.
Rerata rendemen perlakuan terbaik meningkat 0,07%. Peningkatan tersebut seiring
dengan peningkatan komponen penciri minyak melati. Selain itu, komponen lain pada perlakuan
terbaik juga lebih tinggi dari kontrol. Menurut Kulshresta et al. (2003), paparan medan listrik
pada frekuensi 10Hz, 50Hz, 250Hz dan 5000Hz dengan kuat medan 23,9 V/cm, serta lama
pemrosesan 3 menit digunakan pada buah bit. Hasilnya memberikan peningkatan rata-rata
rendemen 0,17%. Menurut Nisak (2013), ekstraksi minyak melati dengan rasio bahan dan
pelarut 1:2,5 (b/v) dan frekuensi 22 kHz meningkatkan rendemen hingga 0,97%.
Metode enfleurasi menghasilkan minyak melati berbentuk absolute. Ekstraksi minyak
melati secara enfleurasi menggunakan bahan baku 150 gram, absorben lemak sapi, dan pelarut
alkohol 95% selama 2 hari menghasilkan rendemen 0,2% dan indeks bias 1,46 – 1,48 (Muchtar,
et al. 2013). Jika dibandingkan absolute minyak melati dengan metode enfleurasi referensi dan
metode maserasi dengan komponen penciri minyak melati sebagai absolute dari total concrete
minyak melati maka rendemen metode enfleurasi lebih tinggi. Komponen penciri minyak melati
metode maserasi adalah 14% dari 0,36% total rendemen sehingga absolute 0,05%. Komponen
wax dan komponen lain yang larut dalam proses leaching menyebabkan absolute minyak melati
hasil maserasi sedikit. Proses enfleurasi 2 hari membiarkan metabolisme bunga melati terjadi
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
39
sehingga perfum yang di-absorbsi lemak lebih banyak. Berbeda dengan proses enfleurasi,
proses leaching menyebabkan metabolisme bahan berhenti. Solvent yang masuk ke dalam
jaringan sel menghentikan proses respirasi bunga sehingga proses metabolisme dalam
memproduksi komponen penciri minyak melati tidak berlanjut. Menurut Handa et al. (2008),
faktor pasca panen penting bagi bahan baku yang masih terjadi proses metabolisme, seperti
respirasi, proses enzimatik setelah pengumpulan bahan hingga tidak aktifnya enzim akibat
pengeringan atau perlakuan lain. Selain itu, bahan baku mengalami oksidasi oleh udara dan
cahaya disamping kehilangan sebagian komponen secara fisik.
Neraca Massa Produksi Concrete Minyak Melati dengan Perlakuan PEF
Neraca massa proses produksi concrete minyak melati dengan perlakuan PEF merupakan
neraca massa hasil perlakuan terbaik rasio bahan dan pelarut 1:3 dengan frekuensi PEF 1500Hz.
Basis bahan baku digunakan 300g sebagai input dan solvent 585g. Rendemennya 1,1g. Tabel
neraca massa input dan output pada Tabel 5.
Sortasi bertujuan memisahkan bunga melati yang sesuai untuk produksi dari bunga
yang tidak sesuai dan pengotornya. Bunga yang dipilih memiliki tingkat kemekaran 40-75%.
Input bahan baku sebesar 330 g. Bunga melati yang sesuai spesifikasi 300g, sedang pengotornya
30g. Setelah disortasi bunga timbang dan diberi perlakuan PEF. Perlakuan PEF menyebabkan
permeabilisasi membran sel meningkat tanpa memberikan dampak pada massa bahan. Siemer et
al. (2012) menyatakan, penerapan PEF mengakibatkan membran sel menghasilkan
permeabilisasi pada membran biologis sehingga transfer massa saat ekstraksi senyawa
meningkat.
Bahan yang telah diberi perlakuan PEF masuk tahap leaching. Proses leaching
bertujuan melarutkan minyak atsiri bunga melati pada solvent n-heksan 95%. Inputnya adalah n-
heksan 95% 585 g dan bunga melati 300g. Bahan keluar adalah campuran bunga melati dan n-
heksan 95% 885 g. Campuran tersebut dipisah antara filtrat dengan ampas. Filtrat proses
leaching 534,3 g berupa larutan minyak melati dan n-heksan, sedang sisanya 350,7 g ampas
bunga melati tercampur sisa n-heksan yang tidak terpisahkan. Diperkirakan n-heksan yang tidak
dapat dipisahkan sekitar 50 g atau 8,7% dari bahan n-heksan. Menurut Amiarsi et al. (2006)
larutan dipisahkan dengan cara penyaringan dan pemerasan, sehingga diperoleh ampas dan
ekstrak dari bunga.
Tabel 5. Neraca Massa Input dan Output
Proses
Neraca Massa
Input
(g)
Output
(g)
Sortasi
Bunga melati 330
Bunga melati setengah
mekar 300
Bunga layu, mekar, ranting,
daun, kotoran 30
Penimbangan
Bunga melati setengah
mekar 300
Bunga melati setengah
mekar 300
Pre-treatment PEF
Bunga melati setengah
mekar 300
Bunga melati setengah
mekar 300
Leaching
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
40
Bunga melati setengah
mekar 300
Solvent n-heksana 95% 585
Larutan bunga melati + n-
heksan 95% 885
Filtrasi
Bunga melati + n-heksan
95% 885
Ampas bunga melati
350,7
Larutan minyak melati + n-
heksa 95% 534,3
Evporasi
Larutan minyak melati + n-
heksan 95% 534,3
Solvent n-heksan 95%
443,3
Uap n-heksan 95%
89,9
Minyak concrete melati
1,1
Total 3234,3 3234,3
Evaporasi solvent memisahkan n-heksan dengan concrete minyak melati dengan prinsip
tekanan dan penguapan pada labu alas sampel. Inputnya adalah filtrat sebanyak 534,3 g. Output
proses evaporasi adalah n-heksan sebanyak 444 g atau sebesar 75% dari bahan n-heksan dan
uap n-heksan 89,9 g atau 15% bahan n-heksan. Hasil evaporasi berupa produk concrete minyak
melati sebanyak 1,1 g atau 0,36% dari bahan baku bunga melati 300g. Menurut Suyanti et al.
(2005), recovery merupakan jumlah pelarut yang diperoleh kembali pada proses penguapan
perlarut. Pada ekstraksi bunga melati dengan rasio bahan dan pelarut 1:2 recovery pelarut
berkisar antara 66,24 - 81,05%. Recovery pelarut yang rendah disebabkan sebagian besar
pelarut terikut dalam ampas bunga karena proses manual. Kehilangan pelarut yang besar
mempengaruhi biaya produksi.
Gambar 2 Grafik Selektivitas dan Konversi pada T = 50 oC
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
41
Tabel 1 Nutrisi dalam jeruk nipis
4. KESIMPULAN (CONCLUSION)
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa pengaruh penerapan PEF pada bahan baku
terhadap ekstraksi concrete minyak bunga melati menghasilkan perlakuan terbaik pada rasio
bahan dan pelarut n-heksan 1:3 (b/v) dengan frekuensi PEF 1500Hz. Nilai indeks bias perlakuan
terbaik 1,48. Rendemen 0,36% dengan komponen penciri concrete minyak melati adalah
linalool 3,46%, benzyl acetate 2,1%, farnesene 5,01%, cis-3-hexenyl benzoate 2,14% dan
methyl palmitate 0,64%, total wax 54,07% dan komponen lain 32,25%.
UCAPAN TERIMA KASIH (AKNOWLEDGMENT)
Terima kasih disampaikan pada Penelitian BOPTN Universitas Brawijaya tahun 2013.
Data penelitian ini merupakan bagian penelitian “Elektroporasi Membran Sel untuk
Meningkatkan Efisiensi Ekstraksi Minyak Atsiri”.
DAFTAR PUSTAKA (REFERENCE)
[1] Amiarsi, D. Yulianingsih, dan Sabari. 2006. Pengaruh Jenis dan Perbandingan Pelarut
Terhadap Hasil Ekstraksi Minyak Atsiri Mawar, J. Hort. Balai Penelitian Tanaman
Hias. Jakarta. 16(4):356-359.
[2] Anam, C. 2010. Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber officinale) Kajian Dari Ukuran
Bahan, Pelarut,Waktu Dan Suhu. Jurnal Pertanian MAPETA, ISSN : 1411-2817.
Universitas Islam Darul Ulum. Lamongan. 7(2): 72 – 144.
[3] Bahzal, M.I., Lebovka, N.I. dan Vorobiev, E. 2001. Pulse Electric Field Treatment on
Apple Tissue During Compression for Juice Extraction, Journal Of Food Engineering.
Elsevier. Perancis. 50: 129 – 139.
[4] Dobreva. A., Tinchev. F., Schulz, H., dan Toepfl, S. 2012. Effect of Pulsed Electric
Field on Yield and Chemical Composition of Rose Oil (Rosa damascena Mill.), Journal
of Essetial Oil Bearing Plants 15 (6) 2012 pp 876 – 884. Har Krishan Bhala & Sons.
German. 15(6): 876 – 884.
[5] Dobreva, A., F. Tintchev, V. Heinz, H. Schulz and S. Toepfl (2010). Effect of pulsed
electric fields (PEF) on oil yield and quality during destillation of white oil-bearing
rose (Rosa alba L.). Z Arznei- Gewurzpfla. Har Krishan Bhala & Sons. German. 15(3):
127-131
[6] Edris, A., Chizola, R. dan Franz C. 2008. Isolation and Characterization of The Volatile
Aroma Compounds from Concreate Headspace and The Absolute ofJasminum
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
42
sambac (L.) Ait. (Olaceae) Flowers Grown In Egypt, Journal Food Research Technical
2008. University of Veterinary Medicine. Austria. 226:621-626.
[7] Handa, S.S., Khanuja, S.P.S., Longo, G., dan Rakesh, D.D. 2008. Extraction
Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. UNIDO and ICSHT. Italy.
[8] Heinz, V. dan Raso, J. 2006. Pulsed Electric Fields Technology For The Food Industry,
Fundamentals and Applications. Springer. United States of America.
[9] Hidayanto, E. 2008. Portable Elemental Analysis for Environmental Samples Thesis.
Japan: Kyoto University.
[10] Nisak, H. 2013. Ekstraksi Melati Putih Menggunakan Tekhnoplogi Kejut Listrik
Terhadap Mutu Miyak Atsiri Concrete. Universitas Brawijaya. Malang.
[11] Knorr, D., Toepfl, S., dan Heinz, v., .2004. Optimizationof pulsed electric field
treatment for liquid food pasteurization,In: Proceedings of 2nd European Pulsed
Power Symposium. Hamburg. Germany. 68-72.
[12] Kulshresta, S. dan Sastry, S. 2003. Frequency and Volatge Effects on Enhanced
diffusion During Moderate Electric Field (MEF) Treatment. Innovative Food Science
and Emmerging Technology. Ohio State University. USA. 4:189-194.
[13] Maskooki, A.M, dan Estiaghi, M.N. 2011. Effects of Various Pulsed Electric Field
Conditions on Cell Disintegration and Mass Transfer of Sugar Beet. Journal Of Foof
Engineering. Chemical Engineering Departement of Mahdoi. University Thailand. 1: 67-
76.
[14] Muchtar, M.K, Hanani, F.D, dan Ikhsan, D. 2013. Pengaruh Waktu dan Jenis
Absorben Pada Proses Enfleurasi Bunga Melati (Jasminum Sambac). Journal
Teknologi Kimia dan Industri.. Universitas Dipenogoro. Semarang. 2(4): 93-97.
[15] Pataro, G., Ferrari, G. dan Donsi F. (2011). Mass Transfer Enhancement by Means of
Electroporation, Mass Transfer in Chemical Engineering Processes, Dr. Jozef
Markoš (Ed.). Intechopen Europe. Kroasia
[16] Prabawati, S. Astuty, E.D. dan Dondy, ASB. 2000. Pengaruh Tingkat kemekaran
Bunga dan Spesies Melati terhadap Hasil Ekstraksi Minyak. J. Hort. Balai Penelitian
Tanaman Hias. Jakarta. 10(4): 214-219
[17] Rahayoe, S., Suhargo, Y. Tetuko, dan T. Mega. 2007. Kajian kinetika Pengaruh Kadar
Air dan Perajangan Terhadap Laju Destilasi Minyak Atsiri. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta. 393-406.
[18] Ratnasari, J. Dan Krisanti. 2007. Galeri Tanaman Hias Bunga. Penebar Swadaya.
Jakarta.
[19] Rusli, M.S. 2010. Sukses Memproduksi Minyak Atsiri. Agromedia Pustaka. Jakarta.
[20] Said, Ahmad. 2007. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Sinar Wadja Lestari. Jakarta.
[21] Sani, N.S., Racchmawati, R., dan Mahfud. 2012. Pengambbilan Minyak atsiri dari
Melati dengan Metode Enfleurasi dan Ekstraksi Pelarut Menguap. Jurnal POM
ITS. ITS. Surabaya. 1(1): 1-4.
[22] Saraswati, D.P., Triwiratno, A., Baswarsiati, Istqomah, N., dan Purbiati, T. 2005.
Pengkajian Sistem Usaha Tani Tanaman Melati. Prosiding Seminar hasil Penelitian
BPTP. Jawa Timur. 536-544
[23] Siemer, C., Toepl, S. dan Heinz, V. 2012. Mass Transport Improvement by PEF -
Applications in the Area of Extraction and Distillation, Distillation - Advances from
Modeling to Applications, Dr. Sina Zereshki. Intech Europe. Kroasia.
[24] Srijanto, B., Rosidah, I., Rismana, E., Syabirin, G., Aan dan Mahreni. 2004. Pengaruh
Waktu, Suhu Dan Perbandingan Bahan Baku-Pelarut Pada Ekstraksi Kurkumin
Dari Temulawak (Curcuma xanthorriza roxb.) Dengan Pelarut Aseton ISSN 1411-
4316. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1-5.
[25] Subedi, D.P., Adhikari, D.R., Joshi, U.M., Poudel, H.N., dan Niraula, B. 2006. Study Of
Temperature And Concentration Dependence Of Refractive Index Of Liquids Using A
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
43
Novel Technique, Khatmandu Universty Journal Of Science, Engineering And
Technology. Departement of Natural Science. Nepal. 2(1): 1-7
[26] Sutiah, K., Firdausi, S., dan Budi, W.S. 2008. Studi Kualitas Minyak Goreng Dengan
Parameter Viskositas Dan Indeks Bias, Berkala Fisika ISSN : 1410 – 9662. Jurusan
FMIPA UNDIP. Semarang. 11(2): 53-58
[27] Suyanti, Prabawati, S., Murtiningsih dan Yulianingsih. 2005. Perbaikan Cara Ekstraksi
untuk Meningkatkan Rendemen Minyak Bunga Melati Gambir Skala Pilot,
Pascapanen Pertanian, Prosiding Seminar Nasional Inovatif Pascapanen untuk
Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan. Bogor. 323-333.
[28] Suyanti, Prabawati, S., Yulianingsih., Setyadjit., dan Unadi., U. 2005. Pengaruh Cara
Ekstraksi dan Musim Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Bunga Melati. Jurnal
Pascapanen. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Jakarta. 2(1): 18-23.
IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5
44
Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012
Minyak Atsiri Daun Zingiberaceae sebagai Antioksidan
dan Antiglikasi
Irmanida Batubara*1, Ummi Zahra2, Latifah K Darusman3, Akhiruddin Maddu4
1,2,3Departemen Kimia FMIPA Institut Pertanian Bogor; Kampus IPB Darmaga Bogor,
Indonesia 1,3Pusat Studi Biofarmaka Tropika LPPM, Institut Pertanian Bogor; Jl Taman Kencana No 3
Bogor, Indonesia 4Departemen Fisika FMIPA, Institut Pertanian Bogor; Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia
e-mail: *[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Rimpang keluarga Zingiberaceae dilaporkan memiliki aroma khas dan juga aktif
sebagai antioksidan, sementara daun keluarga ini memiliki aroma khas yang mirip dengan
rimpangnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi minyak atsiri daun
beberapa spesies dari keluarga Zingiberaceae dan menentukan aktivitas minyak atsiri tersebut
sebagai antioksidan dan antiglikasi yang berhubungan dengan anti-penuaan. Daun dari 8 spesies
yaitu Alpinia galanga, Boesenbergia pandaratum, Curcuma aeruginosa, Curcuma domestica,
Curcuma xanthorrhiza, Curcuma zedoaria, Ellettaria cardamomum, dan Zingiber officinale
diisolasi minyak atsirinya menggunakan teknik distilasi uap. Minyak yang diperoleh ditentukan
kemampuannya sebagai antioksidan menggunakan metode ABTS (2,2’-azino-bis-3-
ethylbenzothiazolin-6-sulfonic acid) menggunakan spektrofotometer visual serta kemampuan
antiaging melalui aktivitas antiglikasi mengunakan flourimetri. Rendemen minyak dihasilkan
mulai dari 0.04 hingga 3.15%. Kapasitas antioksidan tertinggi dengan metode ABTS ditemukan
pada minyak atsiri daun Curcuma aeruginosa sebesar 5.10g ekuivalen asam askorbat/ 100 g
minyak sedangkan minyak dengan aktivitas antiglikasi terbesar ditemukan pada minyak daun Z.
officinale dengan konsentrasi penghambatan 50%, IC50 sebesar 207.95mg/L. Senyawa kimia
pada minyak atsiri daun Z. officinale ditentukan menggunakan metode Kromatografi Gas-
Spektrometri Massa dan ditemukan kariofilena sebagai komponen dominannya. Kariofilena
mampu bertindak sebagai antiglikasi dengan konsentrasi penghambatan 50% sebesar 113.8 µM.
Minyak atsiri dari daun Z officinale berpotensi dikembangkan sebagai antiaging.
Kata kunci—Zingiber officinale, kariofilena, ABTS dan antiaging
Abstract Zingiberaceae family rhizome has been reported to have distinctive aroma and also
active as antioxidant, while leaves of this family have a distinctive aroma similar to the
rhizomes. Therefore, this study aims to isolate the essential oil of some species of Zingiberaceae
family leaves and determine its activity as anti aging by antioxidants and antiglycation
activities. The essential oil of eight Zingiberaceae species leaves namely Alpinia galanga,
Boesenbergia pandaratum, Curcuma aeruginosa, Curcuma domestica, Curcuma xanthorrhiza,
Curcuma zedoaria, Ellettaria cardamomum, and Zingiber officinale were isolated using steam
distillation. The antioxidant abilities of the oils were determined by ABTS (2,2'-azino-bis-3-
ethylbenzothiazolin-6-sulfonic acid) using a spectrophotometer and anti aging abilities of the
oils were determined by antiglycation using flourimetri. The yield of essential oil produced were
vary from 0.04 to 3:15%. The high antioxidant capacity found in essential oil of Curcuma
aeruginosa leaf (5.10g ascorbic acid equivalent / 100 g of oil), while the most active antiglikasi
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
45
activity found in Z. officinale leaf essential oil (50% inhibitory concentration, IC50 of
207.95mg/L). Chemical compounds in the Z. officinale leaves essential oil were determined
using the method Gas- chromatography mass spectrometry and found that caryophylene as
dominant compound. Caryophylene has antiglycation activity with IC50 of 113.8 µM. The
essential oil of Z officinale leaf likely to be developed as an anti aging.
Keywords—Essential Oil, caryophylene, ABTS and antiglycation
1. PENDAHULUAN
Minyak atsiri diproduksi oleh tanaman sebagai hasil metabolisme sekundernya. Minyak
ini bersifat mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa getir, dan berbau wangi sesuai
dengan bau tanaman penghasilnya. Indonesia merupakan salah satu Negara produsen minyak
atsiri di dunia. Minyak atsiri yang banyak diproduksi oleh Indonesia antara lain minyak atsiri
kayu manis, minyak nilam, minyak pala, dan masih banyak lainnya. Minyak atsiri dilaporkan
memiliki kemampuan biologis seperti menjadi antibakteri, antiinflamasi, antioksidan, antitumor,
dan penetralisir racun [1-7].
Di sisi lain, Indonesia merupakan Negara yang dianugerahi kekayaan biodiversitas.
Salah satu biodiversitas tersebut adalah tanaman minyak atsiri yaitu tanaman yang mampu
memproduksi minyak atsiri. Tanaman keluarga Zingiberaceae merupakan tanaman tropis dan
subtropics yang terdiri atas 1400 spesies. Tanaman ini banyak dimanfaatkan di Indonesia
terutama bagian rimpangnya. Selain rimpang tanaman Zingiberaceae, batang dan daunnya pun
dapat dimanfaatkan [8]. Minyak atsiri daun Zingiberaceae dilaporkan memiliki aktivitas
sebagai antibakteri Streptococcus mutans dan mampu menjadi penghancur biofilm terutama
minyak atsiri daun kapulaga (Electtaria cardamomum), minyak atsiri daun kunyit juga
dilaporkan menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus dan aflatoksin [9,10].
Seluruh mahkluk hidup akan menjadi tua. Proses penuaan ditandai dengan penurunan
integritas anatomi dan fungsi beberapa sistem organ dan berkurangnya kemampuan tubuh untuk
menanggapi stress [11]. Dalam proses penuaan ini terjadi reaksi glikasi yang merupakan reaksi
antara asam amino dan gula pereduksi membentuk produk akhir yang disebut sebagai Advance
glycation end product, AGEs [12]. AGEs dalam jumlah berlebih di dalam tubuh akan
menghasilkan berbagai macam penyakit seperti diabetes, alzhaimer, dan penuaan. Proses glikasi
dipercepat oleh adanya radikal bebas selain radikal bebas pun dihasilkan dari proses glikasi [13].
Senyawa antioksidan akan menetralkan radikal bebas. Oleh karena itu senyawa antiaging juga
diharapkan mampu menetralkan radikal bebas.
Pada penelitian ini dilakukan penapisan potensi minyak atsiri daun zingiberaceae
Indonesia sebagai antiaging. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan potensi sebagai
antiaging adalah melalui seleksi aktivitasnya sebagai antioksidan penangkal radikal dan
antiglikasi. ABTS (2, 2’-azinobis—etil benzotiazolina 6-sulfat) merupakan radikal kation yang
digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan menggunakan spektrofotometri. Antiglikasi
ditentukan dengan menentukan jumlah AGEs yang dihasilkan dari reaksi protein (Bovine serum
albumin, BSA) dengan glukosa dan fruktosa menggunakan fluorimetri. Minyak atsiri paling
aktif ditentukan komponennya menggunakan kromatografi gas-spektrometri massa (KG-SM),
dan senyawa dominan pada minyak atsiri terpilih ditentukan aktivitas antiglikasinya.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu koleksi dan identifikasi daun
zingiberaceae, penentuan kadar air dan abu daun menggunakan metode AOAC, isolasi minyak
atsiri daun dengan distilator uap air, pengujian aktivitas antioksidan dan antiglikasi, identifikasi
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
46
senyawa daun Zingiberaceae menggunakan KG-SM, serta penentuan aktivitas senyawa
dominan.
2.1 Koleksi dan Identifikasi Daun Zingiberaceae
Daun Zingiberaceae diambil dari Unit Konservasi dan Budidaya Biofarmaka Pusat
Studi Biofarmaka Tropika LPPM IPB di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Daun yang
dikumpulkan diambil contohnya untuk ditentukan nama ilmiahnya di LIPI Biologi Cibinong.
Daun yang digunakan dalam penelitian ini (Gambar 1) adalah daun lengkuas (Alpinia galanga),
temu kunci (Boesenbergia panduratum), temu hitam (C. aeruginosa), kunyit (Curcuma
domestica), temulawak (C. xanthorrhiza), temu putih (C. zedoaria), kapulaga (Elettaria
cardamomum), dan jahe (Zingiber officinale).(
Gambar 1. Daun Zingiberaceae yang digunakan pada penelitian ini
2. 2. Isolasi Minyak Atsiri
Sebanyak 2-3 kg daun sampel segar yang sudah dipotong-potong dimasukkan ke dalam
distilator uap. Sejumlah tertentu air (3-4 L) ditambahkan ke dalamnya. Distilasi dilakukan
selama 2-3 jam. Minyak atsiri yang diperoleh dimasukkan dalam botol gelap dan disimpan
dalam pendingin untuk analisis tahapan berikutnya
2.3 Uji Aktivitas Antioksidan
Prinsip uji antioksidan yang digunakan ialah dengan mengukur kemampuan
penangkapan aktivitas radikal ABTS yang akan dibandingkan dengan asam askorbat. ABTS
(7.46 mM) dioksidasi menggunakan kalium peroksidisulfat (2.45 mM) selama 16 jam.
Sebanyak 180 μL ABTS.+ yang teroksidasi direaksikan dengan 20 μL minyak atsiri daun
Zingiberaceae dengan konsentrasi 2 mg/mL. Dibuat kurva standar hubungan absorbansi pada
panjang gelombang 734 nm dan konsentrasi asam askorbat (5, 25, 50, 75, dan 100 μg/ml).
KUrva standar yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2. Aktivitas antioksidan minyak atsiri
dilaporkan sebagai ascorbic acid ekivalent antioxidant capacity (AEAC).
Gambar 2. Kurva standar hubungan konsentrasi asam askorbat dan absorbans hasil reaksi
dengan ABTS
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
47
2.4 Uji Aktivitas Antiglikasi
Metode antiglikasi mengacu pada Povichit (2011) dengan sedikit modifikasi [14].
Sebanyak 80 µL BSA 20 mg/mL direaksikan dengan 40µL glukosa 235 mM, 40µL fruktosa 235
mM dan 80µL sampel atau kontrol positif (aminoguanidin) dalam larutan buffer fosfat 0.2M pH
7.4 dalam tabung reaksi. Adapun pada larutan pengoreksi sampel yaitu larutan yang digunakan
untuk menghilangkan matriks sampel, akuades digunakan sebagai pengganti glukosa dan
fruktosa. Pada larutan kontrol negatif yaitu larutan yang digunakan untuk mengetahui reaksi
tanpa adanya gangguan sampel, akuades digunakan sebagai pengganti sampel.
Seluruh larutan diinkubasi selama 40 jam pada suhu 60oC, kemudian diukur intensitas
flouresensinya menggunakan flourimetri dengan panjang gelombang eksitasi 330 nm dan emisi
440 nm. Aktivitas antiglikasi diukur menggunakan persamaan berikut
Keterangan A : Intensitas flourosens larutan sampel
Ao : Intensitas flourosens larutan pengoreksi sampel
B : Intensitas flourosens larutan kontrol
Bo : Intensitas flourosens larutan pengoreksi kontrol
Persentase penghambatan 50% (IC50) terhadap fluoresensi AGEs dihitung dari kurva
regresi aktivitas penghambatan.
2.5. Identifikasi komponen minyak atsiri daun Zingiberaceae
Minyak atsiri yang telah murni dari daun Zingiberaceae yang paling aktif sebagai
antioksidan dan antiglikasi selanjutnya dianalisis dengan KG-SM untuk mengidentifikasi
komponen golongan senyawa penyusun minyak atsiri tersebut. Spektrum massa yang diperoleh
dari sampel dibandingkan dengan spektrum massa dari senyawa pembanding. Sampel
dinjeksikan ke dalam injektor KG-SM. Kolom yang digunakan ialah HP-5 MS (dimensi 30 m x
0.25 mm x 0.25 µm). He digunakan sebagai gas pembawa dengan laju alir 20 mL/menit. Suhu
injektor yang digunakan 80 ˚C dan suhu detektor 250 ˚C. Suhu kolom yang digunakan, yaitu
suhu terprogram dengan suhu awal 80 ˚C ditahan selama 5 menit, lalu suhu dinaikan 10 ˚C
setiap menitnya hingga suhu 250 ˚C dan dibuat konstan hingga menit ke-45. Kondisi
spektrofotometer massa yang digunakan adalah EI 70 eV dengan mode ionisasi EI, arah deteksi
50-1000 m/z. Puncak yang muncul pada kromatogram ion total diidentifikasi dengan
membandingkan spektrum massa dengan library index MS (NIST11). Waktu retensi dan
kemiripan spektrum massa puncak dan senyawa pada library ditentukan untuk memastikan jenis
senyawa pada puncak.
2.6. Analisis data
Analisis dilakukan dengan mengunakan ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%.
Analisis lebih lanjut dilakukan dengan uji Duncan multiple range test untuk data aktivitas
antiglikasi dan kapasitas antioksidan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Daun yang digunakan dalam penelitian ini merupakan daun segar, oleh karena itu kadar
air yang terdapat dalam sampel tergolong tinggi yaitu lebih dari 75% (Tabel 1). Di antara
seluruh sampel daun yang digunakan kadar air tertinggi ditemukan pada daun kunyit. Kadar abu
dari suatu sampel tanaman dapat berbeda-beda sesuai dengan mineral yang terkandung dalam
tempat tumbuh tanaman. Semakin besar kadar abu dari suatu sampel menunjukkan semakin
banyak kandungan mineral pada tempat tumbuh sampel tersebut. Kadar abu ditentukan untuk
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
48
menentukan kualitas daun yang biasanya berperan sebagai bioakumulator logam dan adanya
logam dapat memengaruhi metabolisme tanaman [15]. Kadar abu yang diperoleh (Tabel 1) juga
cukup tinggi, artinya banyak mineral yang terkandung dalam tanaman. Kadar abu tertinggi
dimiliki oleh daun kunyit, yaitu sebesar 11.65%. Perbedaan kadar air maupun kadar abu yang
diperoleh disebabkan oleh perbedaan jenis tanaman, waktu panen, dan kondisi pertumbuhan.
Rendemen minyak atsiri yang diperoleh dari daun zingiberaceae dalam penelitian ini
sangat bervariasi mulai dari 0.01% hingga 3.15% (Tabel 1). Rendemen minyak atsiri tertinggi
dimiliki oleh daun kapulaga. Kapulaga memiliki minyak atsiri yang tinggi pada hampir semua
bagian tanamannya. Biji kapulaga menghasilkan rendemen sebesar ±1% setelah didistilasi
dengan distilasi uap air, sedangkan dari daging buah dilaporkan sebesar 7%, hal ini
menunjukkan bahwa daun kapulaga merupakan sumber potensial untuk mendapatkan minyak
atsiri dibandingkan dengan bijinya [16-17]. Rendemen minyak atsiri daun terkecil ditemukan
pada daun lengkuas (Tabel 1). Minyak atsiri daun lengkuas yang diperoleh sangat kecil, hal ini
juga terjadi pada minyak atsiri buah Alpinia galangal yang hanya memiliki rendemen sebesar
0.2% [18]. Rendemen minyak atsiri yang diperoleh pada penelitian sebelumnya sebesar 2.09%
pada daun kunyit, 0.80% pada daun temulawak, 0.33% pada daun temu putih, dan 2.43% pada
daun kapulaga [9]. Rendemen pada penelitian ini tidak berbeda dengan rendemen yang
diperoleh pada penelitian sebelumnya.
Warna minyak atsiri yang diperoleh dari daun Zingiberaceae mulai dari tidak berwarna
hingga kuning kecoklatan (Tabel 1). Rendemen yang kecil pada minyak atsiri daun lengkuas
dan daun temu kunci menyebabkan warna minyak atsiri kedua daun tersebut tidak dapat
ditentukan. Selain itu kedua minyak atsiri juga tidak ditentukan aktivitas antioksidan dan
antiglikasinya karena jumlah sampel yang tidak memadai.
Tabel 1 Kadar air, kadar abu, dan rendemen minyak atsiri daun Zingiberaceae
Daun Kadar air
(% b/b)
Kadar abu
(% b/b)
Rendemen
minyak (% b/b) Warna Minyak
Nama local Nama latin
Lengkuas Alpinia galanga 79,92 9,81 0,01 -
Temu
kunci
Boesenbergia
panduratum
81,58 11,43 0,03 -
Temu
hitam
Curcuma
aeruginosa
81,17 9,74 1,77 Kuning
kecoklatan
Kunyit C. domestica 85,29 11,65 2,31 Kuning seulas
Temulawak C. xanthorrhiza 84,52 10,68 0,90 Kuning
kecoklatan
Temu putih C. zedoaria Rosc. 79,62 9,64 0,21 Tidak berwarna
Kapulaga Electtaria
cardamomum
80,08 10,69 3,15 Tidak berwarna
Jahe Zingiber
officinale
80,04 10,82 0,08 Kuning seulas
Keterangan:(-): warna kurang tampak
Aktivitas antioksidan dan antiglikasi seluruh minyak dengan rendemen lebih besar dari
0.06% ditentukan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Kapasitas antioksidan dilaporkan
dalam gram antioksidan ekuivalen asam askorbat, semakin besar kapasitas semakin tinggi
aktivitas antioksidannya. Kapasitas antioksidan tertinggi ditemukan pada minyak atsiri daun
temu hitam. Kapasitas antioksidan minyak atsiri daun temu hitam tidak berbeda nyata dengan
minyak daun kunyit. Minyak atsiri rimpang kunyit pun dilaporkan memiliki aktivitas sebagai
antioksidan [19]
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
49
Tabel 2. Aktivitas antioksidan dengan metode ABTS dan antiglikasi minyak atsiri daun
Zingiberaceae
Minyak atsiri daun
/ kontrol positif
Nama latin daun Kapasitas antioksidan
g antioksidan ekuivalen ascorbic
acid (AEAC)/100 g minyak
IC50 (g/mL)
Antiglikasi
Temu hitam Curcuma
aeruginosa
5,10c 243,57d
Kunyit C. domestica 4,19c 221,26c
Temulawak C. xanthorrhiza 0,57a 221,60c
Temu putih C. zedoaria Rosc. 0,89a 236,38d
Kapulaga Electtaria
cardamomum
2,00b 240,35d
Jahe Zingiber officinale 0,66a 207,95b
Aminoguanidin 18,91a
Keterangan: nilai diikuti dengan huruf yang sama tidak memiliki perbedaan yang signifikan
pada uji Duncan multiple range test.
Aktivitas antiglikasi dilaporkan dengan konsentrasi yang dapat menghambat 50% reaksi
glikasi yang dikenal dengan IC50. Makin kecil konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat
50% reaksi glikasi makin aktif bahan tersebut. Dari enam minyak atsiri daun zingiberaceae yang
diuji pada penelitian ini ditemukan minyak atsiri daun jahe yang memiliki nilai IC50 paling kecil,
sehingga dapat dikatakan minyak atsiri daun jahe merupakan minyak atsiri yang paling
berpotensi sebagai antiglikasi (Tabel 2). Jahe terutama bagian rimpangnya dilaporkan
mengandung senyawa 1-dehidro-[14]-gingerdiena yang dapat menghambat pembentukan AGEs
[20]. Selain itu, ekstrak metanol daun jahe juga dilaporkan aktif sebagai antiglikasi [21]. Bila
dibandingkan dengan kemampuan aminoguanidin yang dikenal sebagai antiglikasi, aktivitas
antiglikasi minyak daun jahe tidak lebih bahkan hanya 1/10 dari aktivitas aminoguanidin.
Walaupun aminoguanidin merupakan antiglikasi namun tidak disetujui untuk produksi
komersial karena memiliki efek samping terkait dengan proses penyerapan vitamin B6 [22].
Minyak atsiri daun jahe ditentukan kandungan senyawanya karena memiliki aktivitas
sebagai antiglikasi. Hasil analisis menggunakan kromatografi gas kromatografi massa dapat
dilihat pada Tabel 3. Kariofilena (Gambar 3) merupakan komponen utama dalam minyak atsiri
daun jahe yaitu sekitar 30%. Kariofilena dilaporkan ini memiliki berbagai sifat farmakologi
antara lain, antimikroba, antiinflamasi, analgesik, antikanker, dan antioksidan [23]. Aktivitas
antioksidan dari senyawa ini dilaporkan karena mampu menghambat peroksidasi lipid yang
terjadi karena memiliki aktivitas radikal scavenging terhadap radikal hidroksida, anion
superoksida,dan lipid peroksida [24]. Oleh karena itu, kariofilena pun mampu menjadi
penghambat glikasi yang juga berhubungan dengan antioksidan.
Tabel 3. Komponen yang terdapat pada minyak daun jahe
Waktu retensi (min) Persentase luas puncak Senyawa Persen kemiripan (%)
5.75 4.91 Alfa pinena 96
6.20 3.92 Beta pinena 97
6.87 5.74 Beta felandrena 92
15.17 32.76 Kariofilena 99
16.64 7.28 Alfa farnesena 94
18.84 7.28 Kariofilena oksida 91
Hingga 100 Senyawa lainnya
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
50
Gambar 3. Struktur kariofilena
Untuk mengetahui kemampuan senyawa dominan pada minyak atsiri daun jahe sebagai
antiglikasi, senyawa murni kariofilena dari TCI (Tokyo Chemical Industry) ditentukan aktivitas
antiglikasi. Aktivitas antiglikasi kariofilena pada berbagai konsentrasi terangkum pada Gambar
4. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi penghambatan reaksi glikasinya semakin
meningkat. Hasil perhitungan penentuan IC50 didapat sebesar 23.21 µg/mL yang sedikit lebih
besar dibandingkan IC50 aminoguanidin dalam satuan ppm. Bila nilai IC50 diubah dalam satuan
molaritas, maka nilai IC50 kariofilena (113.8µM) dua kali lebih kecil dibandingkan dengan IC50
aminoguanidin yaitu sebesar 255.5 µM. Hal tersebut menunjukkan bahwa kariofilen merupakan
zat aktif memiliki aktivitas antiaging pada minyak atsiri Z. officinale dan berpotensi untuk
dimanfaatkan.
Gambar 4. Aktivitas antiglikasi kariofilena pada berbagai konsentrasi
4. KESIMPULAN
Minyak atsiri delapan daun zingiberaceae berhasil diisolasi yaitu dari daun Alpinia
galanga, Boesenbergia pandaratum, Curcuma aeruginosa, Curcuma domestica, Curcuma
xanthorrhiza, Curcuma zedoaria, Ellettaria cardamomum, dan Zingiber officinale. Dari enam
minyak atsiri daun Zingiberaceae genus Curcuma, Ellettaria dan Zingiber, minyak atsiri daun
temu hitam (C. aeruginosa) dan kunyit (C. domestica) merupakan minyak atsiri paling
berpotensi sebagai antioksidan, sedangkan minyak atsiri daun jahe (Z. officinale) paling
berpotensi sebagai antiglikasi. Salah satu senyawa aktif dalam minyak atsiri daun jahe adalah
kariofilena yang memiliki nilai IC50 antiglikasi sebesar 113.8 µM. Untuk mengetahui apakah
ada efek dari senyawa lainnya pada minyak atsiri daun jahe diperlukan pemisahan minyak atsiri
yang diikuti dengan uji aktivitasnya.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
51
DAFTAR PUSTAKA
[1] Burt, S., 2004. Essential oils: their antibacterial properties and potential applications in
foods—a review. International Journal of Food Microbiology 94, 223–253
[2] Badary, O.A. and El-Din, A.M.G., 2000. Antitumor activity of thymochinone against fi
brosarcoma tumorgenesis. Cancer Mol. Biol. 7(3): 1515–1526.
[3] Kordali, S., Cakir, A., Mavi, A., Kilic, H., Yildirim, A., 2005. Screening of chemical
composition and antifungal and antioxidant activities of the essential oils from three
Turkisch Artemisia species. J. Agric. Food Chem. 53, 1408–1416.
[4] Salasia, S.I.O., Rochmadiyanto O.F., Setyawati, W., 2002. Antiinflammatory effects of
cinnamyl tiglate contained in volatile oil of kunyit (Curcuma domestica Val.). Majalah
Farmasi Indonesia 13(3), 162–168.
[5] Siani, A.C., de Ramos, M.F.S., Menezes-de-Lima, O., 1999. Evaluation of anti-
inflammatory related activity of essential oils from the leaves of species of Protium. J.
Ethnopharmacol. 66(1), 57–69.
[6] Sylvestre, M., Pichette, A., Longtin, A., Nagau, F., Legault, J., 2006. Essential oil analysis
and anticancer activity of leaf essential oil of Croton flavens L. from Guadeloupe. J.
Ethnopharmacol. 103(1), 99–102.
[7] Widiyanto A., Siarudin M., 2013. Karakteristik daun dan rendemen minyak atsiri lima
jenis tumbuhan kayu putih. JPHH. 31(4):235-241.
[8] Hartati R., Suganda A. G., Fidrianny, 2014. Botanical, phytochemical and pharmacological
properties of Hedychium (Zingiberaceae) [Review]. Procedia Chem 13: 150-163.
[9] Batubara I., Wahyuni W. T., Susanto M., 2016. Antibacterial activity of Zingiberaceae
leaves essential oil against Streptococcus mutans and teeth-biofilm degradation.
International Journal Pharma and Bio Science 7(4): (P) 111-116
[10] Sindhu S., Chempakam B., Lellla N.K., Bhai R.S., 2011. Chemoprevention by essential oil
of turmeric leaves (Curcuma longa L.) on the growth of Aspergillus flavus and aflatoxin
production. Food and Chemical Toxicology 49:1188-1192.
[11] Semba R.D., Nicklett E.J., Ferrucci L., 2010. Does accumulation of advanced glycation
end products contribute to the aging phenotype? Journal of Gerontology, 2010:1-13
[12] Hori M., Yagi M., Nomoto J., Ichijo R., Shimode A., Kitano T., Tonei Y., 2012.
Experimental models for advanced glycation end product formation using albumin,
collagen, elastin, keratin and proteoglycan. Anti-Aging Medicine. 9(6):125-134
[13] Ndlovu G., Gerda F., Malefa T., Werner C., Vanessa S., 2013. In vitro determination of the
anti-aging potential of four southern african medicinal plants. BMC Compl Alternat Med
13: 1-7.
[14] Povichit N., Phrutivorapongkul A., Suttaji M., Chaiyasut C., Leelapornpisid P., 2010.
Antiglycation and antioxidant activities of oxyresveratol extracted from the heartwood of
Artocarpus lakoocha Roxb. Maejo Int J Sci Technol. 4: 454-461.
[15] Handayani T., 2006. Bioakumulasi logam berat dalam mangrove Rhizophora mucronata
dan Avicennia marina di Muara Angke Jakarta. J Tek Ling. 7(3):266-270.
[16] Fachriyah E., Sumardi. 2007. Identifikasi minyak atsiri biji kapulaga. J Sains Mat.
15(2):83-87.
[17] Savan E.K,, Kucukbay F.Z., 2013. Essential oil composition of Elettaria cardamomum
Maton. J Appl Bio Sci. 7(3):42-45.
[18] Wu M., Zhang W., Guo P., Zhao Z., 2014. Identification of seven Zingiberaceous species
based on comparative anatomy of microscopic characteristics of seeds. Chinese Medicine
9:10. doi:10.1186/1749-8546-9-10
[19] George M, BritoSJ, 2015. Phytochemical and antioxidant studies on the essential oil of the
rhizome of Curcuma aeruginosa Robx. International Journal of Pharmacy 6(8):579
[20] Olennikov D.N., Kashehenko N.I., 2015. 1-dehydro-[14]-gingerdione, a new constituent
from Zingiber officinale. Chemistry of Natural Compounds. 51:877-881.
DOI:10.1007/s10600-015-1438-x
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
52
[21] Zahra U., Kartika Y., Batubara I., Darusman L.K., Maddu A., 2016. Screening the Potency
of Zingiberaceae Leaves as Antioxidant and Antiaging Agent. Nusantara Bioscience. 8(2):
(accepted)
[22] Sero L., Sanguinet L., Blanchard P., Dang B.T., Morel S., Richomme P., Seraphin D.,
Derbre S., 2013. Tuning a 96-well microtiter plate fluorescence-based assay to identify age
inhibitors in crude plant extracts. Molecules. 18:14322. Doi:10.3390/molecules181114320
[23] Afzal A., Oriqat G., Akram K. M., Jose J., Afzal M.. 2013. Chemistry and biochemistry of
terpenoids from curcuma and related species. Journal of Biologically Active Products from
Nature. 3(1):1-55
[24] Calleja M.A., Vieites J.M., Montero-Meterdez T., Torres M.I., Faus M. J., Gil A., Suarez
A., 2013. The antioxidant effect of -caryophyllene protects rat liver from carbon
tetrachloride-induced fibrosis by inhibiting hepatic stellate cell activation. British Journal
of Nutrition. 109:394-401
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
53
PENINGKATAN RENDEMEN DESTILASI MINYAK
JAHE MELALUI FERMENTASI JAHE MERAH
(Zingiber officinale var. Rubrum)
MENGGUNAKAN Trichoderma harzianum
Vivi Nurhadianty*, Chandrawati Cahyani, Luthfi Kurnia Dewi, Linda Triani, Resti
Kurnia Putri
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
e-mail: * [email protected]
Abstrak
Rendemen minyak jahe hasil penyulingan pada umumnya masih rendah, maka perlu
metode yang mampu meningkatkan rendemen minyak jahe hasil penyulingan. Pada penelitian
ini dilakukan perlakuan awal berupa fermentasi pada jahe merah. Fermentasi dilakukan pada
jahe merah dengan ukuran ± 1 x 1 cm, berlangsung secara aerob, pada suhu ruangan, pH 4,
moisture jahe merah 40-45%, dan konsentrasi T.harzianum dalam fermentor ± 1,087 x 104
mg/L. Selanjutnya, destilasi uap dilakukan selama 8 jam pada jahe merah yang telah
difermentasi maupun yang tanpa fermentasi. Perolehan minyak jahe setelah fermentasi selama
2, 6, dan 8 hari dibandingkan dengan minyak jahe tanpa fermentasi untuk mengetahui pengaruh
fermentasi terhadap peningkatan rendemen minyak jahe. Adapun hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa jahe merah tanpa fermentasi, dan dengan jahe yang difermentasi selama 2,
6, dan 8 hari secara berturut-turut sebesar menghasilkan rendemen sebesar 0,015% ; 0,020% ;
0,076%; dan 0,025%. Berdasarkan hasil tersebut, fermentasi jahe merah selama 6 hari
menghasilkan rendemen minyak jahe tertinggi.
Kata kunci: Fermentasi jahe merah, Trichoderma harzianum, rendemen minyak jahe
Abstract
Ginger oil yield which is obtained after steam distillation is low in general, so it is
necessary to improve the oil yield. This research, the red ginger will use as a sample for
fermentation prior to distillation. Fermentation of red ginger with a size of ± 1 x 1 cm is carried
in an aerobic fermentation, at room temperature, pH 4, at 40-45% moisture, and T.harzianum
concentration in fermenters ± 1.087 x 104 mg/L. Then, a steam distillation was conducted for 8
hours. The oil yield after fermentation for 2, 6, and 8 days were compared to the yield without
fermentation to determine the effect of fermentation for increasing the oil yield. The results of
this research indicate that the yield of red ginger without fermentation, and with fermentation of
2, 6, and 8 days, respectively generating yield of 0.015%; 0,020%; 0.076%and 0.025%. It can
be concluded that the highest ginger oil yield obtained in 6 days fermentation.
Keywords: Fermentation of red ginger, Trichoderma harzianum, ginger oil yield
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
54
1. PENDAHULUAN
Jahe merah memiliki kandungan minyak atsiri lebih banyak dibandingkan dengan jahe
gajah dan jahe emprit, yaitu sebesar 2,58-3,90% (Ginting, 2011:13). Kadar minyak atsiri pada
rimpang jahe rata-rata dalam destilat dari hasil penyulingan adalah 0,28% (Guenther et.al.,
1987:191). Perolehan rendemen minyak jahe dari proses penyulingan tersebut tentu jauh dari
kadar minyak atsiri sebenarnya yang dimiliki oleh jahe. Hal tersebut disebabkan oleh minyak
atsiri yang berada di dalam sel-sel atau jaringan rimpang jahe (Rismunandar, 1988:19). Jahe
terdiri dari 60-80% selulosa dan 4-6% lignin (Janick, 2001). Penyulingan langsung tanpa
perlakuan awal akan menghasilkan rendemen yang lebih rendah karena minyak atsiri terkurung
di dalam jaringan tanaman yang memiliki lapisan membran yang bersifat kaku sehingga kontak
dengan uap tidak maksimal. Hal tersebut yang menyebabkan proses isolasi minyak atsiri
dengan penyulingan langsung belum sempurna (Guenther et.al., 1987:194). Akan tetapi,
penyulingan masih menjadi pilihan untuk mendapatkan minyak atsiri dari berbagai tumbuhan
penghasil minyak atsiri karena proses dan peralatan yang digunakan cukup sederhana (Djafar
dkk., 2010). Namun, perolehan rendemen minyak jahe hasil penyulingan masih rendah. Oleh
karena itu, perlu suatu metode yang mampu meningkatkan rendemen minyak jahe hasil
penyulingan.
Spesies Trichoderma yang umumnya digunakan untuk mendegradasi selulosa
diantaranya Trichoderma reseei, Trichoderma viride, dan Trichoderma harzianum. Aplikasi
T.reesei cocok digunakan di industri deterjen karena adanya komponen EG III (endoglukanase).
Sedangkan T.viride dan T.harzianum biasa digunakan di industri sebagai sumber enzim selulase
alami (Sukumaran dkk., 2005:836). T.reesei Rut C30 adalah fungi penghasil enzim selulase
yang baik ketika ditumbuhkan di substrat selulosa murni daripada lignoselulosa. Hal ini
dikarenakan fungi ini menunjukkan aklimatisasi yang lebih lama bila menggunakan substrat
lignoselulosa (Benoliel dkk., 2013:5). Padahal jahe terdiri dari komponen selulosa dan lignin.
Selain itu, aklimatisasi T.reesei untuk produksi optimum enzim selulase membutuhkan waktu
14 hari (Benoliel dkk., 2013:5). Aklimatisasi T.viride membutuhkan waktu 4 hari. Sedangkan
aklimatisasi T.harzianum untuk produksi endoglukanase optimum selama 3 hari inkubasi
(Rubeena dkk., 2013). Berdasarkan lama waktu aklimatisasi untuk produktivitas maksimum dan
faktor ekonomis, T.harzianum lebih dipilih dan diharapkan mampu mendegradasi jaringan
tanaman dari jahe agar diperoleh minyak jahe yang optimum. Tidak hanya itu, T.harzianum
mampu mensekresikan enzim kompleks selulolitik secara seimbang, dimana secara efisien
menghidrolisis selulosa menjadi monomer glukosa (Rubeena dkk., 2012:1).
Nasruddin dkk. (2009) meneliti tentang perlakuan awal pada daun nilam sebelum
destilasi, kemudian dibandingkan hasilnya dengan daun nilam yang didestilasi tanpa perlakuan
awal. Perlakuan awal pada daun nilam berupa delignifikasi dengan larutan NaOH, dilanjutkan
dengan fermentasi menggunakan T.viride kemudian didestilasi. Hasil destilasi menunjukkan
bahwa rendemen minyak nilam dengan perlakuan awal sebesar 2,35%. Sedangkan minyak
nilam yang disuling dengan penyulingan konvensional atau tanpa perlakuan awal di Desa
Pandan, tempat dilakukannya penelitian, hanya menghasilkan rendemen sebesar 1,25%,
sehingga pada penelitian Nasruddin dkk. menghasilkan rendemen minyak nilam yang lebih
bagus bila ada perlakuan awal berupa delignifikasi dilanjutkan fermentasi.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
55
Perlakuan awal berupa fermentasi merupakan salah satu metode peningkatan rendemen
minyak atsiri. Pada penelitian Wijaya dkk. (2015), menunjukkan bahwa rendemen minyak daun
cengkeh tanpa fermentasi, dengan fermentasi menggunakan Trichoderma harzianum,
delignifikasi dengan larutan NaOH, serta gabungan delignifikasi dan fermentasi masing-masing
sebesar 1,6842% ; 2,6567% ; 2,3566% ; dan 1,3581%. Berdasarkan penelitian tersebut,
rendemen minyak daun cengkeh hasil fermentasi lebih tinggi dibandingkan tanpa fermentasi
dan perlakuan lainnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan fermentasi jahe merah
dengan menggunakan Trichoderma harzianum sebagai upaya peningkatan rendemen minyak
jahe.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah Erlenmeyer flask 250 ml, rotary shaker, neraca analitik,
autoclave, styrofoam sebagai fermentor, air compressor, moisture meter, vacuum pump jet
ejector, alat destilasi uap, termometer, pompa air, corong pisah, corong Buchner, oven, Gas
Chromatography Hewlett-Packard 5890, Scanning Electron Microscopytipe SEM Hitachi
TM3000.
Bahan yang digunakan adalah jahe merah yang diperoleh dari Pasar Induk Gadang,
Malang-Jawa Timur, kentang, dekstrosa, KH2PO4, (NH4)2SO4, aquades, buffer sitrat 2 M (pH
4), dan Trichoderma harzianum yang diperoleh dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Jawa Timur.
2. 2 Desain Fermentor
Fermentor yang digunakan berupa box styrofoam dengan penyangga di dalamnya.
Udara diinjeksikan secara kontinyu ke dalam fermentor menggunakan air compressor dan laju
alir udara diatur sedemikian rupa hingga moisture dalam fermentor 40-45%, yakni sekitar ±
37,5 liter/menit. Udara masuk melalui bagian bawah fermentor, kemudian melewati rongga
udara diantara substrat padat, lalu udara keluar pada bagian atas fermentor yang telah dibentuk
lubang-lubang. Skema fermentor dapat dilihat pada Gambar 1.
2. 3 Fermentasi Jahe Merah menggunakan T.harzianum
Jahe merah sebanyak 3500 gram dicuci dengan air mengalir, lalu dikeringkan hingga
moisture jahe merah mencapai 40-45%, dimana kondisi tersebut baik untuk pertumbuhan
T.harzianum (Zhang dkk., 2013:620). Jahe merah kemudian diletakkan pada penyangga dalam
fermentor dan ditambahkan 100 ml inoculum T.harzianum yang telah dikembangbiakkan
selama 72 jam. Jahe merah kemudian difermentasi dengan variabel lama fermentasi selama 2, 6,
dan 8 hari.
Kontrol pH dilakukan dengan cara menambahkan buffer sitrat, dimana adanya buffer ini
akan menjaga pada pH 4. Bila moisture menunjukkan <40% maka substrat disemprotkan media
PDB, sedangkan bila moisturenya >45%, aliran udara di dalam fermentor ditingkatkan hingga
kadar moisture menunjukkan 40-45%. Tiap 24 jam dilakukan kontrol moisture terhadap
kondisi dalam fermentor. Kontrol dilakukan dengan meletakkan moisture meter ke dalam
fermentor hingga menyentuh jahe merah. Moisture dipertahankan 40-45% yang ditandai
dengan simbol “Dry” pada moisture meter. Bila moisture menunjukkan simbol “Dry+” maka
moisturenya <40% sehingga jahe merah ditambahkan media PDB, sedangkan bila moisturenya
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
56
>45% yang ditandai dengan simbol “Nor”, “Wet” atau “Wet+”, aliran udara di dalam fermentor
ditingkatkan hingga kadar moisture menunjukkan 40-45%.
Gambar 1. Skema fermentor
2. 4 Destilasi Uap
Pada penelitian ini, destilasi uap menggunakan seperangkat alat destilasi uap yang ada
pada Laboratorium Teknik Bioproses, Jurusan Teknik Kimia FT-UB. Skema alat destilasi uap
dapat dilihat pada Gambar 2. Proses destilasi uap berlangsung selama 8 jam, dimana air yang
digunakan sebagai sumber uap dididihkan hingga titik didih air pada tekanan barometrik.
Setelah penyulingan, destilat berupa air dan minyak jahe selanjutnya dipisahkan menggunakan
corong pisah selama 24 jam. Minyak jahe yang diperoleh diletakkan dalam botol plastik gelap
yang tertutup rapat untuk selanjutnya dilakukan uji GC untuk menganalisa profil komponen
minyak jahe.
2. 5 Analisa Hasil Penelitian
2. 5.1 Perhitungan Rendemen Minyak Jahe
Rendemen minyak jahe dihitung melalui persamaan (1).
% rendemen = massa minyak jahe x100% ................................................(1)
massa awal jahe merah
2. 5 Analisa Profil Komponen Minyak Jahe
Analisa profil komponen minyak jahe dilakukan dengan menggunakan GC (Gas
Chromatography). GC yang digunakan adalah GC Hewlett-Packard 5890 dengan spesifikasi:
jenis kolom CW 20 M; jenis detektor FID; panjang kolom 6 feet; suhu kolom 99–249oC; rate
7,5o/menit; suhu injektor 255oC; suhu detektor 275oC; gas pembawa N2; initial time 3 menit.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
57
Gambar 2. Skema alat destilasi uap
Keterangan:
1. Kompor gas 7. Penampung destilat
2. Air mendidih 8. Kondensor
3. Penampung jahe merah 9. Pompa air
4. Output uap minyak jahe dan uap air 10. Output air dari kondensor
5. Destilat minyak jahe dan air 11. Input air ke kondensor
6. Output campuran minyak jahe dan air
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3. 1 Pengaruh Fermentasi terhadap Peningkatan Rendemen Minyak Jahe
Berdasarkan hasil penelitian, penyulingan dengan perlakuan awal fermentasi
meningkatkan perolehan rendemen minyak jahe (Gambar 3). Fermentasi jahe merah
meningkatkan rendemen ± 1,33-5 kali lipat dibandingkan dengan jahe merah tanpa fermentasi.
Peningkatan rendemen minyak jahe ini terjadi karena adanya aktivitas T.harzianum yang
mendegradasi selulosa jahe sehingga minyak jahe yang terjebak akibat adanya selulosa lebih
mudah keluar. Semakin lama fermentasi, semakin banyak rendemen minyak jahe, yang terlihat
pada Gambar 3. Namun, pada perlakuan awal fermentasi 8 hari rendemen minyak jahe lebih
rendah dibandingkan variabel fermentasi 6 hari.
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
58
Gambar 3. Rendemen minyak jahe pada berbagai waktu fermentasi jahe merah
3. 2 Analisa Profil Komponen Minyak Jahe
Gambar 4 menunjukkan profil komponen minyak jahe hasil uji GC untuk variabel tanpa
fermentasi, fermentasi 2, 6, dan 8 hari. Terlihat bahwa pada variabel tanpa fermentasi (Gambar
4-i), fermentasi 2 hari (Gambar 4-ii), dan fermentasi 8 hari (Gambar 4-iv), menunjukkan pola
yang hampir mirip, yaitu membentuk kemiringan yang apabila dihubungkan puncak komponen
A, B, C, dan D membentuk sudut yang tajam. Hal ini dikarenakan pada variabel tersebut
komposisi farnesene, ar-curcumene, dan bisabolene rendah diikuti komposisi tinggi pada
zingiberene. Namun, pada fermentasi 6 hari (Gambar 4-iii) menunjukkan pola yang lain. Pada
fermentasi 6 hari, pola membentuk kemiringan yang tidak tajam, hanya garis linier. Hal ini
dikarenakan komposisi farnesene, ar-curcumene, dan bisabolene meningkat diikuti dengan
komposisi zingiberene menurun. Berdasarkan hal tersebut memperlihatkan bahwa dengan
meningkatnya farnesene, ar-curcumene, dan bisabolene menyebabkan penurunan komposisi
zingiberene, begitu juga sebaliknya. Jika ditinjau kembali menurut Ketaren (1985), zingiberene
merupakan senyawa volatil utama yang memberikan aroma khas pada minyak jahe. Komposisi
zingiberene tertinggi didapatkan pada fermentasi 2 hari, sedangkan komposisi zingiberene
terendah didapatkan pada fermentasi 6 hari yang menghasilkan rendemen tertinggi.
Gambar 4 tersebut menunjukkan komposisi lima komponen utama yang dinyatakan
sebagai fraksi volume. Untuk membandingkan komposisi dari kelima komponen pada keempat
variabel maka dihitung volume tiap komponen minyak jahe sehingga diperoleh variabel dengan
volume komponen tertinggi. Perhitungan volume komponen diperoleh dari hasil perkalian
komposisi tiap komponen (fraksi volume) dengan total volume minyak jahe.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
59
(i)
(ii)
(iii)
(iv)
Gambar 4. Profil GC analisis kimia dari minyak jahe dengan variabel (i) tanpa fermentasi; (ii)
fermentasi 2 hari; (iii) fermentasi 6 hari; (iv) fermentasi 8 hari
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
60
Gambar 5 menunjukkan bahwa volume 5 komponen utama paling tinggi diperoleh pada
variabel fermentasi jahe merah 6 hari. Selain itu, jumlah komponen pada keempat minyak jahe
berbeda. Secara berurutan, komponen penyusun minyak jahe tanpa fermentasi dan dengan
fermentasi selama 2, 6, dan 8 hari adalah 34, 25, 23, dan 27 komponen. Perbedaan komposisi
dan jumlah komponen penyusun minyak jahe kemungkinan disebabkan karena terjadinya
hidrolisis pada minyak jahe selama proses fermentasi. Hidrolisis pada minyak jahe mengganggu
kestabilan komponen minyak jahe. Kehadiran air dalam minyak atsiri mampu menyebabkan
terjadinya hidrolisis (Tisserand dan Young, 2013:12) sebelum proses penyulingan. Selama
fermentasi, moisture pada jahe di dalam fermentor dipertahankan 40-45%. Sedangkan jahe
kering mengandung moisture hanya 7-12% (Hernani dkk., 2011). Oleh karena moisture yang
cukup tinggi selama fermentasi maka minyak jahe yang sudah tidak tertutup oleh selulosa akibat
degradasi selulosa, mengalami hidrolisis sehingga terjadi perubahan jumlah dan komposisi
komponen pada minyak jahe.
Gambar 5. Perubahan volume tiap komponen minyak jahe pada berbagai waktu fermentasi
Selain itu, jumlah komponen pada keempat minyak jahe berbeda. Secara berurutan, komponen
penyusun minyak jahe tanpa fermentasi dan dengan fermentasi selama 2, 6, dan 8 hari adalah
34, 25, 23, dan 27 komponen. Perbedaan komposisi dan jumlah komponen penyusun minyak
jahe kemungkinan disebabkan karena terjadinya hidrolisis pada minyak jahe selama proses
fermentasi. Hidrolisis pada minyak jahe mengganggu kestabilan komponen minyak jahe.
Kehadiran air dalam minyak atsiri mampu menyebabkan terjadinya hidrolisis (Tisserand dan
Young, 2013:12) sebelum proses penyulingan. Selama fermentasi, moisture pada jahe di dalam
fermentor dipertahankan 40-45% untuk memberikan moisture yang sesuai dengan kebutuhan
T.harzianum. Sedangkan jahe kering mengandung moisture hanya 7-12% (Hernani dkk.,
2011). Oleh karena moisture yang cukup tinggi selama fermentasi maka minyak jahe yang
sudah tidak tertutup oleh selulosa akibat degradasi selulosa, mengalami hidrolisis sehingga
terjadi perubahan jumlah dan komposisi komponen pada minyak jahe.
IJCCS ISSN: 1978-1520
Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)
61
4. KESIMPULAN
Perlakuan awal berupa fermentasi jahe merah dapat meningkatkan rendemen minyak
jahe. Semakin lama fermentasi menyebabkan rendemen minyak jahe semakin meningkat
dibandingkan tanpa fermentasi. Rendemen tertinggi diperoleh pada fermentasi jahe merah
selama 6 hari yaitu sebesar 0,076%, sedangkan rendemen tanpa fermentasi hanya 0,015%. Dari
hasil analisa GC, komposisi tertinggi dan terendah pada komponen zingiberene, komponen
utama pada minyak jahe, didapatkan pada variabel fermentasi jahe merah selama 2 dan 6 hari.
Namun, apabila dihitung volume tiap komponen minyak jahe, maka pada variabel fermentasi
jahe merah selama 6 hari diperoleh rendemen dan volume komponen tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Ginting. 2011. Identifikasi Komponen Kimia Minyak Atsiri Rimpang Jahe Emprit
(Zingiber officinale Rosc.) dan Uji Aktivitas Antibakteri. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
[2]. Guenther, Ernest, A.J. Haagen-Smit, Edward E. Langenau, dan George Urdang. 1987.
Essential Oils. New York: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
[3]. Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Bandung: C.V. Sinar
Baru.
[4]. Janick, Jules. 2001. Horticultural Reviews. Volume 39. New York: Wiley Publishing.
[5]. Nasruddin, Gatot Priyanto, dan Basuni Hamzah. 2009. Pengaruh Delignifikasi Daun
Nilam (Pogostemon Cablin Benth) dengan Larutan NaOH dan Fermentasi dengan
Kapang Trichoderma Viride terhadap Minyak Hasil Penyulingan. Palembang:
Universitas Sriwijaya
[6]. Djafar, Fitriana, M. Dani Supardan, dan Asri Gani. 2010. Pengaruh Ukuran Partikel, SF
Rasio dan Waktu Proses Terhadap Rendemen Pada Hidrodistilasi Minyak Jahe.
Jurnal Hasil Penelitian Industri Volume 23 No. 2, Oktober 2010.
[7]. Sukumaran, Rajeev K, Reeta Rani Singhania, dan Ashok Pandey. 2005. Microbial
Cellulases - Production, Applications and Challenges. India: Journal of
Scientific & Industrial Research Vol. 64.
[8]. Benoliel, Bruno, Fernando Araripe Gonçalves Torres, dan Lidia Maria Pepe de Moraes.
2013. A Novel Promising Trichoderma Harzianum Strain For The Production Of A
Cellulolytic Complex Using Sugarcane Bagasse In Natura. Brazil: Springer.
[9]. Rubeena, M, Kannan Neethu, S. Sajith, S. Sreedevi, Prakasan Priji, K. N. Unni, M. K.
Sarath Josh, V. N. Jisha, S. Pradeep, dan Sailas Benjamin. 2013.
Lignocellulolytic activities of a novel strain of Trichoderma harzianum - Scientific
Research. India: University of Calicut.
[10]. Wijaya, Chandra, Afghani Jayuska1, & Andi Hairil Alimuddin. 2015. Peningkatan
Rendemen Minyak Atsiri Daun Cengkeh (Syzygium Aromaticum) dengan Metode
Delignifikasi dan Fermentasi. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
[11]. Zhang, Fengge, Zhen Zhu, Beibei Wang, Ping Wang, Guanghui Yu, Minjie Wu,Wei
ISSN: 1978-1520
IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page
62
Chen, Wei Ran, dan Qirong Shen. 2013. Optimization of Trichoderma Harzianum T-
E5 Biomass and Determining The Degradation Sequence of Biopolymers by FTIR in
Solid-State Fermentation. China: Elsevier B.V.
[12]. Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Balai Pustaka.
[13]. Tisserand, Robert dan Rodney Young. 2013. Essential Oil Safety: A Guide for
Health Care Proffesionals. United Kongdom: Elsevier Health Sciences.
[14]. Hernani, & Christina Winarti. 2001. Kandungan Bahan Aktif Jahe dan
Pemanfaatannya dalam Bidang Kesehatan. Bogor: Status Teknologi Hasil Penelitian
Jahe.
Alamat RedaksiInstitut Atsiri
Jl. Veteran, Gedung Senat Lt. 2, Universitas BrawijayaKota Malang, Jawa Timur, 65145
Telp. 0341-4376580, Fax. 0341-4376393E-mail : [email protected]