i
UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus)
TERHADAP MORTALITAS CACING Haemonchus contortus
SECARA IN VITRO
SKRIPSI
Oleh :
NURPAIDAH
I111 14 308
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus)
TERHADAP MORTALITAS CACING Haemonchus contortus
SECARA IN VITRO
Oleh :
NURPAIDAH
I111 14 308
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin Makassar
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya sehingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, setelah
mengikuti proses belajar, penelitian, pengolahan data, bimbingan sampai pada
pembahasan dan pengujian skripsi dengan Judul ”UJI EFEKTIVITAS
EKSTRAK DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) TERHADAP
MORTALITAS CACING Hemonchus contortus SECARA IN VITRO”.
Skripsi ini merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan jenjang Strata Satu
(S1) pada Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemukan hambatan dan
tantangan, sehingga penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan sebagai suatu karya ilmiah, hal ini disebabkan oleh
faktor keterbatasan penulis sebagai manusia yang masih berada dalam proses
pembelajaran. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan partisipasi aktif dari
semua pihak berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi
penyempurnaan tulisan ini.
vi
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan
dengan rasa hormat kepada:
1. Ayahanda tercinta H. Bora dan ibunda tersayang Hj. Maryam yang telah
melahirkan, membesarkan, mendidik dan mengiringi setiap langkah penulis
dengan doa restu yang tulus serta tak henti-hentinya memberikan dukungan
baik secara moril maupun materil. Terima kasih kepada kakak-kakak tercinta
Andi Prabowo Putra, Hj. Rukmawati, Abd. Hafid, Hj. Rosmiati, Fuad
Hadi dan Yulianti yang selalu memberi doa dan dukungan baik secara moril
maupun materil.
2. Dr. Jamila, S.Pt, M.Si selaku pembimbing utama dan drh. Kusumandari
Indah Prahesti, M.Si selaku pembimbing anggota yang telah memberikan
nasehat, arahan, petunjuk dan bimbingan serta dengan sabar dan penuh
tanggungjawab meluangkan waktunya mulai dari penyusunan hingga
selesainya skripsi ini.
3. Dr. Ir. Syahriani Syahrir, M.Si selaku penasehat akademik yang sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan S1.
4. Prof. Dr. Ir. Ismartoyo, M.Agr.S, Marhamah Nadir, SP., M.Si., Ph.D dan
Jamilah, S.Pt., M.Si selaku penguji mulai dari seminar proposal hingga
seminar hasil penelitian, terima kasih telah berkenan mengarahkan dan
memberi saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin.
vii
6. Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc selaku Wakil Dekan I Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin
7. Dr. Ir. Hj. Hastang, M.Si selaku Wakil Dekan II Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin.
8. Prof. Dr. Ir. Jasmal A. Syamsu, M.Si selaku Wakil Dekan III Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin.
9. Dosen Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah
banyak memberi ilmu yang sangat bernilai bagi penulis.
10. Seluruh Staf dalam lingkungan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
yang selama ini telah banyak membantu dan melayani penulis selama
menjalani kuliah hingga selesai.
11. Ibu Anti, Kak Emi, dan Kak Akbar terima kasih telah meluangkan
waktunya untuk membantu dalam proses mengekstrak bahan penelitian.
12. Daeng Aco dan Kawan-kawan RPH Antang terima kasih telah membantu
penulis dalam menyelesaikan penelitian.
13. Team Penelitian Muqarramah dan Lisnawati terima kasih atas kerja sama
dan bantuannya selama proses penelitian.
14. Teman-teman seperjuangan dari mahasiswa baru Meygi C. Putri Ilahude,
Lisnawati, Ismah Ulfiyah Azis, Muqarramah, Daeva Mubarika Raisa,
Zarah Mawarni Agus, Devi Sriana, Widiya Asri Puspitawati, Fauziah
Hasdin, Ruhul Izza Aras, dan St. Nurfitrah U terima kasih telah menjadi
sahabat, teman, sekaligus keluarga termasuk dalam bagian hidup saya dan
terima kasih banyak atas kebersamaan dan bantuannya selama ini.
viii
15. Teman-teman dan Kakanda yang membantu banyak dalam penyusunan tugas
akhir Abd. Rajab, Muh. Zulkarnain dan Kak Hardianto Polapa, S.Pt.
16. Teman-teman FAPET C, ANT 14, dan HUMANIKA UH yang tak bisa saya
sebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas kebersamaan dan bantuannya
selama ini.
17. Rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Peternakan kepada kakanda angkatan 11,
12, 13 dan Adinda 15, 16, dan 17 terima kasih atas kerjasamanya.
18. Rekan-rekan Seperjuangan di lokasi KKN Ang. 96 Desa Benteng,
Kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep, Hatuti, Mirna Yusnita,
Ruslianto Sumule Pongtuluran dan Rusdiansyar, serta Bapak M. Nasir
sekeluarga beserta warga Desa Benteng, Kecamatan Mandalle,
Kabupaten Pangkep Terima kasih atas kerjasamanya dan pengalaman saat
KKN.
Semoga Allah S.W.T membalas budi baik semua yang penulis telah
sebutkan diatas maupun yang belum sempat ditulis. Akhir kata, Harapan Penulis
kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya dan diri
pribadi penulis. Amin....
Wassalumualaikum Wr.Wb.
Makassar, Mei 2018
Penulis
ix
ABSTRAK
Nurpaidah (I111 14 308). Uji Efektivitas Ekstrak Daun Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) terhadap Mortalitas Cacing Haemonchus contortus secara In Vitro
(Di bawah bimbingan Jamila sebagai Pembimbing Utama dan Kusumandari
Indah Prahesti sebagai Pembimbing Anggota)
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) merupakan tanaman pakan yang mengandung
tanin yang tinggi. Tanin pada daun kaliandra dapat menyebabkan kematian pada
cacing. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun
kaliandra (C. calothyrsus) terhadap mortalitas cacing Haemonchus contortus
secara in vitro. Analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap yang terdiri atas enam perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan terdiri
dari R0 (NaCl fiologis 0,9%), R1 (Albendazole 10 mg/ml), R2 (ekstrak daun
kaliandra 10%), R3 (ekstrak daun kaliandra 25%), R4 (ekstrak daun kaliandra
50%), dan R5 (ekstrak daun kaliandra 100%). Hasil analisis kandungan tanin
menunjukkan bahwa kandungan tanin ekstrak daun kaliandra, yaitu pada R2
0,5%, R3 1,25%, R4 2,5%, dan R5 5%. Hasil pengujian secara in vitro
menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap
jumlah kematian cacing Haemonchus contortus pada jam pertama, kedua, dan
ketiga pengamatan. Pemberian ekstrak daun kaliandra kosentrasi 100% secara in
vitro pada cacing Haemonchus contortus telah mengalami kematian 100% pada
jam ke–3 dan pemberian ekstrak konsentrasi 10%, 25% dan 50% pada jam ke–4.
Kesimpulan penelitian ini, yaitu ekstrak daun kaliandra memiliki efektivitas
dalam mematikan cacing Haemonchus contortus dan waktu optimal yang
dibutuhkan ekstrak daun kaliandra dalam mematikan cacing pada konsentrasi
100% adalah 2 jam. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kaliandra maka
semakin cepat waktu kematian cacing Haemonchus contortus.
Kata kunci : Ekstrak daun kaliandra (Calliandra calothyrsus), cacing
Haemonchus contortus, mortalitas
x
ABSTRACT
Nurpaidah (I11114 308). Effectiveness of Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
Leaf Extract on Mortality of Haemonchus contortus In Vitro. Supervised by
Jamila (Main Supervisor) and Kusumandari Indah Prahesti (Cosupervisor).
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) is a feed plant containing high tannins. Tannin
on Kaliandra leaf can cause death in worms. The purpose of this research was to
know the effectivity of Kaliandra (C. calothyrsus) leaf extract on Haemonchus
contortus mortality in vitro. Statistical analysis used was Completely Randomized
Design consisting of six treatments and four replications. The structure of
treatments were R0 (0,9% of NaCl), R1 (10 mg/ml of Albendazole), R2 (10% of
Kaliandra leaf extract), R3 (25% of Kaliandra leaf extract), R4 (50% of Kaliandra
leaf extract), and R5 (100% of Kaliandra leaf extract). The result of tannin content
analysis showed that tannin content of R2 was 0,5%, R3 1,25%, R4 2,5%, and R5
5%. In vitro examination showed that the treatment had significant effect (P<0,01)
on the mortality of Haemonchus contortus at the first, second, and third hours of
observation. Kaliandra leaf extract with concentration of 100% resulted 100%
mortality after 3 hours of treatment, while concentration of 10%, 25%, and 50%
resulted 100% mortality after 4 hours of treatment. This research showed that
Kaliandra leaf extract had effectiveness of causing mortality on Haemonchus
contortus and the optimal time for concentration of 100% was 2 hours. Higher
concentration of Kaliandra leaf extract causing faster mortality of Haemonchus
contortus.
Keywords: Kaliandra (Calliandra calothyrsus) leaf extract, Haemonchus
contortus, mortality
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .......................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................. ix
ABSTRACT .......................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xv
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang................................................................................ 1
Rumusan Masalah ........................................................................... 3
Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5
Tinjauan Umum Kaliandra (Calliandra calothyrsus) ...................... 5
Potensi Kaliandra (Calliandra calothyrsus) ..................................... 7
Tinjauan Umum Cacing Haemonchus contortus ............................ 8
Mekanisme Kerja Anthelmintik ..................................................... 11
Metode Ekstraksi ............................................................................ 14
Pengujian Athelmintik secara In Vitro ............................................. 16
Hipotesis ........................................................................................ 17
xii
METODE PENELITIAN ..................................................................... 18
Waktu dan Tempat ......................................................................... 18
Materi Penelitian ............................................................................ 18
Metode Penelitian .......................................................................... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 22
Zat aktif yang terdapat pada Daun Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) yang berpotensi sebagai Anthelmintik ........................ 22
Pengaruh Ekstrak Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
terhadap Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Haemonchus
contortus secara In Vitro ................................................................ 24
Waktu yang Dibutuhkan Ekstrak Daun Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) dalam Mematikan Cacing Haemonchus contortus ....... 26
PENUTUP ............................................................................................. 29
Kesimpulan..................................................................................... 29
Saran .............................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 30
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xiii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Kandungan Tanin pada Ekstrak Daun Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) ........................................................................................... 22
2. Persentase Jumlah Kematian Cacing Haemonchus contortus pada
Setiap Perlakuan Selama 4 Jam ............................................................. 24
Teks
xiv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Kaliandra (Caliandra calothyrsus) .................................................. 6
2. Cacing Haemonchus contortus ........................................................ 9
3. Siklus Hidup Haemonchus sp. ......................................................... 10
4. Diagram Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Haemonchus
contortus pada setiap Perlakuan ......................................................... 26
Teks
xv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Pengolahan Data Menggunakan Program SPSS Versi 16.0 jam Ke
1 .................................................................................................... 36
2. Pengolahan Data Menggunakan Program SPSS Versi 16.0 jam Ke
2 .................................................................................................... 37
3. Pengolahan Data Menggunakan Program SPSS Versi 16.0 jam Ke
3 .................................................................................................... 38
4. Pengolahan Data Menggunakan Program SPSS Versi 16.0 jam Ke
4 .................................................................................................... 39
5. Dokumentasi Penelitian Uji Efektivitas Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) terhadap Mortalitas Cacing Haemonchus contortus
secara In Vitro ................................................................................. 40
Teks
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan
keberhasilan usaha peternakan. Tatalaksana dalam menjaga kesehatan yang benar
dalam peternakan memiliki peran yang besar dalam keberhasilan usaha
peternakan. Ternak yang terserang penyakit dapat mengakibatkan produktivitas
ternak tersebut menurun bahkan penyakit yang menular dapat mengakibatkan
kematian dan akan merugikan suatu usaha peternakan.
Salah satu penyakit yang sering menyerang ternak adalah penyakit
kecacingan. Penyakit ini pada umumnya tidak mematikan, namun dapat
menghambat pertumbuhan karena ternak yang terinfestasi cacing tidak dapat
menyerap nutrisi dari pakan dengan baik. Salah satu penyakit kecacingan adalah
haemonchosis yang disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus. Cacing ini
merupakan parasit yang patogenik, luas penyebaran dan tingkat infestasinya dapat
mencapai 80%. Indonesia yang beriklim tropis basah sangat menguntungkan
kelangsungan hidup dan mempermudah penularannya (Lastuti dkk., 2006). Di
Indonesia penyakit yang disebabkan oleh cacing ini merupakan penyakit parasiter
yang bersifat endemis. Prevalensi pada sapi perah di provinsi Lampung sebesar
40,625% (Larasati, 2016), dan di desa Petang, kecamatan Petang, kabupaten
Badung infestasi pada sapi Bali sebesar 24,07% (Yasa, 2011). Menurut Clark dkk.
(1962) infestasi hiperakut cacing ini dapat menyebabkan ternak kehilangan darah
200 ˗ 600 ml/hari sehingga ternak mengalami anemia dan mati mendadak.
1
Penanggulangan terhadap infestasi cacing yang sering dilakukan peternak
pada saat ini adalah dengan memberi obat cacing (anthelmintik). Anthelmintik
buatan pabrik dikhawatirkan dapat menyebabkan resistensi dan memiliki harga
yang mahal sehingga tidak terjangkau oleh peternak. Menurut Dargazt dkk.
(2000) kasus resistensi cacing yang pernah dilaporkan terjadi antara lain
Oesophagostonum spp. yang menginfeksi babi, resisten terhadap Pyrantel dan
Levamisol atau kasus Cyathostomes pada kuda resisten terhadap Benzimidazol.
Salah satu alternatif terhadap permasalahan tersebut adalah menggunakan
anthelmintik dari tanaman. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk
menguji daya anthelmintik asal tanaman, seperti yang dilakukan oleh Endrawati
dan Saputri (2015) menguji daya anthelmintik infusa dan ekstrak daun srikaya
(Annona squamosa L.). Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa infusa dan
ekstrak daun srikaya memiliki daya antelmintik terhadap cacing Ascaridia galli.
Hanifah (2010) menguji aktivitas anthelmintik ekstrak daun jarak pagar (Jatropa
curcas L.) yang menunjukkan bahwa infusa dan ekstrak daun jarak pagar memiliki
aktivitas anthelmintik terhadap cacing pita dan cacing A. galli. Selain kedua
tanaman tersebut, kaliandra (C. calothyrsus) juga dapat dijadikan anthelmintik.
Hal ini sesuai dengan penelitian Hadili dkk., (2013) yang menguji efektivitas
infusa daun kaliandra (C. calothyrsus Meissn.) terhadap mortalitas cacing
Raillietina echinobothrida secara in vitro. Penelitian tersebut menunjukkan
semakin tinggi konsentrasi infusa daun kaliandra (C. calothyrsus Meissn.) yang
digunakan maka semakin banyak cacing R. echinobothrida yang mati.
2
Kaliandra merupakan tanaman pakan yang termasuk dalam famili
leguminosa yang memiliki kandungan tanin yang tinggi, yaitu lebih dari 10%
(Setyawati dkk., 2017). Tingginya kandungan tanin pada tanaman ini berpotensi
untuk dijadikan anthelmintik. Tanin pada tanaman bekerja dengan merusak
mikrovili (Hadili, 2013), merusak tegumen (Ridwan dkk., 2010), dan memiliki
aktivitas ovisidal (Tiwow dkk., 2011). Penelitian Molan dkk. (2000) menunjukkan
bahwa ekstrak tanin dari tanaman L. cuneata dapat mengurangi perkembangan
larva cacing nematoda (L3) sampai 91%, mengurangi jumlah telur yang menetas
sampai 34% dan menurunkan motilitas dari larva L3 sampai 30%. Penelitian ini
dilakukan untuk menguji efektivitas ekstrak daun kaliandra (C. calothyrsus)
terhadap mortalitas cacing Haemonchus contortus secara in vitro.
Rumusan Masalah
Penanggulangan infestasi cacing dengan menggunakan anthelmintik
sintetik dikhawatirkan dapat menyebabkan resistensi dan memiliki harga yang
mahal sehingga tidak terjangkau oleh peternak. Salah satu alternatif terhadap
permasalahan tersebut adalah dengan pemberian obat cacing asal tanaman, salah
satunya adalah daun kaliandra (C. calothyrsus). Oleh karena itu dibutuhkan
pengujian mengenai efektivitas ekstrak daun kaliandra terhadap mortalitas cacing
Haemonchus cortortus secara in vitro.
3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak daun
kaliandra (C. calothyrsus) terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro.
Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
efektivitas anthelmintik ekstrak daun kaliandra (C. calotyrsus) terhadap cacing
Haemonchus contortus secara in vitro.
4
TINJAUAN PUSTAKAN
Tinjauan Umum Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
Kaliandra merupakan tanaman leguminosa berupa pohon kecil atau perdu
yang termasuk ke dalam keluarga leguminosae. Tanamana kaliandra memiliki 132
spesies tersebar dari Amerika Utara hingga Amerika Selatan, 9 jenis berasal dari
Madagaskar, 2 jenis dari Afrika, dan 2 jenis dari India. Tanaman ini masuk ke
pulau Jawa pada tahun 1963 berasal dari Guatemala selatan yaitu spesies
Calliandra calothyrsus berbunga merah dan Calliandra tetragona berbunga putih,
dengan tujuan utama adalah sebagai pohon pelindung perkebunan kopi. Kaliandra
merupakan jenis tanaman serba guna yang populer dan mudah ditanam, cepat
tumbuh, dan bertunas kembali setelah dipangkas berulang kali. Spesies
Calliandra calothyrsus merupakan salah satu spesies kaliandra yang sangat
populer di Indonesia, terutama di masyarakat yang berada pada areal kawasan
hutan di pulau Jawa sebagai tanaman multiguna untuk konservasi lahan, reklamasi
lahan marginal, hijauan pakan ternak, pakan lebah, penyedia pupuk hijau dan
bubur kayu (pulp) untuk membuat kertas (Herdiawan dkk., 2008; Tangendjaja
dkk., 1992).
Keunggulan kaliandra yang khususnya berkaitan dengan kepentingan
pakan ternak adalah (1) mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi
(±20%); (2) kuantitas panen hijauan cukup baik sekitar 10 ton per hektar pada
kepadatan 10.000 tanaman per hektar dengan tinggi pemotongan 1 m pada
interval pemotongan 12 minggu; (3) memberi pasokan hijauan yang
berkesinambungan karena kaliandra tetap tumbuh baik di musim kemarau
5
(Budiman, 2011). Klasifikasi tanaman kaliandra merah menurut Nugroho (2015),
Mannetje dan Jones (1992) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Famili : Fabaceae/Leguminosae
Genus : Calliandra
Spesies : Calliandra calothyrsus Meissn.
Tanaman kaliandra (Calliandra calothyrsus) termasuk dalam subfamili
Mimosoideae merupakan tumbuhan bersemak dengan ketinggian berkisar 4 6
meter. Pada lingkungan yang sesuai pertumbuhannya dapat mencapai 12 meter
dengan diameter batang mencapai 30 cm. Daun berwarna hijau gelap. Tipe daun
merupakan daun majemuk yang berpasangan. Bunganya berwarna merah dengan
panjang 4–6 cm, sedangkan buahnya berwarna coklat kehitaman dengan panjang
8–11 cm dan lebar 12 mm (Gambar 1). Bentuk bijinya ellips dan pipih
(Tangendjaja dkk., 1992).
Gambar 1. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) (Setiawan, 2015)
6
Potensi Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
Kaliandra diketahui pakan yang mengandung protein tinggi. Penelitian
yang dilakukan oleh Tangendjaja dkk. (1992) menunjukkan bahwa hasil analisis
proksimat tanaman ini yaitu protein kasar 24 %, lemak kasar 4,1–5,0%, abu 5,0–
7,6%, NDF 24,0–34,0%, selulosa 15,0%, dan lignin 10,0–11,8%. Kandungan
protein kasar daun kaliandra umur 1 minggu cukup tinggi yaitu sebesar 39,28%
dan semakin turun kandungan proteinnya sejalan dengan bertambahnya umur
daun tanaman tersebut, hal ini disebabkan daun yang tua, serat dan bahan lainnya
semakin tinggi sehingga proporsi protein dalam komposisi keseluruhan menjadi
lebih kecil.
Pemberian kaliandra sebagai pakan sebaiknya dibatasi maksimum 30–40%
dari total pakan hijauan segar yang diberikan karena bila diberikan berlebih tidak
akan dimanfaatkan secara optimum dan pengaruhnya tidak signifikan (Herdiawan
dkk., 2008). Kaliandra mengandung tanin dengan konsentrasi cukup tinggi
sebesar 11% (Ahn dkk., 1989). Tanin adalah senyawa bahan alam yang terdiri
dari sejumlah besar gugus hidroksi fenolik. Senyawa ini banyak terdapat pada
berbagai tanaman terutama tanaman yang mengandung protein tinggi karena tanin
diperlukan oleh tanaman tersebut sebagai sarana proteksi dari serangan mikroba,
insekta ataupun ternak yaitu dengan menonaktifkan enzim-enzim protease dari
bakteri dan insekta yang bersangkutan (Cheeke dan Shull, 1989). Tanin terbagi
dua bagian yaitu tanin terhidrolisa dan tanin terkondensasi, tanin yang terhidrolisa
dapat diuraikan oleh asam atau enzim tanase, sedangkan tanin terkondensasi
agak sulit diurai (Herdiawan dkk., 2008).
7
Tanin merupakan senyawa antinutrisi yang memiliki gugus fenol dan
bersifat koloid. Tanin membentuk ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat
(selulosa, hemiselulosa, dan pektin), mineral, vitamin dan enzim mikroba di
dalam rumen (Widyobroto dkk., 2007). Kompleks ikatan tanin dengan protein
dapat terlepas pada pH rendah di dalam abomasum sehingga protein dapat
didegradasi oleh enzim pepsin dan asam-asam amino yang dikandungnya dapat
dimanfaatkan oleh ternak (Jayanegara dkk., 2008). Tanin dapat digunakan sebagai
agen defaunasi yang dapat menurunkan populasi protozoa sehingga mampu
menekan emisi metan di dalam rumen (Makkar, 2003).
Tinjauan Umum Cacing Haemonchus contortus
Cacing Haemonchus sering menginfeksi ruminansia terutama sapi, domba
dan kambing (Levine, 1994). Cacing ini biasanya ditemukan pada abomasum
tubuh hospes yang berada di daerah beriklim tropis dan lembab (Bowman, 2009).
Cacing dewasa jantan berukuran 10–20 mm dan diameter 400 µm, sedangkan
betinanya berukuran 18–30 mm dan diameter 500 µm dengan ukuran panjang
telur 71,80 µm dan lebar 49,52 µm (Junquera, 2004). Cacing ini berwarna merah
terang serta memiliki spikula dan bursa, tampak adanya anyaman-anyaman yang
membentuk spiral antara organ genital (ovarium) yang berwarna putih dengan
usus yang berwarna merah karena penuh berisi darah, sehingga akan tampak
berwarna merah putih secara berselang-seling (Gambar 2) (Rahayu, 2007).
8
Gambar 2. Cacing Haemonchus contortus (Darmono dan Hardiman, 2011)
Menurut Noble and Noble (1989), klasifikasi cacing Haemochus contortus
adalah sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Ordo : Strongylida
Family : Trichostrongylidae
Genus : Haemonchus
Species : Haemonchus contortus
Siklus hidup Haemonchus contortus yaitu cacing betina dewasa
mengeluarkan telur (oviparous) dan meletakkan telurnya pada stadium morula di
dalam lumen abomasum, kemudian dikeluarkan melalui feses. Telur yang
dikeluarkan bersama feses, telur tersebut telah berisi embrio yang terdiri dari 16–
32 sel, setelah 14–19 jam berada di luar telur akan menetas bila suhu cukup baik
(Soulsby, 1986). Telur berembrio akan menetas menjadi larva stadium pertama
(L1) yang memakan mikroorganisme dari feses induk semang. Selanjutnya larva
stadium kedua (L2) yang lebih aktif daripada larva stadium pertama (L1) dan
berenang dengan cepat di dalam air. Larva stadium kedua (L2) kemudian
9
mengadakan ekdisis lagi membentuk larva stadium ketiga (L3) atau larva infektif
(Inanusantri, 1988). Chotiah (1983) menyatakan bahwa telur cacing yang terdapat
di dalam feses akan menetas setelah 24 jam pada suhu 16–38 ºC dan berkembang
menjadi larva infektif pada suhu yang sama (Gambar 3).
Gambar 3. Siklus hidup Haemonchus sp. (Whittier dkk., 2003)
Cacing Haemonchus sp. dapat menyebabkan kematian pada ternak. Colin
(1999) telah melaporkan bahwa infeksi hiperakut terjadi kematian pada domba
dan ditemukan sebanyak 20.000 sampai 50.000 cacing di dalam abomasum.
Kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan produksi karena sifat cacing adalah menghisap darah yang
mengakibatkan anemia hemorhagie dengan ditandai penurunan jumlah eritrosit
dan PCV. Infeksi khronis dapat berjalan lama karena masih adanya sejumlah
cacing, jika disertai nutrisi jelek maka berakibat penurunan berat badan (Lastuti,
dkk., 2006).
10
Infestasi hiperakut Haemonchus sp. dapat menyebabkan ternak kehilangan
darah 200–600 ml/hari sehingga ternak mengalami anemia dan mati mendadak.
Pada infestasi akut ternak kehilangan darah 50–200 ml/hari sehingga ternak akan
mengalami anemia, tinja berwarna hitam, dan keretakan dinding sel abomasum.
Setiap ekor cacing Haemonchus sp. mampu menghisap darah 0,049 ml/hari (Clark
dkk., 1962). Cacing ini juga dapat menyebabkan hipoalbuminemia yang terjadi
sebagai akibat kehilangan darah pada ternak, menyebabkan akumulasi cairan pada
rongga perut dan edema perifer pada rahang (sering disebut sebagai bottle jaw
atau rahang botol). Selain itu, ternak yang terinfestasi cacing dapat menyebabkan
abomasitis yang dapat mengganggu daya cerna dan penyerapan protein, kalsium,
dan fosfor (Ballweber, 2001).
Mekanisme Kerja Anthelmintik
Anthelmintik merupakan senyawa yang berfungsi membasmi cacing
sehingga dikeluarkan dari saluran pencernaan, jaringan atau organ tempat cacing
berada dalam tubuh hewan (Hanifah, 2010). Mekanisme kerja anthelmintik yaitu
dengan menghambat proses penerus impuls neuromuskular sehingga cacing
dilumpuhkan. Mekanisme lainnya dengan menghambat masuknya glukosa dan
mempercepat penggunaan glikogen pada cacing (Nururrifki dkk., 2017).
Anthelmintik dikelompokkan ke dalam enam kelompok berdasarkan
mekanisme kerjanya. Kelompok pertama yaitu anthelmintik yang bekerja
langsung dengan menimbulkan kondisi nekrosis, paralisis dan kematian cacing,
misalnya pirantel pamoat. Kelompok kedua bekerja dengan menimbulkan iritasi
dan kerusakan jaringan, misalnya heksilresorsinol. Kelompok ketiga bekerja
11
dengan menimbulkan efek mekanisme perpindahan dan penghacuran cacing
akibat proses fagositosis, misalnya dietilkarbamazin, tiabendazole, dan derivate
benzimidazole seperti mebendazole dan albendazole. Kelompok keempat bekerja
dengan menghambat enzim tertentu pada cacing, misalnya prazikuantel, niridazol,
dan levamisol. Kelompok kelima bekerja dengan mempengaruhi metabolisme
cacing, misalnya niklosamid, diklorofen, niridazol, prazikuantel, dan pirvinium
pamoat. Kelompok keenam bekerja dengan cara menghambat proses biosintesis
asam nukleat cacing parasitik, misalnya klorokuin (Siswandono dan Soekardjo,
2000).
Anthelmintik yang berasal dari tanaman telah banyak diteliti, seperti
penelitian yang dilakakukan oleh Himawan dkk. (2015) secara in vitro yang
menggunakan dekok daun pepaya (Carica papaya L.) menunjukkan bahwa dekok
daun pepaya memiliki daya antihelmintik terhadap cacing Ascaris suum secara in
vitro. Penelitian lain Astiti dkk. (2016) juga menunjukkan bahwa ekstrak daun
Gamal (Gliricidia sepium) memiliki efektivitas dalam menurunkan jumlah larva
Tricostrongylus sp. sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan
penyakit yang disebabkan oleh Tricostrongylus sp. pada kambing Peranakan
Etawa. Penelitian lain yang dilakukan Beriajaya dkk. (1998) yang menggunakan
infusa dan ekstrak rimpang bangle (Zingiber purpureum). Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa sediaan infusa dan ekstrak rimpang bangle mempunyai efek
anthelmintik terhadap cacing Haemonchus contortus. Sediaan ekstrak lebih efektif
dibanding sediaan infusa. Makin tinggi konsentrasi pada kedua sediaan tersebut
maka efektifitasnya makin baik.
12
Kemampuan daya anthelmintik yang berasal dari tanaman berkaitan
dengan kandungan senyawa seperti tanin yang mampu menghambat enzim, dan
merusak membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat
menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan
kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati. Membran cacing yang rusak
karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Tanin umumnya
berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk mengendapkan
protein dengan membentuk koopolimer yang tidak larut dalam air (Harborne,
1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovisidal, yang dapat mengikat telur cacing
yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel di dalam telur
tidak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow dkk., 2011).
Penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh cacing Haemonchus
contortus adalah dengan pemberian anthelmintink dan manajemen pemeliharaan
yang baik (Partodihardjo dkk., 2004). Beberapa anthelmintik sintetik yaitu
albendazole, oxfendazolle, fenbendazole, thiabendazole, febantel, netobimine,
levamizoe, tetramizole, morental, pyrental, ivermectine, doramectine,
eprinomectine, abamectine, milbemycine, dan moxidectine (Gilleard, 2006). Obat-
obat tersebut masih dikhawatirkan mempunyai efek samping (Ulya dkk., 2014),
seperti timbulnya parasit cacing yang resisten terhadap anthelmintik (Hanifah,
2010) dan residu pada produk asal ternak dan gangguan saluran pencernaan
(Susanti dkk., 2015). Salah satu contoh anthelmintik yang mengandung
albendazole adalah Albenmas® yang mengandung albendazole 100 mg/ml.
Indikasi obat ini yaitu mengurangi infestasi parasit dewasa, larva, dan telur
13
Nematoda spp, cacing paru-paru, cacing pita, dan cacng hati pada sapi, kuda,
domba, dan unggas. Cara pemakaiannya yaitu oral dengan dosis pada sapi, kuda
dan domba 0,75 ml/10 Kg BB, dan unggas 0,1-015 ml/Kg BB (Departemen
Pertanian RI dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia, 2007).
Kriteria anthelmintik yang ideal untuk ternak di antaranya adalah
menghasilkan hasil yang efektif dalam penyembuhan beberapa penyakit
kecacingan, indeks terapi luas terhadap beberapa jenis penyakit yang diakibatkan
oleh infeksi tunggal maupun campuran, mudah dalam pemberian seperti dapat
diberikan secara peroral, ekonomis atau biayanya yang relatif terjangkau bagi
peternak, dan memenuhi ketentuan FDA (Food and Drug Administration)
mengenai residu (Pandangara, 2016).
Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu metoda operasi yang digunakan dalam proses
pemisahan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan sejumlah
massa bahan (pelarut) sebagai tetomat pemisah (Aprilah, 2016). Tujuan dari
ekstraksi adalah mengeluarkan senyawa yang diinginkan dari sel–sel tanaman
dengan proses difusi. Prinsip dari cara ini adalah tercapainya keseimbangan
konsentrasi bahan dalam pelarut pada batas yang diinginkan. Metode ekstraksi
yang dilakukan tergantung pada beberapa faktor antara lain tujuan ekstraksi, skala
ekstraksi, sifat komponen yang akan diekstrak, dan sifat pelarut yang digunakan
(Hanifah, 2010).
14
Salah satu metode ekstraksi adalah maserasi. Maserasi adalah teknik yang
digunakan untuk menarik atau mengambil senyawa yang diinginkan dari suatu
larutan atau padatan dengan teknik perendaman terhadap bahan yang akan
diekstraksi. Sampel yang telah dihaluskan direndam dalam suatu pelarut organik
selama beberapa waktu (Ibrahim dan Marham, 2013). Prinsip ekstraksi
menggunakan pelarut (maserasi) yaitu bahan yang akan diekstrak kontak langsung
dengan pelarut selama selang waktu tertentu dan komponen yang akan diekstrak
akan terlarut dalam pelarut (Houghton dan Raman, 1998). Cairan penyari akan
masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang
konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan
konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel (Hanifah, 2010).
Keuntungan cara ekstraksi ini adalah cara pengerjaan dan peralatan yang
digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Noor, 2010). Proses maserasi juga
sangat menguntungkan, karena dengan perendaman, pelarut akan mempunyai
waktu interaksi dengan sampel lebih lama untuk melakukan pemecahan dinding
dan membran sel sampel. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi
senyawa antara di dalam dan di luar sel sehingga senyawa metabolit sekunder
yang ada di dalam sitoplasma akan keluar dan terlarut dalam pelarut (Lestari,
dkk., 2015).
15
Pengujian Anthelmintik Secara In Vitro
Penelitian secara in vitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk
menunjukkan gejala yang diteliti di luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi
laboratorium. Penelitian daya anthelmintik secara in vitro yang sering dilakukan
adalah dengan metode rendaman, yaitu cacing direndam dalam larutan obat atau
jamu dan efek yang timbul diamati. Faktor yang perlu diperhatikan dalam metode
ini adalah faktor media, yaitu pemilihan media harus yang paling cocok untuk
kelangsungan hidup cacing tersebut di luar tempat hidup sebenarnya (Djatmiko
dkk., 2009).
Prinsip metode secara in vitro adalah cacing akan memperlihatkan gerakan
yang berbeda dengan cacing normal apabila diinkubasi dalam medium yang
mengandung obat anthelmintik, bila obat anthelmintik tersebut bekerja
melumpuhkan atau membunuh cacing tersebut. Secra in vitro, cacing yang mati
atau paralisis akibat pengaruh obat anthelmintik dapat diamati melalui gerakannya
dalam air (Riayaturobby, 2014). Parameter dari uji anthelmintik secara in vitro
adalah waktu paralisis dan waktu kematian cacing. Waktu paralisis dinyatakan
apabila cacing tidak bergerak kecuali apabila diusik dengan menggunakan spatula.
Waktu kematian dinyatakan apabila cacing tetap tidak bergerak meskipun jika
dicelupkan ke dalam air hangat bersuhu 40–50°C dan cacing perlahan-lahan
kehilangan warna tubuhnya (Bora dkk., 2014).
16
Hipotesis
Ekstrak daun kaliandra (Calliandra calothyrsus) diduga efektif dalam
mematikan cacing Haemonchus contortus dan semakin tinggi konsentrasinya
diduga semakin cepat waktu kematian cacing Haemonchus contortus.
17
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2018. Tahap
pertama adalah mengekstrak daun kaliandra (Calliandra calothyrsus) yang
dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pegetahuan
Alam, tahap kedua adalah analisis kandungan tanin di Laboratorium Kimia
Makanan Ternak Fakultas Peternakan, dan tahap ketiga pengujian secara in vitro
di Laboratorium Valorisasi Pakan dan Limbah, Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Materi Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cawan petri, gelas ukur,
pipet tetes, blender, pengaduk, timbangan analitik, pingset, stopwatch, ayakan,
rotary evaporator, wadah plastik, talenan, botol, kamera, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ekstrak daun kaliandra
(Calliandra calothyrsus), cacing Haemonchus contortus, etanol 70%, NaCl 0,9%,
air, kertas saring, plastik hitam, dan Albendazole 10 mg/ml.
Metode Penelitian
Ekstraksi Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
Daun kaliandra yang digunakan adalah jenis spesies C. calothyrsus atau
jenis kaliandra yang memiliki bunga berwarna merah. Daun kaliandra dibersihkan
dari kotoran dicuci dengan air mengalir sampai bersih dan ditiriskan. Daun
kaliandra kemudian dipisahkan dari tulang daunnya lalu dikeringkan di bawah
sinar matahari dengan ditutup plastik hitam. Simpliasia kering kemudian
18
diserbukkan dengan blender dan diayak dengan ayakan sehingga didapat serbuk
daun kaliandra, kemudian disimpan dalam wadah bersih. Setalah itu, ditambahkan
etanol 70% ke dalam serbuk daun kaliandra dan ditutup rapat. Perbandingan
jumlah serbuk dengan pelarut adalah 1: 10, direndam selama 2 x 24 jam dan
sesekali diaduk. Setelah itu, dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring.
Hasil dari maserasi (perendaman) berupa ekstrak etanol daun kaliandra yang
kemudian dilakukan evaporasi dengan alat rotary evaporator (40ºC dan 50 rpm)
untuk menguapkan pelarutnya (Astarani, 2012) sehingga didapat ekstrak dari daun
kaliandra yang berupa pasta.
Persiapan Cacing Dewasa
Cacing yang digunakan adalah cacing Haemonchus contortus dewasa pada
abomasum ternak sapi yang diambil dari rumah potong hewan (RPH) Antang,
Makassar, Sulawesi Selatan.
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 6 perlakuan dengan 4 kali ulangan. Perlakuan
yang digunakan masing-masing terdiri dari:
R0 = NaCl fisiologis 0,9% (25 ml).
R1 = Albendazole 10 mg/ml (25 ml).
R2 = Ekstrak daun kaliandra konsentrasi 10% (b/v, 2,5 g ekstrak daun kaliandra
ditambahkan 25 ml NaCl 0,9%).
R3 = Ekstrak daun kaliandra konsentrasi 25% (b/v, 6,25 g ekstrak daun kaliandra
ditambahkan 25 ml NaCl 0,9%).
19
R4 = Ekstrak daun kaliandra konsentrasi 50% (b/v, 12,5 g ekstrak daun kaliandra
ditambahkan 25 ml NaCl 0,9%).
R5 = Ekstrak ekstrak daun kaliandra konsentrasi 100% (b/v, 25 g daun kaliandra
ditambahkan 25 ml NaCl 0,9%).
Pengujian secara In Vitro
Setiap cawan perlakuan diisi dengan NaCl 0,9% 25 ml. Cawan R0 sebagai
kontrol negatif. Cawan R1 ditambahkan albendazole 10 mg/ml sebagai kontrol
positif. Pada cawan R2, R3, R4, dan R5 ditambahkan ekstrak daun kaliandra
sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Setiap cawan kemudian diisi
dengan 5 ekor cacing. Dilakukan pengamatan setiap 15 menit selama 6 jam untuk
mengetahui kematian cacing. Cacing dianggap mati apabila tidak terdapat tanda-
tanda kehidupan, seperti cacing tidak bergerak saat diberi rangsangan gerakan
pada larutan dan cacing disentuh dengan pingset anatomis tidak ada respon
gerakan. Cacing dianggap masih hidup apabila cacing aktif bergerak, cacing
bergerak saat diberi rangsangan gerakan pada larutan, dan cacing bergerak saat
disentuh dengan pinset anatomis. Jumlah cacing yang mati (%) untuk setiap
perlakuan dihitung dalam setiap kelompok rendaman atau setiap cawan petri.
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan model matematika
sebagai berikut:
Xij = μ + τi + εij
20
Keterangan :
Xij = Perlakuan ke 1 6 dan ulangan ke 1 4
μ = Rataan umum
τi = Efek Perlakuan ke 1 6
εij = Eror Perlakuan ke 1 6 dan ulangan ke 4
Pengolahan data menggunakan program SPSS versi 16.0, jika terdapat
perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan (Steel dan Torrie, 1997)
untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
Parameter
Parameter yang digunakan pada penelitian ini, yaitu
a. Waktu
Waktu kematian cacing adalah lama waktu yang dibutuhkan cacing pada
setiap cawan petri mengalami kematian. Alat ukur yang digunakan yaitu berupa
stopwatch.
b. Mortalitas
Mortalitas cacing adalah tingkat kematian cacing. Tingkat kematian cacing
dapat diukur dengan melihat jumlah kematian cacing dengan mengamati gerakan
atau aktivitas cacing. Cacing yang telah mati apabila diusik dengan pengaduk dan
tetap diam. Jumlah cacing yang mati (%) untuk setiap perlakuan dihitung dalam
setiap cawan petri.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Zat aktif yang Terdapat pada Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) yang
Berpotensi sebagai Anthelmintik
Ekstrasksi daun kaliandra (C. calothyrsus) menggunakan pelarut etanol
70% menunjukkan bahwa ekstrak pada konsentrasi 100% memiliki kandungan
tanin sebesar 5%. Tabel 1 menunjukkan persentase tanin pada setiap perlakuan
yang menggunakan ekstrak daun kaliandra.
Tabel 1. Kandungan Tanin pada Ekstrak Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
Perlakuan Konsentrasi (%) Kandungan Tanin (%)
R2 10 0,5
R3 25 1,25
R4 50 2,5
R5 100 5
Hasil Penelitian di Laboratorium Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin, 2018.
Menurut Ahn dkk. (1989) kaliandra mengandung tanin dengan konsentrasi
cukup tinggi sebesar 11%. Menurut Shahidi dan Naczk (1995) menyatakan tanin
dapat menghambat enzim, dan merusak membran. Terhambatnya kerja enzim
dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing
akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati. Membran cacing yang
rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati.
Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki
kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang
tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Menurut Ulya dkk. (2014) mekanisme
tanin membunuh cacing dengan cara masuk ke dalam saluran pencernaan dan
secara langsung mempengaruhi proses pembentukan protein yang dibutuhkan
22
untuk aktivitas cacing. Naidu (2000) menyatakan senyawa fenolik bermolekul
besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel meskipun pada
konsentrasi yang sangat rendah dan pada akhirnya cacing akan mati karena
menurunnya persediaan glikogen dan berkurangnya pembentukan ATP.
Mekanisme senyawa tanin membunuh cacing menurut Hadili (2013), yaitu
tanin diduga berkontak dengan lapisan luar tubuh cacing kemudian akan cepat
diserap mikrovili melalui difusi atau transport aktif. Mikrovili yang terdapat di
lapisan terluar cacing tersebut berfungsi untuk penyerapan makanan. Mikrovili
memiliki enzim fosfatase yang dibutuhkan dalam proses tersebut. Enzim inilah
yang berikatan kuat dengan tanin sehingga proses penyerapan makanan di
mikrovili terganggu. Kondisi ini akan menjadikan mikrovili mengalami kerusakan
yaitu lepas dan patah. Akibatnya, nutrisi dari luar tubuh cacing sulit diserap
dengan baik. Adanya tanin di lapisan terluar tubuh cacing juga akan berpengaruh
pada tegumen. Fungsi tegumen sangat penting bagi cacing terutama kaitannya
dalam absorpsi nutrisi untuk kelangsungan hidup cacing. Menurut Ridwan dkk.
(2010) tegumen cacing yang terdiri atas glikoprotein dan mukopolisakarida
mampu dirusak oleh tanin dengan mempresipitasikan protein. Tanin umumnya
berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk mengendapkan
protein. Glikoprotein akan mengalami denaturasi protein sehingga tegumen rusak,
akibatnya cacig tidak mampu menyerap nutrisi dari luar tubuhnya. Hal tersebut
menyebabkan cacing mengalami kekurangan nutrisi dan tidak mampu membentuk
ATP sehingga menyebabkan cacing mati.
23
Tanin juga memiliki aktivitas ovisidal, yang dapat mengikat telur cacing
yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel di dalam telur
tidak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow dkk., 2011).
Beberapa penelitian yang menunujukkan bahwa tanaman herbal yang
mengandung tanin dapat dijadikan sebagai anthelmintik seperti daun jarak pagar
(Jatropa curcas L.), biji pinang (Areca catechu), dan daun alpukat (Persea
americana Mill.) (Hanifa, 2010; Tiwow dkk., 2014; Astarani, 2012).
Pengaruh Ekstrak Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) terhadap Waktu
dan Jumlah Kematian Cacing Haemonchus contortus secara In Vitro
Hasil pengamatan waktu dan jumlah kematian cacing selama 4 jam dari 6
jam waktu pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Jumlah Kematian Cacing H. contortus pada Setiap Perlakuan
Selama 4 Jam
Perlakuan Waktu (Jam)
1 2 3 4
R0 0a 0a 0a 0
R1 75b 100d 100d 100
R2 0a 5ab 35b 100
R3 0a 25b 70c 100
R4 10a 60c 95d 100
R5 20a 85d 100d 100 Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Keterangan: R0 : NaCl 0,9%, R1 : Albendazole 10 mg/ml, R2 : Ekstrak daun kaliandra 10%, R3 : Ekstrak daun kaliandra 25%, R4 : Ekstrak daun kaliandra 50%, R5 : Ekstrak daun
kaliandra 100%.
Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa pada jam pertama
perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat mortalitas cacing
H. contortus. Berdasarkan uji lanjut Duncan bahwa kontrol positif, yaitu
pemberian albendazole 10 mg/ml berbeda nyata dengan kontrol negatif dan
pemberian ekstrak daun kaliandra konsentrasi 10%, 25%, 50%, dan 100%.
24
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat mortalitas cacing H.
contortus pada jam ke 2. Berdasarkan uji lanjut Duncan pemberian albendazole
10 mg/ml dan pemberian ekstrak daun kaliandra pada konsentransi 100% tidak
berbeda nyata. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada jam ke 2
konsentrasi 100% memiliki efektivitas yang sama dengan albendazole 10 mg/ml
dalam mematikan cacing H. contortus secara in vitro.
Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat mortalitas cacing H.
contortus pada jam ke 3. Berdasarkan uji lanjut Duncan pemberian NaCl 0,9%
berbeda nyata dengan pemberian ekstrak daun kaliandra konsentrasi 10 dan 25%,
sedangkan pemberian albendazole 10 mg/ml tidak berbeda nyata dengan
pemberian ekstrak daun kaliandra 50 dan 100%. Efektivitas pemberian ekstrak
daun kaliandra 50% baru terlihat pada jam ke ke 3. Hasil tersebut membuktikan
bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kaliandra maka semakin baik
efektivitasnya. Penelitian Beriajaya dkk. (1998) yang menggunakan infusa dan
ekstrak rimpang bangle (Zingiber purpureum) mempunyai efek anthelmintik
terhadap cacing H. contortus yang semakin tinggi konsentrasinya maka
efektivitasnya makin baik.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun kaliandra pada
konsentrasi 10%, 25% dan 50% mampu membunuh cacing 100% pada jam ke 4.
Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa ekstrak daun kaliandra memiliki
efektivitas dalam mematikan cacing H.contortus. Kematian cacing pada setiap
25
perlakuan kemungkinan dipengaruhi oleh tingginya kandungan tanin pada ekstrak
daun kaliandra. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kaliandra maka semakin
tinggi kandungan taninnya (Tabel 1) dan semakin cepat waktu kematian cacing.
Waktu yang Dibutuhkan Ekstrak Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
dalam Mematikan Cacing Haemonchus contortus
Hasil pengamatan waktu yang dibutuhkan yang dibutuhkan ekstrak daun
kaliandra dalam mematikan cacing H. contortus dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Waktu dan Jumlah Kematian Cacing Haemonchus contortus
pada setiap Perlakuan Keterangan: R0 : NaCl 0,9%; R1 : Albendazole 10 mg/ml; R2 : Ekstrak daun kaliandra 10%; R3 :
Ekstrak daun kaliandra 25%; R4 : Ekstrak daun kaliandra 50%; R5 : Ekstrak daun kaliandra 100%.
Gambar 4 menunjukkan bahwa waktu kematian cacing H. contortus pada
perlakuan yang diberi albendazole 10 mg/ml sebagai kontrol positif masih lebih
cepat dibandingkan dengan perlakuan yang diberi ekstrak daun kaliandra (C.
calothyrsus). Jumlah kematian cacing 100% pada perlakuan yang diberi
albendazole 10 mg/ml hanya dibutuhkan waktu selama 2 jam sedangkan pada
perlakuan yang diberi ekstrak daun kaliandra pada kosentrasi 10%, 25%, dan 50%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
R0 R1 R2 R3 R4 R5
0
75
1020
0
25
5
25
50
65
0
30
45
35
15
0
65
30
5
Morta
lita
s (%
)
Perlakuan
Jam ke-4
Jam ke-3
Jam ke-2
Jam ke-1
26
membutuhkan waktu 4 jam dan pada konsentrasi tertinggi, yaitu 100%
membutuhkan waktu 3 jam hingga cacing mengalami kematian 100%. Penelitian
Astarani (2012) yang menggunakan ekstrak etanol daun alpukat dan pyrantal
pamoat sebagai kontrol positif menyatakan bahwa kontrol positif daya
anthemintiknya lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak etanol daun alpukat
yang kemungkinan disebkan karena bahan aktif anthelmintik daun alpukat belum
menggunakan bahan yang murni atau masih terkandung bahan lain disamping
bahan anthelmintiknya.
Waktu optimal yang dibutuhkan ekstrak daun kaliandra dalam mematikan
cacing H. contortus yang dilihat pada banyaknya cacing yang mati pada setiap
jam pada konsentrasi 10% pada jam ke 4, konsentrasi 25% pada jam ke 3, dan
konsentrasi 50% dan 100% yaitu pada jam ke 2 (Gambar 4). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kaliandra maka
semakin cepat waktu kematian cacing H. contortus. Penelitian Hadili (2013)
secara in vitro yang menggunakan infusa daun kaliandra menunjukkan bahwa
pada konsentrasi infusa yang lebih tinggi mampu memberikan efek anthelmintik
pada cacing pita ayam yang lebih cepat. Konsentrasi yang paling efektif adalah
konsentrasi 60,4% pada menit ke 90 dapat mematikan minimal 50% cacing
Raillietina echinobothrida. Penelitian anthelmintik asal tanaman lainnya seperti
pada penelitian Ulya dkk (2014) secara in vitro yang menggunakan ekstrak etanol
daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) bahwa rerata waktu kematian cacing
yang semakin cepat pada konsentrasi ekstrak yang semakin tinggi, yaitu
konsentrasi 40%. Penelitian Hanifah (2010) menyatakan bahwa ekstrak daun jarak
27
pagar terbukti memiliki senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai anthelmintik
pada konsentrasi 10%.
Bentuk cacing yang mati pada perlakuan yang diberi ekstrak daun
kaliandra 10%, 25%, 50%, dan 100% tetap utuh, sedangkan bentuk cacing yang
mati pada perlakuan yang diberi Albendazole 10 mg/ml mengkerut kemudian
hancur. Hal ini sesuai dengan pendapat Siswandono dan Soekardjo (2000) yang
menyatakan bahwa Albendazole dapat menimbulkan efek mekanisme perpindahan
dan penghacuran cacing akibat proses fagositosis. Menurut Ferguson (1981)
Albendazole bekerja dengan memblokir pengambilan glukosa oleh larva maupun
cacing dewasa. Albendazole yang diserap akan berikatan dengan enzim fumarat
reduktase sehingga proses oksidasi NADH untuk membentuk energi (ATP) dan
glukosa di mitokondria menjadi terhambat atau mengalami penurunan.
28
PENUTUP
Kesimpulan
Pemberian ekstrak daun kaliandra (Calliandra calothyrsus) efektif dalam
mematikan cacing Haemonchus contortus dan waktu optimal yang dibutuhkan
ekstrak daun kaliandra dalam mematikan cacing H. contortus pada konsetrasi
tertinggi adalah 2 jam. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun kaliandra maka
semakin cepat waktu kematian cacing.
Saran
Ekstrak daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus) memiliki efektivitas
dalam mematikan cacing Haemonchus contortus. Sebelum diberikan langsung ke
ternak sebaiknya dilakukan penelitian secara in vivo terlebih dahulu.
29
DAFTAS PUSTAKA
Ahn, J. H., Robertson, B. M., Elliott, R., Guttgeridge, R. C., dan C.W. Ford. 1989.
Quality Assessment of Tropical Browse Legumes: Tannin Content and
Protein Degradation. Feed Sci. Technol. 27 (1-2): 147-156.
Aprilah, I. 2016. Ekstraksi Antioksidan Lycopyne dari Buah Tomat (Hylocereus
undatus) menggunakan Pelarut Etanol-Heksan. Laporan Akhir. Politeknik
Negeri Sriwijaya. Palembang.
Astarani, M. C. 2012. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea americana
Mill.) terhadap Mortalitas Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro. Skripsi.
Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Astiti, L. G. S., Prisdiminggo, dan T. Panjaitan. 2016. Efektivitas ekstrak daun
gamal (Gliricidia sepium) terhadap larva cacing Trichostrongylus sp. pada
kambing PE. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Lombok Barat.
Ballweber, L. R. 2001. The Practical Veterinarian˗Veterinary Parasitology. USA:
Butterworth˗Heinemann Publishing.
Beriajaya, T. B. Mudarti, dan M. Herawaty. 1998. Efek anthelmintik infus dan
ekstrak rimpang bangle (Zingiber purpureum) terhadap cacing Haemonchus
contortus secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 3 (4): 277 –282.
Budiman, A. 2011. Isolasi Bakteri Rumen Kambing asal Kaligesing dan Pengaruh
Inokulasinya terhadap Kecernaan Kaliandra (Calliandra calothyrsus) pada
Rumen Kambing. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Bora, N. S., B. B. Kakoti, dan B. Gogoi. 2014. Investigation of in-vitro
anthelmintic activity of Garcinia lanceifolia bark in Pheretima posthuma
(Indian adult earthworm). Int J Adv Pharm Sci. 5 (3): 2007–2010.
Bowman, D. D. and J. R. Georgi. 2009. Georgi’s Parasitology for Veterinarians.
Elsevier Health Sciences. United Kingdom.
Cheeke, P. R., and L. R. Schull. 1989. Natural Toxicant in Feeds and Poisonous
Plants. AVI Publishing Company, Inc. Davis, California.
Chotiah, S. 1983. Penyidikan Infestasi H. contortus pada Sapi, Kerbau, Kambing,
dan Domba di Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Laporan Tahunan
Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1981 - 1982.
Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjennak, Deptan. Jakarta.
30
Clark, C. H., G. K. Kiesel, and C. H. Goby. 1962. Measurement of blood loss
caused by Haemonchus contortus Infection in 177 Sheep. Am. J. Vet. Res. 96
(23): 977–980.
Colin, J. 1999. Parasites and parasitic disease of domestic animals. University of
Pensylvania.
Dargatz, D. A., J. L. T. Dargatz, dan N. C. Sangster. 2000. Antimicrobic and
anthelmintic resistance. Veterinary Clinic of North America 16 (3) : 515-536.
Darmono dan Hardiman. 2011. Penyakit utama yang sering ditemukan pada
ruminansia kecil (kambing dan domba). Workshop Nasional Diversifikasi
Pangan Daging Ruminansia Kecil. 33–38.
Departemen Pertanian RI dan Asosiaosi Obat Hewan Indonesia. 2007. Indeks
Obat Hewan Indonesia Edisi VI. PT. Gallus Indonesia Utama. Jakarta.
Djatmiko, M., L. D. Purnowati, dan Suhardjono. 2009. Uji daya anthelmintik
infusa biji waluh (Cucurbita moschata Durch) terhadap cacing Ascaridia
galli secara in vitro. Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik. 6 (1): 12–17.
Endrawati, S., dan W. A. Saputri. 2015. Uji daya anthelmintik ekstrak perasan dan
infusa daun srikaya (Annona squamosa L.) terhadap cacing gelang ayam
(Ascaridia galli) secara in vitro. Jurnal Biologi Papua. 7 (2): 78–84.
Ferguson, D. L. 1981. Anthelmintic activity of Albendazole against adult
Metastrongylus apri in artificially infected swine. J Anim Sci. 53(6) : 1511-
1515.
Gilleard, J. S. 2006. Understanding anthelmintic resistance: The need for
genomics and genetics. Int. J. Parasitol. 36: 1227–1239.
Hadili, L. N., S. E. Rahayu, dan Masjhudi. 2013. Efek infusa daun kaliandra
(Calliandra calothyrsus Meissn) terhadap mortalitas cacing Raillietina
echinobothrida secara in vitro. Repository Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Malang.
Malang. jurnal-online.um.ac.id. Diakses pada tanggal 9 Januari 2018.
Hanifah, S. W. 2010. Aktivitas Anthelmintik Ekstrak Daun Jarak Pagar (Jatropa
curcas L.) terhadap Cacing Pita dan Ascaridia Galli. Skripsi Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terjemahan: K. Padmawinata, I. Sudiro. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
31
Herdiawan, I. A. Faninndi, dan A. Semali. 2008. Karakteristik dan pemanfaatan
kaliandra (Caliandra calothyrsus). Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
Ternak. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Himawan, V. B., A. T. Endharti, dan I. D. Rahayu. 2015. Uji daya anthelmintik
dekok daun pepaya (Carica papaya L.) terhadap Ascaris suum secara in vitro.
Majalah Kesehatan FKUB. 2 (1).
Houghton, P.J., & A. Raman. 1998 . Laboratory Handbook for The Fractionation
of Natural Extract. Chapman and Hall, London.
Ibrahim, S., dan Marham, S. 2013. Teknik Laboratorium Kimia Organik. Graha
Ilmu. Yogyakarta.
Inanusantri. 1988. Parasit Cacing Haemonchus contortus pada Domba dan Akibat
Infestasinya. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Jayanegara, A., N. Togtokhbayar, H. P. S. Makkar and K. Becker. 2008. Tannins
determined by various methods as predictors of methane production reduction
potential of plants by an in vitro rumen vermentation system. Anim. Feed Sci.
and Tech. 150: 230-237
Junquera, L. C. 2004. Histologi Dasar (Basic Histology) Edisi III. Alih Bahasa
Adji Dharma. EGC. Jakarta.
Larasati, H. 2016. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi Perah pada
Peternakan Rakyat Di Provinsi Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian.
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Lastuti, N. D. R., Mufasirin, dan Hamid, I. S. 2006. Deteksi protein Haemonchus
sp. pada domba dan kambing dengan uji Dot Blot menggunakan antibodi
poliklonal protein ekskresi dan sekresi Haemonchus contortus. Media
Kedokteran Hewan. 22:162–167.
Lestari, T., A. Nurma, dan M. Nurmalasari. 2015. Penetapan kadar polifenol dan
aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun sintrong (Crassocephalum
crepidiodes (Benth.) S. moore). Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 13
(1).
Levine, N. D. 1994. Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Gatut Ashadi.
Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Makkar, H. P. S. 2003. Effect and fate of tannins in ruminant animals, adaptation
to tannins, and strategies to overcome detrimental effects of feeding tannin-
rich feeds. Small Ruminant Research. 49: 241–256.
32
Mannetje, L., dan Jones, R.M. 1992. Prosea, Plant Resources of South-East Asia
4, Forages. Bogor: Pudoc Scientific Publisher.
Molan, A. L., G. C. Waghorn, B. R. Min, dan W. C. McNabb. 2000. The effect of
condensed tanin from seven herbages on Trichostrongylus colubriformis
larval migration in vitro. Folia Parasitol. 47:39–44.
Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial System. CRC Press, USA.
Noble, E. R., and Noble, G. A. 1989. Parasitology: The Biology of Animal
Parasites. Philadelphia, London: Lea dan Febiger.
Noor, I. 2010. Isolasi dan Karakteristik β-glukan dari Tubuh Buah Jamur Tiram
Putih (Pleurotus ostreatus) dengan Metode Spektroskpi Uv-Vesibel dan
FTIR. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Syarief
Hidayatullah. Jakarta.
Nugroho, D. S. 2015. Agrostologi Hijauan. http://id.scribd.com/doc/87112576/
Agrostologi-Hijauan. Diakses pada tanggal 30 April 2018.
Nururrifki, R. J., Suwendar, dan L. Mulqie. 2017. Uji aktivitas anthelmintik infus
biji alpukat (Persea americana Mill) terhadap cacing gelang babi dewasa dan
telur (Ascaris suum) secara in vitro. Prosiding Farmasi. Seminar Penelitian
Sivitas Akademika Unisba. 3 (2).
Pandangara, A. U. 2016. Efektivitas Antelmintik In Vitro Infusa daun
Cassia Spp. Terhadap Cacing Trichostrongylidae (Nematoda) dari Domba.
Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Partodiharjo, S., M. Arifin, E. Yuliawati, dan E. Rahardjo. 2004. Uji potensi
vaksin cacing Haemochus contortus iridiasi yang optimal dan suplemen
pakan pada domba. Risalah Seminar Ilmiah Penelitian dan Pengembangan
Aplikasi Isotop dan Radiasi.
Rahayu, D. I. 2007. Penyakit Parasit pada Ruminansia. Staf Pengajar Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian-Peternakan Universitas Muhammadiyah
Malang. Malang.
Riayaturobby, S. S. 2014. Uji Aktivitas Anhelmintik Ekstrak Etanol Biji
Kabocha, Buah Kabocha, Dan Kombinasi Biji-Buah Kabocha (Cucurbita
maxima Duchesne ex Lamk) Pada Cacing Dewasa Dan Telur Cacing Ascaris
suum Secara In Vitro. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Univeristas Islam Bandung. Bandung.
33
Ridwan, Y, Darusman, L.K., Satrija, F. & Handaryani, E. 2010. Efektivitas
anticestoda ekstrak daun miana (Coleus blumei Benth) terhadap cacing
Hymenolepis microstoma pada mencit. Media Peternakan. 33(1): 6-11.
Setiawan, H. 2015. Kaliandra kayu bakar pernah melindungi hutan jati.
https://www.kompasiana.com/hendisetiawan/kaliandra-sebagai-kayu-bakar-
pernah-melindungi-hutan-jati_552a9ff7f17e610528d623d2. Diakses pada
tanggal 16 Januari 2018.
Setyawati, I., I. G. N. A. D. Putra, dan N. G. K. Roni. 2017. Histologi tubulus
semeniferus dan kadar testosteron tikus yang diberi pakan imbuhan tepung
daun kaliandra dan kulit nanas. Jurnal Veteriner. 18 (3) : 369-377.
Shahidi, F., dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic Inc, Basel.
Siswandono dan B. Soekardjo. 2000. Kimia Medisinal. Edisi ke-2. Airlangga
University Press. Jakarta.
Soulsby, E. J. L. 1986. Helminths, Arthopods and Protozoa of Domesticated
Animal. Bailliere Tidall. London.
Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1997. Principles and Biometrical Approach, 3rd
ed. Mc Graw. Hill, Inc., Singapura.
Susanti, R., I. Astuti, dan A. A. D. Astuti. 2015. Uji efektivitas anthelmintik
ekstrak rimpang bangle (Zirrgiber purpureum Roxb.) terhadap cacing
asearfdiu gum secara in vitro. Jurnal Ilmiah Manuntung.
Tangendjaja B., E. Wina, T. Ibrahim, dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) dan pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan the Australia
Centre for International Agricultural Research.
Tiwow, D., W. Bodhi, dan N. S. Kojong. 2013. Uji efek anthelmintik ekstrak
etanol biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan
Ascaridia galli secara in vitro. Jurnal Ilmiah Farmasi. 2 (2).
Ulya, N., A. T. Endharti, dan R. Setyohadi. 2014. Uji daya anthelmintik ekstrak
etanol daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) sebagai anthelmintik
terhadap Ascaris suum secara in vitro. Majalah Kesehatan FKUB. 1 (3).
Whittier, W. D., A. M. Zajac, and S. M. Umberger. 2003. Control of Internal
Parasites in Sheep. Virginia Cooperative Extension. Blacksburg.
34
Widyobroto B. P., S. P. S. Budhi, dan A. Agus. 2007. Pengaruh aras undegraded
protein dan energi terhadap kinetik fermentasi rumen dan sintesis protein
mikroba pada sapi. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32: 194-200.
Yasa, I. W. S. 2011. Identifikasi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi
Bali yang di Pelihara di Petang, Kecamatan Petang, Badung. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar.
35
Lampiran 1. Pengolahan Data Meggunakan Program SPSS Versi 16.0 pada Jam
Ke 1
Dependent Variable:waktu_jam_1
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1071.875a 5 214.375 11.225 .000
Intercept 459.375 1 459.375 24.055 .000
perlakuan 1071.875 5 214.375 11.225 .000
Error 343.750 18 19.097
Total 1875.000 24
Corrected Total 1415.625 23
Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset
1 2
R0
R2
R3
R4
R5
R1
Sig.
4
4
4
4
4
4
.0000
.0000
.0000
2.5000
5.0000
161
18.7500
1.000
36
Lampiran 2. Pengolahan Data Meggunakan Program SPSS Versi 16.0 pada Jam
Ke 2
Dependent Variable:waktu_jam_2
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2217.708a 5 443.542 38.709 .000
Intercept 3151.042 1 3151.042 275.000 .000
perlakuan 2217.708 5 443.542 38.709 .000
Error 206.250 18 11.458
Total 5575.000 24
Corrected Total 2423.958 23
Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4
R0 4 .0000
R2 4 1.2500 1.2500
R3 4 6.2500
R4 4 15.0000
R5 4 21.2500
R1 4 25.0000
Sig. .608 .051 1.000 .135
37
Lampiran 3. Pengolahan Data Meggunakan Program SPSS Versi 16.0 pada Jam
Ke 3
Dependent Variable:Waktu_jam_3
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2120.833a 5 424.167 122.160 .000
Intercept 6666.667 1 6666.667 1.920E3 .000
Perlakuan 2120.833 5 424.167 122.160 .000
Error 62.500 18 3.472
Total 8850.000 24
Corrected Total 2183.333 23
Uji Lanjut Dunchan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4
R0 4 .0000
R2 4 8.7500
R3 4 17.5000
R4 4 23.7500
R1 4 25.0000
R5 4 25.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000 .382
38
Lampiran 4. Pengolahan Data Meggunakan Program SPSS Versi 16.0 pada Jam
Ke 4
Dependent Variable:Waktu_jam_4
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2083.333a 5 416.667 . .
Intercept 10416.667 1 10416.667 . .
perlakuan 2083.333 5 416.667 . .
Error .000 18 .000
Total 12500.000 24
Corrected Total 2083.333 23
39
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian Uji Efektivitas Kaliandra (Calliandra
calothyrsus) terhadap Mortalitas Cacing Haemonchus contortus
secara In Vitro
Calliandra calothyrsus
Cacing Haemonchus contortus
Perendaman (Maserasi)
40
Pengambilan Cacing Haemonchus contortus di RPH
Pemilihan Cacing Haemonchus contortus
Bentuk Cacing yang mati pada Perlakuan yang ditambahkan
Albendazole 10 mg/ml
41
RIWAYAT HIDUP
Nurpaidah. Lahir di Sempang, 3 September 1995, anak
keempat dari empat bersaudara dari pasangan H. Bora dan
Hj. Maryam. Jenjang pendidikan formal yang pernah
ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri 126 Patampanua
lulus pada tahun 2008. Kemudian melanjutkan ke jenjang
SMPN 2 Pinrang, lulus pada tahun 2011. Kemudian melanjutkan ke SMAN 1
Pinrang, dan lulus pada tahun 2014. Setelah menyelesaikan Tingkat SMA, pada
tahun 2014 penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada Fakultas
Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis menyelesaikan Strata 1
(S1) dan mendapatkan gelar S.Pt pada Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin pada Mei 2018.
Top Related