PERUBAHAN KADAR INTERLEUKIN-2 DAN INTERLEUKIN-31 SERUM
SESUDAH TINDAKAN AKUPUNKTUR PADA LI11 QUCHI DAN KORELASINYA DENGAN PERUBAHAN SKALA PRURITUS
PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS
DISERTASI
DEDI ARDINATA
NIM 168102007
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
Universitas Sumatera Utara
i
LEMBAR PRASYARAT GELAR
PERUBAHAN KADAR INTERLEUKIN-2 DAN INTERLEUKIN-31 SERUM
SESUDAH TINDAKAN AKUPUNKTUR PADA LI11 QUCHI DAN KORELASINYA DENGAN PERUBAHAN SKALA PRURITUS
PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
dalam Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran
pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
untuk dipertahankan di hadapan Sidang Ujian Terbuka
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEDI ARDINATA
NIM 168102007
PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
Universitas Sumatera Utara
ii
LEMBAR PROMOTOR DAN CO-PROMOTOR
PROMOTOR
Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS., Sp.FK.
Guru Besar Tetap Departemen Farmakologi dan Terapeutik.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan.
CO- PROMOTOR
Prof. Dr. dr. Irma D. Mahadi, SpKK(K)., FINSDV., FAADV.
Guru Besar Tetap Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan.
CO- PROMOTOR
Dr. dr. Hasan Mihardja, M.Kes., SpAk(K).
Departemen Akupunktur Medis
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Universitas Sumatera Utara
iv
LEMBAR PENGUJI
Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi)
Pada Tanggal: 26 April 2021
__________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Pemimpin Sidang :
Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si (Rektor USU)
Ketua : Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS., Sp.FK. USU Medan
Anggota : Prof. Dr. dr. Irma D. Mahadi, Sp.KK(K)., FINSDV., FAADV. USU Medan
Dr. dr. Hasan Mihardja, M.Kes., Sp.Ak(K). UI Jakarta
Prof. Dr. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK-KH. USU Medan
Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L(K). USU Medan
Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM. USU Medan
Dr. dr. Adiningsih Sri Lestari, M.Kes., M.Epid., Sp.Ak(K). UI Jakarta
Universitas Sumatera Utara
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismi-llāhi ar-raḥmāni ar-raḥīmi
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
segala puji hanya milik Allah yang telah melebihkan manusia dengan ilmu dan amal
atas alam semesta. Tak terkira rasa syukur penulis hari ini telah menyelesaikan
sidang promosi doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran dari Universitas Sumatera
Utara, Medan. Rasanya sulit mengungkapkan perasaan penulis saat ini dengan kata-
kata. Hanya ucapan Al-ḥamdu l-illāhi rabbi l-ʿālamīn.
“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima
kasih pada manusia (lain).” (HR. Abu Daud no. 4811 dan At-Tirmidzi no. 1954).
Berbagai pihak telah banyak terlibat langsung maupun tidak langsung
membantu, mengarahkan, membimbing, memotivasi dan mendoakan, yang
semua ini sangat berarti bagi penulis meyelesaikan pendidikan akademik
tertinggi ini, maka pada kesempatan ini, penulis dengan ikhlas dan setulusnya
menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si.,
dan Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor USU
(periode 2016-2021) beserta para Wakil Rektor; Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara (FK USU) Prof. Dr. dr. Aldy S. Rambe, SpS(K) dan
Prof. Dr. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, Dekan FK USU
(periode 2016-2021) beserta para Wakil Dekan; Ketua Program Studi Doktor (S3)
Universitas Sumatera Utara
vi
Ilmu Kedokteran, FK USU, Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K).,
Sekretaris program studi doktor (S3) Ilmu Kedokteran, FK USU;
Dr. dr. Iqbal Pahlevi Nst, SpBA(K) dan Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, SpKK
Sekretaris (periode 2016-2021), atas kesempatan, izin dan dukungan moril maupun
materil yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran
di FK USU.
Terima kasih, rasa hormat dan penghargaan yang tulus, penulis kepada
Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS., Sp.FK., dosen dan sekaligus promotor
penulis, yang telah banyak memberikan dukungan yang luar biasa, wawasan,
motivasi, saran, waktu dan segala keikhlasan membimbing mulai dari
pra-usulan penelitian, usulan penelitian sampai kepada penelitian dan
penulisan disertasi sehingga penelitian disertasi ini dapat diselesaikan.
Beliau adalah The Role Model bagi penulis sebagai seorang pengajar.
Demikian pula kepada Co-Promotor; Prof. Dr. dr. Irma D. Mahadi, SpKK(K).,
FINSDV., FAADV dan Dr. dr. Hasan Mihardja, M.Kes., SpAk(K), dengan tulus dan
ikhlas ditengah kesibukannya telah meluangkan waktu dan pikirannya memberikan
bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis. Semoga Allah membalas dengan
ketinggian derajat di dunia dan di akhirat.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada
tim penguji Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L(K);
Prof. Dr. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK-KH; Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM.
dan Dr. dr. Adiningsih Sri Lestari, M.Kes., M.Epid., Sp.Ak(K).
Universitas Sumatera Utara
vii
yang telah memberikan masukan dan kritikan serta sanggahan yang sangat berguna
sehingga penelitian pada disertasi ini menjadi lebih baik.
Para dosen pemberi kuliah: Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K);
Prof. dr. Harun Rasyid Lubis. Sp.PD-KGH, SpPD-K; Dr. dr. Imam Budi Putra,
MHA, Sp.KK; Prof. Dr. dr. Nelva K. Jusuf, Sp.KK(K), FINSDV;
dr. Putri Chairani Eyanoer, Ms.Epi, Ph.D; Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM;
dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc; Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH;
Prof. Dr. Ir. Sumono, MS; Dr. Drs. A. Ridwan Siregar, SH, M.Lib;
Prof. Dr. Ir. Harmein Nasution, MSIE; Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, SpPK(K);
Prof. Dr. dr. Hadyanto Lim, M.Kes, SpFK, atas ilmu dan bimbingan yang diberikan
selama penulis mengikuti pendidikan S3 ini. Serta mengucapkan
terima kasih kepada Prof. dr. Amri Amir, SpF(K), DMF, SH., SpAk;
dr. Alwi Thamrin Nasution, Sp.PD-KGH. dan dr. Abdi Kurniawan Purba, SpAk.
yang telah menyediakan waktu untuk berdiskusi dari awal penelitian hingga
pelaksanaan penelitian ini.
Ketua Komisi Etik Penelitian dan Kesehatan Fakultas Kedokteran dan
RSUP. H. Adam Malik Medan, Prof. Sutomo Kasiman, SpPD., SpJP(K) dan seluruh
anggota atas Persetujuan Komisi Etik tantang Pelaksanaan Penelitian Kesehatan yang
diberikan sehingga penulis dapat memulai penelitian ini.
Direktur Utama, para Direktur dan Kepala instalasi Penelitian dan
Pengembangan RSUP H. Adam Malik Medan, Ibu Iing Yuliastuti, SKM. M.Kes.
berserta seluruh staf atas izin pelaksanaan penelitian di lingkungan
RSUP H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
viii
Kepala unit Hemodialisa lnstalasi Ginjal dan Hipertensi RSUP H. Adam Malik
Medan, dr. Syafrizal Nasution SpPD-KGH., serta ibu Suryati, S.Kep. Ners,
Raskita Menda, S. Kep. Ners., Kartika Haspitasari, S. Kep. Ners,
Veronica Boang Manalu, S. Kep. Ners, Aan Maydah, S. Kep. Ners, dan
Nciho Arbei Cordiaz Capah, S. Kep. Ners atas perhatian, bantuan dan kerjasama
yang luar biasa dalam pengambilan data penelitian.
Kepala Instalasi Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan, dr. Zulfikar lubis, Sp.PK(K). beserta staf dan kepada ibu Junita yang telah
menyediakan waktu untuk berdiskusi dan membantu pemeriksaan sampel darah
subjek penelitian.
Kepada guru-guru penulis di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
khususnya Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, DTM&H., Sp.A(K) Rahimahullah;
Prof. Dr. T. Bahri Anwar, SpJP(K); Prof. dr. Jasmeiny Yazir;
Prof. dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp. JP(K); Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K);
Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A(K), Prof. dr. Abdul Madjid, SpPD-KKV, AIF;
Alm. Prof. Dr. dr. HSRP. Sinaga; dr. Murniati Manik, Sp.KK., Sp.GK. dan
dr. Halomoan Hutagalung yang tak pernah bosan memberikan nasihat, motivasi dan
dukungan kepada penulis sejak diterima sebagai staf pengajar pada Departemen
Fisiologi FK USU dan untuk menyelesaikan pendidikan, mencapai jenjang akademik
tertinggi ini, semoga Allah selalu melimpahkan kasih dan sayangNya.
Ketua Departemen Fisiologi FK USU, dr. Eka Roina Megawati, M.Kes.
dan Sekertaris, dr. Maya Savira, M.Kes. sahabat-sahabat penulis,
dr. Nuraiza Meutia, M.Biomed, PhD; Dr. dr. Yetti Machrina, M.Kes;
dr. Milahayati Daulay, M.Kes; dr. M. Azhari, dr. Yudi Herlambang, dan
Universitas Sumatera Utara
ix
dr. Selly Azmelia, Sp.M serta bapak Sutiono, Rahmadhani Banurea, S.Si, M.Si;
Fatmawati atas segala dukungan, perhatian, dan kerjasama selama ini.
Tenaga administrasi program studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran FK USU, Petty
Angelia H, SS; Devi Andani, S.Kom; Erna Kusuma, Desyani Miranti Purba, Rizky
Kurniawan Ritonga dan Nabilah yang telah banyak memberikan bantuan dan
dukungan, serta kepada seluruh peserta program studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran
FK USU dan semua sahabat yang telah memberi dukungan dalam proses pendidikan
ini.
Kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Sofyan Rahimahullah dan ibunda T.
Anita Noor Rahimahullah yang telah membesarkan, mendidik, dan
mendoakan dengan penuh kasih sayang demikian pula mertua penulis
Prof. dr. Aman Nasution, MPH. dan dr. Farida Auskarani Rahimahullah,
atas segala perhatian dan ketauladanan yang diberikan kepada penulis dan sebagai
ungkapan rasa syukur dan terima kasih maka penulis hanya mampu menyampaikan
doa semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahannya Aamiin.
Kepada istri penulis tercinta dr. Tetty Aman Nasution, M.Med.Sc., yang telah
mendampingi selama ini, penulis sampaikan terima kasih yang tidak terhingga atas
kepercayaan, kesabaran, kasih sayang, pengertian, dan doa yang terus menerus
diberikan kepada penulis hingga proses pendidikan doktor ini bisa penulis selesaikan,
dan kepada kedua ananda dr, M. Fikri Ardinata dan Syifadiani Ardinata, terima kasih
untuk pengertian dan doa yang diberikan. Semoga apa yang telah dan akan ayahanda
lakukan akan memberikan tauladan bagi ananda berdua.
Universitas Sumatera Utara
x
Akhir kata, semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan bermanfaat bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat
Indonesia dan pada umat manusia.
Medan, 26 April 2021
Penulis
Dedi Ardinata
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Dedi Ardinata 2. Tempat/tanggal lahir : TB. Karimun (Kep.Riau)/ 27 Desember 1968 3. Agama : Islam 4. NIP : 196812271998021002 5. Pangkat/Golongan : Lektor Kepala, Pembina/IVa 6. Pekerjaan : Dosen Departemen Fisiologi FKUSU 7. Alamat : Jl. Pendidikan no. 96, Tegal Rejo, Medan 8. No. telepon/HP : 08116362927 9. Email : [email protected] 10. Alamat kantor : Jl. Dr. Mansur no. 5 P. Bulan, Medan
II. KELUARGA Istri : dr. Tetty Aman Nasution, M.Med.Sc Anak : dr. Muhammad Fikri Ardinata : Syifadiani Ardinata
III. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD : Bhayangkari, Medan 1981 2. SMP : Bhayangkari, Medan 1984 3. SMA : Negeri 7, Yogyakarta 1987 4. Sarjana Kedokteran : Fakultas Kedokteran USU, Medan 1992 5. Profesi Dokter : Fakultas Kedokteran USU, Medan 1994 6. Magister Biomedik : Pascasarjana USU, Medan 2002
IV RIWAYAT PELATIHAN
1. Penelitian Biomedis & Reproduksi Manusia, BKKBN-PPKRM FKUSU, Medan
1999
2. Metodologi Penelitian, Lembaga Penelitian USU, Medan 2001 3. Manajemen dan Desiminasi Informasi Kesehatan dengan
Menggunakan Web-Based CDS/ISIS, Badan LITBANGKES DEPKES RI, Jakarta
2002
4. Pre-congress workshop : “Use of ICT in Teaching and Learning of Physiology and Life Science”, Faculty of Medicine, University Malaya (UM), Kuala Lumpur, Malaysia
2002
Universitas Sumatera Utara
xii
5. Pre-congress workshop : “Problem-based Learning : Processes and Assessment in PBL”, Faculty of Medicine, University Malaya (UM), Kuala Lumpur, Malaysia
2002
6. Telaah Kritis (Critical Appraisal) Makalah Hasil Penelitian Kedokteran/Kesehatan berorientasi pada Evidence-based Medicine (EBM), Unit Pengembangan Riset (UPR) FKUSU, Medan
2002
7. Implementasi Sistem Manajemen Mutu USU untuk Gugus Jaminan Mutu (GJM) & Gugus Kendali Mutu (GKM) USU
2007
8. Penyelenggaraan Praktik Kedokteran kepada Stakeholders, Konsil Kedokteran Indonesia, Medan
2007
9. Sertifikasi Auditor Penjaminan Mutu Sistem Manajemen Mutu Universitas Sumatera Utara
2007
10. Practical Obesity Management, FK_UI, Jakarta 2010 11. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Penyusunan Buku
Rencana pembelajaran dan Buku Blok Program Studi Ilmu Keperawatan, Berastagi
2012
12. Penggunaan Analisi Medan Kekuatan (Force Fiels Analysis) Sebagai Instrumen Pengambilan Keputusan Dalam Perbaikan Mutu Berkelanjutan (Quality Continuous Improvement) SMM USU Untuk GJM dan GKM Siklus Siklus 5 Periode Februari-Juni 2012
2012
13. Workshop “Menopause and Aging”, Medan 2013 14. Workshop Nasional Penguji Uji Kompetensi-OSCE, Medan 2014 15. Shortcourse Akupuntur Dasar, Medan 2015 16. Seminar dan Workshop ANTI AGING, Medan 2015 17. Kursus Good Clinical Practice (GCP) online
https://gcp.nidatraining.org. 2018
IV. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Kepala Kesehatan Perusahaan PT. Riau Andalan Pulp Paper/P. Kerinci, Riau
1994-1995
2. Dokter Puskesmas Marike, Dinas Kesehatan Kab. Langkat
1995-1998
3. Dosen Fisologi Dep. Fisiologi FKUSU 1998-sakarang 4. Editor Buku Panduan
Prog. Pend. Dokter FKUSU/Medan 1999–2005
5. Direktur RSU. Siti Hajar Medan 2000-2001 6. Redaksi Pelaksana
Majalah Kedokteran Nusantara FKUSU/Medan 2000–2004
7. Sekretaris Bagian Fisiologi FKUSU/Medan 2000–2005 8. Sekretaris Unit Pengembangan
Riset (UPR) FKUSU/Medan 2001–2003
9. Koord. Bid. Pend. Prog. Kelas Internasional/Mandiri
FKUSU/Medan 2002–2005
10. Sekretaris Komisi FKUSU/Medan 2003–2004
Universitas Sumatera Utara
xiii
Pengembangan Lab. Preklinik 11. Anggota Badan Pekerja
PT-BHMN USU USU/Medan 2004–2005
12. Wakil Pimpinan Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara
FKUSU/Medan 2004–2006
13. Anggota Koord. Kepaniteraan Klinik Senior
FKUSU/Medan 2004–2006
14. Anggota Koord. Program Pendidikan Profesi Dokter
FKUSU/Medan 2007–2010
15. Pembantu Dekan III (Kemahasiswaan dan Alumni)
FKUSU/Medan 2005–2007
16. Pembantu Dekan III (Kemahasiswaan dan Alumni)
FKUSU/Medan 2007–2009
17. Anggota Senat USU 2009-2016 18. Dekan F. Kep.USU/Medan 2009–2010 19. Dekan F. Kep.USU/Medan 2010–2016 20. Reviewer Open Access
Macedonian Journal of Medical Sciences
https://www.id-press.eu/mjms/
2019-sekarang
V. RIWAYAT ORGANISASI
1. Ikatan Ahli Ilmu Faal/Fisiologi Indonesia (IAIFI) Cabang Medan, Medan 2. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Medan 3. 4.
Perhimpunan Dokter Pengembang Kesehatan Tradisional Timur (PDPKT), Medan Federation of the Asian and Oceanian Physiological Societies
VI. RIWAYAT PUBLIKASI ILMIAH
1. Perbandingan Hasil Uji Toleransi Glukosa Oral Pada Pria Terlatih dengan Tidak Terlatih.
Majalah Kedokteran Nusantara Vol .36, No.4 Sept. 2003
2. Pengaruh Latihan Aerobik Terhadap Ambilan Oksigen Maksimum (VO2max) Pada Fase-Fase Menstruasi Wanita Usia 18-24 Tahun yang Tidak Terlatih.
Majalah Kedokteran Nusantara Vol .37, No.5 Des. 2004
4. Multidimensional Nyeri Jurnal Keperwatan Rufaidah Vol. 2. No. 2, November 2007
5. Perubahan Kadar Glukosa darah Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 yang terkontrol setelah mengkonsumsi Kurma
Majalah Kedokteran Nusantara Vol .41, No.1 Maret. 2008
6. Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang terhadap Hitung Lekosit dan Hitung Jenis Lekosit pada Orang Tidak Terlatih
Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 41 No. 4 y Desember 2008
7. Efek Monosodium Glutamat terhadap Fungsi Reproduksi
Jurnal Keperwatan Rufaidah Vol. 3. No. 1, November 2009
Universitas Sumatera Utara
xiv
8. Kesiapsiagaan Petugas Kesehatan dan Masyarakat dalam Menanggulangi Bencana
Jurnal Keperwatan Rufaidah Vol. 3. No. 2, November 2009
9. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan Pasien hemodialisis di RSUD. dr. Pirngadi medan
Idea Nursing Journal Vol. VI No. 3, 2015
10. Student perception of interprofessional education application at the Health Sciences University of Sumatera Utara
Enferm Clin. 2017;27 (Suppl. Part I):236-239
11. Effects of red ginger capsule supplementin reducing PGF2α concentrations and pain intensity in primary dysmenorrhea
Earth and Environmental Science 125 (2018) 012193
12. The influence of mutation gene rpoB of Mycobacterium tuberculosis cluster I (507-534) on the elimination 25-desacetyl rifampicin in urine of tuberculosis subjects
Earth and Environmental Science, 125 (2018), 012146
13. Association of ACTN-3 Gen Polymorphism (R577X) and Muscle Explosion in Soccer School Students in Medan
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 30, No. 2, 2018, pp. 121-126
14. The Effect of pncA Gene Mutation of Mycobacterium Tuberculosis to Transaminase and Uric Acid Serum in MDR TB Patient
Jurnal Respirologi Indonesia. 2018; 38: 150-7
15. Teamwork among health sciences student in Universitas Sumatera Utara which exposed in interprofessional education (IPE) learning
Journal of Physics. 2019: Conf. Ser. 1317 012212
16. Correlation of hypoxia-inducible factor-1α level with control glycemic in type 2 mellitus patients with malignancy and without malignancy
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 2020, 8(B), pp. 408–413
17. Relationship between plasma hypoxia inducible factor 1α in type 2 diabetes mellitus with malignancy and without malignancy
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 2020, 8, pp. 602–605
18.
The effect of health education on control glycemic at type 2 diabetes mellitus patients
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 2020, 8(E), pp. 133–137
19. Interleukin-31 Serum And Pruritus Dimension After Acupuncture Treatment In Hemodialysis Patients: A Randomized Clinical Trial
Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. 2021, 9(B):pp 1-6.
VII. PENGHARGAAN DAN TANDA JASA
1. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Piagam 2010
2. Presiden Republik Indonesia Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya
2015
Universitas Sumatera Utara
xv
LEMBAR PENGESAHAN ORISINALITAS
PERNYATAAN
Perubahan Kadar Interleukin-2 dan Interleukin-31 Serum Sesudah Tindakan Akupunktur pada LI11 Quchi
dan Korelasinya dengan Perubahan Skala Pruritus pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis
Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya
penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan
ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini
bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang
dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 26 April 2021
Dedi Ardinata
Materai 6000
Universitas Sumatera Utara
xvi
SUMMARY
Chronic kidney disease (CKD) patients who undergo hemodialysis show a tendency to experience pruritus with varying prevalence. Some of the largest global cross-sectional studies report Chronic kidney disease–associated pruritus (CKD-aP) undergoing hemodialysis (HD), significantly affecting patients' quality of life, causing sleep disturbances, depressive symptoms and a higher risk of death than those without pruritus. The pathogenesis of CKD-aP is still not fully understood and related to this, at least four hypotheses have been proposed, namely: dermatological disorders, disorders of the immune system resulting in an increased pro-inflammatory state, imbalance of the opioidergic endogenous system, and neuropathic mechanisms. Several other hypotheses such as the xerosis hypothesis, hyperparathyroidism, histamine release, opioid imbalance, uremic toxin, peripheral neuropathy, and immune-mediated, are fundamental to the treatment of pruritus. The systemic microinflammation that causes CKD-aP is based on enhancement T helper (Th) -1, C-reactive protein (CRP), Interleukin (IL) -6, IL-10, IL-2, Tumor Necrotic Factor (TNF) α. In addition, the response imbalance between Th-1 cells that are higher than Th-2 cells such as increased CRP, IL-6, and IL-31 are also shown to play a role, as is the increase in Mast cells that release histamine. Factors such as high creatinine levels and low hemoglobin levels also increase the risk of pruritus. Similarly, dyslipidemia, obesity, and higher levels of CRP were associated with higher pruritus intensity, whereas use of high-flux dialysers was associated with lower pruritus intensity. Factors such as age, gender, ethnicity (ethnicity) and length of undergoing HD were also associated with the occurrence of pruritus in HD patients. Pruritogenic pro-inflammatory cytokine IL-2 which is activated by T lymphocytes is found in the appearance of generalized redness and pruritus in the body after administration of high doses of recombinant IL-2 in cancer treatment, and intradermal injection of IL-2, was found to induce pruritus as well as in psoriasis. In addition, it was also reported that IL-2 levels were significantly higher in patients undergoing HD with pruritus than in patients undergoing HD without pruritus. Pruritogenic anti-inflammatory cytokine IL-31 which is mainly produced by Th-2 cells also acts as a pruritogenic, because after intradermal injection of IL-31, pruritus appears. Likewise in atopic dermatitis, T-cell skin lymphoma, urticaria, psoriasis, and allergic rhinitis. Serum IL-31 levels were significantly higher in patients undergoing HD with pruritus symptoms, and there was a positive exposure-response relationship between serum IL-31 levels and the intensity of pruritus. Dialysis techniques, topical therapy (emollient, aromatherapy, capcaisin cream, tacrolimus, gamma linolenic acid ointment), ultraviolet irradiation, rubdown with japanese dry towels, and systemic therapies such as: µ-opioid receptor antagonists (naltrexone), κ-opioid receptor agonists (nalfurafine, butorphanol), thalidomide,
Universitas Sumatera Utara
xvii
pentoxyfilline, and gabapentin are therapies given to treat pruritus in CKD patients undergoing HD. However, the use of local therapy has side effects on the skin in the form of: burning sensation and redness, whereas in systemic therapy there are: somnolence, difficulty sleeping, constipation, headache, nausea, and heartburn. These side effects may be caused by a decrease in the renal clearance mechanism for drugs and their metabolites. The way acupuncture produces anti-inflammatory effects is by affecting the Th-1 and Th-2 balance. The balance of Th-1 and Th-2 is influenced by the secretion of β endorphins that occur as a result of acupuncture. The anti-inflammatory effect of acupuncture also occurs through inhibition of cytokine synthesis pro-inflammation by acetylcholine adhering to the α7nicotinic acetylcholine receptors of macrophage cells. The anti-inflammatory effect of acupuncture is comparable to that of dexamethasone in lowering proinflammatory cytokine levels without affecting anti-inflammatory cytokine levels. However, the results of other studies suggest that acupuncture can increase levels of anti-inflammatory cytokines without decreasing pro-inflammatory cytokines. The results of previous systemic studies showed that acupuncture had a beneficial effect on CKD-aP who underwent HD. Stimulation of acupuncture points on the large intestine11 (LI11) Quchi and stomach36 (ST36) Zusanli, yielding an effective rate of up to 97%. Stimulation of the LI11 Quchi single acupuncture point for 1 hour, 3 times a week for 1 month, significantly reduced the pruritus score and is an easy and safe treatment for CKD-aP patients undergoing HD, as well as the stimulation of the LI11 Quchi single acupuncture point for 1 hour, Twice a week, 12 times, significantly reduced the pruritus scale in CKD-aP who underwent HD. In addition, other research states that the ability to reduce pruritus resulting from acupuncture, The results of previous studies that have been stated previously stated that there was a positive relationship between IL-2 levels and serum IL-31 levels with the severity of CKD-aP. On the other hand it is stated that acupuncture acts proven to improve the pruritus of patients undergoing HD, but the results of previous studies have not shown changes in levels of IL-2 andserum IL-31 levels after acupuncture were associated with improved pruritus in patients undergoing HD. This research is a purely experimental study by design pretest-posttest followed by a difference test between the two groups, single-blindly randomized to determine changes in serum IL-2 levels and serum IL-31 levels, and their correlation with changes in the pruritus scale between subjects given acupuncture (acupuncture group) and subjects given acupuncture placebo (placebo group) as a control CKD-aP subjects undergoing HD. Sixty subjects who had met the acceptance criteria and did not meet the refusal criteria started the study by taking the sample consecutively, and were randomized into two groups with the help of the online application at https://www.randomizer.org/. 30 subjects in the acupuncture group, and 30 subjects as the placebo group. Each subject in the acupuncture group was given a sterile, sterile, single-use needle stick, and a stainless-steel needle (0.25 mm diameter and 25 mm long, Bai Yi Mei®) perpendicular to the surface of the skin as deep as 1-1.5 cm at the point. LI11 Quchi, adjacent to the needle insertion in the HD procedure and left for 1 hour. Whereas each subject in the placebo group was given a sterile, single-use, and stainless-steel needle attachment (0.25 mm diameter and 25 mm
Universitas Sumatera Utara
xviii
long, Bai Yi Mei®) with the aid of a plaster at point LI11 Quchi and left for 1 hour. Acupuncture and placebo acupuncture measures are given 2 times a week for 6 weeks, Data on age, sex, ethnicity, body mass index after HD, main disease, creatinine levels, Hb levels, CRP, length of time on HD, urea reduction ratio (URR), serum IL-2 levels, serum IL-31 levels, and scale. pruritus, taken prior to acupuncture and acupuncture placebo measures. Then data on serum IL-2 levels, serum IL-31 levels, and pruritus scales, were taken again after 6 weeks of acupuncture and placebo acupuncture, and 4 weeks of evaluation (without acupuncture and placebo acupuncture).
Age, sex, ethnicity, body mass index after HD, the main disease, creatinine levels, Hb levels, CRP, length of undergoing HD, and urea reduction ratio (URR) are characteristics of the subjects that affect pruritus. The statistical test comparing the subject characteristics between the acupuncture group and the placebo group showed that there was no significant difference between the two groups (p> 0.05). This condition proves that the two study groups are matched pairs in influencing pruritus.
Examination of serum IL-2 and IL-31 levels is only used for research purposes and not for routine examinations in the laboratory where until now there has been no established normal values for serum IL-2 and IL-31 levels. Besides that, sometimes the use of placebo acupuncture in acupuncture research has an effect on the variables studied (pruritus) which is a limitation of this study. The results of this study indicate:
1. There was significant decrease in serum IL-2 levels, after 6 weeks of acupuncture LI11 Quchi compared to placebo acupuncture which then increased not significantly, after 4 weeks of evaluation.
2. There was not significant decrease in serum IL-31 levels, after 6 weeks of acupuncture LI11 Quchi compared to placebo acupuncture which then increased insignificantly, after 4 weeks of evaluation.
3. There was significant decrease in the scale of pruritus, after 6 weeks of acupuncture action LI11 Quchi compared to placebo acupuncture which then increased significantly, after 4 weeks of evaluation.
4. There was positive relationship between serum IL-2 levels and pruritus scale with was a significant and weak, after 6 weeks of acupuncture LI11 Quchi, and positive relationship that was not significant and very weak, after 4 weeks of evaluation.
5. There was positive relationship between serum IL-31 levels and pruritus scale with was not significant and very weak, after 6 weeks of acupuncture LI11 Quchi, and negative relationship, which was not significant and weak, after 4 weeks of evaluation.
6. Side effects of acupuncture LI11 Quchi: pain with VAS 2.15 in the acupuncture needle insertion area and bleeding at least 2.50% after acupuncture needle removal.
Universitas Sumatera Utara
xix
This research proves that the action of acupuncture LI11 Quchi reduces serum IL-2 levels, and was also positive associated with reduction in the pruritus scale significantly, but weak, so it is necessary to carry out further study regarding:
1. Effect of acupuncture LI11 Quchi on CD4+ Th1 and CD8+ as cells that produce IL-2 in CKD-aP subjects undergoing HD.
2. Effect of acupuncture LI11 Quchi on u and κ-opioid receptors and neuropathy in CKD-aP subjects undergoing HD.
3. Effect of acupuncture LI11 Quchi on serum IL-2 levels and TNFα in CKD-aP subjects undergoing HD.
In addition, this study also proves that the acupuncture LI11 Quchi does not significantly reduce serum IL-31 levels, so it is necessary to carry out further study with regard to:
Effect of acupuncture on LI11 Quchi along with several other acupuncture points on serum IL-31 levels and their relationship to the pruritus scale in patients undergoing HD.
Based on the results of this study it was proven that acupuncture in LI11 Quchi can be applied as an effective and safe palliative pruritus therapy in CKD-aP patients undergoing HD.
Universitas Sumatera Utara
xx
RINGKASAN
Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) yang menjalani hemodialisis menunjukkan kecenderungan mengalami pruritus dengan prevalensi yang bervariasi. Beberapa penelitian cross-sectional global terbesar melaporkan pruritus terkait dengan penyakit ginjal kronis (Pt-PGK) yang menjalani hemodialisis (HD), secara signifikan memengaruhi kualitas hidup pasien, menyebabkan gangguan tidur, gejala depresi dan risiko kematian lebih tinggi dari yang tidak mengalami pruritus. Patogenesis Pt-PGK masih belum sepenuhnya diketahui dan berkaitan dengan hal ini, setidaknya ada empat hipotesis yang telah diajukan yaitu: kelainan dermatologi, gangguan sistem imun tubuh yang mengakibatkan keadaan peningkatan pro-inflamasi, ketidakseimbangan sistem endogen opioidergik, dan mekanisme neuropatik. Beberapa hipotesis lain seperti hipotesis xerosis, hyperparathyroidism, pengelepasan histamin, opioid imbalance, uremic toxin, peripheral neuropathy, dan immune-mediated, menjadi dasar dalam pengobatan pruritus. Mikroinflamasi sistemik penyebab Pt-PGK didasarkan pada peningkatan T helper (Th)-1, C-reactive protein (CRP), Interleukin (IL)-6, IL-10, IL-2, Tumor Necrotic Factor (TNF)α. Selain itu, ketidakseimbangan respon antara sel Th-1 yang lebih tinggi dari sel Th-2 seperti peningkatan CRP, IL-6, dan IL-31 dinyatakan juga ikut berperan, demikian pula dengan peningkatan sel Mast yang melepas histamin. Faktor-faktor seperti kadar kreatinin yang tinggi dan kadar hemoglobin yang rendah juga meningkatkan risiko pruritus. Demikian pula dengan kondisi dislipidemia, obesitas, dan kadar CRP yang lebih tinggi dikaitkan dengan intensitas pruritus yang lebih tinggi, sedangkan penggunaan dialiser high-flux dikaitkan dengan intensitas pruritus yang lebih rendah. Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, etnik (suku) serta lama menjalani HD juga dihubungkan dengan terjadinya pruritus pada pasien HD. Pruritogenik sitokin pro-inflamasi IL-2 yang diaktivasi oleh sel-sel T limfosit dijumpai pada munculnya kemerahan dan pruritus menyeluruh pada tubuh sesudah pemberian rekombinan IL-2 dosis tinggi pada pengobatan kanker, dan penyuntikan intradermal IL-2, ternyata menginduksi pruritus demikian pula halnya pada psoriasis. Disamping itu, dilaporkan pula bahwa kadar IL-2 lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang menjalani HD dengan pruritus dibanding pasien HD tanpa pruritus. Pruritogenik sitokin anti-inflamasi IL-31 yang terutama dihasilkan oleh sel-sel Th-2 juga berperan sebagai pruritogenik, karena sesudah penyuntikan intradermal IL-31, muncul pruritus. Demikian pula pada dermatitis atopik, T-cell limfoma kulit, urtikaria, psoriasis, dan rinitis alergi. Kadar IL-31 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang menjalani HD dengan gejala pruritus, dan adanya hubungan positif paparan-respons antara kadar IL-31 serum dengan intensitas pruritus. Teknik dialisis, terapi topikal (emolien, aromaterapi, krim capcaisin, tacrolimus, gamma linolenic acid ointment), irradiasi ultraviolet, rubdown with japanese dry towels, dan terapi sistemik seperti: antagonis reseptor µ-Opioid (naltrexone), agonis reseptor κ-Opioid (nalfurafine, butorphanol), thalidomide, pentoxyfilline, dan
Universitas Sumatera Utara
xxi
gabapentin merupakan terapi yang diberikan untuk mengatasi pruritus pada pasien PGK yang menjalani HD. Namun penggunaan terapi lokal memiliki efek samping pada kulit berupa: rasa terbakar, rasa pedas/panas, dan memerah, sedangkan pada terapi sistemik terjadi: somnolence, sulit tidur, konstipasi, nyeri kepala, mual, dan nyeri ulu hati. Efek samping ini kemungkinan ditimbulkan oleh penurunan mekanisme bersihan ginjal (renal clearance) terhadap obat-obatan dan metabolitnya, sehingga diperlukan pilihan terapi lain yang memiliki efek samping lebih ringan untuk mengatasi pruritus, seperti akupunktur. Cara kerja akupunktur menghasilkan efek anti-inflamasi adalah dengan memengaruhi keseimbangan Th-1 dan Th-2. Keseimbangan Th-1 dan Th-2 dipengaruhi oleh sekresi β endorfin yang terjadi akibat tindakan akupunktur. Efek anti-inflamasi akupunktur juga terjadi melalui penghambatan sintesis sitokin pro-inflamasi oleh asetilkolin yang menempel pada reseptor α7nikotinikasetilkolin sel makrofag. Efek anti-inflamasi akupunktur sebanding dengan dexamethasone dalam menurunkan kadar sitokin pro-inflamasi tanpa memengaruhi kadar sitokin anti-inflamasi. Namun hasil penelitian lain menyatakan bahwa akupunktur dapat meningkatkan kadar sitokin anti-inflamasi tanpa menurunkan sitokin pro-inflamasi. Hasil dari kajian sistemik terdahulu menunjukkan bahwa akupunktur mempunyai pangaruh yang menguntungkan terhadap Pt-PGK yang menjalani HD. Perangsangan titik akupunktur pada large intestine11 (LI11) Quchi dan stomach36 (ST36) Zusanli, menghasilkan angka efektifitas mencapai 97%. Perangsangan titik akupunktur LI11 Quchi tunggal selama 1 jam, 3 kali seminggu selama 1 bulan, mengurangi skor pruritus secara signifikan dan merupakan tindakan yang mudah dan aman terhadap pasien Pt-PGK yang menjalani HD, demikian pula perangsangan titik akupunktur LI11 Quchi tunggal selama 1 jam, 2 kali seminggu, sebanyak 12 kali, berhasil mengurangi skala pruritus secara signifikan pada Pt-PGK yang menjalani HD. Disamping itu, penelitian lain menyatakan bahwa kemampuan mengurangi pruritus yang dihasilkan dari tindakan akupunktur, dapat bertahan selama 8 minggu pada pasien HD. Hasil penelitian terdahulu yang telah dikemukakan sebelumnya, menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum dengan keparahan Pt-PGK. Di sisi lain dinyatakan bahwa tindakan akupunktur terbukti memperbaiki keadaan pruritus pasien yang menjalani HD, tetapi hasil penelitian terdahulu belum mengemukakan perubahan kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum sesudah tindakan akupunktur yang dihubungkan dengan perbaikan keadaan pruritus pasien yang menjalani HD. Penelitian ini merupakan studi eksperimental murni dengan desain pretest-posttest dilanjutkan dengan test perbedaan antar kedua kelompok, tersamar tunggal dengan randomisasi untuk mengetahui perubahan kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum, serta korelasinya dengan perubahan skala pruritus antara subjek yang diberikan tindakan akupunktur (kelompok akupunktur) dengan subjek yang diberi tindakan akupunktur plasebo (kelompok plasebo) sebagai kontrol pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD. Enam puluh subjek yang telah memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhi kriteria penolakan memulai penelitian dengan pengambilan sampel secara konsekutif, dan diacak menjadi dua kelompok dengan bantuan aplikasi online di https://www.randomizer.org/. 30 subjek pada kelompok akupunktur, dan 30 subjek
Universitas Sumatera Utara
xxii
sebagai kelompok plasebo. Setiap subjek pada kelompok akupunktur diberi penusukan jarum steril, steril, sekali pakai, dan jarum baja tahan karat (diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) tegak lurus pada permukaan kulit sedalam 1-1,5 cm pada titik LI11 Quchi, yang berdekatan dengan penusukan jarum pada prosedur HD dan dibiarkan selama 1 jam. Sedangkan pada setiap subjek pada kelompok plasebo, diberi tindakan penempelan jarum steril, sekali pakai, dan jarum baja tahan karat (diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) dengan bantuan plester pada titik LI11 Quchi dan dibiarkan selama 1 jam. Tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo diberikan 2 kali seminggu selama 6 minggu, kemudian dilakukan penilaian terhadap efek samping pada setiap subjek pada kelompok akupunktur dan kelompok plasebo. Data karakteristik usia, jenis kelamin, suku, indeks masa tubuh sesudah HD, penyakit utama, kadar kreatinin, kadar Hb, CRP, lama menjalani HD, urea reduction ratio (URR), kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum, dan skala pruritus, diambil sebelum tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo. Kemudian data kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum, dan skala pruritus, diambil lagi setelah 6 minggu tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo, serta 4 minggu evaluasi (tanpa tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo).
Usia, jenis kelamin, suku, indeks masa tubuh sesudah HD, penyakit utama, kadar kreatinin, kadar Hb, CRP, lama menjalani HD, dan urea reduction ratio (URR) merupakan karakteristik subjek yang memengaruhi pruritus. Uji statistik yang membandingkan karakteristik subjek antara kelompok akupunktur dengan kelompok plasebo menunjukkan adanya perbedaan diantara kedua kelompok yang tidak signifikan (p>0,05). Kondisi ini membuktikan bahwa kedua kelompok penelitian tersebut merupakan kelompok yang matched pairs dalam memengaruhi pruritus.
Pemeriksaan kadar IL-2 dan IL-31 serum hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan bukan untuk pemeriksaan rutin di laboratorium yang hingga saat ini belum ada ketetapan nilai normal kadar IL-2 dan IL-31 serum. Disamping itu adakalanya penggunaan akupuktur plasebo pada penelitian akupunktur memberikan pengaruh terhadap variabel yang diteliti (pruritus) merupakan keterbatasan penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan:
1. Terdapat penurunan kadar IL-2 serum yang signifikan, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo yang kemudian meningkat tidak signifikan, sesudah 4 minggu evaluasi.
2. Terdapat penurunan kadar IL-31 serum yang tidak signifikan, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo yang kemudian meningkat tidak signifikan, sesudah 4 minggu evaluasi.
3. Terdapat penurunan skala pruritus yang signifikan, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo yang kemudian meningkat signifikan, sesudah 4 minggu evaluasi.
4. Terdapat hubungan positif antara kadar IL-2 serum dengan skala pruritus yang signifikan tetapi lemah, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi, dan hubungan positif yang tidak signifikan dan sangat lemah, sesudah 4 minggu evaluasi.
Universitas Sumatera Utara
xxiii
5. Terdapat hubungan positif, antara kadar IL-31 serum dengan skala pruritus yang tidak signifikan dan sangat lemah, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi, dan hubungan negatif, yang tidak signifikan dan lemah, sesudah 4 minggu evaluasi.
6. Efek samping tindakan akupunktur LI11 Quchi: rasa nyeri dengan VAS 2,15 pada daerah penusukan jarum akupunktur dan perdarahan minimal 2,50 % setelah pencabutan jarum akupunktur.
Penelitian ini membuktikan tindakan akupunktur LI11 Quchi menurunkan kadar IL-2 serum, dan juga berhubungan dengan penurunan skala pruritus secara signifikan, positif, tetapi lemah, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berkenaan dengan:
1. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap CD4+ Th1 dan CD8+ sebagai sel-sel yang menghasilkan IL-2 pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
2. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap reseptor u dan κ-opioid dan neuropati pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
3. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap kadar IL-2 serum dan TNFα pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
Disamping itu penelitian ini juga membuktikan tindakan akupunktur LI11 Quchi menurunkan kadar IL-31 serum secara tidak signifikan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berkenaan dengan:
Pengaruh tindakan akupunktur pada LI11 Quchi bersama beberapa titik akupunktur lain terhadap kadar IL-31 serum dan hubungannya terhadap skala pruritus pada pasien yang menjalani HD.
Berdasarkan hasil penelitian ini dibuktikan bahwa tindakan akupunktur pada LI11 Quchi dapat diaplikasikan sebagai terapi paliatif pruritus yang efektif dan aman pada pasien Pt-PGK menjalani HD.
Universitas Sumatera Utara
xxiv
ABSTRACT
Background: Serum interleukin 2 (IL-2) and interleukin 31 (IL-31) levels were significantly higher in patients undergoing hemodialysis with pruritus than without pruritus, whereas acupuncture has been shown to reduce pruritus. Changes in serum IL-2 and IL-31 levels correlated with pruritus after acupuncture in patients undergoing hemodialysis have never been known. Objective: to prove changes in serum IL-2 and IL-31 levels, which were correlated with the pruritusscale after acupuncture in patients undergoing hemodialysis. Method: true experimental with a pretest-posttest design followed by a test of differences between the intervention and control groups, single disguised with randomization carried out from July 2018 to November 2018 at H. Adam Malik General Hospital, Medan. Sixty patients met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria study subjects with consecutive sampling and randomly divided into two groups: one group received acupuncture on LI11 Quchi (acupuncture group) and others received placebo acupuncture (placebo group) as a control. Serum IL-2, IL-31 levels and pruritus scales were measured before and after six weeks of acupuncture and after four weeks of evaluation (without intervention) in both groups.. Results: There was a decrease in serum IL-2 levels and pruritus scale (p = 0.013 and p = 0.028), while the decrease in serum IL-31 levels was not significant (p = 0.931). There was a significant relationship between decreased serum IL-2 levels and decreased pruritus scale (p = 0.031; r = 0.278) after six weeks of acupuncture LI11 Quchi with side effects of pain (VAS 2.15) and minimal bleeding (2.50%). The increase in serum IL-2 levels and serum IL-31 levels was not significant (p = 0.658 and p = 0.974) after four weeks of evaluation. Conclusion: This study proved that the decrease in serum IL-2 levels was associated with a significant reduction in the pruritus scale, while the decrease in serum IL-31 levels was not significant after six weeks of acupuncture LI11 Quchi with minimal side effects. The increase in serum IL-2 leve and, serum IL-31 level was not significant after four weeks of evaluation. Keywords: Acupuncture LI11 Quchi, Interleukin 2, Interleukin 31, Pruritus, Hemodialysis
Universitas Sumatera Utara
xxv
ABSTRAK
Latar belakang: kadar interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 31 (IL-31) serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan pruritus dibandingkan tanpa pruritus, sedangkan tindakan akupunktur telah terbukti mengurangi pruritus. Perubahan kadar IL-2 dan IL-31 serum yang dikorelasikan dengan pruritus sesudah akupunktur pada pasien yang menjalani hemodialisis belum pernah diketahui. Tujuan: untuk membuktikan perubahan kadar IL-2 dan IL-31 serum yang dikorelasikan dengan skala pruritus sesudah akupunktur pada pasien menjalani hemodialisis. Metode: eksperimental murni dengan disain pretest-posttest dilanjutkan dengan test perbedaan antar kelompok intervensi dan kontrol, tersamar tunggal dengan randomisasi dilakukan selama Juli 2018 hingga November 2018 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan. Enam puluh pasien memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi menjadi subjek penelitian dengan konsekutif sampling dan secara acak dibagi menjadi dua kelompok: satu kelompok menerima akupunktur pada LI11 Quchi (kelompok akupunktur) dan yang lainnya menerima akupunktur plasebo (kelompok plasebo) sebagai kontrol. Kadar IL-2, IL-31 serum dan skala pruritus diukur sebelum dan sesudah enam minggu akupunktur dan sesudah empat minggu evaluasi (tanpa tindakan) pada kedua kelompok. Hasil: Terdapat penurunan kadar IL-2 serum dan skala pruritus (p=0,013 dan p=0,028), sedangkan penurunan kadar IL-31 serum tidak signifikan (p=0,931). Ada hubungan yang signifikan antara penurunan kadar IL-2 serum dengan penurunan skala pruritus (p=0,031; r=0,278) setelah enam minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dengan efek samping nyeri (VAS 2.15) dan perdarahan minimal (2.50%). Peningkatan kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum tidak signifikan (p=0,658 dan p=0,974), setelah empat minggu evaluasi.. Kesimpulan: Penelitian ini membuktikan penurunan kadar IL-2 serum berhubungan dengan penurunan skala pruritus secara signifikan, sedangkan penurunan kadar IL-31 serum tidak signifikan sesudah enam minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dengan efek samping minimal. Peningkatan kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum tidak signifikan sesudah empat minggu evaluasi
Kata kunci: Akupunktur, LI11 Quchi, Interleukin 2, Interleukin 31, Pruritus, Hemodialisis.
Universitas Sumatera Utara
xxvi
DAFTAR ISI LEMBAR PRASYARAT GELAR ........................................................................ i LEMBAR PROMOTOR DAN CO-PROMOTOR ............................................. ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii LEMBAR PENGUJI ............................................................................................ iv UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. xi LEMBAR PENGESAHAN ORISINALITAS ................................................... xv SUMMARY .......................................................................................................... xvi RINGKASAN ....................................................................................................... xx ABSTRACT ........................................................................................................ xxiv ABSTRAK .......................................................................................................... xxv DAFTAR ISI ..................................................................................................... xxvi DAFTAR TABEL .......................................................................................... xxviii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xxix DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xxx DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxxii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
1.5 Novelitas ............................................................................................ 9
1.6 Potensi Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) ................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10 2.1 Penyakit Ginjal Kronis (PGK) ........................................................... 10
2.2 Hemodialisis ...................................................................................... 15
2.3 Pruritus ............................................................................................... 19
2.4 Interleukin-2 ...................................................................................... 29
2.5 Interleukin-31 .................................................................................... 31
2.6 Akupunktur ........................................................................................ 33
2.7 Kerangka Teori .................................................................................. 44
2.8 Kerangka Konsep .............................................................................. 45
2.9 Hipotesis ............................................................................................ 45
2.9.1 Hipotesis mayor ..................................................................... 45
2.9.2 Hipotesis minor ...................................................................... 45
Universitas Sumatera Utara
xxvii
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 47 3.1 Desain Penelitian ............................................................................... 47
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 47
3.3 Populasi dan Subjek Penelitian .......................................................... 48
3.4 Kriteria Subjek Penelitian .................................................................. 48
3.5 Jumlah Subjek .................................................................................... 50
3.6 Alur Penelitian ................................................................................... 53
3.7 Variabel dan Definisi Operasional .................................................... 54
3.8 Cara Kerja Penelitian ......................................................................... 55
3.9 Analisis Data .................................................................................... 58
3.10 Etik Penelitian .................................................................................. 60
BAB IV HASIL ..................................................................................................... 61 4.1 Karakteristik Subjek .......................................................................... 64
4.2 Kadar Interleukin 2 Serum ................................................................ 66
4.3 Kadar Interleukin 31 Serum .............................................................. 68
4.4 Skala Pruritus ..................................................................................... 70
4.5 Hubungan Kadar IL-2 Serum dengan Skala Pruritus ........................ 72
4.6 Hubungan Kadar IL-31 Serum dengan Skala Pruritus ...................... 72
4.7 Efek Samping Akupunktur LI11 Quchi ............................................. 73
BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................... 74 5.1 Karakteristik Subjek .......................................................................... 74
5.2 Kadar Interleukin 2 Serum ................................................................ 75
5.3 Kadar Interleukin 31 Serum .............................................................. 78
5.4 Skala Pruritus ..................................................................................... 80
5.5 Hubungan Kadar IL-2 Serum dengan Skala Pruritus ........................ 84
5.6 Hubungan Kadar IL-31 Serum dengan Skala Pruritus ...................... 87
5.7 Efek Samping Akupunktur LI11 Quchi ............................................. 89
5.8 Kekuatan Penelitian ........................................................................... 90
5.9 Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 90
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 91 6.1 Simpulan ........................................................................................... 91
6.2 Saran ................................................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94 Lampiran .............................................................................................................. 116
Universitas Sumatera Utara
xxviii
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 4. 1 Uji normalitas data ........................................................................................... 63
Tabel 4. 2 Karakteristik subjek .......................................................................................... 64
Tabel 4. 3 Kadar IL-2 serum sebelum dan sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo ... 66
Tabel 4. 4 Kadar IL-2 serum sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi ............................ 67
Tabel 4. 5 Kadar IL-31serum sebelum dan sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo .. 68
Tabel 4. 6 Kadar IL-31serum sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi ........................... 69
Tabel 4. 7 Skala pruritus sebelum dan sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo .......... 70
Tabel 4. 8 Skala pruritus sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi ................................... 71
Tabel 4. 9 Hubungan kadar IL-2 serum dengan skala pruritus sesudah 6 minggu akupunktur
dan plasebo dan sesudah 4 minggu evaluasi ..................................................................... 72
Tabel 4. 10 Hubungan kadar IL-31 serum dengan skala pruritus sesudah 6 minggu
akupunktur dan plasebo dan sesudah 4 minggu evaluasi .................................................. 72
Tabel 4. 11 Efek samping akupunktur LI11 Quchi ........................................................... 73
Universitas Sumatera Utara
xxix
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 2. 1 Jalur pruritus dari kulit ke otak ......................................................... 20
Gambar 2. 2 Lokasi titik Akupunktur LI11 Quchi (Che-yi et al. 2005) ............... 39
Gambar 2. 3 Anatomi titik Akupunktur LI11 Quchi (Kim et al., 2015) ................ 41
Gambar 2. 3 Anatomi titik Akupunktur LI11 Quchi (Kim et al., 2015) ................ 42
Gambar 2. 4 Kerangka teori ................................................................................... 44
Gambar 2. 5 Kerangka Konsep .............................................................................. 45
Gambar 3. 1 Alur Penelitian .................................................................................. 53
Gambar 3. 2 Kelompok akupunktur ...................................................................... 57
Gambar 3. 3 Kelompok akupunktur plasebo ......................................................... 57
Universitas Sumatera Utara
xxx
DAFTAR SINGKATAN
1,25(OH)2D3 = 1,25-dihydroxyvitamin D 25(OH)D3 = 25-hydroxivitamin D APOL1 = Apolipoprotein L1 AQP3 = Aquaporin 3 CGRP = Calcitonin Gene-Related Peptide CRP = C-reactive protein ELISA = The enzyme-linked immunosorbent assay ESRD = End stage renal disease fMRI = functional Magnetic Resonance Imaging GABA = Gamma-aminobutyric acid GFR = Glumerulo filtration rate HD = Hemodialisis IFNγ = Interferon γ IFSI = The International Forum for the Study of Itch IL = Interleukin IL-2A0 = Rerata kadar IL-2 serum sebelum tindakan
akupunktur IL-2A1 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur IL-2A2 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 4 minggu
evaluasi (tanpa tindakan akupunktur) IL-2P0 = Rerata kadar IL-2 serum sebelum tindakan
akupunktur plasebo IL-2P1 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur plasebo IL-2P2 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 4 minggu
evaluasi (tanpa tindakan akupunktur plasebo) IL-2R = Interleukin-2 receptor IL-31A0 = Rerata kadar IL-31 serum sebelum tindakan
akupunktur IL-31A1 = Rerata kadar IL-31 serum sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur IL-31A2 = Rerata kadar IL-31 serum sesudah 4 minggu
evaluasi (tanpa tindakan akupunktur) IL-31P0 = Rerata kadar IL-2 serum sebelum tindakan
akupunktur plasebo IL-31P1 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur plasebo IL-31P2 = Rerata kadar IL-2 serum sesudah 4 minggu
evaluasi (tanpa tindakan akupunktur plasebo) IL-31R = Interleukin-31 Receptor IMT = Indeks masa tubuh ISS = Itch severity scale K/DOQI = Kidney Disease Outcomes Quality Initiative Kt/V = K - Dialyzer clearance of urea, t - dialysis time,
Universitas Sumatera Utara
xxxi
V - volume of distribution of urea. LI = Large Intestine NAU = Neural acupuncture unit NRS = Numeric rating scale PGK = Penyakit ginjal kronis Pt-PGK = Pruritus terkait penyakit ginjal kronis SP = Spleen (Limpa) SPA0 = Rerata skala pruritus sebelum tindakan
akupunktur SPA1 = Rerata skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan
akupunktur SPA2 = Rerata skala pruritus sesudah 4 minggu evaluasi
(tanpa tindakan akupunktur) SPP0 = Rerata skala pruritus sebelum tindakan
akupunktur plasebo SPP1 = Rerata skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan
akupunktur plasebo SPP2 = Rerata skala pruritus sesudah 4 minggu evaluasi
(tanpa tindakan akupunktur plasebo) ST = Stomach T = Thimus Th-1 = T helper-1 Th-2 = T helper-2 TNFα = Tumor necrotic factor α TRPA-1 = Transient receptor potential ankyrin 1 TRPV1 = Transient receptor potential vanilloid-1 VAS = Visual analog scale VIP = Vasoactive Intestinal Peptide VRS = Verbal rating scale
Universitas Sumatera Utara
xxxii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
Lampiran 1. Lembar Penjelasan dan informed consent Subjek Penelitian ......... 116
Lampiran 2. Borang Isian Subjek Penelitian ...................................................... 122
Lampiran 3. Penyaringan Subjek Penelitian ....................................................... 124
Lampiran 4. Kuesioner The itch 5-D scale (Elman at al., 2010) ........................ 125
Lampiran 5. Kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et al., 2018) .......... 126
Lampiran 6. Pemeriksaan IL-2 Serum ................................................................ 127
Lampiran 7. Pemeriksaan IL-31 Serum .............................................................. 130
Lampiran 8. Pemeriksaan Pruritus ...................................................................... 134
Lampiran 9. Pemeriksaan nyeri dengan VAS ..................................................... 137
Lampiran 10. Data Subjek Penelitian ................................................................. 139
Lampiran 11. Output SPSS ................................................................................ 143
Lampiran 12. Persetujuan Komisi Etik ............................................................... 153
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) yang menjalani hemodialisis menunjukkan
kecenderungan mengalami pruritus dengan prevalensi yang bervariasi. Di seluruh
dunia, prevalensi pruritus terkait dengan penyakit ginjal kronis (Pt-PGK) berkisar 10-
77% (Weisshaar, 2016), sedangkan Narita et al. (2008), menyatakan bahwa pruritus
terjadi pada 15-49% pasien dengan gagal ginjal kronis dan 50-90% pada pasien yang
menjalani dialisis. Selain itu, penelitian prospektif, longitudinal multisenter, yang
dilakukan oleh Itch National Registry Study pada 103 pasien yang menjalani
hemodialisis (HD), melaporkan bahwa pruritus terjadi pada 84% pasien
(Mathur et al., 2010). The Observational Dialysis Outcomes dan Practice Patterns
Study yang mengumpulkan data dari 29.000 pasien yang menjalani HD dari
12 negara menemukan bahwa 42% dari pasien yang menjalani HD, mengalami
pruritus sedang hingga ekstrim (60,3% pada pria), dan 45,4% diantara mereka
terbangun pada malam hari karena pruritus yang dialaminya (Pisoni et al., 2006).
Angka kejadian pruritus pasien HD di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan, diperoleh sebesar 70,5% (Riza, 2011), dan di Klinik Rasyida Medan,
prevalensi pruritus didapatkan sebesar 50% pada pasien HD reguler (Wahyuni,
2014).
Beberapa penelitian cross-sectional global terbesar melaporkan pruritus secara
signifikan memengaruhi kualitas hidup pasien HD, menyebabkan gangguan tidur,
gejala depresi dan risiko kematian 23% lebih tinggi dari yang tidak mengalami
Universitas Sumatera Utara
2
pruritus (Pisoni et al., 2006; Wikström, 2007; Tentori dan Mapes, 2010; Kimata et
al., 2014; dan Suseł et al., 2014).
Patogenesis Pt-PGK masih belum sepenuhnya diketahui. Berkaitan dengan hal
ini, setidaknya ada empat hipotesis yang telah diajukan yaitu:
kelainan dermatologi, gangguan sistem imun tubuh yang mengakibatkan keadaan
peningkatan pro-inflamasi, ketidakseimbangan sistem endogen opioidergik, dan
mekanisme neuropatik (Aucella dan Gesuete, 2009) sedangkan menurut
Mettang dan Weisshaar (2010) patofisiologi pruritus pada pasien HD merupakan
gabungan dari pruritogenik, neuropatik dan mikroinflamasi, tetapi lebih difokuskan
pada mikroinflamasi.
Beberapa hipotesis lain seperti hipotesis xerosis, hyperparathyroidism, histamin,
opioid imbalance, uremic toxin, peripheral neuropathy, dan hipotesis immune-
mediated, menjadi dasar dalam pengobatan pruritus
(Aramwit dan Supasyndh, 2015; Shirazian et al., 2017).
Mikroinflamasi sistemik penyebab Pt-PGK didasarkan pada peningkatan
T helper (Th)-1, C-reactive protein (CRP), Interleukin (IL)-6, IL-10, IL-2,
Tumor Necrotic Factor (TNF)α (Shirazian et al., 2017). Selain itu,
ketidakseimbangan respon antara sel Th-1 yang lebih tinggi dari sel Th-2 seperti
peningkatan CRP, peningkatan IL-6, IL-31 dinyatakan juga ikut berperan
(Amore dan Coppo, 2002; Mettang et al., 2002) dan demikian pula dengan
peningkatan sel-sel Mast yang melepas histamin (Yosipovitch, 2007).
Faktor-faktor seperti kadar kreatinin yang tinggi dan kadar hemoglobin yang rendah
juga meningkatkan risiko pruritus. Demikian pula dengan kondisi dislipidemia,
obesitas, dan kadar CRP yang lebih tinggi dikaitkan dengan intensitas pruritus yang
Universitas Sumatera Utara
3
lebih tinggi, sedangkan penggunaan dialser high-flux dikaitkan dengan intensitas
pruritus yang lebih rendah (Pisoni et al., 2006; Ko et al., 2013; Wu et al., 2016;
Gobo-Oliveira et al., 2017).
Pruritogenik sitokin pro-inflamasi IL-2 yang diaktivasi oleh sel-sel T limfosit
dijumpai pada munculnya kemerahan dan pruritus menyeluruh pada tubuh sesudah
pemberian rekombinan IL-2 dosis tinggi pada pengobatan kanker (Gaspari et al.,
1987), dan penyuntikan intradermal IL-2, ternyata menginduksi pruritus (Darsow et
al., 1997) demikian pula halnya pada psoriasis (Reich dan Szepietowski, 2007),
disamping itu, dilaporkan pula bahwa kadar IL-2 lebih tinggi secara signifikan pada
pasien yang menjalani HD dengan pruritus dibanding pasien HD tanpa pruritus
(Fallahzadeh et al., 2011).
Pruritogenik sitokin IL-31 yang terutama dihasilkan oleh sel-sel Th-2 juga
berperan sebagai pruritogenik, yang dibuktikan dengan terjadinya pruritus sesudah
penyuntikan intradermal IL-31, (Arai et al., 2013), demikian pula pada dermatitis
atopik (Kasraie et al., 2010; Ezzat et al., 2011; Nobbe et al., 2012),
T-cell limfoma kulit (Ohmatsu et al., 2012; Singer et al., 2013), urtikaria
(Raap et al., 2010), psoriasis (Narbutt et al., 2013), rinitis alergi
(Baumann et al., 2012). Kadar IL-31 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien
yang menjalani HD dengan gejala pruritus, dan adanya hubungan positif paparan-
respons antara kadar IL-31 serum dengan intensitas pruritus (Ko et al., 2014).
Teknik dialisis, terapi topikal (emolien, aromaterapi, krim capcaisin, tacrolimus,
gamma linolenic acid ointment), irradiasi ultraviolet,
rubdown with japanese dry towels, dan terapi sistemik seperti: antagonis reseptor µ-
Opioid (naltrexone), agonis reseptor κ-Opioid (nalfurafine, butorphanol),
Universitas Sumatera Utara
4
thalidomide, pentoxyfilline, gabapentin dan difelikefalin (Mettang dan Weisshaar,
2010; Suzuki et al., 2015; Tarikci et al., 2015; Trachtenberg et al., 2020) merupakan
terapi yang diberikan untuk mengatasi pruritus pada pasien PGK yang menjalani HD,
namun penggunaan terapi lokal memiliki efek samping pada
kulit terjadi: rasa terbakar, rasa pedas/panas, dan memerah sedangkan pada
terapi sistemik terjadi: somnolence, sulit tidur, konstipasi, nyeri kepala, mual,
dan nyeri ulu hati (Simonsen et al., 2017). Efek samping ini kemungkinan
ditimbulkan oleh penurunan mekanisme bersihan ginjal (renal clearance) terhadap
obat-obatan dan metabolitnya (Zhang et al., 2009), sehingga diperlukan pilihan terapi
lain yang memiliki efek samping yang lebih ringan untuk mengatasi pruritus seperti
akupunktur.
Tindakan akupunktur selain memiliki efek terapi juga memiliki efek samping
yang terjadi berkisar antara 6,71%-15%, dengan keluhan yang paling sering adalah
nyeri lokal karena penjaruman (1,1%-2,9%), dan perdarahan ringan atau hematom
(2,1%-6,1%). Insiden kejadian yang serius seperti kematian, trauma organ atau harus
di rawat di rumah sakit sekitar 0,024% (Zhang-Jin et al., 2010).
Cara kerja akupunktur menghasilkan efek anti-inflamasi adalah dengan
memengaruhi keseimbangan Th-1 dan Th-2 (Gui et al., 2012; Wang et al., 2017).
Keseimbangan Th-1 dan Th-2 dipengaruhi oleh sekresi β endorfin yang terjadi akibat
tindakan akupunktur (Zijlstra et al., 2003). Efek anti-inflamasi akupunktur juga
terjadi melalui penghambatan sintesis sitokin pro-inflamasi oleh asetilkolin yang
menempel pada reseptor α7nikotinikasetilkolin sel makrofag
(Kavoussi dan Ross, 2007; Pavlov dan Tracey, 2017). Efek anti-inflamasi
akupunktur sebanding dengan dexamethasone dalam menurunkan kadar
Universitas Sumatera Utara
5
sitokin pro-inflamasi tanpa memengaruhi kadar sitokin anti-inflamasi.
Namun hasil penelitian lain menyatakan bahwa akupunktur dapat meningkatkan
kadar sitokin anti-inflamasi tanpa menurunkan sitokin pro-inflamasi
(Santos et al., 2011; da Silva et al., 2014).
Hasil dari kajian sistemik (systemic review) menunjukkan bahwa akupunktur
mempunyai pangaruh yang menguntungkan terhadap Pt-PGK yang menjalani HD
(Kim et al., 2010). Perangsangan titik akupunktur pada large intestine11 (LI11)
Quchi dan stomach36 (ST36) Zusanli, menghasilkan kesembuhan tanpa pruritus
selama 1 bulan (70,6%) dan membaik (26,5%), sehingga angka efektifitas mencapai
97% (Gao et al., 2002).
Perangsangan titik akupunktur LI11 Quchi tunggal selama 1 jam, 3 kali
seminggu selama 1 bulan, mengurangi skor pruritus secara signifikan
dari 38,2±4,8 menjadi 17,3±5,5 p<0,001 dan merupakan tindakan yang mudah dan
aman terhadap pasien Pt-PGK yang menjalani HD (Che-yi et al., 2005), demikian
pula perangsangan titik akupunktur LI11 Quchi tunggal selama 1 jam,
2 kali seminggu, sebanyak 12 kali, berhasil mengurangi skala pruritus secara
signifikan pada Pt-PGK yang menjalani HD dari 12,0±3,27 menjadi 7,89±0,83,
p<0,003, kemudian menjadi 8,06±1,83 sesudah 4 minggu tanpa tindakan akupunktur
(followup) (Phan et al., 2018). Disamping itu, penelitian lain menyatakan bahwa
kemampuan mengurangi pruritus yang dihasilkan dari tindakan akupunktur, dapat
bertahan selama 8 minggu pada pasien HD (Carlsson dan Wallengren, 2010).
Hasil penelitian terdahulu yang telah dikemukakan sebelumnya, menyatakan
bahwa terdapat hubungan positif antara kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum dengan
keparahan Pt-PGK. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Pt-PGK juga
Universitas Sumatera Utara
6
dipengaruhi oleh beberapa kondisi antara lain kadar kreatinin serum,
kadar hemoglobin, CRP, dislipidemia dan obesitas, yang juga mungkin secara tidak
langsung memengaruhi variabel yang diteliti pada penelitian ini
(kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum). Di sisi lain dinyatakan bahwa tindakan
akupunktur terbukti memperbaiki keadaan pruritus pasien yang menjalani HD,
namun hasil penelitian terdahulu belum mengemukakan perubahan kadar IL-2 dan
kadar IL-31 serum sesudah tindakan akupunktur yang dihubungkan dengan
perbaikan keadaan pruritus pasien yang menjalani HD. Oleh karena itu,
pada penelitian ini, telah diamati perubahan kadar IL-2 dan IL-31 serum sesudah
tindakan akupunktur selama 6 minggu kemudian dilanjutkan dengan tanpa tindakan
akupunktur selama 4 minggu evaluasi (Phan et al., 2018) dan korelasinya dengan
perubahan skala pruritus, sehingga penelitian ini dapat menambah pemahaman
mekanisme kerja akupunktur terhadap pruritus pada pasien penyakit ginjal kronis
yang menjalani HD melalui perubahan kadar IL-2 dan IL-31 serum.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimanakah perubahan kadar IL-2 dan IL-31 serum sesudah
tindakan akupunktur dan korelasinya dengan perubahan skala pruritus pada pasien
Pt-PGK yang menjalani HD.
Universitas Sumatera Utara
7
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui perubahan kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum, sesudah tindakan
akupunktur dan korelasinya dengan perubahan skala pruritus pada subjek Pt-PGK
yang menjalani HD.
1.3.2 Tujuan khusus
Untuk mengetahui:
a. Karakteristik subjek: usia, jenis kelamin, suku, IMT sesudah HD,
penyakit utama, kadar Kreatinin, kadar Hb, CRP, lama menjalani HD, urea
reduction ratio (URR), kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum,
skala pruritus, subjek Pt-PGK yang menjalani HD, sebelum tindakan
akupunktur pada LI11 Quchi dan akupunktur plasebo.
b. Perbandingan rerata kadar IL-2 serum sesudah 6 minggu tindakan akupunktur
pada LI11 Quchi dengan akupunktur plasebo.
c. Perbandingan rerata kadar IL-2 serum kelompok akupunktur dengan
kelompok plasebo sesudah 4 minggu evaluasi (tanpa tindakan akupunktur
LI11 Quchi dan akupunktur plasebo).
d. Perbandingan rerata kadar IL-31 serum sesudah 6 minggu tindakan
akupunktur pada LI11 Quchi dengan akupunktur plasebo.
e. Perbandingan rerata kadar IL-31 serum kelompok akupunktur dengan
kelompok plasebo sesudah 4 minggu evaluasi.
f. Perbandingan rerata skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan akupunktur
pada LI11 Quchi dengan akupunktur plasebo.
Universitas Sumatera Utara
8
g. Perbandingan rerata skala pruritus kelompok akupunktur dengan
kelompok plasebo sesudah 4 minggu evaluasi.
h. Hubungan antara kadar IL-2 serum dengan skala pruritus sesudah
6 minggu tindakan akupunktur pada LI11 Quchi.
i. Hubungan antara kadar IL-2 serum dengan skala pruritus sesudah
4 minggu evaluasi.
j. Hubungan antara kadar IL-31 serum dengan skala pruritus sesudah
6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi.
k. Hubungan antara kadar IL-31 serum dengan skala pruritus sesudah
4 minggu evaluasi.
l. Efek samping tindakan akupunktur pada LI11 Quchi.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan diketahui perubahan kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum sesudah
tindakan akupunktur pada LI11 Quchi dan korelasinya dengan perubahan skala
pruritus pada pasien Pt-PGK yang menjalani HD, diharapkan akan bermanfaat untuk:
1.4.1 Ilmu pengetahuan: dapat menambah pemahaman mengenai mekanisme
kerja akupunktur terhadap pruritus dan efek samping akupunktur pada
pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
1.4.2 Aplikasi klinis: dapat menambah pemahaman tentang manfaat
tindakan akupunktur sebagai terapi paliatif pruritus pada pasien Pt-PGK
yang menjalani HD.
1.4.3 Masyarakat: dapat memahami bahwa tindakan akupunktur, merupakan
salah satu pilihan terapi paliatif pada pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
Universitas Sumatera Utara
9
1.5 Novelitas
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, belum ditemukan laporan penelitian yang
dipublikasikan secara nasional dan internasional tentang perubahan
kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum sesudah tindakan akupunktur pada LI11 Quchi
dan korelasinya dengan perubahan skala pruritus pada subjek Pt-PGK
yang menjalani HD. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat menambah
pemahaman tentang mekanisme kerja akupunktur, dalam penanggulangan pasien Pt-
PGK yang menjalani HD.
1.6 Potensi Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dari penelitian ini adalah
diketahuinya:
1.6.1 Perubahan kadar interleukin-2 sesudah tindakan akupunktur pada
LI11 Quchi dan korelasinya dengan perubahan skala pruritus pada pasien
penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.
1.6.2 Perubahan kadar interleukin-31 sesudah tindakan akupunktur pada
LI11 Quchi dan korelasinya dengan perubahan skala pruritus pada pasien
penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.
Universitas Sumatera Utara
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronis (PGK)
2.1.1 Definisi dan epidemiologi
Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau
Glomerulo Filtration Rate (GFR) <60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih,
terlepas dari penyebabnya. Kerusakan ginjal pada sebagian besar penyakit ginjal
dapat dipastikan dengan adanya albuminuria atau rasio albumin-kreatinin
>30 mg/g dalam 2 dari 3 spesimen urin spot (Levey et al., 2005).
Klasifikasi PGK menurut Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) (Levin, 2013), adalah sebagai berikut: Tahap 1:
GFR >90 mL/min/1,73 m2, fungsi ginjal normal tetapi ditemukan kelainan pada urin
atau struktur genetik yang mengarah ke penyakit ginjal. Tahap 2:
GFR 60-89 mL/min/1,73 m2, fungsi ginjal ringan, dan temuan lainnya
(seperti tahap 1) mengarah ke penyakit ginjal. Tahap 3A:
GFR 45-59 mL/min/1,73 m2, penurunan fungsi ginjal ringan menuju sedang. Tahap
3B; GFR 30-44 mL/min/1,73 m2, penurunan fungsi ginjal sedang menuju berat;
tahap 4: GFR 15-29 mL/min/1,73 m2, penurunan fungsi ginjal berat.
Tahap 5: GFR <15 mL/min/1,73 m2, penurunan fungsi ginjal sangat berat, atau gagal
ginjal tahap akhir.
Prevalensi global PGK diperkirakan 11-13%, sedangkan prevalensi berdasarkan
tahapan PGK adalah tahap 1: 3,5% (2,8–4,2%), tahap 2:
3,9% (2,7– 5,3%), tahap 3: 7,6% (6,4–8,9%), tahap 4: 0,4% (0,3–0,5%) dan
Universitas Sumatera Utara
11
tahap 5: 0,1% (Hill et al., 2015). Di Indonesia prevalensi PGK berdasarkan diagnosa
dokter sebesar 0,2%, dengan prevalensi tertinggi pada provinsi Aceh, Sulawesi Utara
dan Gorontalo masing-masing 0,4%, sedangkan Sumatera Utara 0,2% (Kemenkes
RI., 2013).
2.1.2 Penyebab
Penyakit ginjal kronis disebabkan oleh banyak penyebab, baik yang sudah
diketahui atau yang masih dalam penelitian, dan menjadi masalah serta beban
kesehatan secara global (Jha et al., 2013). Di negara-negara yang sudah berkembang
dengan penghasilan per kapita relatif tinggi, penyebab PGK
paling sering dikaitkan dengan penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi
dan penyakit ginjal primer. Namun, di negara yang sedang berkembang dengan
penghasilan perkapita relatif rendah, memiliki beberapa tambahan potensi penyebab,
seperti penyakit menular dan racun-racun lingkungan, serta berbagai kondisi yang
belum diketahui dengan pasti (Couser et al., 2011;
Jha et al., 2013; Stanifer et al., 2014).
Di beberapa negara di Asia Selatan dan Amerika Tengah, riwayat keluarga,
penggunaan zat-zat kimia pertanian, paparan logam berat, stres panas, makanan,
ochratoxin A, penggunaan herbal dan gigitan ular, merupakan penyebab PGK
yang sering dilaporkan (Lunyera et al., 2016). Selain itu, mutasi gen uromodulin
protein (UMOD) dikaitkan dengan faktor risiko PGK (Köttgen, 2010).
Hal ini berkaitan dengan uromodulin yang merupakan protein dengan berat molekul
95 kDa dan dikenal sebagai Tamm-Horsfall protein yang dikodekan oleh
gen UMOD, dan terletak di kromosom 16p12.3.1. Protein ini paling banyak
Universitas Sumatera Utara
12
diproduksi oleh sel-sel thick ascending limb tubulus dan tubulus distal pada manusia
sehat (Devuyst et al., 2005; Serafini-Cessi et al., 2003).
Mutasi berkaitan dengan apolipoprotein L1 (APOL1) memiliki risiko 10 kali
lebih tinggi mengalami ESRD. Mutasi APOL1 ini ditemukan secara eksklusif
di antara individu keturunan Afrika, sehingga mereka lebih rentan terhadap PGK
(Foster et al., 2013).
Keterlibatan gen-gen pada sistem renin-angiotensin juga dinyatakan mempunyai
hubungan dengan PGK. Genotipe angiotensinogen (AGT-M235T, T174M, A-20C);
angiotensin-converting enzyme (ACE-A2350G) dan polimorfisme reseptor tipe 1
angiotensin II (AGTR1-A1166C, C573T, C-521T), dinyatakan berhubungan secara
signifikan dengan PGK (Su et al., 2012).
2.1.3 Inflamasi pada penyakit ginjal kronis
Kelainan fungsi imun pada pasien PGK berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal
dan akumulasi racun uremik. Sitokin merupakan mediator
yang penting pada respon imun dan reaksi inflamasi (Rysz et al., 2006).
Kelainan fungsi imun pada Pt-PGK, dapat berupa peningkatan kadar
C-reactive protein (CRP) serum, ketidakseimbangan respon antara sel Th-1 (IL-2,
IL-6, dan IFNγ) yang lebih tinggi dari sel Th-2 (IL-3, IL-4, IL-10, IL-31) (Amore
dan Coppo, 2002; Dillon et al., 2004) dan disregulasi sistem imun seperti
peningkatan sel-sel Mast, yang menyebabkan peningkatan Histamin
(Yosipovitch, 2007).
Peradangan kronis periodontal dikaitkan dengan tingginya biomarker inflamasi
sistemik pada pasien HD dan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup
Universitas Sumatera Utara
13
pasien (Kshirsagar et al., 2009). Penyakit periodontal menjadi kontributor terjadinya
inflamasi lokal, sistemik dan kronis pada Pt-PGK.
Kondisi yang mendasari patogenesis periodontitis, melibatkan kuman
gram-negatif yang berinteraksi dengan ekspresi toll-like receptors
pada permukaan neutrofil dan monosit. Ikatan kompleks toll-like receptors dengan
kuman gram-negatif mengaktifkan produksi sitokin pro-inflamasi yang kemudian
mengaktifkan hepatosit untuk menghasilkan CRP (Yazdi et al., 2013).
Pada Pt-PGK terjadi disbiosis mikroflora intestinal, yang dibuktikan dengan
peningkatan flora patogen dibandingkan flora simbiosis. Peningkatan permeabilitas
barier intestinal memungkinkan endotoksin bakteri dan produk lainnya memasuki
sirkulasi darah (Cigarran et al., 2016), dan menimbulkan edema serta hipervolemia
yang sering terjadi pada Pt-PGK, juga pada pelaksanaan HD, atau peritoneal dialisis,
yang makin memperburuk fungsi barier intestinal. Selain itu, ultrafiltrasi berlebihan
dan keadaan hipotensi selama HD, dapat menyebabkan iskemia intestinal yang
meningkatkan permeabilitas barier usus, sehingga memfasilitasi masuknya
endotoksin ke dalam sirkulasi darah (Alegre et al., 2014). Peningkatan endotoksin
yang berasal dari usus mengaktifkan kekebalan bawaan dan mendukung terjadinya
inflamasi (McIntyre et al., 2011).
Defisiensi vitamin D tidak hanya menyebabkan deregulasi sistem imun bawaan
dan adaptif, tetapi juga mendorong terjadinya mikroinflamasi pada PGK
(Peterson dan Heffernan, 2008). Pada imunitas bawaan, vitamin D merangsang
makrofag untuk menghasilkan Cathelicidin dan β-defensin 2 dan meningkatkan
kapasitas untuk autofagi melalui aktivasi toll-like receptor serta memengaruhi
konsentrasi complement (Liu et al., 2015), sedangkan pada imunitas adaptif,
Universitas Sumatera Utara
14
vitamin D menekan pematangan sel dendritik (DCs) dan melemahkan presentasi
antigen. Vitamin D akan meningkatkan produksi sitokin T helper (Th) 2
dan efisiensi limfosit T regulatory (Treg) (Hewison, 2011).
Vitamin D yang disintesis di kulit atau berasal dari sumber nutrisi, mengalami
hidroksilasi di hati menjadi 25 (OH) D3, yang merupakan bentuk utama vitamin D
pada sirkulasi. Hidroksilasi kedua terjadi pada ginjal oleh enzim 1α-hydroxylase
mengkonversi 25(OH)D3 menjadi 1,25(OH)2D3. Pada Pt-PGK, defisiensi vitamin D
tidak hanya karena hilangnya fungsi ginjal progresif untuk membentuk 1,25(OH)2D3,
tetapi juga hilangnya kemampuan untuk mempertahankan kadar 25(OH)D3 serum
(Bamgbola, 2011)
Inflamasi merupakan kondisi yang paling sering terjadi akibat stres oksidatif.
Reactive Oxygen Species secara langsung atau tidak langsung meningkatkan
inflamasi dan memicu ekspresi sitokin pro-inflamasi dan Chemokines
(Jung et al., 2013). Stres oksidatif kronis meningkatkan oksidasi protein,
yang mengurangi aktivitas enzim, sitokin dan antibodi, berkontribusi pada inflamasi
dan disfungsi imun pada pasien PGK (Weichhart et al., 2012).
Retensi metabolit dengan massa molekul rendah, seperti asam phenylacetic,
homosistein, berbagai sulfat, senyawa guanidin dan banyak senyawa lainnya
yang terjadi pada pasien PGK memiliki efek penghambatan terhadap aktivasi sel-sel
imun, meningkatkan apoptosis lekosit dan menginduksi oksidatif
pada pagosit (Cohen dan Hörl, 2012).
Universitas Sumatera Utara
15
2.2 Hemodialisis 2.2.1 Pengertian
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal
(Renal Replacement Therapy) selain transplantasi ginjal dan peritoneal dialisis
pada pasien ESRD (Crawford dan Lerma, 2008), demikian pula pada asidosis berat,
keracunan, hiperkalemia atau kelebihan elektrolit lain, serta kelebihan cairan >10%
termasuk indikasi terapi pengganti ginjal (Fleming, 2011).
Konsep dialisis pertama diajukan oleh Graham pada tahun 1861, sebagai cara
untuk memisahkan molekul yang relatif kecil dari yang besar dengan membran
semipermeabel (Kolff et al., 1944) dengan tujuan utama untuk memulihkan
lingkungan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang merupakan karakteristik dari
fungsi ginjal normal (Himmelfarb dan Ikizler, 2010).
2.2.2 Prinsip dasar
Dialisis melibatkan gerakan zat terlarut dan air (pelarut) melewati membran
semipermeabel secara difusi dan konveksi. Difusi adalah gerakan zat terlarut
melewati membran semipermeabel menuju gradien konsentrasi yang lebih rendah
(Locatelli et al., 2002).
Difusi zat terlarut tergantung pada berat molekul, muatan listrik, perbedaan
konsentrasi cairan dialisis darah, laju aliran darah dan karakteristik membran
(koefisien difusi). Molekul yang lebih kecil seperti urea (60 Da) dapat melewati
membran sehingga dapat dibersihkan dengan baik, sedangkan molekul yang lebih
besar (60.000 Da) seperti fosfat, β2-mikroglobulin, albumin dan p-cresol,
tidak bisa melewati membran (Locatelli et al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
16
Membran semipermeabel yang terdapat pada dialiser memisahkan darah dan
cairan dialisis yang mengalir di kedua sisi membran, dalam arah yang berlawanan
untuk memaksimalkan difusi. Dialiser diklasifikasikan berdasarkan desain geometri,
komposisi membran, luas permukaan, karakteristik permeabilitas (koefisien difusi
dan ultrafiltrasi) dan karakteristik biokompatibilitas (Wong et al., 2015).
Sirkuit extracorporeal diperlukan untuk mengaliri darah dari sistem vaskular
(melalui akses arteriovenosa) pasien ke ginjal buatan untuk proses dialisis.
Darah yang telah didialisis kemudian kembali ke sistem vaskular pasien.
Darah pada sirkuit extracorporeal dapat mengalami kerusakan pada komponen sel,
koagulasi, atau hilangnya integritas yang dapat mengakibatkan kehilangan
darah atau pencemaran mikroorganisme dari lingkungan eksternal
(Mitra dan Mitsides , 2016).
Adekuasi HD diartikan sebagai jumlah dialisis diperlukan untuk menjaga
kualitas hidup pasien dan relatif asimptomatik (Mehta dan Fenves, 2010).
Untuk mengetahui adekuasi hemodialisis dilakukan penilaian
Urea Reduction Ratio, adekuat jika terdapat kadar ureum darah yang menurun.
Penilaian yang lain dengan mengetahui Kt/V yaitu rasio fraksi urea clearance,
K adalah dialiser urea clearance (dinyatakan dalam liter per jam),
t adalah waktu dialisis (dinyatakan dalam jam), dan V adalah volume distribusi urea
(dinyatakan dalam liter) (Depner, 2005) . Kelompok kerja KDOQI menyarankan
bahwa dosis minimal memadai hemodialisis diberikan 3 kali
per minggu untuk pasien dengan fungsi ginjal kurang dari 2 mL/min/1,73m2,
Kt/V 1,2 setiap dialisis dengan lama HD 5 jam, dosis minimal alternatif
URR >65%. Target dosis untuk hemodialisis diberikan 3 kali per minggu dengan
Universitas Sumatera Utara
17
fungsi ginjal kurang dari 2 mL/min/1,73m2 dengan Kt/V 1,4 atau URR 70%.
(Rocco et al., 2015).
2.2.3 Komplikasi
Penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 790 pasien gagal ginjal akut
yang menjalani HD mengalami komplikasi intradialisis yaitu hipotensi (30,4%),
mual dan muntah (26,4%), demam dan menggigil (19,2%), serta sakit kepala
(15,6%) sedangkan pada 1535 pasien gagal ginjal kronik yang menjalani HD
mengalami komplikasi intradialisis yaitu hipotensi (26,1%), mual dan muntah
(14,2%), demam dan menggigil (14,4%), nyeri dada dan nyeri punggung (13,0%),
hipertensi (10,4%) serta sakit kepala (10,4%) (Singh et al., 2015).
Pasien yang menjalani HD selain dapat mengalami komplikasi intradialisis juga
dapat mengalami komplikasi kronis akibat HD berulang dan jangka panjang seperti :
keganasan pada ginjal (Stewart, 2003), gangguan neurologis
(Rizzo et al., 2012), depresi (Teles et al., 2014), penyakit gastrointestinal
(Lee et al., 2015), gangguan tulang dan metabolisme mineral
(Copland et al., 2016), penyakit kardiovaskular (Mavrakanas dan Charytan, 2016),
anemia (Nasouti et al., 2017), infeksi (Nassar dan Ayus, 2001) dan gangguan
pada kulit termasuk diantaranya pruritus (Sanai et al., 2010)
Faktor extracorporeal, seperti kotoran dalam air dialisis,
kualitas mikrobiologi dialisat, dan faktor bioincompatible di sirkuit dialisis berperan
terhadap terjadinya pruritus (Akchurin dan Kaskel, 2015).
Selama HD, paparan darah pada permukaan extracorporeal buatan, termasuk
penggunaan antikoagulasi, aktivasi Monosit oleh senyawa endotoksin dalam cairan
Universitas Sumatera Utara
18
dialser dan kontak langsung dengan membran dialiser menunjukkan implikasi klinis
pruritus (Rysz et al., 2006; Aucella et al., 2013). Hemodialisis dengan target
Kt/V ≥ 1,5 dan penggunaan dialiser high-flux dapat mengurangi intensitas pruritus
pada pasien HD kronis (Ko et al., 2013).
Pasien yang menjalani HD rentan terhadap infeksi berulang, yang mencetuskan
inflamasi. Komplikasi infeksi akan memengaruhi kondisi pasien, baik secara akut
atau kronis. Infeksi dapat terjadi melalui jenis akses pembuluh darah dialisis,
terutama dengan kateter vena sentral (CVC) (Allon, 2003; Nassar, 2013).
Staphylococcus aureus adalah mikroorganisme paling banyak terlibat dalam infeksi
aliran darah terkait akses pembuluh darah (27,7–50,0%), diikuti oleh
Coagulase-negative staphylococci (Li dan Chow, 2011). Hasil penelitian lain
melaporkan persentase dari isolasi mikroorganisme patogen pada pasien hemodialisis
dengan akses pembuluh darah arteriovenous (AV) fistula, yaitu: Staphylococcus
aureus (10,6%), Escherichia coli (6,4%), Staphylococcus epidermidis (4,3%),
Enterococcus spesies (8,5%), Proteus mirablis (4,3%),
Klebsiella pneumoniae (2,1%), H1N1 (2,1%) dan spesies lainnya dengan frekuensi
yang lebih rendah (Tzanakaki et al., 2014). Eksotoksin Staphylococcal meningkatkan
ekspresi IL-31 receptor alpha (RA) pada monosit dan makrofag, secara signifikan
(Kasraie et al., 2010).
Kadar IL-31 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang
menjalani HD dengan gejala klinis pruritus, dan menunjukkan hubungan positif
paparan-respons antara IL-31 serum dan intensitas pruritus (Ko et al., 2014),
interaksi IL-31–IL-31R mengiduksikan pruritus pada kulit melalui sel-sel saraf
sensoris (Dillon et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
19
2.3 Pruritus
2.3.1 Definisi dan klasifikasi
Gatal atau pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi tidak menyenangkan
yang membangkitkan keinginan untuk menggaruk (Potenzieri dan Undem, 2012).
The International Forum for the Study of Itch membagi pruritus menjadi akut
(kurang dari 6 minggu) dan kronis (berlangsung 6 minggu atau lebih)
(Ständer et al., 2007). Pruritus kronis berhubungan dengan banyak penyakit.
Penyakit yang paling sering menimbulkan pruritus adalah gagal ginjal kronis,
dermatitis atopik dan penyakit hati kolestatik (Bolier et al., 2012;
Weiss et al., 2015).
Pruritus dikategorikan berdasarkan dua taksonomi komplementer.
Taksonomi pertama didasarkan pada gambaran klinis dan riwayat, yang kemudian
dibagi menjadi (Ständer et al., 2007): Grup I gatal pada penyakit kulit;
Grup II gatal pada bukan penyakit kulit; Grup III gatal pada lesi kulit sekunder
seperti prurigo nodularis; Grup IV gatal pada lesi kulit primer (reaktif terhadap
garukan) seperti dermatitis atopic; Grup V gatal dengan penyebab campuran;
Grup VI gatal yang tidak dapat diidentifikasi penyebabnya atau
“pruritus of undetermined origin”. Taksonomi kedua mengategorikan gatal
berdasarkan etiologi: dermatologi, sistemik (termasuk disebabkan kehamilan dan
obat), neurologis dan psikiatris (Ständer et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
20
Pruritus berasal dari epidermis dan dermal-epidermal junction dan diteruskan oleh serabut saraf C selektif. Beberapa serat ini sensitive terhadap histamin, tetapi sebagian besar tidak. Interaksi kompleks antara sel-sel T, sel Mast, Neutrofil, Eosinofil, Keratinosit dan sel-sel saraf (bersama peningkatan pelepasan sitokin, protease dan neuropeptida) menyebabkan eksaserbasi pruruitus. Serabut membentuk sinap dengan proyeksi orde kedua di tanduk dorsal dan sinyal pruritus naik di trakstus Spinotalamikus kontralateral, dengan proyeksi ke Thalamus. Dari Thalamus, pruritus ditransmisikan ke beberapa daerah otak yang terlibat dalam sensasi, proses evaluatif, emosi, reward dan memori.
2.3.2 Patofisiologi
Pruritus disebabkan dan diperkuat oleh sejumlah bahan kimia seperti Histamin,
Prostaglandin, Protease, Sitokin, Neuropeptide, termasuk Substansi P dan senyawa
garam dari cairan empedu, beberapa bahan kimia ini langsung bekerja pada ujung
saraf bebas sementara bahan kimia yang lain bekerja secara tidak langsung melalui
mastosit atau sel lainnya. Ketika ujung saraf bebas distimulasi pruritogenik, bagian
dari serabut C yang berada pada kulit superfisial meneruskan impuls ke dorsal horn
pada spinal cord kemudian melalui jalur spinothalamic ke thalamus dan korteks
somatosensoris (Gambar 2.1) (Twycross et al., 2003).
Gambar 2.1 Jalur pruritus dari kulit ke otak
Gambar 2. 1 Jalur pruritus dari kulit ke otak
Universitas Sumatera Utara
21
2.3.3 Pruritus terkait penyakit ginjal kronis (Pt-PGK)
a. Definis dan epidemiologi
Pruritus terkait penyakit ginjal kronis adalah pruritus pada penyakit gagal ginjal
tahap akhir (end-stage renal disease), dikenal dengan “pruritus uremik”. Namun saat
ini disebut "pruritus terkait penyakit ginjal kronis" (Mettang et al., 2015).
Prevalensi Pt-PGK di seluruh dunia dilaporkan bervariasi berkisar 10-77%
(Weisshaar, 2016). Narita et al. (2008) melaporkan pruritus terjadi pada 15-49%
pasien dengan gagal ginjal kronis dan 50-90% pada pasien yang menjalani dialisis.
Itch National Registry Study melakukan penelitian prospektif, multisenter,
longitudinal terhadap 103 pasien HD, melaporkan pruritus terjadi pada 84% pasien
(Mathur et al., 2010). The Observational Dialysis Outcomes and
Practice Patterns Study mengumpulkan data lebih dari 29.000 pasien HD dari
12 negara dan menemukan bahwa 42% dari pasien mengalami pruritus sedang
hingga ekstrim, 60,3% pada terjadi pria dan 45,4% terbangun pada malam hari
karena pruritus (Pisoni et al., 2006). Penelitian Riza (2011) mendapatkan angka
kejadian pruritus pada pasien HD sebesar 70,5% di Rumah Sakit Umum Pusat
H. Adam Malik Medan dan Wahyuni (2014) pada penelitiannya mendapatkan
prevalensi pruritus pada pasien HD reguler sebesar 50% di Klinik Rasyida Medan.
Pruritus biasanya mulai muncul sekitar 6 bulan sesudah dimulainya dialisis dan
penyebaran ditubuh dimulai lokal dan ringan hingga umum dan parah
(Narita et al., 2006; Tarikci et al., 2015).
Pruritus terkait penyakit ginjal kronis masih menjadi masalah yang sering terjadi
pada pasien ESRD (Weiss et al., 2015). Beberapa penelitian cross-sectional global
terbesar melaporkan bahwa pruritus pada Pt-PGK yang menjalani HD
Universitas Sumatera Utara
22
akan memengaruhi kualitas hidup secara signifikan, karena menyebabkan gangguan
tidur, gejala depresi dan meningkatkan risiko kematian sebesar 23% (Pisoni et al.,
2006; Braiman-Wiksman et al., 2007; Tentori and Mapes, 2010; Kimata et al., 2014).
b. Patogenesis
Patogenesis pruritus pada Pt-PGK masih belum sepenuhnya diketahui. Menurut
Aucella and Gesuete (2009) setidaknya ada empat hipotesis yang telah diajukan,
yaitu: kelainan dermatologi, gangguan sistem imun tubuh yang mengakibatkan
keadaan pro-inflamasi, ketidakseimbangan sistem endogen opioidergik, dan secara
neuropatik.
Patofisiologi pruritus pada pasien HD menurut Mettang dan Weisshaar (2010)
merupakan gabungan dari pruritogenik, neuropatik dan mikroinflamasi, tetapi lebih
difokuskan pada mikroinflamasi.
Beberapa hipotesis lain seperti hipotesis xerosis, hipotesis hyperparathyroidism,
hipotesis histamin, hipotesis opioid imbalance, hipotesis uremic toxin, hipotesis
peripheral neuropathy, hipotesis immune-mediated, menjadi dasar dalam pengobatan
pruritus (Aramwit dan Supasyndh, 2015; Shirazian et al., 2017).
Faktor-faktor seperti kadar kreatinin yang tinggi dan kadar hemoglobin
yang rendah meningkatkan risiko pruritus. Dislipidemia, obesitas, dan kadar CRP
yang lebih tinggi dikaitkan dengan intensitas pruritus yang lebih tinggi, sedangkan
penggunaan dialser high-flux dikaitkan dengan intensitas pruritus yang lebih rendah
(Pisoni et al., 2006; Ko et al., 2013; Wu et al., 2016; Gobo-Oliveira et al., 2017).
Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, etnik (suku) serta lama menjalani HD juga
dihubungkan dengan terjadinya pruritus pada pasien HD (Hu et al., 2018).
Universitas Sumatera Utara
23
Xerosis yang umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir,
dapat menyebabkan pruritus (Berger dan Steinhoff, 2011). Etiopatogeniknya
meliputi: penurunan hidrasi stratum corneum; penurunan ukuran kelenjar keringat
dan kelenjar sebaceous bersama dengan fungsi abnormal yang berkaitan dengan
hipervitaminosis A, dan penggunaan diuretik pada pasien dialisis (Markova et al.,
2012). Integritas Stratum corneum yang tidak normal dan rendahnya kadar gliserol
pada penyakit ginjal tahap akhir dapat dikaitkan dengan rendahnya AQP3, di mana
AQP3 berfungsi mengangkut gliserol di kulit (Yosipovitch et al., 2007).
Sedighi et al. (2011) dalam penelitiannya melaporkan hubungan positif
yang signifikan antara hormon paratiroid serum dengan keparahan pruritus
pada pasien HD. Analisis prospektif yang dilakukan pada 1.173 pasien HD
di Jepang, ditemukan bahwa hiperkalsemia dan hiperfosfatemia dihubungkan dengan
pruritus parah, sedangkan kadar kalsium dan hormon paratiroid yang rendah
mengurangi risiko pruritus (Narita et al., 2006). Peningkatan kadar fosfat serum
berhubungan erat dengan peningkatan kadar TNFα pada model tikus uremik
(Yamada et al., 2014).
Histamin yang sebagian besar dihasilkan oleh sel-sel Mast kulit pasien uremik
dan juga dielaborasi oleh basofil merupakan mediator penting untuk terjadinya
pruritus (Dugas-Breit et al., 2005; Sokol et al., 2008). Kadar Histamin serum
meningkat secara signifikan pada pasien HD dan kenaikan yang sangat signifikan
ditemui pada pasien pruritus. Kondisi ini menunjukkan hubungan yang positif antara
tingkat kadar histamin dan keparahan dari pruritus. Selain itu, terdapat hubungan
peningkatan histamin dalam darah dengan peningkatan jumlah basofil
(Al Shafei dan Nour, 2016). Serabut saraf C yang sensitif terhadap histamin
Universitas Sumatera Utara
24
mempunyai daya hantar yang lebih lambat dari kebanyakan serabut saraf dan tidak
terstimulasi oleh panas atau rangsangan mekanik. Jenis serabut saraf C
mengekspresikan reseptor capsaicin transient receptor potential vanilloid-1
(TRPV1), dan penggunaan yang berulang dari capsaicin mendesensitasi serabut saraf
ini. Desensitisasi yang ditimbulkan dapat mencegah sensasi pruritus yang disebabkan
histamin (Potenzieri dan Undem, 2012; Han dan Dong, 2014).
Reseptor opioid telah diidentifikasi sebagai target dalam pengobatan pruritus.
Reseptor 𝜇 dan κ-opioid diekspresikan pada kulit dan sistem saraf pusat.
Reseptor 𝜇 dan κ-opioid bekerja dengan efek berlawanan, misalnya,
reseptor 𝜇-opioid berperan pada pruritus kronis karena berbagai sebab, sementara
aktivasi reseptor κ opioid menghambat pruritus (Pan, 1998). Sebagian pruritus
uremik terjadi akibat dari ketidakseimbangan dalam sistem opioidergik dengan
hiperaktifnya reseptor 𝜇-opioid dalam sel-sel kulit dan limfosit
(Umeuchi et al., 2003). Opioid endogen meningkat pada keadaan gagal ginjal kronis,
dan menyebabkan pruritus melalui proses degranulasi sel Mast kulit, atau melalui
efek langsung pruritogenik pada pusat dan perifer dengan mengaktifkan reseptor 𝜇-
opioid (Tarikci et al., 2015).
Toksin uremik adalah zat terlarut yang terakumulasi dalam cairan tubuh Pt-PGK
akibat penurunan fungsi ginjal. Menurut “European Uremic Toxin Work Group”
(EUTox), ada 152 jenis zat terlarut yang dijumpai pada serum normal dan patologis
(Vanholder et al., 2003). Klasifikasi toksin uremik berdasarkan
pola pembuangan oleh dialisis, dibagi menjadi komponen halus yang larut dalam air
(small water-soluble compounds), terutama senyawa dimethylarginine
yang asimetrik, creatine, creatinine, asam hialuronat (hyaluronic acid), guanidine,
Universitas Sumatera Utara
25
guanidinoacetate, guanidinosuccinate, oxalate, dimethylarginine simetrik (simmetric
dimethylarginine), urea dan asam urat; Larger middle molecules termasuk
adiponectin, cystatin C, leptin, Motilin, α1-acid glycoprotein, α1-microglobulin,
endothelin, ghrelin, osteocalcin, atrial natriuretic peptide, prolactin, retinol-binding
protein, β2-microglobulin, cholecystokinin dan vasoactive intestinal peptide; dan
protein bound solutes seperti advanced glycation end products (AGEs), carboxy
methyl propyl furanpropionic acid, sitokin, ILs, TNF-α, dimethylguanidines,
hippuric acid, homocysteine, indole-3-acetic acid, indoxyl glucuronide, indoxyl
sulfate (IS), kynurenic acid, kynurenine, leptin, phenolic compounds, p-cresyl sulfate
(p-CS), p-cresyl glucuronide, phenol sulfate, phenol glucuronide, phenylacetic acid,
quinolinic acid dan retinol-binding protein (Duranton et al., 2012;
Lisowska-Myjak, 2014).
Small water-soluble compounds (berat molekul 500 D) mudah dibuang
oleh dialisis (Eloot et al., 2005), large middle molecules (berat molekul >500 D)
dapat dibuang secara efisien hanya oleh dialiser dengan ukuran pori besar (Locatelli
et al., 2009) sedangkan protein-bound solutes (berat molekul <500 D) tidak mudah
dibuang dengan berbagai strategi dialisis (Meert et al., 2011). Penurunan fungsi
ginjal dan toksisitas uremik menyebabkan peningkatan kadar biomarker inflamasi
plasma (Cohen et al., 2008).
Inflamasi sistemik pada Pt-PGK ditandai dengan peningkatan CRP
dan ketidakseimbangan respon antara sel Th-1 (IL-2, IL-6, IL-31 dan IFNγ)
yang lebih tinggi dari sel Th-2 (IL-4 dan IL-10) (Amore dan Coppo, 2002;
Mettang et al., 2002; Dillon et al., 2004), serta disregulasi sistem imun seperti
peningkatan sel-sel Mast yang melepas histamin (Yosipovitch et al., 2007). Inflamasi
Universitas Sumatera Utara
26
sistemik yang ditandai dengan peningkatan kadar sel-sel Th-1, CRP, IL-6, dan IL-2,
yang juga dihubungkan dengan jumlah lekosit, albumin yang rendah dan kadar
feritin yang tinggi, menjadi penyebab PGK (Kimmel et al., 2006;
Fallahzadeh et al., 2011).
Pruritus uremik yang berhubungan dengan perubahan inervasi simpatik kulit dan
berkorelasi dengan gangguan konduksi somatosensoris saraf perifer dan penurunan
ambang persepsi, menunjukkan bahwa pruritus uremik adalah manifestasi dari
neuropati uremik (Zakrzewska-Pniewska dan Jȩdras, 2001). Perkembangan klinis
neuropati terjadi sesudah GFR di bawah 12 mL/min/1,73 m2 (Krishnan et al., 2009).
Uremik neuropati terjadi sebagai konsekuensi retensi neurotoksik large middle
molecules, yang dibuang perlahan-lahan melalui membran HD (Arnold et al., 2013).
Perubahan eksitabilitas saraf tepi berhubungan erat dengan hiperkalemia yang
menyebabkan disfungsi axonal pada PGK (Arnold et al., 2014).
c. Diagnosis
Pruritus terkait penyakit ginjal kronis telah ditetapkan sebagai pruritus kronis
yang secara langsung terkait dengan penyakit ginjal kronis, tanpa kondisi
komorbiditas lain seperti komorbiditas hati atau kondisi kulit yang menimbulkan
pruritus. Tingkat keparahan pruritus dapat bervariasi dari waktu ke waktu,
dari hampir tak terlihat hingga menyebabkan kegelisahan yang terus-menerus,
dan gejala dapat terjadi berselang-seling atau menetap. Dalam kaitannya
dengan HD, pruritus juga dapat terjadi setiap waktu, yaitu sebelum, selama, atau
sesudah HD (Mettang et al., 2015). Distribusi pruritus pada tubuh sering simetris,
Universitas Sumatera Utara
27
dan dapat bersifat lokal (wajah, punggung dan lengan) atau seluruh tubuh
(Mathur et al., 2010).
d. Skala (pengukuran) pruritus terkait penyakit ginjal kronis
Beberapa skala tervalidasi digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan
prevalensi, luaran, dan pengobatan Pt-PGK. Skala dapat dibagi menjadi unidimensi
(mengukur hanya keparahan Pt-PGK), multidimensi (mengukur tingkat keparahan
dan karakteristik lain pruritus), dan skala yang berfokus terutama pada kualitas hidup
(Phan et al., 2012).
Skala unidimensi yang umum digunakan adalah Visual Analog Scale (VAS) dan
Numeric Rating Scale (NRS). Skala multidimensi pruritus mengevaluasi keparahan
dan karakteristik lain yang berkaitan dengan pruritus. Dua contoh skala yang umum
digunakan dalam penelitian Pt-PGK, termasuk skala gatal 5-D
dan Itch Severity Scale (Shirazian et al., 2017).
Visual analog scale pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi nyeri, tetapi
dapat juga digunakan untuk mengukur keparahan Pt-PGK
(Reich et al., 2012; Furue et al., 2013). VAS adalah gambaran grafis dari garis
horizontal 100 mm dengan ujung kiri ditandai "tidak gatal" dan ujung kanan ditandai
"gatal paling parah". Pasien diminta untuk menggambar garis vertikal
sepanjang skala untuk menunjukkan keparahan gatal yang terletak di sepanjang
spektrum ini. Panjang garis dibuat dari ujung kiri untuk tanda vertikal kemudian
diukur dalam satuan milimeter untuk menunjukkan kuantitas keparahan gatal.
Demikian pula dengan nilai NRS keparahan gatal dari 0 sampai 10;
0 menggambarkan “tidak gatal” dan 10 menggambarkan “gatal paling parah”,
Universitas Sumatera Utara
28
sedangkan Verbal Rating Scale (VRS) memungkinkan pasien untuk memilih diantara
4 keparahan gatal: tidak gatal, rendah, sedang, atau gatal berat. VAS, NRS dan VRS,
tampaknya memiliki reliabilitas dan validitas yang sama
(Phan et al., 2012).
Penggunaan VAS harus mempertimbangkan karakteristik populasi seperti usia,
kelemahan moril, tingkat melek huruf dan gangguan kognitif, sebagai contoh, jumlah
kesalahan pada VAS sesuai dengan bertambahnya usia dan
gangguan kognitif membuat skala ini kurang digunakan (Hjermstad et al., 2011).
Skala pruritus 5-D telah divalidasi secara luas dan memiliki reliabilitas dan
validitas yang baik (Majeski et al., 2007), digunakan untuk mengukur luaran
dalam uji klinis. Skala ini mengukur intensitas pruritus, berapa lama pruritus
telah berlangsung, apakah menunjukkan perbaikan atau perburukan, efek pruritus
pada kualitas hidup, dan distribusi pruritus. Skala ini berhubungan erat dengan VAS
dan merupakan ukuran perubahan tingkat keparahan pruritus yang dapat diandalkan
(Elman et al., 2010). El et al. (2013) juga melaporkan bahwa skala pruritus 5-D
adalah handal, multidimensi dan lebih spesifik dan sensitif serta telah divalidasi
untuk pengukuran pruritus kronis.
Wulandani et al. (2018), melakukan uji validitas konvergen masing-masing butir
pada kuesioner dan uji reliabilitas menggunakan metode konsistensi internal skala
pruritus 5-D berbahasa Indonesia di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta; menyimpulkan bahwa skala pruritus 5-D
berbahasa Indonesia atau Skala Gatal 5 Dimensi merupakan alat pengukuran yang
valid dan reliabel untuk menilai keluhan pruritus kronik, pada pasien dewasa dan
lansia di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
29
e. Terapi
Terapi pruritus pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani HD meliputi:
modifikasi teknik dialisis, terapi topikal (emolien, aromaterapi, capcaisin krim,
tacrolimus, gamma linolenic acid ointment), irradiasi ultraviolet, rubdown with
Japanese dry towels, antagonis reseptor µ-opioid (naltrexone), agonis reseptor
κ-opioid (nalfurafine, butorphanol), thalidomide, pentoxyfilline, gabapentin, dan
akupunktur (Mettang dan Weisshaar, 2010; Suzuki et al., 2015).
2.4 Interleukin-2
Interleukin-2 adalah sitokin berbentuk empat α-helical bundle dengan
ukuran 15,5 kDa, yang terutama diproduksi oleh sel-sel CD4+ Th1 pada
organ-organ limfoid sekunder, sesudah stimulasi antigen (Leonard, 2001).
Namun diproduksi juga oleh sel-sel CD8+, dan sel-sel natural killer
(Malek, 2008), sel-sel Mast (Hershko et al., 2011) dan sel-sel Dendritik (DCs)
(Granucci et al., 2001; Zelante et al., 2012).
Interleukin-2 memiliki IL-2 receptor (R), yang dihasilkan oleh kombinasi
yang berbeda, dari tiga protein yang berbeda, dan sering disebut sebagai "rantai":
α (alpha) (IL-2Rα, CD25, atau Tac antigen), β (beta) (IL-2Rβ, atau CD122), serta γ
(gamma) (juga disebut IL-2Rγ, atau CD132); subunit ini juga merupakan bagian dari
reseptor untuk sitokin lainnya (Liao et al., 2011).
Reseptor IL-2 juga dijumpai pada permukaan keratinosit. Keratinosit adalah sel-
sel yang memiliki beberapa peran penting dalam patogenesis pruritus.
Sel-sel keratinosit menghasilkan beberapa sitokin dan peptida termasuk
Universitas Sumatera Utara
30
sel Mast kulit dan limfosit T yang langsung atau tidak langsung merangsang reseptor
pruritus pada ujung saraf aferen. Keratinosit memiliki ATP
voltage gated ion channels dan ikatan reseptor (Brennan, 2014).
Dua limfosit utama adalah limfosit Th-1 (menghasilkan: IL-2, IL-6, dan IFNƴ)
dan Th-2 (menghasilkan: IL-3, IL-4, IL-10, dan IL-31). Masing-masing limfosit
menghasilkan sitokin spesifik yang langsung atau tidak langsung berperan dalam
patofisiologi pruritus. Peningkatan kadar CRP dan TNF-α dijumpai pada pasien HD
kronis dengan pruritus sedang atau berat (Chen et al., 2010). TNFα yang diproduksi
oleh sel-sel Mast kulit mendorong pematangan sel dendritik (CD8+), sehingga
menggeser dominasi limfosit Th-2 menjadi limfosit Th-1 yang menghasilkan IL-2
yang pruritogenik (Brennan, 2014; Dudeck et al., 2015). Pada keadaan pruritus
uremik, aktifitas Th-1 limfosit dan kadar IL-2 meningkat secara signifikan
(Fallahzadeh et al., 2011).
Peran IL-2 sebagai pruritogenik juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya kemerahan dan pruritus menyeluruh
pada tubuh, sesudah tindakan pemberian rekombinan IL-2 dosis tinggi,
pada pengobatan kanker (Gaspari et al., 1987). Beberapa bukti lain berkenan dengan
peran IL-2 sebagai pruritogenik adalah sebagai berikut: penyuntikan intradermal IL-2
menyebabkan pruritus dan eritema, baik pada orang sehat maupun pasien
dermatitis atopik (Wahlgren et al., 1995), induksi pruritus sesudah penyuntikan
intradermal IL-2 (Darsow et al., 1997), Nakamura et al. (2003) menemukan
peningkatan jumlah sel-sel imunoreaktif IL-2 pada lesi psoriasis yang pruritus
dibanding yang nonpruritus. Tindakan pemberian dosis tinggi IL-2 pada pasien
dengan keganasan tertentu termasuk metastasis sel karsinoma ginjal dan melanoma
Universitas Sumatera Utara
31
ganas sering menyebabkan pruritus yang intens (Ikoma et al., 2006). Penyuntikan
IL-2 intradermal pada hewan coba (anjing) menginduksi pruritus dan perubahan
histopatologis yang mirip dengan yang terlihat pada biopsi kulit pasien dermatitis
atopik (Carr et al., 2009), demikian pula pada alergi dan penyakit atopik
(Buddenkotte dan Steinhoff, 2010).
2.5 Interleukin-31
Interleukin-31 termasuk keluarga sitokin IL-6, yang juga mencakup IL-6, IL-11,
IL-27, Oncostatin M (OSM), Leukemia Inhibitory Factor,
Ciliary Neurotrophic Factor, Neuropoietin, Cardiotrophin-1
dan Cardiotrophin-like cytokine (Sonkoly et al., 2006; Dillon et al., 2004,
Baumann etal., 2012) dan sinyal melalui reseptor yang kompleks terdiri dari IL-31
Receptor α (Rα) dan reseptor β oncostatin M (Cornelissen et al., 2012). IL-31Rα
adalah reseptor fungsional pada sub-populasi neuron pruritus yang diekspresikan
bersama TRPV-1 dan TRPA-1 dan ditemukan dalam dorsal root ganglia neuron
manusia serta merupakan hubungan penting antara Th-2 limfosit dan sensor neuron
untuk pruritus (Cevikbas et al., 2014). IL-31 juga mengaktifkan reseptor
heterodimeric IL-31Rα dan reseptor oncostatin M pada keratinosit dan ujung saraf
bebas (Heise et al., 2009).
Interleukin-31 terutama dihasilkan oleh sel-sel CD4+ Th2 dan
sel-sel skin-homing CD45R0 CLA+ T (Bilsborough et al., 2006). Sumber seluler
utama yang lain adalah sel-sel Mast yang memainkan peran penting dalam
pengembangan pruritogenesis pada Philadelphia chromosome-negative
myeloproliferative disorders. Sel-sel Mast meningkatkan kadar pruritogenik
Universitas Sumatera Utara
32
secara signifikan, termasuk histamin dan IL-31, dibandingkan dengan
sel-sel Mast normal. IL-31 juga dihasilkan oleh sel-sel keratinosit dan
limfosit Th-2 (Dillon et al., 2004).
Kadar IL-31 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien HD dengan gejala
pruritus, dan terdapat hubungan positif paparan-respons antara kadar IL-31 serum
dengan intensitas pruritus (Ko et al., 2014).
Peran IL-31 sebagai pruritogenik juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti.
IL-31 memainkan peran penting dalam patogenesis dermatitis atopik. Pruritus yang
parah adalah gejala dermatitis atopik yang utama, dan IL-31 memberikan kontribusi
untuk pruritus tersebut melalui aktivasi IL-31Rα pada sel-sel saraf sensoris
(Kasraie et al., 2010). Ekspresi IL-31 tidak hanya meningkat pada pasien dengan
dermatitis atopik, tetapi juga pada orang-orang dengan dermatitis kontak alergi
(Neis et al., 2006). Pada pasien dengan sel T limfoma kulit, menunjukkan kadar
IL-31 serum yang meningkat dibandingkan dengan kontrol (orang sehat). IL-31
memainkan peran dalam menyebabkan pruritus pada pasien urtikaria spontan kronis
(Ohmatsu et al., 2012). dan pada kondisi ini, kadar IL-31 serum meningkat secara
signifikan dibandingkan dengan non-atopik, meskipun secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan pasien dermatitis atopik (Raap et al., 2010).
Interleukin-31 sebagai pruritogenik tidak hanya mempunyai peran pada kulit,
tetapi juga berperan penting pada rinitis alergi dan asma. IL-31, terdeteksi terutama
pada jaringan submukosa, dan peningkatan reseptor IL-31Rα terutama di kelenjar
submukosa pasien dengan alergi rinitis (Shah et al., 2013). Kadar IL-31 serum pada
pasien asma meningkat secara signifikan dibandingkan dengan subjek
kontrol normal (Lei et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
33
2.6 Akupunktur
2.6.1 Cara kerja akupunktur secara umum
Akupunktur didefinisikan sebagai stimulasi titik anatomi tertentu pada tubuh
dengan menggunakan berbagai teknik untuk tujuan terapeutik. Teknik akupunktur
yang paling sering dipelajari secara ilmiah melibatkan penetrasi atau penusukan kulit
dengan jarum logam tipis, padat, yang dimanipulasi oleh tangan atau dengan
stimulasi listrik (Suzuki et al., 2015). Stimulasi titik akupunktur juga dilakukan
dengan laser, ultrasound, magnetik (Jun et al., 2015), farmakopunktur
(Park et al., 2015), dan tanam benang (Cho et al., 2018).
Ilmu akupunktur medik di negara barat disebut Western Medical Acupuncture
(WMA) yaitu adaptasi teknik akupunktur ke dalam ilmu kedokteran konvensional
berbasis anatomi, fisiologi dan patologi dengan paradigma Evidence Based Medicine
(EBM) (White, 2009) dengan tujuan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif
(Xu et al., 2018) dan paliatif (Romeo et al,. 2015).
Akupunktur bekerja secara lokal, segmental dan sentral, serta melalui sistem
saraf (neuron), sistem endokrin dan sistem imun (Carlsson, 2002). Cara kerja lokal
berhubungan dengan inflamasi pada area tempat jarum akupunktur ditusukkan.
Berbagai komponen neuroaktif diaktivasi dan berperan memodulasi Neural
Acupuncture Unit (NAU), yaitu sekumpulan saraf dan komponen neuroaktif yang
teraktifasi, tersebar di kulit, otot, dan jaringan ikat di sekitar area tempat jarum
akupunktur ditusukkan. Komponen NAU terdiri dari ujung saraf bebas,
reseptor-reseptor di kulit, reseptor sensoris dan serabut eferen di otot serta serabut
saraf otonom. Komponen neuroaktif adalah jaringan selain saraf, yang melepaskan
Universitas Sumatera Utara
34
berbagai jenis mediator, terutama pada sel-sel Mast, pembuluh darah yang kaya saraf
simpatik dan pembuluh limfatik yang kecil. Sel lain seperti makrofag, fibroblas,
limfosit, trombosit, dan keratonosit termasuk mediator neuroaktif, yang terdiri dari
neurotransmiter, modulator, faktor inflamasi, dan faktor imun (Zhang et al., 2012;
Cheng, 2014).
Berdasarkan kerjanya, mediator ada yang menghambat atau menstimulasi. Yang
menghambat misalnya asetilkolin, noradrenalin, GABA, β endorfin, Substansi P,
somatostatin, nitrit oksida, ATP/cGMP dan adenosin. Kebanyakan sitokin,
prostaglandin, bradikinin, dan faktor pro-inflamasi lainnya, merupakan mediator
yang menstimuli, sedangkan serotonin dan xerosis merupakan mediator yang dapat
menghambat atau menstimulasi (Cabýoglu et al., 2006).
Cara kerja lokal ditandai dengan adanya kemerahan atau hiperemis pada
lokasi tempat jarum ditusukkan, hal ini terjadi karena vasodilatasi.
Cara kerja segmental berhubungan dengan segmen spinal yang berbeda
(White, 2009). Sinyal dari NAU ditransmisikan melalui jalur spinal dan supraspinal,
terutama melalui traktus spinotalamikus, traktus spinoretikuler dan traktus lemniscus
medialis kolumna dorsalis. Akupunktur merangsang refleks akson dan komunikasi
antar cabang yang dekat dari saraf tulang belakang yang berbeda segmen, melalui
mediator neuroaktif yang dilepaskan karena stimulasi akupunktur dan akhirnya
memengaruhi organ yang setingkat segmen tersebut. Cara sentral berhubungan
dengan neural-pathway yang diteruskan sampai ke batang otak, subkortikal, dan
bekerja secara sistemik. Cara sentral berhubungan dengan sistem imun dan endokrin
(Zhang et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
35
a. Cara kerja akupunktur melalui sistem imun
Penusukan jarum Akupunktur pada titik Akupunktur akan mengeluarkan
berbagai macam mediator neurotransmiter, termasuk β endorfin (Han, 2004).
β endorfin yang dikeluarkan saat akupunktur memengaruhi keseimbangan Th-1 dan
Th-2 (Zijlstra et al., 2003; Gui et al., 2012). Pengaruh akupunktur sebagai anti
inflamasi berlangsung melalui proses keseimbangan Th-1 dan Th-2
(Kılıç Akça dan Taşcı, 2016). Zijlstra et al. (2003) mengemukakan bahwa efek
anti-inflamasi akupunktur, terjadi melalui pelepasanCalcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP) yang tergantung pada dosis dan waktu pelepasannya, sehingga menggeser
pembentukan sitokin anti-inflamasi. Sedangkan menurut Kavoussi dan Ross (2007)
efek anti-inflamasi akupunktur terjadi melalui penghambatan sintesis sitokin
pro-inflamasi oleh asetilkolin yang menempel pada reseptor α7nikotinikasetilkolin
sel makrofag; asetilkolin adalah neurotransmiter saraf parasimpatik. Anti-inflamasi
akupunktur sebanding dengan dexametason dalam menurunkan kadar sitokin
pro-inflamasi, tanpa memengaruhi kadar sitokin anti-inflamasi, namun hasil
penelitian lain menyatakan bahwa akupunktur dapat meningkatkan kadar sitokin
anti-inflamasi tanpa menurunkan sitokin pro-inflamasi (Santos et al., 2011;
da Silva et al., 2014).
b. Cara kerja akupunktur melalui sistem opioid
Akupunktur memengaruhi keseimbangan reseptor μ-opioid dan κ-opioid pada
sistem saraf pusat. Sejumlah penelitian akupunktur analgesi dan anestesi
menunjukkan peningkatan aktifitas opioid dengan meningkatkan pelepasan, kadar,
modulasi ekspresi dan fungsi opioid (Chao et al., 2013; Qi et al., 2014).
Universitas Sumatera Utara
36
Efek akupunktur terhadap β endorfin berlaku dua arah, yaitu meningkat
pada sistem sentral dan menurun pada sistem perifer atau sebaliknya (Han, 2004).
Pelepasan opioid endogen akibat akupunktur, dapat digolongkan sebagai efek sentral
yang memengaruhi hipotalamus, dan efek perifer pada sistem sirkulasi. β endorfin
juga memiliki afinitas yang sama dengan denorfin pada reseptor κ-opioid
(Li et al., 2001). Meskipun penelitian lain menunjukkan bahwa pada terapi uremik
pruritus, antara antagonis reseptor μ-opioid dengan plasebo, memberikan hasil
yang berbeda tidak bermakna secara statistik (Pauli-Magnus et al., 2000).
c. Cara kerja akupunktur memengaruhi neuropatik
Akupunktur telah lama digunakan untuk terapi nyeri neuropatik. Hasil penelitian
klinis menunjukkan bahwa akupunktur memberikan efek analgesi bermakna, pada
neuropati perifer yang menyebabkan nyeri kronik (Zhang et al., 2010). Akupunktur
juga memengaruhi mediator dari asam amino yang menginhibisi GABA dan yang
mengeksitasi glutamat (Li et al., 2013)
Di samping itu, akupunktur juga berperan pada model neuropatik melalui
inhibisi ekspresi COX2 (cyclooxygenase-2) (Kim et al., 2000), menormalkan
ekspresi protein di hipotalamus yang berhubungan dengan proses inflamasi,
metabolisme dan transduksi sinyal (Kim et al., 2003).
Pada tingkat molekuler, akupunktur menormalkan ekspresi 68 gen
yang meningkat lebih dari dua kali, pada model neuropatik, antara lain terhadap gen
yang berpengaruh kepada translasi sinyal, dan gen ekspresi yang berpengaruh
pada jalur nosiseptif (Kim et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
37
Sampai saat ini, hanya satu penelitian klinis Randomize Control Trial
yang menunjukkan bahwa akupunktur bermanfaat bagi neuropatik akibat kemoterapi.
Meskipun penelitian klinis lain memiliki keterbatasan metodologi, tetapi hasilnya
menunjukkan kemanfaatan akupunktur (Franconi et al., 2013).
2.6.2 Efek samping dan komplikasi akupunktur
Pada buletin yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO),
efek samping akupunktur berkisar antara 6,71%-15%, dengan keluhan yang
paling sering adalah nyeri lokal karena penjaruman (1,1%-2,9%), dan perdarahan
ringan atau hematom (2,1%-6,1%). Insiden kejadian yang serius seperti kematian,
trauma organ atau harus di rawat di rumah sakit sekitar 0,024%
(Zhang-Jin et al., 2010). Efek samping akupunktur dapat berupa: trauma, infeksi dan
kejadian lainnya. Beberapa penelitian lain, melaporkan bahwa keluhan yang paling
sering adalah nyeri penjaruman (1%-4,5%), perdarahan (0,03%-3,8%), sementara
sinkope dan rasa mau pingsan sangat jarang (Ernst dan White, 2001). Sedangkan
Wu et al. (2015) melaporkan bahwa komplikasi utama akupunktur adalah trauma
organ dalam, jaringan atau cedera saraf. Efek samping lain dapat juga terjadi,
termasuk sinkop, infeksi, perdarahan, alergi, luka bakar, afonia, histeria, batuk, haus,
demam, penurunan kesadaran dan jarum yang patah.
2.6.3 Penelitian klinis akupunktur
Kim et al. (2010) melakukan tinjauan sistematik (systematic review) terhadap
penelitian tentang tindakan akupunktur pada uremik pruritus, yang terdiri dari
penelitian uji klinis acak terkontrol (Randomized Control Trial), yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
38
oleh Che-yi et al. (2005), Gao et al. (2002), dan penelitian observasional
tidak terkontrol (Uncontrolled Observational Studies) oleh Shapiro dan Stockard
(2003). Kim et al. (2011) serta uji klinis terkontrol (Controlled Clinical Trial)
oleh Duo (1987). Hasil dari semua penelitian ini melaporkan efek menguntungkan
dari akupunktur, meskipun kebanyakan penelitian menunjukkan risiko bias
yang tinggi, sehingga laporan ini kurang meyakinkan. Dinyatakan bahwa
tidak cukup bukti kemanfaatan akupunktur, sebagai terapi yang efektif untuk uremik
pruritus karena kurang baiknya metodologi penelitian, sehingga kualitas penelitian
tidak optimal. Pada tinjauan sistematik ini, Kim et al. (2010) menyinggung tentang
hipotesis efek akupunktur akibat pengaruh sistem opioid endogen.
Che-yi et al. (2005) melakukan penelitian terhadap 40 orang pasien pruritus
uremik yang dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, 1 kelompok mendapat
perlakuan akupunktur pada titik LI11 Quchi selama 1 jam, 3 kali seminggu
selama 1 bulan, sedangkan pembanding mendapatkan akupunktur plasebo pada titik
yang berjarak 2 cm dari titik LI11 Quchi (Gambar 2.2). Hasil penelitian ini
menujukkan rerata skala pruritus mengalami perubahan dari 38,2±4,8 menjadi
17,3±5,5 sesudah akupunktur (p<0,001), dan 3 bulan kemudian, skala rerata menjadi
16,55±4,9 (p<0,001); sedangkan pada kelompok plasebo, rerata skala pruritus
dari 38,5±3,2 menjadi 37,5±3,2 sesudah akupunktur dan 3 bulan kemudian menjadi
36,5±4,6.
Che-yi et al. (2005) menduga cara kerja akupunktur berhubungan dengan sistem
opioid endogen dan Gate Theory, dimana efektifitas akupunktur
tidak berhubungan dengan perubahan magnesium, iPTH
(intact Parathyroid Hormone), fosfat dan kalsium. Efek samping akupunktur yang
Universitas Sumatera Utara
39
Gambar 2. 2 Lokasi titik Akupunktur LI11 Quchi (Che-yi et al. 2005)
dilaporkan berupa rasa pegal pada siku (2 orang pada kelompok akupunktur) dan
1 orang pada kelompok plasebo. Keluhan menghilang sesudah satu hari.
Perdarahan minimal ditemukan pada 3 orang di kelompok plasebo sedangkan
di kelompok akupunktur tidak ditemukan.
Gao et al. (2002) melakukan penelitian pada 68 orang dengan uremik pruritus
yang dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, 34 orang kelompok akupunktur dengan
titik akupunktur LI11 Quchi dan ST36 Zusanli selama 30 menit,
seminggu 2 kali selama 4 minggu (1 bulan), 34 orang lainnya adalah kelompok yang
mendapat chlortrimeton 4 mg, 3 kali sehari selama 1 bulan dan salep dermatitis
selama 2 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok akupunktur,
Universitas Sumatera Utara
40
70,6% (24 dari 34 orang) tanpa pruritus selama 1 bulan; 26,5% (9 dari 34 orang)
membaik, kemudian berkurang secara nyata selama 1 bulan. Hanya 1 orang (2,9%)
yang tidak efektif, sehingga angka efektifitas mencapai 97% (24 dari 34 orang).
16 orang tetap merasakan efek sampai 3 bulan dan 18 orang sampai 1 bulan.
Pada kelompok yang mendapat chlortrimeton 4 mg, 2 orang (5,9%) hilang
pruritusnya dalam 2 minggu, 22 orang (64,7%) membaik dan 10 orang (29,4%) tidak
berefek, sehingga angka efektifitasnya 70%. Saat obat dihentikan, seluruhnya
(100%) kembali merasakan pruritus pada kedua kelompok dengan p<0,01.
Gao et al. (2002) menduga bahwa cara kerja akupunktur adalah melalui sistem opioid
endogen dan sistem imun, dengan meningkatnya jumlah lekosit dan kekuatan pagosit
sistem retikuloendotelial.
Phan et al. (2018) melakukan penelitian pada 37 orang dengan uremik pruritus
dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, 18 orang di kelompok akupunktur dengan
titik akupunktur tunggal LI11 Quchi selama 1 jam, seminggu 2 kali selama
6 minggu; dan 19 orang lainnya di kelompok plasebo, menunjukkan perbedaan skala
pruritus yang bermakna (p=0.003) sesudah menjalani akupunktur, yaitu 7,89±0,832
(kelompok akupunktur) vs 10,63±3,166 (kelompok plasebo). Sesudah 4 minggu
selesai menjalani akupunktur, masih didapati perbedaan skala pruritus yang
bermakna (p=0,001) di antara kelompok akupunktur dengan akupunktur plasebo
(8,06±1,830 vs 10,95±3,341). Namun sesudah 8 minggu, perbedaan menjadi
tak bermakna. Akupunktur efektif mengurangi keluhan uremik pruritus, tetapi pada
beberapa subjek penelitian ditemukan efek samping perdarahan ringan (6,02%) yang
terkontrol dengan penekanan kapas beralkohol, dan hematom (1,85%).
Universitas Sumatera Utara
41
Foto-foto menunjukkan hubungan topografi struktur anatomi sekitar jarum Akupunktur disisipkan pada LI11 (panah dalam lingkaran putus-putus). LI11 terletak di ujung radial dari lipatan antecubital, setengah jarak antara tendon bisep dan epicondylus lateralis. (A) Jarum melubangi vena cephalic (ditandai dengan panah). (B) Jarum dimasukkan ke dalam otot extensor carpi radialis longus (ECRL). (C) Jarum sepenuhnya dimasukkan minimal kontak dengan saraf radialis (RN), otot brachioradialis (BR) dan saraf medialis (NM).
Gambar 2. 3 Anatomi titik Akupunktur LI11 Quchi (Kim et al., 2015)
2.6.4 Titik Akupunktur LI11 Quchi
Titik LI11 Quchi terletak pada sisi lateral siku, yaitu pada pertengahan yang
menghubungkan titik Lung (LU5) Chize dengan epicondilus lateraralis humerus.
Jika sendi siku dalam keadaan fleksi maksimal, LI11 Quchi terletak pada ujung
lekukan garis lateral lipat siku (Gambar 2.2). Pada lokasi titik ini terdapat cabang
persarafan n. radialis, n. cutaneus antebrachialis dorsalis dan
n. cutaneus antebrachialis lateralis dengan vaskularisasi dari cabang arteri
radialis rekuren (Gambar 2.3) (Kim et al., 2015).
Universitas Sumatera Utara
42
Gambar 2. 4 Anatomi titik Akupunktur LI11 Quchi (Kim et al., 2015)
2.6.4 Cara kerja akupunktur LI11 Quchi
Berbagai penelitian pada dekade terakhir secara signifikan telah memberikan
pemahaman tentang mekanisme molekuler interaksi antara sistem saraf dengan
sistem imun. Komunikasi dua arah neuroimun menandai sistem saraf sebagai bagian
penting dari sistem imun dalam mekanisme terjadinya inflamasi termasuk peran saraf
Vagus sebagai regulator fisiologis fungsi imun dan inflamasi
(Pavlov dan Tracey, 2015).
Penyisipan atau penusukan jarum akupunktur pada LI11 Quchi merangsang saraf
radialis, saraf medialis dan otot brachioradialis ekstensor carpi radialis longus.
Perangsangan ini membangkitkan sinyal pada saraf somatik sensori aferen yang
diteruskan ke medula spinalis pada segmen cervical (C) 5, C6 dan C7
(Wu et al., 2015). Pada medula spinalis, sinyal tersebut menginduksi aktivitas saraf
pada Nucleus Tractus Solitarii selanjutnya mengirimkan sinyal ke dorsal motor
nucleus serabut saraf eferen Vagus (Park dan Namgung, 2018).
Sinyal dari serabut saraf eferen Vagus disebarkan ke celiac ganglia pada
celiac plexus dimana saraf splenik berasal. Norepinefrin (NE) dilepaskan
dari saraf splenik yang berinteraksi dengan reseptor β2-adrenergik (β2-AR)
dan menyebabkan pelepasan asetilkolin (ACh) dari sel T yang mengandung
choline acetyltransferase fungsional (sel T-ChAT). ACh berinteraksi dengan
α7nicotinicacetylcholine receptor (α7nAChRs) pada makrofag
(Pavlov dan Tracey, 2017), keratinosit (Zia et al., 2000), limfosit, sel Mast,
sel dendritik dan basofil (Kawashima et al., 2007). Defisiensi atau gangguan sinyal
Universitas Sumatera Utara
43
pada α7-nAChR menyebabkan produksi sitokin yang berlebih,
dan meningkatkan kerusakan jaringan (Parrish et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
44
2.7 Kerangka Teori
Gambar 2. 5 Kerangka teori
Universitas Sumatera Utara
45
Kadar Interleukin-2 serum Kadar Interleukin-31 serum
Skala Pruritus
2.8 Kerangka Konsep
Gambar 2. 6 Kerangka Konsep
2.9 Hipotesis
2.9.1 Hipotesis mayor
Terdapat perubahan kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum sesudah tindakan
akupunktur yang berkorelasi dengan skala pruritus pada subjek Pt-PGK yang
menjalani HD.
2.9.2 Hipotesis minor
a. Terdapat penurunan rerata kadar IL-2, sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo.
b. Terdapat peningkatan kadar IL-2, sesudah 4 minggu evaluasi
(tanpa tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo).
c. Terdapat penurunan kadar IL-31, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur
LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo.
d. Terdapat peningkatan kadar IL-31, sesudah 4 minggu evaluasi.
Akupunktur titik LI11 Quchi
Variabel bebas Variabel terikat
Universitas Sumatera Utara
46
e. Terdapat penurunan skala pruritus, sesudah 6 minggu tindakan akupunktur
LI11 Quchi dibanding akupunktur plasebo.
f. Terdapat peningkatan skala pruritus, sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi.
g. Terdapat hubungan antara penurunan kadar IL-2 serum dengan penurunan
skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi.
h. Terdapat hubungan antara peningkatan kadar IL-2 serum dengan peningkatan
skala pruritus sesudah 4 minggu evaluasi.
i. Terdapat hubungan antara penurunan kadar IL-31 serum dengan penurunan
skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi.
j. Terdapat hubungan antara peningkatan kadar IL-31 serum dengan
peningkatan skala pruritus sesudah 4 minggu evaluasi
Universitas Sumatera Utara
47
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimental murni dengan disain
pretest-posttest dilanjutkan dengan test perbedaan antar kedua kelompok, tersamar
tunggal dengan randomisasi untuk mengetahui perubahan kadar IL-2 serum dan
kadar IL-31 serum serta korelasinya dengan perubahan skala pruritus antara
kelompok akupunktur dengan kelompok plasebo (kontrol) pada subjek Pt-PGK yang
menjalani HD.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di unit Hemodialisa lnstalasi Ginjal dan Hipertensi dan
Instalasi Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Rumah sakit ini dipilih karena berperan sebagai rumah sakit pendidikan yang telah
meraih akreditasi bertaraf internasional dari Joint Commission International (JCI)
dan dengan jumlah pasien HD yang memenuhi keperluan besar sampel penelitian.
3.2.2 Waktu penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember tahun 2018.
Universitas Sumatera Utara
48
48
3.3 Populasi dan Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi target penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani HD, sedangkan
populasi terjangkau adalah pasien Pt-PGK yang menjalani HD di ruang
unit Hemodialisa lnstalasi Ginjal dan Hipertensi Rumah Sakit Umum Pusat
H. Adam Malik Medan.
3.3.2 Subjek
Subjek penelitian adalah pasien Pt-PGK yang menjalani HD di ruang
unit Hemodialisa lnstalasi lnstalasi Ginjal dan Hipertensi Rumah Sakit Umum Pusat
H. Adam Malik Medan, yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak mempunyai
kriteria penolakan yang diambil secara konsekutif. Seluruh subjek penelitian diberi
penjelasan tentang berbagai hal yang berkenaan dengan penelitian ini, secara lisan
dan tertulis. Sesudah benar-benar memahami penjelasan tersebut, subjek penelitian
menyatakan bersedia turut serta dalam penelitian ini, dengan menandatangani
formulir persetujuan sesudah penjelasan (informed consent).
3.4 Kriteria Subjek Penelitian
3.4.1 Kriteria penerimaan:
a. Pria dan wanita dengan usia lebih dari 18 tahun.
b. Menjalani HD rutin 2 kali seminggu selama lebih dari 6 bulan dan
dalam keadaan hemodinamik stabil.
c. Hemodialisis dengan filter polysulfane dan larutan bikarbonat.
Universitas Sumatera Utara
49
d. Mengalami pruritus setidaknya 6 minggu sebelum dilakukan
tindakan akupunktur dan akupunktur plasebo.
e. Hanya menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan penyakit utama
(PGK) dan tidak memengaruhi pruritus.
f. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang memengaruhi pruritus
setidaknya selama periode washout obat.
g. Belum pernah mendapatkan tindakan akupunktur atau setidaknya
8 minggu terakhir tidak mendapatkan tindakan akupunktur.
3.4.2 Kriteria penolakan
a. Menolak atau tidak mengikuti protokol penelitian secara lengkap
oleh karena berbagai alasan.
b. Reaksi alergi terhadap jarum akupunktur.
c. Infeksi pada kulit tempat penusukan jarum akupunktur.
d. Mendapat perawatan di ruang perawatan intensif karena berbagai alasan.
e. Menggunakan obat-obatan yang dapat memengaruhi pruritus
yang diberikan oleh dokter yang merawat selama masa penelitian.
f. Menderita psoriasis dan atau dermatitis atopik selama masa penelitian.
g. Keadaan mental dan atau fisik yang memengaruhi kemampuan menjawab
pertanyaan kuesioner.
Universitas Sumatera Utara
50
3.5 Jumlah Subjek
Estimasi jumlah subjek untuk mengetahui komparatif rerata kadar IL-2 serum
(skala numerik), rerata kadar IL-31 serum (skala numerik), rerata skala pruritus
(skala numerik) masing-masing antara kelompok akupunktur dengan
kelompok plasebo dihitung dengan menggunakan perangkat lunak
G*Power 3.1.9.2 (Faul et al., 2007):
Dari hasil perhitungan besar sampel dengan menggunakan perangkat lunak G*Power
3.1.9.2 (Faul et al., 2007), diperoleh jumlah subjek kelompok akupunktur dan
kelompok plasebo masing-masing 28 orang.
Universitas Sumatera Utara
51
Estimasi jumlah subjek untuk mengetahui komparatif rerata kadar IL-2 serum
(skala numerik), rerata kadar IL-31 serum (skala numerik), rerata skala pruritus
(skala numerik) masing-masing sebelum dan sesudah akupunktur LI11 Quchi dan
plasebo dihitung dengan menggunakan perangkat lunak G*Power 3.1.9.2
(Faul et al., 2007):
Dari hasil perhitungan besar sampel dengan menggunakan perangkat lunak
G*Power 3.1.9.2 (Faul et al., 2007), diperoleh jumlah subjek kelompok akupunktur
dan kelompok plasebo masing-masing 15 orang.
Universitas Sumatera Utara
52
Estimasi jumlah subjek untuk mengetahui korelasi kadar IL-2 serum
(skala numerik) dengan skala pruritus (skala numerik) dan kadar IL-31 serum (skala
numerik) dengan skala pruritus (skala numerik) sesudah tindakan akupunktur
digunakan rumus (Dahlan, 2010):
n = besar sampel
α = kesalahan tipe 1, ditetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah, sehingga
Zα=1,96
β = kesalahan tipe 2, ditetapkan sebesar 10%, sehingga Zβ = 1, 28
r = koefisien korelasi minimal antara kadar IL-2 serum dan kadar IL-31
serum dengan skala pruritus yang dianggap bermakna, ditetapkan
sebesar 0,5. Nilai r = 0,5 ditetapkan oleh peneliti.
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus besar sampel di atas, diperoleh
jumlah subjek masing-masing kelompok 19 orang.
Berdasarkan perhitungan estimasi jumlah subjek secara komparatif antara
kelompok dan komparatif dalam kelompok akupunktur dan dalam kelompok plasebo
serta korelasi antara kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum dengan skala pruritus
maka jumlah subjek kelompok akupunktur dan kelompok plasebo 28 orang. Dengan
mempertimbangkan dropout subjek 10%, maka jumlah subjek masing-masing
kelompok pada penelitian ini 31 orang.
Universitas Sumatera Utara
53
Pasien hemodialisis dengan pruritus
Informed concent
Penilaian kriteria inklusi
Akup-plasebo n=30
Seminggu 2 kali Selama 6 minggu
(12 kali)
Analisa Data
Akup-LI11 n=30
Seminggu 2 kali Selama 6 minggu
(12 kali)
Penyajian dan Pelaporan
Jenis kelamin Usia Penyakit utama Lama HD URR IL-2 (IL-2P0) IL-31 (IL-31P0) Skor pruritus (SPP0) IMT (IP) Hb (HP0) Kreatinin (KP0) CRP (CP0)
Randomisasi
IL-2 (IL-2P1) IL-31 (IL-31P1) Skor pruritus (SPP1) Efek samping (ESP) 4 minggu
evaluasi
4 minggu evaluasi
IL-2 (IL-2S2) IL-31(IL-31S2) Skor pruritus (SPP2)
Jenis kelamin Usia Penyakit utama Lama HD URR IL-2 (IL-2A0) IL-31 (IL-31A0) Skor pruritus (SPA0) IMT (IA) Hb (HA) Kreatinin (KA) CRP (CA)
IL-2 (IL-2A1) IL-31 (IL-31A1) Skor pruritus (SPA1) Efek samping (ESA)
IL-2 (IL-2A2) IL-31(IL-31A2) Skor pruritus (SPA2)
Gambar 3. 1 Alur Penelitian
3.6 Alur Penelitian
Universitas Sumatera Utara
54
3.7 Variabel dan Definisi Operasional
3.7.1 Variabel bebas: a. Kelompok perlakuan adalah akupunktur yang dilakukan dengan penusukan jarum
tipis melalui kulit secara tegak lurus dengan permukaan kulit
di titik LI11 Quchi sedalam 1-1,5 cm yang berdekatan dengan penusukan jarum
pada prosedur HD, tanpa rangsang selama 1 jam, 2 kali seminggu selama
6 minggu pada pada pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
b. Kelompok plasebo (kelompok kontrol) adalah akupunktur plasebo yang dilakukan
dengan penempelan jarum tipis menggunakan plester pada permukaan kulit di
titik LI11 Quchi yang berdekatan dengan penusukan jarum pada prosedur HD,
tanpa rangsang selama 1 jam, 2 kali seminggu selama 6 minggu pada pasien
Pt-PGK yang menjalani HD.
3.7.2 Variabel terikat:
a. Kadar IL-2 serum adalah kadar IL-2 yang berada dalam darah serum Subjek HD
mengalami pruritus.
Cara ukur : Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). (Lampiran 6)
Hasil ukur : dalam satuan pg/ml.
Skala ukur : rasio.
b. Kadar IL-31 serum adalah kadar IL-31 yang berada dalam darah serum Subjek HD
mengalami pruritus.
Cara ukur : Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). (Lampiran 7)
Hasil ukur : dalam satuan pg/ml.
Skala ukur : rasio.
Universitas Sumatera Utara
55
c. Skala pruritus adalah penilaian kuantitatif multidimensi terhadap pruritus
yang dialami oleh pasien Pt-PGK yang menjalani HD terdiri dari dimensi: durasi,
intensitas, perkembangan, gangguan beraktivitas, dan lokasi rasa gatal yang
diperoleh melalui jawaban kuesioner.
Cara ukur : wawancara dengan menjawab kuesioner Skala Gatal
5 Dimensi (Wilandani, 2017) kemudian menjumlahkan nilai
dari kelima dimensi. (Lampiran 8)
Hasil ukur : skala antara 5 hingga 25.
Skala ukur : rasio.
d. Efek samping akupunktur adalah rasa nyeri yang timbul akibat tindakan
akupunktur.
Cara ukur : Visual Analogue Scale (VAS) (Lampiran 9)
Hasil ukur : skala antara 0 hingga 10.
Skala ukur : interval.
3.8 Cara Kerja Penelitian
3.8.1 Subjek yang berpotensi masuk ke dalam penelitian adalah semua pasien
Pt-PGK yang menjalani HD.
3.8.2 Pada subjek tersebut diberikan penjelasan secara lisan dan tertulis oleh tim
penelitian yang sebelumnya telah dilatih untuk memberikan penjelasan
tentang berbagai hal yang terkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan,
diikuti dengan pemberian formulir persetujuan turut serta sebagai subjek
penelitian, untuk ditandatangani (PSP/informed consent).
Universitas Sumatera Utara
56
3.8.3 Semua pasien Pt-PGK yang menjalani HD yang telah menandatangani
informed consent diambil secara konsekutif, dan dinilai apakah memenuhi
kriteria penerimaan,
3.8.4 Darah vena dari subjek penelitian diambil sebanyak 5 ml dengan
menggunakan vacuette, dan dikirim ke laboratorium klinik
untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum, kreatinin,
hemoglobin dan CRP. Penilaian skala pruritus dengan menggunakan
kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et al., 2018) dan pengukuran
indeks masa tubuh dilakukan sesudah prosedur HD selesai yang dilakukan
oleh seorang anggota peneliti yang sudah dilatih.
3.8.5 Subjek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapat tindakan
akupunktur dan kelompok yang mendapat tindakan plasebo. Penentuan
kelompok setiap subjek dilakukan secara random dengan bantuan aplikasi
online Research Randomizer pada https://www.randomizer.org/ .
3.8.6 Sesudah subjek menjalani HD selama 1 jam, bila keadaan hemodinamik
stabil maka pada jam ke-2, pada subjek dilakukan tindakan aseptik
dan pemberian antiseptik pada titik LI11 Quchi.
3.8.7 Pada kelompok akupunktur diberi tindakan penusukan jarum steril
(diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) tegak lurus
pada permukaan kulit sedalam 1-1,5 cm pada titik LI11 Quchi,
yang berdekatan dengan penusukan jarum pada prosedur HD
(Gambar 3.2) dan dibiarkan selama 1 jam.
Universitas Sumatera Utara
57
1
Gambar 3. 3 Kelompok akupunktur plasebo
Pada kelompok akupunktur plasebo diberi tindakan penempelan jarum steril
(diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) dengan bantuan
plester pada titik LI11 Quchi (Gambar 3.3) dan dibiarkan selama 1 jam.
Tindakan ini dilakukan oleh dokter yang telah tersertifikasi
oleh kolegium Perhimpunan Dokter Akupunktur Indonesia (PDAI) atau
oleh dokter Spesialis Akupunktur Medik (Sp. Ak) dengan pengalaman lebih
dari 2 tahun sebagai praktisi akupunktur.
Gambar 3. 2 Kelompok akupunktur
Penempelan jarum akupunktur
Jarum prosedur HD
Penusukan jarum akupunktur
Jarum prosedur HD
Universitas Sumatera Utara
58
3.8.8 Tindakan akupunktur dan plasebo diberikan 2 kali seminggu selama
6 minggu (Phan et al., 2018) dan dilakukan penilaian terhadap
efek samping akupunktur dan plasebo.
3.8.9 Sesudah subjek mendapat 12 kali tindakan akupunktur dan plasebo selama
6 minggu, darah vena subjek penelitian diambil sebanyak 5 ml dengan
menggunakan vacuette, dan dikirim ke laboratorium klinik
untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum.
Sesudah pengambilan darah selesai dilanjutkan dengan penilaian
skala pruritus menggunakan kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi
(Wulandani et al., 2018) yang dilakukan oleh seorang anggota peneliti yang
sama pada penilaian pruritus sebelumnya.
3.8.10 Sesudah 4 minggu evaluasi, darah vena diambil sebanyak 5 ml dengan
menggunakan vacuette dan dikirim ke laboratorium klinik
untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum.
Sesudah pengambilan darah selesai dilanjutkan penilaian skala pruritus
menggunakan Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et al., 2018) dilakukan
oleh anggota peneliti yang sama pada penilaian pruritus sebelumnya.
3.9 Analisis Data
Data dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS dengan p<0,05 dianggap
bermakna secara statistik.
Universitas Sumatera Utara
59
3.9.1 Analisis Univariat (deskriptif)
a. Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk:
Data terdistribusi normal: lama menjalani HD, hemoglobin,
kadar kreatinin serum, kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum dan
skala pruritus, disajikan dalam rerata ( ) dan simpangan baku (SD).
Data terdistribusi tidak normal (sesudah transformasi log10): CRP dan
IMT sesudah HD, disajikan dalam median (Me) dan minimal-maksimal
(min-maks).
b. Data jenis kelamin, usia, suku, penyakit utama dan efek samping
akupunktur disajikan dalam jumlah (n) dan persentase (%).
3.9.2 Analisis Bivariat
a. Unpaired t test dilakukan untuk mengetahui perbandingan rerata:
lama menjalani HD, hemoglobin, kadar kreatinin serum, kadar IL-2 serum,
kadar IL-31 serum dan skala pruritus, sebelum
tindakan akupunktur LI11 Quchi dan akupunktur plasebo.
b. Uji Mann Whitney dilakukan untuk mengetahui perbandingan median
CRP dan IMT sesudah HD, sebelum tindakan akupunktur LI11 Quchi dan
akupunktur plasebo.
c. Uji Chi square dilakukan untuk mengetahui perbandingan proporsi: usia,
jenis kelamin, suku dan penyakit utama, sebelum tindakan akupunktur
LI11 Quchi dan akupunktur plasebo.
d. Paired t test dilakukan untuk perbandingan mengetahui rerata:
kadar IL-2 serum, kadar IL-31 dan skala pruritus masing-masing:
x
Universitas Sumatera Utara
60
sebelum dan sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi
dan plasebo serta sesudah 4 minggu evaluasi (tanpa akupunktur dan
akupunktur plasebo).
e. Uji korelasi Pearson dilakukan untuk mengetahui hubungan: kadar IL-2
serum dengan skala pruritus dan kadar IL-31 dengan skala pruritus
sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dan akupunktur
plasebo serta sesudah 4 minggu evaluasi.
3.10 Etik Penelitian
Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, sesudah
melaksanakan pembahasan dan penilaian usulan penelitian berdasarkan kaidah
Neuremberg dan Deklarasi Helsinki, memberikan Persetujuan Komisi Etik Tentang
Pelaksanaan Penelitian Kesehatan No: 455/TGL/FK USU-RSUP HAM/2018 tanggal
31 Juli 2018 di Medan.
Universitas Sumatera Utara
61
BAB IV
HASIL
Telah dilakukan penelitian eksperimental murni dengan desain pretest-posttest
dilanjutkan dengan test perbedaan antar kedua kelompok, tersamar tunggal dengan
randomisasi untuk mengetahui perubahan kadar IL-2 serum dan kadar IL-31 serum
serta korelasinya dengan perubahan skala pruritus antara kelompok akupunktur
dengan kelompok plasebo pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
Penelitian dimulai sejak Agustus 2018 hingga Desember 2018, setelah mendapat
persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara dan RSUP. H. Adam Malik Medan. Subjek penelitian
diperoleh dari pasien yang menjalani hemodialisis pada Unit Hemodialisis, Instalasi
Ginjal dan Hipertensi RSUP. H. Adam Malik Medan. Pemeriksaan sampel darah
dilakukan di Instalasi Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan. Pada rentang
waktu penelitian, bulan Agustus hingga Desember 2018. 62 subjek telah memenuhi
kriteria penerimaan menyatakan bersedia turut serta dalam penelitian ini dan telah
menandatangani informed consent, kemudian dibagi secara acak menjadi 31 subjek
pada kelompok akupunktur dan 31 subjek pada kelompok plasebo. Namun 1 subjek
pada kelompok akupunktur dan 1 subjek dari kelompok plasebo memiliki kriteria
penolakan, yaitu mendapat perawatan di ruang rawat inap sehingga tidak mengikuti
prosedur penelitian secara lengkap. Tiga puluh subjek pada masing-masing
kelompok memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memiliki kriteria penolakan.
Selama penelitian, tidak ada perubahan terhadap prosedur hemodialisis dan
penggunaan obat-obatan kecuali obat yang memengaruhi pruritus, dihentikan 7 hari
Universitas Sumatera Utara
62
(washout periode) sebelum penelitian. Antipruritus yang digunakan oleh subjek pada
penelitian ini adalah cetrizine HCl. Karakteristik subjek yang mengikuti penelitian
ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Universitas Sumatera Utara
63
Uji normalitas Saphiro-Wilk dilakukan untuk menentukan normalitas sebaran data
penelitian. Data yang terdistribusi tidak normal (p<0,05) dilakukan transformasi
log10.
Tabel 4. 1 Uji normalitas data
Data Kelompok Shapiro-Wilk
Sebelum trans. log10 Sesudah trans. log10
Lama HD Akup Plasebo
0,010 0,148
0,114 0,148
IMT Akup Plasebo
0,037 0,009
0,580 0,008*
Hb Akup Plasebo
0,186 0,773
- -
Kreatinin Akup Plasebo
0,937 0,350
- -
CRP Akup Plasebo
0,000 0,000
<0,001* <0,001*
URR Akup Plasebo
0,900 0,086
- -
IL-2 Pre Akup Plasebo
0,000 0,000
0,440 0,128
IL-2 Post 6 mgg Akup Plasebo
0,006 0,000
0,061 0,260
IL-2 Post 4 mgg Akup Plasebo
0,000 0,002
0,438 0,584
IL-31 Pre Akup Plasebo
0,000 0,000
0,225 0,448
IL-31 Post 6 mgg Akup Plasebo
0,000 0,000
0,150 0,870
IL-31 Post 4 mgg Akup Plasebo
0,000 0,000
0,325 0,102
IL-Pru Pre Akup Plasebo
0,074 0,115
- -
IL-Pru Post 6 mgg Akup Plasebo
0,117 0,067
- -
IL-Pru Post 4 mgg Akup Plasebo
0,149 0,082
- -
*Distribusi tidak normal (p<0,05)
Universitas Sumatera Utara
64
4.1 Karakteristik Subjek Tabel 4. 2 Karakteristik subjek
Karakteristik Akupunktur Plasebo Total p n (%)
30 (50)
30 (50)
60 (100,00)
Jenis kelamin (%): - Laki-laki - Perempuan
22 (36,70) 8 (13,30)
22 (36,70) 8 (13,30)
44 (73,30) 16 (26,70)
1,000a
Usia (tahun) (%)
- 20-29 - 30-38 - 39-47 - 48-56 - 57-65 - 66-74 - 75-83
Suku (%):
- Karo - Toba - Jawa - Mandailing
1 (1,70) 3 (5,00) 4 (6,70) 9 (150)
12 (20,00) 1 (1,70) 0 (0,00)
11 (18,30) 9 (15,00) 7 (11,70) 3 (5,00)
7 (11,70) 1 (1,70) 4 (6,70) 7 (11,70) 7 (11,70) 3 (5,00) 1 (1,70)
13 (21,70) 8 (13,30) 6 (10,00) 3 (5,00)
8 (13,30) 4 (6,70) 8 (13,30) 16 (26,70) 19 (31,70) 4 (6,70) 1 (1,70)
24 (40,00) 17 (28,30) 13 (21,70) 6 (10,00)
0,170a
0,960a
Penyakit utama (%):
- Hipertensi - Diabetes Nefropati - Peny. Ginjal Obst.
Infeksi
15 (25,00) 10 (16,70) 5 (8,30)
11 (18,30) 11 (18,30) 8 (13,30)
26 (43,30) 21 (35,00) 13 (21,70)
0,508a
IMT sesudah HD Median (min-maks)
23,41 (16,44-37,18) 23,54 (17,69-28,13) 0,442b
CRP Kuantitatif (mg/dl) Median (min-maks)
0,35 (0,35-1,40) 0,35 (0,35-2,80) 0,648b
Lama HD (bulan) (rerata±SD) URR (rerata±SD)
38,73±19,98
0,70±0,07
35,63±16,97
0,69±0,7
0,520c
0,780c Hemoglobin (g/dl) (rerata±SD)
9,30±1,50
9,52±1,38
0,551c
Kreatinin (mg/dl) (rerata±SD)
15,22±3,79
15,84±4,19
0,550c
IL-2 (pg/ml) (rerata±SD)
105,66±94,24
99,40±92,55
0,802c
Il-31 (pg/ml) (rerata±SD)
35,88±39,79
36,27±29,31
0,965c
Skala pruritus (rerata±SD)
16,30±4,15
16,83±3,97
0,613c
aChi Square test, bMann-Whitney test, ct test unpaired.
Universitas Sumatera Utara
65
Tabel 4.2 menunjukkan analisis karakteristik univariat pada kelompok
akupunktur dan plasebo. Sebagian besar subjek dengan jenis kelamin laki-laki
(73,30%), dengan kelompok usia 57-65 tahun (31,70%): 12 subjek (20,00%) pada
kelompok akupunktur dan 7 subjek (11,70%) pada kelompok plasebo. Karo
merupakan suku terbanyak (40,00%): 11 subjek (18,30%) pada kelompok
akupunktur, dan 13 subjek (21,70%) kelompok plasebo. Hipertensi sebagai penyakit
utama terbanyak (43,30%): 15 subjek (25,00%) pada kelompok akupunktur dan
11 subjek (18,30%) kelompok plasebo. Analisis karakteristik bivariat dengan
uji Chi square antar kelompok didapati jenis kelamin (p=1,000), usia (p=0,170),
suku (p=0,960) dan penyakit utama (p=0,508).
Data karakteristik: IMT sesudah HD, CRP, lama HD, URR, Hemoglobin,
kreatinin serum, IL-2 serum, IL-31 serum dan skala pruritus sebagian besar
terdistribusi tidak normal, maka sebelum analisis karakteristik bivariat antara
kelompok akupunktur dengan kelompok plasebo dilakukan transformasi log10,
namun sesudah dilakukan transformasi log10 didapati data IMT sesudah HD dan
CRP tetap terdistribusi tidak normal (Tabel 4.1). Analisis karakteristik bivariat
dengan uji Mann Whitney didapati IMT sesudah HD (p=0,442) dan CRP (p=0,648),
dengan unpaired t test didapati lama HD (p=0,520), URR (p=0,780),
Hemoglobin (p=0,551), kreatinin serum (p=0,550), IL-2 serum (p=0,802),
IL-31 serum (p=0,965) dan skala pruritus (p=0,613). Seluruh hasil analisis
karakteristik bivariat menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p>0,05) antara
kelompok akupunktur dengan kelompok plasebo.
Universitas Sumatera Utara
66
4.2 Kadar Interleukin 2 Serum
Tabel 4. 3 Kadar IL-2 serum sebelum dan sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo
Kelompok Kadar IL-2 serum (pg/ml)
(rerata±SD) p
Akupunktur Sebelum 105,66±94,24
0,007a
0,013b Sesudah 51,59±37,95
Plasebo Sebelum 99,57±92,55
0,852a Sesudah 104,66±104,59
aPaired t-test, bUnpaired t-test
Tabel 4.3 hasil paired t test, rerata kadar IL-2 serum sebelum dan sesudah
6 minggu pada kelompok akupunktur menunjukkan penurunan yang signifikan
(p=0,007), dan rerata kadar IL-2 serum sebelum dan sesudah 6 minggu pada
kelompok plasebo menunjukkan peningkatan yang tidak signifikan (p=0,852).
Uji statistik unpaired t test, rerata kadar IL-2 serum kelompok akupunktur dengan
kelompok plasebo sesudah 6 minggu tindakan akupunktur menunjukkan perbedaan
signifikan (p=0,013). Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata kadar IL-2 serum
sesudah 6 minggu tindakan akupunktur pada LI11 Quchi, menurun secara signifikan
pada subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
67
Tabel 4. 4 Kadar IL-2 serum sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi
Kelompok Kadar IL-2 serum (pg/ml)
(rerata±SD) p
Akupunktur Sebelum 51,59±37,95
0,011a
0,658b Sesudah 96,17±88,70
Plasebo Sebelum 104,66±104,59
0,989a Sesudah 104,97±61,95
aPaired t-test, bUnpaired t-test
Tabel 4.4 hasil paired t test, rerata kadar IL-2 serum sebelum dan sesudah
4 minggu evaluasi pada kelompok akupunktur menunjukkan peningkatan yang
signifikan (p=0,011), dan sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi pada kelompok
plasebo menunjukkan peningkatan yang tidak signifikan (p=0,989). Uji statistik
unpaired t test, rerata kadar IL-2 serum kelompok akupunktur dengan kelompok
plasebo sesudah 4 minggu evaluasi menunjukkan perbedaan tidak signifikan
(p=0,658). Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata kadar IL-2 serum sesudah
4 minggu evaluasi, meningkat tidak signifikan pada subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
68
4.3 Kadar Interleukin 31 Serum
Tabel 4. 5 Kadar IL-31serum sebelum dan sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo
Kelompok Kadar IL-31 serum (pg/ml)
(rerata±SD) p
Akupunktur Sebelum 35,88±39,79
0,916a
0,931b
Sesudah 35,32±32,92
Plasebo
Sebelum 36,27±29,31
0,954a Sesudah 35,99±25,87
aPaired t-test, bUnpaired t-test
Tabel 4.5 hasil paired t test, rerata kadar IL-31 serum sebelum dan sesudah
6 minggu pada kelompok akupunktur menunjukkan penurunan yang tidak signifikan
(p=0,916), dan rerata kadar IL-31 serum sebelum dan sesudah 6 minggu pada
kelompok plasebo menunjukkan penurunan yang tidak signifikan (p=0,954).
Uji statistik unpaired t test, rerata kadar IL-31 serum kelompok akupunktur dengan
kelompok plasebo sesudah 6 minggu tindakan akupunktur menunjukkan perbedaan
tidak signifikan (p=0,931). Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata
kadar IL-31 serum sesudah 6 minggu tindakan akupunktur pada LI11 Quchi,
menurun secara tidak signifikan pada subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
69
Tabel 4. 6 Kadar IL-31serum sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi
Kelompok Kadar IL-31 serum (pg/ml)
(rerata±SD) p
Akupunktur Sebelum 35,32±32,92
0,860a
0,974b Sesudah 36,13±26,81
Plasebo Sebelum 35,99±25,87
0,982a Sesudah 35,86±38,05
aPaired t-test, bUnpaired t-test
Tabel 4.6 hasil paired t test, rerata kadar IL-31 serum sebelum dan sesudah
4 minggu evaluasi pada kelompok akupunktur menunjukkan peningkatan yang tidak
signifikan (p=0,860), sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi pada kelompok
plasebo menunjukkan penurunan yang tidak signifikan (p=0,982). Uji statistik
unpaired t test, rerata kadar IL-31 serum kelompok akupunktur dengan kelompok
plasebo sesudah 4 minggu evaluasi menunjukkan perbedaan tidak signifikan
(p=0,974). Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata kadar IL-31 serum sesudah
4 minggu evaluasi, meningkat secara tidak signifikan pada subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
70
4.4 Skala Pruritus
Tabel 4. 7 Skala pruritus sebelum dan sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo
Kelompok Skala pruritus (rerata±SD)
p
Akupunktur Sebelum 16,30±4,15
<0,001a
0,028b Sesudah 11,43±3,23
Plasebo Sebelum 16,83±3,97
0,023a Sesudah 13,83±4,82
aPaired t-test, bUnpaired t-test
Tabel 4.7 hasil paired t test, rerata skala pruritus sebelum dan sesudah 6 minggu
pada kelompok akupunktur menunjukkan penurunan yang signifikan (p<0,001) dan
rerata skala pruritus sebelum dan sesudah 6 minggu pada kelompok plasebo
menunjukkan penurunan yang signifikan (p=0,023). Uji statistik unpaired t test,
rerata skala pruritus kelompok akupunktur dengan kelompok plasebo sesudah
6 minggu tindakan akupunktur menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,028).
Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan
akupunktur pada LI11 Quchi, menurun secara signifikan pada subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
71
Tabel 4. 8 Skala pruritus sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi
Kelompok Skala pruritus (rerata±SD)
p
Akupunktur Sebelum 11,43±3,23
0,151a
0,030b Sesudah 12,27±3,10
Plasebo Sebelum 13,83±4,82
0,454a Sesudah 14,80±5,35
aPaired t-test, bUnpaired t-test
Tabel 4.8 hasil paired t test, rerata skala pruritus sebelum dan sesudah 4 minggu
evaluasi pada kelompok akupunktur menunjukkan peningkatan yang tidak signifikan
(p=0,151), sebelum dan sesudah 4 minggu evaluasi pada kelompok plasebo
menunjukkan peningkatan yang tidak signifikan (p=0,454). Uji statistik
unpaired t test, rerata skala pruritus kelompok akupunktur dengan kelompok plasebo
sesudah 4 minggu evaluasi menunjukkan perbedaan yang signifikan (p=0,030).
Penelitian ini menunjukkan bahwa rerata skala pruritus sesudah 4 minggu evaluasi,
meningkat secara signifikan pada subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara
72
4.5 Hubungan Kadar IL-2 Serum dengan Skala Pruritus
Tabel 4. 9 Hubungan kadar IL-2 serum dengan skala pruritus sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo dan sesudah 4 minggu evaluasi
Hubungan IL-2 serum-skala pruritus r r2 p
Sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo 0,278 0,077 0,031
Sesudah 4 minggu evaluasi 0,130 0,017 0,322
Tabel 4.9 hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara kadar IL-2
serum dengan skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan akupunktur pada LI11 Quchi
adalah positif dan lemah (r=0,278) (Taylor, 1990) serta signifikan (p=0,031) dengan
koefisien determinasi (r2x100%)=7,73%, dan hubungan antara rerata kadar IL-2
serum dengan rerata skala pruritus sesudah 4 minggu evaluasi adalah positif dan
sangat lemah (r=0,130) (Taylor, 1990) serta tidak signifikan (p=0,322) dengan
koefisien determinasi (r2x100%) =1,73%.
4.6 Hubungan Kadar IL-31 Serum dengan Skala Pruritus
Tabel 4. 10 Hubungan kadar IL-31 serum dengan skala pruritus sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo dan sesudah 4 minggu evaluasi
Hubungan IL-31 serum-skala pruritus r r2 p
Sesudah 6 minggu akupunktur dan plasebo 0,177 0,031 0,176
Sesudah 4 minggu evaluasi -0,216 0,047 0,097
Tabel 4.10 hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara kadar IL-31
serum dengan skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan akupunktur pada LI11 Quchi
adalah positif dan lemah (r=0,177) (Taylor, 1990) serta tidak signifikan (p=0,176)
Universitas Sumatera Utara
73
dengan koefisien determinasi (r2x100%)=3,13%, dan hubungan antara rerata kadar
IL-31 serum dengan rerata skala pruritus sesudah 4 minggu evaluasi adalah negatif
dan sangat lemah (r=-0,216) (Taylor, 1990) serta tidak signifikan (p=0,097) dengan
koefisien determinasi (r2x100%) =0,22%.
4.7 Efek Samping Akupunktur LI11 Quchi
Tabel 4. 11 Efek samping akupunktur LI11 Quchi
Efek samping Akupunktur Plasebo
Nyeri - % (persen) - Rerata Visual Analog Scale
3,61 2,15
- -
Perdarahan - % (persen)
2,50
-
Tabel 4.11 menunjukkan efek samping akupunktur LI11 Quchi menyebabkan rasa
nyeri 3,61% dari 360 tindakan (12x pada 30 subjek) dengan nilai rerata VAS 2,15
dan terjadi perdarahan minimal sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi
sebanyak 2,50%.
Universitas Sumatera Utara
74
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Subjek
Patofisiologi Pt-PGK belum sepenuhnya dipahami, beberapa faktor dianggap
memengaruhi perkembangan pruritus (Aramwit dan Supasyndh, 2015). Penelitian
terdahulu telah membuktikan adanya multifaktor yang memengaruhi pruritus pada
pasien PGK yang menjalani HD.
Karakteristik subjek yang diamati pada penelitian ini meliputi: jenis kelamin,
usia, suku (ras), penyakit utama, IMT, CRP, lama HD, URR (adekuasi), hemoglobin,
dengan IL-2 dan IL-31 serta pruritus sebagai variabel yang dibandingkan diantara
kedua kelompok.
Penelitian multisenter terhadap faktor-faktor terkait pruritus pada 249 pasien HD
yang dilakukan oleh Ozen et al. (2018), mendapatkan pruritus terbanyak pada pria
(54,1%), dengan rerata usia 62,54±12,77, dan hipertensi (27,1%) sebagai penyakit
utama. Disamping itu, skrining ketat terhadap 42 publikasi penelitian pada 11.800
pasien pruritus yang dilakukan oleh Hu et al. (2018), mendapatkan prevalensi pada
laki-laki 56% lebih tinggi.
Adekuasi hemodialisis yang tercermin dari kadar kreatinin, CRP, IMT yang
tinggi dan hemoglobin yang rendah, serta ras kulit hitam, dberhubungan dengan
intensitas pruritus yang lebih tinggi dengan hipertensi (80%) sebagai komorbid
(Gobo-Oliveira et al., 2017; Malekmakan et al., 2015).
Kadar IL-2 lebih tinggi secara signifikan pada pasien yang menjalani HD dengan
pruritus dibanding pasien HD tanpa pruritus (Fallahzadeh et al., 2011),
Universitas Sumatera Utara
75
dan kadar IL-31 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang menjalani HD
dengan gejala pruritus, dan adanya hubungan positif paparan-respons antara kadar
IL-31 serum dengan intensitas pruritus (Ko et al., 2014).
Karakteristik subjek pada pada penelitian ini (Tabel 4.2) merupakan faktor-
faktor yang memengaruhi pruritus. Uji statistik yang membandingkan karakteristik
subjek antara kelompok akupunktur dengan kelompok plasebo menunjukkan adanya
perbedaan diantara kedua kelompok yang tidak signifikan (p>0,05). Kondisi ini
membuktikan bahwa kedua kelompok penelitian tersebut merupakan kelompok yang
matched pairs dalam memengaruhi pruritus.
5.2 Kadar Interleukin 2 Serum
Interleukin 2 diproduksi oleh sel-sel CD4+ Th1 pada organ-organ limfoid
sekunder, sesudah stimulasi antigen (Leonard, 2001) dan juga oleh sel-sel CD8+ T,
sel-sel Mast (Hershko et al., 2011) dan sel-sel Dendritik (DCs) (Granucci et al.,
2001; Zelante et al., 2012). IL-2 berfungsi mengaktifkan sel-sel Treg untuk
menghasilkan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan Gamma Interferon (IFN-γ)
serta meningkatkan aktifitas sel-sel Natural killer (NK cells), sehingga berperan
dalam pengendalian respon imun dan patogenesis beberapa keadaan patologis,
seperti kanker, gangguan metabolik, penyakit infeksi, autoimun dan inflamasi
(Capobianco et al., 2016).
Reseptor IL-2 dijumpai pada permukaan keratinosit. Keratinosit adalah
sel-sel yang memiliki beberapa peran penting dalam patogenesis pruritus. Sel-sel
keratinosit menghasilkan beberapa sitokin dan peptida termasuk sel Mast kulit dan
limfosit T yang langsung atau tidak langsung merangsang reseptor pruritus pada
Universitas Sumatera Utara
76
ujung saraf aferen (Brennan, 2014). Aoki et al. (2013) melaporkan bahwa jumlah sel
Mast kulit penderita uremik pruritus meningkat, sel-sel ini melepas berbagai zat
termasuk histamin, TNF-α dan IL-6, yang merupakan penanda inflamasi.
Peran IL-2 sebagai pruritogenik telah dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya kemerahan dan pruritus menyeluruh pada
tubuh, sesudah tindakan pemberian rekombinan IL-2 dosis tinggi, pada pengobatan
kanker (Gaspari et al., 1987). Beberapa bukti lain berkenan dengan peran IL-2
sebagai pruritogenik adalah sebagai berikut: penyuntikan intradermal IL-2
menyebabkan pruritus dan eritema, baik pada orang sehat maupun pasien dermatitis
atopik (Wahlgren et al., 1995), induksi pruritus sesudah penyuntikan intradermal
IL-2 (Darsow et al., 1997), Nakamura et al. (2003) menemukan peningkatan jumlah
sel-sel imunoreaktif IL-2 pada lesi psoriasis yang pruritus dibanding yang
nonpruritus. Tindakan pemberian dosis tinggi IL-2 pada pasien dengan keganasan
tertentu termasuk metastasis sel karsinoma ginjal dan melanoma ganas sering
menyebabkan pruritus yang intens (Ikoma et al., 2006). Penyuntikan IL-2
intradermal pada hewan coba (anjing) menginduksi pruritus dan perubahan
histopatologis yang mirip dengan yang terlihat pada biopsi kulit pasien dermatitis
atopik (Carr et al., 2009), demikian pula pada alergi dan penyakit atopik
(Buddenkotte dan Steinhoff, 2010).
Aktivasi CD4+ Th1 limfosit dan jumlah IL-2, IFN-γ dan TNF-α (sitokin
pro-inflamasi) yang berlebihan selama hemodialisis terjadi akibat kontak darah
dengan membran dialisis (Hőrl, 2002; Kimmel et al., 2006), demikian juga
Fallahzadeh et al. (2011) membuktikan Gamma Interferon (IFN-γ) dan kadar IL-2
yang tinggi secara signifikan pada pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
Universitas Sumatera Utara
77
Hasil penelitian ini menunjukkan sesudah 6 minggu akupunktur LI11 Quchi pada
subjek Pt-PGK yang menjalani HD terbukti menurunkan kadar IL-2 serum
(pro-inflamasi) secara signifikan (p=0,011) (Tabel 4.3) dan menurunkan kadar
IL-31 serum (anti-inflamasi) secara tidak signifikan (p=0,931) (Tabel 4.5).
Hasil ini menunjukkan efek anti-inflamasi akupunktur menurunkan kadar sitokin
pro-inflamasi tanpa memengaruhi kadar sitokin anti-inflamasi yang sejalan dengan
hasil penelitian yang diperoleh Santos et al., (2011). Namun hasil penelitian lain
menunjukkan hasil yang tidak sejalan berupa peningkatan kadar sitokin
anti-inflamasi tanpa menurunkan sitokin pro-inflamasi sebagai efek akupunktur
(da Silva et al., 2014).
Penelitian terdahulu yang membuktikan akupunktur LI11 Quchi menurunkan
kadar IL-2 serum pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD, tetapi dengan mekanisme
yang belum begitu jelas.
Pada penelitian ini, didapati penurunan kadar IL-2 serum yang signifikan
(p=0,011) sesudah 6 minggu akupunktur pada LI11 Quchi (Tabel 4.3) tetapi terjadi
peningkatan secara tidak signifikan (p=0,658) sesudah 4 minggu evaluasi
(Tabel 4.4), yang kemungkinan dapat dihubungkan dengan sel-sel CD4+ dan CD8+.
Sel-sel CD4+ dan CD8+ merupakan sel yang menghasilkan IL-2 (Leonard, 2001).
Jong et al. (2006) membuktikan penurunan populasi CD4+ dan CD8+ sesudah
akupunktur pada L11 Quchi yang dilakukan pada orang dewasa normal.
Hasil penelitian lain, menunjukkan bahwa IL-2 dapat mengaktifkan sel-sel Treg
untuk menghasilkan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) dan Gamma Interferon
(IFN-γ) (Capobianco et al., 2016), sehingga penurunan TNF-𝛼 secara tidak langsung
berhubungan dengan penurunan IL-2.Disamping itu,akupunktur pada LI11 Quchi
Universitas Sumatera Utara
78
menurunkan TNF-α pada tikus yang diinduksi dengan Carrageenan
(Fang et al., 2007), menghambat ekspresi TNF-𝛼 pada tikus model dermatitis atopik
(Park et al., 2013), menurunkan TNF-α pada tikus yang diinduksi MCAO
(Han et al., 2015), dan menurunkan TNF-α pada kelinci jantan putih yang diinduksi
endotoksin (Wang et al. 2017). Selain itu, stimulasi pada kombinasi titik akupunktur
LI11 Quchi dan ST36 Zusanli, menurunkan TNFα pada tikus model iskemia otak
(Lan et al., 2012).
5.3 Kadar Interleukin 31 Serum
Interleukin-31 terutama dihasilkan oleh sel-sel CD4+ Th2 (anti-inflamasi) dan
sel-sel skin-homing CD45R0 CLA+ T (Bilsborough et al., 2006). Sumber seluler
utama yang lain adalah sel-sel Mast yang memainkan peran penting dalam
pengembangan pruritogenesis pada Philadelphia chromosome-negative
myeloproliferative disorders. Sel-sel Mast meningkatkan kadar pruritogenik secara
signifikan, termasuk histamin dan IL-31. Namun IL-31 juga dihasilkan oleh sel-sel
keratinosit dan limfosit Th-2 (Dillon et al., 2004).
Produksi IL-31 dari sel-sel penghasilnya dipengaruhi oleh IL-4 (Stott et al., 2013)
yang berperan penting dalam polarisasi dan mempertahankan aktifitas Th2
(Sokol et al., 2008). Interleukin-4 bersinergi dengan IL-33 sebagai penginduksi
ampuh sitokin Th2 untuk mensekresikan IL-31 yang berhubungan dengan alergi
(Maier et al., 2014).
Peran IL-31 sebagai pruritogenik juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Interleukin-31 berperan penting dalam patogenesis dermatitis atopik.
Pruritus yang parah adalah gejala dermatitis atopik yang utama, dan IL-31
Universitas Sumatera Utara
79
memberikan kontribusi untuk pruritus tersebut melalui aktivasi IL-31Rα pada sel-sel
saraf sensoris (Kasraie et al., 2010). Namun ekspresi IL-31 tidak hanya meningkat
pada pasien dengan dermatitis atopik, tetapi juga pada pasien dermatitis kontak alergi
(Neis et al., 2006).
Kadar IL-31 serum juga meningkat pada pasien dengan sel T limfoma kulit,
dibandingkan dengan kontrol (orang sehat), dan berperan dalam menyebabkan
pruritus pada pasien urtikaria spontan kronis (Ohmatsu et al., 2012). Kadar IL-31
serum lebih tinggi pada kondisi non-atopik, meskipun secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan pasien dermatitis atopik (Raap et al., 2010).
Kadar IL-31 serum juga ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada pasien HD
dengan gejala pruritus, dan terdapat hubungan positif paparan-respons antara kadar
IL-31 serum dengan intensitas pruritus (Ko et al., 2014).
Hasil penelitian ini membuktikan tindakan akupunktur pada LI11 Quchi
menurunkan kadar IL-31 serum (anti-inflamasi) secara tidak signifikan (p=0,931)
(Tabel 4.5) tetapi menurunkan kadar IL-2 serum (pro-inflamasi) secara signifikan
(p=0,011) (Tabel 4.3). Hasil ini menunjukkan efek anti-inflamasi akupunktur
menurunkan kadar sitokin pro-inflamasi tanpa memengaruhi kadar sitokin
anti-inflamasi (Santos et al., 2011). Namun hasil penelitian lain menyatakan bahwa
akupunktur dapat meningkatkan kadar sitokin anti-inflamasi tanpa menurunkan
kadar sitokin pro-inflamasi (da Silva et al., 2014).
Hasil penelitian terdahulu yang membuktikan akupunktur LI11 Quchi
menurunkan kadar IL-31 serum pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD,
belum ditemukan. Pada penelitian ini, penurunan kadar IL-31 serum yang tidak
signifikan (p=0,931) sesudah 6 minggu akupunktur pada LI11 Quchi (Tabel 4.5)
Universitas Sumatera Utara
80
dan peningkatan secara tidak signifikan (p=0,974) sesudah 4 minggu evaluasi (Tabel
4.4), membuktikan akupunktur LI11 Quchi berpengaruh secara tidak signifikan
terhadap perubahan kadar IL-31 serum.
Beberapa penelitian lain, yang melakukan stimulasi dengan akupunktur, tekanan,
moksa, atau aplikasi dingin pada titik akupunktur LI11 Quchi menunjukkan
pengurangan sensasi pruritus pada dermatitis atopik (Park et al., 2013;
Tsai et al., 2014). Meskipun penelitian terdahulu menunjukkan hasil positif terhadap
perbaikan pruritus, tetapi mekanisme efek antipruritik akupunktur masih belum
diketahui. Diyakini bahwa, efek antipruritik akupunktur disebabkan oleh mekanisme
perifer dan sentral (Park et al., 2013).
5.4 Skala Pruritus
Pruritus kronis berhubungan dengan berbagai penyakit. Penyakit yang paling
sering menimbulkan pruritus adalah gagal ginjal kronis, dermatitis atopik dan
penyakit hati kolestatik (Bolier et al., 2012; Weiss et al., 2015).
Pruritus terkait penyakit ginjal kronis masih menjadi masalah yang sering terjadi
pada pasien ESRD (Weiss et al., 2015). Beberapa penelitian cross-sectional global
terbesar melaporkan bahwa pruritus pada Pt-PGK yang menjalani HD akan
memengaruhi kualitas hidup secara signifikan, karena menyebabkan gangguan tidur,
gejala depresi dan meningkatkan risiko kematian sebesar 23% (Pisoni et al., 2006;
Braiman-Wiksman et al., 2007; Tentori and Mapes, 2010; Kimata et al., 2014).
Terapi pruritus pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani HD meliputi:
modifikasi teknik dialisis, terapi topikal (emolien, aromaterapi, capcaisin krim,
tacrolimus, gamma linolenic acid ointment), irradiasi ultraviolet,
Universitas Sumatera Utara
81
rubdown with Japanese dry towels, antagonis reseptor µ-opioid (naltrexone), agonis
reseptor κ-opioid (nalfurafine, butorphanol), thalidomide, pentoxyfilline, gabapentin,
dan akupunktur (Mettang dan Weisshaar, 2010; Suzuki et al., 2015).
Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan pruritus secara signifikan (p<0,001)
sesudah 6 minggu tindakan akupunktur pada LI11 Quchi (Tabel 4.7) dan meningkat
secara signifikan (p=0,029) sesudah 4 minggu evaluasi (Tabel 4.8). Penurunan skala
pruritus yang signifikan sesudah 6 minggu akupunktur LI11 Quchi pada penelitian
ini konsisten dengan hasil penelitian Che-yi et al. (2005) yang menunjukkan
penurunan pruritus yang signifikan (p<0,001), sesudah melakukan 12 kali (3 kali
seminggu) selama 4 minggu tindakan akupunktur pada titik LI11 Quchi.
Phan et al. (2018) menunjukkan penurunan secara signifikan pruritus (p<0,003)
sesudah 12 kali (2 kali seminggu) selama 6 minggu tindakan akupunktur pada
LI11 Quchi, demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Nahidi et al. (2018)
menunjukkan penurunan pruritus yang signifikan (p<0,001) sesudah akupunktur
pada LI11 Quchi, SP6 Sanyinjiao, SP10 Xuehai, LR3 Taichong dan LI4 Hegu.
Selain akupunktur, acupressure dan transcutaneous electrical acupoint stimulation
(TEAS) selama 12 kali (3 kali seminggu) pada titik L11 efektif menurunkan pruritus
pada pasien yang menjalani HD (Kılıç Akça dan Taşcı, 2016). Selain LI11 Quchi,
beberapa titik akupunktur yang memengaruhi sistem imun seperti: LI4 Hegu,
ST36 Zusanli, SP6 Sanyinjiao, LR3 Taichong, ST25 Tianshu, ST37 Shangjuxu,
GB39 Xuanzhong, GV14 Dazhui, BL11 Dazhu, BL20 Pishu, BL23 Shenshu,
BL24 Qihaishu, BL25 Dachangshu, BL26 Guanyuanshu, BL27 Xiaochamgshu,
BL28 Pangguanshu, dan CV4 Guanyuan dan CV12 Zhongwan (Wang et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
82
Penelitian ini juga menemukan penurunan pruritus yang signifikan (p=0,023)
pada kelompok plasebo, tetapi bila dibandingkan dengan kelompok akupunktur,
penurunan pruritus lebih besar pada kelompok akupunktur secara signifikan
(p=0,027) sesudah 6 minggu (Tabel 4.7). Penelitian Nahidi et al. (2018) dengan
plasebo dan titik akupunktur yang berbeda dengan penelitian ini juga membuktikan
penurunan pruritus pada kelompok plasebo, tetapi bila dibandingkan dengan
kelompok akupunktur, penurunan pruritus lebih besar secara signifikan
pada kelompok akupunktur sesudah 6 minggu.
Pada penelitian ini, penurunan pruritus pada kelompok plasebo disebabkan
beberapa kemungkinan antara lain oleh karena: (1). tindakan akupunktur plasebo
yang dilakukan dengan penempelan jarum tipis menggunakan plester pada
permukaan kulit di titik LI11 Quchi dapat menginduksi reseptor taktil di sekitar titik
akupunktur yang mirip dengan induksi jarum akupunktur. Sensasi sentuhan ini
sendiri bisa menghasilkan reaksi emosi dan hormon (Chae et al., 2018), ketika jarum
akupunktur plasebo menyentuh kulit dan membangkitkan aktivitas saraf aferen kulit,
yang kemudian diteruskan ke otak pada daerah limbik (Lund et al., 2009). Hasil
pencitraan functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) menunjukkan bahwa
rangsangan taktil, yang meniru rangsangan akupunktur, tidak hanya menginduksi
aktivasi di daerah sensorimotor, tetapi juga memodulasi area kognitif yang lebih
tinggi di otak (Napadow et al., 2009). Penelitian yang dilakukan pada manusia sehat
oleh Lee et al. (2014) menyimpulkan bahwa tindakan akupunktur melibatkan tiga
komponen yaitu: komponen stimulasi spesifik somatosensoris, komponen kognitif,
dan komponen pergeseran perhatian yang dihasilkan dari stimulasi visual
ke somatosensoris. Akupunktur pantom tidak melibatkan komponen somatosensoris
Universitas Sumatera Utara
83
seperti jarum akupunktur. Akupunktur pantom yaitu tidak memberikan rangsang
taktil pada subjek, hanya mendekati tangannya ke titik akupunktur, kemudian
rekaman video klip penusukan jarum akupunktur yang sebenarnya diperlihatkan
kepada subjek, sehingga menciptakan ilusi stimulasi penusukan jarum akupunktur.
Kemungkinan (2), penurunan pruritus pada penelitian ini disebabkan faktor
psikologi. “Harapan”, merupakan komponen penting dari faktor-faktor psikologis
yang memainkan peran penting dalam praktek akupunktur (Salih et al., 2010).
Harapan positif dapat secara signifikan memperkuat efek akupunktur yang
dibuktikan dengan penurunan peringkat sensorik nyeri subjektif serta perubahan
objektif sinyal fMRI (Kong et al., 2009). Harapan untuk sembuh adalah satu-satunya
faktor yang memprediksi hasil dengan baik. Harapan dan keyakinan pasien mengenai
pengobatan yang berpotensi bermanfaat memodulasi aktivitas di area komponen
sistem penghargaan (Linde et al., 2007). White et al. (2012) menunjukkan bahwa
kepercayaan diri subjek terhadap kebenaran pengobatan dan hasil pengobatan
berkaitan secara timbal balik, dan ini memengaruhi subjek, sehingga mempersulit
dan mengacaukan interpretasi penelitian.
Kemungkinan (3), subjek penelitian (kelompok plasebo) kembali mengonsumsi
obat yang memengaruhi pruritus walaupun sebelum penelitian sudah mendapat
penjelasan dan memahami bahwa obat tersebut dapat memengaruhi hasil pengukuran
pruritus.
Penelitian ini mendapatkan peningkatan pruritus sesudah 4 minggu evaluasi
pada kelompok akupunktur lebih tinggi secara signifikan (p=0,029) dibandingkan
dengan kelompok plasebo (Tabel 4.8). Hasil ini konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Phan et al. (2018) yang mendapatkan peningkatan pruritus pada
Universitas Sumatera Utara
84
kelompok akupunktur lebih tinggi dibanding kelompok plasebo (p=0,001), tetapi
pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi selama 6 minggu terhadap pruritus masih
bertahan hingga 4 minggu sesudah tindakan akupunktur dihentikan, bahkan
Che-yi et al., (2005) mendapatkan pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi
terhadap pruritus masih bertahan selama 3 bulan.
5.5 Hubungan Kadar IL-2 Serum dengan Skala Pruritus
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan positif antara rerata kadar IL-2
serum dengan rerata skala pruritus yang signifikan (p=0,031) tetapi lemah, dengan
koefisien determinasi 7,73%. Hasil ini membuktikan bahwa mekanisme kerja
akupunktur LI11 Quchi terhadap penurunan pruritus, 7,73% dipengaruhi oleh
penurunan kadar IL-2 serum, sedangkan 92,27% penurunan pruritus kemungkinan
melalui mekanisme kerja akupunktur memengaruhi keseimbangan reseptor μ-opioid
dan κ-opioid pada sistem saraf pusat (Chao et al., 2013; Qi et al., 2014), dan
neuropatik (Franconi et al., 2013) yang berperan pada patogenesis pruritus pada
pasien yang menjalani hemodialisis.
Penelitian ini juga mendapatkan sesudah 4 minggu evaluasi terjadi
peningkatan kadar IL-2 serum dan peningkatan skala pruritus, hasil uji statistik
menujukkan hubungan positif antara peningkatan kadar IL-2 serum dan peningkatan
skala pruritus yang tidak signifikan serta sangat lemah (Tabel 4.9). Penelitian ini
juga membuktikan bahwa peningkatan pruritus sesudah 4 minggu evaluasi, 1,70%
dipengaruhi oleh peningkatan kadar IL-2 serum, sedangkan 98,30% kemungkinan
oleh pengaruh lainnya.
Universitas Sumatera Utara
85
Temuan ini sesuai dengan hipotesis tentang patofisiologi Pt-PGK yang
berkembang berdasarkan sistem imunologi dan opioid (Biro et al., 2005) dan kerja
akupunktur melalui sistem imun dan opioid.
Hipotesis imunologi menggangap inflamasi sistemik pada Pt-PGK yang ditandai
dengan peningkatan CRP dan ketidakseimbangan respon antara sel Th-1 (IL-2, IL-6,
IL-31 dan IFNγ) yang lebih tinggi dari sel Th-2 (IL-4 dan IL -10) (Amore dan
Coppo, 2002; Mettang et al., 2002; Dillon et al., 2004), serta disregulasi sistem imun
seperti peningkatan sel-sel Mast yang melepas histamin (Yosipovitch et al., 2007).
Inflamasi sistemik yang ditandai dengan peningkatan kadar sel-sel Th-1, CRP, IL-6,
dan IL-2, yang juga dihubungkan dengan jumlah lekosit, albumin yang rendah dan
kadar feritin yang tinggi, akibat PGK (Kimmel et al., 2006; Fallahzadeh et al., 2011).
Mekanisme penurunan kadar IL-2 serum yang dihubungkan dengan penurunan
pruritus sesudah akupunktur LI11 Quchi dimungkinkan melalui mekanisme
molekuler, interaksi antara sistem saraf dengan sistem imun. Komunikasi dua arah
neuroimun menandai sistem saraf sebagai bagian penting dari sistem imun dalam
mekanisme terjadinya inflamasi termasuk peran saraf Vagus sebagai regulator
fisiologis fungsi imun dan inflamasi (Pavlov dan Tracey, 2015).
Penyisipan atau penusukan jarum akupunktur pada LI11 Quchi merangsang
saraf radialis, saraf medialis dan otot brachioradialis ekstensor carpi radialis longus.
Perangsangan ini membangkitkan sinyal pada saraf somatik sensori aferen yang
diteruskan ke medula spinalis pada segmen cervical (C) 5, C6 dan C7
(Wu et al., 2015). Pada medula spinalis, sinyal tersebut menginduksi aktivitas saraf
pada Nucleus Tractus Solitarii selanjutnya mengirimkan sinyal ke Dorsal Motor
Nucleus serabut saraf eferen Vagus (Park dan Namgung, 2018). Sinyal dari serabut
Universitas Sumatera Utara
86
saraf eferen Vagus disebarkan ke Celiac ganglia pada Celiac plexus dimana saraf
Splenik berasal. Norepinefrin (NE) dilepaskan dari saraf Splenik yang berinteraksi
dengan reseptor β2-adrenergik (β2-AR) dan menyebabkan pelepasan Asetilkolin
(ACh) dari sel T yang mengandung Choline acetyltransferase fungsional
(sel T-ChAT). ACh berinteraksi dengan α7nicotinicacetylcholine receptor
(α7nAChRs) pada makrofag (Pavlov dan Tracey, 2017), Keratinosit (Zia et al.,
2000), Limfosit, sel Mast, sel Dendritik dan sel Basofil (Kawashima et al., 2007)
menyebabkan produksi sitokin yang berkurang (Parrish et al., 2008).
Hipotesis opioid menganggap reseptor 𝜇 dan κ-opioid bekerja dengan efek
berlawanan, reseptor 𝜇-opioid berperan pada pruritus kronis karena berbagai sebab,
sementara aktivasi reseptor κ-opioid menghambat pruritus (Pan, 1998). Sebagian
pruritus uremik terjadi akibat dari ketidakseimbangan dalam sistem opioidergik
dengan hiperaktifnya reseptor 𝜇-opioid dalam sel-sel kulit dan limfosit
(Umeuchi et al., 2003). Opioid endogen meningkat pada keadaan gagal ginjal kronis,
dan menyebabkan pruritus melalui proses degranulasi sel Mast kulit, atau melalui
efek langsung pruritogenik pada pusat dan perifer dengan mengaktifkan reseptor
𝜇-opioid (Tarikci et al., 2015).
Akupunktur memengaruhi keseimbangan reseptor μ-opioid dan κ-opioid pada
sistem saraf pusat. Sejumlah penelitian akupunktur analgesi dan anestesi
menunjukkan peningkatan aktifitas opioid dengan meningkatkan pelepasan, kadar,
modulasi ekspresidan fungsi opioid (Chao et al., 2013; Qi et al., 2014). Efek
akupunktur terhadap β endorfin berlaku dua arah, yaitu meningkat pada sistem
sentral dan menurun pada sistem perifer atau sebaliknya (Han, 2004). Pelepasan
opioid endogen akibat akupunktur, dapat digolongkan sebagai efek sentral yang
Universitas Sumatera Utara
87
memengaruhi hipotalamus, dan efek perifer pada sistem sirkulasi. β endorfin juga
memiliki afinitas yang sama dengan denorfin pada reseptor κ-opioid
(Li et al., 2001). Meskipun penelitian lain menunjukkan bahwa
pada terapi uremik pruritus, antara antagonis reseptor μ-opioid dengan plasebo,
memberikan hasil yang berbeda tidak bermakna secara statistik
(Pauli-Magnus et al., 2000).
Akupunktur dapat memengaruhi pruritus melalui sistem opioid endogen. Seperti
rasa nyeri dan pruritus memiliki pola aktivasi yang serupa, akupunktur analgesi
diawali dengan stimulasi pada otot, melalui neuron berdiameter kecil dengan ambang
tinggi mengirim impuls ke medula spinalis dan kemudian mengaktifkan saraf-saraf
batang otak dan hipotalamus yang pada gilirannya memicu mekanisme opioid
endogen (Suzuki et al., 2015).
Peran akupunktur terhadap penurunan pruritus juga dihubungkan dengan faktor-
faktor psikologis yang memainkan peran penting dalam praktek akupunktur (Salih et
al., 2010), penurunan respon putamen (motivasi dan perilaku kebiasaan yang
mendasari keinginan untuk menggaruk) (Napadow et al., 2012), peningkatan hormon
Adrenokortikotropik (ACTH) dan kortisol perifer yang terkait dengan
hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA) axis (Eshkevari et al., 2013), serta reaksi
emosi dan hormon (Chae et al., 2018).
5.6 Hubungan Kadar IL-31 Serum dengan Skala Pruritus
Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara rerata kadar IL-31 serum
dengan rerata skala pruritus yang positif, sangat lemah (r=0,177) dan tidak signifikan
(p=0,176) sesudah 6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dan
Universitas Sumatera Utara
88
akupunktur plasebo. Penelitian ini juga menunjukkan hubungan antara rerata kadar
IL-31 serum dengan rerata skala pruritus yang negatif, lemah (r=-0,216), dan tidak
signifikan (p=0,097) sesudah sesudah 4 minggu evaluasi (Tabel 4.10). Hasil ini
membuktikan terdapat hubungan yang tidak signifikan antar perubahan kadar
IL-31 serum dengan perubahan skala pruritus sesudah 6 minggu tindakan akupunktur
pada LI11 Quchi dan sesudah 4 minggu evaluasi.
Hasil ini terjadi karena beberapa faktor yang kemungkinan dapat memengaruhi
efek akupunktur pada LI11 Quchi terhadap kadar IL-31 serum yang dihubungkan
dengan perubahan skala pruritus seperti: (1). Hubungan efek-dosis akupunktur terdiri
dari tiga faktor utama memengaruhi efek akupunktur yaitu: kedalaman, intensitas,
dan interval waktu (Zhao et al., 2012). Pada penelitian ini kedalaman penusukan
jarum akupunktur 1-1,5 cm, rangsang manual selama 60 menit dengan interval waktu
2 kali seminggu memengaruhi perubahan kadar IL-31 serum secara tidak signifikan.
(2). Kombinasi titik akupunktur. Beberapa penelitian membuktikan tindakan
akupunktur LI11 Quchi bersama titik akupunktur lain memengaruhi perbaikan
pruritus secara signifikan. Perangsangan titik akupunktur pada LI11 Quchi dan ST36
Zusanli, menghasilkan kesembuhan tanpa pruritus selama 1 bulan (70,6%) dan
membaik (26,5%), sehingga angka efektifitas mencapai 97% (Gao et al., 2002).
Penurunan pruritus yang signifikan sesudah akupunktur pada LI11 Quchi,
SP6 Sanyinjiao, SP10 Xuehai, LR3 Taichong dan LI4 Hegu (Nahidi et al. 2018).
Pada penelitian ini tindakan akupunktur LI11 Quchi unilateral memengaruhi
perubahan kadar IL-31 serum secara tidak signifikan.
Universitas Sumatera Utara
89
5.7 Efek Samping Akupunktur LI11 Quchi
Hasil observasi terhadap efek samping yang terjadi pada penelitian ini,
akupunktur LI11 Quchi yaitu terjadi nyeri 3,61% dengan rerata VAS 2,15. Nyeri
terjadi saat penusukan jarum akupunktur yang kemudian hilang setelah beberapa
saat. Perdarahan yang terjadi sesudah pencabutan jarum akupunktur terjadi sebanyak
2,50 %. Perdarahan yang terjadi dapat dihentikan dengan penekanan pada lokasi
perdarahan dengan kapas selama beberapa saat. Efek samping lain seperti sinkop,
infeksi dan alergi pada tempat penusukan jarum tidak ditemukan.
Beberapa penelitian lain, melaporkan bahwa keluhan yang paling sering adalah
nyeri penjaruman (1%-4,5%), perdarahan (0,03%-3,8%), sementara sinkope dan rasa
mau pingsan sangat jarang (Ernst dan White, 2001). Sedangkan Wu et al. (2015)
melaporkan bahwa komplikasi utama akupunktur adalah trauma organ dalam,
jaringan atau cedera saraf. Efek samping lain dapat juga terjadi, termasuk sinkop,
infeksi, perdarahan, alergi, luka bakar, afonia, histeria, batuk, haus, demam,
penurunan kesadaran dan jarum yang patah.
Pada buletin yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO),
efek samping akupunktur berkisar antara 6,71%-15%, dengan keluhan yang paling
sering adalah nyeri lokal karena penjaruman (1,1%-2,9%), dan perdarahan ringan
atau hematom (2,1%-6,1%). Insiden kejadian yang serius seperti kematian, trauma
organ atau harus di rawat di rumah sakit sekitar 0,024% (Zhang-Jin et al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
90
5.8 Kekuatan Penelitian
5.8.1 Penelitian klinis menggunakan kelompok kontrol, tersamar tunggal
(enumerator) dan randomisasi dalam menentukan kelompok subjek.
5.8.2 Tindakan akupunktur LI11 Quchi secara klinis terbukti menurunkan skala
pruritus secara signifikan.
5.8.3 Tindakan akupunktur LI11 Quchi terbukti menurunkan kadar IL-2 serum
secara signifikan, positif, tetapi lemah terhadap skala pruritus.
Hal ini belum pernah dilaporkan pada penelitian sebelumnya.
5.9 Keterbatasan Penelitian
5.9.1 Berdasarkan insert kit yang dikeluarkan produsen reagen yang digunakan
pada pemeriksaan kadar IL-2 dan IL-31 serum, diketahui bahwa pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan bukan untuk
pemeriksaan rutin di laboratorium. Hasil pencarian literatur, sampai saat ini
belum ada ketetapan mengenai nilai normal kadar IL-2 dan IL-31 serum.
Karena nilai normal yang belum ada, penelitian ini ditujukan untuk melihat
perubahan kadar kadar IL-2 dan IL-31 serum setelah dilakukan intervensi,
bukan untuk melihat perbandingan kadar IL-2 dan IL-31 serum subjek
dengan nilai normal.
5.9.2 Penggunaan plasebo pada penelitian akupunktur masih memberikan pengaruh
terhadap variabel yang diteliti (pruritus).
5.9.3 Kemungkinan subjek penelitian menggunakan antipruritik selama masa
penelitian.
Universitas Sumatera Utara
91
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
6.1.1 Terdapat penurunan kadar IL-2 serum yang signifikan, sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding plasebo.
6.1.2 Terdapat peningkatan kadar IL-2 serum yang tidak signifikan, sesudah
4 minggu evaluasi.
6.1.3 Terdapat penurunan kadar IL-31serum yang tidak signifikan sesudah
6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding plasebo.
6.1.4 Terdapat peningkatan kadar IL-31 serum yang tidak signifikan, sesudah
4 minggu evaluasi.
6.1.5 Terdapat penurunan skala pruritus yang signifikan, sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur LI11 Quchi dibanding plasebo.
6.1.6 Terdapat peningkatan skala pruritus yang signifikan, sesudah 4 minggu
evaluasi
6.1.7 Terdapat hubungan positif, antara penurunan kadar IL-2 serum dengan
penurunan skala pruritus yang signifikan tetapi lemah, sesudah 6 minggu
tindakan akupunktur LI11 Quchi.
6.1.8 Terdapat hubungan positif antara peningkatan kadar IL-2 serum dengan
peningkatan skala pruritus yang tidak signifikan dan sangat lemah, sesudah
4 minggu evaluasi.
Universitas Sumatera Utara
92
6.1.9 Terdapat hubungan positif antara penurunan kadar IL-31 serum dengan
penurunan skala pruritus yang tidak signifikan dan sangat lemah, sesudah
6 minggu tindakan akupunktur LI11 Quchi.
6.1.10 Terdapat hubungan negatif antara peningkatan kadar IL-31 serum dengan
peningkatan skala pruritus yang tidak signifikan dan lemah, sesudah
4 minggu evaluasi.
6.1.11 Efek samping tindakan akupunktur LI11 Quchi: rasa nyeri pada daerah
penusukan jarum akupunktur 3,61% dengan rerata VAS 2,15 dan perdarahan
minimal sebanyak 2,50% setelah pencabutan jarum akupunktur.
Universitas Sumatera Utara
93
6.2 Saran
6.2.1 Penelitian ini membuktikan tindakan akupunktur LI11 Quchi menurunkan
kadar IL-2 serum, dan berhubungan dengan penurunan skala pruritus secara
signifikan, positif tetapi lemah, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut:
a. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap CD4+ Th1 dan CD8+
sebagai sel-sel yang menghasilkan IL-2 pada subjek Pt-PGK
yang menjalani HD.
b. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap reseptor 𝜇 dan κ-
opioid
dan neuropati pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
c. Pengaruh tindakan akupunktur LI11 Quchi terhadap kadar IL-2 serum
dan TNFα pada subjek Pt-PGK yang menjalani HD.
6.2.2 Penelitian ini juga membuktikan tindakan akupunktur LI11 Quchi
menurunkan kadar IL-31 serum secara tidak signifikan sehingga perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut, pengaruh tindakan akupunktur pada LI11
Quchi bersama beberapa titik akupunktur lain terhadap kadar IL-31 serum
dan hubungannya terhadap skala pruritus pada pasien yang menjalani HD
6.2.2 Tindakan akupunktur pada LI11 Quchi dapat diaplikasikan sebagai terapi
paliatif pruritus yang efektif dan aman pada pasien Pt-PGK menjalani HD.
Universitas Sumatera Utara
94
DAFTAR PUSTAKA
Akchurin, O.M. and Kaskel, F. 2015. Update on inflammation in chronic kidney
disease. Blood Purif. 39(1–3): 84–92.
Al Shafei, N.K., Nour, A. 2016. Observations on the association of serum histamine,
interleukins and other serum biochemical values with severity of pruritus
in chronic hemodialysis patients. J. Nanomed. Nanotechnol. 7(1): 3–8.
Alegre, M.L., Mannon, R.B., Mannon, P.J. 2014. The microbiota, the immune
system and the allograft. Am. J. Transplant. 14(6): 1236–1248.
Allon, M. 2003. Impact of dialysis dose and membrane on infection-related
hospitalization and death: Results of the HEMO study. J. Am. Soc. Nephrol.
14(7): 1863–1870.
Amore, A., Coppo, R. 2002. Immunological basis of inflammation in dialysis.
Nephrol. Dial. Transplant 17 Suppl 8: 16–24.
Aoki, R., Kawamura, T., Goshima, F., Ogawa, Y., Nakae, S., Nakao, A., et al. 2013.
“Mast cells play a key role in host defense against herpes simplex virus infection
through TNF-𝛼 and IL-6 production,” J Invest Dermatol. 133(9): 2170–2179.
Arai, I., Tsuji, M., Takeda, H., Akiyama, N., Saito, S. 2013. A single dose of
interleukin-31 (IL-31) causes continuous itch-associated scratching behavior
in mice. Exp. Dermatol. 22(10): 669–671.
Aramwit, P., Supasyndh, O. 2015. Uremic pruritus; Its prevalence, pathophysiology
and management. Updat. Hemodial. (October): 20-41
Arnold, R., Pussell, B.A., Howells, J., Grinius, V., Kiernan, M.C., Lin, C.S.Y., et al.
2014. Evidence for a causal relationship between hyperkalemia and axonal
dysfunction in end-stage kidney disease. Clin. Neurophysiol. 125(1): 179–185.
Arnold, R., Pussell, B.A., Pianta, T.J., Grinius, V., Lin, C.S.Y., Kiernan, M.C., et al.
2013. Effects of hemodiafiltration and high flux hemodialysis on nerve
excitability in End-Stage Kidney Disease. PLoS One 8(3): e59055
Aucella, F., Gesuete, A. 2009. [Uremic pruritus: an unresolved challenge]. G Ital
Nefrol 26(5): 585–599.
Bamgbola, O.F. 2011. Pattern of resistance to erythropoietin-stimulating agents in
chronic kidney disease. Kidney Int. 80(5): 464–74.
Universitas Sumatera Utara
95
Baumann, R., Rabaszowski, M., Stenin, I., Gaertner-Akerboom, M., Scheckenbach,
K., Wiltfang, J., et al. 2012. The release of IL-31 and IL-13 after nasal allergen
challenge and their relation to nasal symptoms. Clin. Transl. Allergy 2(1): 13.
Berger, T.G., Steinhoff, M. 2011. Pruritus and renal failure. Semin. Cutan. Med.
Surg. 30(2): 99–100.
Bilsborough, J., Leung, D.Y.M., Maurer, M., Howell, M., Boguniewcz, M., Yao, L.,
et al. 2006. IL-31 is associated with cutaneous lymphocyte antigen-positive skin
homing T cells in patients with atopic dermatitis. J. Allergy Clin. Immunol.
117(2): 418–425.
Biro, T., Ko, M. C., Bromm, B., Wei, E. T., Bigliardi, P., Siebenhaar, F. et al.
2005. How best to fight that nasty itch-from new insights into the
neuroimmunological, neuroendocrine, and neurophysiological bases of pruritus
to novel therapeutic approaches. Exp Dermatol. 14(3): 225–225.
Bolier, A.R., Peri, S., Oude Elferink, R.P.J., Beuers, U. 2012. The challenge of
cholestatic pruritus. Acta Gastroenterol. Belg. 75(4): 399–404.
Braiman-Wiksman, L., Solomonik, I., Spira, R., Tennenbaum, T. 2007. Novel
insights into wound healing sequence of events. Toxicol. Pathol. 35(6): 767–79.
Brennan, F. 2016. The pathophysiology of pruritus – A review for clinicians. Prog.
Palliat. Care (June): 141001083716005.
Buddenkotte, J., Steinhoff, M. 2010. Pathophysiology and therapy of pruritus in
allergic and atopic diseases. Allergy Eur. J. Allergy Clin. Immunol. 65(7): 805–
821.
Cabýoglu, M.T., Ergene, N., Tan, U. 2006. The mechanism of acupuncture and
clinical applications. Int. J. Neurosci. 116(2): 115–125.
Capobianco, M.P., Cassiano, G.C., da Cruz Furini, A.A., Storti de Melo, L.M.,
Domingos, C.R.B., et al. 2016. Human Interleukin 2 (IL-2) promotion of
immune regulation and clinical outcomes: A Review. J Cytokine Biol. 1(2): 1-4.
Carlsson, C. 2002. Acupuncture mechanisms for clinically relevant long-term effects
– reconsideration and a hypothesis. Acupunct Med. 20(2-3):82-99.
Carlsson, C., Wallengren, J. 2010. Therapeutic and experimental therapeutic studies
on acupuncture and itch: Review of the literature. J. Eur. Acad. Dermatology
Venereol. 24(9): 1013–1016.
Universitas Sumatera Utara
96
Carr, M.N., Torres, S.M.F., Koch, S.N., Reiter, L. V. 2009. Investigation of the
pruritogenic effects of histamine, serotonin, tryptase, substance P and
interleukin-2 in healthy dogs. Vet. Dermatol. 20(2): 105–110.
Cevikbas, F., Wang, X., Akiyama, T., Kempkes, C., Savinko, T., Antal, A., et al.
2014. A sensory neuron-expressed IL-31 receptor mediates T helper cell-
dependent itch: Involvement of TRPV1 and TRPA1. J. Allergy Clin. Immunol.
133(2): 448–460.
Chae, Y., Lee, Y.-S., & Enck, P. 2018. How placebo needles differ from placebo
pills? Front Psychiatry, 9(243): 1-9.
Chao, D., Shen, X., Xia, Y. 2013. From acupuncture to interaction between δ-Opioid
receptors and Na+ channels: A potential pathway to inhibit epileptic
hyperexcitability. Evidence-based Complement. Altern. Med. 2013: 1-19.
Chen, H.Y., Chiu, Y.L., Hsu, S.P., Pai, M.F., Lai, C.F., Yang, J.Y., et al. 2010.
Elevated C-reactive protein level in hemodialysis patients with moderate/severe
uremic pruritus: A potential mediator of high overall mortality. QJM. 103(11):
837–846.
Cheng, K.J. 2014. Neurobiological Mechanisms of acupuncture for some common
illnesses: A clinician’s perspective. J. Acupunct. Meridian Stud. 7(3): 105–114.
Cho, Y., Lee, S., Kim, J., Kang, J.Won, Lee, J. D. 2018. Thread embedding
acupuncture for musculoskeletal pain: A systematic review and meta-analysis
protocol. BMJ Open. 8: 1-5.
Che-yi, C., Wen, C. Y., Min-Tsung, K., Chiu-Ching, H. 2005. Acupuncture in
haemodialysis patients at the Quchi (LI11) acupoint for refractory uraemic
pruritus. Nephrol. Dial. Transplant. 20(9): 1912–1915.
Cigarran Guldris, S., González Parra, E., Cases Amenós, A. 2016. Gut microbiota in
chronic kidney disease. Nefrologia 37(1): 9–19.
Cohen, G., Glorieux, G., Thornalley, P., Schepers, E., Meert, N., Jankowski, J., et al.
2008. Review on uraemic toxins III: Recommendations for handling uraemic
retention solutes in vitro - Towards a standardized approach for research on
uraemia. Nephrol. Dial. Transplant. 23(4): 1468.
Cohen, G., Hörl, W.H. 2012. Immune dysfunction in uremia-An update. Toxins
(Basel). 4(11): 962–990.
Universitas Sumatera Utara
97
Copland, M., Komenda, P., Weinhandl, E.D., McCullough, P.A., Morfin, J.A. 2016.
Intensive hemodialysis, mineral and bone disorder, and phosphate binder use.
Am. J. Kidney Dis. 68(5): S24–S32.
Cornelissen, C., Lüscher-Firzlaff, J., Baron, J.M., Lüscher, B. 2012. Signaling by
IL-31 and functional consequences. Eur. J. Cell Biol. 91(6–7): 552–566.
Couser, W.G., Remuzzi, G., Mendis, S., Tonelli, M. 2011. The contribution of
chronic kidney disease to the global burden of major noncommunicable
diseases. Kidney Int. 80(12): 1258–1270.
Crawford, P.W., Lerma, E. V. 2008. Treatment options for End Stage Renal Disease.
Prim. Care - Clin. Off. Pract. 35(3): 407–432.
Dahlan, M.S. 2010. Besar Sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Darsow, U., Scharein, E., Bromm, B., Ring, J. 1997. Skin testing of the pruritogenic
activity of histamine and cytokines (interleukin-2 and tumour necrosis factor-
alpha) at the dermal-epidermal junction. Br. J. Dermatol. 137(3): 415–417.
da Silva, M.D., Bobinski, F., Sato, K.L., Kolker, S.J., Sluka, K.A., Santos, A.R.S.
2014. IL-10 cytokine released from M2 macrophages is crucial for analgesic and
anti-inflammatory effects of acupuncture in a model of inflammatory muscle
pain. Mol. Neurobiol. 51(1): 19–31.
Depner, T.A. 2005. Hemodialysis adequacy: Basic essentials and practical points for
the nephrologist in training. Hemodial. Int. 9(3): 241–254.
Devuyst, O., Dahan, K., Pirson, Y. 2005. Tamm-Horsfall protein or uromodulin:
New ideas about an old molecule. Nephrol. Dial. Transplant. 20(7): 1290–1294.
Dillon, S.R., Sprecher, C., Hammond, A., Bilsborough, J., Rosenfeld-Franklin, M.,
Presnell, S.R., et al. 2004. Interleukin 31, a cytokine produced by activated
T cells, induces dermatitis in mice. Nat. Immunol. 5(7): 752–760.
Dudeck, J., Ghouse, S.M., Lehmann, C.H.K., Hoppe, A., Schubert, N., Nedospasov,
S.A., et al. 2015. Mast-Cell-derived TNF amplifies CD8+ Dendritic Cell
functionality and CD8+ T Cell Priming. Cell Rep. 13(2): 399–411.
Dugas-Breit, S., Schöpf, P., Dugas, M., Schiffl, H., Ruëff, F., Przybilla, B. 2005.
Baseline serum levels of mast cell tryptase are raised in hemodialysis patients
Universitas Sumatera Utara
98
and associated with severity of pruritus. J. Ger. Soc. Dermatology 3(5):
343–347.
Duo, D.J. 1987. Electrical needle therapy of uremic pruritus. Nephron 47(3):
179–184
Duranton, F., Cohen, G., De Smet, R., Rodriguez, M., Jankowski, J., Vanholder, R.,
et al. 2012. Normal and pathologic concentrations of uremic toxins. J. Am. Soc.
Nephrol. 23(7): 1258–1270.
El, A., Mohammed, R., Mohsen, A. 2013. Specificity and sensitivity of 5-D Itch
Scale versus Visual Analogue Scale as a measure of pruritus. Aamj 11(3):
85–95.
Elman, S., Hynan, L.S., Gabriel, V., Mayo, M.J. 2010. The 5-D itch scale: A new
measure of pruritus. Br. J. Dermatol. 162(3): 587–593.
Eloot, S., Torremans, A., De Smet, R., Marescau, B., De Wachter, D., De Deyn, P.P.,
et al. 2005. Kinetic behavior of urea is different from that of other water-soluble
compounds: The case of the guanidino compounds. Kidney Int. 67(4):
1566–1575.
Ernst, E., White, A.R. 2001. Prospective studies of the safety of acupuncture:
A systematic review. Am. J. Med. 110(6): 481–485.
Eshkevari, L., Permaul, E., Mulroney, S. E. 2013. Acupuncture blocks cold
stress-induced increases in the hypothalamus-pituitary-adrenal axis in the rat.
J. Endocrinol. 217(1): 95–104.
Ezzat, M.H.M., Hasan, Z.E., Shaheen, K.Y.A. 2011. Serum measurement of
interleukin-31 (IL-31) in paediatric atopic dermatitis: Elevated levels correlate
with severity scoring. J. Eur. Acad. Dermatology Venereol. 25(3): 334–339.
Fallahzadeh, M.K., Roozbeh, J., Geramizadeh, B., Namazi, M.R. 2011. Interleukin-2
serum levels are elevated in patients with uremic pruritus: A novel finding with
practical implications. Nephrol. Dial. Transplant. 26(10): 3338–3344.
Fang, J. Q., Liu, F., Shao, X.M., Wu, Y.Y. 2007. Effect of electroacupuncture on
carrageenan-induced inflammation, IL-1beta and TNF-alpha concentrations and
their mRNA expressions in toe tissue in rats. Zhen Ci Yan Jiu. 32(4): 224-8.
Universitas Sumatera Utara
99
Faul, F., Erdfelder, E., Lang A.G., Buchner, A. 2007. G*Power 3: A flexible
statistical power analysis program for the social, behavioral, and biomedical
sciences. Behavior Research Methods. 39 (2): 175-191.
Fleming, G.M. 2011. Renal replacement therapy review. Organogenesis 7(1): 2–12.
Foster, M.C., Coresh, J., Fornage, M., Astor, B.C., Grams, M., Franceschini, N.,
et al. 2013. APOL1 Variants associate with increased risk of CKD among
African Americans. J. Am. Soc. Nephrol. 24(9): 1484–1491.
Franconi, G., Manni, L., Schröder, S., Marchetti, P., Robinson, N. 2013.
A systematic review of experimental and clinical acupuncture in chemotherapy-
induced peripheral neuropathy. Evid. Based. Complement. Alternat. Med. 2013:
516916.
Furue, M., Ebata, T., Ikoma, A., Takeuchi, S., Kataoka, Y., Takamori, K., et al.
2013. Verbalizing extremes of the visual analogue scale for pruritus:
A consensus statement. Acta Derm. Venereol. 93(2): 214–215.
Gao, H.M., Zhang, W.X. and Wang Y. 2002. Acupuncture treatment for 34 cases of
uremic cutaneous pruritus. J Tradit Chin Med. 22(1): 29-30.
Gaspari, A., Lotze, M., Rosenberg, S., Stern, J., Katz, S. 1987. Dermatologic changes
associated with interleukin 2 administration. Jama 258(12): 1624–1629.
Gobo-Oliveira, M., Pigari, V.G., Ogata, M.S.P., Miot, H.A., Ponce, D., Abbade,
L.P.F. 2017. Factors associated with uremic pruritus. Int. Arch. Med. 10: 1–8.
Granucci, F., Vizzardelli, C., Pavelka, N., Feau, S., Persico, M., Virzi, E., et al. 2001.
Inducible IL-2 production by dendritic cells revealed by global gene expression
analysis. Nat. Immunol. 2(9): 882–888.
Gui, J., Xiong, F., Li, J., Huang, G. 2012. Effects of acupuncture on Th1, Th2
cytokines in rats of implantation failure. Evidence-based Complement. Altern.
Med. 2012: 1-10.
Han, B., Lu, Y., Zhao, H., Wang, Y., Li, L., Wang, T. 2015. Electroacupuncture
modulated the inflammatory reaction in MCAO rats via inhibiting the
TLR4/NF-κB signaling pathway in microglia. Int J Clin Exp Pathol. 8(9):
11199-11205.
Han, J.S. 2004. Acupuncture and endorphins. Neurosci. Lett. 361(1–3): 258–261.
Universitas Sumatera Utara
100
Han, L., Dong, X. 2014. Itch mechanisms and circuits. Annu. Rev. Biophys. 43(1):
331–355.
Heise, R., Neis, M.M., Marquardt, Y., Joussen, S., Heinrich, P.C., Merk, H.F., et al.
2009. IL-31 receptor alpha expression in epidermal keratinocytes is modulated
by cell differentiation and interferon gamma. J. Invest. Dermatol. 129(1): 240–3.
Hershko, A.Y., Suzuki, R., Charles, N., Alvarez-Errico, D., Sargent, J.L., Laurence,
A., et al. 2011. Mast cell Interleukin-2 production contributes to suppression of
chronic allergic dermatitis. Immunity 35(4): 562–571.
Hewison, M. 2011. Vitamin D and innate and adaptive immunity. 1st ed. Elsevier
Inc.
Hill, N.R., Fatoba, S.T., Oke, J.L., Hirst, J.A., Callaghan, A.O., Lasserson, D.S.,
et al. 2015. Global prevalence of Chronic Kidney Disease – A systematic review
and meta-analysis. (3): 1–18.
Himmelfarb, J and Ikizler, T.A. 2010. Hemodialysis. N. Engl. J. Med. 363(19):
1833–45.
Hjermstad, M.J., Fayers, P.M., Haugen, D.F., Caraceni, A., Hanks, G.W., Loge, J.H.,
et al. 2011. Studies comparing Numerical Rating Scales, Verbal Rating Scales,
and Visual Analogue Scales for assessment of pain intensity in adults:
A systematic literature review. J. Pain Symptom Manage. 41(6): 1073–1093.
Hőrl, W.H. 2002. Hemodialysis membranes: interleukins, biocompatibility, and
middle molecules. J Am Soc Nephrol 13: S62–S71.
Hu, X., Sang, Y., Yang, M., Chen, X., Tang, W. 2018. Prevalence of chronic kidney
disease-associated pruritus among adult dialysis patients: A meta-analysis of
cross-sectional studies. Medicine. 97(21): 1-7.
Ikoma, A., Steinhoff, M., Ständer, S., Yosipovitch, G., Schmelz, M. 2006.
The neurobiology of itch. Nat. Rev. Neurosci. 7(7): 535–547.
Jha, V., Garcia-Garcia, G., Iseki, K., Li, Z., Naicker, S., Plattner, B., et al. 2013.
Chronic kidney disease: Global dimension and perspectives. Lancet 382(9888):
260–272.
Jiang, Mei-chi., Liang, Jing., Zhang, Yu-jie., Wang, Jing-rong., Hao, Jin-dong.,
Wang, Mei-kang., Xu, Jian. 2016. Effects of acupuncture stimulation of bilateral
"Hegu" (LI4) and "Taichong" (LR3) on learning-memory ability, hippocampal
Universitas Sumatera Utara
101
AP42 expression and inflammatory cytokines in rats with Alzheimer's disease.
Zhen ci yan jiu Acupuncture research. 41(2): 113-118.
Jong, M.S., Hwang, S.J., Chen, .FP. 2006. Effects of electro-acupuncture on serum
cytokine level and peripheral blood lymphocyte subpopulation at immune-
related and non-immune-related points. Acupunct Electrother Res. 31(1-2):
45-59.
Jun, M.H., Kim, YM., Kim, J.U. 2015. Modern acupuncture-like stimulation
methods. Integr. Med. Res. 4: 195-219.
Jung, K.J., Kim, D.H., Lee, E.K., Song, C.W., Yu, B.P., Chung, H.Y. 2013.
Oxidative stress induces inactivation of protein phosphatase 2A, promoting
proinflammatory NF-β in aged rat kidney. Free Radic. Biol. Med. 61: 206–217.
Kasraie, S., Niebuhr, M., Werfel, T. 2010. Interleukin (IL)-31 induces pro-
inflammatory cytokines in human monocytes and macrophages following
stimulation with staphylococcal exotoxins. Allergy Eur. J. Allergy Clin.
Immunol. 65(6): 712–721.
Kavoussi, B., Ross, B.E. 2007. The neuroimmune basis of anti-inflammatory
acupuncture. Integr. Cancer Ther. 6(3): 251–257.
Kawashima, K., Yoshikawa, K., Fujii, Y.X., Moriwaki, Y., Misawa, H. 2007.
Expression and function of genes encoding cholinergic components in murine
immune cells. Life Sci. 80(24-25): 2314-2319.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta.
Kim, J.-S., Na, C.S., Hwang, W.J., Lee, B.C., Shin, K.H., Pak, S.C. 2003.
Immunohistochemical localization of cyclooxygenase-2 in pregnant rat uterus
by Sp-6 acupuncture. Am. J. Chin. Med. 31(3): 481–488.
Kim, J., Oh, H.J., Yoon, S.-P. 2015. A cadaveric study of needle insertion at LI11.
Acupunct. Med. 33(6): 497–499.
Kim, J., Shin, K.H., Na, C.S. 2000. Effect of acupuncture treatment on uterine
motility and cyclooxygenase-2 expression in pregnant rats.
Gynecol.Obstet.Invest 50(4): 225–230.
Universitas Sumatera Utara
102
Kim, J.H., Min, B. Il, Na, H.S., Park, D.S. 2004. Relieving effects of
electroacupuncture on mechanical allodynia in neuropathic pain model of
inferior caudal trunk injury in rat: Mediation by spinal opioid receptors.
Brain Res. 998(2): 230–236.
Kim, K.H., Kim, T.-H., Kang, J.W., Sul, J.-U., Lee, M.S., Kim, J.-I., et al. 2011.
Acupuncture for symptom management in hemodialysis patients: A Prospective,
Observational Pilot Study. J. Altern. Complement. Med. 17(8): 741-748.
Kim, K.H., Lee, M.S., Choi, S.-M., Ernst, E. 2010. Acupuncture for treating uremic
pruritus in patients with End-Stage Renal Disease: A Systematic Review.
J. Pain Symptom Manage. 40(1): 117–125.
Kim, S. K., Lee, Y., Cho, H., Koo, S., Choi, S. M., Shin, M.-K., et al. 2011.
A Parametric Study on the Immunomodulatory Effects of Electroacupuncture in
DNP-KLH Immunized Mice. Evid Based Complement Alternat Med. 2011:
389063.
Kimata, N., Fuller, D.S., Saito, A., Akizawa, T., Fukuhara, S., Pisoni, R.L., et al.
2014. Pruritus in hemodialysis patients: Results from the Japanese Dialysis
Outcomes and Practice Patterns Study (JDOPPS). Hemodial. Int. 18(3):
657–667.
Kimmel, M., Alscher, D.M., Dunst, R., Braun, N., Machleidt, C., Kiefer, T., et al.
2006. The role of micro-inflammation in the pathogenesis of uraemic pruritus in
haemodialysis patients. Nephrol. Dial. Transplant. 21(3): 749–755.
Kılıç Akça, N., Taşcı, S. 2016. Acupressure and transcutaneous electrical acupoint
stimulation for improving uremic pruritus: A Randomized, Controlled Trial .
Altern. Ther. Heal. Med. 22(2): 18–24.
Ko, M.J., Peng, Y. Sen, Chen, H.Y., Hsu, S.P., Pai, M.F., Yang, J.Y., et al. 2014.
Interleukin-31 is associated with uremic pruritus in patients receiving
hemodialysis. J. Am. Acad. Dermatol. 71(6): 1151–1159.
Ko, M.J., Wu, H.Y., Chen, H.Y., Chiu, Y.L., Hsu, S.P., Pai, M.F., et al. 2013.
Uremic pruritus, dialysis adequacy, and metabolic profiles in hemodialysis
patients: a prospective 5-year Cohort Study. PLoS One 8(8): e71404
Universitas Sumatera Utara
103
Kolff, W.J., Berk, H.T.J., Welle, N.M., van Der Ley, A.J.W., Van Dijk, E.C.,
van Noordwijk, J. 1944. The Artificial Kidney: a dialyser with a great area. Acta
Med. Scand. 117(2): 121–134.
Kong, J., Kaptchuk, T. J., Polich, G., Kirsch, I., Vangel, M., Zyloney, C. 2009.
An fMRI study on the interaction and dissociation between expectation of pain
relief and acupuncture treatment. NeuroImage, 47(3): 1066–1076.
Köttgen, A. 2010. Genome-wide association studies in nephrology research.
Am. J. Kidney Dis. 56(4): 743–758.
Krishnan, A. V., Pussell, B.A., Kiernan, M.C. 2009. Neuromuscular disease in
the dialysis patient: An update for the nephrologist. Semin. Dial. 22(3):
267–278.
Kshirsagar, A. V., Craig, R.G., Moss, K.L., Beck, J.D., Offenbacher, S., Kotanko, P.,
et al. 2009. Periodontal disease adversely affects the survival of patients with
end-stage renal disease. Kidney Int. 75(7): 746–751.
Lan, L., Tao, J., Chen, A., Xie, G., Huang, J., Lin, J., et al. 2012. Electroacupuncture
exerts anti-inflammatory effects in cerebral ischemia-reperfusion injured rats via
suppression of the TLR4/NF-κB pathway. Int J Mol Med. 31(1): 75-80.
Lee, Y.-C., Hung, S.-Y., Wang, H.-H., Wang, H.-K., Lin, C.-W., Chang, M.-Y., et al.
2015. Different risk of common gastrointestinal disease between groups
undergoing hemodialysis or peritoneal dialysis or with Non-End Stage Renal
Disease. Medicine (Baltimore). 94(36): e1482.
Lei, Z., Liu, G., Huang, Q., Lv, M., Zu, R., Zhang, G.M., et al. 2008. SCF and IL-31
rather than IL-17 and BAFF are potential indicators in patients with allergic
asthma. Allergy Eur. J. Allergy Clin. Immunol. 63(3): 327–332.
Leonard, W.J. 2001. Cytokines and immunodeficiency diseases. Nat. Rev. Immunol.
1(3): 200–208.
Levey, A.S., Eckardt, K.U., Tsukamoto, Y., Levin, A., Coresh, J., Rossert, J., et al.
2005. Definition and classification of chronic kidney disease: A position
statement from Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO)z.
Kidney Int. 67(6): 2089–2100.
Levin, A., Stevens, P.E., Bilous, R.W., Coresh, J., De Francisco, A.L.M., De Jong,
P.E. 2013. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work
Universitas Sumatera Utara
104
Group 2013. KDIGO 2012 Clinical practice guideline for the evaluation and
management of Chronic Kidney Disease. Kidney Int. Suppl. 3(1): 1–150.
Li, P., Tjen-A-Looi, S., Longhurst, J.C. 2001. Rostral ventrolateral medullary opioid
receptor subtypes in the inhibitory effect of electroacupuncture on reflex
autonomic response in cats. Auton. Neurosci. Basic Clin. 89(1–2): 38–47.
Li, Q.-Q., Shi, G.-X., Xu, Q., Wang, J., Liu, C.-Z., Wang, L.-P. 2013. Acupuncture
effect and central autonomic regulation. Evid. Based. Complement. Alternat.
Med. 2013(1): 267959.
Liao, W., Lin, J.X., Leonard, W.J. 2011. IL-2 family cytokines: New insights into the
complex roles of IL-2 as a broad regulator of T helper cell differentiation.
Curr. Opin. Immunol. 23(5): 598–604.
Linde, K., Witt, C. M., Streng, A., Weidenhammer, W., Wagenpfeil, S., Brinkhaus,
2007. The impact of patient expectations on outcomes in four randomized
controlled trials of acupuncture in patients with chronic pain. Pain, 128(3):
264–271.
Lisowska-Myjak, B. 2014. Uremic toxins and their effects on multiple organ
systems. Nephron - Clin. Pract. 128(3-4): 303-311.
Liu, W.-C., Zheng, C.-M., Lu, C.-L., Lin, Y.-F., Shyu, J.-F., Wu, C.-C., et al. 2015.
Vitamin D and immune function in chronic kidney disease. Int. J. Clin. Chem.
450: 135–144.
Locatelli, F., Manzoni, C., Di Filippo, S. 2002. The importance of convective
transport. Kidney Int. Suppl. 61(80): 115–120.
Locatelli, F., Martin-Malo, A., Hannedouche, T., Loureiro, A., Papadimitriou,
M., Wizemann, V., et al. 2009. Effect of membrane permeability on survival of
hemodialysis patients. J Am Soc Nephrol 20(3): 645–654.
Lund, I., Näslund, J., Lundeberg, T. 2009. Minimal acupuncture is not a valid
placebo control in randomised controlled trials of acupuncture: a physiologist’s
perspective. Chin Med. 4(1): 1.
Lunyera, J., Mohottige, D., von Isenburg, M., Jeuland, M., Patel, U.D., Stanifer, J.W.
2016. CKD of uncertain etiology: A systematic review. Clin. J. Am. Soc.
Nephrol. 11(3): 379–385.
Universitas Sumatera Utara
105
Maier, E., Werner, D., Duschl, A., Bohle, B., & Horejs-Hoeck, J. 2014. Human Th2
but Not Th9 Cells Release IL-31 in a STAT6/NF-κB–Dependent Way.
J Immunol. 193(2): 645–654.
Majeski, C.J., Johnson, J.A., Davison, S.N., Lauzon, G.J. 2007. Itch severity scale:
A self-report instrument for the measurement of pruritus severity.
Br. J. Dermatol. 156(4): 667–673.
Malek, T.R. 2008. The biology of Interleukin-2. Annu. Rev. Immunol. 26(1):
453–479.
Malekmakan, L., Malekmakan, A., Sayadi, M., Pakfetrat, M., Sepaskhah, R. 2015.
Association of high-sensitive C - reactive protein and dialysis adequacy with
uremic pruritus. Saudi J Kidney Dis Transpl. 26(5): 890-895.
Markova, A., Lester, J., Wang, J., Robinson-Bostom, L. 2012. Diagnosis of common
dermopathies in dialysis patients: A review and update. Semin. Dial. 25(4):
408–418.
Mathur, V.S., Lindberg, J., Germain, M., Block, G., Tumlin, J., Smith, M., et al.
2010. A longitudinal study of uremic pruritus in hemodialysis patients.
Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 5(8): 1410–1419.
Mavrakanas T.A., Charytan D.M. 2016. Cardiovascular complications in chronic
dialysis patients. Curr. Opin. Nephrol. Hypertens. 25(6): 536–544.
McIntyre, C.W., Harrison, L.E.A., Eldehni, M.T., Jefferies, H.J., Szeto, C.C., John,
S.G., et al. 2011. Circulating endotoxemia: A novel factor in systemic
inflammation and cardiovascular disease in chronic kidney disease.
Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 6(1): 133–141.
Meert, N., Eloot, S., Schepers, E., Lemke, H.D., Dhondt, A., Glorieux, G., et al.
2011. Comparison of removal capacity of two consecutive generations of
high-flux dialysers during different treatment modalities. Nephrol. Dial.
Transplant. 26(8): 2624–2630.
Mehta, A.N., Fenves, A.Z. 2010. Hemodialysis adequacy: A review.
Dial. Transplant. 39(1): 20–22.
Mettang, M., Weisshaar, E. 2010. Pruritus: Control of itch in patients undergoing
dialysis. Skin Therapy Lett. 15(2): 1–5.
Universitas Sumatera Utara
106
Mettang, T., Kremer, A.E., Pisoni, R.L., Wikström, B., Elder, S.J., al., et, et al.
2015. Uremic pruritus. Kidney Int. 87(4): 685–91.
Mettang, T., Pauli-Magnus, C., Alscher, D.M. 2002. Uraemic pruritus--new
perspectives and insights from recent trials. Nephrol. Dial. Transplant 17(9):
1558–63.
Mitra S., and Mitsides N. 2016. Technical Aspects of Hemodialysis. In: Core
Concepts in Dialysis and Continuous Therapies. ed. Magee C., Tucker J., Singh
A. Springer, Boston, MA., pp. 15-26.
Nahidi, Y., Badiee S., Torabi, S., Shaye, A. Z., Nazemian F., Saki, A. 2018.
Acupuncture Effect on Pruritus in Hemodialysis Patients: A Randomized
Clinical Trial, Iran Red Crescent Med J. 20(10): e65521.
Nakamura, M., Toyoda, M., Morohashi, M. 2003. Pruritogenic mediators in psoriasis
vulgaris: Comparative evaluation of itch-associated cutaneous factors.
Br. J. Dermatol. 149(4): 718–730.
Napadow, V., Dhond, R. P., Kim, J., LaCount, L., Vangel, M., Harris, R. E., et al.
2009. Brain encoding of acupuncture sensation-coupling on-line rating with
fMRI. NeuroImage, 47(3): 1055-1065.
Napadow, V., Li, A., Loggia, M. L., Kim, J., Schalock, P. C., Lerner, E., et al.
2012. The Brain Circuitry Mediating Antipruritic Effects of Acupuncture.
Cereb Cortex. 24(4): 873-882.
Narbutt, J., Olejniczak, I., Sobolewska-Sztychny, D., Sysa-Jedrzejowska, A., Słowik-
Kwiatkowska, I., Hawro, T., et al. 2013. Narrow band ultraviolet B irradiations
cause alteration in interleukin-31 serum level in psoriatic patients.
Arch. Dermatol. Res. 305(3): 191–195.
Narita, I., Alchi, B., Omori, K., Sato, F., Ajiro, J., Saga, D., et al. 2006. Etiology and
prognostic significance of severe uremic pruritus in chronic hemodialysis
patients. Kidney Int. 69(9): 1626–1632.
Narita, I., Iguchi, S., Omori, K., Gejyo, F. 2008. Uremic pruritus in chronic
hemodialysis patients. J. Nephrol. 21(2): 161–165.
Nasouti, M.A., Halili, S.A., Mousavi, Z.B., Nasouti, A., Tamadon, R., Scholar, G.
2017. Anemia among hemodialysis patients; an updated. Ann. Res. Dial. 2(1):
17–20.
Universitas Sumatera Utara
107
Nassar, G.M. 2013. Preventing and treating inflammation: Role of dialysis access
management. Seminars in Dialysis. 26(1): 28–30.
Nassar, G.M., Ayus, J.C. 2001. Infectious complications of the hemodialysis access.
Kidney Int. 60(1): 1–13.
Neis, M.M., Peters, B., Dreuw, A., Wenzel, J., Bieber, T., Mauch, C., et al. 2006.
Enhanced expression levels of IL-31 correlate with IL-4 and IL-13 in atopic and
allergic contact dermatitis. J. Allergy Clin. Immunol. 118(4): 930–937.
Nobbe, S., Dziunycz, P., Mühleisen, B., Bilsborough, J., Dillon, S.R., French, L.E.,
et al. 2012. IL-31 expression by inflammatory cells is preferentially elevated in
atopic dermatitis. Acta Derm. Venereol. 92(1): 24–28.
Ohmatsu, H., Sugaya, M., Suga, H., Morimura, S., Miyagaki, T., Kai, H., et al. 2012.
Serum IL-31 levels are increased in patients with cutaneous T-cell lymphoma.
Acta Derm. Venereol. 92(3): 282–283.
Ozen, N., Cinar, F. I., Askin. Mut, Dilek. 2018. Uremic pruritus and associated
factors in hemodialysis patients: A multi-center study. Kidney Res Clin Pract.
37(2):138-147.
Pan, Z. 1998. mu-Opposing actions of the kappa-Opioid receptor. Trends
Pharmacol. Sci. 19(3): 94–98.
Parrish, W.R., Rosas-Ballina, M., Gallowitsch-Puerta, M., Ochani, M., Ochani,
K., Yang. L.H., et al. 2008. Modulation of TNF release by choline requires
alpha7 subunit nicotinic acetylcholine receptor-mediated signaling.
Mol Med. 14(9-10): 567-574.
Pauli-Magnus, C., Mikus, G., Alscher, D.M., Kirschner, T., Nagel, W., Gugeler, N.,
et al. 2000. Naltrexone does not relieve uremic pruritus: results of a randomized,
double-blind, plasebo-controlled crossover study. J. Am. Soc. Nephrol. 11(3):
514–519.
Peterson, C.A., Heffernan, M.E. 2008. Serum tumor necrosis factor-alpha
concentrations are negatively correlated with serum 25(OH)D concentrations in
healthy women. J. Inflamm. (Lond). 5: 10.
Petti, F.B., Liquori, A., Ippoliti, F. 2002.Study on cytokines IL2, IL6, IL10 in
patients of chronic allergic rhinitis treated with acupuncture. Journal Traditional
Chinese Medicine. 22(2): 104-111.
Universitas Sumatera Utara
108
Phan, F.A., Srilestari, A., Mihardja, H., Marbun, M.B.H. 2018. Effects of
acupuncture on uremic pruritus in patients undergoing hemodialysis.
Journal of Physics: Conf. Series 1073(2018): 062049.
Phan, N.Q., Blome, C., Fritz, F., Gerss, J., Reich, A., Ebata, T., et al. 2012.
Assessment of pruritus intensity: Prospective study on validity and reliability of
the Visual Analogue Scale, Numerical Rating Scale and Verbal Rating Scale
in 471 patients with chronic pruritus. Acta Derm. Venereol. 92(5): 502–507.
Park, J., Lee, H., Shin, B. C., Lee, M. S., Kim, B., and Kim, J.I. 2015.
Pharmacopuncture in Korea: A Systematic Review and Meta-Analysis of
Randomized Controlled Trials. Evid Based Complement Alternat Med. 2016:
1-19.
Park, J.Y., Park, H.J., Choi, Y.Y., Kim, M.H., Kim, S.N., Yang, W.M., 2013. Effects
of acupuncture on 1-chloro-2,4-dinitrochlorobenzene-induced atopic dermatitis.
Evidence-based Complement. Altern. Med. 2013: 1-8.
Park, J-Y., Namgung, U. 2018. Electroacupuncture therapy in inflammation
regulation: current perspectives. J Inflamm Res. 2018(11): 227–237.
Park, M.-B., Ko, E., Ahn, C., Choi, H., Rho, S., Shin, M.-K., et al. 2004. Suppression
of IgE production and modulation of Th1/Th2 cell response by
electroacupuncture in DNP-KLH immunized mice. J. Neuroimmunol. 151(1-2):
40–44.
Pavlov, V.A., Tracey, K.J. 2015. Neural circuitry and immunity. Immunol Res. 63(0):
38-57.
Pavlov, V.A., Tracey, K.J. 2017. Neural regulation of immunity: molecular
mechanisms and clinical translation. Nat Neurosci. 20(2): 156-166.
Pisoni, R.L., Wikström, B., Elder, S.J., Akizawa, T., Asano, Y., Keen, M.L., et al.
2006. Pruritus in haemodialysis patients: International results from the Dialysis
Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS). Nephrol. Dial. Transplant.
21(12): 3495–3505.
Potenzieri, C., Undem, B.J. 2012. Basic mechanisms of itch. Clin. Exp. Allergy
42(1): 8–19.
Universitas Sumatera Utara
109
Qi, Y.C., Xiao, X.J., Duan, R.S., Yue, Y.H., Zhang, X.L., Li, J.T., et al. 2014. Effect
of acupuncture on inflammatory cytokines expression of spastic cerebral palsy
rats. Asian Pac. J. Trop. Med. 7(6): 492–495.
Raap, U., Wieczorek, D., Gehring, M., Pauls, I., Ständer, S., Kapp, A., et al. 2010.
Increased levels of serum IL-31 in chronic spontaneous urticaria.
Exp. Dermatol. 19(5): 464–466.
Reich, A., Heisig, M., Phan, N., Taneda, K., Takamori, K., Takeuchi, S., et al. 2012.
Visual Analogue Scale: Evaluation of the instrument for the assess-ment of
pruritus. Acta Derm. Venereol. 92(5): 497–501.
Reich, A., Szepietowski, J.C. 2007. Mediators of pruritus in psoriasis.
Mediators Inflamm. 2007: 64727.
Riza, D.N., 2012. Prevalensi dan derajat terjadinya piritus pada pasien hemodialisa di
RSUP. Haji Adam Malik Medan. [Karya Tulis Ilmiah]. Medan: Universitas
Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran.
Rizzo, M.A., Frediani, F., Granata, A., Ravasi, B., Cusi, D., Gallieni, M. 2012.
Neurological complications of hemodialysis: State of the art. J. Nephrol. 25(2):
170–182.
Rocco, M., Daugirdas, J.T., Depner, T.A., Inrig, J., Mehrotra, R., Rocco, M. V., et al.
2015. KDOQI Clinical practice guideline for hemodialysis adequacy: 2015
Update. Am. J. Kidney Dis. 66(5): 884–930.
Romeo, M.J., Parton, B., Russo, R.A., Hays, L.S., Conboy, L. Acupuncture to treat
the symptoms of patients in a palliative. Explore 11(5): 357-62.
Rysz, J., Banach, M., Cialkowska-rysz 2006. Blood serum levels of IL-2, IL-6, IL-8,
TNF- α and IL-1 β in patients on maintenance hemodialysis.
Cell. Mol. Immunol. Br. 3(2): 151–154.
Salih, N., Bäumler, P. I., Simang, M., Irnich, D. 2010. Deqi sensations without
cutaneous sensory input: results of an RCT. BMC Complement Altern Med.
10: 81.
Sanai, M., Aman, S., Nadeem, M. & Kazmi, A.H. 2010. Dermatologic
manifestations in patients of renal disease on hemodialysis. Jour Pakistan Assoc
Dermatol, 20: 163-168.
Universitas Sumatera Utara
110
Santos, A.R.S., Da Silva, M.D., Guginski, G., De Paula Werner, M.F., Baggio, C.H.,
Marcon, R. 2011. Involvement of interleukin-10 in the anti-inflammatory effect
of Sanyinjiao (SP6) acupuncture in a mouse model of peritonitis.
Evidence-based Complement. Altern. Med. 2011: 217946.
Sedighi, O., Makhlough, A., Kashi, Z., Zahedi, M. 2011. Relationship between
serum parathyroid hormone and hypertension in hemodialysis patients.
Iran J Kidney Dis. 5(4): 267–70.
Serafini-Cessi, F., Malagolini, N., Cavallone, D. 2003. Tamm-Horsfall glycoprotein:
biology and clinical relevance. Am. J. Kidney Dis. 42(4): 658–76.
Shah, S.A., Ishinaga, H., Hou, B., Okano, M., Takeuchi, K. 2013. Effects of
interleukin-31 on MUC5AC gene expression in nasal allergic inflammation.
Pharmacology 91(3-4): 158–164.
Shapiro, R., Stockard, H. 2003. Successful treatment of uremic pruritus:
The acupuncture approach revisited. Dial. Transplant. 32(5): 257–265.
Shirazian, S., Aina, O., Park, Y., Chowdhury, N., Leger, K., Hou, L., et al. 2017.
Chronic kidney disease-associated pruritus: Impact on quality of life and current
management challenges. Int. J. Nephrol. Renov. Dis. 10: 11–26.
Simonsen, E., Komenda, P., Lerner, B., Askin, N., Bohm, C., Shaw, J., et al. 2017.
Treatment of Uremic Pruritus: A Systematic Review. Am J Kidney Dis. 70(5):
638-655
Singer, E.M., Shin, D.B., Nattkemper, L.A., Benoit, B.M., Klein, R.S., Didigu, C.A.,
et al. 2013. IL-31 Is Produced by the malignant T-Cell population in cutaneous
T-Cell Lymphoma and correlates with CTCL Pruritus. J. Invest. Dermatol.
133(12): 2783–2785.
Singh, R.G., Singh, S., Rathore, S.S., Choudhary, T.A. 2015. Spectrum of
intradialytic complications during hemodialysis and its management:
a single-center experience. Saudi J. Kidney Dis. Transpl. 26(1): 168–172.
Sokol, C.L., Barton, G.M., Farr, A.G., Medzhitov, R. 2008. A mechanism for the
initiation of the Th2 response by an allergen. Nat. Immunol. 9(3): 310–318.
Sonkoly, E., Muller, A., Lauerma, A.I., Pivarcsi, A., Soto, H., Kemeny, L., et al.
2006. IL-31: A new link between T cells and pruritus in atopic skin
inflammation. J. Allergy Clin. Immunol. 117(2): 411–417.
Universitas Sumatera Utara
111
Ständer, S., Luger, T. 2010. Itch in atopic dermatitis - pathophysiology and
treatment. Acta Dermatovenerol Croat. 18(4): 289–296.
Ständer, S., Weisshaar, E., Mettang, T., Szepietowski, J.C., Carstens, E., Ikoma, A.,
et al. 2007. Clinical classification of itch: A position paper of the international
forum for the study of itch. Acta Derm. Venereol. 87(4): 291–294.
Stanifer, J.W., Jing, B., Tolan, S., Helmke, N., Mukerjee, R., Naicker, S., et al. 2014.
The epidemiology of Chronic Kidney Disease in sub-Saharan Africa:
A systematic review and meta-analysis. Lancet Glob. Heal. 2(3): 174–181.
Stewart, J.H. 2003. Cancers of the kidney and urinary tract in patients on dialysis for
end-stage renal disease: Analysis of data from the United States, Europe, and
Australia and New Zealand. J. Am. Soc. Nephrol. 14(1): 197–207.
Stott, B., Lavender, P., Lehmann, S., Pennino, D., Durham, S., Schmidt-Weber, C. B.
2013. Human IL-31 is induced by IL-4 and promotes TH2-driven inflammation.
J Allergy Clin Immunol, 132(2): 446–454.e5.
Su, S.-L., Lu, K.-C., Lin, Y.-F., Hsu, Y.-J., Lee, P.-Y., Yang, H.-Y., et al. 2012.
Gene polymorphisms of angiotensin-converting enzyme and angiotensin II type
1 receptor among chronic kidney disease patients in a Chinese population.
J. Renin. Angiotensin. Aldosterone. Syst. 13(1): 148–54.
Suseł, J., Batycka-Baran, A., Reich, A., Szepietowski, J.C. 2014. Uraemic pruritus
markedly affects the quality of life and depressive symptoms in haemodialysis
patients with end-stage renal disease. Acta Derm. Venereol. 94(3): 276–281.
Suzuki, H., Omata, H., Kumagai, H. 2015. Recent Advances in Treatment Option for
Uremic Pruritus. Updat. Hemodial. (March), 5(1): 1–13.
Tarikci, N., Kocatürk, E., Güngör, Ş., Topal, I.O., Can, P.Ü., Singer, R. 2015.
Pruritus in Systemic Diseases: A review of etiological factors and new treatment
modalities. ScientificWorldJournal. 2015, 803752.
Taylor, R. 1990. Interpretation of the correlation coefficient: A basic review.
J Diagn Med Sonogr. 6(1), 35–39
Teles, F., de Azevedo, V., Miranda, C., Miranda, M., Teixeira, M., Elias, R. 2014.
Depression in hemodialysis patients: the role of dialysis shift. Clinics 69(3),
198–202.
Universitas Sumatera Utara
112
Tentori, F., Mapes, D.L. 2010. Health-related quality of life and depression among
participants in the dopps: Predictors and associations with clinical outcomes.
Semin. Dial. 23(1), 14–16.
Trachtenberg AJ., Collister D., Rigatto C. 2020. Recent advances in the treatment of
uremic pruritus. Curr Opin Nephrol Hypertens. 29(5):465-470.
Twycross, R., Greaves, M.W., Handwerker, H., Jones, E.A., Libretto, S.E.,
Szepietowski, J.C., et al. 2003. Itch: Scratching more than the surface.
QJM - Mon. J. Assoc. Physicians 96(1): 7–26.
Tzanakaki, E., Boudouri, V., Stavropoulou, A., Stylianou, K., Rovithis, M. and
Zidianakis, Z. 2014. Causes and complications of chronic kidney disease in
patients on dialysis. Health Sci J.l. 8(3): 343–349.
Umeuchi, H., Togashi, Y., Honda, T., Nakao, K., Okano, K., Tanaka, T., et al. 2003.
Involvement of central mu-opioid system in the scratching behavior in mice,
and the suppression of it by the activation of kappa-opioid system.
Eur. J. Pharmacol. 477(1): 29–35.
Vanholder, R., De Smet, R., Glorieux, G., Argilés, A., Baurmeister, U., Brunet, P., et
al. 2003. Review on uremic toxins: Classification, concentration, and
interindividual variability. Kidney Int. 63(5): 1934–1943.
Wahlgren, C., Linder, M., Hagermark, O., Scheynius, A. 1995. Itch and
inflammation induces by intradermally injected interleukin-2 in atopic
dermatitis patients and healthy subjects. Arch Dermatol Res 287(6): 572–80.
Wahyuni, H., 2014. Faktor-faktor yang memengaruhi gejala pruritus pada pasien
hemodialisis reguler. [Karya Tulis Ilmiah]. Medan: Universitas Sumatera Utara,
Fakultas Kedokteran.
Wang, F., Cui, G., Kuai, L., Xu, J., Zhang, T., Cheng, H., Dong, G., et al. 2017. Role
of Acupoint Area Collagen Fibers in Anti-Inflammation of Acupuncture Lifting
and Thrusting Manipulation. Evid Based Complement Alternat Med. 2017: 1–8.
Wang, J., Zhao, H., Cao, X. D. 2010. Neuroimmuno-effect of acupuncture on
immune-mediated disorder Acupuncture Therapy for Neurological Diseases,
a Neurobiological View eds Xia Y, Cao X, Wu G and Cheng J. London:
Springer Heidelberg Dordrecht. pp. 374.
Universitas Sumatera Utara
113
Wang, Z., Chen, T., Long, M., Chen, L., Wang, L., Yin, N., et al. 2017. Electro-
acupuncture at acupoint ST36 ameliorates inflammation and regulates Th1/Th2
balance in delayed-type hypersensitivity. Inflammation 40(2): 422–434.
Weiss, M., Mettang, T., Tschulena, U., Passlick-deetjen, J., Weisshaar, E. 2015.
Prevalence of chronic itch and associated factors in haemodialysis patients : A
Representative Cross-sectional Study. Acta Derm Venereol. 3: 816–821.
Weisshaar, E. 2016. Epidemiology of uraemic itch: New data. Eur. J. Pain 20(1):
32–36.
Weisshaar, E., Kucenic, M.J., Fleischer, A.B. 2003. Pruritus: A review.
Acta Dermato-Venereologica, Suppl. 213: 5–32.
White, A. 2009. Western medical acupuncture: a definition. Acupunct. Med. 27(1):
33–35.
White, P., Bishop, F. L., Prescott, P., Scott, C., Little, P., Lewith, G. 2012. Practice,
practitioner, or placebo? A multifactorial, mixed-methods randomized
controlled trial of acupuncture. Pain 153(2): 455-462.
Wikström, B. 2007. Itchy skin-A clinical problem for haemodialysis patients.
Nephrol. Dial. Transplant. 22(SUPPL.5): 3–7.
Wong, J., Vilar, E., Farrington, K. 2015. Haemodialysis. Med. 43(8): 478–483.
Wu, H.-Y., Peng, Y.-S., Chen, H.-Y., Tsai, W.-C., Yang, J.-Y., Hsu, S.-P., et al.
2016. A comparison of uremic pruritus in patients receiving peritoneal dialysis
and hemodialysis. Medicine 95(9): e2935
Wu, J., Hu, Y., Zhu, Y., Yin, P., Litscher, G., Xu, S. 2015. Systematic review of
adverse effects: A further step towards modernisation of acupuncture in China.
Evidence-Based Complement. Altern. Med. 2015(Article ID 432467): 1–19.
Wu, M., Cui, J., Xu, D., Zhang, K., Jing, X., Bai, W. 2015. Neuroanatomical
characteristics of deep and superficial needling using LI11 as an example.
Neuroanatomical characteristics of deep and superficial needling using LI11
as an example. Acupunct Med. 2015(33): 472–477.
Wulandani, M,P., Dachlan, A.S., Yusharyahya., Shannaz, N. 2018. Validity and
Reliability of 5-D Itch Scale in Indonesian Language on Adult and Geriatric
Patient at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Adv. Sci. Lett. 24(9): 6994-6998.
Universitas Sumatera Utara
114
Xu, Y., Guo, Y., Song, Y., Zhang, K., Zhang, Y., Li, Q., et al. 2018. A New Theory
for Acupuncture: Promoting Robust Regulation. J Acupunct Meridian Stud.
11(1): 39-43.
Yamada, S., Tokumoto, M., Tatsumoto, N., Taniguchi, M., Noguchi, H., Nakano, T.,
et al. 2014. Phosphate overload directly induces systemic inflammation and
malnutrition as well as vascular calcification in uremia. AJP Ren. Physiol.
306(12): F1418–F1428.
Yazdi, F.K., Karimi, N., Rasouli, M., Roozbeh, J. 2013. Effect of nonsurgical
periodontal treatment on C - reactive protein levels in maintenance hemodialysis
patients. Ren. Fail. 35(5): 711–7.
Yosipovitch, G. 2007. The pruritus receptor unit: a target for novel therapies.
J. Invest. Dermatol. 127(8): 1857–1859.
Yosipovitch, G., Duque, M.I., Patel, T.S., Ishiuji, Y., Guzman-Sanchez, D.A., Dawn,
A.G., et al. 2007. Skin barrier structure and function and their relationship to
pruritus in end-stage renal disease. Nephrol. Dial. Transplant. 22(11):
3268–3272.
Zakrzewska-Pniewska, B., Jȩdras, M. 2001. Is pruritus in chronic uremic patients
related to peripheral somatic and autonomic neuropathy? Study by R-R interval
variation test (RRIV) and by sympathetic skin response (SSR).
Neurophysiol. Clin. 31(3): 181–193.
Zelante, T., Fric, J., Wong, A.Y.W., Ricciardi-Castagnoli, P. 2012. Interleukin-2
production by dendritic cells and its immuno-regulatory functions.
Front. Immunol. 3(JUN): 1–5.
Zhang, C., Ma, Y.-X., Yan, Y. 2010. Clinical effects of acupuncture for diabetic
peripheral neuropathy. J. Tradit. Chin. Med. 30(1): 13-14.
Zhang, Y., Zhang, L., Abraham, S., Apparaju, S., Wu, T.-C., Strong, J. et al. 2009.
Assessment of the Impact of Renal Impairment on Systemic Exposure of New
Molecular Entities: Evaluation of Recent New Drug Applications.
Clin Pharmacol Ther. 85(3): 305–311.
Zhang, Z.-J., Chen, H.-Y., Yip, K., Ng, R., Wong, V.T. 2010. The effectiveness and
safety of acupuncture therapy in depressive disorders: systematic review and
meta-analysis. J. Affect. Disord. 124(1–2): 9–21.
Universitas Sumatera Utara
115
Zhang, Z.J., Wang, X.M., McAlonan, G.M. 2012. Neural acupuncture unit: A new
concept for interpreting effects and mechanisms of acupuncture. Evidence-based
Complement. Altern. Med. 2012: 1-23.
Zhao, L., Chen, J., Liu, C.-Z., Li, Y., Cai, D.-J., Tang, Y. et al. 2012. A review of
acupoint specificity research in china: status quo and prospects. J Evid Based
Complementary Altern Med. 2012: 1-16.
Zia, S., Ndoye, A., Lee, T.X., Webber, R.J., Grando, S.A. 2000. Receptor-mediated
inhibition of keratinocyte migration by nicotine involves modulations of calcium
influx and intracellular concentration. J Pharmacol Exp Ther. 293(3): 973-981.
Zijlstra, F.J., van den Berg-de Lange, I., Huygen, F.J.P.M., Klein, J. 2003.
Anti-inflammatory actions of acupuncture. Mediators Inflamm. 12(2): 59–69.
Universitas Sumatera Utara
116
Lampiran
Lampiran 1. Lembar Penjelasan dan informed consent Subjek Penelitian
RSUP H. Adam Malik- FK USU
FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
(FORMULIR INFORMED CONSENT)
Peneliti Utama : dr. Dedi Ardinata, M.Kes
Pemberi Informasi :
Penerima Informasi :
Nama Subyek
Tanggal Lahir (usia)
Jenis Kelamin
Alamat
No. Telp (Hp)
:
:
:
:
JENIS INFORMASI
ISI INFORMASI
(diisi dengan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat awam)
TANDAI
RM.2.11/IC.SPenelitian/20... NRM : Nama : Jenis Kelamin : Tgl. Lahir :
Universitas Sumatera Utara
117
1 Judul Penelitian
Perubahan Kadar Interleukin-2 dan Interleukin-31 Serum Setelah Tindakan Akupunktur pada Titik Li11 (Quchi) dan Korelasinya dengan Perubahan Skala Pruritus pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis
2 Tujuan penelitian
Mengetahui perubahan kadar IL-2 dan kadar IL-31 serum (zat dalam darah yang menyebabkan rasa gatal) setelah tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi) dan korelasinya dengan perubahan skala pruritus (rasa gatal) pada subyek pruritus terkait penyakit ginjal kronis (Pt-PGK) yang menjalani hemodialisis (HD).
3 Cara & Prosedur Penelitian
a. Subyek yang berpotensi masuk ke dalam penelitian adalah semua pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
b. Pada subyek tersebut diberikan penjelasan secara lisan dan tertulis oleh tim penelitian yang sebelumnya telah dilatih untuk memberikan penjelasan tentang berbagai hal yang terkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan, diikuti dengan pemberian formulir persetujuan turut serta sebagai subyek penelitian, untuk ditandatangani (PSP/informed consent).
c. Semua pasien Pt-PGK yang menjalani HD yang telah menandatangani informed consent diambil secara konsekutif, dan dinilai apakah memenuhi kriteria penerimaan.
d. Darah vena dari subyek penelitian diambil sebanyak 15 ml (1 sendok makan) dengan menggunakan vacuette steril dengan terlebih dahulu dilakukan tindakan aseptik dan pemberian antiseptik pada lokasi pengambilan darah. Darah vena dikirim ke laboratorium klinik untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum, kreatinin, hemoglobin dan CRP. Penilaian skala pruritus dengan menggunakan kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et al., 2018) dan pengukuran indeks masa tubuh dilakukan setelah prosedur HD selesai yang dilakukan oleh seorang anggota peneliti yang sudah dilatih.
e. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapat tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi) (A) dan kelompok yang mendapat tindakan akupunktur plasebo (P). Penentuan kelompok setiap subyek dilakukan secara random dengan bantuan aplikasi online pada https://www.randomizer.org/
f. Setelah subyek menjalani HD selama 1 jam, bila keadaan hemodinamik stabil maka pada jam ke-2, pada subyek dilakukan tindakan aseptik dan pemberian antiseptik pada titik LI11 Quchi.
Universitas Sumatera Utara
118
g. Pada kelompok A diberi tindakan penusukan jarum steril (diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) tegak lurus pada permukaan kulit sedalam 1-1,5 cm pada titik LI11 Quchi, yang berdekatan dengan penusukan jarum pada prosedur HD dan dibiarkan selama 1 jam. Pada kelompok P diberi tindakan penempelan jarum steril (diameter 0,25 mm dan panjang 25 mm, Bai Yi Mei®) dengan dengan bantuan plester pada titik LI11 Quchi dan dibiarkan selama 1 jam. Tindakan ini dilakukan oleh dokter yang telah tersertifikasi oleh kolegium Perhimpunan Dokter Akupunktur Indonesia (PDAI) atau oleh dokter Spesialis Akupunktur Medik (Sp.Ak) dengan pengalaman lebih dari 2 tahun sebagai praktisi akupunktur.
h. Tindakan akupunktur dan plasebo diberikan 2 kali seminggu selama 6 minggu (Phan, 2015) dan dilakukan penilaian terhadap efek samping akupunktur dan plasebo.
i. Setelah subyek mendapat 12 kali tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi) dan plasebo selama 6 minggu, darah vena subyek penelitian diambil sebanyak 5 ml (1 sendok teh) dengan menggunakan vacuette, dan dikirim ke laboratorium klinik untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum. Setelah pengambilan darah selesai dilanjutkan dengan penilaian skala pruritus menggunakan kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et al., 2018) yang dilakukan oleh seorang anggota peneliti yang sama pada penilaian pruritus sebelumnya.
j. Empat minggu setelah tanpa tindakan A dan P, darah vena diambil sebanyak 5 ml (1 sendok teh) dengan menggunakan vacuette dan dikirim ke laboratorium klinik untuk pemeriksaan kadar IL-2 serum, kadar IL-31 serum. Setelah pengambilan darah selesai dilanjutkan penilaian skala pruritus menggunakan Skala Gatal 5 Dimensi dilakukan oleh anggota peneliti yang sama pada penilaian pruritus sebelumnya.
k. Darah pasien disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -400 celcius dan apabila darah yang tidak gunakan pada penelitian ini akan digunakan untuk penelitian lain.
4 Jumlah Subyek 62 orang
5 Waktu Penelitian Bulan Agustus 2018 hingga tercapai 64 orang subyek
6 Manfaat penelitian termasuk manfaat
a. Ilmu pengetahuan: dapat menambah pemahaman mengenai mekanisme kerja tindakan akupunktur
Universitas Sumatera Utara
119
bagi subyek pada titik LI11 (Quchi) terhadap pruritus dan efek samping akupunktur pada pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
b. Aplikasi klinis: dapat menambah pemahaman tentang manfaat tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi) sebagai terapi paliatif pruritus pada pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
c. Institusi pendidikan kedokteran: pengembangan akupunktur pada bidang kedokteran berdasarkan Evidence Based Medicine.
d. Masyarakat: dapat memahami bahwa tindakan akupunktur pada titik LI11 (Quchi), merupakan salah satu pilihan untuk pasien Pt-PGK yang menjalani HD.
e. Subyek mendapatkan efek berkurangnya rasa gatal yang dialami.
7 Risiko & efek samping dalam penelitian
a. Reaksi alergi terhadap bahan jarum akupunktur (metal) dan vacuette diberikan antialergi topikal atau sistemik yang mungkin diberikan setelah berkonsultasi dengan dokter yang merawat.
b. Rasa nyeri dan kebas sekitar lokasi penusukan jarum saat setelah penusukan jarum akupunktur yang akan segera menghilang, bila nyeri dan kebas masih terasa sehingga menggangu kenyamanan subjek maka jarum akupunktur segera dicabut dan diberikan kompres hangat atau dingin pada lokasi penusukan.
c. Perdarahan minimal setelah pencabutan jarum akupunktur dan jarum suntik yang dapat diatasi dengan penekanan pada lokasi perdarahan menggunakan kapas mengandung alkohol 70%.
d. Infeksi pada lokasi penusukan jarum diberikan antibiotik topikal atau sistemik yang mungkin diberikan setelah berkonsultasi dengan dokter yang merawat.
8 Ketidak nyamanan subyek penelitian
Pasien merasakan nyeri dan kebas disekitar tempat penusukan yang akan segera menghilang
9 Perlindungan Subyek Rentan
Penelitian didasarkan pada prinsip etik menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person), berbuat baik (beneficence), dan keadilan (justice).
10 Kompensasi bila terjadi efek samping
Selama penelitian, peneliti menyiapkan tindakan, perlindungan dan biaya yang diperlukan kepada bapak/ibu/saudara bila terjadi risiko dan efek samping tersebut
11 Alternatif Penanganan bila ada
Tidak ada
12 Penjagaan Semua informasi yang berkaitan dengan identitas bapak/ibu/saudara (subyek penelitian) akan
Universitas Sumatera Utara
120
kerahasiaan Data dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti dan staf penelitian. Hasil penelitian akan dipublikasikan tanpa identitas bapak/ibu/saudara (subyek penelitian).
13 Biaya Yang ditanggung oleh subyek
Subyek tidak dikenakan biaya apapun terkait penelitian.
14 Insentif bagi subyek
Bapak/ibu/saudara akan mendapatkan uang Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) sebagai ganti waktu .
15 Nama & alamat peneliti serta nomor telepon yang bisa dihubungi
dr. Dedi Ardinata, M.Kes. Jl. Pendidikan no. 96 Tegal Rejo, Medan Perjuangan. HP no. 08116362927
(bila diperlukan dapat ditambahkan gambar prosedur dan alur prosedur).
Inisial Subyek : …………
Universitas Sumatera Utara
121
Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 hingga 3 mengenai penelitian
yang akan dilakukan oleh: dr. Dedi Ardinata, M.Kes. dengan judul : “Perubahan
Kadar Interleukin-2 dan Interleukin-31 Serum Sesudah Tindakan Akupunktur pada
Titik LI11 Quchi dan Korelasinya dengan Perubahan Skala Pruritus pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis”. Informasi tersebut sudah saya
pahami dengan baik.
Dengan menandatangani formulir ini saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam
penelitian di atas dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu
waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, saya berhak membatalkan
persetujuan ini.
------------------------------------------- ------------------------------------------- Tanda Tangan Subyek atau Cap jempol Tanggal ------------------------------------------- Nama Subyek ------------------------------------------- -------------------------------------------
Tanda Tangan saksi/wali Tanggal ------------------------------------------- Nama saksi/wali Ket : Tanda Tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan
Universitas Sumatera Utara
122
Lampiran 2. Borang Isian Subjek Penelitian
Data Subjek Penelitian
Tanggal : ____/____/_____ No. urut penelitian : ______________ NRM : ______________ Nama : ______________ Alamat : _________________________________________ Identitas : Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan Usia : _______ (tahun) Suku : 1. Jawa 2. Toba 3. Karo 4. Melayu 5. Padang 6. Aceh 7. Tionghoa 8. India Anamnesis Keluhan pruritus : 0. Tidak ada 1. Ada Lama pruritus : ___________ minggu Lama HD : ___________ bulan Penyakit penyebab gagal ginjal kronis
1. Diabetes 2. Hipertensi 3. Penyakit ginjal obstruktif, infeksi.
Penyakit penyerta
1. HIV 0. Tidak ada 1. Ada 2. Penyakit hepatobilier 0. Tidak ada 1. Ada 3. Keganasan/kelainan darah 0. Tidak ada 1. Ada 4. Infeksi kulit 0. Tidak ada 1. Ada
Dialisis rutin Ya/ Tidak Jika ya frekuensi : ___/minggu Obat-obatan yang sedang dikonsumsi 0. Tidak ada 1. Ada Jika ada, nama obat dan dosis __________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Universitas Sumatera Utara
123
_________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________ Pemeriksaan fisik Tinggi badan : ______ m Tanggal pemeriksaan 1 : ____/____/_____ Pemeriksaan dilakukan 1 jam sesudah prosedur HD. Kesadaran : ____________________ Tekan darah : ______/_____ mmHg Frekuensi denyut nadi : _____ x/ mnt, regular/irregular Frekuensi napas : _____ x/ mnt, regular/irregular Suhu tubuh : _____ 0C Berat badan (sesudah HD) : ______ kg Tanggal pemeriksaan 2 : ____/____/_____ Pemeriksaan dilakukan 1 jam sesudah prosedur HD. Kesadaran : ____________________ Tekan darah : ______/_____ mmHg Frekuensi denyut nadi : _____ x/ mnt, regular/irregular Frekuensi napas : _____ x/ mnt, regular/irregular Suhu tubuh : _____ 0C Berat badan (sesudah HD) : ______ kg Tanggal pemeriksaan 3 : ____/____/_____ Pemeriksaan dilakukan 1 jam sesudah prosedur HD. Kesadaran : ____________________ Tekan darah : ______/_____ mmHg Frekuensi denyut nadi : _____ x/ mnt, regular/irregular Frekuensi napas : _____ x/ mnt, regular/irregular Suhu tubuh : _____ 0C Berat badan (sesudah HD) : ______ kg
Universitas Sumatera Utara
124
Lampiran 3. Penyaringan Subjek Penelitian
PENYARINGAN SUBJEK PENELITIAN
I. Kriteria penerimaan subjek penelitian ( Beri tanda √ )
Ya Tidak Kriteria Pria atau wanita dengan usia lebih dari 18 tahun. Menjalani HD rutin 2 kali seminggu selama lebih dari 6 bulan dan
dalam keadaan hemodinamik stabil Hemodialisis dengan filter polysulfane dan larutan bikarbonat Mengalami pruritus setidaknya 6 minggu sebelum dilakukan tindakan
tindakan akupunktur. Hanya menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan penyakit
utama (PGK) dan tidak memengaruhi pruritus. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang memengaruhi pruritus
setidaknya selama periode washout obat. Belum pernah mendapatkan tindakan akupunktur atau setidaknya
8 minggu terakhir tidak mendapatkan tindakan akupunktur. Jika ada jawaban ”tidak” maka pasien tidak memenuhi kriteria untuk menjadi subjek dalam penelitian.
II. Kriteria penolakan subjek penelitian ( Beri tanda √ )
Ya Tidak Kriteria
Menolak atau tidak mengikuti protokol penelitian secara lengkap oleh karena berbagai alasan
Reaksi alergi terhadap jarum akupunktur. Infeksi pada kulit tempat penusukan jarum akupunktur. Mendapat perawatan di ruang perawatan intensif karena berbagai alasan Menggunakan obat-obatan yang dapat memengaruhi pruritus yang
diberikan oleh dokter yang merawat selama masa penelitian. Menderita psoriasis dan atau dermatitis atopik selama masa penelitian Keadaan mental dan atau fisik yang memengaruhi kemampuan
menjawab pertanyaan kuesioner Jika ada jawaban”ya” maka pasien tidak memenuhi kriteria untuk menjadi subjek dalam penelitian.
III. Kesimpulan ( Beri tanda √ )
( ) Pasien memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian ( ) Pasien tidak memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian
Universitas Sumatera Utara
125
Lampiran 4. Kuesioner The itch 5-D scale (Elman at al., 2010)
Universitas Sumatera Utara
126
Lampiran 5. Kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et al., 2018)
Universitas Sumatera Utara
127
Lampiran 6. Pemeriksaan IL-2 Serum
Pemeriksaan IL-2 serum
Pemeriksaan IL-2 serum menggunakan Human IL-2 ELISA kit (Fine Test®, Wuhan
Fine Biological Technology Co., Ltd), katalog no. EH0189, dengan komponen :
Micro ELISA Plate (Dismountable), Lyophilized Standard, Sample/Standard dilution
buffer, Biotin- detection antibody (Concentrated), Antibody dilution buffer, HRP-
Streptavidin Conjugate (SABC), SABC dilution buffer, TMB substrate, Stop
solution, Wash buffer (25X), Plate Sealer.
1. Persiapan serum:
a. Darah vena di ambil sebanyak 2 mL dengan menggunakan vacuette, biarkan
darah membeku dalam waktu 2 jam.
b. Sesudah bekuan terbentuk, dilakukan sentrifus 3.000 rpm selama 20 menit.
c. Cairan serum diambil dan disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -40
°C sampai jumlah sampel mencukupi untuk dilakukan pemeriksaan IL-2.
2. Persiapan reagen :
a. Wash buffer.
Konsentrat wash buffer sebanyak 30 mL diencerkan dengan 750 mL air
suling. Larutan disimpan pada temperatur kamar sebelum digunakan..
b. Standar.
Universitas Sumatera Utara
128
i. 1000 pg/mL larutan standar: Tambahkan 1 ml sample/Standard dilution
buffer pada satu standar tabung, biarkan pada suhu kamar selama 10 menit
dan aduk.
ii. 500 pg/mL→15,6 pg/mL solusi standar: 6 tabung Eppendorf dilabel
masing-masing dengan 500 pg/mL, 250 pg/mL, 125 pg/mL, 62,5 pg/mL,
31,25 pg/mL, dan 15,6 pg/mL. Alikuot 0.3 mL sample/Standard dilution
buffer ke setiap tabung. Tambahkan 0,3 mL larutan standar 1000pg/mL di
atas menjadi 1 tabung dan campuran saksama. Pindahkan 0,3 mL dari
tabung 1 untuk tabung 2. Pindahkan 0,3 mL dari tabung 2 ke tabung 3 dan
seterusnya.
c. Streptavidin-HRP.
Streptavidin-HRP konjugat (SABC) diencerkan 1:100 dengan SABC dilution
buffer. (tambahkan 1 μL SABC kedalam 99 μL SABC dilution buffer).
d. Biotin- detection Antibody.
Biotin- detection Antibody diencerkan 1:100 dengan Antibody dilution
buffer. (tambahkan 1 μL Biotin-detection Antibody kedalam 99 μL Antibody
dilution buffer).
3. Prosedur ELISA.
a. Pencucian: Tambahkan 200 ul larutan pencuci setiap sumur. Sedot cairan dari
setiap sumur untuk menghilangkan cairan dan cuci plat 2 kali menggunakan
300 ul larutan pencuci per sumur. Sesudah mencuci selesai, balikkan plat
untuk menghilangkan sisa larutan dan noda dengan handuk kertas
Universitas Sumatera Utara
129
b. Reaksi: Tambahkan 100 ul standar dan serum untuk setiap sumur. Tutup plat
dengan penutup plat. Diinkubasi selama 90 menit pada suhu 37°C.
c. Deteksi: Tambahakan 100 μL Biotin- detection Antibody yang telah
diencerkan pada tiap sumur dan biarkan selama 60 menit pada suhu 37°C.
d. Sedot cairan setiap sumur dan cuci plat sebanyak 3 kali.
e. Konjugasi: Tambahkan 100 μL SABC yang telah diencerkan pada setiap
sumur kemudian diinkubasi selama 30 menit
f. Sedot cairan setiap sumur dan cuci plat sebanyak 5 kali.
h. Pewarnaan: Tambahkan 90 uL TMB substrate pada setiap sumur kemudian
diinkubasi selama 10-15 menit pada suhu 37°C.
g Tambahkan 50 uL stop solution setiap sumur.
i. Pembacaan: Densitas optik dari setiap sumur dibaca dengan menggunakan
ELISA microplate reader, dengan panjang gelombang 450 nm. Kadar IL-2
selanjutnya dihitung menggunakan kurva standar.
Presisi.
Presisi Intra-assay (presisi dalam satu pengujian): 3 sampel dengan kadar IL-2
rendah, sedang dan tinggi, diuji 20 kali masing-masing pada plat yang sama.
Presisi Inter-assay Precision (presisi antar pengujian): 3 sampel dengan kadar IL-2
rendah, sedang dan tinggi diuji 3 kali pada plat yang berbeda, dengan 8 pengulangan
pada tiap plat.
CV (%) = SD/meanX100
Intra-Assay: CV<8%
Universitas Sumatera Utara
130
Lampiran 7. Pemeriksaan IL-31 Serum
Pemeriksaan IL-31 serum
Pemeriksaan IL-31 serum menggunakan Human IL-31 ELISA kit (Fine Test®,
Wuhan Fine Biological Technology Co., Ltd), katalog no. EH018, dengan komponen
: Micro ELISA Plate (Dismountable), Lyophilized Standard, Sample/Standard
dilution buffer, Biotin- detection antibody (Concentrated), Antibody dilution buffer,
HRP-Streptavidin Conjugate(SABC), SABC dilution buffer, TMB substrate, Stop
solution, Wash buffer (25X), Plate Sealer.
1. Persiapan serum:
a. Darah vena di ambil sebanyak 2 mL dengan menggunakan vacuette, biarkan
darah membeku dalam waktu 2 jam.
b. Sesudah bekuan terbentuk, dilakukan sentrifus 3.000 rpm selama 20 menit.
c. Cairan serum diambil dan disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu -40
°C sampai jumlah sampel mencukupi untuk dilakukan pemeriksaan IL-31.
2. Persiapan reagen :
a. Wash buffer.
Konsentrat wash buffer sebanyak 30 mL diencerkan dengan 750 mL air
suling. Larutan disimpan pada temperatur kamar sebelum digunakan..
b. Standar.
Universitas Sumatera Utara
131
i. 500 pg/ml larutan standar: Tambahkan 1 ml sample/Standard dilution
buffer pada satu standar tabung, biarkan pada suhu kamar selama 10
menit dan aduk.
ii. 250 pg/ml→7,813 pg/mL solusi standar: 6 tabung Eppendorf dilabel
masing-masing dengan 250 pg/mL, 125 pg/mL, 62,5 pg/mL, 31,25
pg/mL, 15,625 pg/mL, 7,813 pg/mL. Alikuot 0,3 mL sample/Standard
dilution buffer ke setiap tabung. Tambahkan 0,3 mL larutan standar 500
pg/mL di atas menjadi 1 tabung dan campuran saksama. Pindahkan 0,3
mL dari tabung 1 untuk tabung 2. Pindahkan 0,3 mL dari tabung 2 ke
tabung 3 dan seterusnya.
c. Streptavidin-HRP.
Streptavidin-HRP konjugat (SABC) diencerkan 1:100 dengan SABC
dilution buffer. (tambahkan 1 μL SABC kedalam 99 μL SABC dilution
buffer).
d. Biotin- detection Antibody.
Biotin- detection Antibody diencerkan 1:100 dengan Antibody dilution
buffer. (tambahkan 1 μL Biotin-detection Antibody kedalam 99 μL
Antibody dilution buffer).
3. Prosedur ELISA.
a. Pencucian: Tambahkan 200 ul larutan pencuci setiap sumur. Sedot cairan
dari setiap sumur untuk menghilangkan cairan dan cuci plat 2 kali
menggunakan 300 ul larutan pencuci per sumur. Sesudah mencuci selesai,
Universitas Sumatera Utara
132
balikkan plat untuk menghilangkan sisa larutan dan noda dengan handuk
kertas
b. Reaksi: Tambahkan 100 ul standar dan serum untuk setiap sumur. Tutup
plat dengan penutup plat. Diinkubasi selama 90 menit pada suhu 37°C.
c. Deteksi: Tambahakan 100 μL Biotin- detection Antibody yang telah
diencerkan pada tiap sumur dan biarkan selama 60 menit pada suhu 37°C.
d. Sedot cairan setiap sumur dan cuci plat sebanyak 3 kali.
e. Konjugasi: Tambahkan 100 μL SABC yang telah diencerkan pada setiap
sumur kemudian diinkubasi selama 30 menit
f. Sedot cairan setiap sumur dan cuci plat sebanyak 5 kali.
h. Pewarnaan: Tambahkan 90 uL TMB substrate pada setiap sumur kemudian
diinkubasi selama 10-15 menit pada suhu 37°C.
g Tambahkan 50 uL stop solution setiap sumur.
i. Pembacaan: Densitas optik dari setiap sumur dibaca dengan menggunakan
ELISA microplate reader, dengan panjang gelombang 450 nm. Kadar IL-31
selanjutnya dihitung menggunakan kurva standar.
Presisi.
Presisi Intra-assay (presisi dalam satu pengujian): 3 sampel dengan kadar IL-31
rendah, sedang dan tinggi, diuji 20 kali masing-masing pada plat yang sama.
Presisi Inter-assay Precision (presisi antar pengujian): 3 sampel dengan kadar IL-31
rendah, sedang dan tinggi diuji 3 kali pada plat yang berbeda, dengan 8 pengulangan
pada tiap plat.
CV (%) = SD/meanX100
Universitas Sumatera Utara
133
Intra-Assay: CV<8%
Inter-Assay: CV<10%
Universitas Sumatera Utara
134
Lampiran 8. Pemeriksaan Pruritus
Pemeriksaan Pruritus
Pemeriksaan pruritus dengan menggunakan kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi
merupakan jenis wawancara terpimpin dimana pewawancara sudah dibekali dengan
daftar pertanyaan lengkap dan terinci dan dilakukan dengan 3 tahap yaitu:
1. Persiapan pewawancara
a. Pewawancara menyiapkan kuesioner Skala Gatal 5 Dimensi (Wulandani et
al., 2018) dan alat tulis yang diperlukan.
b. Memastikan subjek yang akan diwawancarai sesuai dengan subjek yang
ditetapkan oleh peneliti.
c. Memastikan keadaan mental dan atau fisik dalam keadaan baik sehingga
tidak memengaruhi kemampuan menjawab pertanyaan kuesioner.
2. Wawancara dan pengisian kuesioner
Saat melakukan wawancara, pewawancara harus dapat menciptakan suasana agar
tidak kaku sehingga subjek mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Untuk itu, sikap-sikap yang harus dimiliki seorang pewawancara adalah sebagai
berikut:
Netral; artinya, pewawancara tidak berkomentar untuk tidak setuju terhadap
informasi yang diutarakan oleh subjek karena tugasnya adalah merekam seluruh
keterangan dari subjek, sesuai dengan pilihan jawaban yang tersedia pada
kuesioner.
Universitas Sumatera Utara
135
Ramah; artinya pewawancara menciptakan suasana yang mampu menarik minat
si subjek.
Adil; artinya pewawancara harus bisa memperlakukan semua subjek dengan
sama. Pewawancara harus tetap hormat dan sopan kepada semua subjek
bagaimanapun keberadaannya.
Hindari ketegangan; artinya, pewawancara harus dapat menghindari ketegangan,
jangan sampai subjek sedang dihakimi atau diuji. Kalau suasana tegang, subjek
berhak membatalkan wawancara tersebut dan meminta pewawancara untuk tidak
menuliskan hasilnya. Pewawancara harus mampu mengendalikan situasi dan
pembicaraan agar terarah.
Pengisian kuesioner:
a. Pewawancara mengajukan pertanyaan sesuai dengan pertanyaan pada
masing-masing dimensi dimulai dengan dimensi durasi rasa gatal hingga
dimensi lokasi rasa gatal.
b. Pewawancara membacakan pilihan-pilihan jawaban pertanyaan yang tersedia
kepada subjek.
c. Pewawancara dapat mengulang dan memberikan penjelasan terhadap
pertanyaan maupun jawaban jika subjek belum memahami.
d. Pewawancara memberikan tanda “√” pada kotak yang tersedia sesuai pilihan
jawaban subjek.
3. Penilaian skala (Elman, 2010)
Penilaian skala pruritus dilakukan sesudah seluruh jawaban dari masing-masing
pertanyaan setiap dimensi telah diberikan tanda “√”.
Universitas Sumatera Utara
136
a. Skala masing-masing dimensi dinilai secara terpisah dan kemudian seluruh
skala dijumlahkan untuk mendapat Skala Gatal 5 Dimensi antara 5 (tidak gatal)
hingga 25 (gatal paling parah)
b. Skala dimensi durasi, intensitas dan perkembangan rasa gatal dinilai sesuai
dengan pilihan subjek, masing-masing skala antara 1 hingga 5.
c. Skala dimensi gangguan beraktivitas akibat gatal dinilai sebagai dampak
terhadap empat jenis kegiatan sehari-hari: tidur, bersantai/bersosialisasi,
pekerjaan rumah tangga/urusan rumah tangga dan bersekolah/bekerja. Skala
pada dimensi ditentukan oleh skala tertinggi diantara empat jenis kegiatan
sehari-hari yang dipilih oleh subjek, masing-masing skala antara 1 hingga 5.
d. Skala dimensi lokasi rasa gatal dinilai dengan menjumlahkan lokasi bagian
badan yang gatal kemudian ditentukan skalanya sebagai berikut:
Jumlah lokasi bagian badan yang gatal Skala
0-2 1
3-5 2
6-10 3
11-13 4
14-15 5
Universitas Sumatera Utara
137
Lampiran 9. Pemeriksaan nyeri dengan VAS
Pemeriksaan Nyeri (VAS)
Pemeriksaan nyeri dengan menggunakan visual analog scale (VAS) adalah suatu
instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan
sebuah garis 10 cm dengan pembacaan skala 0–10.
Cara penilaiannya adalah subjek menyebut atau menunjukkan angka pada nilai skala
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari
peneliti tentang makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skala VAS dilakukan
dengan mengukur jarak antara ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke
titik yang ditunjukkan subjek.
Persyaratan melakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala VAS:
a. Subjek sadar atau tidak mengalami gangguan mental/kognitif sehingga dapat
berkomunikasi dengan baik.
b. Subjek dapat melihat dengan jelas, sehingga subjek dapat menyebut atau
menunjukkan angka pada skala VAS berkaitan dengan kualitas nyeri yang
dirasakannya.
c. Subjek kooperatif, sehingga pengukuran nyeri dapat terlaksana.
Agar pengukuran dapat berjalan sebagai mestinya, sebelum dilakukan pengukuran
subjek diberi penjelasan mengenai pengukuran yang akan dilakukan beserta
Universitas Sumatera Utara
138
prosedurnya. Kemudian subjek diminta untuk memilih atau menyebut angka pada
garis sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan.
Prosedur Pemeriksaan
1. Menjelaskan kepada subjek tentang tujuan pengukuran dilakukan.
2. Menjelaskan kepada subjek bahwa angka “0” berarti tidak nyeri, angka “1”
sampai “3” berarti nyeri ringan, angka “4” sampai “6” berarti nyeri ringan, dan
angka “7” sampai “10” berarti sangat nyeri.
3. Menyuruh subjek menyebut atau menunjukkan angka pada skala nyeri sesuai
dengan intensitas nyeri yang dirasakan saat penusukan jarum akupunktur.
4. Mencatat lalu menginterpretasikan makna nyeri yang dinyatakan oleh subjek
pada alat ukur nyeri yang tersedia.
Universitas Sumatera Utara
139
Lampiran 10. Data Subjek Penelitian
Universitas Sumatera Utara
140
Universitas Sumatera Utara
141
Universitas Sumatera Utara
142
Universitas Sumatera Utara
143
Lampiran 11. Output SPSS
1. Uji Normalitas
Universitas Sumatera Utara
144
2. Uji Perbandingan.
Universitas Sumatera Utara
145
Universitas Sumatera Utara
146
Universitas Sumatera Utara
147
Universitas Sumatera Utara
148
Universitas Sumatera Utara
149
Universitas Sumatera Utara
150
Universitas Sumatera Utara
151
3. Uji Korelasi
Universitas Sumatera Utara
152
Universitas Sumatera Utara
153
Lampiran 12. Persetujuan Komisi Etik
Universitas Sumatera Utara
Top Related