INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

66
INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL November, 2016 Volume 1, Number 1 http://ijeo.ub.ac.id/ ISOLASI CIS DAN TRANS-SITRAL DARI MINYAK ATSIRI KEMANGI (Ocimum citriodorum, L) DENGAN METODE EKSTRAKSI BISULFIT DAN METODE DISTILASI UAP Dwiarso Rubiyanto dan Da’watun Fitriyah DIVERSIFIKASI PRODUK FARMASI DARI MINYAK LAWANG DENGAN PENDEKATAN SINTESIS KIMIA Imanuel Berly D. Kapelle, Tun Tedja Irawadi, Meika Syahbana Rusli, Djumali Mangunwidjaja, Zainal Alim Mas’ud Sukardi, Mahendra Narpatmaja Nizar, Arie Febrianto Mulyadi dan Sucipto KAJIAN EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI BUNGA MELATI (Jasminum sambac) DENGAN METODE ENFLEURASI Sarifah Nurjanah, Isti Sulistiani, Asri Widyasanti dan Sudaryanto Zein EFEK PULSED ELECTRIC FIELD (PEF) PADA RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK BUNGA MELATI (Jasminum sambac) (Kajian Rasio Bahan dan Pelarut) MINYAK ATSIRI DAUN ZINGIBERACEAE SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN ANTIGLIKASI Irmanida Batubara, Ummi Zahra, Latifah K Darusman, Akhiruddin Maddu PENINGKATAN RENDEMEN DESTILASI MINYAK JAHE MELALUI FERMENTASI JAHE MERAH ( Zingiber ofcinale var. Rubrum) MENGGUNAKAN Trichoderma harzianum Vivi Nurhadianty, Chandrawati Cahyani, Luthfi Kurnia Dewi Linda Triani, Resti Kurnia Putri e-ISSN 2548-8295

Transcript of INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

Page 1: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

INDONESIAN JOURNALOF ESSENTIAL OIL

November, 2016 Volume 1, Number 1http://ijeo.ub.ac.id/

ISOLASI CIS DAN TRANS-SITRAL DARI MINYAK ATSIRIKEMANGI (Ocimum citriodorum, L) DENGAN METODEEKSTRAKSI BISULFIT DAN METODE DISTILASI UAP

Dwiarso Rubiyanto dan Da’watun Fitriyah

DIVERSIFIKASI PRODUK FARMASI DARI MINYAK LAWANG DENGAN PENDEKATAN SINTESIS KIMIA

Imanuel Berly D. Kapelle, Tun Tedja Irawadi, Meika Syahbana Rusli, Djumali Mangunwidjaja, Zainal Alim Mas’ud

Sukardi, Mahendra Narpatmaja Nizar, Arie Febrianto Mulyadi dan Sucipto

KAJIAN EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI BUNGA MELATI (Jasminum sambac) DENGAN METODE ENFLEURASI

Sarifah Nurjanah, Isti Sulistiani, Asri Widyasanti dan Sudaryanto Zein

EFEK PULSED ELECTRIC FIELD (PEF) PADA RENDEMENDAN KUALITAS MINYAK BUNGA MELATI (Jasminum sambac) (Kajian Rasio Bahan dan Pelarut)

MINYAK ATSIRI DAUN ZINGIBERACEAE SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN ANTIGLIKASI

Irmanida Batubara, Ummi Zahra, Latifah K Darusman, Akhiruddin Maddu

PENINGKATAN RENDEMEN DESTILASI MINYAK JAHEMELALUI FERMENTASI JAHE MERAH (Zingiberofcinale var. Rubrum) MENGGUNAKAN Trichoderma harzianum

Vivi Nurhadianty, Chandrawati Cahyani, Luthfi Kurnia DewiLinda Triani, Resti Kurnia Putri

e-ISSN 2548-8295

Page 2: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

Indonesian Journal of Essential Oil e-ISSN 2548-8295

Penanggung Jawab

Direktur Institut Atsiri

Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Ir. Chandrawati Cahyani, MS.

Ketua Dewan Direksi

Prof. Dr. Ir. Chandrawati Cahyani, MS.

Anggota Dewan Direksi

Dr. Elvina Dhiaul Iftitah, S.Si., M.Si.

Editor/Redaksi Pelaksana

Prof. Dr. Ir. Hanny Wijaya, M.Agr.

Prof. Edy Cahyono, M.Si

Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA

Kesekretariatan

Yoke Kusuma Arbawa, S.Kom

Alamat Redaksi

Institut Atsiri

Jl. Veteran, Gedung Senat Lt. 2, Universitas Brawijaya

Kota Malang, Jawa Timur, 65145

Telp. 0341-4376580, Fax. 0341-4376393

E-mail : [email protected]

Page 3: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

e-ISSN 2548-8295

Daftar Isi

Isolasi Cis- Dan Trans-Sitral Dari Minyak Atsiri Kemangi (Ocimum Citriodorum, L) Dengan

Metode Ekstraksi Bisulfit Dan Metode Distilasi Uap ................................................................ 1

Kajian Ekstraksi Minyak Atsiri Bunga Melati (Jasminum Sambac) Dengan Metode

Enfreurasi ................................................................................................................................. 12

Diversifikasi Produk Farmasi Dari Minyak Lawang Dengan Pendekatan Sintesis Kimia ...... 21

Efek Pulsed Electric Field (Pef) Pada Rendemen Dan Kualitas Minyak Bunga Melati

(Jasminum Sambac) (Kajian Rasio Bahan Dan Pelarut) ......................................................... 30

Minyak Atsiri Daun Zingiberaceae Sebagai Antioksidan Dan Antiglikasi............................. 44

Peningkatan Rendemen Destilasi Minyak Jahe Melalui Fermentasi Jahe Merah (Zingiber

officinale var. Rubrum) menggunakan Trichoderma Harzianum............................................ 53

Page 4: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5

ISSN: 1978-1520 1

Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012

Isolasi CIS- dan Trans-Sitral dari Minyak Atsiri Kemangi

(Ocimum citriodorum, L) dengan Metode Ekstraksi

Bisulfit Dan Metode Distilasi Uap

Dwiarso Rubiyanto1,2 dan Da’watun Fitriyah2 1Center of Essential Oil Studies (CEOS)

2Jurusan Kimia Fakultas MIPA

Universitas Islam Indonesia Jogjakarta

Email : [email protected]

Abstrak

Telah dilakukan penelitian secara eksperimen laboratorium tentang isolasi sitral yang

merupakan komponen terbesar dari minyak kemangi (Ocimum citriodorum, L). Minyak kemangi

dapat diisolasi dari tanaman kemangi dengan penyulingan uap (steam distillation). Rendemen

minyak kemangi hasil penyulingan sebesar 0,2 % b/b. Hasil kromatogram minyak kemangi

(Ocimum citriodorum, L) menunjukkan konsentrasi sitral sebesar 33,82% dengan komposisi

cis-sitral sebesar 14,86% dan trans-sitral sebesar 18,96%. Dalam penelitian ini sitral dalam

minyak kemangi diisolasi dengan dua metode yaitu metode ekstraksi bisulfit dan metode

distilasi uap. Isolasi sitral dengan metode ekstraksi bisulfit dilakukan secara kimia dengan

mereaksikannya dengan larutan jenuh Natrium Bisulfit (NaHCO3) sementara isolasi sitral

dengan metode distilasi uap dilakukan dengan rangkaian alat gelas kimia skala 500 mL. Isolasi

sitral dengan metode distilasi uap dilakukan dengan perbandingan minyak kemangi dan air

(1:1 ; 1:3 ; 1:6). Hasil analisis dengan kromatografi gas menunjukkan bahwa pada hasil

ekstraksi bisulfit, konsentrasi sitral sebesar 58,57%. Sedangkan pada metode distilasi uap pada

perbandingan 1:1 menunjukkan konsentrasi sitral sebesar 56,65%, pada perbandingan 1:3

menunjukkan konsentrasi sitral sebesar 56,64%, sedangkan pada perbandingan 1:6

menunjukkan konsentrasi sitral sebesar 58,03%. Kesimpulan yang dapat diambil adalah isolasi

sitral dengan metode kimia maupun fisika dapat digunakan sebagai cara untuk mendapatkan

bahan kimia yang lebih bernilai dari minyak kemangi.

Kata kunci : minyak kemangi, Ocimum citriodorum, sitral, ekstraksi bisulfit, metode distilasi

uap.

Abstract Has conducted research in laboratory experiments on isolation sitral which is the

largest component of oil of basil (Ocimum citriodorum, L). Basil oil can be isolated from the

basil plant with steam distillation (steam distillation). The yield of basil oil distillates by 0.2% w

/ w. Results chromatogram oil basil (Ocimum citriodorum, L) shows sitral concentration of

33.82% with cis-sitral composition of 14.86% and trans-sitral amounted to 18.96%. In this

study sitral in basil oil was isolated by two methods of extraction methods bisulfite and steam

distillation method. Isolation sitral by bisulfite extraction method performed chemically by

treatment with a saturated solution of sodium bisulfite (NaHCO3) while insulating sitral by

steam distillation method is done by means of a series of 500-ml beaker scale. Isolation sitral by

steam distillation method is done by comparison basil oil and water (1: 1; 1: 3; 1: 6). The

results of the analysis by gas chromatography showed that the extraction result bisulfite, sitral

concentration of 58.57%. While the method of steam distillation at a ratio of 1: 1 shows the

concentration sitral of 56.65%, the ratio of 1: 3 shows sitral concentration of 56.64%, while the

ratio of 1: 6 shows sitral concentration of 58.03%. The conclusion that can be drawn is sitral

Page 5: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

2

isolation by chemical and physical methods can be used as a way to get the chemicals that are

more valuable than oil basil.

Keywords: basil oil, Ocimum citriodorum, sitral, bisulfite extraction, steam distillation

method.

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan keanekaragaman

hayatinya. Sumber daya alam hayati merupakan bagian dari sumber bahan kimia alami yang

menawarkan jenis dan jumlah yang hampir tak terbatas. Pemanfaatan bahan alam seperti halnya

tanaman minyak atsiri sebagai sumber senyawa kimia memerlukan penelitian dan pengkajian

secara mendalam berkaitan dengan jenis bahan alam yang dipilih, sumber utama yang lebih

ekonomis, dan metode pengambilan serta konversinya termasuk juga kebaruan metodenya.

Pemilihan jenis tanaman yang memiliki variasi jenis yang besar membutuhkan seleksi

yang ketat. Banyaknya jenis tanaman yang mengandung sejumlah senyawa tertentu yang sama

juga penting untuk diperhatikan. Demikian juga di dalam menentukan metode pengambilan

bahan utama (minyak atsiri) dan metode konversi minyak atsirinya, penting diperhatikan

efektivitas dan efisiensi bahan, alat dan waktu yang dibutuhkan [1].

Sejak tahun 1960-an Indonesia dikenal sebagai negara penghasil minyak atsiri besar di

dunia dengan produk andalannya minyak nilam, minyak sereh wangi dan minyak cengkeh.

Namun hingga kini, perkembangan industri minyak atsiri Indonesia masih terbilang lambat dan

tidak mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini disebabkan, komoditas yang diunggulkan masih

berkisar di level minyak mentah dan nilai tambah produksi minyak atsiri Indonesia masih

rendah [2].

Sebenarnya di sisi lain telah tersedia kapasitas penelitian dan pengembangan baik di

perguruan tinggi maupun di lembaga penelitian untuk menghasilkan produk turunan minyak

atsiri yang bernilai tinggi. Pemanfaatan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk

meningkatkan nilai tambah produk minyak atsiri Indonesia. Misalnya proses ekstraksi dan

fraksinasi minyak atsiri menjadi turunannya yaitu flavor dan fragrance [3],[4].

Secara umum, orang sudah mengenal tanaman kemangi yang merupakan bagian dari

keluarga selasih (basil) yang dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah Ocimum. Kemangi

(Ocimum citriodorum, L) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh tegak dengan cabang yang

banyak. Tanaman ini berbentuk perdu, dengan tinggi 0,3 hingga 1,0 meter. Daun-daunya hijau

dan berbau harum khas seperti jeruk. Bagian tangkai daun mempunyai panjang 2,5 cm, luas

daun berbentuk elips dengan ukuran 2,5-5 cm x 1-2,5 cm. Tanaman kemangi memiliki rasa

yang lebih tajam dan lebih pedas dari pada jenis genus Ocimum lainnya.

Kemangi tahan terhadap cuaca panas dan dingin. Jika di tanam di daerah dingin

daunnya lebih lebar dan lebih hijau, sedangkan di daerah panas daunnya kecil, tipis dan

berwarna lebih pucat. Kemangi dapat ditanam di berbagai daerah dengan berbagai jenis tanah

sehingga ada sebagian yang tumbuh liar. Kemangi tumbuh pada tepi-tepi jalan, ladang dan

sawah-sawah kering, dalam hutan jati dan disemaikan di kebun-kebun. Tanaman ini dapat

ditemukan di seluruh pulau Jawa pada ketinggian 450-110 meter di atas permukaan laut.

Meskipun penggunaannya sama dengan kemangi yaitu sebagai bagian dalam masakan, namun

di beberapa wilayah di luar Pulau Jawa seperti di Aceh, Lampung, Bengkulu, Bontang dan

Balikpapan, tanaman ini dikenal dengan nama ruku-ruku dan merupakan jenis yang berbeda

dari kemangi yang dikenal untuk lalapan dan pepes ikan.

Pada pengobatan tradisional, kemangi dapat digunakan sebagai obat, bagian-bagian

yang dapat digunakan sebagai obat adalah akar, daun, dan biji. Tanaman kemangi merupakan

tumbuhan yang berbatang lunak, berdaun tipis, berbunga putih dan mengandung minyak atsiri.

Minyak atsiri kemangi dapat diperoleh melalui proses penyulingan terhadap bagian daun.

Page 6: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

3

Komponen utama dari minyak kemangi adalah sitral. Kandungan sitral dalam minyak kemangi

Indonesia berkisar antara 65-70%, dengan rendemen penyulingan berkisar antara 0,2-1% [10].

Minyak kemangi banyak digunakan sebagai flavoring agen, minyak kemangi juga

digunakan untuk campuran parfum dan pewangi sabun. Senyawa sitral memiliki potensi yang

besar untuk dikonversi menjadi senyawa-senyawa terpenoid lainnya yang bermanfaat [5],[6].

Senyawa sitral merupakan senyawa yang memiliki isomer geometris yaitu trans-sitral dan cis-

sitral. Sitral (C10H16O, BM=152,24 g/mol) secara kimia disebut 3,7-dimetil-2,6-oktadienal,

suatu aldehida dari geranial. Sitral adalah cairan berminyak berwarna kuning pucat dengan bau

yang menyegarkan seperti buah lemon. Sifat fisika dari sitral antara lain: spesifik gravitasi=

0,893-0,897, titik didih= 228–229 0C, dengan sediki dekomposisi. Indeks bias= 1,4876–1,4931

dan bersifat tidak optis aktif. Sitral juga digunakan dalam sintesis vitamin A komersial, ionon

dan metil ionon yang merupakan bahan baku parfum, dan juga merupakan bahan industri yang

penting di dalam produksi flavor sintetik [7],[8].

Berbagai jenis metode pemurnian senyawa yang berharga dapat dilakukan di

laboratorium mulai dari skala gelas hingga skala meja [9]. Minyak kemangi dapat menjadi

sumber penghasil minyak atsiri meskipun belum menjadi komoditas ekonomi. Kandungan

senyawa kimia yang komersial di dalamnya perlu mendapat perhatian lebih dan eksplorasi yang

mendalam. Hal ini mengingat pemanfaatan tanaman kemangi yang hanya terbatas pada

kepentingan kuliner semata sehingga nilai tambahnya belum terlihat. Minyak kemangi memiliki

kandungan sitral hingga 80% [10],[11]. Dengan melakukan pengambilan dan pemurnian minyak

atsiri kemangi dan diteruskan dengan isolasi senyawa sitral melalui metode ekstraksi dan

distilasi diharapkan akan mendapatkan nilai manfaat yang tinggi dari tanaman kemangi.

2. METODE PENELITIAN

1. Alat dan Bahan

1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: seperangkat alat penyulingan uap,

seperangkat alat distilasi uap skala laboratorium, corong pisah, labu leher tiga, evaporator

Buchi, kromatografi Gas merk Hitachi, kromatografi gas-spektroskopi massa merk QP2010S

Shimadzu dan alat-alat gelas laboratorium.

1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: tanaman kemangi yang diperoleh dari

daerah Sleman, Jogjakarta, sitral standar merk Sigma-Aldrich, natrium bisulfit anhidrat p.a.,

natrium bikarbonat anhidrat p.a., natrium sulfat anhidrat p.a., natrium hidroksida p.a., dietil eter

teknis dan akuades.

2. Cara Kerja Penelitian

2.1 Isolasi Minyak Kemangi dari Tanaman Kemangi

Tanaman kemangi diangin-anginkan selama 24 jam hingga layu, kemudian disuling seluruh

bagian tanaman yang telah dipetik (daun, bunga, ranting) sebanyak 50 Kg. Bahan dimasukan ke

dalam alat penyuling yang memiliki wadah sampel yang berkapasitas 3 Kg bahan kering,

dilakukan penyulingan beberapa kali sampai terkoleksi minyak kemangi dalam jumlah yang

cukup. Ketel uap (boiler) berbahan stainless steel dengan pengukur tekanan yang telah diisi air

dihubungkan ke tempat sampel melalui pipa stainless steel berdiameter 1 inchi. Pemanas

dihidupkan dan uap panas ditahan hingga air mendidih. Uap dialirkan ketempat sampel dengan

aliran konstan. Minyak yang keluar dilewatkan ke pendingin air yang terdiri dari pendingin bola

satu meter dan pendingin kontinyu, kemudian ditampung dengan corong pisah 500 mL,

kemudian dihitung rendemen dan sifat-sifat fisik minyak kemangi.

Page 7: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

4

2.2 Analisis Kandungan Sitral Dalam Minyak Kemangi

Minyak kemangi yang diperoleh dari penyulingan uap dengan metode 2.1 kemudian dianalisis

kandungan kimianya dengan alat Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa (GC-MS-QP2010S)

Shimadzu. Sitral standar juga dianalisis sebagai pembanding.

2.3 Isolasi Sitral Dalam Minyak Kemangi Dengan Metode Ekstraksi Bisulfit

Isolasi sitral dalam minyak kemangi dilakukan dengan metode ekstraksi bisulfit dengan

perbandingan (Sitral : NaHSO3 : NaHCO3 : Akuades) berdasarkan literatur [8]. Untuk langkah

mikro, terlebih dahulu menghitung jumlah mol riil berdasarkan kadar sitral sesunguhnya dalam

minyak kemangi melalui analisis kromatogram. Selanjutnya dapat dilakukan perbandingan mol

menurut perhitungan makronya. Ke dalam corong pisah dimasukan akuades, es batu, natrium

bisulfit anhidrat, natrium bikarbonat dan minyak kemangi. Corong pisah ditutup rapat dan

digojog beberapa kali selama 5-6 jam. Campuran dipisahkan dan diambil lapisan sulfitnya.

Larutan sulfit ditambahkan 20 mL eter kemudian dilakukan penggojokan sampai semua larutan

terhomogenkan, setelah itu ditambahkan secara bertetes-tetes 20 mL larutan NaOH 10%.

Kemudian dilakukan penggojogan sampai NaOH habis, penggojokan dihentikan. Larutan

campuran kemudian dipisahkan dari lapisan air. Lapisan eter yang diperoleh disimpan. Lapisan

air yang telah dipisahkan dikembalikan kedalam corong pisah dan ditambahkan lagi 10 mL eter

dan 5 mL NaOH 10%. Dipisahkan lapisan airnya dan kembali diekstraksi dengan 5 mL eter.

Seluruh fraksi eter digabungkan dan dikeringkan dengan Natrium Sulfat Anhidrat. Larutan

didekantasi dan eter dievaporasi hingga habis. Hasilnya dianalisis dengan Kromatografi Gas.

2.4 Isolasi Sitral Dalam Minyak Kemangi Dengan Metode Distilasi Uap

Ke dalam labu alas bulat leher tiga 250 mL, dimasukan beberapa butir batu didih, dan sejumlah

volume tertentu dari minyak kemangi dan air dengan perbandingan 1:1 ; 1:3 ; 1:6 dengan

volume total tidak melebihi dua per tiga dari volume labu. Boiler yang telah diisi akuades

dinyalakan hingga mendidih dan uap panas dialirkan secara perlahan dan diatur melalui kran, ke

dalam labu leher tiga yang telah diisi campuran minyak kemangi dan air. Kuantitas uap yang

dialirkan diekuivalenkan dengan volume kondensat yang dihasilkan sehingga volume campuran

di dalam labu tidak berubah. Labu leher tiga juga dipanaskan hingga mendidih (titik didih

campuran dicatat) dan uap dialirkan melalui kondensor untuk kemudian ditampung dalam

penangas es. Temperatur labu dijaga agar konstan pada temperatur awal mendidih. Distilasi

dilakukan sampai tidak ada tetesan minyak lagi pada penampung yang dapat dideteksi. Distilat

kemudian diekstraksi dengan 50 mL eter dalam keadaan dingin menggunakan corong pisah,

sitral akan larut dalam lapisan eter atas. Lapisan air diekstrak dua kali dengan 2 x 25 mL dietil

eter untuk mengambil semua sitral, kemudian ditambahkan natrium sulfat anhidrat untuk

menghilangkan sisa air. Selanjutnya pelarut diuapkan dan sitral bebas eter dianalisis dengan GC

setelah itu terlebih dahulu dihitung berat dan volumenya.

3. Analisis Kromatogram

Metode isolasi secara kimia maupun secara fisika masing-masing memiliki karakteristik

tersendiri. Hasil analisis kromatografi gas terhadap masing-masing metode isolasi sitral

kemudian dibandingkan dengan melihat kemunculan puncak sitral dan konsentrasinya. Puncak-

puncak senyawa selain sitral tidak dipertimbangkan kecuali bila terjadi keraguan pada hasil

kromatogram yang ditunjukkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi Minyak Kemangi dari Tanaman Kemangi

Penyulingan minyak kemangi (Ocimum citriodorum, L) dilakukan dengan cara distilasi uap.

Tanaman kemangi yang digunakan sebanyak 50 kg. Distilasi dilakukan sebanyak enam belas

kali dengan berat tanaman kemangi masing-masing tiga kilogram. Proses penyulingan

dilakukan selama 3 jam, untuk memperoleh minyak kemangi secara optimal. Distilat minyak

Page 8: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

5

yang dihasilkan dipisahkan dari air kemudian ditambahkan Natrium Sulfat anhidrat untuk

mengikat air yang masih tersisa. Berat minyak hasil distilasi masing-masing tidak sama, hal ini

dipengaruhi oleh lamanya waktu penyulingan dan dapat juga dipengaruhi oleh tekanan api yang

besar yang akan menyebakan penyulingan yang lebih cepat dan efisien. Minyak kemangi yang

dihasilkan berupa cairan yang berwarna kuning bening dengan berat hasil minyak adalah 93

gram, dan rendemen yang diperoleh sebesar 0,2 %. Selanjutnya dilakukan pengujian sifat-sifat

fisik dan kimia terhadap minyak kemangi dan diperoleh sifat-sifat fisik dan kimia dari minyak

kemangi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia Minyak Kemangi

Karakteristik Nilai

Bobot Jenis 29 0C 0,9300

Putaran Optik -7 0 – 9 0

Indeks Bias pada 25 0C 1,482

2. Analisis Kandungan Sitral pada Minyak Kemangi

Minyak kemangi hasil penyulingan kemudian dianalisis menggunakan GC-MS dan juga

dilakukan analisis sitral standar menggunakan GC sebagai pembanding. Hasil analisis GC untuk

minyak kemangi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kromatogram GC standar sitral (atas) dan minyak kemangi (bawah)

Dari kromatogram Gambar 1, kandungan sitral yang terdapat dalam sitral standar sebesar 98%

dengan konsentrasi cis-sitral sebesar 45,48% dengan waktu retensi (tR) 9,188 menit dan

konsentrasi trans-sitral sebesar 52,52% dengan waktu retensi (tR) 9,619 menit. Kromatogram

minyak kemangi menunjukkan adanya dua puluh puncak dengan konsentrasi tertinggi sitral

Page 9: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

6

sebesar 33,82% yang terdiri dari cis-sitral sebesar 14,86% dengan waktu retensi (tR) 9,161

menit dan trans-sitral sebesar 18,96% dengan waktu retensi (tR) 9,589 menit.

3. Isolasi Sitral dari Minyak Kemangi Menggunakan Metode Ekstraksi Bisulfit

Pada penelitian ini, isolasi sitral dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi

bisulfit[8] dengan perbandingan Sitral (0,06 mol): NaHSO3 (0,24 mol): NaHCO3 (0,18 mol):

Akuades (3,3 mol). Isolasi sitral ini dilakukan secara kimia dengan mereaksikannya dengan

larutan jenuh natrium bisulfit (NaHSO3). Cara kimia ini cukup selektif dan produk sitral yang

dihasilkan lebih murni bila dibandingkan dengan cara distilasi fraksinasi (Sastrohamidjojo,

2004).

Minyak kemangi tidak larut dalam air, termasuk sitral yang terkandung di dalamnya.

Bila larutan jenuh NaHSO3 dituangkan ke dalam minyak kemangi dan diekstraksi selama lima

sampai enam jam, dan yang bereaksi hanya sitral, karena sitral mengandung gugus karbonil,

>C=O. Reaksi antara sitral dengan NaHSO3 merupakan reaksi adisi dan terbentuk endapan

berwarna putih. Hasil adisi ini berwujud garam yang larut dalam air. Senyawa tambahan yang

terbentuk ketika molekul NaHCO3 berkombinasi dengan gugus karbonil dari sitral, yang mana

sitral dapat dimurnikan dengan NaHCO3.

Secara mekanisme, untuk memperoleh produk samping (garam) yang larut dalam air

maka sistem larutan diarahkan agar ion sulfonat radikal melekat pada ikatan rangkap

terkonjugasi dengan gugus karbonil. Namun, jika ion sulfonat radikal melekat pada posisi

senyawa yang stabil maka sitral tidak dapat dimurnikan. Hasil kristal atau garam yang larut

dalam air dipisahkan dan dimurnikan dengan eter. Terjadi transfer proton dari NaOH untuk

menetralkan sitral dan untuk mendapatkan Na2SO3.Dari penelitian ini diperoleh kadar sitral

terisolasi sebesar 58,57 % dengan komposisi cis-sitral sebesar 26,48 % dan trans-sitral sebesar

32,09 %. Mekanisme reaksi ekstraksi bisulfit terhadap sitral adalah sebagai berikut[7] :

C

O

H

S

O

O HONa+

CH

ONa

S

O

O

OH

CH

O

S

O

O

ONa

H

C

O

H

+ S

O

ONaNaO

OH

NaOH

Sitral

Sitral Natrium sulfit

Natrium Bisulfit

Proton transfer

Gambar 2. Mekanisme reaksi snyawa sitral dengan NaHSO3

4. Isolasi Sitral Dalam Minyak Kemangi Dengan Metode Distilasi Uap

Distilasi uap adalah tipe khusus dari destilasi atau proses pemisahan untuk bahan

sensitif seperti minyak, resin, hidrokarbon, dan lain-lain, yang tidak larut dalam air dan dapat

terurai pada titik didihnya. Sifat dasar distilasi uap adalah bahwa hal itu memungkinkan suatu

Page 10: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

7

senyawa atau campuran senyawa yang disulung pada suhu jauh dibawah bahwa dari titik dari

masing-masing penyusun.

Minyak atsiri mengandung zat dengan titik didih sampai 200oC atau suhu yang lebih

tinggi. Dengan adanya uap atau air mendidih, zat ini dapat tervolatilkan pada suhu mendekati

100 0C pada tekanan atmosfer. Distilasi uap ulang atau redistilasi digunakan untuk memisahkan

campuran senyawa-senyawa yang memiliki titik didih mencapai 200 0C atau lebih. Distilasi uap

dapat menguapkan senyawa-senyawa ini dengan suhu mendekati 100 0C dalam tekanan

atmosfer dengan menggunakan uap atau air mendidih. Distilasi uap berfungsi untuk

memurnikan zat atau senyawa cair yang tidak larut dalam air, dan titik didihnya cukup tinggi,

serta tidak mengalami reaksi pengubahan.

Pada penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh sitral dengan kemurnian

yang lebih baik. Dengan adanya uap air yang masuk, maka tekanan kesetimbangan uap zat

kandungan akan diturunkan menjadi sama dengan tekanan bagian didalam suatu sistem,

sehingga sitral akan terdistilasi dan terbawa oleh uap air yang mengalir. Pada metode distilasi

uap atau redistilasi, minyak yang dihasilkan lebih jernih. Hasil penyulingan ulang terhadap

minyak atsiri dengan metode distilasi uap, ternyata dapat meningkatkan nilai transmisi

(kejernihan) dan kemurnian untuk sitral yang dihasilkan. Dari hasil distilasi uap dianalisis

dengan menggunakan GC untuk mengetahui kandungan sitral pada perbandingan minyak

kemangi : air = 1:1 ; 1:3 dan 1:6. Hasil analisis GC dari metode distilasi uap untuk

perbandingan 1:1 dapat ditunjukan pada Gambar 2.

Page 11: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

8

Gambar 3. Kromatogram hasil distilasi uap 1:1 (atas); 1:3 (tengah) dan 1:6 (bawah)

Gambar 3 menunjukkan kromatogram hasil distilasi uap 1:1 menunjukkan kandungan

sitral dengan konsentrasi tertinggi pada puncak enam dan delapan. Kandungan sitral hasil

distilasi uap 1:1 sebesar 56,65 % dengan konsentrasi cis-sitral sebesar 24,87 % dengan waktu

retensi (tR) 9,173 menit dan konsentrasi trans-sitral sebesar 31,78 % dengan waktu retensi (tR)

9,604 menit. Kromatogram hasil distilasi uap 1:3 menunjukkan kandungan sitral sebesar 56,64

% dengan konsentrasi cis-sitral sebesar 24,96 % dengan waktu retensi (tR) 9,171 menit dan

konsentrasi trans-sitral sebesar 31,68 dengan waktu retensi (tR) 9,600 menit. Sedangkan

kromatogram hasil distilasi uap 1:6 menunjukkan kandungan sitral sebesar 58,03% dengan

konsentrasi cis-sitral sebesar 24,47% dengan waktu retensi (tR) 9,171 menit dan konsentrasi

trans-sitral sebesar 33,56 % dengan waktu retensi (tR) 9,603 menit.

Page 12: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

9

Tabel 2. Perbandingan hasil isolasi sitral dan rendemennya secara kualitatif berdasarkan

kromatogram

Perbandingan Minyak

Kemangi

awal

Ekstraksi

Bisulfit

Ditilasi

Uap

1:1

Distilasi Uap 1:3 Distilasi

Uap 1:6

Kandungan

Sitral (%)

33,82 58,57 56,65 56,64 58,03

Rendemen

(%)

0,2 40 52 46 22

Tabel 3. Perbandingan hasil isolasi sitral dan rendemennya secara kuantatif berdasarkan

luas puncak senyawa sitral

Kondisi Luas puncak

% cis Luas puncak

% trans Cis-sitral Trans-sitral

M 10502642

13406902

EB 22754581 116,66↑ 27580368 105,72↑

DU 11 10706482 1,94↑ 13683621 2,06↑

DU 13 9388699 -10,61↓ 11915636 -11,12↓

DU 16 9614586 -8,46↓ 13185153 -1,65↓

Keterangan :

M= minyak kemangi sebelum isolasi; EB= metode ekstraksi bisulfit; DU 11= metode

distilasi uap perbandingan 1:1; DU 13= metode distilasi uap perbandingan 1:3; DU 16= metode

distilasi uap perbandingan 1:6; ↑= terjadi kenaikan; ↓= terjadi penurunan.

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa isolasi sitral dengan perbandingan metode ekstraksi

bisulfit dan metode distilasi uap didapatkan perbedaan kandungan sitral yang diperoleh dari

masing-masing metode isolasi tersebut baik dari sisi kemurnian maupun rendemen. Metode

isolasi sitral menggunakan ekstraksi bisulfit menghasilkan kandungan sitral yang paling banyak

dibandingkan dengan metode distilasi uap. Hal ini disebabkan karena cara kimia ini cukup

selektif dan produk sitral yang dihasilkan lebih murni bila dibandingkan dengan cara distilasi

uap.

Sedangkan untuk metode isolasi sitral menggunakan metode distilasi uap menghasilkan

kandungan sitral yang berbeda-beda secara kualitatif dari tiga variasi, yaitu pada perbandingan

1:1 menghasilkan kandungan sitral sebesar 56,5%, untuk perbandingan 1:3 menghasilkan

kandungan sitral sebesar 56,64% sedangkan untuk perbandingan 1:6 menghasilkan kandungan

sitral sebesar 58,03%. Dari ketiga variasi tersebut pada perbandingan 1:6 didapatkan kandungan

sitral yang optimal. Hal ini dikarenakan semakin banyak perbandingan minyak kemangi dan air,

maka akan lebih murni kandungan sitral yang dihasilkan. Tetapi dari ketiga variasi dari metode

distilasi uap kandungan sitral yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan metode

ekstraksi bisulfit hanya pada perbandingan 1:6 hampir mendekati kandungan sitralnya. Hal ini

dikarenakan masih banyak senyawa-senyawa yang belum bisa terisolasi dengan menggunakan

metode distilasi uap, dan juga dikarenakan masih banyak pengotor dan senyawa-senyawa lain

yang masih ada di dalam minyak sehingga isolasi sitral menggunakan metode distilasi uap

kurang selektif dan kurang murni dibandingkan dengan metode ekstraksi bisulfit. Namun secara

umum kedua metode dapat meningkatkan komposisi sitral dari minyak atsiri kemangi (3,82 %)

menjadi 56,64 – 58,57 % dengan variasi rendemen yang berkisar 22 – 56 %.

Page 13: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

10

Tabel 3 menunjukkan perhitungan secara kuantitatif terhadap perubahan jumlah cis-

sitral dan trans-sitral yang dapat dimurnikan dengan mempertimbangkan konsentrasi awal sitral

sebelum diisolasi dengan kedua metode tersebut. Meskipun secara umum dari peak report

kromatogram menunjukkan selisih konsentrasi total sitral yang relatif kecil namun secara

spesifik terdapat perbedaan yang signifikan apabila diperhitungkan konsentrasi awal sitral

ditinjau dari luas puncak yang ditunjukkan oleh peak report kromatogram dari masing-masing

isomer sitral.

Dengan metode ekstraksi bisulfit diperoleh kenaikan jumlah cis-sitral sebesar 116,66 %

dan trans-sitral sebesar 105,72 %. Metode DU 11 diperoleh kenaikan jumlah cis-sitral sebesar

1,94 % dan trans-sitral sebesar 2,06 %. Sementara dengan metode DU 13 dan DU 16,

konsentrasi sitral mengalami penurunan, di mana jumlah cis-sitral menurun sebesar 10,61 % dan

8,46 %; trans-sitral menurun sebesar 11,12 % dan 1,65 %. Dari perhitungan tersebut

menguatkan kesimpulan bahwa metode ekstraksi bisulfit merupakan metode yang efektif dalam

isolasi sitral dari minyak kemangi.

.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Minyak kemangi (Ocimum citriodorum, L) diperoleh dengan cara penyulingan uap

dengan rendemen sebesar 0,2 %, berbentuk cair dan berwarna kuning jernih serta

berbau khas minyak kemangi serta kandungan sitral sebesar 33,82 %.

b. Metode isolasi sitral dengan metode ekstraksi bisulfit diperoleh kandungan sitral

sebesar 58,57 %.

c. Isolasi sitral dengan metode distilasi uap dengan perbandingan minyak kemangi : air =

1:1 diperoleh kadar sitral sebesar 56,65 %; untuk perbandingan 1:3 diperoleh kadar

sitral sebesar 56,64 %, dan untuk perbandingan 1:6 diperoleh kadar sitral sebesar

58,03 %.

d. Metode ekstraksi bisulfit merupakan metode yang lebih efektif dalam isolasi sitral dari

minyak kemangi dibandingkan metode distilasi uap.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimaksih kami sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Universitas Islam Indonesia Jogjakarta yang telah mendanai penelitian ini melalui skema

Penelitian Dasar.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Rubiyanto, D, dan Istiqomah N., 2006, Profil Kromatografi dan Spektra Inframerah dari

Minyak Daun Selasih Tipe Ocimum Basilicum “Lime“ dan Ocimum Basilicum ”Canum

Sims”, Jurnal EKSAKTA, Yogyakarta.

[2] Sastrohamidjojo, H., 2004, Minyak Atsiri, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

[3] Gunawan, R, 2009, Development of Essential Oil Derivatives in Indonesia, International

Seminar on Essential Oils (ISEO) II, tanggal 26-28 Oktober 2009, Bogor.

[4] Gunawan, W, 2009, Kualitas dan Nilai Minyak Atsiri, Implikasi pada Pengembangan

Turunannya, Seminar Nasional : Kimia Bervisi SETS (Science, Environment, Technogy,

Society) Kontribusi bagi Kemajuan Pendidikan dan Industri, diselenggarakan Himpunan

Kimia Indonesia Jawa Tengah, Tanggal 21 Maret 2009, Semarang.

Page 14: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

11

[5] Torres, R.C., 1993, Citral From Cymbopogon Citratus (D C) Stafpf (Lemongrass) Oil,

Philippine Journal of Science, 269-276.

[6] Trasarti, A. F., Marchi, A.J. and Apesteguia, C.R., 2004, Highly Selective Syntheses of

Menthols From Citral in A One – Step One Process, Journal of Catalysis, 224,484-488,

Elsevier Inc.

[7] Dodge, A., 1940, Perfumer 32, No. 3, 67. Chem. J Abstract,30, 3403.

[8] Russell, A. and Kenyon, R. L., 1955, Pseudoionones, Organic Syntheses, Coll. Vol. 3, p.747

(1995) : Vol. 23, P.78 (1943), Organic Syntheses, Inc.

[9] Armarego, W.L.F., and Perrin, D.D, 2000, Purification of Laboratory Chemicals, 4th

edition, Butter worth-Heinemann Publisher, Oxford.

[10] Rubiyanto, D, 2008, The Essential Oil of “Daun Kemangi” (Ocimum Citriodorum Sp.)

and Preliminary Study of Its Impacton The Grasshopper Feeding, Malaysian International

Conference on Essential Oil, Flavor and Fragrance Materials V(MICEOFF5), 28-30

Oktober 2008, Institut Kimia Malaysia, KL.

[11] Rubiyanto, D., Anwar, C. dan Sastrohamidjojo, H., 2015, Complete Chemo Type of Three

Species of Basils (Ocimum basilicum) Grown in Indonesia, Journal of Essential Oil

Bearing Plants (TEOP), 18 (4) 2015 pp 982 – 991, T&F Publisher.

Page 15: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5

12

Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012

Kajian Ekstraski Minyak Atsiri Bunga Melati (Jasminum

sambac) dengan Metode Enfreurasi

Sarifah Nurjanah*1, Isti Sulistiani2, Asri Widyasanti3, Sudaryanto Zain4

Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia

e-mail: *[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Bunga melati merupakan bunga yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber wewangian

sehingga berpotensi dikembangkan sebagai bahan baku minyak atsiri. Penelitian ini bertujuan

mengkaji ekstraksi minyak bunga melati menggunakan metode enfluerasi. Metode penelitian

yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap (lima kali

ulangan). Perbandingan penggunakan shortening dan butter adalah 100% shortening,

30%:70%, 50%:50%, 70%:30% dan 100% butter. Hasil penelitian menunjukkan rendemen

terendah didapatkan dari ekstraksi menggunakan 100% butter dan rendemen tertinggi dengan

100% shortening. Ekstraksi dengan shortening 100% menghasilkan minyak dengan aroma

paling wangi. Nilai parameter h (hue) untuk pengujian warna menunjukkan bahwa semua

perlakuan mempunyai nilai h lebih dari 90o. Bobot jenis tertinggi adalah minyak yang

diekstrak dengan 100% butter. Indeks bias minyak berkisar antara 1,447-1,458. Bilangan

asam minyak tertinggi terdapat pada minyak yang diekstrak dengan 100% butter dan terendah

terdapat pada minyak yang diekstrak dengan 100% shortening. Bilangan ester terendah

terdapat pada minyak yang diekstrak dengan 100% butter dan tertinggi terdapat pada minyak

yang diekstrak dengan 100% shortening. Semua minyak larut dalam alkohol dengan

perbandingan antara minyak dengan alkohol 95% adalah 1:1. Kadar sisa pelarut minyak

berkisar antara 2,18-4,58%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa absorben shortening

menghasilkan minyak melati yang lebih baik dibandingkan minyak yang diekstrak dengan

absorben butter.

Kata kunci : enfleurasi, minyak bunga melati, shortening, butter.

Abstract Jasmine flowers contained aromatic compound that is potentially extracted to produce

essential oil. The research aimed to study the enfluerage process in jasmine oil extraction using

two adsorben (shortening and butter). Methodology of the research was laboratory experiment

with fully randomized design in 5 replications, the treatments were composition of shortening

and butter (100% of shortening, 30% : 50% of shortening : butter, 50% : 50% of shortening :

butter, 70% : 30% of shortening : butter dan 100 % of butter). The study showed that

extraction using 100% butter produced lowest yield, while highest yield was produced from the

extraction using 100% shortening. Extraction using 100% shortening produced best fragrance

using organoleptic assessment, highest ester number, and lowest acid number. Hue number for

jasmine oils were 90o, the refractive index were 1.447 – 1.458, solubility in alcohol 96% of 1:1

and residual solvent of 2.18 – 4.58%. It can be concluded that enfluerage using shortening as

its adsorben produced jasmine oils with better quality that butter.

Keyword : enfleurage, jasmine oil, shortening, butter.

Page 16: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

13

1. PENDAHULUAN

Bunga melati merupakan salah satu jenis bunga yang cukup banyak ditanam di Indonesia.

Beberapa sentra budidaya bunga ini adalah di daerah Jawa Tengah yaitu Pemalang, Tegal dan

Purbalingga. Selama ini bunga melati banyak dimanfaatkan sebagai hiasan dan bunga tabur

pada saat upacara adat, sebagai pewangi teh dan sebagai bahan aromatherapy karena wanginya

yang khas dan dapat menenangkan pikiran. Untuk meningkatkan nilai tambah, bunga melati

dapat diekstrak minyak atsiri yang terkandung di dalamnya untuk menjadi bahan pewangi

parfum.

Ekstraksi minyak atsiri yang berasal dari bunga-bungaan dapat dilakukan dengan metode

maserasi, ekstraksi dengan pelarut dan dengan metode enfleurasi1. Dari ketiga metode tersebut

metode enfleurasi adalah yang terbaik jika dilihat dari mutu minyak yang dihasilkan2. Pada

metode ini digunakan lemak dingin sebagai adsorben komponen minyak atsiri bunga yang

menguap. Proses enfleurasi dilakukan di atas chasis yang terbuat dari kaca, dengan cara

mengoleskan adsorben di atas kaca dan menempatkan bunga di atas kaca tersebut. Minyak

atsiri yang telah terserap oleh adsorben tersebut kemudian dilarutkan dalam pelarut organik,

selanjutnya komponen minyak atsiri dipisahkan dari pelarut sehingga yang tertinggal adalah

ekstrak minyak atsiri bunga yang diinginkan.

Proses enfleurasi sangat dipengaruhi oleh jenis adsorben yang digunakan. Adsorben

yang digunakan adalah lemak yang pada suhu kamar berupa padatan yang berasal dari lemak

hewani atau lemak nabati. Komposisi penggunaan lemak terbaik adalah dengan mencampurkan

1 bagian lemak sapi dan 2 bagian lemak babi sebagai adsorben1. Sebagai negara yang mayoritas

penduduknya muslim maka perlu dihindari lemak yang berasal dari babi agar produk yang

dihasilkan halal untuk digunakan. Untuk itu diperlukan penelitian untuk mendapatkan jenis

lemak sebagai adsorben yang dapat menghasilkan minyak dengan rendemen tinggi dan mutu

yang paling baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari perbandingan shortening (lemak nabati) dan butter

(lemak hewani) sebagai adsorben dalam ekstraksi minyak bunga melati dengan metode

enfleurasi untuk mendapatkan minyak bunga dengan rendemen tinggi dan mutu yang terbaik.

2. METODE PENELITIAN

2.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunga melati putih (Jasminum

sambac) yang dipetik M-1 (sehari sebelum mekar) yang diperoleh dari petani bunga melati di

Desa Kaliprau, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Adsorben yang digunakan adalah

shortening dan butter. Bahan kimia yang digunakan adalah ethanol 95%, kalium hidroksida

(KOH), felophtalin (pp) dan asam klorida (HCl). Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah

chasis kaca, beaker glass, buret, freezer, refractometer, black box CIE Lab, dan rotary vacuum

evaporator.

2. 2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah eksperimen laboratorium dengan rancangan acak

lengkap. Adapun perbandingan penggunaan shortening dan butter adalah : 100% shortening,

70% shortening dan 30% butter, 50% shortening dan 50% butter, 30% shortening dan 70%

butter, dan 100% butter. Setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali ulangan. Parameter yang

dikaji adalah rendemen, warna, bobot jenis, bilangan asam, bilangan ester, kelarutan dalam

alkohol, sisa pelarut dan komponen pada minyak bunga melati.

Page 17: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

14

Ekstraksi minyak atsiri bunga melati dilakukan dalam beberapa tahap yaitu sortasi

bunga, pengolesan adsorben pada chasis, meletakkan bunga di atas chasis, mengganti bunga

setiap hari sampai enam kali, pengambilan pomade (adsorben yang telah menyerap minyak

bunga), pencampuran dengan pelarut (alkohol), pemisahan lemak, dan pemisahan pelarut

dengan minyak bunga melati. Sortasi bunga dilakukan untuk memisahkan bunga M-1 dengan

bunga yang bukan M-1 yang terikut, daun dan ranting yang kemungkinan masih ada. Adsorben

sesuai dengan perbandingan antara shortening dan butter diratakan di atas chasis kaca dan

digores untuk memperluas kontak adsorben dengan bunga. Bunga diletakkan di atas adsorben

dengan posisi tertelungkup dan diganti setiap pagi hari dengan bunga yang baru sampai enam

kali penggantian. Pomade (adsorben yang telah bercampur dengan minyak melati) diambil dan

dilarutkan dengan pelarut alkohol. Untuk memisahkan lemak dengan pelarut dilakukan

pengendapan pada suhu 5oC kemudian dilakukan penyaringan, hasil yang didapat adalah cairan

pelarut dengan minyak bunga melati yang disebut ekstrait. Ekstrait selanjutnya dievaporasi

untuk memisahkan pelarut etanol dengan minyak bunga melati (absolut).

Analisis bobot jenis, bilangan asam, bilangan ester, kelarutan dalam alkohol dan sisa

pelarut dilakukan menggunakan metode sesuai dengan SNI 06-2385-2006. Rendemen

merupakan perbandingan antara produk yang dihasilkan (absolut) dengan bunga melati segar

yang digunakan. Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan CIE Lab untuk melihat

derajat h (Hue). Komponen minyak bunga melati dikaji dengan menggunakan GCMS (Gas

Chromatography Mass Spectroscopy) Shimadzu QP 2010 Ultra dengan kolom ZB-5MS fused

silica capillary column. Komponen diidentifikasi menggunakan data The National Institute of

Standards and Technology (NIST 3.0) dan WILEY 275 libraries yang tersedia pada sistem

GCMS tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. 1. Rendemen Minyak Melati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen minyak yang dihasilkan bernilai antara

0,20 – 0,47% (Tabel 1). Nilai ini merupakan perbandingan absolut dengan bunga melati segar

sesudah sortasi. Nilai rendemen ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Sani dkk3 yang

mengekstrak minyak melati menggunakan metode enfleurasi dimana diperoleh rendemen

tertinggi adalah 0,416%. Rendemen tertinggi pada penelitian ini dihasilkan dari ekstraksi

dengan menggunakan shortening 100% sedangkan nilai rendemen terendah dihasilkan dari

ekstraksi dengan butter 100%. Adanya perbedaan nilai rendemen ini diduga karena perbedaan

konsistensi jenis absorben tersebut. Konsitensi mentega ditentukan oleh globula lemak

penyusunnya, semakin besar ukuran globula maka mentega akan semakin lunak dan

kebalikannya4. Absorben dengan konsistensi lunak dapat mempersulit proses enfluerasi5. Hal

ini terbukti pada saat proses defluerasi (pemisahan bunga dari absorben). Proses defluerasi

bahan pada ekstraksi yang menggunakan butter yang mempunyai konsistensi yang lebih lunak

dari shortening menjadi lebih sulit sehingga banyak absorben yang masih menempel pada

bunga. Hal ini menyebabkan minyak atsiri yang telah terserap pada absorben tersebut terbuang

dan tidak ikut terekstrak pada proses berikutnya sehingga rendemennya lebih rendah.

Tabel 1. Rendemen minyak melati pada beberapa imbangan abdorben

Perlakuan Bunga

Melati (g)

Minyak

Atsiri (g)

Rendemen

(%)

Standar

Deviasi

Hasil Uji lanjut

(Turkey 5%)

(A) 100% S* 1500,7 7,01 0,47 0,066 0,47 a

(B) 30% S : 70% B 1500,6 3,80 0,25 0,043 0,25 b

(C) 50% S : 50% B 1500,6 4,94 0,33 0,025 0,33 b

Page 18: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

15

Perlakuan Bunga

Melati (g)

Minyak

Atsiri (g)

Rendemen

(%)

Standar

Deviasi

Hasil Uji lanjut

(Turkey 5%)

(D) 70% S : 30% B 1500,5 5,34 0,36 0,050 0,36 ab

(E) 100 % B** 1500,6 2,95 0,20 0,015 0,20 b

*Shortening

**Butter

3. 2. Warna Minyak Melati

Pengukuran warna dilakukan untuk mendapatkan parameter nilai L* (lightness), a*

(merah dan hijau), b* (kuning dan biru) dan nilai kroma C serta derajat h (Hue). Nilai L* yang

positif menunjukkan bahwa semua sampel minyak melati yang dihasilkan berpenampakan

cerah. Hal ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi yang dilakukan tidak menurunkan mutu

minyak yang dihasilkan sehingga warna minyak cerah. Diantara proses yang dapat

menurunkan mutunya adalah proses evaporasi yang menggunakan suhu tinggi. Jika suhu

evaporasi terlalu tinggi akan dapat merubah warna minyak akibat dari perubahan komponen

yang dapat mengakibatkan warna gelap. Nilai a* negatif menunjukkan semua sampel berwarna

cenderung ke hijau bukan ke merah, sedangkan nilai positif pada parameter b* menunjukkan

semua sampel berwarna kekuningan. Derajat h yang dihitung dari nilai ketiga nilai tersebut dan

menggambarkan jenis warna minyak melati menunjukkan bahwa jenis warnanya adalah warna

kuning dimana derajat hue nya berkisar antara 95,48o – 98,37o. Derajat hue 90o – 126o

dikelompokkan dalam bahan berwarna kuning6. Nilai parameter L*, a*, b* dan derajat hue

disajikan pada Tabel 2. Pengujian Anova tidak menunjukkan berbedaan nyata diantara

perlakuan yang diberikan.

Tabel 2. Parameter warna minyak melati pada beberapa imbangan absorben

Perlakuan

L*

a*

b* Derajat

h (hue)

Standar

Deviasi h

(A) 100% S* 95,19 -1,97 20,04 95,48 3,71

(B) 30% S : 70% B 96,75 -4,22 28,25 97,91 0,40

(C) 50% S : 50% B 94,59 -4,15 28,30 98,37 3,12

(D) 70% S : 30% B 96,56 -4,02 31,11 97,37 1,16

(E) 100% B** 96,13 -3,92 30,40 97,37 1,66

*Shortening

**Butter

3. 3. Bobot Jenis Minyak Melati

Bobot jenis bahan menunjukkan perbandingan antara bobot minyak dengan bobot air

pada suhu dan volume yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai bobot jenis

sampel minyak melati berkisar antara 0,9381 g/ml– 0,9467 (Tabel 3). Pengujian Anova tidak

menunjukkan berbedaan nyata diantara perlakuan yang diberikan. Hasil penelitian Sani dkk3

menunjukkan bahwa bobot jenis minyak melati yang diperoleh berkisar antara 0,943 – 0,967

g/ml. Jika dibandingkan dengan hasil tersebut maka nilai bobot jenis minyak melati yang

dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda. Bobot jenis dapat menunjukkan komponen

yang terkandung di dalam bahan serta dapat pula menunjukkan kemurnian minyak. Semakin

besar fraksi dengan bobot molekul tinggi maka semakin tinggi pula nilai bobot jenis. Adanya

kotoran atau bahan lain yang tidak diinginkan juga dapat meningkatkan nilai bobot jenis

minyak.

Page 19: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

16

Tabel 3. Bobot jenis minyak melati pada beberapa imbangan absorben

Perlakuan Bobot Jenis

(g/ml)

Standar

Deviasi

(A) 100% S* 0,9409 0,0082

(B) 30% S : 70% B 0,9403 0,0023

(C) 50% S : 50% B 0,9392 0,0073

(D) 70% S : 30% B 0,9381 0,0046

(E) 100 % B** 0,9467 0,0084

*Shortening

**Butter

3. 4. Indeks Bias Minyak Melati

Indeks bias merupakan perbandingan kecepatan cahaya pada ruang hampa udara dengan

kecepatan cahaya pada bahan. Hasil penelitian menunjukkan nilai indeks bias sampel minyak

melati berkisar antara 1,447 – 1,458. Nilai indeks bias dari lima kali ulangan pengukuran untuk

semua sampel disajikan pada Tabel 4. Uji Anova tidak menunjukkan adanya perbedaan yang

nyata diantara semua sampel. Nilai indeks bias hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan

hasil penelitian Sani dkk3 yang menguji nilai indeks bias minyak melati hasil enfleurasi sebesar

1,480-1,499. Jika dibandingkan dengan nilai indeks bias air (1,333) maka nilai indeks bias

minyak melati lebih besar. Besarnya indeks bias suatu bahan dapat menunjukkan panjang

pendeknya rantai karbon bahan. Semakin panjang rantai karbon dapat meningkatkan kerapatan

bahan. Tingginya kerapatan pada minyak dapat menyulitkan proses pembiasan sinar datang

sehingga nilai indeks biasnya meningkat.

Tabel 4. Indeks bias minyak melati pada beberapa imbangan absorben

Perlakuan Indeks

Bias

Standar

Deviasi

(A) 100% S* 1,451 0,0060

(B) 30% S : 70% B 1,458 0,0023

(C) 50% S : 50% B 1,453 0,0036

(D) 70% S : 30% B 1,447 0,0005

(E) 100% B** 1,457 0,0001

*Shortening

**Butter

3. 5. Bilangan Asam Minyak Melati

Bilangan asam menunjukkan jumlah milligram KOH yang digunakan untuk

menetralkan asam lemak bebas pada satu gram minyak. Bilangan asam sampel minyak yang

dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 18,83 – 29,85 mg KOH/ g sampel (Tabel 5). Hasil

pengujian Anova menunjukkan bahwa perlakuan memberikan perbedaan nyata pada nilai

bilangan asam. Minyak melati yang diekstrak dengan absorben shortening 100% mempunyai

bilangan asam terendah, sedangkan minyak melati yang diekstrak dengan absorben butter 100%

mempunyai bilangan asam tertinggi. Hal ini diduga disebabkan karena butter mengandung FFA

(Free Fatty Acid/ Asam Lemak Bebas) lebih banyak yang turut terekstrak oleh etanol sebagai

pelarut dan tidak menguap selama proses evaporasi7. Kandungan FFA pada shortening adalah

0,13% sedangkan kandungan FFA pada butter sebesar 0,14%8. Kandungan FFA akan

Page 20: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

17

meningkat seiring dengan lamanya waktu enfleurasi. Selama proses enfleurasi berlangsung

absorben akan didiamkan selama enam hari (enam kali penggantian bunga). Lemak absorben

yang dibiarkan pada udara terbuka pada suhu ruang dapat menyebabkan kerusakan lemak

dengan adanya proses oksidasi dan hidrolisis yang akan menghasilkan FFA4.

Tabel 5. Bilangan asam minyak melati pada beberapa imbangan absorben

Perlakuan

Bilangan Asam

(mg KOH/g)

Standar

Deviasi

Uji Turkey

(5%)

(A) 100% S* 18,83 1,836 18,83 a

(B) 30% S : 70% B 26,33 0,7196 26,33 b

(C) 50% S : 50% B 25,86 0,7150 25,86 bc

(D) 70% S : 30% B 22,89 1,811 22,89 c

(E) 100% B** 29,85 0,7511 29,85 d

*Shortening

**Butter

3. 6. Bilangan Ester Minyak Melati

Bilangan ester merupakan jumlah milligram KOH yang digunakan untuk menyabunkan

ester yang terdapat pada satu gram sampel minyak. Hasil penelitian menunjukkan nilai bilangan

ester minyak berkisar antara 143,408 – 186,556 mg KOH/ g minyak (Tabel 6). Hasil uji Anova

menunjukkan bahwa perlakuan mempengaruhi nilai bilangan ester sampel. Bilangan ester

dapat menunjukkan mutu minyak atsiri karena semakin tinggi bilangan ester semakin banyak

komponen pembentuk aroma minyak. Senyawa ester merupakan senyawa golongan oxygenated

hydrocarbon yang merupakan senyawa penyebab bau wangi pada minyak atsiri5. Minyak yang

diekstrak dengan absorben 100% shortening mempunyai bilangan ester tertinggi sedangkan

minyak melati yang diekstrak dengan 100% butter mempunyai bilangan ester terendah. Hal ini

diduga karena shortening yang mempunyai konsistensi lebih keras dibandingkan butter dapat

lebih mengikat minyak melati sehingga nilai bilangan esternya lebih tinggi4,5.

Tabel 6. Bilangan ester minyak melati pada beberapa imbangan absorben

Perlakuan Bilangan Ester

(mg KOH/g)

Standar

Deviasi

Uji Turkey

(5%)

(A) 100% S* 186,556 47,301 186,5562 a

(B) 30% S : 70% B 146,147 29,242 146,1468 b

(C) 50% S : 50% B 155,433 78,678 155,4326 b

(D) 70% S : 30% B 172,4926 55,712 172,4926 c

(E) 100% B** 143,4081 21,664 143,4081 b

*Shortening

**Butter

3. 7. Kelarutan dalam Alkohol Minyak Melati

Kelarutan dalam alkohol menunjukkan perbandingan volume minyak atsiri dan alkohol

95% agar terlarur sempurna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua sampel larut dalam

alkohol 95% dengan perbandingan 1:1 (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa perbandingan

penggunaan absorben tidak mempengaruhi nilai kelarutan minyak melati dalam alkohol.

Kelarutan dalam alkohol dapat menunjukkan komponen pembentuk minyak atsiri. Minyak

Page 21: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

18

yang larut dalam alkohol adalah minyak yang banyak mengandung oxygenated hydrocarbon2

dan terpen alkohol. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya komponen ester yang merupakan

senyawa oxygenated hydrocarbon dan terpen alkohol yang terdapat pada minyak melati yang

dihasilkan (Tabel 9). Beberapa senyawa tersebut diantaranya adalah linalool (21,88%) dan

benzyl acetate (8,26%) yang merupakan senyawa paling banyak terdapat pada sampel minyak

melati.

Tabel 7. Kelarutan dalam alkohol minyak melati pada beberapa imbangan absorben

Perlakuan Kelarutan dalam

Alkohol

(A) 100% S* 1:1 (Larut)

(B) 30% S : 70% B 1:1 (Larut)

(C) 50% S : 50% B 1:1 (Larut)

(D) 70% S : 30% B 1:1 (Larut)

(E) 100 % B** 1:1 (Larut)

*Shortening

**Butter

3. 8. Kadar Sisa Pelarut

Nilai kadar sisa pelarut menunjukkan besarnya pelarut yang terikut pada sampel minyak

melati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sisa pelarut sampel minyak melati berkisar antara

2,18 – 4,58% (Tabel 8). Persentase sisa pelarut dalam sampel masih cukup tinggi dan belum

memenuhi standar sisa pelarut yang diijinkan untuk penggunaan farmasi dan bahan pangan.

Besarnya sisa pelarut yang diijinkan untuk penggunaan bahan pangan dan farmasi adalah

kurang dari 1%9. Kadar sisa pelarut tidak ditentukan oleh bahan baku ataupun bahan

pengekstrak tetapi ditentukan oleh proses evaporasi atau pemisahan sisa pelarut dan minyak

melati. Semakin lama proses evaporasi maka sisa pelarut akan semakin kecil akan tetapi hal ini

akan dapat menyebabkan evaporasi minyak melati yang akan dapat menurunkan rendemennya.

Tabel 8. Kadar sisa pelarut minyak melati pada beberapa imbangan absorben

Perlakuan Sisa Pelarut

(%)

Standar

Deviasi

(A) 100% S* 2,18 0,0503

(B) 30% S : 70% B 3,28 0,1457

(C) 50% S : 50% B 4,58 0,2684

(D) 70% S : 30% B 4,26 0,0838

(E) 100 % B** 2,42 0,1501

*Shortening

**Butter

3. 9. Komposisi Kimia Minyak Melati

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi dengan absorben shortening 100%

menghasilkan minyak dengan rendemen dan mutu terbaik (rendemen tertinggi, derajat h

terendah untuk warna, bilangan asam terendah, bilangan ester tertinggi dan sisa pelarut

terendah). Komposisi kimia minyak melati yang diekstrak dengan absorben shortening 100%

disajikan pada Tabel 9. Komponen tertinggi pada sampel yang dihasilkan adalah linalool

Page 22: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

19

(21,88%), diikuti oleh benzyl acetate (8,26%) dan alpha farnesene (7,27%). Komponen kimia

yang terdapat pada sampel minyak melati yang dihasilkan sama dengan hasil penelitian Rao and

Rout10 yang menyatakan bahwa komponen linalool dan benzyl acetate merupakan komponen

utama pembentuk minyak melati, dimana jumlah dan jenis komponen tergantung pada lokasi

tanam.

Tabel 9. Komposisi kimia minyak melati

No Waktu

retensi Komponen

Persentase

(%)

1 4,414 Benzaldehyde 0,14

2 5,040 Hexen ol acetate 2,65

3 5,184 Hexen ol acetate 0,27

4 6,572 Linalool oxide 0,67

5 6,703 Methyl benzoate 0,33

6 6,813 Linalool 21,88

7 7,556 Benzeneacetonitrile 0,56

8 8,010 Benzyl acetate 8,26

9 8,046 Acetic acid, 2-ethylhexyl ester 0,87

10 8,348 Butanoic acid,4-hexen-1-yl ester 0,34

11 8,505 Butanoic acid, 2-hexenyl ester 0,13

12 8,626 Methyl salicylate 0,29

13 9,775 Acetic acid, phenethyl ester 0,47

14 10,585 Indole 2,94

15 10,655 2-Phenylnitroethane 0,31

16 11,457 Benzoic acid, 2-amino-, methyl ester 0,33

17 11,499 Triacetin 0,35

18 12,143 Cis 3 hexenyl lactate 0,14

19 13,984 Germacrene 0,06

20 14,333 alpha Farnesene 7,27

21 14,550 Germacrene 0,05

22 14,685 Cadina-1(10),4-diene 0,14

23 15,483 Benzoic acid cis-3-hexenyl ester 1,44

24 15,707 9-(Benzoyloxy)-9-borabicyclo[3.3.1]nonane 0,30

4. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan perbedaan lemak sebagai adsorben

dalam ekstraksi minyak melati secara enfleurasi memberikan pengaruh pada beberapa nilai

mutu. Penggunaan shortening (mentega putih) 100% dalam ekstraksi minyak melati

memberikan hasil dengan nilai mutu yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan

penambahan butter (mentega kuning) maupun butter 100%, dengan rendemen 0,47%, bilangan

asam 18,83 mg KOH/g, bilangan ester 186,55. mg KOH/ g. Komponen kimia utama yang

terdapat pada sampel minyak melati adalah linalool, benzyl acetate, dan alpha farnesene.

.

Page 23: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

20

DAFTAR PUSTAKA

[1] Guenther, E., 1987, Minyak Atsiri jilid I, Penerjemah Ketaren, S., Universitas Indonesia

Press, Jakarta

[2] Satuhu, S., 2004. Penanganan Segar dan Pembuatan Minyak Bunga Melati, Penebar

Swadaya, Depok [3] Sani, NS., Rachmawati, R., Mahfud, 2012. Pengambilan Minyak Atsiri dari Melati dengan

Metode Enfleurasi dan Ekstraksi Pelarut Menguap. Jurnal Teknik Pomits Vol 1 : 1, hal 1-4

[4] Ketaren, S., 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Universitas Indonesia

Press, Jakarta

[5] Ketaren, S., 1985, Pengantar Teknologi Minyak Atsiri, Balai Pustaka, Jakarta

[6] Hutching, JB., 1999, Food Color and Appearance, 2nd ed, Aspin Publ., Inc., Maryland

[7] Lubis, IH., 1999, Pengaruh Jenis Lemak dan Frekuensi Penggantian Bunga pada Proses

Enfleurasi terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Melati. Fakultas Teknologi Pertanian,

IPB

[8] Pujiono, 2000, Karakteristik Absorben sebagai Media pada ENfleurasi Bunga Sedap Malam

(Polianthes tuberose L.), Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

[9] Apriantono, A, 2001, Tinjaun Kritis Status Kehalalan Alkohol (Etanol), Jurusan Teknologi

Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, www.://Indohalal.com/artikel.php?noid=79//

[10] Rao, YR, and Rout, PK, 2003. Geographical Location and Harvest Time Dependent

Variation in the Composition of Essential Oils of Jasminum sambac. (L). Aiton, Journal of

Essential Oil Research 15:6, page 398-401

Page 24: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

pp. 1~5

SSN: 1978-1520 21

Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012

DIVERSIFIKASI PRODUK FARMASI DARI MINYAK

LAWANG DENGAN PENDEKATAN SINTESIS

KIMIA

Imanuel Berly D. Kapelle a,c*, Tun Tedja Irawadi b, Meika Syahbana Rusli a,

Djumali Mangunwidjaja a, Zainal Alim Mas’ud b

a Teknologi Industri Pertanian, FATETA, Institut Pertanian Bogor, Bogor b Kimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor, Bogor c KIMIA, FMIPA, Universitas Pattimura, Ambon

* Email : [email protected]

Abstrak

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan jenis–jenis tumbuhan penghasil

minyak atsiri namun penggunaannya tidak banyak digunakan untuk diolah menjadi produk jadi

seperti obat–obatan. Salah satu minyak atsiri yang sangat potensial dan diproduksi di wilayah

Indonesia Timur khususnya Maluku dan Papua adalah minyak lawang. Tujuan yang ingin

dicapai adalah membuat produk farmasi analog kurkumin dari minyak lawang dengan jalur

sintesis kimia. Terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan, mulai dari proses isolasi safrol

dari minyak lawang, proses isomerisasi safrol, proses oksidasi isosafrol dan tahapan proses

reaksi kondensasi. Safrol diisolasi dari minyak lawang menggunakan metode kimia (NaOH) dan

menghasilkan safrol 17,21%. Proses isomerisasi safrol menghasilkan isosafrol menggunakan

sistem bebas pelarut dengan katalis alkali KOH pada suhu 120oC selama 6 jam diperoleh

rendemen 77,56%. Piperonal diperoleh dari reaksi oksidasi isosafrol menggunakan oksidator

KMnO4 sebanyak 65,63%. Produk analog kurkumin simetris (1,5-bis-benzo[1,3]dioxol-5-yl-

penta-1,4-dien-3-one) yang diperoleh dari reaksi kondensasi antara piperonal dengan aseton.

Rendemen produk menggunakan metode gelombang mikro pada daya 140 watt selama 2 menit

adalah 53,3% (t.l=180 oC) dan metode konvensional selama 3 jam adalah 78,43% (t.l=191 oC).

Produk analog kurkumin tidak simetris (5-benzo[1,3]dioxol-5-yl-1-phenyl-penta-2,4-dien-1-

one) disintesis menggunakan dua tahapan reaksi kondensasi. Tahapan kondensasi yang pertama

antara piperonal dengan asetaldehid menggunakan katalis basa dan metanol selama 3 jam

diperoleh produk intermediate (3-benzo[1,3]dioxol-5-yl-propenal) 70,28%. Reaksi kondensasi

tahap kedua antara produk intermediate dengan asetofenon menggunakan metode gelombang

mikro pada daya 140 watt selama 2 menit diperoleh rendemen 82,82% (t.l = 104 oC) dan metode

konvensional selama 3 jam diperoleh 99,55% (t.l = 111 oC).

Kata kunci : Minyak lawang, safrol, sintesis, analog kurkumin

Abstract Indonesia is a country with these kinds of plant essential oil producer but its use was

not widely used for processed into finished products such as drugs. One of the essential oils are

highly potential and produced in the territory of Indonesia's Eastern Maluku and Papua in

particular is Mace oil. The goal to be achieved is to make pharmaceutical products of

Curcumin analogues with Mace oil chemical synthesis. There are several stages of the process,

starting from the process of insulating oil of safrol Mace, isomerization process of the oxidation

process, isosafrol oxidation process and the process of condensation reaction. Safrol isolated

from oil-chemical method using Mace (NaOH) and produce safrol 17, 21%. Isomerization

Page 25: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

22

process safrol produces solvent-free system using isosafrol with alkali catalyst temperature is

120oC KOH on for 6 hours obtained 77,56% yield. Piperonal is obtained from the isosafrol

oxidation reaction using oxidizing KMnO4 65,63% as much. Analog products Curcumin

symmetrical (1.5-bis-benzo [1,3] dioxol-5-yl-penta-1.4-dien-3-one) obtained from the

condensation reaction between piperonal with acetone. The product yield using microwave

method on power 140 watt for 2 minutes is 53.3% (t. l = 180oC) and conventional methods for 3

hours is 78.43% (t. l = 191oC). Analog products not symmetrical Curcumin (5-benzo [1,3]

dioxol-5-yl-1-phenyl-penta-2.4-dien-1-one) are synthesized using two stages of condensation

reaction. The first stage of condensation between piperonal with asetaldehid using the alkaline

catalyst and methanol for 3 hours obtained intermediate products (3-benzo [1,3] dioxol-5-yl-

propenal) 70,28%. The second phase condensation reaction between intermediate products with

acetophenone using microwave method on power 140 watt for 2 minutes obtained 82.82% yield

(t. l = 104 ° c) and conventional methods for 3 hours obtained 99.55% (t. l = 111o C).

Keywords : Mace oil, safrol, analog synthesis, Curcumin

1. PENDAHULUAN (INTRODUCTION)

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan jenis–jenis tumbuhan penghasil

minyak atsiri namun penggunaannya tidak banyak digunakan untuk diolah menjadi produk jadi

seperti obat–obatan. Salah satu minyak atsiri yang sangat potensial dan diproduksi di wilayah

Indonesia timur khusunya Maluku dan Papua adalah minyak lawang. Tanaman pohon lawang

termasuk dalam famili lauraceae dan kelompok kayu manis dengan ciri-ciri daun berlendir,

kayu berwarna putih dan rapuh serta tumbuh liar di hutan. Minyak lawang diperoleh dari

destilasi kulit kayu tanaman lawang (Cinanomum cullilawan, Blume) dengan rendemen 1,49–

3,80% (Ketaren 1985).

Pada proses pemisahan minyak lawang menghasilkan dua produk yaitu eugenol (69,0%)

dan safrol (21,0%) (Sastrohamidjojo 2014). Eugenol dan safrol memiliki perbedaan struktur,

dimana safrol memiliki cincin epoksida yang sangat aktif sehingga dapat dijadikan sebagai

prekusor obat sintetik. Safrol merupakan senyawa utama minyak sasafras dan sering digunakan

sebagai prekusor obat sintesis MDMA (Stojanovska et al.2013) dan MDP2P (Cox et al.2006).

Penggunaan safrol saat ini sebagai zat aditif makanan telah dilarang karena dapat berinterkasi

dengan tubuh dan bersifat karsinogenik (Schaffer et al.2013), badan internasional untuk

penelitian kanker menggolongkan safrol pada kelompok 2B karsinogenik (Fan et al.2012).

Bahan alam yang memiliki gugus epoksida yang sama dengan safrol serta memiliki

aktifitas sebagai anti kanker adalah piperine (Soliman 2005). Piperine merupakan senyawa

alkaloid yang telah diuji aktifitas sebagai antitumor dengan metode in vivo dapat menghambat

56,8% (Bezerral et al.2006), efek antioksidan dan hepatoprotektif (Mehta et al.2012) serta dapat

meningkatkan bioavailabilitas (Jin et al.2013). Kereaktifan dari gugus epoksida yang dimiliki

oleh safrol dapat dimanfaatkan dengan cara dikonversi menjadi produk obat antikanker yaitu

senyawa turunan analog kurkumin.

Senyawa analog (homolog) kurkumin merupakan senyawa yang memiliki kemungkinan

sifat farmakologis yang sama atau bahkan lebih baik bila dibandingkan dengan senyawa induk

(Yang et al.2013) karena memiliki bioavailabilitas yang rendah (Reddy et al.2014). Kurkumin

dan analog kurkumin mempunyai aktifitas biologis sebagai antiinflamasi, antioksidan,

antitumor, dan anti kanker (pencernaan, payudara, ovarium, paru-paru, saraf) (Hahm et al.2004;

Anand et al.2008; Labbozzetta et al.2009; Shang et al.2010; Anand et al.2011).

Diversifikasi produk berbasis minyak lawang menjadi produk obat antikanker analog

kurkumin melalui beberapa tahapan proses antara lain isolasi safrol dari minyak lawang,

isomerisasi safrol, oksidasi dan kondensasi. Safrol dapat diisolasi dari minyak lawang dengan

menggunakan metode kimia dan fisik. Metode kimia dengan menggunakan NaOH (Kapelle et

al.2010) sedangkan metode fisik berdasarkan pada perbedaan titik didih komponen. Reaksi

Page 26: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

23

isomerisasi safrol menggunakan katalis basa berlebih dengan suhu proses 120oC selama 6 jam

(Kapelle et al.2010) dengan reaksi tanpa pelarut atau dengan pelarut butanol (Heather et

al.2015). Proses oksidasi isosafrol menghasilkan piperonal merupakan reaksi oksidasi alkena,

dimana produk yang dihasilkan tergantung pada kondisi reaksi dan struktur alkena yang

digunakan. Reaksi oksidasi dilakukan dengan menggunakan KMnO4 sebagai pengoksidasi

dalam sistem dua fasa yaitu air dan fasa organik, maka untuk meningkatkan reaksi ditambahkan

katalis transfer fase (Sastrohamidjojo 2004).

Produk obat sintetik analog kurkumin yang akan dibuat memiliki perbedaan yaitu simetris dan

tidak simetris namun berasal dari bahan dasar piperonal hasil sintesis dari minyak lawang.

Reaksi sintesis analog kurkumin merupakan proses reaksi kondensasi antara dua senyawa

karbonil yang berbeda dan umumnya menggunakan dua kondisi reaksi yaitu kondisi asam dan

kondisi alkali (Yin et al.2013). Reaksi pada kondisi alkali sering digunakan karena dapat

memberikan hasil yang lebih baik (Chen et al.2011). Proses reaksi kondensasi dapat dipercepat

dengan menggunakan radiasi microwave pada 160W selama 60-120s (Elavarasan et al.2013).

Tujuan yang ingin dicapai adalah membuat produk farmasi analog kurkumin dari minyak

lawang dengan jalur sintesis kimia.

2. METODE PENELITIAN (MATERIALS AND METHODS)

Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain: minyak lawang (hasil

destilasi uap kulit kayu tanaman lawang di Maluku), silica gel biru, kalium hidroksida, dietil

eter, petroleum eter, asam asetat glasial, asam sulfat, diklorometana, natrium hidroksida,

natrium sulfat anhidrat, asetaldehid, asetofenon, metanol, kalium permanganat yang semuanya

p.a (e.merck), polyoxyethylene sorbitan monooleate (Tween 80) (brataco), kertas saring

wathman 42, indikator universal, aquades.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pemanas listrik dilengkapi

pengaduk magnet, microwave oven LG 700 w, alat ukur titik leleh, (FTIR, IR Prestige-21,

Shimadzu), kromatografi gas spektrometri massa (GCMS, QP-2010 Plus, Shimadzu),

kormatografi gas (GC, Shimadzu 2010) dan alat-alat gelas, kromatografi cair spektrofotometer

massa (LC-ESI-MS, L6200, Hitachi), HPLC (Shimadzu) dan alat-alat gelas.

Isolasi safrol dari minyak lawang

Ke dalam erlenmeyer ukuran 1 L dimasukkan 614,76 g minyak lawang dan ditambahkan 240 g

NaOH dalam 1250 mL aquades. Campuran diaduk sampai terbentuk dua lapisan, dan kemudian

lapisan atas dipisahkan. Lapisan bawah diekstraksi dua kali dengan 100 mL petrolium eter dan

ditambahkan pada lapisan atas, selanjutnya dicuci dengan aquades hingga netral dan

dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat. Petrolium eter dipisahkan menggunakan evaporator dan

dilakukan destilasi dengan pengurangan tekanan. Kemurnian diuji dengan kromatografi gas dan

struktur ditentukan dengan 1H-NMR dan FTIR.

Isomerisasi safrol

Ke dalam labu leher tiga ukuran 500 mL yang telah dilengkapi dengan pengaduk magnet,

termometer, pendingin bola dan tabung yang berisi gel biru dimasukan 71,56 g (0,44 mol) safrol

dan 50 g (0,89 mol) KOH. Campuran direfluks pada suhu 120º C selama 6 jam, dan didinginkan

kemudian ditambahkan 250 mL aquades, kemudian diekstrak dengan dietil eter. Hasil

dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat dan dietil eter dipisahkan menggunakan evaporator dan

dilakukan destilasi dengan pengurangan tekanan. Kemurnian diuji dengan GC dan struktur

ditentukan dengan FTIR dan 1H-NMR.

Sintesis piperonal

Kedalam labu leher tiga 500 mL dimasukan 14,85g isosafrol (0,1 mol), 500 mL aquades, 10 mL

asam asetat glacial, 75 mL asam sulfat 50%, 500 mg tween 80 dan 500 mL diklorometan.

Page 27: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

24

Selanjutnya 48,95 g (0,31 mol) padatan KMnO4 ditambahkan sekitar 500 mg setiap menit, suhu

dipertahankan di bawah 30oC dengan menempatkan dalam penangas es. Setelah KMnO4

ditambahkan, labu dipanaskan perlahan-lahan pada suhu 40oC sampai warna ungu KMnO4

hilang (15 menit), kemudian larutan didinginkan selama beberapa menit dan terbentuk endapan

MnO2, saring endapan MnO2 menggunakan silica gel. Larutan hasil pemisahan kemudian

dituangkan kedalam corong pisah dan kedua lapisan dipisahkan. Lapisan air (lapisan atas)

diekstrak dengan diklorometan (2 x 30 mL). Semua lapisan organik digabung, kemudian dicuci

dengan 2 x 30 mL aquades. Lapisan organik dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat, disaring dan

dievaporasi dengan evaporator. Ke dalam residu hasil evaporasi ditambahkan larutan NaOH

20% dan campuran diaduk selama 30 menit. Selanjutnya campuran diekstrak dengan

diklorometan, dicuci dengan aquades, dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat dan dievaporasi

kembali. Rekristalisasi dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol, hasil yang diperoleh

dianalisis dengan menggunakan GCMS dan 1H-NMR.

Proses sintesis analog kurkumin simetris metode gelombang mikro

Metode gelombang mikro dengan cara mencampurkan 45 g (0,3 mol) piperonal, 8,93 g (0,15

mol) aseton dan 30 mL metanol. Campuran diaduk dan ditambahkan 15 mL NaOH 10%.

Campuran dimasukan ke dalam mikrowave pada tingkat daya 140 watt dengan waktu

pemanasan 2 menit. Hasil kemudian didinginkan, dicuci dengan metanol, disaring. dan

dianalisis.

Proses sintesis analog kurkumin simetris metode konvensional

Pemanasan secara konvensional dengan cara mencampurkan 45 g (0,3 mol) piperonal, 8,93 g

(0,15 mol) aseton dan 30 mL metanol. Campuran diaduk dan ditambahkan 15 mL NaOH 10%.

Campuran diaduk selama 3 jam, residu dicuci dengan metanol, disaring dan hasil yang

diperoleh dianalisis.

Pembuatan produk intermediate 3-benzo[1,3]dioxol-5-yl-propenal

Produk intermediate dilakukan dengan mencampurkan 16 g (0,4 mol) NaOH, 100 mL aquades

dan 150 mL metanol. Campuran diaduk, selanjutnya 8,8 g (0,2 mol) asetaldehid dituangkan

kedalam campuran. Sebanyak 30 g (0,2 mol) piperonal ditambahkan kedalam campuran dan

diaduk selama 3 jam. Hasil kemudian didinginkan dan dimasukan dalam lemari pendingin

selama 12 jam. Padatan hasil disaring dengan penyaring Buchner dan dicuci dengan aquades

sampai pH netral. Kristal yang terbentuk di rekristalisasi dan dianalisis.

Proses sintesis analog kurkumin tidak simetris metode konvensional

Metode konvensional dengan cara mencampurkan 3,2 g (0,08 mol) NaOH, 20 mL akuades dan

30 mL metanol. Campuran diaduk, selanjutnya 4,8 g (0,04 mol) asetofenon dituangkan kedalam

campuran dan segera diaduk. Sebanyak 7,04 g (0,04 mol) produk intermediate dituangkan

kedalam campuran dan diaduk selama 3 jam. Hasil kemudian didinginkan dan dimasukan

dalam lemari pendingin selama 12 jam. Padatan hasil disaring dengan penyaring Buchner dan

dicuci dengan aquades sampai pH netral. Kristal yang terbentuk di rekristalisasi dan dianalisis.

Proses sintesis analog kurkumin tidak simetris metode gelombang mikro

Metode gelombang mikro dengan cara mencampurkan 3,2 g (0,08 mol) NaOH, 20 mL

air dan 30 mL metanol. Campuran diaduk, selanjutnya 4,8 g (0,04 mol) asetofenon dituangkan

kedalam campuran dan segera diaduk. Sebanyak 7,04 g (0,04 mol) produk intermediate

dituangkan kedalam campuran. Campuran dimasukan ke dalam mikrowave pada tingkat daya

140 watt dengan waktu pemanasan 2 menit. Hasil kemudian didinginkan dan dimasukan dalam

lemari pendingin selama 12 jam. Padatan hasil disaring dengan penyaring Buchner dan dicuci

dengan aquades sampai pH netral. Kristal yang terbentuk di rekristalisasi dan dianalisis.

Page 28: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

25

3. HASIL DAN PEMBAHASAN (RESULT)

Diversifikasi produk minyak lawang yang telah dibuat dengan pendekatan sintesis kimia

adalah produk sintetik analog kurkumin simetris (1,5-bis-benzo[1,3]dioxol-5-yl-penta-1,4-dien-

3-one) dan produk sintetik analog kurkumin tidak simetris (5-benzo[1,3]dioxol-5-yl-1-phenyl-

penta-2,4-dien-1-one). Terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan, mulai dari proses

isolasi safrol dari minyak lawang, proses isomerisasi safrol, proses oksidasi isosafrol dan

tahapan proses reaksi kondensasi. Transformasi produk dan proses reaksi yang terjadi pada

setiap tahapan serta rendemen hasil dapat dilihat pada gambar 1.

Produk obat sintetik analog kurkumin simetris dan tidak simetris dari minyak lawang

melalui tahapan proses yang banyak sehingga terjadi penurunan rendemen hasil dari minyak.

Presentasi rendemen produk sintetik analog kurkumin antara 4,66% – 6,86% dengan rendemen

terbesar untuk metode proses konvensional pada kedua produk sintetik. Tahapan awal proses

pembuatan produk antikanker sintetik adalah isolasi safrol dari minyak lawang. Eugenol

merupakan produk mayor dalam proses isolasi menggunakan pereaksi basa NaOH. Safrol

merupakan hasil samping dari proses isolasi eugenol, namun masih mengandung komponen lain

dalam campuran sehingga perlu dilakukan pemurnian. Pemurnian safrol menggunakan metode

fisik yaitu dengan menggunakan pengaruh suhu. Safrol dapat dimurnikan pada temperatur

rendah menghasilkan kristal putih (Villegas et al.2011) dan dapat juga pada suhu tinggi dengan

metode destilasi. Titik didih safrol pada tekanan 1 atm adalah 234,5 oC (Sastrohamidjojo 2004)

sehingga perlu dilakukan penurunan tekanan agar titik didih safrol menjadi lebih rendah dan

juga jika safrol didestilasi pada suhu 234,5 oC dapat merusak struktur kimia safrol.

Penurunan tekanan dari 760 mmHg menjadi 1 mmHg menghasilkan safrol pada suhu

destilasi 90-123 oC dengan rendemen 17,21%. Proses isomerisasi safrol menjadi isosafrol

merupakan reaksi perpindahan ikatan rangkap dari rantai lurus mendekati cincin benzen dengan

bantuan katalis alkali. Proses pada kondisi alkali tanpa adanya pelarut direfluks pada suhu

120oC selama 6 jam menghasilkan cairan bening kekuningan dengan rendemen 77,56%.

Rendemen hasil yang diperoleh dengan metode proses tersebut menghasilkan produk yang lebih

baik dari penelitian yang dilakukan oleh Gimeno et al (2005) dengan kondisi proses isomerisasi

safrol menggunakan bantuan katalis transfer fase pada suhu 80oC selama 1,25 jam diperoleh

rendemen 75%.

Mekanisme tahapan isomerisasi yang terjadi dimulai dengan pengambilan atom Hα

pada gugus alil oleh katalis basa sehingga terbentuk karbanion yang terstabilkan oleh pengaruh

resonansi. Proses berikutnya adalah perpindahan ikatan rangkap yang dilanjutkan dengan

protonasi menghasilkan dua kemungkinan struktur yaitu cis-isosafrol dan trans-isosafrol.

Produk isomerisasi yang dihasilkan sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Gimeno et al

(2005), dimana produk isomer trans-isosafrol lebih dominan dari produk cis-isosafrol karena

kestabilan struktur kimia.

Page 29: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

26

17,21% minyak

77,56%

13,34% minyak

65,63%

8,75% minyak

70,28%

6,14% minyak

AKAS-K : 99,55% ; 6,11% minyak

AKAS-M : 82,82% ; 5,08% minyak

Proses isolasi

Proses isomerisasi

Proses oksidasi

Proses

kondensasi

Proses kondensasi

Proses kondensasi

O

O

O

O

O

C

O

O

O

O

O

HO

HO

O

O

C

O

O

O

O

HO

O

MINYAK

LAWANG

SafrolEugenol

Isosafrol

Piperonal

Produk intermediate

Produk sintetik analog kurkumin tidak simetris

Produk sintetik analog kurkumin simetris

Gambar 1. Transformasi produk sintetik analog kurkumin dari minyak lawang

Tahapan proses transformasi produk isosafrol menjadi piperonal merupakan reaksi

oksidasi ikatan rangkap yang terdapat pada gugus alil pada isosafrol. Hasil penelitian

menggunakan oksidator kalium permanganat dan zat pendispersi tween 80 dengan pelarut

diklorometan diperoleh rendemen hasil 65,63%. Penggunaan KMnO4 encer akan menghasilkan

diol dan kedua gugus OH pada senyawa diol. Reaksi ini diduga melewati pembentukan zat

antara glikol (1,2-diol) yang teroksidasi lebih lanjut (Gimeno et al.2005). Panambahan kalium

permanganat secara bertahap agar reaksi dapat terkendali karena reaksi bersifat eksotermis dan

suhu dipertahankan dibawah 30oC untuk mencegah terjadinya oksidasi lebih lanjut menjadi

karboksilat yang tidak diharapkan. Produk samping dalam proses oksidasi dapat saja terbentuk

karena pengaruh kondisi proses yang ada namun pada penelitian ini diperoleh produk dengan

kemurnian 100%. Diol yang terbentuk akan dioksidasi lebih lanjut menjadi piperonal (Allinger

et al.1976) dan endapan MnO2. Proses penyaringan endapan MnO2 dilakukan dengan

penyaringan menggunakan silica gel dan bantuan vakum.

AKS-K : 78,43% ; 6,86% minyak

AKS-M : 53,30% ; 4,66% minyak

Page 30: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

27

Produk sintetik analog kurkumin merupakan produk yang memiliki kemiripan struktur

dengan produk kurkumin hanya dibedakan oleh penghubung dua cincin benzen. Dua produk

yang disintesis pada penelitian ini adalah analog kurkumin simetris (AKS) dan analog kurkumin

tidak simetris (AKAS) dengan perbedaan pada posisi cincen benzen. Proses sintesis AKS dan

AKAS merupakan reaksi kondensasi antara dua senyawa aldehid yang berbeda yang disebut

reaksi kondensasi aldol. Prosedur sintesis menggunakan kondisi proses alkali dan metode yang

digunakan adalah metode konvensional dan gelombang mikro. Produk AKS merupakan reaksi

antara piperonal dengan aseton pada kondisi alkali. Hasil produk sintetik AKS menggunakan

metode konvensional pada suhu ruang (27oC) selama 3 jam diperoleh rendemen 78,43%.

Semakin besar molekul dan banyaknya atom Hα pada reaktan dapat mengakibatkan

terbentuknya produk samping. Kondisi sistem yang sangat bersifat basa dapat bereaksi dengan

atom Hα pada reaktan yang mengakibatkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki. Reaktan

yang digunakan untuk sintesis AKS adalah piperonal yang memiliki atom Hα pada gugus

epoksida sehingga dapat dimungkinkan terjadinya hal tersebut. Produk AKS dapat juga

disintesis menggunakan metode gelombang mikro dengan reaktan piperonal, aseton, katalis

NaOH dan pelarut metanol. Produk AKS hasil sintesis selama 2 menit dengan daya 140 watt

diperoleh rendemen 53,3%. Rendahnya rendemen produk yang dihasilkan disebabkan karena

pada proses sintesis AKS menggunakan pelarut metanol yang dapat terjadi penguapan jika

disinari radiasi gelombang mikro. Penggunaan pelarut metanol tersebut karena katalis NaOH

yang digunakan merupakan katalis homogen, sedangkan kalsium oksida merupakan katalis

heterogen. Panas dari gelombang mikro lebih cepat ditransfer bila dibandingkan dengan metode

pemanasan konvensional (Hugel 2009).

Produk sintetik AKAS merupakan produk yang memiliki kemiripan dengan AKS

namun posisi cincin benzen yang tidak simetris. Produk AKAS dapat disintesis dengan

menggunakan dua tahapan reaksi kondensasi, tahap pertama adalah sintesis produk intermediate

(3-benzo[1,3]dioxol-5-yl-propenal) dan tahap kedua sintesis AKAS. Tahap kedua sintesis

AKAS menggunakan dua metode proses yaitu metode konvensional dan gelombang mikro

dengan reaktan asetofenon, produk intermediate dan katalis alkali NaOH. Reaktan asetofenon

mempunyai atom Hα terhadap gugus karbonil, sehingga dalam kondisi basa akan terbentuk

karbanion. Karbanion ini relatif stabil karena dapat berkonjugasi menghasilkan ion enolat.

Mekanisme reaksi sintesis AKAS melibatkan dua tahap reaksi yaitu tahap adisi dan tahap

dehidrasi (Tran et al.2012). Tahap pertama adalah tahap reaksi adisi nukleofil, dimana

karbanion dari asetofenon akan menyerang gugus karbonil pada produk intermediate. Hasil

reaksi adisi nukleofil tersebut akan mengalami transfer proton dari molekul air menghasilkan β-

hidroksiketon. Reaksi tahap kedua adalah reaksi dehidrasi senyawa β-hidroksiketon, karena

senyawa β-hidroksiketon mempunyai atom Hα maka dalam kondisi basa atom Hα mudah untuk

lepas. Hal tersebut mempercepat reaksi dehidrasi senyawa β-hidroksiketon menghasilkan

produk yang stabil karena mempunyai ikatan rangkap yang terkonjugasi dalam cincin aromatik.

Tahapan proses sintesis AKAS menggunakan metode konvensional dengan reaktan

asetofenon, produk intermediate, katalis NaOH dan pelarut metanol pada suhu ruang selama 3

jam menghasilkan rendemen 99,55%. Tran et al (2012) melakukan reaksi yang sama

menggunakan beberapa reaktan turunan aldehid dan katalis KOH selama 6 jam menghasilkan

21 produk dengan rendemen 43-63%. Produk AKAS yang dihasilkan sangat baik bila

dibandingkan dengan penelitian tersebut, karena tahapan proses AKAS ditambahkan pelarut

metanol sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan antara reaktan semakin besar. Metode

proses sintesis AKAS menggunakan radiasi gelombang mikro pada daya 140 watt selama 2

menit dengan presentase reaktan yang sama dengan metode konvensional diperoleh produk

dengan rendemen 82,82%. Penggunaan radiasi gelombang mikro juga dilakukan oleh Azarifar

et al (2003) untuk reaksi kondensasi menghasilkan beberapa produk dengan besaran daya 300

watt selama beberapa menit dan diperoleh produk dengan rendemen 80-95%. Rendemen hasil

AKAS yang diperoleh dengan metode gelombang mikro memiliki hasil yang baik dan tidak

terlalu besar perbedaan dengan metode konvensional yakni 16,73%. Pengaruh pelarut metanol

pada metode gelombang mikro untuk produk AKAS tidak memberikan dampak yang signifikan

Page 31: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

28

seperti hasil pada produk AKS. Hal tersebut karena mekanisme reaksi kondensasi yang terjadi

untuk kedua produk AKS dan AKAS berbeda.

4. KESIMPULAN (CONCLUSION)

Produk sintetik analog kurkumin sebagai senyawa antikanker dapat disintesis dari

minyak lawang dengan tahapan proses isolasi safrol menggunakan ekstraksi basa (17,21%),

proses isomerisasi menggunakan katalis basa tanpa pelarut pada suhu 120oC (77,56%), oksidasi

menggunakan KMnO4 (65,63%), dan reaksi kondensasi. Produk sintetik analog kurkumin

simetris dapat dibuat dengan reaksi kondensasi antara piperonal dan aseton menggunakan

katalis alkali dengan metode konvensional (78,43%) dan gelombang mikro (53,3%). Produk

sintetik analog kurkumin tidak simetris dengan menggunakan reaksi kondensasi dua tahap

dengan metode konvensional (99,55%) dan gelombang mikro (82,82%).

DAFTAR PUSTAKA (REFERENCE)

[1] Allinger NL, Cava MP, De Jongh DC, Johnson CR, Leber A, Steven CL. 1976. Organic

Chemistry. 2nd ed. New York:Worth Pulisher.

[2] Anand P, Bokyung S, Ajaikumar, Kunnumakkara, Kallikat N. Rajasekharan, Bharat,

Aggarwal. 2011. Suppression of pro-inflammatory and proliferative pathways by

diferuloylmethane (curcumin) and its analogues dibenzoylmethane, dibenzoylpropane,

and dibenzylideneacetone: Role of Michael acceptors and Michael donors. Journal

Biochemical Pharmacology. 82:1901–1909.

[3] Anand P, Thomas SG, Kunnumakkara AB, Sundaram C, Harikumar KB, Sung B,

Tharakan ST, Misra K, Priyadarsini IK, Rajasekharan KN, Aggarwal BB. 2008.

Biological activities of curcumin and its analogues (congeners) made by man and Mother

Nature. Journal Biochemical Pharmacology. 76:1590–1611.

[4] Azarifar D, Ghasemnejad H. 2003. Microwave-assisted synthesis of some 3,5-arylated 2-

pyrazolines. Molecules. 8:642-648.

[5] Bezerra1 BD, Castro FO, Alves APNN, Pessoa C, Moraes MO, Silveira ER, Lima MAS,

Elmiro FJM, Costa-Lotufo LV. 2006. In vivo growth-inhibition of Sarcoma 180 by

piplartine and piperine, two alkaloid amides from piper. Brazilian Journal of Medical and

Biological Research. 39:801-807.

[6] Chen SY, Chen Y, Li YP, Chen SH, Tan JH, Ou TM, Gu LQ, Huang ZS. 2011. Design,

synthesis, and biological evaluation of curcumin analogues as multifunctional agents for

the treatment of Alzheimer’s disease. Bioorganic & Medicinal Chemistry. 19:5596–5604.

[7] Cox M, Klass G. 2006. Synthesis by-products from the Wacker oxidation of safrole in

methanol using r-benzoquinone and palladium chloride. Forensic Science International.

164:138–147.

[8] Elavarasan S, Bhakiaraj D, Elavarasan T, Gopalakrishnan M. 2013. An efficient green

procedure for synthesis of some fluorinated curcumin analogues catalyzed by calcium

oxide under microwave irradiation and its antibacterial evaluation. Journal of chemistry.

ID 640936.

[9] Fan M-J, Lin S-Y, Yu C-C, Tang N-Y, Ho H-C, Chung H-K, Yang J-S, Huang Y-P, Ip S-

W, Chung J-G. 2012. Safrole-modulated immune response is mediated through enhancing

the CD11b surface marker and stimulating the phagocytosis by macrophages in BALB/c

mice. Human and Experimental Toxicology. 31(9):898–904.

[10] Gimeno P, Besacier F, Bottex M, Dujourdy L, Thozet HC. 2005. A study of impurities in

intermediates and 3,4-methylenedioxymethamphetamine (MDMA) samples produced via

reductive amination routes. Forensic Science International. 155:141–157.

[11] Hahm ER, Gho YS, Park S, Park C, Kim KW, Yang CH. 2004. Synthetic curcumin

analogs inhibit activator protein-1 transcription and tumor-induced angiogenesis.

Biochemical and Biophysical Research Communications. 321:337–344.

Page 32: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

29

[12] Heather E, Shimmon R, McDonagh AM. 2015. Organic impurity profiling of 3,4-

methylenedioxymethamphetamine (MDMA) synthesised from catechol. Forensic Science

International. 248:140–147.

[13] Hügel HM. 2009. Molecules. Microwave Multicomponent Synthesis. 14:4936-4972.

[14] Jin X, Zhang ZH, Sun E, Tan XB, Li SL, Cheng XD, You M, Jia XB. 2013. Enhanced

oral absorption of 20(S)-protopanaxadiol by self-assembled liquid crystalline

nanoparticles containing piperine: in vitro and in vivo studies. International Journal of

Nanomedicine. 8:641–652.

[15] Kapelle IBD, Rosmawati. 2010. Sintesis khalkon 3-(3”,4”-metilendioksi)-2‟hidroksifenil

prop-2-enon dari minyak kulit lawang. Journal of Pharmaceutical Science “Media

Farmasi”. Universitas Ahmad Dahlan-Yogyakarta. 9:57-67.

[16] Ketaren S. 1985. Pengantar teknologi minyak atsiri. Jakarta : Balai Pustaka.

[17] Labbozzetta M, Baruchello R, Marchetti P, Gueli MC, Poma P, Notarbartolo M, Simoni

D, D’Alessandroa N. 2009. Lack of nucleophilic addition in the isoxazole and pyrazole

diketone modified analogs of curcumin; implications for their antitumor and

chemosensitizing activities. Chemico-Biological Interactions. 181:29–36.

[18] Mehta A, Kaur G, Chintamaneni M. 2012. Piperine and quercetin enhances antioxidant

and hepatoprotective effect of curcumin in paracetamol induced oxidative stress.

International Journal of pharmacology. 8(2): 101-107.

[19] Reddy CA, Somepalli V, Golakoti T, Kanugula AK, Karnewar S. 2014. Mitochondrial-

targeted curcuminoids: a strategy to enhance bioavailability and anticancer efficacy of

curcumin. PLoS ONE. 9(3): e89351.

[20] Sastrohamidjojo H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. UGM, Press Yogyakarta

[21] Schaffer M, Groger T, Putz M , Zimmermann R. 2013. Forensic profiling of sassafras oils

based on comprehensive two-dimensional gas chromatography. Forensic Science

International. 229:108–115.

[22] Stojanovska N, Fu S, Tahtouh M, Kelly T, Beavis A, Kirkbride KP. 2013. A review of

impurity profiling and synthetic route of manufacture of methylamphetamine, 3,4-

methylenedioxymethylamphetamine, amphetamine, dimethylamphetamine and p-

methoxyamphetamine. Forensic Science International. 224:8–26.

[23] Soliman G. 2005. Effect of curcumin, mixture of curcumin and piperine and curcum

(turmeric) on lipid profile of normal and hyperlipidemic rats. The Egyptian Journal of

Hospital Medicine Vol. 21: 145–161.

[24] Shang YJ, Jin XL, Shang XL, Tang JJ, Liu GY, Dai F, Qian YP, Fan GJ, Liu G, Zhou B.

2010. Antioxidant capacity of curcumin-directed analogues: Structure–activity

relationship and influence of microenvironment. Journal Food Chemistry. 119:1435–

1442.

[25] Tran DO, Nguyen TTH, Tuong-Ha, Huynh T, Tran CT, Thai KM. 2012. Synthesis and

antibacterial activity of some heterocyclic chalcone analogues alone and in combination

with antibiotics. Journal Molecules. 17:6684-6696.

[26] Villegas AM, Catalan LE, Venegas IM, Garcia JV, Altamirano HC. 2011. New catechol

derivatives of safrole and their antiproliferative activity towards breast cancer cells.

Molecules. 16:4632-4641.

[27] Yang CH, Yue J, Sims M, Pfeffer LM. 2013. The curcumin analog EF24 targets NF-kB

and miRNA-21, and has potent anticancer activity in vitro and in vivo. PLoS ONE. 8(8):

e71130.

[28] Yin S, Zheng X, Yao X, Wang Y, Liao D. 2013. Synthesis and anticancer activity of

mono-carbonyl analogues of curcumin. Journal of Cancer Therapy. 4:113-123.

Page 33: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5

30

Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012

Efek Pulsed Electric Field (Pef) Pada Rendemen Dan

Kualitas Minyak Bunga Melati (Jasminum sambac)

(Kajian Rasio Bahan dan Pelarut)

Sukardi1, Mahendra Narpatmaja Nizar2), Arie Febrianto Mulyadi1)

, Sucipto1*)

1)Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas

Brawijaya 2)Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Brawijaya

Malang

Jl. Veteran No. 1 Malang 65145

Penulis Korespondensi: [email protected];

Abstrak

Bunga melati putih (Jasminum sambac) memiliki banyak manfaat seperti untuk bunga

dekorasi, pewangi teh, dan dapat diolah menjadi minyak atsiri. Minyak atsiri melati dapat

diekstrak dengan metode enfleurasi dan maserasi. Pemakaian metode maserasi masih

menghasilkan rendemen rendah. Perlakuan pendahuluan diperlukan untuk memperbaiki

kelemahan tersebut. Pulsed Electric Field (PEF) merupakan perlakuan pendahuluan yang saat

ini sedang berkembang. Perlakuan PEF melibatkan aplikasi denyut pendek berulang medan

listrik melalui bunga melati yang diletakkan di antara dua elektrode. Medan listrik membentuk

pori-pori pada membran sel sehingga minyak atsiri keluar tanpa menggunakan suhu tinggi.

Tujuan penelitian adalah mengetahui kombinasi yang tepat antara frekuensi PEF dan rasio

pelarut dengan bahan dengan metode maserasi untuk meningkatkan rendemen dan kualitas

minyak atsiri. Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok 2 faktor, yaitu

frekuensi PEF (1000, 1500, dan 2000 Hz), dan rasio bahan dan pelarut (b/v) (1:2 dan 1:3),

diulang 3 kali. Data diolah menggunakan analisis ragam (ANOVA). Perlakuan terbaik dipilih

berdasarkan uji GC-MS, nilai indeks bias, dan rendemen terbaik. Hasil penelitian menunjukkan

perlakuan rasio bahan dan pelarut n-heksan 1:3 (b/v) dan frekuensi berpengaruh nyata terhadap

indeks bias dan rendemen concrete minyak melati. Perlakuan terbaik diperoleh pada rasio bahan

dan n-heksan 1:3 (b/v) dan frekuensi 1500 Hz; rendemen 0,36%, indeks bias 1,479, linalool

3,46%, benzyl acetate 2,1%, farnesene 5,01%, cis-3-hexenyl benzoate 2,14% dan methyl

palmitate 0,64%, total wax 54,07% dan komponen lain 32,25%

Kata kunci : Jasminum sambac, minyak melati, PEF

Abstract White Jasmine flower (Jasminum sambac) has a lot of benefits, for example, as

decoration flower, tea fragrance and can be processed into essential oil. Jasmine essential oil

can be extracted by enfleuration and maceration method. The maceration method still produced

low yields. Pre-treatment needs to improve these weaknesses. Pulsed Electric Field (PEF) is

recently developed pre-treatment. It uses repetitive short pulsed electric field through the

jasmine flower that placed between two electrodes. Electric field exposure on cell membrane

formed pores made the essential oil extracted easily without the used of high temperature. These

studies aimed to find the best combination between PEF frequency and ratio of material and

solvent to improve oil yield and quality. The Study used randomized block design with 2 factors,

consist of PEF frequency (1000,1500, and 2000Hz), and ratio of material and n-hexane as

solvent (w/v) (1:2 and 1:3), both repeated 3 times. The data were processed using Analysis of

Variance (ANOVA). The best treatment was chosen based on GC-MS test, refractive index and

Page 34: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

31

yield. Result showed the ratio of material and n-hexane solvent 1:3 (w/v) and frequency

significantly affected to the refractive index and oil yield of jasmine oil concrete. The best

treatment was obtained at a ratio material and n-hexane 1:3 (w/v) and frequency 1500Hz;

0,36%, 1,479 refractive index, 3,46% linalool, 2,1% benzyl acetate, 5,01% farnesene, 2,14%

cis-3-hexenyl benzoate and 0,64% methyl palmitate, wax total 54,07% and 32,25% other

component

Key Words : Jasmine oil, Jasminum sambac, PEF

1. PENDAHULUAN (INTRODUCTION)

Melati merupakan tanaman perdu dengan tinggi berkisar 2 m, batangnya kurus dan

panjang sehingga perlu penyangga. Aroma bunga melati sangat harum. Di Indonesia ada

beberapa jenis, yang umum ditemui adalah jenis melati putih (Jasminum sambac) dan melati

gambir (Jasminum officinale (Ratnasari et al., 2007). Kultivar melati yang umum dibudidayakan

adalah Jasminum sambac (Saraswati, 2005). Burneh-Bangkalan, Jawa Timur salah satu sentra

bibit melati (Simbolon, 2007). Menurut Rusli (2010) harga bunga melati di pasaran Indonesia

adalah 40 ribu rupiah per kilogram. Jika diolah menjadi minyak atsiri melati harganya menjadi

38 juta rupiah per kilogram.

Beberapa cara ekstraksi bunga melati meliputi ekstraksi pelarut menguap (solvent

extraction) dan ekstraksi lemak dingin (enfleurasi). Ekstraksi minyak atsiri secara komersial

umumnya dengan pelarut menguap (Rusli, 2010). Proses enfleurasi adalah pengambilan minyak

atsiri menggunakan lemak sebagai absoren. Prinsipnya, lemak sebagai absorben dikontakkan

bunga sehingga lemak menyerap perfum pada bunga (Handa et al., 2008). Maserasi sesuai

untuk bahan yang tidak tahan suhu tinggi dan minyak rusak jika mengalami pemanasan berlebih

(Said, 2007). Prinsip metode maserasi adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan pelarut

organik yang mudah menguap. Kelebihan metode ini prosedur dan peralatan relatif sederhana.

Pelarut yang dipakai produksi dapat dipakai lagi pada proses produksi selanjutnya. Selain itu

lama ekstraksi dengan metode maserasi singkat, perendaman bahan dilakukan 1 hingga 24 jam

(Rusli, 2010).

Ekstraksi minyak atsiri bunga melati menggunakan metode maserasi masih menghasilkan

rendemen rendah (Sani, 2012). Salah satu faktor yang berpengaruh adalah rasio pelarut pada

perendaman bunga. Ekstraksi bunga mawar menggunakan pelarut heksana dengan rasio bahan

baku terhadap pelarut 1:1, 1:2 dan 1:3 diperoleh rendemen tertinggi pada perlakuan 1:3. Hal ini

memperlihatkan bahwa teknik ekstraksi (rasio pelarut terhadap bahan baku) mempengaruhi

hasil (Amiarsi, 2006). Artinya perbandingan jumlah pelarut dengan bahan baku yang kurang

sesuai menyebabkan rendemen minyak tidak maksimal. Kandungan miyak atsiri di dalam sel

tidak dapat dilarutkan pelarut. Rendemen minyak atsiri tidak bisa dinaikkan dengan

meningkatkan suhu atau waktu proses. Suhu tinggi dan waktu proses terlampau lama justru

merusak minyak atsiri. Karena itu, ada alternatif penerapan Pulsed Electric Field (PEF) sebagai

perlakuan pendahuluan untuk meningkatkan rendemen dan kualitas minyak atsiri.

Menurut Siemer et al. (2012), PEF merupakan metode alternatif untuk meningkatkan laju

difusi produk keluar jaringan tanaman saat ekstraksi. Paparan medan listrik berkekuatan tinggi

pada jaringan mengakibatkan pecahnya membran sel jaringan tersebut. Maskooki et al. (2011)

menyatakan, tujuan utama proses ini adalah mendapatkan rendemen lebih tinggi serta

penggunaan energi dan waktu lebih rendah dibanding metode pemanasan biasa. Menurut Bahzal

et al. (2001), penerapan PEF memberi kemungkinan lebih baik dalam pengaturan input energi

listrik yang menyebabkan elektroporasi pada sel tanpa menaikkan suhu secara signifikan. Heinz

(2006) menyatakan bahwa salah satu parameter utama proses PEF adalah frekuensi. Frekuensi

berpengaruh pada penentuan waktu proses.

Penelitian Dobreva et al. (2012) menunjukkan penerapan PEF pada bunga mawar

meningkatkan rendemen 2 hingga 46%. Kajian tersebut menjadi dasar penelitian untuk

Page 35: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

32

menentukan teknik yang tepat ekstraksi bunga melati. Karena itu akan dianalisa pengaruh

frekuensi perlakuan PEF dan rasio pelarut terhadap bahan baku pada metode maserasi terhadap

kualitas minyak atsiri bunga melati.

2. METODE PENELITIAN (MATERIALS AND METHODS)

Alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah wadah plastik pipet tetes, generator PEF, rotary vacuum

evaporator, refrigerator, beaker glass 500 ml, gelas ukur, labu erlenmeyer 1000 ml, alumunium

foil, corong, kain saring kasar, plastik dan karet. Timbangan digital (Denver instrumen M-310).

Alat uji indeks bias adalah refraktometer, tissue dan pipet tetes. Alat GC-MS untuk uji

komponen minyak atsiri. Bahan utama bunga melati putih (Jasminum sambac) dari petani di

Batu, n-heksan teknis 95% sebagai solvent dan alkohol sebagai bahan uji indeks bias.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dua faktor yaitu rasio

bahan dan pelarut (A) dan frekuensi (B). Faktor rasio bahan dan pelarut (A) terdiri 1:2 (b/v) dan

1:3 (b/v). Faktor frekuensi (B) terdiri dari 1000Hz, 1500Hz dan 2000Hz.

Pelaksanaan Penelitian

Tahap penelitian sebagai berikut:

1. Bunga melati dipisahkan dengan pengotornya

2. Ditimbang sebanyak 300 g

3. Dimasukkan chamber PEF diberi perlakuan pendahuluan tegangan 1000 volt, waktu 10 detik

dan jarak antara anoda dan katoda 10 cm dengan perlakuan pada frekuensi PEF 1000 Hz,

1500 Hz dan 2000 Hz

4. Leaching bunga melati dengan solvent, kondisi tertutup selama 4 jam, perbandingan bahan

dan pelarut (1:2 b/v) dan (1:3 b/v)

5. Difiltrasi melalui kain saring, hasilnya berupa campuran minyak melati dan n-heksan

6. Filtrat dievaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu C, 15 – 20

menit/300ml larutan, diperoleh concrete

7. Concrete dianalisa rendemen, indeks bias dan komponen kimia dengan GC-MS

8. Hasilnya dimasukkan botol kaca disimpan dalam refrigerator.

Pengujian Prosedur uji indeks bias (Hidayanto dkk., 2008).

1. Refraktometer digital disterilkan memakai alkohol 70%.

2. Sampel minyak atsiri diteteskan ke dalam lubang uji.

3. Indeks bias minyak atsiri tertera di refraktometer.

Uji rendemen (Rahayoe dkk., 2007).

1. Bahan baku sebanyak 300 gram dimaserasi kemudian dievaporasi.

2. Rendemen dihitung dengan persamaan :

Analisis Data

Pengolahan data menggunakan analisis ragam atau ANOVA. Jika terdapat interaksi

diuji menggunakan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan kepercayaan 95%.

Pemilihan Perlakuan Terbaik

Indeks bias dapat dipakai menentukan kualitas minyak (Sutiah, 2008). Indeks bias merupakan

ciri penting sebuah medium. Pengukuran indeks bias dipakai secara luas dalam menentukan

konsentrasi larutan (Subedi et al., 2006). Indeks bias berhubungan dengan struktur dan

Page 36: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

33

komposisi senyawa organik suatu bahan (Anam, 2010). Tiga perlakuan terbaik ditentukan oleh

indeks bias dengan syarat dalam rentang standar 1,4724 – 1,4859 (Balitbang) dan memiliki

rendemen tertinggi. Diagram pemilihan data pada Gambar 1.

Data

3 Perlakuan Terbaik

Analisis Kimia GC-MS

Perlakuan Terbaik

Indeks Bias (1,4724 -1,4859)

3 Rendemen Terbaik

Tidak Dipertimbangkan

Tidak Dipertimbangkan

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak Dipertimbangkan% Komponen Utama Tertinggi

Ya

Tidak

Gambar 1. Diagram alir pemilihan perlakuan terbaik

Tiga perlakuan terbaik diuji komponen penyusunnya dengan GC-MS. Hasilnya

dibandingkan antar perlakuan untuk menentukan satu perlakuan terbaik berdasar persen area

tertinggi komponen penciri concrete minyak melati. Perlakuan terbaik yang diperoleh

dibandingkan kontrol (non-PEF) dengan parameter indeks bias, komponen penciri minyak atsiri

melati, dan rendemen.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN (RESULT)

Indeks Bias

Mutu minyak melati dapat diketahui dari indeks biasnya. Indeks bias dipengaruhi

kekentalan dan kerapatan minyak. Jika kerapatan minyak semakin tinggi maka indeks biasnya

semakin besar (Suyanti, 2005). Indeks bias minyak digunakan sebagai parameter mutu karena

mempunyai nilai tetap pada sampel minyak murni pada kondisi suhu dan tekanan tetap

(Prabawati, 2000). Perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil penelitian menunjukkan rerata indeks bias concrete minyak melati bernilai 1,380

hingga 1,479. Indeks bias paling rendah dihasilkan dari rasio bahan dan pelarut 1:2 b/v dan

frekuensi 2000Hz. Indeks bias tertinggi dihasilkan rasio bahan dan pelarut 1:3 (b/v) dan

frekuensi 1500Hz. Nilai indeks bias rasio 1:2 dengan frekuensi 1000Hz dan 2000Hz di bawah

standar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen (2009), yaitu antara 1,472

sampai 1,485.

Page 37: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

34

Tabel 1. Nilai Rerata Indeks Bias Concrete Minyak Melati Berdasarkan Rasio Bahan Banding

Pelarut dan Frekuensi

Perlakuan

Indeks

Bias Notasi

Bahan :

Pelarut

(b/v)

Frekuensi

(Hz)

1 : 2 1000 1,380 a

1 : 2 1500 1,455 b

1 : 2 2000 1,369 a

1 : 3 1000 1,476 b

1 : 3 1500 1,479 b

1 : 3 2000 1,473 b

Keterangan: Notasi berbeda menunjukkan perlakuan beda nyata (α = 5%)

Rerata indeks bias menunjukan kombinasi faktor perbandingan pelarut dengan frekuensi

berbeda nyata terhadap indeks bias concrete minyak melati. Rasio 1:2 (b/v) berbeda nyata

dengan rasio 1:3 (b/v) di setiap frekuensi kecuali fekuensi 1500Hz. Rasio 1:2 tidak menunjukan

beda nyata antara frekuensi 1000 dan 2000Hz.

Gambar 2. Rerata Indeks Bias Concrete Minyak Melati

Gambar 2 menunjukkan nilai indeks bias tertinggi rasio bahan dan pelarut 1:3 (b/v)

pada frekuensi 1500Hz. Perlakuan rasio bahan dan pelarut 1:2 (b/v) dan 1:3 (b/v) mengalami

puncak kenaikan tertinggi di frekuensi 1500Hz kemudian turun pada frekuensi 2000Hz. Diduga

indeks bias optimal diperoleh pada frekuensi 1500Hz. Penurunan indeks bias pada frekuensi

2000Hz diduga akibat komponen lain selain penciri minyak melati. Frekuensi 2000Hz yang

dipaparkan pada bunga melati tidak hanya menghancurkan sel dimana minyak berada, tetapi

juga jaringan lain pada bunga melati. Ketika proses leaching bunga melati, komponen tersebut

larut bersama concrete minyak melati. Menurut Pataro et al. (2011), peningkatan frekuensi

berpengaruh pada ukuran elektroporasi membran sel. Semakin tinggi frekuensi akan semakin

besar terbentuknya pori serta semakin ireversibel sel tersebut. Semakin besarnya pori pada sel,

pelarut lebih mudah menjangkau bagian terdalam jaringan bahan.

Rendemen

Analisis ragam rendemen pada Tabel 2.

Page 38: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

35

Tabel 2. Nilai Rerata Rendemen Concrete Minyak Melati Berdasarkan Rasio Bahan Banding

Pelarut dan Frekuensi

Perlakuan

Rendemen

% Notasi

Pelarut :

Bahan

Frekuensi

(Hz)

1 : 2 1000 0,32 a

1 : 2 1500 0,31 a

1 : 2 2000 0,33 a

1 : 3 1000 0,38 a

1 : 3 1500 0,36 a

1 : 3 2000 0,43 b

Keterangan: Notasi berbeda menunjukkan perlakuan beda nyata (α = 5%)

Rerata rendemen concrete minyak melati berada pada kisaran 0,31% hingga 0,43%.

Rerata rendemen concrete minyak melati tertinggi dihasilkan oleh rasio bahan berbanding

pelarut 1:3 (b/v) dengan frekuensi 2000Hz. Rerata rendemen concrete minyak melati yang

terendah dihasilkan oleh rasio bahan berbanding pelarut 1:2 (b/v) dengan frekuensi 1500Hz.

Nilai rerata rendemen concrete minyak melati berbeda nyata pada rasio bahan berbanding

pelarut antara 1:2 (b/v) dengan (1:3). Rendemen perlakuan frekuensi 1000Hz meningkat 0,06%

dari 0,32% menjadi 0,38%. Frekuensi 1500Hz meningkat dari 0,31% menjadi 0,36% dengan

selisih 0,04%. Perlakuan dengan frekuensi 2000Hz meningkat sebanyak 0,1% dari 0,33%

menjadi 0,43%.

Gambar 3 menunjukkan rerata rendemen concrete minyak melati meningkat dengan

bertambahnya volume pelarut. Bidang kontak antara bahan dengan pelarut yang lebih luas

menyebabkan concrete minyak melati larut secara optimal. Menurut Srijanto et al. (2004),

semakin banyak penggunaan pelarut akan semakin besar jumlah yang dapat dipindahkan antara

konsentrasi senyawa bahan pada konsentrasi senyawa pelarut.

Gambar 3. Rerata Rendemen Concrete Minyak Melati

Rerata rendemen perlakuan rasio 1:2 (b/v) tidak signifikan menurun pada frekuensi

1500Hz dan naik pada frekuensi 2000Hz. Penurunan tersebut diduga akibat komponen wax dan

komponen lain yang larut lebih rendah, sedang komponen utama yang larut lebih tinggi. Rerata

rendemen hanya secara nyata naik pada perlakuan rasio 1:3 (b/v) dengan frekuensi 2000Hz.

Meningkatnya rerata rendemen diduga karena komponen utama yang dapat larut lebih rendah

sedangkan komponen wax dan komponen lain yang terlarut lebih tinggi. Besar frekuensi

perlakuan PEF berpengaruh pada jumlah rendemen. Semakin besar frekuensi medan listrik yang

dipaparkan berdampak pada besarnya kerusakan sel. Semakin besar kerusakan sel menyebabkan

lebih banyak komponen yang dapat larut. Menurut Pataro et al. (2011), meningkatkan frekuensi

menyebabkan membran sel menjadi semakin kurang tahan terhadap aliran arus dalam cairan

intraseluler. Dalam rentang frekuensi tinggi membran sel tidak menunjukkan resistensi terhadap

aliran arus sehingga praktis tidak ada perbedaan antara impedansi sel utuh dengan sel yang

Page 39: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

36

membrannya pecah. Dengan demikian tingkat permeabilisasi membran meningkat hingga sel-

sel menjadi benar-benar pecah.

Gambar 4. Struktur Jaringan Bunga Melati Tanpa Perlakuan PEF

Gambar 5. Struktur Jaringan Bunga Melati dengan Perlakuan PEF

Gambar 4 dan Gambar 5 memperlihatkan perbedaan struktur jaringan tanpa perlakuan

PEF dan jaringan dengan perlakuan PEF. Minyak yang sebelumnya dalam sel menjadi di luar

dinding sel. Penerapan PEF mampu membentuk lubang pori pada dinding sel sehingga minyak

di dalam sel keluar. Menurut Pataro et al. (2011), pada sel yang diberi perlakuan PEF terdeteksi

ada kebocoran cairan intraseluler, sementara pada sampel kontrol tidak terdeteksi kebocoran.

Kebocoran tersebut diduga akibat kerusakan sel dalam jaringan oleh penerapan PEF. Menurut

Knorr et al. (2004), PEF terkait permeabilitas membran. Kerusakan membran mempercepat

ekstraksi karena meningkatkan kemampuan transfer masa membran. Membran sel yang rusak

mempercepat senyawa aktif keluar dari dalam sel ke pelarut saat proses ekstraksi.

Hasil Uji Komponen Penciri Minyak Minyak Melati dengan Gas Chromatoghaphy - Mass

Spectrometry (GC-MS)

Hasil uji komponen penciri minyak melati pada 3 perlakuan dengan indeks bias tertinggi

dan memiliki rendemen tertinggi. Dari parameter indeks bias dan rerata rendemen didapatkan 3

perlakuan rasio bahan dan pelarut 1:3 (b/v) dengan frekuensi 1000Hz, 1500Hz, serta 2000Hz.

Detail hasil uji komponen penciri, komponen wax serta komponen lain concrete minyak melati

pada Tabel 3. Menurut Edris et al. (2008), komponen peniciri minyak melati antara lain benzyl

acetate, farnesene, cis-hexenyl benzoate, dan linalool.

Hasil uji komponen menunjukkan ketiga perlakuan sesuai referensi. Tabel 3

menunjukkan perlakuan yang memiliki area penciri concrete minyak melati adalah rasio bahan

dan pelarut 1:3 (b/v) dengan frekuensi 1500Hz. Secara keseluruhan setiap komponen perlakuan

1500Hz memiliki persentase area paling tinggi dari perlakuan lain.

Minyak

Sel

Minyak

Sel

Page 40: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

37

Tabel 3. Komponen Penciri Minyak Melati Hasil Uji GC-MS, Faktor Rasio (1:3 b/v) dan

Frekuensi (1000Hz, 1500Hz, 2000Hz)

Komponen

Rasio Bahan dan Pelarut

1:3 b/v

1000Hz 1500Hz 2000Hz

a. Penciri

minyak

melati (%)

11,572 13,381 8,442

Linalool 3,117 3,466 1,667

Benzyl

acetate 1,572 2,109 1,568

Farnesene 4,833 5,018 4,443

Cis-3-

hexenyl

benzoate

1,437 2,144 0,764

Methyl

palmitate 0,613 0,644 -

b. Total Wax

(%) 58,012 53,737 46,385

c. Komponen

Lain (%) 30,416 31,969 45,173

Hasil uji komponen concrete minyak melati menghasilkan wax yang terdiri dari

komponen hydrocarbon rantai panjang berupa decane, undecane, dodecane, tetradecane, dan

seterusnya. Tabel 3 menunjukkan concrete melati mengandung wax antara 46,385% sampai

58,012%. Wax menurun pada frekuensi 1000Hz hingga 2000Hz. Kandungan wax tersebut

diduga akibat frekuensi yang belum sesuai. Frekuensi yang tidak tepat menyebabkan kandungan

wax pada permukaan bunga terdampak dulu sebelum mengenai sel metabolit. Menurut

Prabawati et al. (2000), dalam minyak melati mengandung komponen hydrocarbon sebesar

21,97%.

Hasil uji komponen lain terdiri dari phenylethan, benzyl acetonitrile, methyl ester, methyl

linolenat dan cis-3-hexenyl acetate. Tabel 3 menunjukkan area komponen lain pada frekuensi

1000Hz meningkat 2,454%. Area komponen lain pada frekuensi 1500Hz meningkat 12,916%.

Peningkatan komponen lain diduga akibat frekuensi PEF. Medan listrik berfrekuensi tinggi yang

diberikan pada bunga melati tidak hanya berdampak pada sel metabolit berada tetapi juga pada

jaringan lain. Menurut Siemer et al. (2012), PEF menyebabkan elektroporasi yang berdampak

pada disintegrasi materi sel dan meningkatkan transfer massa. Jumlah kandungan bahan masuk

pelarut bergantung pada jumlah materi sel yang rusak.

Perlakuan Terbaik

Perbandingan antara kontrol dengan perlakuan terbaik pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Concrete Minyak Melati Perlakuan Kontrol dan Perlakuan Terbaik (Rasio 1:3

(b/v), Frekuensi 1500Hz)

Parameter Perlakuan

Kontrol

Perlakuan

Terbaik

Rendemen (%) 0,29 0,36

Indeks Bias 1,36 1,48

Komposisi kimia

Page 41: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

38

a. Penciri

minyak melati

(%)

8,295 13,381

Linalool 3,301 3,466

Benzyl acetate 1,264 2,109

Farnesene 3,076 5,018

Cis-3-hexenyl

benzoate - 2,144

Methyl

palmitate 0,654 0,644

b. Total Wax (%) 78,452 54,65

c. Komponen

lain (%) 13,253 31,969

Hasil penelitian menunjukkan kontrol memiliki nilai indeks bias sebesar 1,36. Nilai

indeks bias tersebut di bawah standar indeks bias referensi (1,472 – 1,485). Kandungan

komponen wax yang tinggi menyebabkan nilai indeks bias perlakuan kontrol rendah. Perlakuan

terbaik memiliki nilai indeks bias lebih tinggi dari kontrol yaitu 1,48. Diduga, perlakuan PEF

mampu meningkatkan kandungan komponen penciri minyak melati sehingga meningkatkan

nilai indeks biasnya. Menurut Dobreva et al. (2010), proses PEF dapat digunakan memproduksi

minyak mawar. Penerapan PEF pada bunga mawar yang baru mekar memberikan peningkatan

rasio senyawa penting pada minyak tersebut.

Secara detail komponen linalool perlakuan kontrol sebesar 3,301%. Pada perlakuan

terbaik diperoleh linalool 3,466%. Terdapat selisih sebesar 0,165% antara perlakuan kontrol

dengan perlakuan terbaik. Komponen benzyl acetate perlakuan kontrol sebesar 1,264%

sedangkan pada perlakuan terbaik 2,109%. Komponen benzyl acetate dari perlakuan terbaik

meningkat sebesar 0,845%. Pada komponen farnesene, diperoleh area sebesar 3,076 pada

perlakuan kontrol. Pada perlakuan terbaik komponen farnesene sebesar 5,018%. Komponen

farnesene yang dihasilkan perlakuan terbaik memiliki selisih 1,942% lebih banyak dibanding

kontrol. Pada komponen cis-3-hexenyl benzoate tidak didapatkan pada perlakuan kontrol.

Komponen methyl palmitate perlakuan kontrol menghasilkan persen area sebesar 0,654%.

Perlakuan terbaik menghasilkan methyl palmitate 0,644%. Komponen methyl palmitate

perlakuan kontrol lebih banyak 0,01% dibanding perlakuan terbaik. Menurut (Nisak, 2013)

pemberian perlakuan pendahuluan berupa PEF pada bunga melati dapat meningkatkan

komponen utama pada minyak melati. Perlakuan PEF dapat meningkatkan komponen benzyl

acetate hingga 2,35% dan linalool sebesar 0,35%.

Rerata rendemen perlakuan terbaik meningkat 0,07%. Peningkatan tersebut seiring

dengan peningkatan komponen penciri minyak melati. Selain itu, komponen lain pada perlakuan

terbaik juga lebih tinggi dari kontrol. Menurut Kulshresta et al. (2003), paparan medan listrik

pada frekuensi 10Hz, 50Hz, 250Hz dan 5000Hz dengan kuat medan 23,9 V/cm, serta lama

pemrosesan 3 menit digunakan pada buah bit. Hasilnya memberikan peningkatan rata-rata

rendemen 0,17%. Menurut Nisak (2013), ekstraksi minyak melati dengan rasio bahan dan

pelarut 1:2,5 (b/v) dan frekuensi 22 kHz meningkatkan rendemen hingga 0,97%.

Metode enfleurasi menghasilkan minyak melati berbentuk absolute. Ekstraksi minyak

melati secara enfleurasi menggunakan bahan baku 150 gram, absorben lemak sapi, dan pelarut

alkohol 95% selama 2 hari menghasilkan rendemen 0,2% dan indeks bias 1,46 – 1,48 (Muchtar,

et al. 2013). Jika dibandingkan absolute minyak melati dengan metode enfleurasi referensi dan

metode maserasi dengan komponen penciri minyak melati sebagai absolute dari total concrete

minyak melati maka rendemen metode enfleurasi lebih tinggi. Komponen penciri minyak melati

metode maserasi adalah 14% dari 0,36% total rendemen sehingga absolute 0,05%. Komponen

wax dan komponen lain yang larut dalam proses leaching menyebabkan absolute minyak melati

hasil maserasi sedikit. Proses enfleurasi 2 hari membiarkan metabolisme bunga melati terjadi

Page 42: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

39

sehingga perfum yang di-absorbsi lemak lebih banyak. Berbeda dengan proses enfleurasi,

proses leaching menyebabkan metabolisme bahan berhenti. Solvent yang masuk ke dalam

jaringan sel menghentikan proses respirasi bunga sehingga proses metabolisme dalam

memproduksi komponen penciri minyak melati tidak berlanjut. Menurut Handa et al. (2008),

faktor pasca panen penting bagi bahan baku yang masih terjadi proses metabolisme, seperti

respirasi, proses enzimatik setelah pengumpulan bahan hingga tidak aktifnya enzim akibat

pengeringan atau perlakuan lain. Selain itu, bahan baku mengalami oksidasi oleh udara dan

cahaya disamping kehilangan sebagian komponen secara fisik.

Neraca Massa Produksi Concrete Minyak Melati dengan Perlakuan PEF

Neraca massa proses produksi concrete minyak melati dengan perlakuan PEF merupakan

neraca massa hasil perlakuan terbaik rasio bahan dan pelarut 1:3 dengan frekuensi PEF 1500Hz.

Basis bahan baku digunakan 300g sebagai input dan solvent 585g. Rendemennya 1,1g. Tabel

neraca massa input dan output pada Tabel 5.

Sortasi bertujuan memisahkan bunga melati yang sesuai untuk produksi dari bunga

yang tidak sesuai dan pengotornya. Bunga yang dipilih memiliki tingkat kemekaran 40-75%.

Input bahan baku sebesar 330 g. Bunga melati yang sesuai spesifikasi 300g, sedang pengotornya

30g. Setelah disortasi bunga timbang dan diberi perlakuan PEF. Perlakuan PEF menyebabkan

permeabilisasi membran sel meningkat tanpa memberikan dampak pada massa bahan. Siemer et

al. (2012) menyatakan, penerapan PEF mengakibatkan membran sel menghasilkan

permeabilisasi pada membran biologis sehingga transfer massa saat ekstraksi senyawa

meningkat.

Bahan yang telah diberi perlakuan PEF masuk tahap leaching. Proses leaching

bertujuan melarutkan minyak atsiri bunga melati pada solvent n-heksan 95%. Inputnya adalah n-

heksan 95% 585 g dan bunga melati 300g. Bahan keluar adalah campuran bunga melati dan n-

heksan 95% 885 g. Campuran tersebut dipisah antara filtrat dengan ampas. Filtrat proses

leaching 534,3 g berupa larutan minyak melati dan n-heksan, sedang sisanya 350,7 g ampas

bunga melati tercampur sisa n-heksan yang tidak terpisahkan. Diperkirakan n-heksan yang tidak

dapat dipisahkan sekitar 50 g atau 8,7% dari bahan n-heksan. Menurut Amiarsi et al. (2006)

larutan dipisahkan dengan cara penyaringan dan pemerasan, sehingga diperoleh ampas dan

ekstrak dari bunga.

Tabel 5. Neraca Massa Input dan Output

Proses

Neraca Massa

Input

(g)

Output

(g)

Sortasi

Bunga melati 330

Bunga melati setengah

mekar 300

Bunga layu, mekar, ranting,

daun, kotoran 30

Penimbangan

Bunga melati setengah

mekar 300

Bunga melati setengah

mekar 300

Pre-treatment PEF

Bunga melati setengah

mekar 300

Bunga melati setengah

mekar 300

Leaching

Page 43: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

40

Bunga melati setengah

mekar 300

Solvent n-heksana 95% 585

Larutan bunga melati + n-

heksan 95% 885

Filtrasi

Bunga melati + n-heksan

95% 885

Ampas bunga melati

350,7

Larutan minyak melati + n-

heksa 95% 534,3

Evporasi

Larutan minyak melati + n-

heksan 95% 534,3

Solvent n-heksan 95%

443,3

Uap n-heksan 95%

89,9

Minyak concrete melati

1,1

Total 3234,3 3234,3

Evaporasi solvent memisahkan n-heksan dengan concrete minyak melati dengan prinsip

tekanan dan penguapan pada labu alas sampel. Inputnya adalah filtrat sebanyak 534,3 g. Output

proses evaporasi adalah n-heksan sebanyak 444 g atau sebesar 75% dari bahan n-heksan dan

uap n-heksan 89,9 g atau 15% bahan n-heksan. Hasil evaporasi berupa produk concrete minyak

melati sebanyak 1,1 g atau 0,36% dari bahan baku bunga melati 300g. Menurut Suyanti et al.

(2005), recovery merupakan jumlah pelarut yang diperoleh kembali pada proses penguapan

perlarut. Pada ekstraksi bunga melati dengan rasio bahan dan pelarut 1:2 recovery pelarut

berkisar antara 66,24 - 81,05%. Recovery pelarut yang rendah disebabkan sebagian besar

pelarut terikut dalam ampas bunga karena proses manual. Kehilangan pelarut yang besar

mempengaruhi biaya produksi.

Gambar 2 Grafik Selektivitas dan Konversi pada T = 50 oC

Page 44: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

41

Tabel 1 Nutrisi dalam jeruk nipis

4. KESIMPULAN (CONCLUSION)

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa pengaruh penerapan PEF pada bahan baku

terhadap ekstraksi concrete minyak bunga melati menghasilkan perlakuan terbaik pada rasio

bahan dan pelarut n-heksan 1:3 (b/v) dengan frekuensi PEF 1500Hz. Nilai indeks bias perlakuan

terbaik 1,48. Rendemen 0,36% dengan komponen penciri concrete minyak melati adalah

linalool 3,46%, benzyl acetate 2,1%, farnesene 5,01%, cis-3-hexenyl benzoate 2,14% dan

methyl palmitate 0,64%, total wax 54,07% dan komponen lain 32,25%.

UCAPAN TERIMA KASIH (AKNOWLEDGMENT)

Terima kasih disampaikan pada Penelitian BOPTN Universitas Brawijaya tahun 2013.

Data penelitian ini merupakan bagian penelitian “Elektroporasi Membran Sel untuk

Meningkatkan Efisiensi Ekstraksi Minyak Atsiri”.

DAFTAR PUSTAKA (REFERENCE)

[1] Amiarsi, D. Yulianingsih, dan Sabari. 2006. Pengaruh Jenis dan Perbandingan Pelarut

Terhadap Hasil Ekstraksi Minyak Atsiri Mawar, J. Hort. Balai Penelitian Tanaman

Hias. Jakarta. 16(4):356-359.

[2] Anam, C. 2010. Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber officinale) Kajian Dari Ukuran

Bahan, Pelarut,Waktu Dan Suhu. Jurnal Pertanian MAPETA, ISSN : 1411-2817.

Universitas Islam Darul Ulum. Lamongan. 7(2): 72 – 144.

[3] Bahzal, M.I., Lebovka, N.I. dan Vorobiev, E. 2001. Pulse Electric Field Treatment on

Apple Tissue During Compression for Juice Extraction, Journal Of Food Engineering.

Elsevier. Perancis. 50: 129 – 139.

[4] Dobreva. A., Tinchev. F., Schulz, H., dan Toepfl, S. 2012. Effect of Pulsed Electric

Field on Yield and Chemical Composition of Rose Oil (Rosa damascena Mill.), Journal

of Essetial Oil Bearing Plants 15 (6) 2012 pp 876 – 884. Har Krishan Bhala & Sons.

German. 15(6): 876 – 884.

[5] Dobreva, A., F. Tintchev, V. Heinz, H. Schulz and S. Toepfl (2010). Effect of pulsed

electric fields (PEF) on oil yield and quality during destillation of white oil-bearing

rose (Rosa alba L.). Z Arznei- Gewurzpfla. Har Krishan Bhala & Sons. German. 15(3):

127-131

[6] Edris, A., Chizola, R. dan Franz C. 2008. Isolation and Characterization of The Volatile

Aroma Compounds from Concreate Headspace and The Absolute ofJasminum

Page 45: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

42

sambac (L.) Ait. (Olaceae) Flowers Grown In Egypt, Journal Food Research Technical

2008. University of Veterinary Medicine. Austria. 226:621-626.

[7] Handa, S.S., Khanuja, S.P.S., Longo, G., dan Rakesh, D.D. 2008. Extraction

Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. UNIDO and ICSHT. Italy.

[8] Heinz, V. dan Raso, J. 2006. Pulsed Electric Fields Technology For The Food Industry,

Fundamentals and Applications. Springer. United States of America.

[9] Hidayanto, E. 2008. Portable Elemental Analysis for Environmental Samples Thesis.

Japan: Kyoto University.

[10] Nisak, H. 2013. Ekstraksi Melati Putih Menggunakan Tekhnoplogi Kejut Listrik

Terhadap Mutu Miyak Atsiri Concrete. Universitas Brawijaya. Malang.

[11] Knorr, D., Toepfl, S., dan Heinz, v., .2004. Optimizationof pulsed electric field

treatment for liquid food pasteurization,In: Proceedings of 2nd European Pulsed

Power Symposium. Hamburg. Germany. 68-72.

[12] Kulshresta, S. dan Sastry, S. 2003. Frequency and Volatge Effects on Enhanced

diffusion During Moderate Electric Field (MEF) Treatment. Innovative Food Science

and Emmerging Technology. Ohio State University. USA. 4:189-194.

[13] Maskooki, A.M, dan Estiaghi, M.N. 2011. Effects of Various Pulsed Electric Field

Conditions on Cell Disintegration and Mass Transfer of Sugar Beet. Journal Of Foof

Engineering. Chemical Engineering Departement of Mahdoi. University Thailand. 1: 67-

76.

[14] Muchtar, M.K, Hanani, F.D, dan Ikhsan, D. 2013. Pengaruh Waktu dan Jenis

Absorben Pada Proses Enfleurasi Bunga Melati (Jasminum Sambac). Journal

Teknologi Kimia dan Industri.. Universitas Dipenogoro. Semarang. 2(4): 93-97.

[15] Pataro, G., Ferrari, G. dan Donsi F. (2011). Mass Transfer Enhancement by Means of

Electroporation, Mass Transfer in Chemical Engineering Processes, Dr. Jozef

Markoš (Ed.). Intechopen Europe. Kroasia

[16] Prabawati, S. Astuty, E.D. dan Dondy, ASB. 2000. Pengaruh Tingkat kemekaran

Bunga dan Spesies Melati terhadap Hasil Ekstraksi Minyak. J. Hort. Balai Penelitian

Tanaman Hias. Jakarta. 10(4): 214-219

[17] Rahayoe, S., Suhargo, Y. Tetuko, dan T. Mega. 2007. Kajian kinetika Pengaruh Kadar

Air dan Perajangan Terhadap Laju Destilasi Minyak Atsiri. Prosiding Seminar

Nasional Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta. 393-406.

[18] Ratnasari, J. Dan Krisanti. 2007. Galeri Tanaman Hias Bunga. Penebar Swadaya.

Jakarta.

[19] Rusli, M.S. 2010. Sukses Memproduksi Minyak Atsiri. Agromedia Pustaka. Jakarta.

[20] Said, Ahmad. 2007. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Sinar Wadja Lestari. Jakarta.

[21] Sani, N.S., Racchmawati, R., dan Mahfud. 2012. Pengambbilan Minyak atsiri dari

Melati dengan Metode Enfleurasi dan Ekstraksi Pelarut Menguap. Jurnal POM

ITS. ITS. Surabaya. 1(1): 1-4.

[22] Saraswati, D.P., Triwiratno, A., Baswarsiati, Istqomah, N., dan Purbiati, T. 2005.

Pengkajian Sistem Usaha Tani Tanaman Melati. Prosiding Seminar hasil Penelitian

BPTP. Jawa Timur. 536-544

[23] Siemer, C., Toepl, S. dan Heinz, V. 2012. Mass Transport Improvement by PEF -

Applications in the Area of Extraction and Distillation, Distillation - Advances from

Modeling to Applications, Dr. Sina Zereshki. Intech Europe. Kroasia.

[24] Srijanto, B., Rosidah, I., Rismana, E., Syabirin, G., Aan dan Mahreni. 2004. Pengaruh

Waktu, Suhu Dan Perbandingan Bahan Baku-Pelarut Pada Ekstraksi Kurkumin

Dari Temulawak (Curcuma xanthorriza roxb.) Dengan Pelarut Aseton ISSN 1411-

4316. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1-5.

[25] Subedi, D.P., Adhikari, D.R., Joshi, U.M., Poudel, H.N., dan Niraula, B. 2006. Study Of

Temperature And Concentration Dependence Of Refractive Index Of Liquids Using A

Page 46: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

43

Novel Technique, Khatmandu Universty Journal Of Science, Engineering And

Technology. Departement of Natural Science. Nepal. 2(1): 1-7

[26] Sutiah, K., Firdausi, S., dan Budi, W.S. 2008. Studi Kualitas Minyak Goreng Dengan

Parameter Viskositas Dan Indeks Bias, Berkala Fisika ISSN : 1410 – 9662. Jurusan

FMIPA UNDIP. Semarang. 11(2): 53-58

[27] Suyanti, Prabawati, S., Murtiningsih dan Yulianingsih. 2005. Perbaikan Cara Ekstraksi

untuk Meningkatkan Rendemen Minyak Bunga Melati Gambir Skala Pilot,

Pascapanen Pertanian, Prosiding Seminar Nasional Inovatif Pascapanen untuk

Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan. Bogor. 323-333.

[28] Suyanti, Prabawati, S., Yulianingsih., Setyadjit., dan Unadi., U. 2005. Pengaruh Cara

Ekstraksi dan Musim Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Bunga Melati. Jurnal

Pascapanen. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Jakarta. 2(1): 18-23.

Page 47: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS, Vol.x, No.x, July xxxx, pp. 1~5

44

Received June 1st,2012; Revised June 25th, 2012; Accepted July 10th, 2012

Minyak Atsiri Daun Zingiberaceae sebagai Antioksidan

dan Antiglikasi

Irmanida Batubara*1, Ummi Zahra2, Latifah K Darusman3, Akhiruddin Maddu4

1,2,3Departemen Kimia FMIPA Institut Pertanian Bogor; Kampus IPB Darmaga Bogor,

Indonesia 1,3Pusat Studi Biofarmaka Tropika LPPM, Institut Pertanian Bogor; Jl Taman Kencana No 3

Bogor, Indonesia 4Departemen Fisika FMIPA, Institut Pertanian Bogor; Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia

e-mail: *[email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Rimpang keluarga Zingiberaceae dilaporkan memiliki aroma khas dan juga aktif

sebagai antioksidan, sementara daun keluarga ini memiliki aroma khas yang mirip dengan

rimpangnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi minyak atsiri daun

beberapa spesies dari keluarga Zingiberaceae dan menentukan aktivitas minyak atsiri tersebut

sebagai antioksidan dan antiglikasi yang berhubungan dengan anti-penuaan. Daun dari 8 spesies

yaitu Alpinia galanga, Boesenbergia pandaratum, Curcuma aeruginosa, Curcuma domestica,

Curcuma xanthorrhiza, Curcuma zedoaria, Ellettaria cardamomum, dan Zingiber officinale

diisolasi minyak atsirinya menggunakan teknik distilasi uap. Minyak yang diperoleh ditentukan

kemampuannya sebagai antioksidan menggunakan metode ABTS (2,2’-azino-bis-3-

ethylbenzothiazolin-6-sulfonic acid) menggunakan spektrofotometer visual serta kemampuan

antiaging melalui aktivitas antiglikasi mengunakan flourimetri. Rendemen minyak dihasilkan

mulai dari 0.04 hingga 3.15%. Kapasitas antioksidan tertinggi dengan metode ABTS ditemukan

pada minyak atsiri daun Curcuma aeruginosa sebesar 5.10g ekuivalen asam askorbat/ 100 g

minyak sedangkan minyak dengan aktivitas antiglikasi terbesar ditemukan pada minyak daun Z.

officinale dengan konsentrasi penghambatan 50%, IC50 sebesar 207.95mg/L. Senyawa kimia

pada minyak atsiri daun Z. officinale ditentukan menggunakan metode Kromatografi Gas-

Spektrometri Massa dan ditemukan kariofilena sebagai komponen dominannya. Kariofilena

mampu bertindak sebagai antiglikasi dengan konsentrasi penghambatan 50% sebesar 113.8 µM.

Minyak atsiri dari daun Z officinale berpotensi dikembangkan sebagai antiaging.

Kata kunci—Zingiber officinale, kariofilena, ABTS dan antiaging

Abstract Zingiberaceae family rhizome has been reported to have distinctive aroma and also

active as antioxidant, while leaves of this family have a distinctive aroma similar to the

rhizomes. Therefore, this study aims to isolate the essential oil of some species of Zingiberaceae

family leaves and determine its activity as anti aging by antioxidants and antiglycation

activities. The essential oil of eight Zingiberaceae species leaves namely Alpinia galanga,

Boesenbergia pandaratum, Curcuma aeruginosa, Curcuma domestica, Curcuma xanthorrhiza,

Curcuma zedoaria, Ellettaria cardamomum, and Zingiber officinale were isolated using steam

distillation. The antioxidant abilities of the oils were determined by ABTS (2,2'-azino-bis-3-

ethylbenzothiazolin-6-sulfonic acid) using a spectrophotometer and anti aging abilities of the

oils were determined by antiglycation using flourimetri. The yield of essential oil produced were

vary from 0.04 to 3:15%. The high antioxidant capacity found in essential oil of Curcuma

aeruginosa leaf (5.10g ascorbic acid equivalent / 100 g of oil), while the most active antiglikasi

Page 48: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

45

activity found in Z. officinale leaf essential oil (50% inhibitory concentration, IC50 of

207.95mg/L). Chemical compounds in the Z. officinale leaves essential oil were determined

using the method Gas- chromatography mass spectrometry and found that caryophylene as

dominant compound. Caryophylene has antiglycation activity with IC50 of 113.8 µM. The

essential oil of Z officinale leaf likely to be developed as an anti aging.

Keywords—Essential Oil, caryophylene, ABTS and antiglycation

1. PENDAHULUAN

Minyak atsiri diproduksi oleh tanaman sebagai hasil metabolisme sekundernya. Minyak

ini bersifat mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa getir, dan berbau wangi sesuai

dengan bau tanaman penghasilnya. Indonesia merupakan salah satu Negara produsen minyak

atsiri di dunia. Minyak atsiri yang banyak diproduksi oleh Indonesia antara lain minyak atsiri

kayu manis, minyak nilam, minyak pala, dan masih banyak lainnya. Minyak atsiri dilaporkan

memiliki kemampuan biologis seperti menjadi antibakteri, antiinflamasi, antioksidan, antitumor,

dan penetralisir racun [1-7].

Di sisi lain, Indonesia merupakan Negara yang dianugerahi kekayaan biodiversitas.

Salah satu biodiversitas tersebut adalah tanaman minyak atsiri yaitu tanaman yang mampu

memproduksi minyak atsiri. Tanaman keluarga Zingiberaceae merupakan tanaman tropis dan

subtropics yang terdiri atas 1400 spesies. Tanaman ini banyak dimanfaatkan di Indonesia

terutama bagian rimpangnya. Selain rimpang tanaman Zingiberaceae, batang dan daunnya pun

dapat dimanfaatkan [8]. Minyak atsiri daun Zingiberaceae dilaporkan memiliki aktivitas

sebagai antibakteri Streptococcus mutans dan mampu menjadi penghancur biofilm terutama

minyak atsiri daun kapulaga (Electtaria cardamomum), minyak atsiri daun kunyit juga

dilaporkan menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus dan aflatoksin [9,10].

Seluruh mahkluk hidup akan menjadi tua. Proses penuaan ditandai dengan penurunan

integritas anatomi dan fungsi beberapa sistem organ dan berkurangnya kemampuan tubuh untuk

menanggapi stress [11]. Dalam proses penuaan ini terjadi reaksi glikasi yang merupakan reaksi

antara asam amino dan gula pereduksi membentuk produk akhir yang disebut sebagai Advance

glycation end product, AGEs [12]. AGEs dalam jumlah berlebih di dalam tubuh akan

menghasilkan berbagai macam penyakit seperti diabetes, alzhaimer, dan penuaan. Proses glikasi

dipercepat oleh adanya radikal bebas selain radikal bebas pun dihasilkan dari proses glikasi [13].

Senyawa antioksidan akan menetralkan radikal bebas. Oleh karena itu senyawa antiaging juga

diharapkan mampu menetralkan radikal bebas.

Pada penelitian ini dilakukan penapisan potensi minyak atsiri daun zingiberaceae

Indonesia sebagai antiaging. Pendekatan yang digunakan untuk menentukan potensi sebagai

antiaging adalah melalui seleksi aktivitasnya sebagai antioksidan penangkal radikal dan

antiglikasi. ABTS (2, 2’-azinobis—etil benzotiazolina 6-sulfat) merupakan radikal kation yang

digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan menggunakan spektrofotometri. Antiglikasi

ditentukan dengan menentukan jumlah AGEs yang dihasilkan dari reaksi protein (Bovine serum

albumin, BSA) dengan glukosa dan fruktosa menggunakan fluorimetri. Minyak atsiri paling

aktif ditentukan komponennya menggunakan kromatografi gas-spektrometri massa (KG-SM),

dan senyawa dominan pada minyak atsiri terpilih ditentukan aktivitas antiglikasinya.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu koleksi dan identifikasi daun

zingiberaceae, penentuan kadar air dan abu daun menggunakan metode AOAC, isolasi minyak

atsiri daun dengan distilator uap air, pengujian aktivitas antioksidan dan antiglikasi, identifikasi

Page 49: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

46

senyawa daun Zingiberaceae menggunakan KG-SM, serta penentuan aktivitas senyawa

dominan.

2.1 Koleksi dan Identifikasi Daun Zingiberaceae

Daun Zingiberaceae diambil dari Unit Konservasi dan Budidaya Biofarmaka Pusat

Studi Biofarmaka Tropika LPPM IPB di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Daun yang

dikumpulkan diambil contohnya untuk ditentukan nama ilmiahnya di LIPI Biologi Cibinong.

Daun yang digunakan dalam penelitian ini (Gambar 1) adalah daun lengkuas (Alpinia galanga),

temu kunci (Boesenbergia panduratum), temu hitam (C. aeruginosa), kunyit (Curcuma

domestica), temulawak (C. xanthorrhiza), temu putih (C. zedoaria), kapulaga (Elettaria

cardamomum), dan jahe (Zingiber officinale).(

Gambar 1. Daun Zingiberaceae yang digunakan pada penelitian ini

2. 2. Isolasi Minyak Atsiri

Sebanyak 2-3 kg daun sampel segar yang sudah dipotong-potong dimasukkan ke dalam

distilator uap. Sejumlah tertentu air (3-4 L) ditambahkan ke dalamnya. Distilasi dilakukan

selama 2-3 jam. Minyak atsiri yang diperoleh dimasukkan dalam botol gelap dan disimpan

dalam pendingin untuk analisis tahapan berikutnya

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan

Prinsip uji antioksidan yang digunakan ialah dengan mengukur kemampuan

penangkapan aktivitas radikal ABTS yang akan dibandingkan dengan asam askorbat. ABTS

(7.46 mM) dioksidasi menggunakan kalium peroksidisulfat (2.45 mM) selama 16 jam.

Sebanyak 180 μL ABTS.+ yang teroksidasi direaksikan dengan 20 μL minyak atsiri daun

Zingiberaceae dengan konsentrasi 2 mg/mL. Dibuat kurva standar hubungan absorbansi pada

panjang gelombang 734 nm dan konsentrasi asam askorbat (5, 25, 50, 75, dan 100 μg/ml).

KUrva standar yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2. Aktivitas antioksidan minyak atsiri

dilaporkan sebagai ascorbic acid ekivalent antioxidant capacity (AEAC).

Gambar 2. Kurva standar hubungan konsentrasi asam askorbat dan absorbans hasil reaksi

dengan ABTS

Page 50: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

47

2.4 Uji Aktivitas Antiglikasi

Metode antiglikasi mengacu pada Povichit (2011) dengan sedikit modifikasi [14].

Sebanyak 80 µL BSA 20 mg/mL direaksikan dengan 40µL glukosa 235 mM, 40µL fruktosa 235

mM dan 80µL sampel atau kontrol positif (aminoguanidin) dalam larutan buffer fosfat 0.2M pH

7.4 dalam tabung reaksi. Adapun pada larutan pengoreksi sampel yaitu larutan yang digunakan

untuk menghilangkan matriks sampel, akuades digunakan sebagai pengganti glukosa dan

fruktosa. Pada larutan kontrol negatif yaitu larutan yang digunakan untuk mengetahui reaksi

tanpa adanya gangguan sampel, akuades digunakan sebagai pengganti sampel.

Seluruh larutan diinkubasi selama 40 jam pada suhu 60oC, kemudian diukur intensitas

flouresensinya menggunakan flourimetri dengan panjang gelombang eksitasi 330 nm dan emisi

440 nm. Aktivitas antiglikasi diukur menggunakan persamaan berikut

Keterangan A : Intensitas flourosens larutan sampel

Ao : Intensitas flourosens larutan pengoreksi sampel

B : Intensitas flourosens larutan kontrol

Bo : Intensitas flourosens larutan pengoreksi kontrol

Persentase penghambatan 50% (IC50) terhadap fluoresensi AGEs dihitung dari kurva

regresi aktivitas penghambatan.

2.5. Identifikasi komponen minyak atsiri daun Zingiberaceae

Minyak atsiri yang telah murni dari daun Zingiberaceae yang paling aktif sebagai

antioksidan dan antiglikasi selanjutnya dianalisis dengan KG-SM untuk mengidentifikasi

komponen golongan senyawa penyusun minyak atsiri tersebut. Spektrum massa yang diperoleh

dari sampel dibandingkan dengan spektrum massa dari senyawa pembanding. Sampel

dinjeksikan ke dalam injektor KG-SM. Kolom yang digunakan ialah HP-5 MS (dimensi 30 m x

0.25 mm x 0.25 µm). He digunakan sebagai gas pembawa dengan laju alir 20 mL/menit. Suhu

injektor yang digunakan 80 ˚C dan suhu detektor 250 ˚C. Suhu kolom yang digunakan, yaitu

suhu terprogram dengan suhu awal 80 ˚C ditahan selama 5 menit, lalu suhu dinaikan 10 ˚C

setiap menitnya hingga suhu 250 ˚C dan dibuat konstan hingga menit ke-45. Kondisi

spektrofotometer massa yang digunakan adalah EI 70 eV dengan mode ionisasi EI, arah deteksi

50-1000 m/z. Puncak yang muncul pada kromatogram ion total diidentifikasi dengan

membandingkan spektrum massa dengan library index MS (NIST11). Waktu retensi dan

kemiripan spektrum massa puncak dan senyawa pada library ditentukan untuk memastikan jenis

senyawa pada puncak.

2.6. Analisis data

Analisis dilakukan dengan mengunakan ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95%.

Analisis lebih lanjut dilakukan dengan uji Duncan multiple range test untuk data aktivitas

antiglikasi dan kapasitas antioksidan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Daun yang digunakan dalam penelitian ini merupakan daun segar, oleh karena itu kadar

air yang terdapat dalam sampel tergolong tinggi yaitu lebih dari 75% (Tabel 1). Di antara

seluruh sampel daun yang digunakan kadar air tertinggi ditemukan pada daun kunyit. Kadar abu

dari suatu sampel tanaman dapat berbeda-beda sesuai dengan mineral yang terkandung dalam

tempat tumbuh tanaman. Semakin besar kadar abu dari suatu sampel menunjukkan semakin

banyak kandungan mineral pada tempat tumbuh sampel tersebut. Kadar abu ditentukan untuk

Page 51: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

48

menentukan kualitas daun yang biasanya berperan sebagai bioakumulator logam dan adanya

logam dapat memengaruhi metabolisme tanaman [15]. Kadar abu yang diperoleh (Tabel 1) juga

cukup tinggi, artinya banyak mineral yang terkandung dalam tanaman. Kadar abu tertinggi

dimiliki oleh daun kunyit, yaitu sebesar 11.65%. Perbedaan kadar air maupun kadar abu yang

diperoleh disebabkan oleh perbedaan jenis tanaman, waktu panen, dan kondisi pertumbuhan.

Rendemen minyak atsiri yang diperoleh dari daun zingiberaceae dalam penelitian ini

sangat bervariasi mulai dari 0.01% hingga 3.15% (Tabel 1). Rendemen minyak atsiri tertinggi

dimiliki oleh daun kapulaga. Kapulaga memiliki minyak atsiri yang tinggi pada hampir semua

bagian tanamannya. Biji kapulaga menghasilkan rendemen sebesar ±1% setelah didistilasi

dengan distilasi uap air, sedangkan dari daging buah dilaporkan sebesar 7%, hal ini

menunjukkan bahwa daun kapulaga merupakan sumber potensial untuk mendapatkan minyak

atsiri dibandingkan dengan bijinya [16-17]. Rendemen minyak atsiri daun terkecil ditemukan

pada daun lengkuas (Tabel 1). Minyak atsiri daun lengkuas yang diperoleh sangat kecil, hal ini

juga terjadi pada minyak atsiri buah Alpinia galangal yang hanya memiliki rendemen sebesar

0.2% [18]. Rendemen minyak atsiri yang diperoleh pada penelitian sebelumnya sebesar 2.09%

pada daun kunyit, 0.80% pada daun temulawak, 0.33% pada daun temu putih, dan 2.43% pada

daun kapulaga [9]. Rendemen pada penelitian ini tidak berbeda dengan rendemen yang

diperoleh pada penelitian sebelumnya.

Warna minyak atsiri yang diperoleh dari daun Zingiberaceae mulai dari tidak berwarna

hingga kuning kecoklatan (Tabel 1). Rendemen yang kecil pada minyak atsiri daun lengkuas

dan daun temu kunci menyebabkan warna minyak atsiri kedua daun tersebut tidak dapat

ditentukan. Selain itu kedua minyak atsiri juga tidak ditentukan aktivitas antioksidan dan

antiglikasinya karena jumlah sampel yang tidak memadai.

Tabel 1 Kadar air, kadar abu, dan rendemen minyak atsiri daun Zingiberaceae

Daun Kadar air

(% b/b)

Kadar abu

(% b/b)

Rendemen

minyak (% b/b) Warna Minyak

Nama local Nama latin

Lengkuas Alpinia galanga 79,92 9,81 0,01 -

Temu

kunci

Boesenbergia

panduratum

81,58 11,43 0,03 -

Temu

hitam

Curcuma

aeruginosa

81,17 9,74 1,77 Kuning

kecoklatan

Kunyit C. domestica 85,29 11,65 2,31 Kuning seulas

Temulawak C. xanthorrhiza 84,52 10,68 0,90 Kuning

kecoklatan

Temu putih C. zedoaria Rosc. 79,62 9,64 0,21 Tidak berwarna

Kapulaga Electtaria

cardamomum

80,08 10,69 3,15 Tidak berwarna

Jahe Zingiber

officinale

80,04 10,82 0,08 Kuning seulas

Keterangan:(-): warna kurang tampak

Aktivitas antioksidan dan antiglikasi seluruh minyak dengan rendemen lebih besar dari

0.06% ditentukan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Kapasitas antioksidan dilaporkan

dalam gram antioksidan ekuivalen asam askorbat, semakin besar kapasitas semakin tinggi

aktivitas antioksidannya. Kapasitas antioksidan tertinggi ditemukan pada minyak atsiri daun

temu hitam. Kapasitas antioksidan minyak atsiri daun temu hitam tidak berbeda nyata dengan

minyak daun kunyit. Minyak atsiri rimpang kunyit pun dilaporkan memiliki aktivitas sebagai

antioksidan [19]

Page 52: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

49

Tabel 2. Aktivitas antioksidan dengan metode ABTS dan antiglikasi minyak atsiri daun

Zingiberaceae

Minyak atsiri daun

/ kontrol positif

Nama latin daun Kapasitas antioksidan

g antioksidan ekuivalen ascorbic

acid (AEAC)/100 g minyak

IC50 (g/mL)

Antiglikasi

Temu hitam Curcuma

aeruginosa

5,10c 243,57d

Kunyit C. domestica 4,19c 221,26c

Temulawak C. xanthorrhiza 0,57a 221,60c

Temu putih C. zedoaria Rosc. 0,89a 236,38d

Kapulaga Electtaria

cardamomum

2,00b 240,35d

Jahe Zingiber officinale 0,66a 207,95b

Aminoguanidin 18,91a

Keterangan: nilai diikuti dengan huruf yang sama tidak memiliki perbedaan yang signifikan

pada uji Duncan multiple range test.

Aktivitas antiglikasi dilaporkan dengan konsentrasi yang dapat menghambat 50% reaksi

glikasi yang dikenal dengan IC50. Makin kecil konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat

50% reaksi glikasi makin aktif bahan tersebut. Dari enam minyak atsiri daun zingiberaceae yang

diuji pada penelitian ini ditemukan minyak atsiri daun jahe yang memiliki nilai IC50 paling kecil,

sehingga dapat dikatakan minyak atsiri daun jahe merupakan minyak atsiri yang paling

berpotensi sebagai antiglikasi (Tabel 2). Jahe terutama bagian rimpangnya dilaporkan

mengandung senyawa 1-dehidro-[14]-gingerdiena yang dapat menghambat pembentukan AGEs

[20]. Selain itu, ekstrak metanol daun jahe juga dilaporkan aktif sebagai antiglikasi [21]. Bila

dibandingkan dengan kemampuan aminoguanidin yang dikenal sebagai antiglikasi, aktivitas

antiglikasi minyak daun jahe tidak lebih bahkan hanya 1/10 dari aktivitas aminoguanidin.

Walaupun aminoguanidin merupakan antiglikasi namun tidak disetujui untuk produksi

komersial karena memiliki efek samping terkait dengan proses penyerapan vitamin B6 [22].

Minyak atsiri daun jahe ditentukan kandungan senyawanya karena memiliki aktivitas

sebagai antiglikasi. Hasil analisis menggunakan kromatografi gas kromatografi massa dapat

dilihat pada Tabel 3. Kariofilena (Gambar 3) merupakan komponen utama dalam minyak atsiri

daun jahe yaitu sekitar 30%. Kariofilena dilaporkan ini memiliki berbagai sifat farmakologi

antara lain, antimikroba, antiinflamasi, analgesik, antikanker, dan antioksidan [23]. Aktivitas

antioksidan dari senyawa ini dilaporkan karena mampu menghambat peroksidasi lipid yang

terjadi karena memiliki aktivitas radikal scavenging terhadap radikal hidroksida, anion

superoksida,dan lipid peroksida [24]. Oleh karena itu, kariofilena pun mampu menjadi

penghambat glikasi yang juga berhubungan dengan antioksidan.

Tabel 3. Komponen yang terdapat pada minyak daun jahe

Waktu retensi (min) Persentase luas puncak Senyawa Persen kemiripan (%)

5.75 4.91 Alfa pinena 96

6.20 3.92 Beta pinena 97

6.87 5.74 Beta felandrena 92

15.17 32.76 Kariofilena 99

16.64 7.28 Alfa farnesena 94

18.84 7.28 Kariofilena oksida 91

Hingga 100 Senyawa lainnya

Page 53: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

50

Gambar 3. Struktur kariofilena

Untuk mengetahui kemampuan senyawa dominan pada minyak atsiri daun jahe sebagai

antiglikasi, senyawa murni kariofilena dari TCI (Tokyo Chemical Industry) ditentukan aktivitas

antiglikasi. Aktivitas antiglikasi kariofilena pada berbagai konsentrasi terangkum pada Gambar

4. Terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi penghambatan reaksi glikasinya semakin

meningkat. Hasil perhitungan penentuan IC50 didapat sebesar 23.21 µg/mL yang sedikit lebih

besar dibandingkan IC50 aminoguanidin dalam satuan ppm. Bila nilai IC50 diubah dalam satuan

molaritas, maka nilai IC50 kariofilena (113.8µM) dua kali lebih kecil dibandingkan dengan IC50

aminoguanidin yaitu sebesar 255.5 µM. Hal tersebut menunjukkan bahwa kariofilen merupakan

zat aktif memiliki aktivitas antiaging pada minyak atsiri Z. officinale dan berpotensi untuk

dimanfaatkan.

Gambar 4. Aktivitas antiglikasi kariofilena pada berbagai konsentrasi

4. KESIMPULAN

Minyak atsiri delapan daun zingiberaceae berhasil diisolasi yaitu dari daun Alpinia

galanga, Boesenbergia pandaratum, Curcuma aeruginosa, Curcuma domestica, Curcuma

xanthorrhiza, Curcuma zedoaria, Ellettaria cardamomum, dan Zingiber officinale. Dari enam

minyak atsiri daun Zingiberaceae genus Curcuma, Ellettaria dan Zingiber, minyak atsiri daun

temu hitam (C. aeruginosa) dan kunyit (C. domestica) merupakan minyak atsiri paling

berpotensi sebagai antioksidan, sedangkan minyak atsiri daun jahe (Z. officinale) paling

berpotensi sebagai antiglikasi. Salah satu senyawa aktif dalam minyak atsiri daun jahe adalah

kariofilena yang memiliki nilai IC50 antiglikasi sebesar 113.8 µM. Untuk mengetahui apakah

ada efek dari senyawa lainnya pada minyak atsiri daun jahe diperlukan pemisahan minyak atsiri

yang diikuti dengan uji aktivitasnya.

Page 54: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

51

DAFTAR PUSTAKA

[1] Burt, S., 2004. Essential oils: their antibacterial properties and potential applications in

foods—a review. International Journal of Food Microbiology 94, 223–253

[2] Badary, O.A. and El-Din, A.M.G., 2000. Antitumor activity of thymochinone against fi

brosarcoma tumorgenesis. Cancer Mol. Biol. 7(3): 1515–1526.

[3] Kordali, S., Cakir, A., Mavi, A., Kilic, H., Yildirim, A., 2005. Screening of chemical

composition and antifungal and antioxidant activities of the essential oils from three

Turkisch Artemisia species. J. Agric. Food Chem. 53, 1408–1416.

[4] Salasia, S.I.O., Rochmadiyanto O.F., Setyawati, W., 2002. Antiinflammatory effects of

cinnamyl tiglate contained in volatile oil of kunyit (Curcuma domestica Val.). Majalah

Farmasi Indonesia 13(3), 162–168.

[5] Siani, A.C., de Ramos, M.F.S., Menezes-de-Lima, O., 1999. Evaluation of anti-

inflammatory related activity of essential oils from the leaves of species of Protium. J.

Ethnopharmacol. 66(1), 57–69.

[6] Sylvestre, M., Pichette, A., Longtin, A., Nagau, F., Legault, J., 2006. Essential oil analysis

and anticancer activity of leaf essential oil of Croton flavens L. from Guadeloupe. J.

Ethnopharmacol. 103(1), 99–102.

[7] Widiyanto A., Siarudin M., 2013. Karakteristik daun dan rendemen minyak atsiri lima

jenis tumbuhan kayu putih. JPHH. 31(4):235-241.

[8] Hartati R., Suganda A. G., Fidrianny, 2014. Botanical, phytochemical and pharmacological

properties of Hedychium (Zingiberaceae) [Review]. Procedia Chem 13: 150-163.

[9] Batubara I., Wahyuni W. T., Susanto M., 2016. Antibacterial activity of Zingiberaceae

leaves essential oil against Streptococcus mutans and teeth-biofilm degradation.

International Journal Pharma and Bio Science 7(4): (P) 111-116

[10] Sindhu S., Chempakam B., Lellla N.K., Bhai R.S., 2011. Chemoprevention by essential oil

of turmeric leaves (Curcuma longa L.) on the growth of Aspergillus flavus and aflatoxin

production. Food and Chemical Toxicology 49:1188-1192.

[11] Semba R.D., Nicklett E.J., Ferrucci L., 2010. Does accumulation of advanced glycation

end products contribute to the aging phenotype? Journal of Gerontology, 2010:1-13

[12] Hori M., Yagi M., Nomoto J., Ichijo R., Shimode A., Kitano T., Tonei Y., 2012.

Experimental models for advanced glycation end product formation using albumin,

collagen, elastin, keratin and proteoglycan. Anti-Aging Medicine. 9(6):125-134

[13] Ndlovu G., Gerda F., Malefa T., Werner C., Vanessa S., 2013. In vitro determination of the

anti-aging potential of four southern african medicinal plants. BMC Compl Alternat Med

13: 1-7.

[14] Povichit N., Phrutivorapongkul A., Suttaji M., Chaiyasut C., Leelapornpisid P., 2010.

Antiglycation and antioxidant activities of oxyresveratol extracted from the heartwood of

Artocarpus lakoocha Roxb. Maejo Int J Sci Technol. 4: 454-461.

[15] Handayani T., 2006. Bioakumulasi logam berat dalam mangrove Rhizophora mucronata

dan Avicennia marina di Muara Angke Jakarta. J Tek Ling. 7(3):266-270.

[16] Fachriyah E., Sumardi. 2007. Identifikasi minyak atsiri biji kapulaga. J Sains Mat.

15(2):83-87.

[17] Savan E.K,, Kucukbay F.Z., 2013. Essential oil composition of Elettaria cardamomum

Maton. J Appl Bio Sci. 7(3):42-45.

[18] Wu M., Zhang W., Guo P., Zhao Z., 2014. Identification of seven Zingiberaceous species

based on comparative anatomy of microscopic characteristics of seeds. Chinese Medicine

9:10. doi:10.1186/1749-8546-9-10

[19] George M, BritoSJ, 2015. Phytochemical and antioxidant studies on the essential oil of the

rhizome of Curcuma aeruginosa Robx. International Journal of Pharmacy 6(8):579

[20] Olennikov D.N., Kashehenko N.I., 2015. 1-dehydro-[14]-gingerdione, a new constituent

from Zingiber officinale. Chemistry of Natural Compounds. 51:877-881.

DOI:10.1007/s10600-015-1438-x

Page 55: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

52

[21] Zahra U., Kartika Y., Batubara I., Darusman L.K., Maddu A., 2016. Screening the Potency

of Zingiberaceae Leaves as Antioxidant and Antiaging Agent. Nusantara Bioscience. 8(2):

(accepted)

[22] Sero L., Sanguinet L., Blanchard P., Dang B.T., Morel S., Richomme P., Seraphin D.,

Derbre S., 2013. Tuning a 96-well microtiter plate fluorescence-based assay to identify age

inhibitors in crude plant extracts. Molecules. 18:14322. Doi:10.3390/molecules181114320

[23] Afzal A., Oriqat G., Akram K. M., Jose J., Afzal M.. 2013. Chemistry and biochemistry of

terpenoids from curcuma and related species. Journal of Biologically Active Products from

Nature. 3(1):1-55

[24] Calleja M.A., Vieites J.M., Montero-Meterdez T., Torres M.I., Faus M. J., Gil A., Suarez

A., 2013. The antioxidant effect of -caryophyllene protects rat liver from carbon

tetrachloride-induced fibrosis by inhibiting hepatic stellate cell activation. British Journal

of Nutrition. 109:394-401

Page 56: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

53

PENINGKATAN RENDEMEN DESTILASI MINYAK

JAHE MELALUI FERMENTASI JAHE MERAH

(Zingiber officinale var. Rubrum)

MENGGUNAKAN Trichoderma harzianum

Vivi Nurhadianty*, Chandrawati Cahyani, Luthfi Kurnia Dewi, Linda Triani, Resti

Kurnia Putri

Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

e-mail: * [email protected]

Abstrak

Rendemen minyak jahe hasil penyulingan pada umumnya masih rendah, maka perlu

metode yang mampu meningkatkan rendemen minyak jahe hasil penyulingan. Pada penelitian

ini dilakukan perlakuan awal berupa fermentasi pada jahe merah. Fermentasi dilakukan pada

jahe merah dengan ukuran ± 1 x 1 cm, berlangsung secara aerob, pada suhu ruangan, pH 4,

moisture jahe merah 40-45%, dan konsentrasi T.harzianum dalam fermentor ± 1,087 x 104

mg/L. Selanjutnya, destilasi uap dilakukan selama 8 jam pada jahe merah yang telah

difermentasi maupun yang tanpa fermentasi. Perolehan minyak jahe setelah fermentasi selama

2, 6, dan 8 hari dibandingkan dengan minyak jahe tanpa fermentasi untuk mengetahui pengaruh

fermentasi terhadap peningkatan rendemen minyak jahe. Adapun hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa jahe merah tanpa fermentasi, dan dengan jahe yang difermentasi selama 2,

6, dan 8 hari secara berturut-turut sebesar menghasilkan rendemen sebesar 0,015% ; 0,020% ;

0,076%; dan 0,025%. Berdasarkan hasil tersebut, fermentasi jahe merah selama 6 hari

menghasilkan rendemen minyak jahe tertinggi.

Kata kunci: Fermentasi jahe merah, Trichoderma harzianum, rendemen minyak jahe

Abstract

Ginger oil yield which is obtained after steam distillation is low in general, so it is

necessary to improve the oil yield. This research, the red ginger will use as a sample for

fermentation prior to distillation. Fermentation of red ginger with a size of ± 1 x 1 cm is carried

in an aerobic fermentation, at room temperature, pH 4, at 40-45% moisture, and T.harzianum

concentration in fermenters ± 1.087 x 104 mg/L. Then, a steam distillation was conducted for 8

hours. The oil yield after fermentation for 2, 6, and 8 days were compared to the yield without

fermentation to determine the effect of fermentation for increasing the oil yield. The results of

this research indicate that the yield of red ginger without fermentation, and with fermentation of

2, 6, and 8 days, respectively generating yield of 0.015%; 0,020%; 0.076%and 0.025%. It can

be concluded that the highest ginger oil yield obtained in 6 days fermentation.

Keywords: Fermentation of red ginger, Trichoderma harzianum, ginger oil yield

Page 57: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

54

1. PENDAHULUAN

Jahe merah memiliki kandungan minyak atsiri lebih banyak dibandingkan dengan jahe

gajah dan jahe emprit, yaitu sebesar 2,58-3,90% (Ginting, 2011:13). Kadar minyak atsiri pada

rimpang jahe rata-rata dalam destilat dari hasil penyulingan adalah 0,28% (Guenther et.al.,

1987:191). Perolehan rendemen minyak jahe dari proses penyulingan tersebut tentu jauh dari

kadar minyak atsiri sebenarnya yang dimiliki oleh jahe. Hal tersebut disebabkan oleh minyak

atsiri yang berada di dalam sel-sel atau jaringan rimpang jahe (Rismunandar, 1988:19). Jahe

terdiri dari 60-80% selulosa dan 4-6% lignin (Janick, 2001). Penyulingan langsung tanpa

perlakuan awal akan menghasilkan rendemen yang lebih rendah karena minyak atsiri terkurung

di dalam jaringan tanaman yang memiliki lapisan membran yang bersifat kaku sehingga kontak

dengan uap tidak maksimal. Hal tersebut yang menyebabkan proses isolasi minyak atsiri

dengan penyulingan langsung belum sempurna (Guenther et.al., 1987:194). Akan tetapi,

penyulingan masih menjadi pilihan untuk mendapatkan minyak atsiri dari berbagai tumbuhan

penghasil minyak atsiri karena proses dan peralatan yang digunakan cukup sederhana (Djafar

dkk., 2010). Namun, perolehan rendemen minyak jahe hasil penyulingan masih rendah. Oleh

karena itu, perlu suatu metode yang mampu meningkatkan rendemen minyak jahe hasil

penyulingan.

Spesies Trichoderma yang umumnya digunakan untuk mendegradasi selulosa

diantaranya Trichoderma reseei, Trichoderma viride, dan Trichoderma harzianum. Aplikasi

T.reesei cocok digunakan di industri deterjen karena adanya komponen EG III (endoglukanase).

Sedangkan T.viride dan T.harzianum biasa digunakan di industri sebagai sumber enzim selulase

alami (Sukumaran dkk., 2005:836). T.reesei Rut C30 adalah fungi penghasil enzim selulase

yang baik ketika ditumbuhkan di substrat selulosa murni daripada lignoselulosa. Hal ini

dikarenakan fungi ini menunjukkan aklimatisasi yang lebih lama bila menggunakan substrat

lignoselulosa (Benoliel dkk., 2013:5). Padahal jahe terdiri dari komponen selulosa dan lignin.

Selain itu, aklimatisasi T.reesei untuk produksi optimum enzim selulase membutuhkan waktu

14 hari (Benoliel dkk., 2013:5). Aklimatisasi T.viride membutuhkan waktu 4 hari. Sedangkan

aklimatisasi T.harzianum untuk produksi endoglukanase optimum selama 3 hari inkubasi

(Rubeena dkk., 2013). Berdasarkan lama waktu aklimatisasi untuk produktivitas maksimum dan

faktor ekonomis, T.harzianum lebih dipilih dan diharapkan mampu mendegradasi jaringan

tanaman dari jahe agar diperoleh minyak jahe yang optimum. Tidak hanya itu, T.harzianum

mampu mensekresikan enzim kompleks selulolitik secara seimbang, dimana secara efisien

menghidrolisis selulosa menjadi monomer glukosa (Rubeena dkk., 2012:1).

Nasruddin dkk. (2009) meneliti tentang perlakuan awal pada daun nilam sebelum

destilasi, kemudian dibandingkan hasilnya dengan daun nilam yang didestilasi tanpa perlakuan

awal. Perlakuan awal pada daun nilam berupa delignifikasi dengan larutan NaOH, dilanjutkan

dengan fermentasi menggunakan T.viride kemudian didestilasi. Hasil destilasi menunjukkan

bahwa rendemen minyak nilam dengan perlakuan awal sebesar 2,35%. Sedangkan minyak

nilam yang disuling dengan penyulingan konvensional atau tanpa perlakuan awal di Desa

Pandan, tempat dilakukannya penelitian, hanya menghasilkan rendemen sebesar 1,25%,

sehingga pada penelitian Nasruddin dkk. menghasilkan rendemen minyak nilam yang lebih

bagus bila ada perlakuan awal berupa delignifikasi dilanjutkan fermentasi.

Page 58: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

55

Perlakuan awal berupa fermentasi merupakan salah satu metode peningkatan rendemen

minyak atsiri. Pada penelitian Wijaya dkk. (2015), menunjukkan bahwa rendemen minyak daun

cengkeh tanpa fermentasi, dengan fermentasi menggunakan Trichoderma harzianum,

delignifikasi dengan larutan NaOH, serta gabungan delignifikasi dan fermentasi masing-masing

sebesar 1,6842% ; 2,6567% ; 2,3566% ; dan 1,3581%. Berdasarkan penelitian tersebut,

rendemen minyak daun cengkeh hasil fermentasi lebih tinggi dibandingkan tanpa fermentasi

dan perlakuan lainnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan fermentasi jahe merah

dengan menggunakan Trichoderma harzianum sebagai upaya peningkatan rendemen minyak

jahe.

2. METODE PENELITIAN

2.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah Erlenmeyer flask 250 ml, rotary shaker, neraca analitik,

autoclave, styrofoam sebagai fermentor, air compressor, moisture meter, vacuum pump jet

ejector, alat destilasi uap, termometer, pompa air, corong pisah, corong Buchner, oven, Gas

Chromatography Hewlett-Packard 5890, Scanning Electron Microscopytipe SEM Hitachi

TM3000.

Bahan yang digunakan adalah jahe merah yang diperoleh dari Pasar Induk Gadang,

Malang-Jawa Timur, kentang, dekstrosa, KH2PO4, (NH4)2SO4, aquades, buffer sitrat 2 M (pH

4), dan Trichoderma harzianum yang diperoleh dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

(BPTP) Jawa Timur.

2. 2 Desain Fermentor

Fermentor yang digunakan berupa box styrofoam dengan penyangga di dalamnya.

Udara diinjeksikan secara kontinyu ke dalam fermentor menggunakan air compressor dan laju

alir udara diatur sedemikian rupa hingga moisture dalam fermentor 40-45%, yakni sekitar ±

37,5 liter/menit. Udara masuk melalui bagian bawah fermentor, kemudian melewati rongga

udara diantara substrat padat, lalu udara keluar pada bagian atas fermentor yang telah dibentuk

lubang-lubang. Skema fermentor dapat dilihat pada Gambar 1.

2. 3 Fermentasi Jahe Merah menggunakan T.harzianum

Jahe merah sebanyak 3500 gram dicuci dengan air mengalir, lalu dikeringkan hingga

moisture jahe merah mencapai 40-45%, dimana kondisi tersebut baik untuk pertumbuhan

T.harzianum (Zhang dkk., 2013:620). Jahe merah kemudian diletakkan pada penyangga dalam

fermentor dan ditambahkan 100 ml inoculum T.harzianum yang telah dikembangbiakkan

selama 72 jam. Jahe merah kemudian difermentasi dengan variabel lama fermentasi selama 2, 6,

dan 8 hari.

Kontrol pH dilakukan dengan cara menambahkan buffer sitrat, dimana adanya buffer ini

akan menjaga pada pH 4. Bila moisture menunjukkan <40% maka substrat disemprotkan media

PDB, sedangkan bila moisturenya >45%, aliran udara di dalam fermentor ditingkatkan hingga

kadar moisture menunjukkan 40-45%. Tiap 24 jam dilakukan kontrol moisture terhadap

kondisi dalam fermentor. Kontrol dilakukan dengan meletakkan moisture meter ke dalam

fermentor hingga menyentuh jahe merah. Moisture dipertahankan 40-45% yang ditandai

dengan simbol “Dry” pada moisture meter. Bila moisture menunjukkan simbol “Dry+” maka

moisturenya <40% sehingga jahe merah ditambahkan media PDB, sedangkan bila moisturenya

Page 59: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

56

>45% yang ditandai dengan simbol “Nor”, “Wet” atau “Wet+”, aliran udara di dalam fermentor

ditingkatkan hingga kadar moisture menunjukkan 40-45%.

Gambar 1. Skema fermentor

2. 4 Destilasi Uap

Pada penelitian ini, destilasi uap menggunakan seperangkat alat destilasi uap yang ada

pada Laboratorium Teknik Bioproses, Jurusan Teknik Kimia FT-UB. Skema alat destilasi uap

dapat dilihat pada Gambar 2. Proses destilasi uap berlangsung selama 8 jam, dimana air yang

digunakan sebagai sumber uap dididihkan hingga titik didih air pada tekanan barometrik.

Setelah penyulingan, destilat berupa air dan minyak jahe selanjutnya dipisahkan menggunakan

corong pisah selama 24 jam. Minyak jahe yang diperoleh diletakkan dalam botol plastik gelap

yang tertutup rapat untuk selanjutnya dilakukan uji GC untuk menganalisa profil komponen

minyak jahe.

2. 5 Analisa Hasil Penelitian

2. 5.1 Perhitungan Rendemen Minyak Jahe

Rendemen minyak jahe dihitung melalui persamaan (1).

% rendemen = massa minyak jahe x100% ................................................(1)

massa awal jahe merah

2. 5 Analisa Profil Komponen Minyak Jahe

Analisa profil komponen minyak jahe dilakukan dengan menggunakan GC (Gas

Chromatography). GC yang digunakan adalah GC Hewlett-Packard 5890 dengan spesifikasi:

jenis kolom CW 20 M; jenis detektor FID; panjang kolom 6 feet; suhu kolom 99–249oC; rate

7,5o/menit; suhu injektor 255oC; suhu detektor 275oC; gas pembawa N2; initial time 3 menit.

Page 60: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

57

Gambar 2. Skema alat destilasi uap

Keterangan:

1. Kompor gas 7. Penampung destilat

2. Air mendidih 8. Kondensor

3. Penampung jahe merah 9. Pompa air

4. Output uap minyak jahe dan uap air 10. Output air dari kondensor

5. Destilat minyak jahe dan air 11. Input air ke kondensor

6. Output campuran minyak jahe dan air

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. 1 Pengaruh Fermentasi terhadap Peningkatan Rendemen Minyak Jahe

Berdasarkan hasil penelitian, penyulingan dengan perlakuan awal fermentasi

meningkatkan perolehan rendemen minyak jahe (Gambar 3). Fermentasi jahe merah

meningkatkan rendemen ± 1,33-5 kali lipat dibandingkan dengan jahe merah tanpa fermentasi.

Peningkatan rendemen minyak jahe ini terjadi karena adanya aktivitas T.harzianum yang

mendegradasi selulosa jahe sehingga minyak jahe yang terjebak akibat adanya selulosa lebih

mudah keluar. Semakin lama fermentasi, semakin banyak rendemen minyak jahe, yang terlihat

pada Gambar 3. Namun, pada perlakuan awal fermentasi 8 hari rendemen minyak jahe lebih

rendah dibandingkan variabel fermentasi 6 hari.

Page 61: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

58

Gambar 3. Rendemen minyak jahe pada berbagai waktu fermentasi jahe merah

3. 2 Analisa Profil Komponen Minyak Jahe

Gambar 4 menunjukkan profil komponen minyak jahe hasil uji GC untuk variabel tanpa

fermentasi, fermentasi 2, 6, dan 8 hari. Terlihat bahwa pada variabel tanpa fermentasi (Gambar

4-i), fermentasi 2 hari (Gambar 4-ii), dan fermentasi 8 hari (Gambar 4-iv), menunjukkan pola

yang hampir mirip, yaitu membentuk kemiringan yang apabila dihubungkan puncak komponen

A, B, C, dan D membentuk sudut yang tajam. Hal ini dikarenakan pada variabel tersebut

komposisi farnesene, ar-curcumene, dan bisabolene rendah diikuti komposisi tinggi pada

zingiberene. Namun, pada fermentasi 6 hari (Gambar 4-iii) menunjukkan pola yang lain. Pada

fermentasi 6 hari, pola membentuk kemiringan yang tidak tajam, hanya garis linier. Hal ini

dikarenakan komposisi farnesene, ar-curcumene, dan bisabolene meningkat diikuti dengan

komposisi zingiberene menurun. Berdasarkan hal tersebut memperlihatkan bahwa dengan

meningkatnya farnesene, ar-curcumene, dan bisabolene menyebabkan penurunan komposisi

zingiberene, begitu juga sebaliknya. Jika ditinjau kembali menurut Ketaren (1985), zingiberene

merupakan senyawa volatil utama yang memberikan aroma khas pada minyak jahe. Komposisi

zingiberene tertinggi didapatkan pada fermentasi 2 hari, sedangkan komposisi zingiberene

terendah didapatkan pada fermentasi 6 hari yang menghasilkan rendemen tertinggi.

Gambar 4 tersebut menunjukkan komposisi lima komponen utama yang dinyatakan

sebagai fraksi volume. Untuk membandingkan komposisi dari kelima komponen pada keempat

variabel maka dihitung volume tiap komponen minyak jahe sehingga diperoleh variabel dengan

volume komponen tertinggi. Perhitungan volume komponen diperoleh dari hasil perkalian

komposisi tiap komponen (fraksi volume) dengan total volume minyak jahe.

Page 62: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

59

(i)

(ii)

(iii)

(iv)

Gambar 4. Profil GC analisis kimia dari minyak jahe dengan variabel (i) tanpa fermentasi; (ii)

fermentasi 2 hari; (iii) fermentasi 6 hari; (iv) fermentasi 8 hari

Page 63: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

60

Gambar 5 menunjukkan bahwa volume 5 komponen utama paling tinggi diperoleh pada

variabel fermentasi jahe merah 6 hari. Selain itu, jumlah komponen pada keempat minyak jahe

berbeda. Secara berurutan, komponen penyusun minyak jahe tanpa fermentasi dan dengan

fermentasi selama 2, 6, dan 8 hari adalah 34, 25, 23, dan 27 komponen. Perbedaan komposisi

dan jumlah komponen penyusun minyak jahe kemungkinan disebabkan karena terjadinya

hidrolisis pada minyak jahe selama proses fermentasi. Hidrolisis pada minyak jahe mengganggu

kestabilan komponen minyak jahe. Kehadiran air dalam minyak atsiri mampu menyebabkan

terjadinya hidrolisis (Tisserand dan Young, 2013:12) sebelum proses penyulingan. Selama

fermentasi, moisture pada jahe di dalam fermentor dipertahankan 40-45%. Sedangkan jahe

kering mengandung moisture hanya 7-12% (Hernani dkk., 2011). Oleh karena moisture yang

cukup tinggi selama fermentasi maka minyak jahe yang sudah tidak tertutup oleh selulosa akibat

degradasi selulosa, mengalami hidrolisis sehingga terjadi perubahan jumlah dan komposisi

komponen pada minyak jahe.

Gambar 5. Perubahan volume tiap komponen minyak jahe pada berbagai waktu fermentasi

Selain itu, jumlah komponen pada keempat minyak jahe berbeda. Secara berurutan, komponen

penyusun minyak jahe tanpa fermentasi dan dengan fermentasi selama 2, 6, dan 8 hari adalah

34, 25, 23, dan 27 komponen. Perbedaan komposisi dan jumlah komponen penyusun minyak

jahe kemungkinan disebabkan karena terjadinya hidrolisis pada minyak jahe selama proses

fermentasi. Hidrolisis pada minyak jahe mengganggu kestabilan komponen minyak jahe.

Kehadiran air dalam minyak atsiri mampu menyebabkan terjadinya hidrolisis (Tisserand dan

Young, 2013:12) sebelum proses penyulingan. Selama fermentasi, moisture pada jahe di dalam

fermentor dipertahankan 40-45% untuk memberikan moisture yang sesuai dengan kebutuhan

T.harzianum. Sedangkan jahe kering mengandung moisture hanya 7-12% (Hernani dkk.,

2011). Oleh karena moisture yang cukup tinggi selama fermentasi maka minyak jahe yang

sudah tidak tertutup oleh selulosa akibat degradasi selulosa, mengalami hidrolisis sehingga

terjadi perubahan jumlah dan komposisi komponen pada minyak jahe.

Page 64: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

IJCCS ISSN: 1978-1520

Title of manuscript is short and clear, implies research results (First Author)

61

4. KESIMPULAN

Perlakuan awal berupa fermentasi jahe merah dapat meningkatkan rendemen minyak

jahe. Semakin lama fermentasi menyebabkan rendemen minyak jahe semakin meningkat

dibandingkan tanpa fermentasi. Rendemen tertinggi diperoleh pada fermentasi jahe merah

selama 6 hari yaitu sebesar 0,076%, sedangkan rendemen tanpa fermentasi hanya 0,015%. Dari

hasil analisa GC, komposisi tertinggi dan terendah pada komponen zingiberene, komponen

utama pada minyak jahe, didapatkan pada variabel fermentasi jahe merah selama 2 dan 6 hari.

Namun, apabila dihitung volume tiap komponen minyak jahe, maka pada variabel fermentasi

jahe merah selama 6 hari diperoleh rendemen dan volume komponen tertinggi.

DAFTAR PUSTAKA

[1]. Ginting. 2011. Identifikasi Komponen Kimia Minyak Atsiri Rimpang Jahe Emprit

(Zingiber officinale Rosc.) dan Uji Aktivitas Antibakteri. Medan: Universitas

Sumatera Utara.

[2]. Guenther, Ernest, A.J. Haagen-Smit, Edward E. Langenau, dan George Urdang. 1987.

Essential Oils. New York: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.

[3]. Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Bandung: C.V. Sinar

Baru.

[4]. Janick, Jules. 2001. Horticultural Reviews. Volume 39. New York: Wiley Publishing.

[5]. Nasruddin, Gatot Priyanto, dan Basuni Hamzah. 2009. Pengaruh Delignifikasi Daun

Nilam (Pogostemon Cablin Benth) dengan Larutan NaOH dan Fermentasi dengan

Kapang Trichoderma Viride terhadap Minyak Hasil Penyulingan. Palembang:

Universitas Sriwijaya

[6]. Djafar, Fitriana, M. Dani Supardan, dan Asri Gani. 2010. Pengaruh Ukuran Partikel, SF

Rasio dan Waktu Proses Terhadap Rendemen Pada Hidrodistilasi Minyak Jahe.

Jurnal Hasil Penelitian Industri Volume 23 No. 2, Oktober 2010.

[7]. Sukumaran, Rajeev K, Reeta Rani Singhania, dan Ashok Pandey. 2005. Microbial

Cellulases - Production, Applications and Challenges. India: Journal of

Scientific & Industrial Research Vol. 64.

[8]. Benoliel, Bruno, Fernando Araripe Gonçalves Torres, dan Lidia Maria Pepe de Moraes.

2013. A Novel Promising Trichoderma Harzianum Strain For The Production Of A

Cellulolytic Complex Using Sugarcane Bagasse In Natura. Brazil: Springer.

[9]. Rubeena, M, Kannan Neethu, S. Sajith, S. Sreedevi, Prakasan Priji, K. N. Unni, M. K.

Sarath Josh, V. N. Jisha, S. Pradeep, dan Sailas Benjamin. 2013.

Lignocellulolytic activities of a novel strain of Trichoderma harzianum - Scientific

Research. India: University of Calicut.

[10]. Wijaya, Chandra, Afghani Jayuska1, & Andi Hairil Alimuddin. 2015. Peningkatan

Rendemen Minyak Atsiri Daun Cengkeh (Syzygium Aromaticum) dengan Metode

Delignifikasi dan Fermentasi. Pontianak: Universitas Tanjungpura.

[11]. Zhang, Fengge, Zhen Zhu, Beibei Wang, Ping Wang, Guanghui Yu, Minjie Wu,Wei

Page 65: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

ISSN: 1978-1520

IJCCS Vol. x, No. x, July 201x : first_page – end_page

62

Chen, Wei Ran, dan Qirong Shen. 2013. Optimization of Trichoderma Harzianum T-

E5 Biomass and Determining The Degradation Sequence of Biopolymers by FTIR in

Solid-State Fermentation. China: Elsevier B.V.

[12]. Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Balai Pustaka.

[13]. Tisserand, Robert dan Rodney Young. 2013. Essential Oil Safety: A Guide for

Health Care Proffesionals. United Kongdom: Elsevier Health Sciences.

[14]. Hernani, & Christina Winarti. 2001. Kandungan Bahan Aktif Jahe dan

Pemanfaatannya dalam Bidang Kesehatan. Bogor: Status Teknologi Hasil Penelitian

Jahe.

Page 66: INDONESIAN JOURNAL OF ESSENTIAL OIL

Alamat RedaksiInstitut Atsiri

Jl. Veteran, Gedung Senat Lt. 2, Universitas BrawijayaKota Malang, Jawa Timur, 65145

Telp. 0341-4376580, Fax. 0341-4376393E-mail : [email protected]