J. Il. Tan. Lingk., 22 (1) April 2020: 1-9 ISSN 1410-7333| e-ISSN 2549-2853
BAHAYA BANJIR DAN LONGSOR DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN
BANDUNG JAWA BARAT
Flood and Landslide Hazards in Baleendah Sub-District, Bandung Regency, West Java
Mazlan1), Boedi Tjahjono2)* dan Baba Barus2) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, IPB University, Jl. Meranti Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 2) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB University, Jl. Meranti Kampus IPB
Dramaga Bogor 16680
ABSTRACT
Floods that occur every year in the Sub-district of Baleendah, Bandung Regency always cause many problems, such as
the failure of harvesting hundreds of hectares of rice fields and disruption of community activities and the economy. Meanwhile,
rapid land use changes occurred in the plain area has caused many paddy fields have turned into settlements, while many of
slopes of hills area have turned into barelands caused by rock mining activities (the so called C quarry). This kind of mining
activities can of course reduce slope stability and facilitate landslides in the future. Studying the natural hazards (flood and
landslide) for this region becomes important for disaster mitigation needs in the future. The purpose of this study is to map land
use and assess flood and landslide hazards in Baleendah Sub-district. The research method includes land use visual
interpretation from QuickBird imagery, Pairwise Comparison analysis to obtain the weight and score of flood and landslide
hazards parameters, and Multi Criteria Evaluation (MCE) analysis to assess the natural hazards. The results showed that the
interpretation of QuickBird imagery produced 12 types of land use dominated by settlement types (31.17%) and rice fields
(30.90%). From Pairwise Comparison analysis, it was found that the sequence of weights of flood hazard parameters were
inundation duration (0.50), inundation frequency (0.33), and inundation depth (0.17), while for landslide hazards were slope
steepness (0.50), land use (0.33), and slope form (0.17). Based on the participatory flood-prone mapping, it was found that flood-
prone areas were only spread in one village, i.e. Andir Village, while for landslide-prone areas were spread in 5 villages, i.e.
Wargamekar, Jelengkong, Manggahang, Baleendah, dan Andir. The results of Multi Criteria Evaluation (MCE) analysis showed
that the high and moderate class of flood hazards covered 128.99 ha and 34.76 ha respectively, while high, moderate, and low
class of landslide hazards covered 281.62 ha, 940.84 ha and 124.69 ha respectively. Controlling land use change is a good
choice to do in this region to reduce natural hazards (flood and landslide) in the future.
Keywords: Baleendah, flood, hazard, landslide, land use, Multi Criteria Evaluation, pairwise comparison
ABSTRAK
Bencana banjir yang terjadi setiap tahun di Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, selalu menimbulkan banyak
masalah, seperti gagal panen dari ratusan hektar sawah serta terganggunya aktivitas warga maupun perekonomian. Sementara
itu, perubahan penggunaan lahan yang cepat terjadi di wilayah dataran telah menyebabkan banyak sawah berubah menjadi
pemukiman, sedangkan di daerah perbukitan banyak lereng telah berubah menjadi lahan terbuka disebabkan oleh kegiatan
penambangan batu (Galian C). Kegiatan tambang semacam ini tentu dapat mengurangi stabilitas lereng dan berpotensi
menyebabkan longsor. Mempelajari bahaya banjir dan longsor untuk wilayah ini menjadi hal yang penting untuk kebutuhan
mitigasi bencana di masa depan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan penggunaan lahan dan menilai bahaya banjir
dan longsor di Kecamatan Baleendah. Metode penelitian meliputi interpretasi visual penggunaan lahan dari citra QuickBird,
analisis Pairwise Comparison untuk mendapatkan bobot dan skor parameter bahaya banjir dan tanah longsor, serta analisis Multi
Criteria Evaluation (MCE) untuk menilai bahaya banjir dan longsor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interpretasi citra
QuickBird menghasilkan 12 jenis penggunaan lahan yang didominasi oleh jenis permukiman (31.17%) dan sawah (30.90%).
Dari analisis Pairwise Comparison, diperoleh bahwa urutan bobot parameter bahaya banjir adalah lama genangan (0.50),
frekuensi genangan (0.33), dan kedalaman genangan (0.17), sedangkan untuk bahaya tanah longsor adalah kemiringan lereng
(0.50), penggunaan lahan (0.33), dan bentuk lereng (0.17). Berdasarkan pemetaan daerah rawan banjir secara partisipatif,
ditemukan bahwa wilayah rawan banjir hanya terdapat di 1 (satu) desa, yaitu Desa Andir, sedangkan untuk daerah rawan longsor
tersebar di 5 (lima) desa, yaitu Wargamekar, Jelengkong, Manggahang, Baleendah, dan Andir. Hasil analisis Multi Criteria
Evaluation (MCE) menunjukkan bahwa bahaya banjir kelas tinggi dan sedang masing-masing meliputi wilayah seluas 128.99
ha dan 34.76 ha, sedangkan bahaya longsor kelas tinggi, sedang, dan rendah masing-masing mencakup wilayah seluas 281.62
ha, 940.84 ha, dan 124.69 ha. Mengontrol perubahan penggunaan lahan secara ketat adalah pilihan mitigasi yang baik untuk
diberlakukan di wilayah ini guna mengurangi bahaya banjir dan longsor di masa depan.
Kata kunci: Baleendah, banjir, bahaya, longsor, penggunaan lahan, Multi Criteria Evaluation, pairwise comparison
*) Penulis Korespondensi: Telp. +6281213844112; Email: [email protected] DOI: http://dx.doi.org/10.29244/jitl.22.1.1-9
Bahaya Banjir dan Longsor di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung Jawa Barat (Mazlan, B. Tjahjono dan B. Barus)
2
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terletak di
daerah iklim tropis dengan dua musim, yaitu kemarau dan
penghujan. Seiring dengan fenomena perubahan iklim
dunia dan berkembangnya aktivitas manusia, kerusakan
lingkungan hidup di Indonesia terasa semakin meluas. Hal
ini ditandai dengan meningkatnya jumlah kejadian dan
intensitas bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan
tanah longsor yang terjadi silih berganti di berbagai daerah
di Indonesia.
Bencana banjir dan longsor merupakan bencana
yang paling sering terjadi di Indonesia. Data BNPB (2018)
menunjukkan bahwa trend bencana banjir dan longsor
masih terus mengalami peningkatan selama sepuluh tahun
terakhir. Berdasarkan data tersebut jumlah kejadian
bencana tertinggi terjadi pada tahun 2017, yaitu terdapat
2,862 kejadian yang didominasi oleh bencana banjir dan
longsor. Dari angka tersebut ada sebanyak 979 kali kejadian
banjir dan 848 kali kejadian longsor yang tersebar di seluruh
Indonesia, dimana tiga provinsi yang mengalami kejadian
bencana terbanyak adalah Provinsi Jawa Tengah 1,072 kali,
Provinsi Jawa Timur 434 kali, dan Provinsi Jawa Barat 318
kali. Di Provinsi Jawa Barat daerah yang sering mengalami
kejadian bencana adalah Kabupaten Bandung.
Menurut Dasanto et al. (2014) kejadian banjir di
Kabupaten Bandung lebih banyak disebabkan oleh faktor
antropogenik daripada faktor alami, seperti perubahan
penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian, sehingga
berpengaruh terhadap peresapan air ke dalam tanah.
Peristiwa banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung
merupakan hasil luapan dari Sungai Citarum wilayah hulu
(Muin et al., 2015), dan aliran Sungai Citarum ini mengalir
melalui Kecamatan Baleendah sehingga di kecamatan ini
sering terjadi banjir sejak puluhan tahun lalu. Banjir yang
terjadi di wilayah ini menyebabkan ratusan hektar sawah
gagal panen hingga tahun-tahun belakangan ini dan
mengganggu aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Kecamatan Baleendah secara geomorfologis
terletak di basin Bandung dengan keadaan topografis
berupa dataran dan sebagian perbukitan dan wilayah ini
mempunyai curah hujan yang tinggi. Di daerah perbukitan
yang sebagian besar berlereng terjal terlihat banyak digali
oleh masyarakat atau pun pengusaha untuk diambil batunya
(galian C), sehingga banyak bagian dari perbukitan ini yang
lahannya menjadi terbuka dan lerengnya terpotong. Gejala
seperti ini besar kemungkinan akan menurunkan stabilitas
lereng sehingga berpotensi longsor di waktu yang akan
datang. Oleh karena itu program mitigasi bencana menjadi
sangat penting untuk segera diterapkan di daerah ini untuk
menekan peluang bencana. Untuk menuju ke tujuan ini
maka diperlukan pengetahuan awal berupa informasi
bahaya alami (natural hazards) yang paling potensial.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis dan
pemetaan bahaya banjir dan longsor di Kecamatan
Baleendah, Kabupaten Bandung, dan hasilnya diharapkan
dapat mendukung sebagian program mitigasi bencana di
Kabupaten Bandung yang dinamis.
BAHAN DAN METODE
Kecamatan Baleendah sebagai daerah penelitian
mempunyai luas 4,007.90 ha (Gambar 1). Data yang
diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer diambil dari hasil wawancara
dan pengecekan penggunaan lahan serta titik-titik banjir di
lapangan, sedangkan data sekunder meliputi citra
QuickBird akuisisi 2017 yang terdapat pada Google Earth
Pro, data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission), dan
Peta Administrasi Kecamatan Baleendah. Adapun alat-alat
penelitian yang digunakan antara lain adalah alat-alat tulis,
GPS (Global Positioning System), aplikasi Avenza Maps,
komputer portable (laptop) yang dilengkapi dengan
Software ArcGIS, Google Earth Pro, Microsoft Word, dan
Microsoft Excel.
Tahapan penelitian
Tahap penelitian meliputi tahap persiapan, tahap
survei lapang, tahap analisis data, dan tahap pembuatan peta
bahaya. Aktivitas per tahapan diuraikan sebagai berikut:
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan studi literatur dan
pengumpulan data sekunder, seperti Peta Administrasi
Kecamatan Baleendah, citra Quickbird, dan data SRTM
(Shuttle Radar Topography Mission) yang semuanya
diperoleh dari instansi pemerintah maupun website terkait.
Selain itu dilakukan pula pengolahan dan interpretasi citra
untuk pembuatan peta penggunaan lahan dan penentuan
titik sampel.
Gambar 1. Lokasi penelitian Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung
J. Il. Tan. Lingk., 22 (1) April 2020: 1-9 ISSN 1410-7333| e-ISSN 2549-2853
3
Tahap Survei Lapang Pada tahap ini dilakukan kegiatan observasi atau
verifikasi lapang terhadap hasil interpretasi (penggunaan
lahan) dan untuk penetapan batas daerah rawan banjir
dilakukan secara partisipatif yang melibatkan masyarakat,
antara lain dari unsur petugas POPT (Pengendali
Organisme Pengganggu Tanaman) Provinsi Jawa Barat,
penyuluh pertanian, kelompok tani, serta masyarakat
setempat yang memahami kejadian banjir di wilayahnya.
Metode ini dilakukan melalui suatu diskusi dan wawancara.
Teknik pengambilan sampel untuk verifikasi penggunaan
lahan di lapang dilakukan secara Stratified Purposive
Sampling dengan strata jenis penggunaan lahan.
Tahap Analisis Data
Analisis Pairwise Comparison
Metode yang digunakan untuk menganalisis
tingkat bahaya banjir (flood hazard), dimana parameter
bahaya yang digunakan adalah lama genangan, frekuensi
genangan, dan kedalaman genangan. Peta bahaya banjir
yang dihasilkan dengan demikian berdasar pada peta rawan
banjir dari hasil partisipasi masyarakat lokal dan data aktual
lapangan. Sementara itu metode yang digunakan untuk
menganalisis bahaya longsor (landslide hazard) mengacu
pada penelitian Permadi et al. (2018) yang menggunakan
parameter kemiringan lereng, bentuk lereng, dan
penggunaan lahan disebabkan karakter morfogenesis
bentuklahan di wilayah perbukitan relatif homogen, yaitu
berupa perbukitan denudasional vulkanik. Penilaian bobot
dan skor dari setiap parameter (dan sub-parameter) bahaya
banjir dilakukan melalui pendekatan Pairwise Comparison
yang mengambil pendapat dari para pakar dan kemudian
dianalisis dengan metode Analytical Hierarchy Process
(AHP). Dalam penelitian ini dilibatkan tujuh pakar dengan
keahlian di bidang geomorfologi, hidrologi, evaluasi lahan,
hidrologi, tata ruang, pemodelan spasial, dan agronomi.
Analisis Pairwise Comparison ini dipakai untuk
menentukan urutan bobot dan skor dari parameter dan sub-
parameter bahaya banjir dan longsor. Penilaian tersebut
dilakukan dengan menggunakan skala kepentingan dari
Saaty (1986).
Analisis MCE
Hasil analisis Pairwise Comparison selanjutnya
digunakan untuk analisis bahaya banjir dan longsor melalui
metode Multi Criteria Evaluation (MCE). Analisis MCE
dilakukan secara spasial dengan menggabungkan beberapa
kriteria berdasarkan nilai dari masing-masing kriteria yang
didapatkan. Penggabungan tersebut dilakukan melalui
proses overlay sesuai dengan nilai skor dan bobot (weight)
yang didapat dari masing-masing kriteria dan menggunakan
formulasi BNPB (2012) berikut ini:
H= (Wn1×Sn1)+(Wn2×Sn2)+( Wn3×Sn3)
Keterangan:
H= Nilai bahaya S= Skor
W= Bobot n= parameter ke-
Dalam penelitian ini bahaya banjir dan longsor
diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu: 1) bahaya rendah,
2) bahaya sedang, dan 3) bahaya tinggi. Adapun interval
antar kelas diperoleh dari rumusan sebagai berikut (Ikqra et
al., 2012) dengan asusmsi persebaran nilai yang didapat
bersifat normal:
Nilai Interval Kelas = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑦𝑎 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖−𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑦𝑎 𝑇𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠
Tahap Pembuatan Peta Bahaya
Kelas bahaya yang diperoleh dari perhitungan di
atas selanjutnya ditampilkan secara spasial. Ini digunakan
untuk mendapatkan peta bahaya banjir maupun longsor
wilayah Kecamatan Baleendah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemetaan Penggunaan Lahan
Interpretasi citra QuickBird yang terdapat pada
Google Earth (akuisisi tahun 2017) menghasilkan
persebaran jenis penggunaan lahan tentatif Kecamatan
Baleendah (Gambar 2). Besarnya resolusi citra pada Google
Earth ini (± 2.5 m) terasa sangat membantu dalam
identifikasi objek penggunaan lahan untuk skala 1:5,000
atau skala kecamatan. Dari hasil interpretasi citra ini
selanjutnya dilakukan pengecekan lapang untuk
mengetahui kebenaran hasil interpretasi. Pengecekan
dilakukan secara berjalan (tracking) atau pun berhenti pada
suatu titik untuk pengamatan yang lebih seksama. Jika
diperlukan informasi yang lebih mendalam, seperti adanya
kesalahan interpretasi karena perubahan penggunaan lahan,
maka dilakukan wawancara dengan masyarakat setempat.
Dari 54 titik sampel yang ditentukan didapatkan
bahwa penggunaan lahan di Kecamatan Baleendah terdiri
dari 12 jenis, yaitu irigasi, jalan, kebun campuran, lahan
terbuka, pabrik, permukiman, sawah, tegalan, danau, hutan,
sungai, dan penambangan batu (Gambar 2 dan 3) dengan
luas keseluruhan 4,007.90 ha. Dari semua jenis penggunaan
lahan, jenis permukiman merupakan penggunaan lahan
yang paling luas, yaitu 1,249.32 ha atau 31.17% dari luas
total Kecamatan Baleendah, sedangkan yang hampir sama
dominannya adalah penggunaan lahan sawah dengan luas
1,238.63 ha atau 30.90% (Tabel 1). Dominasi permukiman
dan sawah di daerah dataran ini secara tidak langsung
menyiratkan bahwa potensi lahan pertanian di wilayah ini
sangat baik, sehingga di wilayah dataran ini perlu dijaga
agar tidak terkonversi secara terus-menerus menjadi lahan
permukiman. Dengan demikian kemandirian pangan di
wilayah ini diharapkan masih dapat dipertahankan. Tabel 1. Persebaran luas jenis penggunaan lahan di Kecamatan
Baleendah
Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas (%)
Danau 4.58 0.11
Hutan 814.62 20.33 Irigasi 10.46 0.26
Jalan 16.72 0.42
Kebun Campuran 52.04 1.30 Lahan Terbuka 93.49 2.33
Pabrik 73.56 1.84
Permukiman 1,249.32 31.17 Sawah 1,238.63 30.90
Sungai 29.60 0.74
Tegalan 313.66 7.83 Penambangan Batu 111.22 2.77
Total 4,007.90 100.00
Bahaya Banjir dan Longsor di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung Jawa Barat (Mazlan, B. Tjahjono dan B. Barus)
4
Dari hasil uji validasi lapang didapatkan bahwa
nilai akurasi interpretasi citra cukup tinggi yaitu sebesar
90% (overall accuracy). Dalam hal ini dari 54 titik sampel
yang diverifikasi terdapat 5 titik yang tidak sesuai dengan
hasil interpretasi. Kesalahan tersebut disebabkan oleh
adanya kemiripan beberapa jenis penggunaan lahan pada
citra, seperti danau dan sawah saat digenangi air atau lahan
terbuka dan penambangan batu. Ketidaksesuaian juga
terjadi akibat terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Namun kesalahan ini tidak dimasukkan sebagai suatu
kesalahan (error) dikarenakan sebelum perubahan terjadi,
hasil interpretasi sudah sesuai dengan jenis penggunaan
lahannya (diperkuat dari hasil wawancara dengan penduduk
lokal). Contoh dari kasus ini adalah penggunaan lahan
tegalan yang telah berubah menjadi penggunaan lahan
permukiman.
Dalam penelitian ini penggunaan lahan sawah
tidak saja dipetakan dalam bentuk hamparan, namun juga
dipetakan dalam bentuk petak-petak sawah sesuai dengan
kenampakan pada citra dan lapangan. Tujuan dari pemetaan
petakan sawah ini adalah untuk memudahkan dalam
menentukan wilayah kelompok tani dan juga sangat
membantu dalam proses kerja partisipatif (wawancara)
untuk mendapatkan daerah rawan banjir. Petak sawah
dalam penelitian ini juga dijadikan sebagai unit genangan
dalam pemetaan daerah rawan banjir di wilayah lahan
sawah.
Gambar 2. Peta penggunaan lahan tentatif dan persebaran titik sampel
Gambar 3. Peta penggunaan lahan aktual Kecamatan Baleendah
J. Il. Tan. Lingk., 22 (1) April 2020: 1-9 ISSN 1410-7333| e-ISSN 2549-2853
5
Bahaya Banjir
Dari hasil kerja partisipatif didapatkan bahwa luas
daerah rawan banjir adalah 170.82 ha atau 4.70% dari total
luas Kecamatan Baleendah. Daerah rawan banjir
merupakan daerah yang sangat mudah tergenangi oleh air
selama musim hujan. Dari 8 desa yang ada di Kecamatan
Baleendah, didapatkan hanya satu desa saja yang
dinyatakan rawan terhadap banjir, yaitu Desa Andir
(Gambar 4). Dari desa ini banjir tidak menyebar ke desa lain
yang berdekatan, seperti Desa Baleendah, karena di
perbatasan kedua desa ini (Andir dan Baleendah) terdapat
sebuah jalan yang cukup tinggi sehingga air luapan banjir
terhalangi oleh jalan tersebut. Pada Gambar 4 batas
genangan air (pada sisi tenggara) tampak berpola lurus
mengikuti sisi jalan. Proses mudahnya penggenangan ini
terjadi juga disebabkan oleh kondisi fisik geografis Desa
Andir yang berelevasi rendah serta dilewati oleh dua sungai,
yaitu Sungai Cisangkuy dan Sungai Citarum yang berkelok
tajam. Kondisi seperti ini merupakan salah satu penyebab
mengapa genangan banjir berlokasi di area ini. Sungai
Cisangkuy adalah anak Sungai Citarum yang melewati
Desa Andir dan bermuara ke Sungai Citarum. Area
pertemuan kedua sungai ini merupakan titik rawan luapan
air banjir, dimana hingga sekarang di area ini selalu
tergenangi oleh banjir di setiap musim hujan dan belum
dapat diatasi sepenuhnya. Alhasil aktivitas penduduk serta
usaha pertanian masih sering terganggu karena
permukiman, jalan, dan sawahnya tergenang oleh banjir.
Dari daerah rawan banjir ini selanjutnya dilakukan
penilaian tingkat bahaya dengan metode MCE. Metode ini
berbasiskan pada nilai bobot dan skor parameter bahaya
banjir yang diperoleh dari pendapat para pakar melalui
Pairwise Comparison. Hasil analisis MCE ini ditampilkan
pada Tabel 2, dimana kolom nilai merupakan hasil
perkalian antara bobot dan skor yang mencerminkan
besarnya bahaya banjir.
Gambar 4. Peta daerah rawan banjir di lokasi penelitian
Tabel 2. Hasil penilaian dari analisis pairwise comparison untuk parameter lama, frekuensi dan kedalaman genangan
Parameter Bobot Skor Nilai
Lama Genangan 0.5 1-3 hari 0.17 0.08
3-7 hari 0.33 0.17
>7 hari 0.5 0.25
Frekuensi Genangan 0.33
1x setahun 0.1 0.03
2x setahun 0.2 0.07 3x setahun 0.3 0.1
4x setahun 0.4 0.13
Kedalaman Genangan 0.17 Persawahan Permukiman
<1 m <15 cm 0.1 0.02
1 – 1.5 m 15 – 25 cm 0.2 0.03 1.5 - 2 m 25 – 50 cm 0.3 0.05
>2 m >50 cm 0.4 0.07
Bahaya Banjir dan Longsor di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung Jawa Barat (Mazlan, B. Tjahjono dan B. Barus)
6
Hasil analisis MCE tersebut selanjutnya dapat
dipetakan menjadi sebuah peta bahaya banjir seperti yang
disajikan dalam Gambar 5. Berdasarkan peta bahaya banjir
ini tampak bahwa di Desa Andir tidak terdapat bahaya kelas
rendah, namun lebih didominasi oleh bahaya kelas tinggi
(Tabel 3 dan Gambar 5). Persebaran kelas bahaya tinggi
terlihat mengikuti pola alur sungai (Cisangkuy dan
Citarum) kemudian menyebar ke area lainnya yang lebih
rendah. Untuk area permukiman yang berada di daerah
rawan banjir seluruhnya mempunyai kelas bahaya tinggi
karena tersebar di bentuklahan natural levee atau bantaran
sungai (Citarum dan Cisangkuy). Sementara itu, pada area
persawahan terdapat dua kelas bahaya, yaitu bahaya tinggi
dan sedang.
Menurut pendapat masyarakat yang terdampak,
banjir yang sering terjadi di Kecamatan Baleendah
disebabkan oleh adanya proses pendangkalan alur Sungai
Citarum, sehingga ketika hujan turun dengan curahan yang
tinggi, air sungai mudah meluap dikarenakan volume air
sungai dengan cepat melebihi kapasitas alur sungainya.
Untuk mengatasi hal ini maka diperlukan pengerukan alur
sungai secara rutin dalam periode waktu tertentu.
Sungguhpun demikian untuk mengetahui penyebab banjir
yang lebih seksama diperlukan suatu penelitian tersendiri
dengan skala yang lebih luas (skala daerah aliran
sungai/DAS) sehingga dapat diketahui faktor-faktor mana
saja yang paling berpengaruh terhadap perluapan air sungai
tersebut. Selain itu, curah hujan juga penting diperhatikan
terutama untuk daerah-daerah yang secara geomorfologis
mempunyai tinggi permukaan tanah yang lebih rendah
dibandingkan dengan daerah di sekitarnya.
Dengan rutinnya kejadian banjir di wilayah
Bandung ini, maka terlihat bahwa pada saat ini kondisi DAS
Citarum sudah menurun fungsinya untuk menata air. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi bentanglahan di dalamnya
sudah tidak mampu lagi untuk meresapkan air dengan lebih
banyak ke dalam tanah. Kondisi ini tercermin salah satunya
dari kondisi Sub-DAS yang dimiliki DAS Citarum, seperti
Sub-DAS Cisangkuy. Di Sub-DAS ini nilai daya dukung
lingkungan untuk tata air dan pengendalian banjir
mengalami penurunan sejak hampir 15 tahun terakhir.
Dampak perubahan lahan ini berpengaruh besar terhadap
daya serap air hujan ke dalam tanah. Oleh karena itu salah
satu upaya yang baik dilakukan guna mengendalikan banjir
di wilayah ini adalah mengendalikan perubahan
penggunaan lahan atau pengendalian tata ruang, terutama
pada kawasan hutan. Hal lain yang perlu dilakukan juga
adalah menerapkan pengelolaan lahan yang sesuai dengan
kaidah konservasi tanah dan air.
Gambar 5. Peta bahaya banjir di Kecamatan Baleendah (Desa Andir)
Tabel 3. Luas kelas bahaya banjir pada daerah persawahan dan permukiman
Kelas Bahaya Sawah Permukiman Total
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
Rendah 0 0 0 0 0 0
Sedang 34.76 43.47 0 0 34.76 21.23
Tinggi 45.19 56.53 83.80 100.00 128.99 78.77
Total 79.96 100.00 83.80 100.00 163.75 100.00
J. Il. Tan. Lingk., 22 (1) April 2020: 1-9 ISSN 1410-7333| e-ISSN 2549-2853
7
Bahaya Longsor
Daerah yang dianalisis untuk bahaya longsor
hanya mencakup wilayah seluas 1,347.95 ha atau 36.74%
dari total luas Kecamatan Baleendah. Penarikan batas
wilayah kajian dilakukan dengan dasar perbedaan
bentuklahan (landform), yaitu antara bentuklahan dataran
dan perbukitan. Kedua bentuklahan ini mempunyai
perbedaan reliefnya yang cukup jelas seperti yang terlihat
pada peta hillshade DEM daerah penelitian (Gambar 6).
Dari kedua bentuklahan tersebut daerah yang tergolong
rawan longsor secara geomorfologis adalah yang berelief
perbukitan. Secara administratif wilayah perbukitan ini
terliput dalam 5 desa dari 8 desa yang ada di Kecamatan
Baleendah. Luasan daerah rawan longsor di masing-masing
desa cukup bervariasi seperti yang disajikan pada Tabel 4.
Penilaian bahaya longsor selanjutnya dilakukan di daerah
perbukitan ini yang rawan longsor melalui analisis pairwise
comparison dan MCE, adapun hasilnya disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 4. Sebaran luas daerah rawan longsor di Kecamatan
Baleendah
Desa Luas (ha) %
Jelekong 361.00 26.00 Manggahang 361.10 26.01
Baleendah 311.80 22.35
Andir 54.25 3.25 Wargamekar 314.80 22.57
Total 1,347.15 100.00
Hasil analisis pada Tabel 5 selanjutnya dipetakan
untuk mendapatkan peta bahaya longsor (Tabel 6 dan
Gambar 7). Dari Gambar 7 terlihat bahwa bahaya longsor
di daerah penelitian didominasi oleh kelas bahaya sedang
yang tersebar secara acak di seluruh lokasi penelitian,
sementara itu untuk kelas bahaya rendah dan tinggi juga
mempunyai pola yang sama, yaitu acak, namun untuk kelas
bahaya tinggi mempunyai ukuran poligon yang lebih besar
daripada yang kelas bahaya rendah. Dari analisis pairwise
comparison tampak bahwa nilai bahaya longsor meningkat
jika area tersebut memiliki jenis penggunaan lahan
penambangan dan/atau lereng yang terjal, sedangkan
nilainya menurun jika area memiliki penggunaan lahan
hutan dan/atau lereng landai.
Tabel 5. Hasil analisis pairwise comparison untuk parameter
bahaya longsor
Parameter Bobot Skor Nilai
Kemiringan Lereng 0.50 0-8 % 0.07 0.03
8-15% 0.13 0.07
15-30% 0.20 0.1 30-40% 0.27 0.13
>40% 0.33 0.17
Pengggunaan Lahan 0.33 Hutan 0.03 0.01
Kebun Campuran 0.06 0.02
Pabrik 0.08 0.03 Sawah 0.11 0.04
Tegalan 0.14 0.05
Permukiman 0.17 0.06 Lahan Terbuka 0.19 0.06
Penambangan Batu 0.22 0.07
Bentuk Lereng 0.17 Lurus 0.17 0.03
Cembung 0.33 0.06
Cekung 0.50 0.09
Tabel 6. Luas kelas bahaya longsor Kecamatan Baleendah
Kelas Bahaya Luas
ha %
Rendah 124.69 9.26
Sedang 940.84 69.84 Tinggi 281.62 20.90
Total 1,347.15 100.00
Gambar 6. Peta bentuklahan perbukitan di Kecamatan Baleendah.
Bahaya Banjir dan Longsor di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung Jawa Barat (Mazlan, B. Tjahjono dan B. Barus)
8
Peta pemodelan bahaya longsor yang dihasilkan
ini sungguhpun demikian belum dapat diuji akurasinya
dikarenakan hingga penelitian ini berlangsung belum
didapatkan catatan sejarah kejadian longsor di lokasi
tersebut. Peta yang dihasilkan ini dengan demikian dapat
dijadikan sebagai warning terhadap bahaya yang dapat
terjadi di waktu yang akan datang. Hasil penilaian ini
sejalan dengan Peta Prakiraan Wilayah Terjadinya Gerakan
Tanah yang diterbitkan oleh Badan Geologi Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral (PVMBG, 2018) yang
memperlihatkan bahwa perbukitan di Baleendah ini
tergolong ke dalam kelas Potensi Tinggi gerakan tanah
(Gambar 8). Oleh sebab itu dalam mengelola sumberdaya
lahan di perbukitan ini sangat diperlukan suatu kehati-
hatian yang tinggi agar tidak terjadi bencana longsor di
waktu yang akan datang. Faktor kemiringan lereng dan
penggunaan lahan dari hasil penelitian ini menunjukkan
faktor penentu longsor yang bobotnya tinggi, sehingga
untuk menekan bahaya longsor ke depan (sebagai bentuk
mitigasi) diperlukan suatu pengamanan terhadap lereng
secara baik, seperti diperkuat melalui penanaman vegetasi,
pembuatan teras, saluran pembuang, atau dinding penahan
lereng (bronjong), sedangkan dari sisi penggunaan lahan,
diperlukan pembatasan terhadap jenis penggunaan lahan
yang ada, sehingga dampak kegiatan manusia diharapkan
menjadi terbatas. Sungguh pun demikian cara-cara tersebut
di atas tidak bisa berdiri sendiri namun perlu didukung
dengan penghijauan dan praktek pertanian yang tepat
(Damanik, 2015). Hal yang juga tidak kalah penting dari
semuanya adalah meningkatkan kewaspadaan masyarakat
setempat melalui pemahaman dan kesadaran terhadap
kondisi daerah mereka sendiri yang secara intrinsic rawan
terhadap longsor, sehingga prudensi masyarakat terhadap
bencana longsor dapat terjaga.
Secara keseluruhan, peta bahaya banjir dan
longsor sebagai peta bahaya alami (natural hazards map) di
wilayah Kecamatan Baleendah disajikan pada Gambar 9.
Gambar 7. Peta bahaya longsor Kecamatan Baleendah
Gambar 8. Peta prakiraan wilayah terjadinya gerakan tanah (PVMBG, 2018)
J. Il. Tan. Lingk., 22 (1) April 2020: 1-9 ISSN 1410-7333| e-ISSN 2549-2853
9
Gambar 9. Peta bahaya banjir dan longsor Kecamatan Baleendah
SIMPULAN
Citra QuickBird dari Google Earth Pro (akuisisi
tahun 2017) sangat sesuai digunakan untuk interpretasi
penggunaan lahan skala 1:5,000 karena mempunyai
resolusi tinggi (2.5 m) sehingga detil kenampakan
permukaan lahan dapat dilihat secara seksama. Dari citra ini
dihasilkan 12 jenis penggunaan lahan (di Kecamatan
Baleendah), yaitu irigasi, jalan, kebun campuran, lahan
terbuka, pabrik, permukiman, sawah, tegalan, danau, hutan,
sungai dan penambangan batu.
Daerah rawan banjir di Kecamatan Baleendah
hanya tersebar di 1 desa, yaitu di Desa Andir, sedangkan
daerah rawan longsor tersebar ke 5 desa, yaitu Wargamekar,
Jelengkong, Manggahang, Baleendah, dan Andir. Dari hasil
analisis Multi Criteria Evaluation (MCE), Kecamatan
Baleendah didominasi oleh bahaya banjir kelas tinggi,
seluas 128.99 ha, sedangkan untuk bahaya longsor
didominasi oleh kelas sedang, seluas 940.84 ha.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
SATREPS (Proyek Kerjasama Penelitian antara Institut
Pertanian Bogor dengan JICA dan Universitas Chiba,
Jepang) yang telah melibatkan penulis sehingga bisa
mendapatkan data untuk melaksanakan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, Jakarta.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2018.
Info Bencana. http://bnpb.cloud/dibi/tabel1a.
[diakses 26 Juli 2018].
Damanik, B.S.D. 2015. Prediksi bahaya longsor dan
penilaian faktor utama penyebab longsor di Wilayah
DAS Kali Bekasi bagian hulu [Tesis]. IPB. Bogor.
Dasanto, D.B., B. Pramudya, R. Boer dan Y. Suharnoto.
2014. Effect of forest cover changes on flood
characteristics upper Citarum waterhed. Tropical
Forest Management, 20(3): 141-149.
Ikqra, B. Tjahjono dan E. Sunarti. 2012. Studi geomorfologi
Pulau ternate dan penilaian bahaya longsor. J. Tanah
Lingk., 14(1): 1-6.
Muin, S.B., R. Boer dan Y. Suharnoto. 2015. Pemodelan
dan analisis kerugian akibat bencana banjir di DAS
Citarum Hulu. Jurnal Tanah dan Iklim, 39(2): 75-84.
Permadi, M.G., B. Tjahjono dan D.P.T. Baskoro. 2018.
Identifikasi daerah risiko bencana longsor di Kota
Bogor. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, 20(2):
86-94.
[PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi. 2018. Peta Prakiraan Wilayah Terjadinya
Gerakan Tanah pada Bulan Februari 2018, Provinsi
Jawa Barat. Badan Geologi, Kementerian Energi
Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Saaty, T.L. 1986. Pengambilan Keputusan. Setiono, L.
(penerjemah); Peniwati, K. (editor). PT Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta. Terjemahan dari: The
Analytical Hierarchy Process For Decisions In
Complex World.
Top Related