digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

62
 FINAL REPORT Oleh: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Alex Oxtavianus, S.Si., M.Si. Disampaikan Kepada Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional Desember 2013 BA CKGROUND S TU DY   RPJMN 2015-2019 INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

Transcript of digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

Page 1: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 1/62

  FINAL REPORT

Oleh:Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.Alex Oxtavianus, S.Si., M.Si.

Disampaikan KepadaKementrian Perencanaan Pembangunan Nasional

Desember 2013

BACKGROUND STUDY  RPJMN 2015-2019

INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

Page 2: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 2/62

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

I. PENDAHULUAN 1 

1.1. Latar Belakang 1 

1.2. Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan 2 

1.3. Tujuan 3 

1.4. Ruang lingkup 4 

1.5. Outline laporan 4 

II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEKLINGKUNGAN 6 

2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan 6 

2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9 

2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup 10 

2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan 12 

III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DALAMPEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 14 

3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009 15 

3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan 18 

3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS 19 

3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011) 25 3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012) 27 

3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP ) 30 

3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah 33 

IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019 36 

4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019 36 

4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup 38 

4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit

Lingkungan Hidup 54 

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 56 

DAFTAR PUSTAKA 58 

Page 3: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 3/62

iii

DAFTAR TABEL

1  PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010 7 

2  Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012 8 

3  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan

Hidup (IKLH), 2009 - 2011 11 4  Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan 13 

5  Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index(EPI) 14 

6  Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 2006-2012 15 

7  Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015 16 

8  Komponen Penyusun IKL 2008 20 

9  Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO 22 

10  Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx 22 

11  Klasifikasi IP dan Nilai IKA 23 

12  Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah  24 

13  Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011 25 

14   Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012 28 

15  Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (KementrianLingkungan Hidup) 29 

16  Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau 31 

17  PDRB Hijau Bali, 2010 32 

18  PDB Hijau Indonesia, 2009 33 

19  Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya 34 

20  PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010 35 

21  Skala Green Rating   43 

22   Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011 46 

23   Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1) 47 

24   Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2) 48 

25  Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2 49 

26   Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas 50 

27  Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB 52 

28  Roadmap Pengembangan IPLH 53 

Page 4: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 4/62

iv

DAFTAR GAMBAR

1  Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi,sosial dan lingkungan 3 

2   Framework  (Kerangka Kerja Background Study) 5 

3  Prisma Keberlanjutan ( prism of sustainability) 7 4  Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019 37 

5  Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005 40 

6  Kerangka Indeks Pembangunan Hijau 41 

7  Tahapan dalam Penentuan Green Rating   42 

8  Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan 44 

9  Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas(2010) 51 

10  Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan DenganMigas (2010) 51 

Page 5: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 5/62

1

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pada tahun 2014, Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 akan berakhirdan Indonesia akan memasuki tahap ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang

 Nasional yakni RPJM 2015-2019 sebagaimana tertuang dalam UU 17/2007. Banyak hal yangtelah dicapai selama dua kali periode pembangunan jangka menengah baik dari sisi ekonomi,sosial dan lingkungan. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, selama periode 2005  –   2011,Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang positif pada kisaran 5sampai 6.5% per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% tersebut,

 pendapatan per kapita penduduk Indonesia juga meningkat hampir dua kali lipat dari Rp14.991,1 ribu pada tahun 2006 menjadi Rp 30.813,0 ribu pada tahun 2011. Bersamaandengan itu, angka pengangguran juga menurun dari 11,2 % pada tahun 2005 menjadi 6,5%

 pada tahu 2011. Demikian juga dengan persentase penduduk miskin yang mengalami penurunan dari 15,9 % pada tahun 2005 menjadi 12,4% pada tahun 2011.

Kemajuan di bidang sosial juga telah banyak dicapai diantaranya Angka PartisipasiMurni Sekolah dasar yang telah mencapai 91% pada tahun 2011, sementara APM SMPmencapai 68%. Demikian juga dengan Angka Melek Huruf (AMH) dimana terjadi

 peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2005. AMH tahun 2011 nasional telahmencapai 92,81%. Kemajuan di bidang sosial lainnya yang telah dicapai secara signifikanadalah menurunnya angka kematian bayi dari 68 per 1000 kelahiran di tahun 1991, menurunmenjadi 28,2 kematian per 1000 bayi lahir pada tahun 2006 dan kemudian menurun lagimenjadi 24,3 per 1000 kelahiran.

Dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan,

mungkin indikator lingkungan yang mengalami tekanan yang berat sebagai akibat daritekanan ekonomi dan sosial. Meski ada beberapa kemajuan di bidang pengelolaanlingkungan hidup dengan upaya-upaya konservasi, seperti pencadangan wilayah konservasi,

 penanaman pohon, pengembangan ekonomi hijau dan berbagai upaya penyelamatanlingkungan lainnya, tekanan terhadap lingkungan hidup masih dirasakan besar selama

 beberapa tahun ke belakang. Hal ini dapat dilihat dari indikator bencana alam yang berkaitandengan hydrometerological. Selama periode 2002  –   2010 bencana banjir meningkat dari 51kejadian per tahun pada tahun 2002 menjadi 1016 banjir per tahun pada tahun 2010.Demikian juga dengan longsor dimana pada tahun 2002 terjadi 48 longsor, pada tahun 2010terjadi 401 kejadian longsor (BNPB, 2011). Kegiatan pembangunan ekonomi juga mau tidakmau menyebabkan tekenan terhadap kualitas udara. Kegiatan industri dan tingginya

 penggunaan bahan bakar menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas rumah kaca. Jika pada awal tahun 1990an emisi CO2 masih di bawah 1 ton per kapita, pada tahun 2011, emisitersebut telah mencapai 2 ton per kapita.

Dari beberapa contoh indikator pembangunan di atas baik dari sisi ekonomi, sosial danlingkungan, meski ada kecenderungan pembangunan yang mengarah kepada perbaikanseperti indikator ekonomi dan sosial, namun peningkatan taraf hidup ekonomi dan sosialtersebut sering harus di bayar cukup mahal dengan kerusakan lingkungan dengan banyaknya

 bencana alam yang ditimbulkan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah memenuhi tiga pilar pembangunan sekaligus. Hal ini juga menunjukkan apakah Indonesia masih berada di

Page 6: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 6/62

2

sebelah kiri kurva Kuznet 1   atau sedang menuju titik tengah kurva Kuznet dimana peningkatan pendapat per kapita akan mengurangi kerusakan lingkungan.

1.2.Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, banyak indikator-indikatorekonomi dan sosial yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menunjukkan apakah

 pembangunan Indonesia sudah berada pada jalur pembangunan berkelanjutan atau belum.Selama ini untuk mengukur aspek pembangunan ekonomi digunakan pengukurankonvensional seperti pertumbuhan PDB (Gross Domestic Product   atau Produk DomestikBruto) sementara untuk mengukur aspek sosial digunakan indeks pembangunan manusia atauIPM. Beberapa negara seperti Bhutan telah menggunakan indeks komposit dengan tidakmenggunakan PDB dan IPM sebagai ukuran kemajuan pembangunan namun menggunakanIndeks Kebahagiaan (Gross Happiness Index). Hal ini disebabkan karena banyaknyakelemahan yang digunakan dalam menggunakan PDB sebagai indikator pembangunan. PDB

sama sekali tidak menghitung deplesi dan degradasi dari sumber daya alam dan lingkungansehingga pertumbuhan ekonomi sering dibayar dengan kerusakan lingkungan. Menyadari haltersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan indeks pembangunan yangmengakomodasi ketiga aspek pembangunan yakni ekonomi, sosial dan lingkungandiantaranya ISEW ( Index of Sustainable Economic Welfare), MEW ( Measurement of

 Economic Welfare), Happy Planet Index atau dengan cara mengurangi deplesi dan degradasilingkungan ke dalam PDB dengan ukuran Green GDP . Namun demikian sampai saat ini

 belum ada kesepakan terkait dengan penggunaan indeks pembangunan tersebut.Indonesia sendiri sejak tahun 2009 telah mengembangkan indeks kualitas lingkungan

hidup (IKLH) sebagai indeks komplemen pembangunan di Indonesia, meski sejak tahun 2007,Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengambangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL),

khususnya untuk wilayah perkotaan. IKLH sendiri merupakan penyempurnaan dari IKLsebelumnya dengan unit analisis pada tingkat propinsi. Sejak 2009, Kementrian LingkunganHidup telah secara kontinu merilis IKLH yang meliputi tiga aspek utama yakni kualitas udara,air dan tutupan hutan.

Salah satu catatan yang mungkin bisa dikemukakan adalah IKLH ini masih merupakanindeks parsial sehingga masih terlepas dari aspek ekonomi dan sosial sehingga menghasilkankeragaan yang sering bertentangan dengan indeks lainnya. Sebagaimana terlihat padaGambar 1 di bawah ini, data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa provinsi dengan indikatorekonomi dan IPM yang tinggi seperti DKI cenderung memiliki IKLH yang rendah.Sebaliknya provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti Nusa Tenggara baratatau Maluku Utara justru memiliki indeks lingkungan yang tinggi. Hal ini tentu saja akanmenyulitkan para pengambil kebijakan di daerah untuk menjalankan prinsip-prinsip

 pembangunan berkelanjutan, karena bukan saja akan mengurangi semangat daerah untukmemperbaiki lingkungan namun juga menimbulkan kesan bahwa pertumbuhan ekonomi yangtinggi selalu harus di bayar dengan kualitas yang memburuk.

1Kurva lingkungan Kuzent (Environmental Kuznet Curve atau EKC merupakan kurva yang berbentuk

U terbalik yang menghubungkan antara pendapatan per kapita dengan tingkat kerusakan lingkungan.

Pada pendapatn per kapita yang rendah, kerusakan lingkungan cenderung tinggi sampai mencapaititik puncak dimana setelah melewati titik tersebut, dengan pendapatan per kapita yang tinggikerusakan lingkungan menurun

Page 7: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 7/62

3

Sumber: Fauzi, 2012

Gambar 1 Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi, sosial danlingkungan

IKLH sebagai suatu indikator awal mungkin sudah dapat dijadikan sebagai alat ukuran perkembangan kualitas lingkungan di Indonesia, namun indeks ini memerlukan penyempurnaan lebih jauh agar sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Penyempurnaan bukan saja pada aspek metodologi namun juga pada aspek kriteria danukuran yang lebih komprehensif dan konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutanatau prinsip-prinsip ekonomi hijau.

1.3.Tujuan

Dengan melihat beberapa rasionalitas di atas, nampak bahwa adanya “disconnected ”

antara aspek pembangunan ekonomi dan sosial dan lingkungan dalam konteks pembangunandi Indonesia. IKLH yang selama ini telah menjadi acuan baku juga memiliki banyakkelemahan untuk menggambarkan secara utuh capaian pembangunan di Indonesia. Oleh

karenanya review secara komprehensif terkait dengan indeks kualitas lingkungan hiduptersebut sudah saatnya dilakukan untuk menunjang rencana pembangunan jangka menengah2015-2019. Secara khusus tujuan dari background study ini adalah:

a)  Mengevaluasi komponen-komponen IKLH yang telah dikembangkan

 b)  Mengidentifikasi indikator utama untuk bidang Lingkungan Hidup yang dapat

dipergunakan sebagai indikator/ indeks utama (mengumpulkan data kuantitatif

kualitas lingkungan hidup)

c)  Merumuskan Indeks Pembangunan Lingkungan Hidup komprehensif yang dapat

dipergunakan secara nasional

0

5

10

15

20

25

30

35

   3   1 .   D   K   I   J   a    k   a   r   t   a

   3   6 .   B   a   n   t   e   n

   3   5 .   J   a   w   a   T   i   m   u   r

   6   2 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   T   e   n   g   a    h

   3   3 .   J   a   w   a   T   e   n   g   a    h

   5   3 .   N   u   s   a   T   e   n   g   g   a   r   a   T   i   m   u   r

   3   2 .   J   a   w   a   B   a   r   a   t

   2   0 .   K   e   p   u    l   a   u   a   n   R   i   a   u

   1   4 .   R   i   a   u

   6   3 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   S   e    l   a   t   a   n

   9   4 .   P   a   p   u   a

   9   1 .   I   r   i   a   n   J   a   y   a   B   a   r   a   t

   6   4 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   T   i   m   u   r

   7   4 .   S   u    l   a   w   e   s   i   T   e   n   g   g   a   r   a

   1   5 .   J   a   m    b   i

   7   6 .   S   u    l   a   w   e   s   i   B   a   r   a   t

   7   3 .   S   u    l   a   w   e   s   i   S   e    l   a   t   a   n

   1   9 .   B   a   n   g    k   a   B   e    l   i   t   u   n   g

   3   4 .   Y   o   g   y   a    k   a   r   t   a

   1   6 .   S   u   m   a   t   e   r   a   S   e    l   a   t   a   n

   6   1 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   B   a   r   a   t

   1   1 .   N   a

   n   g   g   r   o   e   A   c   e    h   D   a   r   u   s   s   a    l   a   m

   8   2 .   M   a    l   u    k   u   U   t   a   r   a

   8   1 .   M   a    l   u    k   u

   1   3 .   S   u   m   a   t   e   r   a   B   a   r   a   t

   7   1 .   S   u    l   a   w   e   s   i   U   t   a   r   a

   1   8 .   L   a   m   p   u   n   g

   1   2 .   S   u   m   a   t   e   r   a   U   t   a   r   a

   5   2 .   N   u   s   a   T   e   n   g   g   a   r   a   B   a   r   a   t

   1   7 .   B   e   n   g    k   u    l   u

   7   2 .   S   u    l   a   w   e   s   i   T   e   n   g   a    h

   7   5 .   G   o   r   o   n   t   a    l   o

   5   1 .   B   a    l   i

Ranking PDRB Ranking IIPM Ranking IKLH

Page 8: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 8/62

4

1.4. Ruang lingkup

Mengingat luasnya cakupan indeks pembangunan yang terkait dengan aspeklingkungan hidup, maka ruang lingkup background study ini dibatasi pada aspek reviewindikator yang telah dikembangkan pada tingkat nasional dan provinsi. Untuk melihat

ketajaman tantangan dan peluang dalam implementasi IKLH pada level provinsi maka akandilakukan site visit pada setidaknya empat provinsi yang mewakili wilayah barat Indonesia,wilayah tengah, dan wilayah timur. Draf backgrund study  ini melingkupi beberapa aspekterkait dengan :

a)  Kebijakan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah selama RPJM tahap 2 dan

harapan pada RPJM tahap 3

 b)  Karakteristik aspek sumber daya alam dan lingkungan yang menjadi bagian dari

 pembangunan di tingkat nasional dan daerah

c)  Telaah terhadap indikator-indikator pembangunan terkait dengan aspek ekonomi,

sosial dan lingkungand)  Kebijakan dan implementasinya terkait dengan aspek sumber daya alam dan

lingkungan

e)  Review implementasi IKLH yang telah dilaksanakan sebelumnya

1.5. Outline laporan

Secara garis besar laporan dokumen background study meliputi dan tidak terbatas pada beberapa aspek sebagai berikut:

1.  Pendahuluan

a.  Latar Belakang

 b.  Maksud dan Tujuan

c.  Ruang lingkup

2.  Review Pembangunan Berkelanjutan dan Aspek Lingkungan Hidup

a.  Review capaian pembangunan berkelanjutan

 b.  Peran sumber daya alam dan lingkungan

c.  Peran IKLH sebagai instrumen kebijakan lingkungan hidup

d.  Capaian pembangunan lingkungan

3.  Review indeks pembangunan lingkungan hidup sebagai indikator pembangunan

 berkelanjutana.  Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009

 b.  Indikator Pembangunan Berkelanjutan

c.  Indeks Kualitas Lingkungan BPS

d.  Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH

e.  PDB/PDRB Hijau (Green GDP)

f.  Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah

4.  Pengembangan IPLH pada RPJM 2015-2019

a.  Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019

 b.  Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup

Page 9: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 9/62

5

c.  Tantangan dan peluang pengembangan indikator Indeks Komposit

Lingkungan Hidup

5.  Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Gambar 2  Framework  (Kerangka Kerja Background Study)

Review Indikator

Pembangunan

Makro dan regional

2002-2012

Review RPJP dan

Dan capain RPJM

2009-2014

Review

Status Lingkungan

Hidup Indonesia

Strong, weakness,challenges IKLH

Kriteria

Danindikator

Interkonek

si denganSus Dev

Assessment

Pengembangan

IKLH

IKLH yang kompatibel (Komposit)

Dengan RPJM 2015-2019

Assessment

Impementasi di

daerah

Assessment

Pengembangan

kriteria baru

Page 10: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 10/62

6

II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK

LINGKUNGAN

2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan

Adanya trade-off   antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upayamempertahankan kelestarian lingkungan, menjadi salah satu masalah penting yang dihadapidalam pembangunan. Seperti yang dituliskan oleh Fauzi (2004), pembangunan ekonomi yang

 berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan padaakhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain,

 pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam danlingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari.

Tumbuhnya kesadaran kritis tentang keterbatasan sumber daya alam yang tersedia,sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat, mengharuskan strategi pemanfaatan sumber

daya alam yang lebih efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya alam tidak bolehmengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif keberimbangan,

 pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antargenerasi. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (Rustiadidkk, 2009).Selain dimensi keberimbangan antar generasi, Heal 2008 (dalam Fauzi 2004)menambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistemsumber daya alam dan lingkungan.

Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi fokusdunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi (United Nation

Conference on Environmental Development , UNCED) di Rio de Jenairo pada tahun 1992.Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus mengalami perkembangan. Serageldin (1996),melihat pembangunan berkelanjutan dari tiga dimensi (a triangular framework ), yaituekonomi, sosial dan ekologi/lingkungan. Spangenberg (1999) kemudian menambahkan satudimensi lagi, yaitu kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat. Keempat dimensitersebut; ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan; membentuk suatu prismakeberlanjutan, prism of sustainability (Rustiadi dkk, 2009).

Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan, maka penilaian terhadapkeberhasilan pembangunan tentunya juga harus melihat capaian dari keempat dimensi

 pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian akan terlihat bagaimana kinerja pembangunansecara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya berkonsentrasi untukmeningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak lingkungan. Dalam jangka panjang

kondisi ini bahkan mungkin akan menimbulkan kerugian, karena boleh jadi biaya yangdibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh.Begitu pula dengan pembangunan ekonomi yang mengabaikan pembangunan sosial. Konflikakibat adanya kesenjangan sosial justru akan memberikan dampak negatif bagi pembangunandi masa yang akan datang. Sehingga penilaian pembangunan dari ekonomi, sosial,lingkungan dan kelembagaan secara bersamaan akan mampu memberikan arahan dalam

 pembangunan.Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia menunjukkan perkembangan yang

menggembirakan. Himawan (2012) mengistilahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sustainable growth. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat stabil dan tercepat di Asia.Kondisi ini diperkuat dengan indikator ekonomi yang lain, rendahnya tingkat suku bunga

Bank Indonesia, rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Pernyataan ini diperkuatlagi dengan pemberitaan yang dikeluarkan oleh Organisatian for Economic Co-operation

Page 11: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 11/62

7

Sumber : Spangenberg J H dan Bonniot O, 1998

Gambar 3 Prisma Keberlanjutan ( prism of sustainability)

 Development   (OECD) pada tanggal 27 September 2012. OECD menilai Indonesia telahmemperbaiki makro ekonominya selama 15 tahun terakhir, dengan tingkat pertumbuhan yangcepat dan stabil pada level 5 hingga 6,6 persen.

Gambaran tentang makro ekonomi Indonesia saja mungkin tidak cukup untuk menilai pembangunan Indonesia. Seperti disebutkan di awal, agar pembangunan dapat berkelanjutan, pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pembangunan bidang yang lain, salahsatunya adalah lingkungan. Tabel 1 mencoba membandingkan antara pembangunan dimensiekonomi dengan dimensi lingkungan. Dari sisi ekonomi, seperti telah diuraikan sebelumnya,

 pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik. Dalam kurun waktu 2006 hingga 2010, ditengah krisis yang melanda sebagian negara-negara di dunia, perekonomian Indonesiamampu tumbuh rata-rata sebesar 5,73 persen setiap tahunnya. Namun di sisi lain, pada kurun

waktu yang sama, jumlah lahan kritis juga mengalami peningkatan. Lahan kritis didefinisikansebagai lahan yang telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehinggakehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara,

 pengatur iklim mikro dan retensi karbon (Kementrian Kehutanan, 2011). Secara rata-rata, jumlah lahan kritis mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen setiap tahunnya. Peningkatanlahan kritis ini hampir terjadi di seluruh pulau, kecuali pulau Sumatera. Di daerah NusaTenggara, Maluku dan Papua, peningkatan lahan kritis bahkan mencapai 5,48 persen setiaptahunnya.

Kondisi inilah yang mungkin dapat diistilahkan sebagai kemajuan yang merusak,(Fauzi, 2012). PDB yang tinggi telah menimbulkan ”stres” pada ekosistem bumi, yang

Tabel 1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010

Pulau

PDRB Harga Konstan (Triliun Rp) Lahan Kritis (000 Ha)

2006 2010

Rata-rata

Pertumbuhan

per tahun

2006 2010

Rata-rata

Pertumbuha

n per tahun

Sumatera 389,07 468,06 4.73 25898.97 24771.47 -1.11Jawa dan Bali 1093,32 1385,13 6.09 3663.70 4317.00 4.19Kalimantan 160,69 190,34 4.32 27918.05 28012.61 0.08Sulawesi 79,15 106,89 7.80 6218.21 7610.81 5.18 Nusa Tenggara,Maluku & Papua

55,72 71,18 6.31 14107.95 17464.55 5.48

Indonesia 1777,95 2221,60 5.73 77806.88 82176.44 1.38

Sumber : BPS dan Kementrian Kehutanan 

Page 12: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 12/62

8

mengakibatkan terjadinya  progress trap  atau jebakan kemajuan, di mana tujuan untukmenyejahterakan manusia harus dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan.Jebakan ini pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebutsehingga beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan(degrowth) dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan

lingkungan.Pada pembangunan dimensi sosial, terdapat beberapa indikator yang biasa

dipergunakan untuk mengukur pembangunan di Indonesia. Dua indikator yang seringdipergunakan adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat kemiskinan menggambarkan

 persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan gini rasiomenggambarkan kesenjangan pendapatan. Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinanIndonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42 persen padatahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat kemiskinan ini sejalandengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walaupun tingkat kemiskinan menalami

 penurunan, angka gini rasio justru menunjukkan adanya peningkatan. Artinya, walaupuntingkat kemiskinan menurun, tetapi disparitas pendapatan justru semakin lebar. Perbedaan

Tabel 2 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012

ProvinsiTingkat Kemiskinan Gini Ratio

2008 2009 2010 2011*)  2012*)  2008 2009 2010 2011 2012

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

 NAD 23.53 21.80 20.98 19.57 19.46 0.27 0.29 0.30 0.33 0.32Sumatera Utara 12.55 11.51 11.31 11.33 10.67 0.31 0.32 0.35 0.35 0.33Sumatera Barat 10.67 9.54 9.50 9.04 8.19 0.29 0.30 0.33 0.35 0.36Riau 10.63 9.48 8.65 8.47 8.22 0.31 0.33 0.33 0.36 0.40Jambi 9.32 8.77 8.34 8.65 8.42 0.28 0.27 0.30 0.34 0.34

Sumatera Selatan 17.73 16.28 15.47 14.24 13.78 0.30 0.31 0.34 0.34 0.40Bengkulu 20.98 20.22 18.94 17.50 17.70 0.33 0.30 0.37 0.36 0.35Lampung 8.58 7.46 6.51 16.93 16.18 0.35 0.35 0.36 0.37 0.36Kep. Bangka Belitung 20.64 18.59 18.30 5.75 5.53 0.26 0.29 0.30 0.30 0.29Kepulauan Riau 9.18 8.27 8.05 7.40 7.11 0.30 0.29 0.29 0.32 0.35DKI Jakarta 4.29 3.62 3.48 3.75 3.69 0.33 0.36 0.36 0.44 0.42Jawa Barat 13.01 11.96 11.27 10.65 10.09 0.35 0.36 0.36 0.41 0.41Jawa Tengah 19.23 17.72 16.56 15.76 15.34 0.31 0.32 0.34 0.38 0.38DI Yogyakarta 18.32 17.23 16.83 16.08 16.05 0.36 0.38 0.41 0.40 0.43Jawa Timur 18.51 16.68 15.26 14.23 13.40 0.33 0.33 0.34 0.37 0.36Banten 8.15 7.64 7.16 6.32 5.85 0.34 0.37 0.42 0.40 0.39Bali 6.17 5.13 4.88 4.20 4.18 0.30 0.31 0.37 0.41 0.43 Nusa Tenggara Barat 23.81 22.78 21.55 19.73 18.63 0.33 0.35 0.40 0.36 0.35 Nusa Tenggara Timur 25.65 23.31 23.03 21.23 20.88 0.34 0.36 0.38 0.36 0.36Kalimantan Barat 11.07 9.30 9.02 8.60 8.17 0.31 0.32 0.37 0.40 0.38

Kalimantan Tengah 8.71 7.02 6.77 6.56 6.51 0.29 0.29 0.30 0.34 0.33Kalimantan Selatan 6.48 5.12 5.21 5.29 5.06 0.33 0.35 0.37 0.37 0.38Kalimantan Timur 9.51 7.73 7.66 6.77 6.68 0.34 0.38 0.37 0.38 0.36Sulawesi Utara 10.10 9.79 9.10 8.51 8.18 0.28 0.31 0.37 0.39 0.43Sulawesi Tengah 20.75 18.98 18.07 15.83 15.40 0.33 0.34 0.37 0.38 0.40Sulawesi Selatan 13.34 12.31 11.60 10.29 10.11 0.36 0.39 0.40 0.41 0.41Sulawesi Tenggara 19.53 18.93 17.05 14.56 13.71 0.33 0.36 0.42 0.41 0.40Gorontalo 24.88 25.01 23.19 18.75 17.33 0.34 0.35 0.43 0.46 0.44Sulawesi Barat 16.73 15.29 13.58 13.89 13.24 0.31 0.30 0.36 0.34 0.31Maluku 29.66 28.23 27.74 23.00 21.78 0.31 0.31 0.33 0.41 0.38Maluku Utara 11.28 10.36 9.42 9.18 8.47 0.33 0.33 0.34 0.33 0.34Papua Barat 35.12 35.71 34.88 31.92 28.20 0.31 0.35 0.38 0.40 0.43Papua 37.08 37.53 36.80 31.98 31.11 0.40 0.38 0.41 0.42 0.44

Indonesia 15.42 14.15 13.33 12.49 11.96 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41Sumber : BPSCatatan : *) Kondisi pada bulan September

Page 13: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 13/62

9

 pendapatan yang sangat lebar tentunya akan memberikan peluang terjadinya konflik sosial.Konflik sosial ini pada akhirnya akan bermuara pada ketidakberlanjutannya pembangunan.

Dengan memperhatikan beberapa uraian sebelumnya, nampaknya pembangunanIndonesia masih belum menggambarkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial,lingkungan serta kelembagaan. Pembangunan masih sangat dominan memperhatikan dimensi

ekonomi, tetapi lemah dalam pembangunan di bidang yang lain. Dalam bidang sosial, pembangunan semakin memunculkan perbedaan yang semakin lebar antara masyarakatgolongan kaya dengan golongan miskin. Dari sisi lingkungan, pembangunan memunculkanlahan-lahan kritis baru, yang berarti semakin menurunnya kualitas lahan.

2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Sumber daya alam Indonesia merupakan 25 persen dari total aset kemakmurannegara/national wealth  (World Bank 2006). Sumber daya alam menghasilkan rente(keuntungan) yang merupakan sumber penting bagi pendanaan pembangunan. Selama

 pemerintahan orde baru, Indonesia telah berhasil memanfaatkan rente sumber daya alam ini,khususnya dari minyak, sumberdaya mineral dan hutan untuk mendanai pembangunanIndonesia pasca tumbangnya rezim orde lama.

Peran ekonomi sumberdaya alam ini terus berlanjut hingga saat ini. Namun harusdiakui sekarang sumber daya alam mengalami penurunan yang cepat tanpa adanya penggantiyang memadai. Kerugian ekonomi akibat deplesi sumber daya dan degradasi lingkungan bisamenjadi hal yang substansial dalam jangka panjang, dengan besaran yang menunjukkan

 peningkatan, mulai dari 0,3 persen hingga 7 persen dari PDB Indonesia (Leitman et. al. 2009).Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan selama orde baru telahmemberikan kontribusi yang nyata terhadap kemerosotan sumber daya alam dan lingkungan.Besar dugaan bahwa hal ini disebabkan oleh fakta bahwa "ekonomi cokelat" di masa lalu

masih terpisah dari sumber daya dan pengelolaan lingkungan.Belajar dari kelemahan masa lalu dalam mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi

dengan pengelolaan lingkungan, Indonesia kini berjuang untuk mengambil kegiatan ramahlingkungan ke jalan pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan biayalingkungan pengembangan dan mempertahankan sumber daya alamnya. Komitmen untukmenonjolkan pembangunan ekonomi hijau dimulai dengan menambahkan strategi pro-lingkungan ke dalam rencana pembangunan. Cukup banyak metode dan instrumen yangdilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk mengintegrasikan langkah-langkah lingkungan ke dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Selain itu percepatan penyusutan sumberdaya alam ini semakin tinggi di era otonomidaerah. Hal ini karena selain adanya insentif dari dana bagi hasil dan keinginan untukmeningkatkan Pendapatan Asli Daerah/PAD (Leiman et. al. 2009), juga dikarenakantumpang tindihnya kewenangan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alamsehingga menimbulkan “moral hazard ” dan mempercepat terjadinya penyusutan sumberdaya

alam dan kerusakan lingkungan.Sebuah langkah besar menuju ekonomi Indonesia yang lebih hijau adalah dengan

membangun kerangka kebijakan secara nasional. Payung hukum utama negara untuk pembangunan berkelanjutan adalah UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan JangkaPanjang Nasional 2005-2025.Kemajuan menuju inisiatif ekonomi hijau mendapatkanmomentum yang kuat dengan diberlakukannya undang-undang lingkungan yang terbaru

 Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang

ini sangat mendorong penggabungan lingkungan ke dalam kegiatan sosial dan ekonomiseperti. Indonesia hijau hanya dapat dicapai melalui berbagai upaya dan mekanisme, seperti

Page 14: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 14/62

10

 pembiayaan, perencanaan pembangunan, dan penggunaan instrumen ekonomi untukmencapai pengelolaan lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Perencanaanmerupakan bagian penting dari strategi untuk meningkatkan pembangunan. Meskipunkegiatan sebagian besar akan dilakukan oleh sektor swasta dan masyarakat, pemerintahmemainkan peran penting dalam memberikan bantuan dan menentukan pedoman standar

untuk implementasi.Salah satu langkah strategis yang telah diambil adalah perumusan Rencana Aksi

 Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) penurunan emisi gas rumah kaca(GRK).Rencana tersebut bertujuan untuk menggabungkan pengurangan emisi ke dalamkegiatan sehari-hari masyarakat. RAN dan RAD GRK juga akan memfasilitasi peraturan

 pemerintah, standar dan dukungan pada pelaksanaan kebijakan rendah emisi karbon di berbagai sektor. Selain itu, juga akan mendukung pengembangan indikator yang dapatdigunakan untuk mengukur dan menilai pengurangan emisi. Metode ini kemudian dapatditerapkan untuk jenis lainnya dari jasa lingkungan.

Di sektor energi, beberapa peraturan telah dikeluarkan terutama untuk menjaminkeamanan energi dan produksi serta penggunaan energi yang lebih bersih. Produk hukum

energi yang pertama dikeluarkan pada tahun 2007. Undang-Undang Nomor 30/2007mengamanatkan bahwa pemerintah, sektor swasta dan masyarakat berkewajiban untukmengamankan dan menjamin ketersediaan, keberlanjutan dan efisiensi penggunaan sumberdaya energi. Undang-undang ini juga menyediakan pedoman untuk diversifikasi energidengan menggunakan energi terbarukan serta konservasi energi. Dalam rangka melaksanakanundang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2009 tentangKonservasi Energi. Peraturan ini membagi tanggung jawab antara pemerintah pusat,

 pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat dalam pengelolaan energi, sertamemberikan panduan tentang produksi, pemanfaatan dan konservasi, pembuatan standar dan

 peraturan pelabelan untuk efisiensi energi, mengatur fasilitas, memberikan insentif dandisinsentif, serta mengatur mekanisme pemantauannya.

Meningkatnya kesadaran perlindungan lingkungan dan pertumbuhan permintaan energitelah mendorong dikembangkannya energi panas bumi serta energi terbarukan. Tidak hanyamenjadi tanggung jawab pemerintah, sektor swasta dan masyarakat juga didorong untuk lebihterlibat dalam energi terbarukan. Penggunaan mikro hidro telah banyak dipergunakan danmenunjukkan tren meningkat. Peningkatan kesadaran swasta dan masyarakat tentang peran

 penting lingkungan juga melahirkan tindakan yang ramah lingkungan. Beberapa contohnyaadalah produksi mebel berkelanjutan, pengelolaan pertanian berkelanjutan dan produkorganik.

2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup

Beberapa indikator pembangunan pada uraian sebelumnya; pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan lahan kritis, kemiskinan dan gini rasio; merupakan indikator yang bersifattunggal dan bukan indikator komposit. Interpretasi yang diperoleh dari nilai masing-masingindikator tentunya hanya mewakili keterukuran dari indikator yang bersangkutan, belumdapat mewakili masing-masing dimensi pembangunan secara utuh. Untuk dapat mengukurcapaian secara lebih kompleks tentunya dibutuhkan indikator gabungan berupa indekskomposit. Terdapat dua indeks komposit yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja

 pembangunan. Pertama, dan yang paling populer, adalah Indeks Pembangunan Manusia(IPM), dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

IPM merupakan indeks komposit dari sejumlah indikator untuk mengukur dimensi-dimensi pokok pencapaian status kemampuan dasar penduduk: umur panjang dan sehat,

Page 15: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 15/62

11

 berpengetahuan dan keterampilan, serta aksesibilitas terhadap sumber daya yang dibutuhkanuntuk mencapai standar hidup layak. Sehingga IPM merupakan ukuran yang umumdipergunakan untuk mengukur tingkat capaian pembangunan ekonomi dan sosial. NamunIPM masih luput mengukur dimensi lingkungan. Indeks komposit yang mengukur capaian

 pembangunan di bidang lingkungan adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

IKLH merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan  Dannish International Development Agency (DANIDA). IKLH mengadopsi konsep indeks yangdikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Virginia Commonwealth University (VCU). Konsep IKLH, mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai,kualitas udara, dan tutupan hutan.

Perbandingan antara IPM dengan IKLH akan memberikan gambaran sinergitas antara pembangunan ekonomi dan sosial dengan pembangunan lingkungan. Dengan mencermatiTabel 3, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara peringkat IPM dengan peringkatIKLH. Provinsi yang memiliki peringkat IPM baik, justru memiliki peringkat IKLH yang

Tabel 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas LingkunganHidup (IKLH), 2009 - 2011

Provinsi

IPM IKLH

2009 2010 2011 2009 2010 2011

IPM Rank IPM Rank IPM Rank IKLH1)  Rank IKLH2)  Rank IKLH2)  Rank

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)

 NAD 71.31 17 71.70 17 72.16 18 72.47 12 77.30 11 66.74 16Sumatera Utara 73.80 8 74.19 8 74.65 8 62.48 19 87.17 6 72.21 12Sumatera Barat 73.44 9 73.78 9 74.28 9 87.04 2 81.46 9 77.00 9Riau 75.60 3 76.07 3 76.53 3 51.65 25 54.86 22 56.23 24Jambi 72.45 13 72.74 13 73.30 13 75.04 9 62.82 17 64.92 18Sumatera Selatan 72.61 10 72.95 10 73.42 10 69.30 14 75.70 13 77.50 8Bengkulu 72.55 12 72.92 11 73.40 11 79.58 4 96.89 4 96.77 3Lampung 70.93 21 71.42 21 71.94 20 73.64 11 86.95 7 86.57 4Kep. Bangka Belitung 72.55 11 72.86 12 73.37 12 52.15 24 64.92 15 64.99 17Kepulauan Riau 74.54 6 75.07 6 75.78 6 51.65 25 54.86 22 56.23 24DKI Jakarta 77.36 1 77.60 1 77.97 1 41.73 30 41.81 29 41.31 30Jawa Barat 71.64 15 72.29 15 72.73 16 49.69 27 53.44 23 50.90 27Jawa Tengah 72.10 14 72.49 14 72.94 14 55.40 22 50.48 25 49.82 28DI Yogyakarta 75.23 4 75.77 4 76.32 4 53.52 23 71.91 14 68.89 14Jawa Timur 71.06 18 71.62 18 72.18 17 59.01 21 49.49 27 54.49 25Banten 70.06 23 70.48 23 70.95 23 50.86 26 48.98 28 48.98 29Bali 71.52 16 72.28 16 72.84 15 85.50 3 99.65 1 85.30 5 Nusa Tenggara Barat 64.66 32 65.20 32 66.23 32 73.69 10 90.15 5 84.30 7 Nusa Tenggara Timur 66.60 31 67.26 31 67.75 31 66.61 18 50.72 24 59.01 23Kalimantan Barat 68.79 28 69.15 28 69.66 28 71.92 13 76.39 12 74.27 10Kalimantan Tengah 74.36 7 74.64 7 75.06 7 45.70 29 50.38 26 63.98 19Kalimantan Selatan 69.30 26 69.92 26 70.44 26 48.25 28 58.24 21 60.29 21Kalimantan Timur 75.11 5 75.56 5 76.22 5 68.63 15 62.22 19 70.75 13Sulawesi Utara 75.68 2 76.09 2 76.54 2 88.21 1 84.18 8 84.59 6Sulawesi Tengah 70.70 22 71.14 22 71.62 22 68.51 16 97.58 3 98.53 2Sulawesi Selatan 70.94 20 71.62 19 72.14 19 67.62 17 62.89 16 62.64 20Sulawesi Tenggara 69.52 25 70.00 25 70.55 25 60.53 20 62.23 18 52.79 26Gorontalo 69.79 24 70.28 24 70.82 24 - - 97.93 2 98.89 1Sulawesi Barat 69.18 27 69.64 27 70.11 27 67.62 17 62.89 16 67.85 15Maluku 70.96 19 71.42 20 71.87 21 78.80 6 79.72 10 73.09 11Maluku Utara 68.63 29 69.03 30 69.47 30 78.80 5 79.72 10 73.09 11Papua Barat 68.58 30 69.15 29 69.65 29 75.30 8 59.56 20 68.51 22Papua 64.53 33 64.94 33 65.36 33 75.30 7 59.56 20 68.51 22

Indonesia 71.76 72.27 72.77 59.79 61.07 60.25

Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan HidupCatatan :1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan SulawesiBarat gabung

2) Penghitungan IKLH 2010 dan 2011 : Maluku dan Maluku Utara gabung, Riau dan Kepulauan Riau gabung, SulawesiSelatan dan Sulawesi Barat gabung, Irian Jaya Barat dan Papua gabung

Page 16: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 16/62

12

tidak baik, contohnya Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DKI Jakarta berada pada peringkat pertama, sedangkan nilai IKLH-nya berada pada peringkat terakhir. Sebaliknya, provinsiyang peringkat IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik,misalnya provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011 berada

 pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24. Dalam posisi ini,

IKLH memegang peran penting dalam mengontrol capaian pembangunan berkelanjutan.Penggunaan indikator ekonomi dan sosial dalam mengukur capaian pembangunan

 berkelanjutan tidaklah cukup, dibutuhkan indikator lain yang mampu mengukur capaian pembangunan bidang lingkungan, yang dicerminkan oleh IKLH.

2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan

Merujuk pada evaluasi paruh waktu RPJMN 2010-2014 yang telah dilakukan olehBappenas, berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam RPJMN, capaian pembangunan

 bidang lingkungan menunjukkan hasil yang cukup baik. Mengutip dari evaluasi tersebut,

diketahui bahwa salah satu capaian pembangunan lingkungan diantaranya adalah semakinmeningkatnya ketaatan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan, dari 66 % pada periode2010-2011 menjadi 69% pada periode 2011-2012. Pengelolaan lingkungan yang dilakukanoleh perusahaan ditujukan untuk menurunkan beban pencemaran dan mereduksi Gas RumahKaca (GRK) guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Data dari KementrianKehutanan juga menunjukkan turunnya laju deforestasi, yang mampu ditekan dari 830.000 ha

 pada tahun 2006-2009, menjadi 450.000 per tahun pada periode 2009-2011.Kegiatan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) mampu

mendorong perusahaan-perusahaan untuk menurunkan beban pencemarannya. Sementaraupaya pengendalian kebakaran hutan juga berhasil mengurangi jumlah hotspot (titik api) diPulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Pelayanan informasi cuaca juga mengalami perbaikan degan dipasangnya  AutomaticWeather Station (AWS) di 167 lokasi. Dengan sarana ini, informasi terjadinya cuaca ekstrimdapat diprediksi 3 jam sebelum kejadian, lebih awal 30 menit dibandingkan sebelum adanyaAWS. Informasi tentang Gempa Bumi dan Tsunami menjadi lebih baik dengan Tsunami

 Early Warning System (TEWS). Waktu untuk mengolah data dan menyebarkan informasikepada masyarakat dapat dipercepat menjadi kurang dari 5 menit setelah gempa terjadi.Sebelum adanya TEWS, dibutuhkan waktu 30 menit sampai 2 jam. Untuk penguatankapasitas penanganan bencana, telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah(BPBD) di 33 Provinsi yang mencapai 366 BPBD tingkat kabupaten/kota dengan prioritas

 pada kabupaten/kota rawan bencana serta penguatan kapasitas Satuan Reaksi CepatPenanggulangan Bencana (SCR-PB).

Target lainnya yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014 adalah tersusunnya IndeksKualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Seperti telah diuraikan sebelumnya, IKLH telah disusunsejak tahun 2010. Walau tidak disebutkan secara eksplisit di dalam dokumen RPJMN, IKLHdiharapkan mampu mencapai nilai 70 pada tahun 2014. Pada tahun 2011 nilai IKLH barumencapai 60,25 dengan tren menurun dari tahun sebelumnya. Pada akhir RPJMN 2010-2014,diharapkan IKLH dapat disusun sampai ke tingkat kabupaten/kota. Hingga saat ini IKLHyang tersedia hanya pada tingkat nasional dan provinsi. Artinya penyusunan IKLHkabupaten/kota menjadi target RPJMN yang belum terealisasi.

Page 17: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 17/62

13

Tabel 4 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan

Indikator  Satuan Status

Awal

2009 

Target

2014 

Capaian 

2010  2011  2012 

Fasilitasi rehabilitasi hutan danlahan kritis pada DAS prioritas Ha (ribu) 703,05 1.600,00 229,22 742,36 1.252,88

Fasilitasi pembangunan hutanrakyat kemitraan untuk bahan baku industri pertukangan

Ha (ribu) n.a 250  51,51 102,07 158,42

Jumlah industri pertambangan,energi dan migas, agroindustridan manufaktur yang dipantaudan diawasi

Jumlahindustri

627  680  705  996  1.312 

Persentase capaian indeks

kualitas Lingkungan Hidup Nasional (IKLH)

(%) terhadap

IKLH max

59,79 70,00 61,07 60,25 n.a

Penurunan jumlah hotspot diPulau Kalimantan, Sumateradan Sulawesi berkurang 20% per tahun dari rata-rata tahun2005-2009

% 58.89 

(Titikrata-rata

2005 –  2009) 

67,20 83,42 51,65 45,11

Rencana Pengelolaan DASterpadu

unit n.a 108  22  58  95 

Kesinambungan sistem analisadata di bidang gempa bumi dantsunami

% 75  90  90  100  100 

Persentase pengguna informasi perubahan iklim dan kualitasudara

% 75  90  39  68  80 

Persentase tingkat kemampuan pelayanan data dan informasimeteorologi publik dan cuacaekstrem

% 45  80  50  66,67 78,78

Terlaksananya pemenuhankebutuhan logistik dan peralatan kebencanaan(prov/kota)

Lokasi 5  77  16  265  160 

Terbentuknya satuan reaksicepat (SRC-PB) 

lokasi 7  2  2  2  2 

Fasilitasi penetapan areal kerja pengelolaan HutanKemasyarakatan dan HutanDesa (ribu)  Ha (ribu)  78.24  2500  528,51 1.036,68 1.537,01 

Sumber: Bappenas (2013)

Page 18: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 18/62

14

III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Aspek lingkungan hidup telah menjadi perhatian serius dalam penilaian pembangunan

 berkelanjutan. Beberapa lembaga internasional bahkan telah mengembangkan berbagaimetode penilaian beserta indikator-indikator lingkungan hidup untuk menilai  progress 

 pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Yale University didukung oleh WorldEconomic Forum pada periode 2000-2005 mengembangkan  Environment Sustainable Index (ESI) yang terdiri dari 21 indikator. Dalam skor ESI ini, pada tahun 2005, Indonesia berada

 pada urutan ke 53 dari 146 negara.Setelah tahun 2005, ESI kemudian dikembangkan menjadi Environmental Performance

 Index  (EPI). EPI menggunakan 22 indikator lingkungan dengan 10 kategori (lihat Tabel 4).Berdasarkan ranking EPI ini, Indonesia berada pada urutan ke 74 dari 132 negara dari sisiskor EPI dan pada urutan ke 66 dari sisi perubahan skor EPI. Peringkat dan performalingkungan Indonesia selama periode 2006-2012 dapat dilihat pada Tabel 5. Namun

sayangnya, nilai skor dan peringkat yang dihasilkan tidak dapat dibandingkan secaralangsung antar tahun, karena adanya perubahan dalam metode penghitungan EPI .

Tabel 5 Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index (EPI)

Objective  Policy Category  Indicator 

EnvironmentalHealth 

Air (effects on human health) Indoor air pollution 

Particulate matter  

Water (effects on

human health) 

Access to drinking water  

Access to sanitation Environmental Health  Child mortality 

EcosystemVitality 

Air pollution SO2 emissions per capita 

SO2 emissions per $ GDP 

Water   Change in Water Quantity 

Biodiversity andhabitat 

Biome protection 

Marine protected areas 

Critical habitat protection 

Forests 

Forest loss 

Change in forest cover  

Forest growing stock  

Fisheries Coastal shelf fishing pressure 

Fish stocks overexploited 

Agriculture Agricultural subsidies 

Pesticide regulation 

Climate change 

CO2 emissions per capita 

CO2 emissions per $ GDP 

Electricity emissions per KWH 

Percent of energy production from renewables 

Sumber : http://epi.yale.edu

Page 19: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 19/62

15

Tabel 6 Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 2006-2012

Tahun  Peringkat EPI Indonesia  Skor 

2006  79 dari 133 negara  60.7 

2008  102 dari 163 negara  66.2 

2010  134 dari 149 negara  44.6 2012  74 dari 132 negara  - 

Sumber : http://epi.yale.edu

Pengukuran kualitas lingkungan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Padaawalnya pengukuran kualitas lingkungan hanya menjadi bagian dari ukuran yang lebih makro,seperti capaian  Milenium Development Goals  (MDGs) dan bagian dari indikator

 pembangunan berkelanjutan. Namun dalam perkembangannya, kemudian muncul indikatorkomposit yang secara khusus mengukur kualitas lingkungan. Dalam hal ini paling tidakditemukan dua indikator komposit yang dapat dipergunakan. Pertama adalah Indeks KualitasLingkungan (IKL) yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan kedua adalah Indeks

Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang dihitung oleh Kementrian Lingkungan Hidup.Kedua indikator tersebut bertujuan mengukur kualitas lingkungan hidup, namun denganmetode dan ruang lingkup yang berbeda. Uraian berikut membahas perkembangan danmetode yang dipergunakan pada beberapa ukuran kualitas lingkungan, mulai dari indikator

 parsial yang ada pada RPJMN 2010-2015 dan indikator pembangunan berkelanjutan, hinggaindikator komposit seperti IKL dan IKLH.

3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009

Pembangunan lingkungan menjadi salah satu isu penting dalam RPJMN 2004-2009.Pembangunan bidang lingkungan hidup dilaksanakan untuk dapat mencegah danmengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan

 pemanfaatan sumber daya alam. Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan dan penurunandaya dukung lingkungan, yang diantaranya diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk,

 pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pola kehidupan yang konsumtif, lemahnya penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya manusia. Persoalan lainyang dilakukan dalam pembangunan lingkungan hidup adalah antisipasi terhadap perubahaniklim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, longsor, dan bencanaalam lainnya.

Untuk mengatasi dan meminimalkan dampak aktivitas pembangunan dan perubahan

iklim tersebut terhadap lingkungan, dalam Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 telahdilaksanakan berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Pada RPJMN 2004-2009,indikator pembangunan lingkungan hidup paling tidak dapat ditemukan pada beberapa

 prioritas kegiatan, yaitu kebijakan lintas bidang perubahan iklim global, prioritas bidang perbaikan kualitas lingkungan hidup, prioritas bidang peningkatan konservasi dan rehabilitasisumber daya hutan, dan prioritas bidang: peningkatan kualitas informasi iklim dan bencanaalam serta kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dari sejumlah indikator yang ada

 pada beberapa prioritas kegiatan tersebut, dipilih beberapa indikator yang dipandang menjadifokus dari pembangunan lingkungan (Tabel 7).

Page 20: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 20/62

16

Tabel 7 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015

No Fokus Indikator

Sifat Indikator

Regu-

lasi

Input/

Proses

Out-

put

1 Pengendalian

Pencemaran UdaraJumlah industri pertambangan, energi dan migas yangdipantau dan diawasi

v

Jumlah agroindustri yang dipantau dan diawasi v

Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi v

Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH v

Jumlah penurunan beban pencemar udara dari industriyang dipantau dan diawasi

v

Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan v

2 PengendalianPencemaran UdaraDari Emisi danKebisinganKendaraan Bermotor

Jumlah peraturan perundangan yang ditetapkan v

Jumlah daerah (provinsi/kota) yang difasilitasi dalam penyusunan Peraturan Daerah tentang pengendalian pencemaran udara khususnya sumber bergerak

v

Jumlah kota yang difasilitasi dalam penerapan pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor(P&P)

v

Jumlah kebijakan sektor yang difasilitasi dalammendukung reduksi emisi (penetapan standar emisi dankebisingan, bahan bakar, manajemen transportasi,kendaraan tidak bermotor (NMT), uji emisi bagikendaraan pribadi, land use planning )

v

Jumlah kota yang dievaluasi kualitas udaranya v

Jumlah pembinaan teknis dalam pengendalian pencemaransumber bergerak

v

3 PengendalianPencemaran Air

Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yangdipantau dan diawasi Jumlah agroindustri yang dipantaudan diawasi

v

Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi v

Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH v

Jumlah izin pembuangan air limbah ke laut yangdikeluarkan

v

Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan v

4 PengendalianPencemaran LimbahDomestik

Jumlah kota metropolitan dan besar yang dipantau v

Jumlah ibukota provinsi yang dipantau v

Jumlah penurunan beban pencemar dari sumber limbahcair domestik dari kegiatan apartemen dan perumahanmewah di 3 propinsi (Banten, DKI Jakarta, dan JawaBarat)

v

Jumlah pedoman teknis di bidang pengelolaan limbahdomestik

v

% capaian peningkatan kinerja pengelolaan sampahmelalui pengawasan

v

% volume pengurangan sampah melalui 3 R v

5 Pengelolaan B3 danLimbah B3 KegiatanPertambangan,Energi, Minyak danGas

Jumlah produk perumusan kebijakan dan/atau standardan/atau pedoman pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan

 pertambangan, energi, minyak dan gas [Draft Permen LH]

v

Jumlah kegiatan pemantauan dan/atau analisis dan/atauevaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3 & limbahB3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas

v

Page 21: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 21/62

17

No Fokus Indikator

Sifat Indikator

Regu-

lasi

Input/

Proses

Out-

put

Jumlah perusahaan yang mendapat pengawasan kinerja penaatan pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas

v

Jumlah daerah dan/atau perusahaan yang mendapat bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas

v

Jumlah lingkup kegiatan dari seluruh ketentuan konvensiinternasional pengelolaan B3 dan Limbah B3

v

6 Pengelolaan B3 danLimbah B3Manufaktur,Agroindustri danJasa

Jumlah kebijakan, pedoman teknis yang diterapkandalam Pengelolaan Limbah B3 pada kegiatan manufakturdan agroindustri [dalam bentuk pedoman]

v

Jumlah pengawasan kinerja industri yang dilakukan pembinaan dan pengawasan

v

Jumlah daerah dan/ atau perusahaan yang mendapat

 bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatanmanufaktur agroindustri dan jasa

v

Jumlah lingkup kegiatan dalam pelaksanaan ketentuankonvensi internasional pengelolaan B3 dan limbah B3(dari seluruh ketentuan internasional yang ada)

v

7 PerlindunganAtmosfir danPengendalianDampak PerubahanIklim

Jumlah konsep kebijakan di bidang perlindungan atmosfirdan pengendalian dampak perubahan iklim

v

% penyiapan penyusunan perangkat untuk sektor yangakan mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukaninventori GRK & BPO

v

Jumlah sektor yang mendapatkan bimbingan teknis untukmelakukan inventori GRK & BPO

v

% penetapan baseline untuk pengurangan konsumsi BahanPerusak Ozon (BPO) - HCFC

v

% pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) -HCFC

v

Jumlah pemerintah daerah provinsi yang dilakukan pembinaan teknis untuk kajian kerentanan dan adaptasi perubahan iklim

v

Jumlah sektor dan daerah yang mendapatkan bimbinganteknis untuk melakukan kegiatan perlindungan atmosfirdan pengendalian dampak perubahan iklim

v

Implementasi konsep Program Kampung Iklim v

8 Pengendaliankebakaran hutan Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan PulauSulawesi berkurang 20% setiap tahun.

v

Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50%dibandingkan kondisi tahun 2008

v

Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakatdalam penanggulangan bahaya kebakaran hutan di 30DAOPS

v

9 PenyelenggaraanRehabilitasi Hutandan Lahan, danReklamasi Hutan diDAS Prioritas

Fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan pada DAS prioritas seluas 800.000 ha

v

Fasilitasi rehabilitasi lahan kritis pada DAS prioritasseluas 500.000 ha

v

Fasilitasi pengembangan hutan kota seluas 5.000 ha v

Fasilitas rehabilitasi hutan mangrove, gambut dan rawaseluas 295.000 ha

v

Page 22: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 22/62

18

No Fokus Indikator

Sifat Indikator

Regu-

lasi

Input/

Proses

Out-

put

10 PeningkatanKonservasiKeanekaragaman

Hayati

Jumlah dokumen laporan dan rekomendasi kebijakankonservasi keanekaragaman hayati

v

Jumlah rekomendasi kajian kebijakan konservasikeanekaragaman hayati diimplementasikan

v

Jumlah hasil rekomendasi pemantauan pelaksanaankebijakan konservasi keanekaragaman hayati yangditindaklanjuti

v

Jumlah daerah kegiatan pemantauan pelaksanaan kegiatankonservasi keanekaragaman hayati

v

Terfasilitasinya pengembangan program TamanKeanekaragaman Hayati di beberapa daerah

v

Berdasarkan sifatnya, indikator-indikator yang ada pada tabel 7 secara umum dapatdibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu yang bersifat regulasi, input/proses dan

indikator output. Dari 52 indikator, 16 indikator (30,77%) merupakan regulasi dan 29indikator (55,7%) merupakan indikator input/proses. Hanya 7 indikator (13,46%) yang masukke dalam kategori indikator output. Dengan sudut pandang ini, keberhasilan pembangunanlingkungan nampaknya masih dominan diukur dari sisi input atau prosesnya, belum dari sisioutputnya.

Indikator output yang dipergunakan juga tidak seluruhnya bersifat indikator, tetapilebih bersifat “statistik”, seperti “Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”. Indikator

seperti ini seperti ini memiliki kelemahan karena tidak dapat diperbandingkan secaralangsung antar waktu. Jika jumlah industri yang taat peraturan meningkat 10% tidak secaralangsung dapat diartikan bahwa telah terjadi keberhasilan. Ukuran keberhasilan jugaditentukan oleh pertumbuhan jumlah industri. Keberhasilan hanya dapat disimpulkan jika

 pertumbuhan jumlah industri lebih kecil dari 10%. Oleh karena ini, sebaiknya penggunaanindikator yang bersifat “statistik” dilengkapi juga dengan indik ator yang bersifat “indikator”,

misalnya menjadi “% jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”. 

3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Untuk membantu negara-negara dalam mengambil keputusan yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan, Komisi Pembangunan Berkelanjutan menyusun indikator pembangunan berkelanjutan sebagai acuan negara-negara dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pada tahun 1995, Komisi Pembangunan Berkelanjutan berhasil menyusun

sekitar 134 indikator pembangunan berkelanjutan dalam kerangka kerja Driving Force-State- Response. Pada tahun 2001, Divisi Pembangunan Berkelanjutan merevisi 134 indikator pembangunan berkelanjutan tersebut menjadi 58 indikator berdasarkan pengalaman dari beberapa negara yang telah menerapkan indikator tersebut. Indikator tersebut direvisikembali menjadi 50 indikator utama dan 46 indikator lain pada tahun 2007.

Indonesia, dalam hal ini Badan Pusat Statistik, (BPS) telah menelaah indikator-indikator yang dapat diimplementasikan dengan kondisi negara Indonesia, danmenyajikannya dalam bentuk publikasi khusus, yaitu Indikator Pembangunan Berkelanjutan.Dalam publikasi tersebut, BPS merilis 62 indikator yang mencakup berbagai dimensi

 pembangunan berkelanjutan. Dari 62 indikator tersebut terdapat beberapa indikator yang berkaitan dengan lingkungan, yaitu:

  Persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septik

Page 23: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 23/62

19

  Jumlah desa menurut keberadaan sungai yang melintasi desa dan permukiman kumuh

  Jumlah desa menurut jenis bencana alam

  Jumlah desa menurut upaya antisipasi bencana alam

  Jumlah korban bencana menurut kondisi korban

  Jumlah kerusakan rumah akibat bencana /

  Perkiraan emisi CO2 dari rumah tangga menurut jenis bahan bakar untuk memasak

  Perkiraan emisi CO2 yang berasal dari kendaraan bermotor

  Perkiraan emisi CH4 dari hewan ternak dan unggas

  Impor komoditi bahan yang mengandung zat perusak ozon

  Rata-rata bulanan hasil pengukuran konsentrasi gas SO2 dan NO2

  Luas lahan yang sementara tidak diusahakan

  Jumlah sebaran titik panas yang terdeteksi satelit

  Sebaran kawasan konservasi laut

  Luas dan kondisi terumbu karang

  Volume air bersih yang disalurkan perusahaan air bersih

  Kandungan maksimum biochemical oxygen demand  (BOD) dan chemical oxygendemand  (COD) pada air sungai

  Kawasan konservasi daratan

  Spesies satwa yang dilindungi

  Spesies tumbuhan yang dilindungi

  Persentase remitan terhadap pendapatan nasional

  Pemakaian energi termasuk biomassa

3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS

BPS telah memulai studi untuk mengukur kualitas lingkungan hidup denganmenyusun Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) pada tahun 2007. Studi ini kemudiandikembangkan dan disempurnakan lagi pada tahun 2008. Secara lebih rinci uraian berikutakan lebih memfokuskan pada penyusunan IKL 2008, sebagai studi paling akhir. Namununtuk melihat perkembangan studi yang dilakukan oleh BPS, juga disertakan perbandinganmetodologi antara IKL 2007 dengan IKL 2008.

3.3.1. Perbandingan IKL 2007 dan IKL 2008Terdapat beberapa perbedaan metodologi dalam penghitungan IKL 2007 dan IKL

2008, yaitu :

1.  Indeks Kualitas Udara (IKU). Parameter penyusun IKU 2007 adalah SO2 dan NO2,sementara parameter IKU 2008 terdiri dari CO dan NOx. Metodologi pun berbeda, bilakonsentrasi SO2 dan NO2 adalah hasil pengukuran Pusarpedal, maka konsentrasi CO dan

 NOx diperoleh dari hasil penghitungan konsumsi BBM kendaraan bermotor hasil SusenasModul Konsumsi 2008.

2.  Indeks Kualitas Air (IKA). IKA 2007 menggunakan 3 parameter yaitu BOD, COD, danDO, sementara IKA 2008 menggunakan 9 parameter yaitu BOD, COD, DO, NO3, NH3,

 pH, TDS, TSS, dan SO4. Seperti diketahui, pengambilan sampel air sungai dilakukan di beberapa titik. Pada IKA 2007, nilai yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai rata-rata dari beberapa sampel tersebut, sedang pada IKA 2008 nilai yang diambil adalah nilai

 pada saat kondisi terburuk.

3.  IKTp. Variabel sampah pada IKTp 2007 tidak dibagi dengan luas wilayah, pada IKTp2008 menjadi memperhitungkan luas wilayah. Variabel penampungan akhir tinja pada

Page 24: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 24/62

20

IKTp 2007 mengakomodir seluruh jenis penampungan, pada IKTp 2008 dibatasi hanyatangki SPAL saja.

4.  IKP, ini merupakan aspek baru pada IKL 2008 yang tidak ada pada IKL 2007.5.  IKL. Pemberian bobot untuk masing-masing matra pada IKL 2008 mengacu pada

Virginia Environmental Quality Index (VEQI), yaitu: IKA bobot 13, IKTP bobot 10 dan

IKP bobot 10. Sementara pada penghitungan IKL 2007, bobot pada masing-masing matradiasumsikan sama (setiap matra mempunyai kontribusi yang sama besar dalam

 penyusunan IKL).

3.3.2. Metode Penyusunan IKL 2008Berdasarkan data yang tersedia dari sumber data yang ada, beberapa variabel yang

menjadi komponen dalam penyusunan IKL adalah

Tabel 8 Komponen Penyusun IKL 2008

Faktor Variabel Keterangan

(1) (2) (3)

Kualitas Udara 1.  Konsentrasi NOx pada udara ambien Sumber data: BPS: SusenasModul Konsumsi, BMKG.Diolah berdasarkan tata cara prediksi polusi udara skalamikro akibat lalu lintas dengan penyesuaian pada penghitungankekuatan emisi

2.  Konsentrasi CO pada udara ambien

Kualitas Air 1.   Nilai maksimum kandungan BOD pada Sumber data: KLH

air sungai Diolah berdasarkan KeputusanMenteri Negara LingkunganHidup No. 115 Tahun 2003tentang Indeks Pencemar

2.   Nilai maksimum kandungan COD padaair sungai

3.   Nilai maksimum kandungan DO pada airsungai

4.   Nilai maksimum kandungan NO3 (Nitrat) pada air sungai

5.   Nilai maksimum kandungan NH3(Amoniak) pada air sungai

6.   Nilai maksimum pH pada air sungai

7.   Nilai maksimum kandungan TDS(Total Dissolved Solid ) pada air sungai

8.   Nilai maksimum kandungan TSS (TotalSuspensed Solid ) pada air sungai

9.   Nilai maksimum kandungan SO4 (Sulfat) pada air sungai

Kualitas TanahPemukiman

1.  Proporsi volume sampah per hari (m3)yang tidak terangkut per km2 .

Sumber data: Dinas KebersihanKota, BPS

2.  Persentase rumah tangga dengan tempat pembuangan akhir tinja berupatangki/Saluran Pembuangan AkhirLimbah (SPAL)

BPS, Susenas-Kor

Populasi Kepadatan penduduk per Ha BPS, Susenas-Kor

Page 25: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 25/62

21

IKL mengukur pencapaian kualitas lingkungan setiap ibukota provinsi  dari empatmatra lingkungan yaitu udara, air, tanah dan populasi. Nilai IKL berkisar antara 0 sampaidengan 100. Nilai ideal adalah 100, yang menggambarkan kualitas terbaik. Sementara nilai 0menggambarkan kualitas terburuk. Jarak nilai IKL suatu kota terhadap nilai ideal (100),mencerminkan kekurangan kualitas lingkungan kota tersebut, dan perbandingan nilai IKL

selama beberapa waktu akan memperlihatkan perbaikan atau kemunduran kualitaslingkungan suatu kota.

IKL mencakup empat matra yaitu udara, air, tanah, dan populasi dengan bobot padakeempat matra tersebut mengikuti pemberian bobot pada Virginia Environmental Quality

 Index (VEQI), yaitu:a.  Indeks Kualitas Udara (IKU) diberi bobot 18, sesuai dengan bobot udara pada VEQI.

Sementara IKU sendiri dihitung dari parameter CO dan NOX yang bobotnya menurutVEQI masing-masing adalah 11 dan 16.

 b.  Indeks Kualitas Air (IKA) diberi bobot 13, angka ini sama dengan bobot air permukaan pada VEQI. IKA sendiri dihitung dari 9 parameter (BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH,TDS, TSS dan SO4). Bobot untuk kesembilan parameter ini tidak tersedia pada VEQI,

sehingga dalam penghitungan IKA ini, dianggap semua parameter mempunyai bobotyang sama, masing-masing 1/9.

c.  Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) diberi bobot 10. Variabel pada IKTp adalahvolume sampah yang tidak terangkut per hari (m3) per km2, dan persentase rumah tanggadengan tempat pembuangan akhir tinja berupa tangki/SPAL). Karena kedua variabeltersebut berkaitan erat dengan aktivitas penduduk, maka bobot untuk IKTp sama dengan

 bobot populasi yaitu 10. Sementara untuk penghitungan IKTp sendiri, kedua variabel penyusun diberi bobot yang sama, masing-masing ½.

d.  Populasi, sesuai dengan bobot pada VEQI yaitu sama dengan 10. Populasi diwakili satuvariabel yaitu kepadatan penduduk per hektar dan dihitung indeksnya.

e.  Total bobot untuk IKL adalah 51.

Penghitungan Indeks Kualitas Udara (IKU)

1. Menghitung kekuatan emisi (Q):Penilaian tentang konsumsi bahan bakar diperoleh dari Susenas Modul Konsumsi tahun2008. Pada Susenas ini, kepada setiap rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor,ditanyakan jumlah konsumsi bahan bakar selama sebulan untuk kendaraan bermotor baikyang menggunakan bensin maupun solar. Data ini diolah hingga menghasilkan konsumsi

 bahan bakar setiap detik. Selanjutnya, untuk memperoleh kekuatan emisi (Q), konsumsi

 bensin dan solar dikalikan faktor emisi masing-masing.

2. Setelah nilai kekuatan emisi (Q) diperoleh, selanjutnya dihitung konsentrasi polutan (C)yang merupakan perkalian antara hasil bagi kekuatan emisi (Q) dan kecepatan angindengan eksponensial dari ketinggian sumber emisi (H). Ketinggian sumber emisi (H),yang merupakan ketinggian dari knalpot kendaraan bermotor, diperkirakan tingginyaadalah 0,3 meter. Sedangkan data kecepatan angin rata-rata dalam meter per detikdiperoleh dari hasil pengukuran BMKG di setiap ibu kota provinsi. Jarak jalan kereseptor ditentukan 0,1 km,dan stabilitas atmosfer dipilih kelas stabilitas siang haridengan kategori sedang. Penghitungan nilai kekuatan emisi (C) ini dilakukan masing-masing untuk kandungan CO dan Nox.

Page 26: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 26/62

22

3. Penentuan sub IKU untuk CO (IKUCO)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutuCO sebesar 30.000 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Tabel berikut menyajikanklasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO:

Tabel 9 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO

KlasifikasiKonsentrasi C

(Nilai C untuk CO)ai xi

Nilai sub

IKU untuk

CO

(1) (2) (3) (4) (5)

1 0 ≤C ≤30000  0,000333 x1 = C-0 100 - 902 30000 < C ≤60000  0,000667 x1= 30.000, x2 = C-30.000 89,99 - 70

3 60000 < C ≤90000  0,0010x1= 30.000, x2=30.000,x3= C-60.000

69,99 - 40

4 C > 90000 0,001333x1= 30000, x2=30000,x3= 30000, x4= C-90000

< 40

Bila konsentrasi CO mencapai sekitar 120.000 μg/m3 maka sub indeks CO sama dengan

0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai sub indeks = 0.

4. Penentuan sub IKU untuk NOx (IKU NOX)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu NO2 sebesar 400 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Klasifikasi C dan nilai sub IKUuntuk NOx ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 10 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx

Klasifi

kasi

Konsentrasi NOx

(Nilai C untuk NOx)

ai xiNilai sub IKU

untuk NOx(1) (2) (3) (4) (5)

1 0 ≤C ≤400  0,025 x1 = C-0 100 - 902 400 < C ≤800  0,05 x1= 400, x2= C-400 89,99 - 70

3 800 < C ≤1200  0,075 x1= 400, x2= 400, x3= C-800 69,99 - 40

4 C > 1200 0,01x1= 400, x2= 400, x3= 400, x4=

C-1.200< 40

Bila konsentrasi NOx mencapai sekitar 1.600 μg/m3 maka sub indeks NOx sama dengan

0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.

5. Selanjutnya ditentukan IKU yang merupakan rata-rata tertimbang dari nilai IKUCO  dannilai IKU NOX, dengan bobot untuk masing-masing komponen adalah 11 dan 16.

Penghitungan Indeks Kualitas Air (IKA)

Pada tahap awal, penghitungan IKA dilakukan untuk masing-masing komponen yangmenentukan kualitas air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4). Nilai IKAdihitung berdasarkan nilai Indeks pencemar (IP). Cara penghitungan IP dapat dilihat padalampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003. Evaluasi

terhadap nilai IP menurut lampiran keputusan tersebut adalah :a.  0 ≤ IP ≤ 1,0 = Kondisi baik (memenuhi baku mutu) 

Page 27: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 27/62

23

 b.  1,0 < IP ≤5,0 = Cemar Ringan c.  5,0 < IP ≤ 10 = Cemar sedang d.  IP > 10 = Cemar berat

Sama seperti penghitungan IKU, enam ketentuan yang digunakan dalam

 penghitungan IKA 2008 adalah sebagai berikut :a.  Kandungan BOD, COD, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4 pada air sungai merupakan

 pencemaran sedangkan kandungan DO dan pH dapat menggambarkan kualitas airtersebut. Dengan acuan bahwa kondisi ideal adalah tidak ada pencemaran atau  zero

emision atau IP = 0, maka kandungan BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH, TDS, TSSdan SO4 yang menghasilkan IP bernilai 0 adalah kondisi dengan kualitas terbaik,dengan kata lain indeks = 100.

 b.  Selanjutnya, nilai maksimum dari BOD, COD, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4, nilaiminimum DO dan nilai terburuk dari PH digunakan untuk menghitung nilai (IP).

c.   Nilai IP yang diperoleh digunakan sebagai dasar penghitungan IKA dengan rumusseperti telah dijelaskan di atas.

d.  Untuk nilai IP pada kategori baik (memenuhi baku mutu) atau klasifikasi pertamadengan rentang nilai IP 0 - 1 diberi nilai IKA dari 90 sampai dengan 100. Karena nilaiIP = 1 menghasilkan nilai IKA = 90, maka diperoleh nilai untuk pembobotnya = 10.

e.  Selanjutnya pembobot untuk kategori berikutnya adalah 10 ditambah kelipatan dari 5yaitu 15 dan 20.

f.  Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.

Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai IKA yang merupakan rata-rata darikeseluruhan nilai IKA komponen pencemaran air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS,TSS dan SO4). Penghitungan dengan metode rata-rata ini mencerminkan bahwa seluruhkomponen pencemar air memiliki bobot yang sama dalam penghitungan IKA.

Tabel 11 Klasifikasi IP dan Nilai IKA

Klasifikasi IP ai xi Nilai IKA

(1) (2) (3) (4) (5)

1 0 ≤IP ≤1  10 x1 = IP-0 100 - 902 1 < IP ≤5  15 x1 = 1, x2 = IP-1 89,99 –  303 >5 20 x1 = 1, x2 = 4, x3 = IP-5 <30

 Nilai IP = 6,5 ≈ Nilai IKA = 0. 

Penghitungan Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) 

Penghitungan IKTp menggunakan dua sub indeks, (1) Sub indeks volume sampahyang tidak terangkut per hari per km2 (IKTSampah) dan (2) Sub indeks persentase rumahtangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL (IKTTangki). Penjelasan untukmasing-masing sub indeks adalah sebagai berikut :  

1. Sub Indeks Volume sampah yang tidak terangkut per hari per km2 (IKTSampah).

a. Dikarenakan tidak adanya pedoman atau baku mutu nilai volume sampah perhari(m3) yang tidak terangkut per km2 (Y), maka digunakan klasifikasi sebagai

 berikut :0 ≤ Y ≤ 1 = Kondisi baik

Page 28: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 28/62

24

1 < Y ≤ 5 = Kondisi Sedang > 5 = Kondisi Buruk

 b. Sama halnya dengan penghitungan IKU dan IKA pada IKTSampah  klasifikasi pertama nilai indeksnya antara 90 sampai dengan 100. Karena 1 m3 sampah per

hari yang tidak terangkut per km2 nilai indeksnya = 90, maka bobot untuk kelas pertama = 10.

c. Untuk masing-masing klasifikasi nilai volume sampah perhari (m3) yang tidakterangkut per km2 tersebut di atas, diberikan bobot yang berbeda secara

 berjenjang. Pemberian bobot yang berbeda secara berjenjang dimaksudkan agarkota yang memiliki nilai volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut perkm2 yang menggambarkan kondisi kualitas tanah pemukiman yang lebih buruk

 berusaha untuk mencapai kondisi kualitas tanah pemukiman yang setingkat lebih baik dan seterusnya. Bobot yang digunakan adalah kelipatan 10 ditambahkelipatan 5 yaitu : 10, 15 dan 20.

d. Selanjutnya, dengan menggunakan metode Atkinson yang telah disesuaikan,dilakukan penghitungan nilai indeksnya seperti pada tabel berikut:

Tabel 12 Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah 

Klasifikasi Y Ai xi Nilai IKA

(1) (2) (3) (4) (5)

1 0 ≤Y ≤1  10 x1 = Y-0 100 - 902 1 < Y ≤5  15 x1 = 1, x2 = Y-1 89,9 –  303 > 5 20 x1 = 1, x2 = 4, x3 = Y-5 <30

Y = 6,5 ≈ Nilai IKTSampah = 0.

Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.

2. Sub Indeks Persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupatangki/SPAL (IKTTangki) diperoleh dari nilai persentase rumah tangga dengan

 penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL.

Selanjutnya dilakukan penghitungan IKTp yang merupakan nilai rata-rata dariIKTSampah dan IKTTangki.

Penghitungan Indeks Kepadatan Penduduk (IKP)

Berikut adalah tahapan penghitungan indeks kepadatan penduduk:a.  Kepadatan penduduk kurang dari atau sama dengan 96 jiwa per hektar diberi nilai

indeks = 100. Acuan 96 jiwa dikutip dari WHO yang mensyaratkan suatu wilayahdianggap mempunyai kepadatan ideal bila berpenduduk 96 jiwa per hektar.

 b.  Kepadatan penduduk yang lebih besar dari 96 jiwa per hektar, dihitung selisihnyaterhadap nilai 96. Selanjutnya, angka tersebut digunakan sebagai faktor pengurangterhadap indeks. Dengan demikian maka IKP merupakan hasil pengurangan antaranilai maksimal indeks (100) dengan selisih antara tingkat kepadatan eksisting dengantingkat kepadatan ideal.

Page 29: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 29/62

25

3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011)

Kerangka Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang diadopsi oleh KLH adalah Environmental Performance Index  (EPI), yang dikembangkan oleh Virginia Commonwealth

University  (VCU) dan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) yang dikembangkan oleh BPS.

IKLH menggunakan kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan sebagai indikator.Karena keterbatasan data, kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan laut serta kondisikeanekaragaman hayati tidak dimasukkan dalam perhitungan IKLH

Konsep IKLH, seperti yang dikembangkan oleh BPS pada tahun 2007, hanyamengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dantutupan hutan. Berbeda dengan BPS, IKLH dihitung pada tingkat provinsi sehingga akandidapat indeks tingkat nasional. Perbedaan lain dari konsep yang dikembangkan oleh BPSdan VCU adalah setiap parameter pada setiap indikator digabungkan menjadi satu nilaiindeks. Penggabungan parameter ini dimungkinkan karena ada ketentuan yang mengaturnya,seperti:

a.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang

Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Pedoman ini juga mengatur tatacara penghitungan indeks pencemaran air (IPA).

 b.  Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep- 45/MENLH/10/1997tentang Indeks Pencemar Udara.

Tabel 13 Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011

No.  Indikator  Parameter  Bobot  Keterangan 

(1) (2) (3) (4) (5)

1.  Kualitas Udara 1/3

SO2 0,5 NO2 0,5

2.  Kualitas Air Sungai 1/3 pH   Dihitung nilai Indeks

Pencemaran Air (IPA) 

  Parameter yang dihitung dalamIKLH 2009, 2010,dan2011adalah TSS, DO, dan COD 

TDSTSS*)DO*)BODCOD*) NO2 NO3 NH3

FosfatFenolDetergen

3.  Tutupan Hutan 1/3Luas Hutan Primer Total luas hutan primer dan

sekunderLuas Hutan Sekunder

 Nilai IKLH untuk setiap provinsi diperoleh dari rata-rata seluruh komponen IKLH (IPA,IPU dan ITH). Dengan demikian, maka seluruh komponen memiliki bobot yang sama dalammenentukan nilai IKLH. Setelah didapatkan nilai indeks provinsi kemudian dihitung indeksnasional dengan menggunakan rata-rata tertimbang. Proporsi jumlah penduduk pada masing-

masing provinsi terhadap penduduk Indonesia dijadikan sebagai penimbang dalam penghitungan IKLH nasional.

Page 30: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 30/62

26

Perhitungan nilai indeks kualitas air dan udara mengacu pada baku mutu atau standaryang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (baku mutu air dan baku mutu udara ambien).Sedangkan untuk indeks tutupan lahan/hutan menggunakan standar luas kawasan hutan disetiap provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Karena luas kawasan hutan yangditetapkan baru ada untuk 30 provinsi, maka bagi provinsi-provinsi pemekaran nilai indeks

setiap indikatornya digabungkan dengan provinsi induknya.

Penghitungan Indeks Pencemaran Air sungai (IPA)

Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkanKeputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang PedomanPenentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain mengenai

 penentuan status mutu air dengan metode indeks pencemaran (Pollution Index –  PI).Menurut definisinya PI j adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang merupakan

fungsi dari Ci/Lij, dimana Ci  menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan dalam baku peruntukan

air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Airdan Pengendalian Pencemaran Air.

Evaluasi terhadap PIj adalah sebagai berikut:a.  Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 ≤ PIj ≤ 1,0

 b.  Tercemar ringan jika 1,0 < PIj ≤ 5,0

c.  Tercemar sedang jika 5,0 < PIj ≤ 10,0

d.  Tercemar berat jika PIj > 10,0.

Pada prinsipnya nilai PI j> 1 mempunyai arti bahwa air sungai tersebut tidakmemenuhi baku peruntukan air j, dalam hal ini mutu air kelas II. Penghitungan indekskualitas air dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a.  Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap sebagai satu sampel; b.  Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter TSS, DO, dan COD;c.  Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PIj > 1, terhadap total jumlah

sampel pada tahun yang bersangkutan.d.  Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik  –   terburuk) jumlah

sampel dengan nilai PIj > 1, menjadi nilai indeks dalam skala 0  –   100 (terburuk  –  terbaik).Pemantauan setiap sungai paling sedikit dilakukan empat kali setahun pada tiga lokasi

sehingga setidaknya ada 12 sampel (data) kualitas air sungai setiap tahunnya. Setiap provinsidiwakili oleh satu sungai yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut:a.  Sungai tersebut lintas provinsi, atau

 b.  Sungai prioritas untuk dikendalikan pencemarannya.

Penghitungan Indeks Pencemaran Udara (IPU)

Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan di 243 ibukota kabupaten/kotadengan menggunakan metode passive sampler. Dilakukan empat kali per tahun di lokasi-lokasi yang mewakili daerah permukiman, industri, dan padat lalu lintas kendaraan bermotor.

Sedangkan parameter yang diukur adalah SO2 dan NO2. Nilai konsentrasi tahunan setiap parameter adalah rata-rata dari nilai konsentrasi triwulanan. Selanjutnya nilai konsentrasi

Page 31: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 31/62

27

rata-rata tersebut dikonversikan menjadi nilai indeks dalam skala 0  –   100 untuk setiap provinsi. Dengan demikian diperoleh nilai IP NO2  dan IPSO2  untuk masing-masing provinsi.Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai indeks pencemaran udara (IPU) yang merupakanrata-rata dari IP NO2 dan IPSO2.

Penghitungan Indeks Tutupan Hutan (ITH)

Indeks tutupan hutan (ITH) merupakan persentase antara luas hutan primer (LHP) danhutan sekunder (LHS) terhadap luas kawasan hutan (LKH) berdasarkan keputusan MenteriKehutanan. Sama seperti indeks yang lain, penghitungan ITH juga dilakukan untuk masing-masing provinsi. Oleh karena itu, khusus untuk DKI Jakarta, yang tidak memiliki kawasanhutan, nilai ITH dihasilkan dengan memperbandingkan antara luas hutan kota dengan 10

 persen luas wilayah.

3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012)

Dalam perkembangannya, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang dihitung olehKementrian Lingkungan Hidup kemudian mengalami perubahan pada tahun 2012. Perubahan

 penghitungan IKLH pada tahun 2012 terkait dengan perubahan metode perhitungan indeksdan penambahan parameter yang dipergunakan.

Pada metode penghitungan indeks dilakukan perubahan dalam hal metodologi perhitungan indeks. Penghitungan indeks yang awalnya menggunakan bobot yang samauntuk setiap komponen (IPA, IPU dan ITH), maka pada penghitungan IKLH tahun 2012

 bobot setiap komponen dapat berbeda. Komponen tutupan hutan (ITH) dipandang memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dua komponen lainnya, sehingga diberikan bobot yanglebih tinggi yaitu 40 persen dari total IKLH. Sedangkan dua komponen yang lain (IPA dan

IPU) dipandang memiliki peran yang seimbang, masing-masing diberi bobot 30 persen daritotal IKLH.

Perubahan lainnya dalam metode penghitungan indeks adalah dengan menentukanbenchmark  dari nilai maksimum, minimum, median dan rerata. Guna memperoleh hasil yanglebih baik, pendekatan statistik juga dimanfaatkan untuk melakukan penapisan pencilan(outlier) dan konsistensi deret waktu (time series consistency).

Selain perubahan metode penghitungan indeks, juga dilakukan perubahan pada parameter yang dipergunakan dalam menyusun IKLH. Pada penghitungan indeks pencemaran udara (IPU), selain menggunakan parameter NO2 dan SO2, juga ditambahkan parameter NOx dan SOx. Untuk indeks pencemaran air (IPA), selain menggunakan parameter TSS, DO dan COD, juga ditambahkan parameter BOD, total fosfat, fecal coli dantotal coliform.

Dalam metode IKLH 2012, selain penghitungan nilai IKLH, juga ditetapkan klasifikasikualitas lingkungan hidup ke dalam 7 (tujuh) kategori. Kategori paling rendah adalahwaspada, dan yang paling tinggi adalah kategori unggul. Penentuan klasifikasi dilakukansebagai berikut :

  Unggul; IKLH > 90

  Sangat baik; 82 < IKLH ≤ 90 

  Baik; 74 < IKLH ≤ 82 

  Cukup; 66 ≤ IKLH ≤ 74 

  Kurang; 58 ≤ IKLH < 66 

  Sangat Kurang; 50 ≤ IKLH < 58   Waspada; IKLH < 50

Page 32: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 32/62

28

Sebagai perbandingan, metode yang dipergunakan dalam penghitungan IKLH tahun2012 juga diimplementasikan untuk data tahun 2011. Dengan demikian, metode baru inidapat memperbandingkan kondisi pada tahun 2012 dengan kondisi pada tahun 2011. Hasillengkap penghitungan IKLH tersebut ditampilkan pada Tabel 16.

Tabel 14 Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012

Provinsi

2011 2012

IPU IPA ITH IKLHPering-

katIPU IPA ITH IKLH

Pering-

kat

Aceh 90.96 53.68 75.06 73.42 11 89.65 57.00 74.15 73.65 9

Sumatera Utara 89.60 60.19 47.20 63.82 20 85.50 62.00 46.06 62.67 20

Sumatera Barat 91.05 61.90 67.24 72.78 12 86.02 59.29 65.36 69.74 13

Riau 67.07 55.60 60.49 61.00 23 51.91 54.30 54.81 53.79 28

Jambi 90.33 58.86 51.85 65.50 19 84.49 55.00 48.29 61.16 21

Sumatera Selatan 89.34 60.80 34.52 58.85 26 84.06 55.00 34.68 55.59 27Bengkulu 87.80 64.10 59.14 69.23 15 87.26 57.40 56.54 66.01 16

Lampung 87.23 62.96 30.19 57.13 28 78.44 53.29 31.15 51.98 30

Bangka Belitung 89.52 61.85 39.44 61.19 22 83.93 59.50 37.85 58.17 25

Kepulauan Riau 90.82 60.88 57.23 68.40 16 89.46 61.00 56.09 67.57 14

DKI Jakarta* 47.21 35.65 30.11 36.90 33 44.31 41.05 27.99 36.80 33

Jawa Barat 71.03 46.27 38.24 50.49 31 65.53 43.75 38.49 48.18 31

Jawa Tengah 81.93 48.23 48.27 58.36 27 79.27 52.40 53.66 60.96 22

DI. Yogyakarta 78.51 42.03 34.15 49.82 32 83.65 49.04 33.59 53.25 29

Jawa Timur 73.84 57.94 51.72 60.22 25 68.88 57.09 52.93 58.96 24

Banten 74.05 51.04 37.92 52.70 30 53.13 53.50 36.95 46.77 32

Bali 80.15 56.15 39.32 56.62 29 83.64 61.50 38.87 59.09 23

 Nusa Tenggara Barat 89.51 47.25 62.83 66.16 18 86.20 54.00 61.74 66.76 15 Nusa Tenggara Timur 92.19 56.73 57.31 67.60 17 87.84 54.82 56.70 65.48 18

Kalimantan Barat 95.38 63.63 64.87 73.65 10 89.19 63.25 61.89 70.49 12

Kalimantan Tengah 93.26 54.69 76.58 75.02 8 88.48 54.25 71.00 71.22 11

Kalimantan Selatan 88.69 54.32 45.15 60.96 24 77.46 53.26 43.80 56.74 26

Kalimantan Timur 87.35 50.88 82.36 74.42 9 83.94 51.39 83.69 74.07 7

Sulawesi Utara 90.77 55.95 63.54 69.43 14 84.90 53.85 60.00 65.62 17

Sulawesi Tengah 89.07 59.93 91.11 81.15 3 87.96 70.00 88.16 82.65 1

Sulawesi Selatan 91.42 53.44 50.21 63.54 21 87.98 61.00 50.05 64.72 19

Sulawesi Tenggara 90.00 54.75 87.08 78.26 4 84.65 56.50 85.83 76.68 5

Gorontalo 95.06 53.50 83.83 78.10 5 89.17 52.19 81.22 74.90 6

Sulawesi Barat 88.89 55.84 69.75 71.32 13 87.03 60.84 67.86 71.51 10

Maluku 95.01 48.93 81.45 75.76 7 89.71 48.67 81.02 73.92 8

Maluku Utara** 96.94 54.63 80.98 77.86 6 96.94 57.57 79.71 78.24 4

Papua Barat 92.51 64.50 92.54 84.12 1 91.03 54.50 92.52 80.67 3

Papua 91.07 49.43 98.91 81.72 2 90.19 55.00 96.97 82.34 2

Nasional 65.50 64.21

Sumber : Kementrian Lingkungan HidupCatatan : IPU (Indeks Pencemaran Udara); IPA (Indeks Pencemaran Air); ITH (Indeks Tutupan Hutan)

Page 33: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 33/62

29

Tabel 15 Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (Kementrian Lingkungan Hidup)

KeteranganIKL (BPS) IKLH (Kemen LH)

2007 2008 2009-2011 2012

Metode yangdiadopsi

Virginia EnvironmentalQuality Index (VEQI) 

Virginia Environmental QualityIndex (VEQI) 

Environmental Performance Index  (EPI), EPIVirginia Environmental Quality Index (VEQI)  VEQIIndeks Kualitas Lingkungan (IKL) Indeks Kualitas Lingkungan (IKL)

Ruang LingkupPerhitungan

Ibukota Provinsi Ibukota Provinsi Provinsi ProvinsiNasional Nasional

Parameteryangdigunakan

Kualitas Udara (IKU) Kualitas Udara (IKU) Kualitas Udara Kualitas Udara1. Konsentrasi SO2 1. Konsentrasi NOx 1. Konsentrasi SO2 1. Konsentrasi SO22. Konsentrasi NO2 2. Konsentrasi CO 2. Konsentrasi NO2 2. Konsentrasi NO2Kualitas Air (IKA) Kualitas Air (IKA) 3. Konsentrasi SOx

1. Nilai maks BOD 1. Nilai maks BOD 4. Konsentrasi NOx2. Nilai maks COD 2. Nilai maks COD3. Nilai maks DO 3. Nilai maks DO Kualitas Air Sungai Kualitas Air Sungai

4. Nilai maks NO3 (Nitrat) 1. Nilai maks TSS 1. Nilai maks TSS5. Nilai maks NH3 (Amoniak) 2. Nilai maks DO 2. Nilai maks DO6. Nilai maks pH 3. Nilai maks COD 3. Nilai maks COD7. Nilai maks TDS 4. Nilai maks BOD8. Nilai maks TSS 5. Nilai maks Total Fosfat9. Nilai maks SO4 6. Nilai maks Fecal Coli

Kualitas Tanah Pemukiman(IKTp)

Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) 7. Nilai maks Total Coliform

1. Proporsi volume sampahper hari (m3) yang tidakterangkut

1. Proporsi volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut perkm2.

2. % RTdgn pembuanganakhir tinja berupa tangki(SPAL) dan lainnya

2. % RTdgn pembuangan akhirtinja berupa tangki (SPAL)

Populasi (IKP)

1. Kepadatan penduduk per HaTutupan Hutan Tutupan Hutan1. Luas Hutan Primer 1. Luas Hutan Primer2. Luas Hutan Sekunder 2. Luas Hutan Sekunder

Pembobotanantar Matra

Sama Berbeda (IKU=18; IKA=13;IKTp=10; IKP=10; Total=51)

Sama Berbeda (IPU=30%; IPA=30%;ITH=40%; Total=100%)

Page 34: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 34/62

30

3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP )

Penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) yang dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa akhir( final product ) yang memberikan gambaran mengenai struktur perekonomian dan

 pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. PDB/PDRB konvensional ini dikenal denganPDB/PDRB cokelat ( Brown GDP ). PDRB belum memasukkan aspek penipisan sumber dayaalam (deplesi) dan kerusakan lingkungan (degradasi). Sumber daya alam yang dieksploitasidan menjadi input pada kegiatan ekonomi tidak pernah dihitung nilai penyusutannya.Demikian juga dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang memerlukan biaya

 pemulihan dan pemeliharaan tidak pernah dihitung sebagai biaya yang seharusnyamengurangi besaran pendapatan

Buku sistem pendapatan nasional, SNA 2008, membahas tentang Sistem Pendapatan Nasional yang diperluas dengan memasukkan komponen penipisan sumber daya alam dengandegradasi lingkungan. Integrasi PDRB dengan penipisan sumber daya alam dan degradasilingkungan dapat dilakukan dengan cara membuat neraca terpisah sebagai bagian dari sistem

 pendapatan nasional. Neraca terpisah atau neraca satelit ini merupakan suatu neraca yangmengintegrasikan neraca pendapatan nasional dan neraca lingkungan yang dinamakanSatellite System for Integrated Environmental and Economic Accounting   (SEEA). Dengankata lain, SEEA merupakan perluasan sistem pendapatan nasional yang memasukkan unsursumber daya alam dan lingkungan. Aktivitas ekonomi membutuhkan sumber daya alamsebagai aset produksi, sehingga di dalam kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa tidaksaja menggunakan aset buatan manusia yang berpengaruh (misalnya mesin-mesin, gedung,alat transpor) tetapi juga aset alam (sumber daya mineral, sumber biota alam seperti hutan,ikan, udara, air, tanah).

Dalam SEEA, aset alam dibagi atas dua bagian yaitu aset alam yang bersifat ekonomisdan yang tidak bersifat ekonomis. Aset alam ekonomis adalah aset alam yang keberadaannya

telah bisa dikontrol oleh pemiliknya. Hak kepemilikan ini biasanya telah diatur secara resmioleh pemerintah, dikuasai oleh para pelaku ekonomi. Aset alam ekonomis apabila diputuskanuntuk diolah dalam proses produksi akan memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Contohaset alam ekonomis adalah barang-barang fisik dan mineral (minyak bumi, gas alam, batu

 bara, timah dan tembaga) yang siap ditambang, hutan yang dikuasai oleh pengusaha hutan(HPH), tanah pertanian, air dalam reservoir, ikan dalam kolam, tambak, danau dan laut yangdikuasai.

Selanjutnya aset alam yang non ekonomis atau disebut juga sebagai aset lingkunganadalah semua aset yang keberadaannya di luar kontrol manusia, atau terjadi secara alamiah.Contoh aset ini adalah barang-barang mineral yang sudah diidentifikasi keberadaannyanamun secara ekonomis belum dapat ditambang, ikan dalam laut lepas, flora dan fauna liar,kayu pada areal hutan dan sebagainya. Aset lingkungan ini biasanya tidak diketahui besaranstoknya, namun setiap pengambilan barang-barang alam ini untuk kemudian diolah, akanmengurangi stok di alam atau menipiskan persediaan cadangan dan sekaligus akan membawadampak pada penurunan kualitas lingkungan sehubungan dengan kegiatan pengambilannya.

Pemakaian aset alam ekonomis dan aset lingkungan untuk kegiatan produksi dalamSEEA diperhitungkan sebagai komponen penyusutan seperti halnya penyusutan pada barangmodal tetap. Dalam PDB konvensional, penyusutan ini tidak diperhitungkan sehingga

 pemakaian aset alam tersebut tidak mempengaruhi besaran PDB. Apabila penyusutan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan yang timbul karena kegiatan ekonomi diperhitungkansebagai unsur pengurang dari PDB konvensional ( Brown GDP ), akan menjadi

 Environmentally Adjusted Domestic Product atau EDP (Green GDP ) atau Produk Domestik

Page 35: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 35/62

31

Regional Neto 2 (PDRN 2). Konsep inilah kemudian yang diadopsi oleh BPS dalammenghitung PDB Hijau (Green GDP ).

Secara nasional, BPS telah melakukan studi untuk menghitung Produk Domestik Neto2 (PDN2). Sebelum menghitung PDN2, terlebih dahulu dihitung PDN1, yaitu ProdukDomestik Neto dikurangi dengan deplesi sumber daya alam. Sumber daya alam yang dicakup

dalam studi meliputi sumber daya hutan dan sumber daya mineral yang terdiri dari minyak bumi, gas alam, batubara, bauksit, timah, emas, perak dan bijih nikel. Selanjutnya dihitungnilai PDN2, yaitu PDN1 dikurangi dengan degradasi lingkungan. Degradasi lingkungandalam studi dihitung dengan pendekatan adanya emisi gas rumah kaca (GRK) yangmerupakan dampak negatif dari aktivitas ekonomi. Gas rumah kaca yang dihitung hanyameliputi CO2 dan CH4 yang meliputi deforestasi, kerusakan hutan dan kebakaran hutan,kerusakan lahan sawah (CH4), penggunaan pupuk urea (CO2), konsumsi bensin, solar,minyak tanah, LPG, batubara dan briket batubara untuk industri dan transportasi (BPS, 2012).

 Namun studi yang dilakukan oleh BPS ini hanya mengukur PDB hijau pada level nasional, belum mendistribusikannya pada level provinsi.

Tabel 16 Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau

Uraian  2005  2006  2007  2008  2009  2010 

PDB  2,774,281  3,339,217  3,950,893  4,948,688  5,603,871  6,422,918 

PDN  2,635,567  3,172,256  3,753,349  4,701,254  5,323,678  6,101,772 

PDN1  2,463,798  3,001,153  3,563,258  4,445,758  5,096,554  5,853,609 

PDN2  2,387,578  2,938,687  3,512,469  4,376,022  4,958,581  5,786,735 

(PDN / PDB) x 100  95.00  95.00  95.00  95.00  95.00  95.00 

(PDN1 / PDB) x 100  88.81  89.88  90.19  89.84  90.95  91.14 

(PDN2 / PDB) x 100  86.06  88.01  88.90  88.43  88.48  90.10 

Sumber : BPS (2012)

Pada kajian yang lain, Kementrian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan  Dannish

 International Development Agency (DANIDA), melalui kegiatan  Environmental Support

 Programme  (ESP), juga telah memulai proyek percontohan untuk memperkirakan PDRBhijau di tingkat lokal sebagai langkah awal untuk melaksanakan perhitungan PDRB dan PDBHijau. Kegiatan diawali dengan diskusi kelompok terfokus / FGD yang diadakan di Jakartadengan melibatkan banyak ahli yang sebelumnya telah terlibat dalam penghitungan PDRBdan PDB di Indonesia, ahli yang memiliki latar belakang dan pengalaman dalam pengelolaanlingkungan, dan staf pemerintah dari berbagai kementrian yang telah menggunakan angkaPDRB/PDB.

Untuk tujuan uji coba metodologi, pemerintah daerah yang dipilih adalah Provinsi Balidengan alasan adanya kesediaan pemerintah daerah untuk mendukung uji coba, ketersediaandata, dan tersedianya sumber daya manusia yang telah mengikuti pelatihan tentang caramembuat PDRB hijau. Dari proyek percontohan, pelajaran, ide-ide dan metode yang telahdiperoleh dan dapat diterapkan dalam menciptakan PDRB Hijau Provinsi Bali dan PDB HijauIndonesia.

Kerangka umum yang dipergunakan dalam studi DANIDA-KLH hampir sama denganyang dipergunakan oleh BPS, dimana PDRB/PDB Hijau setara dengan nilai PDRB/PDBkonvensional dikurangi nilai total deplesi sumber daya alam dan degradasi jasa lingkungan.Perbedaan yang paling mendasar antara penghitungan adalah penempatan komponen

 penyusutan modal buatan (depresiasi modal buatan). BPS memasukkan komponen inisebagai pengurang PDB/PDRB konvensional, sedangkan DANIDA-KLH melakukan yang

Page 36: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 36/62

32

sebaliknya. Tidak dimasukkannya komponen ini didasari oleh alasan bahwa PDRB/PDBHijau berkaitan dengan produk domestik bruto (PDB), bukan produk nasional bruto (national

domestic product /NDP). Dengan demikian, secara matematis, perhitungan PDB/PDRB Hijauyang dilakukan oleh DANIDA-KLH merupakan hasil pengurangan antara PDRBKonvensional dengan deplesi sumber daya tak terbarukan (mineral dan batubara), deplesi

sumber daya terbarukan (kehutanan dan perikanan) dan degradasi lingkungan.Dalam studi kasus di Provinsi Bali, nilai CGRDP Provinsi Bali diperoleh dari publikasi

yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Perhitungan penipisan/deplesisumber daya tak terbarukan (pertambangan dan produk penggalian seperti batu, pasir dankerikil)akan diperoleh dengan mengalikan volume fisik produk di ekstraksi dengan masing-masing harga per unit atau rente ekonomi, sedangkan menipisnya sumber daya alamterbarukan (kayu, ikan dan air) dapat ditemukan dengan mengalikan total komoditas sumberdaya yang di ekstrak dengan harga satuannya masing-masing.

Degradasi lingkungan dibedakan menjadi degradasi sumber daya lahan, sumber dayaair, dan sumber daya udara. Degradasi lahan terkait dengan adanya kegiatan penggalian,konversi lahan dan penurunan kesuburan tanah yang menyebabkan turunnya daya dukung

lingkungan. Dalam penghitungan PDRB Hijau Provinsi Bali, degradasi lahan dihitung darilahan kritis yang disebabkan oleh galian C (penggalian pasir dan kerikil), penurunankesuburan lahan pertanian akibat eksploitasi pertanian, serta penurunan fungsi lingkunganakibat adanya konversi lahan. Degradasi sumber daya udara dihitung berdasarkan penurunankualitas udara karena CO2 yang berasal konsumsi bahan bakar untuk kendaraan bermotor(transportasi) dan konsumsi rumah tangga. Komponen lain yang menjadi bagian dari

 penghitungan degradasi sumber daya udara adalah yang berasal dari gas methan (CH4) yang berasal dari pertanian dan peternakan. Degradasi lingkungan juga memperhitungkan penurunan kualitas air dan hutan yang terdegradasi akibat illegal logging .

Tabel 17 PDRB Hijau Bali, 2010

No.  Item  Juta Rupiah 

1.  PDRB konvensional ( Brown GRDP )  66.690.598,00 2.  Deplesi Sumber Daya Alam  1.776.471,00 3.  PDRB Semi Hijau (Semi Green GRDP )  64.914.127,00 4.  Degradasi lingkungan  1.251.732,02 5.  PDRB Hijau (Green GRDP )  63.662.394,98 6.  Penduduk Pertengahan tahun 2010  3.890.757 7.  PDRB Hijau per Kapita  16,36 8.  PDRB Konvensional per Kapita  17,14 

Sumber : DANIDA 2012

Metode yang dipergunakan untuk menghitung PDRB Hijau di Provinsi Bali inikemudian diterapkan untuk menghitung PDB hijau pada tingkat nasional. Namun upayauntuk melakukan hal ini masih menghadapi banyak kesulitan. Isu tentang ketersediaan data diseluruh wilayah dan lintas sektor menjadi kendala utama. Data yang dibutuhkan tidak selalutersedia sesuai kebutuhan studi PDB Hijau. Selain deplesi produk yang sama mungkinmemiliki satuan pengukuran yang berbeda,juga banyak data yang tidak tersedia karena

 penelitian terkait dengan penilaian terhadap pencemaran lingkungan dan degradasi sangatterbatas.

Page 37: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 37/62

33

Tabel 18 PDB Hijau Indonesia, 2009

No.  Item  (Miliar Rupiah) 1  PDB Konvensional (Brown GDP)  5.606.203,40 2  Deplesi Sumber Daya Alam  1.066.079,94 3  PDB Semi Hijau (Semi Green GDP )  4.540.123,46 

Degradasi Lingkungan: 4  Degradasi Udara dari hutan (CO2)  12.235,13 5  Degradasi Udara dari kendaraan (CO2)  6.800,03 6  Degradasi Udara dari rumah tangga (CO2)   Na 7  Degradasi Udara dari pertanian padi (CH4)   Na 8  Degradasi Udara dari peternakan (CH4)   Na 9  PDB Hijau (Green GDP )  4.521.088,30 

Sumber : DANIDA 2012

3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah

Hingga saat ini penghitungan IKLH hanya dilakukan oleh Kementrian LingkunganHidup dengan analisis sampai pada tingkat provinsi. Tidak adanya aturan yang mengikattentang penghitungan IKLH di daerah mempengaruhi belum munculnya inisiasi daerah(terutama kabupaten/kota) untuk mengukur kualitas lingkungannya dengan menggunakanIKLH. Ukuran kualitas lingkungan daerah hanya menggunakan indikator yang tercantumdalam Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD). Sebagian besar indikator penghitunganIKLH tercantum dalam SLHD, sehingga pengembangan SLHD akan membantumenghasilkan IKLH daerah.

Karena belum adanya penghitungan IKLH di daerah, maka peluang, tantangan dankendala dalam penerapan IKLH di daerah digali melalui diskusi dengan beberapa stakeholder  yang terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah dan beberapa institusiadat. Diskusi dilakukan di beberapa daerah yaitu Kota Balikpapan. Berdasarkan hasil diskusitersebut dapat disarikan beberapa tantangan dan kendala implementasi IKLH di daerah,sebagai berikut:

  Ketersediaan data penunjang penghitungan IKLH masih sangat terbatas. Keterbatasandata terutama dialami untuk indikator yang terkait dengan biomassa dan tutupan hutan.Data kependudukan dan demografi dalam penghitungan SLHD juga mengalami persoalanlag data, dimana data yang tersedia adalah data tahun sebelumnya, bukan tahun berjalan.Data yang tersedia juga masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Keterbatasan kuantitas dankualitas data ini terkait dengan minimnya peralatan, pendanaan dan sumberdaya manusiayang menangani urusan lingkungan. Proses mutasi pegawai yang tidak liniermengakibatkan pegawai yang sudah memiliki keahlian di bidang lingkungan dimutasikanke unit kerja yang tidak berhubungan dengan lingkungan.

  Keterbatasan pembiayaan oleh daerah dalam hal pengukuran kualitas lingkungan dapatdisiasati dengan menggandeng pihak swasta, terutama yang terkait dengan kegiatanusahanya, seperti pengukuran emisi udara dari cerobong asap dan pengukuran kualitas airsungai tempat buangan limbah.

  Indikator lingkungan yang dihasilkan selama ini pemanfaatannya masih belum optimal didalam mengukur capaian pembangunan daerah. Implementasi IKLH di daerah akansangat bermanfaat apabila indikator ini disebutkan secara mengikat di dalam dokumen

 perencanaan nasional, sehingga pada akhirnya juga akan mengikat pada perencanaan pembangunan daerah. Kalimantan Timur, dalam menyusun dokumen

Page 38: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 38/62

34

 perencanaannya(RPJMD) ke depan, sudah mulai memasukkan indikator lingkungansebagai salah satu target capaian pembangunan daerah. Internalisasi indikator lingkungandalam dokumen perencanaan (RPJMD) sudah dilakukan oleh Kota Surabaya. Indikatoryang dimasukkan meliputi indikator kualitas air, udara, ruang terbuka hijau serta

 pengelolaan sampah.

Tabel 19 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya 

Indikator Kondisi

Awal 

Kondisi

Akhir 

Persentase Luas RTH yang berfungsi Optimal terhadap keseluruhanluas RTH yang ada 

16.13%  51, 88 % 

Cakupan layanan Kebersihan  163/175 175/175

Jumlah sampah yang dikelola di TPA  1241.8  1180.94 Rata –  rata jumlah sampah yang diangkut dari TPS (m3)  3625.07  3447.41 Kualitas air limbah industri 

BOD 54.64%  76% COD 55.67%  70% TSS 47.66%  72% 

Kualitas air limbah domestik  BOD 21.45% 52%TSS 25.02% 54%

Kualitas air limbah RS BOD 21.71% 70%COD 37.62% 70%TSS 28.14% 72%

Kualitas air limbah hotel BOD 22.58% 56%

COD 19.05% 46%TSS 18.06% 50%

Kualitas udara emisi di kawasan Industry SO2 60.93% 85% NO2 42.83% 85%

  Untuk melengkapi IKLH, diperoleh pula peluang untuk menghitung PDRB hijau sampai

level provinsi/kabupaten/kota. Namun mengingat penghitungan PDRB hijau

membutuhkan ketersediaan data yang cukup kompleks, maka penghitungan PDRB hijau

dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, penghitungan PDRB hijau cukupmenghitung depresiasi dan deplesi sumberdaya alam saja, tanpa menghitung komponen

degradasi lingkungan. Penghitungan degradasi lingkungan dapat dilakukan pada tahapan

 berikutnya. Provinsi Bali merupakan satu provinsi yang telah melakukan penghitungan

PDRB hijau, untuk lingkup provinsi. Penghitungan PDRB provinsi Bali lebih mudah

dibandingkan daerah lain, karena kondisi geografisnya yang berada dalam satu pulau,

sehingga dapat meminimalkan potensi permasalahan dalam penghitungan, misalnya

 permasalahan penghitungan pencemaran air sungai yang menjadi sulit jika sungai tersebut

melintasi lebih dari satu provinsi. Akan sulit menentukan apakah degradasi lingkungan

menjadi tanggung jawab pemerintah yang ada di hulu atau di hilirnya. Berbeda dengan

 penghitungan PDRB hijau yang dilakukan oleh BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup-

Page 39: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 39/62

35

DANIDA, penghitungan PDRB hijau provinsi Bali tidak saja menampilkan penghitungan

secara total, tetapi juga sampai pada sektoral, walau masih terbatas pada penghitungan

PDRB semi hijau. Untuk PDRB hijau penghitungan masih dilakukan secara total.

Tabel 20 PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010

Lapangan Usaha PDRB

Konvensional

2010 Deplesi

PDRB Semi

Hijau

2010

Kesimpulan 

1. Pertanian  12,097,348.42 1,216,569.20 10,880,779.23 Terdeplesi 

2. Penggalian  466,486.73 44,581.34 421,905.39 Terdeplesi 

3. Industri 6,120,473.78 11,305.73 6,109,168.05 Terdeplesi 

4. Listrik, Gas dan Air Bersih  1,263,308.88 43,487.22 1,219,821.66 Terdeplesi 

5. Bangunan  3,033,986.71 3,442.49 3,030,544.22 Terdeplesi 

6. Perdagangan, Hotel & Restoran  20,016,062.16 23,941.81 19,992,120.35 Terdeplesi 

7. Angkutan 9,628,024.27 10,582.27 9,617,442.00 Terdeplesi 

8. Keuangan  4,548,558.14 2,313.81 4,546,244.33 Terdeplesi 

9. Jasa-Jasa  9,516,349.04 10,142.69 9,506,206.35 Terdeplesi 

Total  66,690,598.13 1,366,366.55 65,324,231.58 Terdeplesi Sumber: BPS Provinsi Bali 

  Penghitungan IKLH saat ini lebih banyak menggunakan indikator fisik yang sulit

dipahami oleh orang awam, seperti CO, BOD, COD, TSS, dst. Untuk pengembangan

IKLH, diusulkan pula untuk memasukkan indikator yang lebih mudah dipahami oleh

orang awam, seperti bencana alam (banjir, longsor), tingkat kesehatan masyarakat, atau

memanfaatkan hasil Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup (SPPLH) yang oleh BPSsetiap tahun.

  Diperoleh pula usulan agar penghitungan IKLH daerah tetap dilakukan oleh pusat,terkait

kekhawatiran adanya bias penghitungan. Atau, jika akan dihitung oleh daerah, perlu

adanya penetapan instansi apa yang berwenang serta dibutuhkan transfer ilmu melalui

 pelatihan-pelatihan. 

  Terdapat beberapa kegiatan terkait aspek lingkungan telah dilakukan di daerah, seperti

 pemberian label sekolah dengan nama yang terkait dengan lingkungan (misal sekolah

mangrove dan sekolah hutan lindung di Balikpapan), pelaksanaan program penilaian

 peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (PROPER) dan pelaksanaan car free day. Namun belum ada ukuran atau indikator yang melihat capaian

dari kegiatan-kegiatan tersebut.

Page 40: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 40/62

36

IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019

4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019

Dalam kurun waktu 5 - 6 tahun ke depan dimana RPJM tahap 3 dimulai, pendudukIndonesia diprediksi akan mencapai hampir 260 juta jiwa. Jumlah penduduk yang demikian besar ini tentu saja akan menimbulkan tantangan tersendiri terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Tantangan yang dihadapi Indonesia bukan saja menyangkut

 pemenuhan kebutuhan pangan namun juga bagaimana menjaga keseimbangan sumber dayaalam dan lingkungan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.Percepatan pembangunan melalui berbagai program seperti MP3EI selain tentu akanmemberikan dampak pengganda terhadap ekonomi, namun juga akan memberikan tekananterhadap sumber daya alam dan lingkungan yang tidak kecil. Dampak ini akan terasa pula

 pada tahapan pembangunan berikutnya yakni pada periode 2015-2019. Dengan demikiandalam RPJM mendatang indikator lingkungan hidup juga menghadapi situasi yang lebih

kompleks dibanding dengan indikator yang telah dikembangkan selama ini. Untukmengantisipasi berbagai skenario tersebut pengembangan indikator yang relevan dengan

 prediksi ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh dinamika ekonomi dan penduduk perlumenjadi perhatian khusus. Beberapa catatan berikut ini memberikan gambaran terkait denganrelevansi indikator pembangunan lingkungan dalam RPJM 2015-2019.

1. 

 Indikator hulu-hilir.

Sebagaimana dikemukakan pada Bab 3, hasil temuan di daerah menunjukkan bahwaindikator lingkungan hidup yang ada saat ini sulit untuk diimplementasikan di daerah dan

 juga sulit dipahami bagi masyarakat awal dan para pengambil kebijakan di tingkat daerahkarena menggunakan variabel-variabel yang bersifat teknis. Sebagian indikator ini lebih

mengukur “dampak” ketimbang “penyebab”. Dengan kata lain indikator saat ini lebih bias ke arah degradasi atau kerusakan lingkungan daripada indikator pencegah kerusakanlingkungan. Dalam RPJM mendatang indikator yang terkait dengan aspek “hulu” patut

menjadi pertimbangan karena dari sinilah ongkos kerusakan lingkungan dapat ditekan danrelevansi kebijakan lingkungan baik di pusat dan di daerah dapat diukur. Salah satuindikator “hulu” yang saat masih belum menjadi perhatian adalah kebijakan dan regulasiyang terkait dengan lingkungan. Meski sampai saat ini belum ada satupun studi yangmengukur dampak regulasi lingkungan ini terhadap indeks lingkungan hidup, variabel inisebenarnya sangat relevan dalam mengukur kinerja pembangunan lingkungan hidup baik

 pada tingkat pusat dan daerah. Daerah dengan tingkat pencemaran sungai yang rendah bukan saja karena BOD atau COD yang rendah, namun mungkin saja disebabkan adanyaregulasi yang mengatur dengan ketat pembuangan sampai di sungai, penyediaan anggarankebersihan yang memadai, kebijakan yang terkait dengan tata ruang dan badan sungaiatau kebijakan yang mengubah mindset   masyarakat akan pentingnya sungai sebagaisumber kehidupan bukan sebagai tempat pembuangan sampah. Dalam IKLH yangdigunakan saat ini variabel ini tidak terukur sama sekali sehingga tidak memberikanumpan balik kepada daerah maupun pusat akan pentingnya kebijakan dan regulasi yangterkait dengan lingkungan.

2.  Bio-kapasitas.Aspek kedua yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan IPLH pada RPJM

mendatang adalah terkait dengan bio-kapasitas. Bio-kapasitas dapat menjadi indikator pencegahan lingkungan karena akan mengukur kemampuan daya dukung suatu

Page 41: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 41/62

37

lingkungan. Aspek bio-kapasitas selama ini memang belum menjadi pertimbangan dalam penentuan indikator lingkungan, namun di masa mendatang indikator ini patut menjadi pertimbangan mengingat akan terjadinya ketidakseimbangan antara ketersediaan lahandan kebutuhan lahan baik untuk pangan maupun non pangan.

3. 

 Ecological Footprint  (EF).Aspek lain yang patut menjadi pertimbangan dalam penentuan IPLH adalah jejak

ekologi atau ecological footprint . Saat ini Indonesia belum memperhatikan secaraseksama ecological footprint  yang ditimbulkan dari pembangunan, padahal dari sini akandiketahui apakah pembangunan tersebut mengarah ke efisiensi sumber daya atau tidak.Penggunaan akan membantu mendorong Indonesia menuju pembangunan yang berbasisekonomi hijau. Pertimbangan EF dalam RPJM juga penting mengingat EF bukan sajamemberikan indikator terkait pemanfaatan sumber daya, namun juga akan memberikanumpan balik bagi evaluasi pembangunan yang dijalankan setiap tahun. 

Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam RPJM mendatang, indeks pembangunan

lingkungan hidup seyogianya dibangun dari tiga indikator dasar yakni terkait dengan unsurkebijakan lingkungan (environmental policy), unsur pengelolaan lingkungan (environmental

management ) dan environmental impact   sebagaimana terlihat pada Gambar 4di bawah ini.Unsur environmental impact   saat ini sudah menjadi pertimbangan utama yang diukur daridampak terhadap udara dan air serta tutupan hutan, namun kembali bahwa ini hanyamerupakan dampak dari kebijakan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan baik padatingkat nasional maupun regional. Memang komponen kebijakan dan pengelolaan lingkungansudah tertera dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) yang secara berkaladiterbitkan oleh KLH selama ini dimana unsur PSIR ( Pressure-State-Impact-Response) sudahsecara implisit dibahas di dalamnya. Namun demikian komponen ini belum terintegrasikan didalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup saat ini. Pertimbangan terhadap komponenenvironmental policy  dan environmental management   akan menggambarkan dinamika

 pembangunan yang dijalankan selama periode sebelumnya (pressure) dan dampaknya dimasa kini dan mendatang serta respon kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah.

Gambar 4 Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019

IPLH

Env

Impact

Env

Policy

EnvManage-

mentInput

Process

Output

Sektor/LH

Penduduk

2015-2019

Pertumbuhan

Ekonomi

Indonesia

Hijau Lestari

Dinamika

Global

Sektor/KLH

Page 42: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 42/62

38

4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup

Dengan memperhatikan berbagai aspek terkait dengan indikator lingkungan hidup yangada saat ini dan tantangan yang dihadapi dalam RPJM mendatang, maka dapat disampaikan

 bahwa penggunaan IKLH dengan pendekatan dan parameter yang ada saat ini untuk

mendukung RPJM mendatang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan indikator pembangunan yang menyeluruh. Indikator lingkungan yang ada saat ini masih bersifat parsialdan seolah terlepas dari komponen pembangunan lain yakni aspek ekonomi dan sosial. Untukmenjembatani defisiensi tersebut maka diperlukan beberapa terobosan yang dapat digunakanuntuk mengembangkan indikator pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan RPJMmendatang. Beberapa indikator tersebut, termasuk roadmap pengembangannya, diuraikan

 berikut ini.

4.2.1. Indikator Mikro: Penyempurnaan IKLH

Defisiensi IKLH dapat direduksi dengan melakukan penyempurnaan pada IKLH.

Penyempurnaan IKLH dapat dilakukan dengan mengubah bobot dan komponen penilaianmedia. Pada tahap awal diperlukan penyempurnaan standarisasi pengukuran sehinggaindikator yang dinilai antar daerah menjadi “apple to apple”. Sebagai contoh luas tutupan

hutan di Jakarta 10% bisa saja distandarkan atau disetarakan dengan 30% luas tutupan hutandi Kalimantan atau Papua. Hal ini disebabkan karena beban dan kondisi geografis yang

 berbeda antara Jakarta dengan kedua daerah tersebut. Standarisasi ini juga dilakukan denganmempertimbangkan variabel input yang berperan dalam output lingkungan seperti anggarandan SDM. Jadi 0,5 % anggaran di Papua mungkin bisa distandarkan dengan 2% di Jakartadan sebagainya. Saat ini untuk IKLH 2012, meski tidak dilakukan standarisasi secarametodologis, perbedaan tutupan hutan antara Jakarta dan daerah lain memang dibedakanmelalui Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk Jakarta telah digunakan RTH sebagai proxy

untuk tutupan hutan.Standarisasi dalam penilaian kualitas air sungai juga dibutuhkan, terutama jika sungai

tersebut melewati lebih dari satu daerah. Kerusakan sungai yang sudah terjadi di daerah hulu,tentunya akan berdampak langsung pada kondisi daerah yang berada di hilir, sehinggadibutuhkan standarisasi penilaian. Misalnya dengan menggunakan selisih antara kualitas airdi hulu dan hilir sebagai indikatornya.

Perbaikan lainnya yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan IKLH adalahmelakukan perbaikan sampel. Sampel tentunya harus mampu mewakili kondisi daerah secarautuh, sehingga penentuan sampel yang proporsional antar daerah akan menjadi diskusitersendiri. Penentuan titik sampel harus dilakukan secara objektif dan ditetapkan denganmekanisme tertentu yang menjadi kesepakatan bersama. Untuk dapat mewakili kondisiwilayah, provinsi misalnya, pengukuran kualitas udara tentunya tidak cukup hanya dilakukandi daerah perkotaan saja dengan mengabaikan daerah yang lain. Keberlanjutan sampel juga

 perlu mendapat perhatian, agar keterbandingan antar waktu juga terjaga.Setelah dilakukan standarisasi, IKLH ini bisa digabung dengan indikator lain yang

terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam (perikanan, kehutanan dan migas) sehinggadihasilkan indikator yang lebih komprehensif. Dengan demikian IKLH yang baru ini lebih

 bisa diterima oleh berbagai pihak ketika terjadi perbedaan yang sifatnya given dan lebih fairdari sisi bobot penilaian. Oleh karena sudah mempertimbangkan input dan output lingkungan,maka IKLH yang baru ini dijadikan sebagai indikator kinerja lingkungan. Di beberapa negaraEropa sistem ini juga sudah diterapkan dan disebut sebagai EPI ( Environmental Performance

 Indicator )

Page 43: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 43/62

39

IKLH juga sangat potensial untuk dikembangkan pada tingkat kabupaten/kota. Cikal bakal dari penghitungan IKLH adalah publikasi Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)yang telah rutin disusun oleh pemerintah kabupaten/kota. Pengembangan IKLH pada tingkatkabupaten ini tentunya mengikuti penyempurnaan yang dilakukan dalam penyusunan IKLHdi tingkat nasional dan provinsi.

4.2.2. Indikator Makro : PDRB Hijau dan Genui ne Saving  

Dua indikator makro yang layak dikembangkan dalam kerangka internalisasi kualitaslingkungan adalah PDRB hijau dan Genuine Saving . Penghitungan PDRB hijau telah banyakdibahas pada bab sebelumnya, yang pada intinya adalah memasukkan biaya lingkungansebagai faktor koreksi terhadap PDRB konvensional, berupa deplesi dan degradasi.Penghitungan PDRB hijau telah dilakukan tidak hanya oleh institusi di tingkat pusat tetapi

 juga di tingkat provinsi, sehingga pengembangan PDRB hijau sebagai indikator makromenjadi sangat potensial. Permasalahan utama dan yang selalu menjadi persoalan klasik

dalam penyusunan PDRB hijau adalah masih terbatasnya ketersediaan informasi terutamayang berkaitan dengan deplesi dan degradasi lingkungan. Pengalaman provinsi Bali dalammenyusun PDRB hijau menunjukkan bahwa penghitungan PDRB hijau menjadi lebih rumitkarena penelitian-penelitian tentang degradasi lingkungan tidak sepenuhnya relevan dengankonteks daerah. Oleh sebab itu, maka pengembangan penelitian terkait dengan valuasi deplesidan degradasi lingkungan akan menjadi langkah awal dalam pengembangan PDRB hijau.

Indikator makro lain yang juga sering dijadikan ukuran pembangunan berkelanjutanadalah Genuine Saving , yang merupakan nilai tabungan domestik ( gross domestic saving )dikurangi dengan depresiasi modal buatan (man made capital ) dan sumber daya alam(natural capital ). Dalam perjalanannya, indikator ini terus mengalami perkembangan,misalnya dengan masuknya modal manusia (human capital ) sebagai salah satu faktor koreksi.

Berbeda dengan modal buatan dan sumber daya alam, modal manusia dihitung sebagaiapresiasi, bukan depresiasi. Faktor lain yang juga kemudian dimasukkan dalam penghitungan

 genuine saving   adalah perubahan teknologi. Genuine saving sendiri secara sederhanamemberikan gambaran tentang kesejahteraan secara total, dimana nilai negatif menunjukkanterjadinya penurunan kesejahteraan.

Penghitungan  genuine saving   di Indonesia selama ini masih belum dilakukan secararutin oleh institusi pemerintah, namun lebih bersifat penelitian ad hoc atau bahkan penelitian

 parsial yang dilakukan oleh para peneliti yang memiliki minat besar dalam mengukur capaian pembangunan berkelanjutan. Peneliti seperti Pearce dan Atkinson, Vincent dan Castaneda,Hamilton serta Alisjahbana dan Yusuf telah banyak berkontribusi dalam penghitunganindikator tersebut. Gustami (2012) bahkan telah menyajikan nilai  genuine saving   sampailevel provinsi (Gambar 5). Faktor koreksi dari gunuine saving  provinsi ini meliputi depresiasimodal buatan, deplesi sumber daya alam tidak terbarukan (minyak, gas dan komoditi

 pertambangan), deplesi sumber daya alam terbarukan (sumber daya hutan) dan degradasilingkungan (hanya polusi CO2).

Page 44: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 44/62

40

Sumber : Gustami, 2012

Gambar 5 Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005

Permasalahan dalam pengembangan  genuine saving   tidak jauh berbeda dengan PDRBhijau, yaitu terkait dengan terbatasnya penelitian yang menilai deplesi dan degradasilingkungan. Ditambah lagi dengan banyaknya pilihan metode yang dapat dipergunakandalam melakukan valuasi degradasi lingkungan, yang tentunya juga akan berimplikasi pada

 perbedaan hasil penghitungan. Dengan demikian pengayaan penelitian saja menjadi tidakcukup, tetapi harus dibarengi dengan diskusi serius tentang metode valuasi yang akanmenjadi kesepakatan bersama.

Pengayaan penelitian tentang deplesi dan degradasi juga diarahkan untuk melakukan penambahan komponen yang masuk ke dalam penghitungan deplesi dan degradasi.Penghitungan deplesi yang dilakukan selama ini masih terbatas pada beberapa sumbermineral dan hutan. Deplesi sumber daya bidang kelautan relatif belum tersentuh.

Penghitungan degradasi lingkungan untuk saat ini juga masih sangat terbatas pada CO2 danCH4. Komponen yang lain juga masih belum tersentuh dalam penghitungan PDRB hijauyang telah dilakukan.

PDRB hijau masih memungkinkan untuk dihitung hingga tingkat provinsi. Pada tahapawal, penghitungan PDRB hijau provinsi dapat saja diperoleh melalui down-scaling  PDRBhijau nasional. Perbaikan dalam penghitungan dapat dilakukan secara bertahap, hinggaakhirnya dapat menghitung PDRB hijau provinsi yang mandiri seperti PDRB konvensionalyang ada selama ini. Berbeda dengan IKLH, pengembangan dalam penghitungan PDRB hijaunampaknya hanya mungkin dilakukan sampai level provinsi. Keterbatasan informasi padatingkat kabupaten/kota menjadi kendala utama dalam pengembangan indikator ini padatingkat yang lebih rendah. Ditambah lagi dengan cukup rumitnya penghitungan PDRB hijau,

yang tentunya harus ditunjang pula oleh sumber daya manusia yang memadai. Hal ini jugamenjadi kendala dalam penghitungan PDRB hijau pada tingkat kabupaten/kota.

4.2.3. Indikator Meso : IPH, Green Rating dan IPB

a. Indeks Pembangunan Hijau (IPH)

Indeks Pembangunan Hijau (IPH) dapat dijadikan salah satu alternatif untuk dijadikansebagai indeks komposit pembangunan lingkungan hidup. Indeks pembangunan hijau akanmenggabungkan beberapa indikator ekonomi, sosial dan lingkungan dalam bentuk indeks

komposit seperti PDRB cokelat, PDRB hijau, indikator yang berkaitan dengan kesehatan dankomponen lingkungan hidup. IPH misalnya sudah digunakan di beberapa negara seperti

Page 45: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 45/62

41

China sebagai alat evaluasi pembangunan perkotaan yang ramah dengan lingkungan. IndeksPembangunan Hijau (Green Development Index) China bahkan sudah dikembangkan padatingkat perkotaan. Secara prinsip Indeks Pembangunan Hijau mengakomodasi kebijakan

 pembangunan khususnya kebijakan yang berkait dengan lingkungan yang akan menjadi bobot bagi penentuan indeks pembangunan di suatu daerah.

Secara sederhana prinsip Indeks Pembangunan Hijau adalah menggabungkankomponen indikator pembangunan seperti PDRB dan PDRB hijau dengan indikator ekonomidan kebijakan yang mendukungnya. Indikator ekonomi yang diarahkan adalah yang berkaitandengan ekonomi hijau seperti PDRB hijau, Genuine Saving   (GS) dan salah satu indikator

 pendukung yang berkaitan dengan lingkungan seperti kesehatan. Dasar pemikiran dariindikator ini adalah bahwa lingkungan yang baik akan menunjukkan tingkat kesehatan yang

 baik dan sebaliknya.Di sisi lain Genuine Saving  merupakan salah satu indikator keberlanjutan lemah yang

relatif mudah diukur secara makro karena ketersediaan data makro di BPS. Namun tentu sajaharus didukung dengan data deplesi dari sumber daya alam dan pengeluaran untuk CO2.

Di sisi lingkungan, indikator yang berkaitan dengan jejak ekologis, bio-kapasitas

merupakan indikator yang sangat baik jika diterapkan dalam menentukan indeks lingkungan. Namun jika data ini belum tersedia maka bisa didukung dengan indikator efisiensi sumberdaya seperti intensitas energi, maupun degradasi lingkungan dapat digunakan untukmendukung Pembangunan Hijau. Kedua komponen tersebut kemudian didukung dengankebijakan yang berkaitan dengan lingkungan. Perlu pula dicatat bahwa kearifan lokal sangat

 berperan penting dalam menentukan pembangunan yang hijau, oleh karenanya, kearifan lokaldapat dijadikan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap indeks pembangunan hijau.Gambar 6 di bawah ini menunjukkan kerangka makro dari Indeks Pembangunan Hijau yangdapat dikembangkan untuk RPJM mendatang.

Gambar 6 Kerangka Indeks Pembangunan Hijau

Indeks Pembangunan Hijau (IPH) merupakan indeks yang paling ideal dalammengukur pembangunan yang mengintegrasikan perhatian pada lingkungan ke dalam

IPH 

Foot rint 

Bio-ca acit  

Efisiensi SDA 

De radasi 

LIn

gku

ng

an 

Kebijakan Lingkungan 

Kearifan Lokal 

Makro Indikator 

Mikro Indikator 

Status Media 

Page 46: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 46/62

42

 pembangunan. Namun penyusunan IPH membutuhkan usaha yang tidak sedikit, karenakomponen penyusunnya belum seluruhnya tersedia, terutama yang terkait dengan kearifanlokal dan beberapa komponen lingkungan, seperti bio-capacity. Oleh karena itu, penyusunanIPH mungkin tidak akan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.

b. Green rating  (Peringkat Hijau)

Alternatif lain untuk mengembangkan indikator pembangunan lingkungan adalahdengan menerapkan sistem Green Rating   bagi setiap Kabupaten/Kota dan Provinsi. Green

rating  pada prinsipnya dikembangkan dari penilaian indikator lingkungan berbasis input danoutput. Input lingkungan seperti kebijakan, ketersediaan anggaran, ketersediaan sumber dayamanusia dan kapasitas kelembagaan lingkungan dapat diukur dan dinilai sebagai komponeninput untuk melakukan rating. Pada komponen output beberapa indikator yang terkait dengankinerja lingkungan seperti kondisi kualitas udara, air, degradasi lingkungan serta hal-hal yangterkait dengan penegakan hukum dapat dibobot untuk digunakan indikator output komposityang akan menentukan rating hijau dari daerah tersebut. Termasuk ke dalam komponen

 penghitungan green rating adalah anugerah bidang lingkungan yang diberikan kepada daerah,seperti :

a.  Adipura, merupakan penghargaan bagi kota/kabupaten yang memiliki komitmendalam mewujudkan kota bersih dan hijau (clean and green city)

 b.  Adiwiyata, merupakan penghargaan yang bertujuan mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.Diharapkan setiap warga sekolah ikut terlibat dalam kegiatan sekolah menujulingkungan yang sehat dan menghindari dampak lingkungan yang negatif

c.  Raksayanita, merupakan penghargaan dalam rangka Menuju Indonesia Hijau, gunameningkatkan kualitas lingkungan dan membuka peluang bagi masyarakat untuk

 berperan aktif dalam pelestarian sumber daya alam dan pengendalian kerusakanlingkungan.

d.  Penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) yaitu penghargaan terhadap partisipasi aktif masyarakat yang telah melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk mendukung pencapaian target nasional pengurangan emisi gasrumah kaca (GRK), diberikan pada wilayah setingkat desa/kampung

e.  Langit Biru, diberikan kepada wilayah kota yang mampu mengendalikan pencemaranemisi sumber bergerak melalui implementasi kebijakan secara terkoordinasi danterpadu

f.  Anugerah Ozon merupakan penghargaan kepada pihak-pihak yang berperan aktifmemberikan kontribusi dalam upaya perlindungan lapisan ozon, termasuk pemerintah

daerah

Secara umum tahapan dalam penentuan  green rating   dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.

Gambar 7 Tahapan dalam Penentuan Green Rating  

Assessment Hasil

skoring Kalibrasi

Kriteria

bobot

ii0

Green

rating

Pra-assessment

Page 47: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 47/62

43

Dalam green rating  penentuan kinerja pembangunan lingkungan hidup didasarkan padakombinasi penilaian kuantitatif dan kualitatif. Setiap komponen diberikan bobot sesuaidengan beban dan tingkat kepentingan dari indikator tersebut relatif terhadap output yangakan dihasilkan. Penentuan green rating kemudian dapat didasarkan pada skala yangkemudian dijabarkan dalam rating hijau seperti A, AB dan seterusnya seperti terlihat pada

tabel 21 di bawah ini.Tabel 21 Skala Green Rating  

Skor Rating FLAG

3.76 –  4.0 A Hijau3.5- 3.75 AB Hijau3.1-3.4 B Semi Hijau2.5-3.0 BC Semi hijau2.00-2.4 C Kuning

<2.0 D Merah

Prinsip penentuan  green rating   dengan FLAG ini sudah banyak diuji coba di Eropamelalui  Dashboard Sustainability Indeks  dengan Flag hijau, kuning dan merah.  Dashbord

rating  ini juga kini tengah dikembangkan secara intensif oleh Kementrian Lingkungan Hidupdengan unit analisis pada tingkat provinsi dengan indikator yang lebih luas dari indikatorkualitas lingkungan hidup Indonesia.

Dalam  Dashboard Sustainability Index, kinerja lingkungan disajikan seperti halnyadashboard dalam kendaraan bermotor (mobil) di mana indikator lingkungan hidup disajikansecara lebih dinamis melalui indikator merah kuning dan hijau. Variabel lingkungan danekonomi disajikan dalam bentuk data tabulasi yang kemudian diberikan target apakah akandimaksimumkan atau diminimumkan. Misalkan PDB adalah target maksimum sementara

 pencemaran adalah target minimum. Setiap indikator kemudian diberi pembobotan dan

dilakukan perhitungan melalui algoritma tertentu sehingga dihasilkan rating hijau, semi hijau,kuning dan merah.

c. Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB)

Mengacu kepada tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial danlingkungan), maka ukuran pembangunan tentunya menjadi lebih komprehensif jika mampumenggambarkan capaian pembangunan pada keseluruhan dimensi. Indikator pembangunanyang dipergunakan saat ini masih bersifat parsial antar dimensi pembangunan. Pembangunanekonomi dipantau dengan menggunakan capaian nilai PDRB, dan indikator turunannyaseperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Indikator pembangunan lainnya

adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan gabungan antara indikatorkesehatan, pendidikan dan daya beli. Dua indikator pertama dalam IPM merupakan indikatordimensi sosial sedangkan indikator terakhir adalah indikator ekonomi. Artinya IPM jugamasih belum menggambarkan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan dengan absennyaindikator lingkungan. Perkembangan terakhir dalam indikator pembangunan Indonesia adalahmunculnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang hanya fokus dalam penilaiankualitas lingkungan.

Penggabungan ketiga indikator pembangunan tersebut menjadi satu indeks kompositakan menjadi pilihan yang cukup rasional, mengingat indikator yang menjadi input dalam

 penghitungannya sudah tersedia. Indeks komposit ini dapat mengukur capaian pembangunan berkelanjutan secara lebih komprehensif, baik dari sudut pandang ekonomi, sosial maupunlingkungan, sehingga layak untuk disebut sebagai Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB).Langkah pertama dalam penyusunan IPB adalah menstandarisasikan seluruh indikator

Page 48: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 48/62

44

menjadi bentuk indeks, khususnya untuk PDRB, karena dua indikator yang lain sudah berbentuk indeks (IPM dan IKLH). Agar memiliki keterbandingan antar wilayah, nilai PDRByang dipergunakan adalah PDRB perkapita tanpa Migas. Penyusunan indeks PDRB perkapitatanpa Migas diawali dengan menetapkan nilai maksimum dan minimum yang akan dicapai.Salah satu metode yang dapat dilakukan dalam menentukan nilai maksimum adalah dengan

menetapkan target capaian PDRB perkapita tanpa Migas dalam dokumen perencanaan,seperti RPJMN, dan menjadikannya sebagai acuan nilai maksimum, sementara nilaiminimum dapat dilakukan dengan menggunakan nilai terendah dari PDRB perkapita tanpamigas. Bagi daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa Migasnya sama atau berada di atas nilaimaksimum maka nilai indeks PDRB-nya adalah 100. Sedangkan daerah yang nilai PDRB

 perkapita tanpa migasnya berada di bawah nilai maksimum, dilakukan penghitunganindeksnya dengan menggunakan metode standarisasi maksimum minimum. Metode inimenghitung indeks dengan menggunakan perbandingan antara selisih nilai aktual dengannilai minimum terhadap selisih nilai maksimum dengan minimum. Setelah seluruh indikator

 penyusun berbentuk indeks maka penghitungan IPB dapat dilakukan.Isu utama dalam penyusunan IPB adalah pada saat penentuan bobot, baik antar

indikator, antar wilayah dan antar waktu. Metode pembobotan yang paling moderat adalahdengan memberikan bobot yang sama antar indikator, antar wilayah dan antar waktu.Pembobotan dengan metode ini mengindikasikan penekanan yang sama untuk seluruhdimensi pembangunan berkelanjutan pada seluruh wilayah. Pembobotan berbeda antarindikator sangat dimungkinkan jika fokus pembangunan berbeda antar dimensi. Begitu pula

 perbedaan pembobotan antar wilayah (regionalisasi) dan antar waktu. Perbedaan pembobotanantar wilayah dan antar waktu menggambarkan adanya dinamika pembangunan antar waktudan wilayah. Dengan cara ini, pembobotan indikator di wilayah Jawa dapat berbeda denganwilayah Papua, begitu pula dengan pembobotan pada tahun awal perencanaan dapat berbedadengan tahun akhir dari perencanaan.

Gambar 8 Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan

Penghitungan IPB sebagai indikator pembangunan komposit yang sudahmenggabungkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan adalah yang paling memungkinkanuntuk saat ini, mengingat keseluruhan komponen penghitungannya telah tersedia.Pengembangan ke depan tentunya sangat terkait dengan penyempurnaan IKLH, sebagai salahsatu komponen IPB. Dua indikator yang lain, PDRB dan IPM, sudah relatif lebih dahulu

 berkembang, sehingga penghitungannya juga menjadi lebih baik.

Dimensi

Pembobotan

Indikator

Dimensi Dimensi

PDRB 

Indeks

IPM  IKLH 

IPB 

Page 49: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 49/62

45

Sebagai gambaran, berikut akan diberikan contoh penghitungan IPB denganmenggunakan data pada tahun 2009 hingga 2011. Penghitungan untuk tahun 2012 belumdimungkinkan, karena hingga laporan ini disusun nilai Indeks Pembangunan Manusia tahun2012 belum selesai dihitung. Tahapan awal dalam menghitung IPB adalah melakukan

 penghitungan indeks PDRB perkapita. Dalam contoh penghitungan ini, nilai indeks PDRB

dihasilkan dari nilai PDRB perkapita tanpa migas atas dasar harga konstan tahun 2000dengan didasari oleh beberapa pertimbangan. Pertama, nilai PDRB perkapita atas dasar hargakontan menggambarkan perkembangan kesejahteraan secara makro yang sudahmenghilangkan dampak inflasi. Kedua, RPJMN 2009-2014 secara khusus telah menetapkanPDRB perkapita atas dasar harga konstan sebagai salah satu target capaian pembangunan.Ketiga, PDRB perkapita tanpa migas dapat dipergunakan sebagai indikator perbandinganantar wilayah, karena hasil migas tidak secara langsung dapat dinikmati oleh daerah

 penghasilnya. Sedangkan nilai maksimum dan minimum yang dipergunakan dalammenyusun indeks PDRB ditetapkan sebagai berikut :

   Nilai maksimum ditentukan dari target PDRB perkapita atas dasar harga konstantahun 2000 pada tahun 2014 (akhir perencanaan) pada RPJMN, sebesar 12.058.000

rupiah   Nilai minimum ditentukan dari garis kemiskinan daerah perkotaan tahun 2000, yaitu

kondisi yang setara dengan tahun dasar PDRB atas dasar harga kontan, sebesar 91.632rupiah per bulan atau 1.099.584 rupiah per tahun

Penghitungan indeks PDRB perkapita, merupakan normalisasi nilai PDRB perkapitatanpa migas atas dasar harga kontan dengan menggunakan nilai maksimum dan minimumyang telah ditetapkan di atas. Sesuai dengan uraian sebelumnya, maka daerah yang nilaiPDRB perkapita tanpa migasnya sama atau berada di atas nilai maksimum maka nilai indeksPDRB perkapitanya adalah 100, seperti Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta danKalimantan Timur. Sedangkan daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa migasnya berada di

 bawah nilai maksimum, dilakukan penghitungan indeksnya dengan menggunakan metodestandarisasi maksimum minimum. Hasil penghitungan ditampilkan pada Tabel 22.

Tahapan selanjutnya dalam penghitungan IPB adalah menentukan pembobotanindikator. Dalam contoh penghitungan ini pembobotan indikator dilakukan dengan cara yang

 paling moderat, yaitu dengan memberikan pembobotan yang sama pada seluruh unsur penyusun IPB. Unsur penyusun IPB sendiri pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua hal, pertama dari sisi indikator penyusunnya (Indeks PDRB, IPM dan IKLH) dan yang kedua darisisi dimensi pembangunannya (ekonomi, sosial dan lingkungan). Oleh karena itu, maka

 penghitungan IPB dilakukan dengan menggunakan dua skenario, yaitu:

  Skenario 1 : Pembobotan yang sama antar indikator penyusun. Pada skenario ini,

indikator penyusun (Indeks PDRB, IPM dan IKLH) masing-masing diberikan bobotyang sama, yaitu sepertiga (1/3).

  Skenario 2 : Pembobotan yang sama antar dimensi pembangunan berkelanjutan(ekonomi, sosial dan lingkungan). Pada skenario ini fokusnya bukan pada indikator

 penyusunnya, melainkan pada dimensi pembangunan yang ada pada masing-masingindikator. PDRB dan IKLH masing-masing mewakili dimensi ekonomi danlingkungan, sedangkan IPM mewakili dua dimensi sekaligus, sosial dan ekonomi.Agar bobot antar dimensi sama, maka masing-masing indikator diberikan bobot yang

 berbeda, seperenam (1/6) untuk Indeks PDRB, seperdua(1/2) untuk IPM dan sepertiga(1/3) untuk IKLH.

Hasil penghitungan IPB serta peringkat masing-masing provinsi dengan menggunakan kedua

skenario tersebut ditampilkan pada Tabel 23 dan 24.

Page 50: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 50/62

46

Tabel 22 Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011

Provinsi Indeks PDRB Perkapita 

2009  2010  2011 11. Nanggroe Aceh Darussalam  47.06  48.75  51.11 

12. Sumatera Utara  68.51  72.53  77.48 13. Sumatera Barat  59.73  62.84  66.77 14. Riau  67.13  69.65  73.22 15. Jambi  34.22  36.00  38.23 16. Sumatera Selatan  48.43  51.33  55.40 17. Bengkulu  32.33  34.12  36.43 18. Lampung  33.37  35.37  37.94 19. Bangka Belitung  67.38  69.42  72.43 20. Kepulauan Riau  100.00  100.00  100.00 31. DKI Jakarta  100.00  100.00  100.00 32. Jawa Barat  53.32  56.06  59.60 33. Jawa Tengah  36.85  39.61  42.62 

34. Yogyakarta  43.31  45.30  47.87 35. Jawa Timur   68.14  72.62  78.38 36. Banten  63.31  65.56  68.67 51. Bali  55.12  57.39  60.63 52. Nusa Tenggara Barat  28.57  30.51  28.98 53. Nusa Tenggara Timur   13.59  14.30  15.28 61. Kalimantan Barat  50.03  52.64  56.12 62. Kalimantan Tengah  63.86  67.20  71.40 63. Kalimantan Selatan  63.05  65.63  69.24 64. Kalimantan Timur   100.00  100.00  100.00 71. Sulawesi Utara  59.42  63.40  68.25 72. Sulawesi Tengah  46.06  49.74  54.34 73. Sulawesi Selatan  44.06  47.77  51.81 74. Sulawesi Tenggara  34.74  37.37  40.71 75. Gorontalo  14.20  15.44  16.94 76. Sulawesi Barat  24.12  27.14  30.16 81. Maluku  14.22  15.06  15.98 82. Maluku Utara  15.20  16.52  17.69 91. Papua Barat  57.48  60.54  65.54 94. Papua  68.19  61.62  54.45 

Nasional  65.89  69.57  74.05 

Page 51: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 51/62

47

Tabel 23 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1)

Provinsi Nilai IPB  Peringkat IPB 

2009  2010  2011  2009  2010  2011 

11. Nanggroe Aceh Darussalam  63.61  65.92  63.34  13  14  20 12. Sumatera Utara  68.26  77.96  74.78  8  2  5 13. Sumatera Barat  73.40  72.69  72.68  4  8  8 14. Riau  64.79  66.86  68.66  11  11  13 15. Jambi  60.57  57.19  58.82  21  27  27 16. Sumatera Selatan  63.45  66.66  68.77  15  12  12 17. Bengkulu  61.49  67.98  68.87  17  10  11 18. Lampung  59.31  64.58  65.48  23  16  18 19. Bangka Belitung  64.03  69.07  70.26  12  9  9 20. Kepulauan Riau  75.40  76.64  77.34  2  3  2 31. DKI Jakarta  73.03  73.14  73.09  5  6  6 

32. Jawa Barat  58.22  60.60  61.08  24  26  25 33. Jawa Tengah  54.78  54.19  55.13  28  31  29 34. Yogyakarta  57.35  64.33  64.36  25  18  19 35. Jawa Timur   66.07  64.58  68.35  10  17  14 36. Banten  61.41  61.67  62.87  18  23  21 51. Bali  70.71  76.44  72.92  6  4  7 52. Nusa Tenggara Barat  55.64  61.95  59.84  26  22  26 53. Nusa Tenggara Timur   48.93  44.09  47.35  32  33  33 61. Kalimantan Barat  63.58  66.06  66.68  14  13  16 62. Kalimantan Tengah  61.31  64.07  70.15  19  19  10 63. Kalimantan Selatan  60.20  64.60  66.66  22  15  17 

64. Kalimantan Timur   81.25  79.26  82.32  1  1  1 71. Sulawesi Utara  74.44  74.56  76.46  3  5  3 72. Sulawesi Tengah  61.76  72.82  74.83  16  7  4 73. Sulawesi Selatan  60.87  60.76  62.20  20  25  24 74. Sulawesi Tenggara  54.93  56.53  54.68  27  28  30 75. Gorontalo  61.22  62.22  -  24  23 76. Sulawesi Barat  53.64  53.22  56.04  31  32  28 81. Maluku  54.66  55.40  53.65  29  29  31 82. Maluku Utara  54.21  55.09  53.42  30  30  32 91. Papua Barat  67.12  63.08  67.90  9  20  15 94. Papua  69.34  62.04  62.77  7  21  22 

Nasional  65.81  67.64  69.02 

Page 52: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 52/62

48

Tabel 24 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2)

Provinsi Nilai IPB  Peringkat IPB 

2009  2010  2011  2009  2010  2011 

11. Nanggroe Aceh Darussalam  67.66  69.74  66.84  11  12  21 12. Sumatera Utara  69.14  78.24  74.31  7  2  6 13. Sumatera Barat  75.69  74.52  73.93  3  6  7 14. Riau  66.20  67.93  69.21  16  17  15 15. Jambi  66.94  63.31  64.66  13  26  24 16. Sumatera Selatan  67.48  70.26  71.78  12  11  9 17. Bengkulu  68.19  74.44  75.03  10  7  4 18. Lampung  65.57  70.59  71.15  18  9  11 19. Bangka Belitung  64.89  69.64  70.42  20  13  13 20. Kepulauan Riau  71.15  72.49  73.30  5  8  8 31. DKI Jakarta  69.26  69.40  69.42  6  15  14 

32. Jawa Barat  61.27  63.30  63.27  27  27  26 33. Jawa Tengah  60.66  59.67  60.18  31  32  31 34. Yogyakarta  62.67  69.41  69.10  24  14  16 35. Jawa Timur   66.56  64.41  67.32  15  24  19 36. Banten  62.53  62.49  63.25  25  29  27 51. Bali  73.45  78.92  74.96  4  1  5 52. Nusa Tenggara Barat  61.65  67.73  66.04  26  18  22 53. Nusa Tenggara Timur   57.77  52.92  56.09  32  33  33 61. Kalimantan Barat  66.71  68.81  68.94  14  16  17 62. Kalimantan Tengah  63.06  65.31  70.76  23  19  12 63. Kalimantan Selatan  61.24  65.31  66.86  28  20  20 

64. Kalimantan Timur   77.10  75.19  78.36  2  5  1 71. Sulawesi Utara  77.15  76.67  77.84  1  3  2 72. Sulawesi Tengah  65.86  76.39  77.71  17  4  3 73. Sulawesi Selatan  65.35  64.74  65.59  19  22  23 74. Sulawesi Tenggara  60.73  61.97  59.66  30  30  32 75. Gorontalo  70.36  71.20  -  10  10 76. Sulawesi Barat  61.15  60.31  62.70  29  31  29 81. Maluku  64.12  64.79  62.96  21  21  28 82. Maluku Utara  63.12  63.84  62.05  22  25  30 91. Papua Barat  68.97  64.52  68.58  8  23  18 94. Papua  68.73  62.59  64.59  9  28  25 

Nasional  66.79  68.09  68.81 

Secara nasional, hasil skenario 1 dan skenario 2 relatif menunjukkan tingkat perubahanyang berbeda. Tingkat perubahan pada skenario 2 lebih landai dibandingkan skenario 1.Akibatnya, nilai IPB skenario 2 yang lebih tinggi dari skenario 1 pada tahun 2009 menjadilebih rendah pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 2009-2011, IPB pada skenario 1 berubahsebesar 3,21 poin, sedangkan skenario 2 hanya berubah sebesar 2,02 poin. Secara implisit,kondisi ini menggambarkan bahwa perkembangan bidang ekonomi relatif lebih tinggidibandingkan dua bidang yang lain, sosial dan lingkungan.

 Nilai IPB yang diperoleh oleh masing-masing provinsi juga menunjukkan perbedaanyang cukup mencolok. Pada skenario 1, provinsi yang memiliki nilai didominasi oleh daerah

Page 53: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 53/62

49

yang memiliki keunggulan di bidang ekonomi, seperti Kalimantan Timur dan KepulauanRiau. Sedangkan pada skenario 2, provinsi dengan IPB tertinggi bervariasi, seperti SulawesiUtara pada tahun 2009, Bali pada tahun 2010 dan Kalimantan Timur pada tahun 2011.

 Namun untuk provinsi dengan nilai IPB terendah tetap diduduki oleh Nusa Tenggara Timur.Walaupun pada skenario 2 nilai IPB provinsi ini sudah terangkat naik, namun masih tetap

tertinggal dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.Berdasarkan dua skenario di atas nampak bahwa proses pembobotan menjadi hal yang

 penting dalam penyusunan IPB, karena dapat memberikan hasil yang sangat berbeda.Skenario 1 memberikan bobot yang relatif besar pada dimensi ekonomi, sehingga daerah-daerah yang ekonominya maju (tergambar dari Indeks PDRB perkapita) akan berpeluangmenjadi daerah yang memiliki IPB tinggi. Sedangkan pembobotan yang seimbang antardimensi pembangunan pada skenario 2, memberikan peluang pada daerah yang tidak terlalumaju dari sisi ekonomi, namun mampu membangun dimensi yang lain (sosial danlingkungan), untuk menjadi daerah dengan IPB yang tinggi. Selain pembobotan, hal lain yanglebih penting adalah validitas dan reliabilitas dari indikator penyusun IPB itu sendiri.Perhatian khusus dalam penyempurnaan IKLH menjadi hal yang sangat penting, mengingat

dua indikator yang lain, PDRB dan IPM, relatif sudah lebih baik. Munculnya provinsiKalimantan Timur sebagai daerah yang memiliki IPB tertinggi, baik pada skenario 1 dan 2,tentunya patut menjadi catatan, mengingat kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah ini

 juga cukup tinggi. Diduga persoalan ini muncul karena belum sempurnanya penghitunganIKLH yang telah dilakukan saat ini.

Perbandingan hasil penghitungan IPB dengan menggunakan kedua skenario tersebutmenunjukkan bahwa nilai IPB pada skenario 1 lebih bervariasi dibandingkan dengan skenario2. Pencapaian IPB dengan menggunakan skenario 1 memiliki nilai tengah (median) dan tren

 peningkatan yang lebih tinggi dibanding skenario 2. Namun jika dibandingkan dengan nilaiIPB nasional, median IPB skenario 1 juga memiliki selisih yang lebih besar dibandingkanskenario 2, artinya IPB skenario 2 memiliki sebaran yang lebih simetris (normal)dibandingkan dengan skenario 1. Didasari oleh pertimbangan tersebut, maka penghitunganIPB dengan menggunakan skenario 2 lebih direkomendasikan daripada skenario 1. Skenario2 memberikan porsi yang seimbang antara ekonomi, sosial dan lingkungan. Hasil

 penghitungan pun menunjukkan sebaran yang relatif lebih homogen dan simetris.

Tabel 25 Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2

SummarySkenario 1  Skenario 2 

2009  2010  2011  2009  2010  2011 

IPB Nasional 65.81  67.64  69.02  66.79  68.09  68.81 

Median 62.39  64.07  66.10  65.72  67.93  68.58 

 Nilai Minimum 48.93  44.09  47.35  57.77  52.92  56.09 

 Nilai Maksimum 81.25  79.26  82.32  77.15  78.92  78.36 

Range 32.31  35.17  34.98  19.38  26.00  22.27 

PDRB Perkapita tanpa migas memang cukup baik untuk dipergunakan sebagai proksi perbandingan kemajuan ekonomi antar wilayah. Pengelolaan migas pada umumnya tidak banyak melibatkan masyarakat lokal, sehingga efek langsungnya tidak terlalu besar. Sehinggatidak jarang daerah yang memiliki kategori PDRB tinggi, namun dominasi sektor migas,memiliki tingkat kemajuan wilayah yang relatif sama dengan daerah yang PDRB-nya berada

dalam kategori sedang bahkan rendah. Efek sumber daya migas lebih dominan dirasakandalam konteks penerimaan keuangan daerah melalui mekanisme bagi hasil. Namun

Page 54: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 54/62

50

 penggunaan PDRB tanpa migas juga memiliki kelemahan karena seakan-akan mengabaikan peran sektor migas, yang justru menjadi tulang punggung perekonomian bagi sebagian daerah.Oleh karena itu, sebagai bahan perbandingan, dalam kajian ini juga akan dilakukan

 penghitungan IPB dengan menggunakan PDRB perkapita dengan memasukkan sektor migas.

Tabel 26 Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas(Menggunakan Skenario 2)

Provinsi Nilai IPB  Peringkat IPB 

2009  2010  2011  2009  2010  2011 

11. Nanggroe Aceh Darussalam  69.26  71.10  68.16  9  11  19 12. Sumatera Utara  69.23  78.33  74.40  11  2  7 13. Sumatera Barat  75.69  74.52  73.93  3  6  9 14. Riau  71.68  72.99  73.68  6  9  10 15. Jambi  67.74  64.19  65.72  14  25  23 

16. Sumatera Selatan  70.26  73.02  74.52  8  8  6 17. Bengkulu  68.19  74.44  75.03  13  7  4 18. Lampung  65.65  70.66  71.23  18  13  12 19. Bangka Belitung  65.10  69.85  70.63  20  15  15 20. Kepulauan Riau  71.15  72.49  73.30  7  10  11 31. DKI Jakarta  69.26  69.40  69.42  10  17  16 32. Jawa Barat  61.59  63.62  63.57  27  27  26 33. Jawa Tengah  61.15  60.18  60.70  29  32  31 34. Yogyakarta  62.67  69.41  69.10  24  16  17 35. Jawa Timur   66.61  64.48  67.39  16  24  20 36. Banten  62.53  62.49  63.25  25  29  27 

51. Bali  73.45  78.92  74.96  4  1  5 52. Nusa Tenggara Barat  61.65  67.73  66.04  26  19  22 53. Nusa Tenggara Timur   57.77  52.92  56.09  32  33  33 61. Kalimantan Barat  66.71  68.81  68.94  15  18  18 62. Kalimantan Tengah  63.06  65.31  70.76  23  21  14 63. Kalimantan Selatan  61.44  65.51  67.04  28  20  21 64. Kalimantan Timur   77.10  75.19  78.36  2  5  1 71. Sulawesi Utara  77.17  76.69  77.87  1  3  3 72. Sulawesi Tengah  66.02  76.55  77.88  17  4  2 73. Sulawesi Selatan  65.37  64.76  65.61  19  23  24 74. Sulawesi Tenggara  60.73  61.97  59.66  31  30  32 75. Gorontalo  -  70.36  71.20  0  14  13 76. Sulawesi Barat  61.15  60.31  62.70  30  31  29 81. Maluku  64.13  64.81  62.98  21  22  28 82. Maluku Utara  63.12  63.84  62.05  22  26  30 91. Papua Barat  72.77  71.10  74.33  5  12  8 94. Papua  68.73  62.59  64.59  12  28  25 

Nasional  67.71  68.99  69.71 

Dengan memperhatikan beberapa catatan tentang keunggulan penghitungan IPBSkenario 2, maka penghitungan IPB dengan PDRB perkapita migas juga dilakukan

menggunakan skenario ini. Dampak langsung dengan memasukkan sektor migas adalahmeningkatnya nilai indeks PDRB yang pada akhirnya juga meningkatkan nilai IPB. Hasilnya,

Page 55: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 55/62

51

IPB dengan menggunakan PDRB perkapita migas lebih tinggi dibandingkan IPB denganPDRB perkapita tanpa migas. Namun karena kontribusi migas dalam PDB nasional tidakterlalu besar dan bobot dari indeks PDRB hanya seperenam, maka perbedaan antara keduanilai IPB ini hanya berkisar sebesar satu poin saja. Namun di beberapa daerah penghasilmigas, seperti Provinsi Riau dan Papua Barat, perbedaannya cukup tinggi, mencapai 5 hingga

6 poin.

Gambar 9 Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas (2010)

Penggunaan PDRB dengan migas juga berdampak pada peringkat IPB antar provinsi.Dengan naiknya nilai IPB daerah-daerah penghasil migas, maka peringkat daerah-daerahtersebut juga ikut terdongkrak. Provinsi Riau dan Irian Barat peringkatnya bahkan meningkat10 angka lebih baik. Sebaliknya, terjadi penurunan peringkat bagi daerah-daerah yang bukan

 penghasil migas.

Gambar 10 Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas

(2010)

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

   1   1 .   N   a   n   g   g   r   o   e   A   c   e    h   D   a   r   u   s   s   a    l   a   m

   1   2 .   S   u   m   a   t   e   r   a   U   t   a   r   a

   1   3 .   S   u   m   a   t   e   r   a   B   a   r   a   t

   1   4 .   R   i   a   u

   1   5 .   J   a   m

    b   i

   1   6 .   S   u   m   a   t   e   r   a   S   e    l   a   t   a   n

   1   7 .   B   e   n   g    k   u    l   u

   1   8 .   L   a   m   p   u

   n   g

   1   9 .   B   a   n   g    k   a   B   e    l   i   t   u

   n   g

   2   0 .   K   e   p   u    l   a   u   a   n   R   i   a   u

   3   1 .   D   K   I   J   a    k   a   r   t   a

   3   2 .   J   a   w   a   B   a   r   a   t

   3   3 .   J   a   w   a   T   e   n   g

   a    h

   3   4 .   Y   o   g   y   a    k   a

   r   t   a

   3   5 .   J   a   w   a   T   i   m

   u   r

   3   6 .   B   a   n   t   e   n

   5   1 .   B

   a    l   i

   5   2 .   N   u   s   a   T   e   n   g   g   a   r   a   B   a   r   a   t

   5   3 .   N   u   s   a   T   e   n   g   g   a   r   a   T   i   m

   u   r

   6   1 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   B   a   r   a   t

   6   2 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   T   e   n   g

   a    h

   6   3 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   S   e    l   a   t   a   n

   6   4 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   T   i   m

   u   r

   7   1 .   S   u    l   a   w   e   s   i   U   t   a   r   a

   7   2 .   S   u    l   a   w   e   s   i   T   e   n   g

   a    h

   7   3 .   S   u    l   a   w   e   s   i   S   e    l   a   t   a   n

   7   4 .   S   u    l   a   w   e   s   i   T   e   n   g   g   a   r   a

   7   5 .   G   o   r   o   n   t   a    l   o

   7   6 .   S   u    l   a   w   e   s   i   B   a   r   a   t

   8   1 .   M   a    l   u

    k   u

   8   2 .   M   a    l   u    k   u   U   t   a   r   a

   9   1 .   P   a   p   u   a   B   a   r   a   t

   9   4 .   P   a   p

   u   a

   N   a   s   i   o   n   a    l

IPB Tanpa Migas (2010) IPB Dengan Migas (2010)

0

5

10

15

20

25

30

35

   1   1 .   N   a   n   g   g   r   o   e   A   c   e    h   D   a   r   u   s   s   a    l   a   m

   1   2 .   S   u   m   a   t   e   r   a   U   t   a   r   a

   1   3 .   S   u   m   a   t   e   r   a   B   a   r   a   t

   1   4 .   R   i   a   u

   1   5 .   J   a   m    b   i

   1   6 .   S   u   m   a   t   e   r   a   S   e    l   a   t   a   n

   1   7 .   B   e   n   g    k   u    l   u

   1   8 .   L   a   m   p   u   n   g

   1   9 .   B   a   n   g    k   a   B   e    l   i   t   u   n   g

   2   0 .   K   e   p   u    l   a   u   a   n   R   i   a   u

   3   1 .   D   K   I   J   a    k   a   r   t   a

   3   2 .   J   a   w   a   B   a   r   a   t

   3   3 .   J   a   w   a   T   e   n   g   a    h

   3   4 .   Y   o   g   y   a    k   a   r   t   a

   3   5 .   J   a   w   a   T   i   m   u   r

   3   6 .   B   a   n   t   e   n

   5   1 .   B   a    l   i

   5   2 .   N   u   s   a   T   e   n   g   g   a   r   a   B   a   r   a   t

   5   3 .   N   u   s   a   T   e   n   g   g   a   r   a   T   i   m   u   r

   6   1 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   B   a   r   a   t

   6   2 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   T   e   n   g   a    h

   6   3 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   S   e    l   a   t   a   n

   6   4 .   K   a    l   i   m   a   n   t   a   n   T   i   m   u   r

   7   1 .   S   u    l   a   w   e   s   i   U   t   a   r   a

   7   2 .   S   u    l   a   w   e   s   i   T   e   n   g   a    h

   7   3 .   S   u    l   a   w   e   s   i   S   e    l   a   t   a   n

   7   4 .   S   u    l   a   w   e   s   i   T   e   n   g   g   a   r   a

   7   5 .   G   o   r   o   n   t   a    l   o

   7   6 .   S   u    l   a   w   e   s   i   B   a   r   a   t

   8   1 .   M   a    l   u    k   u

   8   2 .   M   a    l   u    k   u   U   t   a   r   a

   9   1 .   P   a   p   u   a   B   a   r   a   t

   9   4 .   P   a   p   u   a

Peringkat IPB Tanpa Migas (2010) Peringkat IPB Dengan Migas (2010)

Page 56: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 56/62

52

Ketiga indikator meso; IPH, Green Rating dan IPB; memiliki kelebihan dankekurangannya masing-masing. Secara ringkas, tabel berikut menyarikan kelebihan sertakekurangan ketiga indikator tersebut, untuk selanjutnya memberikan rekomendasi terkaitdengan implementasinya.

Tabel 27 Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB

Indikator Kelebihan Kekurangan Catatan

IndeksPembangunanHijau (IPH)

  Mencakup keseluruhandimensi (ekonomi,sosial, lingkungan dankelembagaan)

  Mengakomodirkearifan lokal

  Sulit untukmenguantifikasikan

  Data tidak seluruhnyatersedia

  Penghitungan relatif sulit

Menjadi prioritas diakhir tahun perencanaan.Direkomendasikandilakukan padalevel provinsi untukmenilai kinerja pembangunan

 berkelanjutan ditingkat provinsi

Green Rating   Mengakomodir isukebijakan lingkungan

  Penghitungan relatifmudah

  Memungkinkan penilaian secaragradasi (sepertiHijau,semi hijau,kuning dan cokelat)sehingga lebih mudahditerima oleh daerah

  Penilaian terkadang bersifat subjektif

  Oleh karena telah banyakrating yang saat ini sudah berjalan seperti Adipura,Adiwiyata dansejenisnya, kemungkinanadanya resistensi untukmenggabungkan menjadi

satu rating karenakepentingan yang berbeda

Merupakanindikatorkomplemen

Dapat dijadikanindikator satelit pada IKLH atauSLHI (StatusLingkungan Hidup

Indonesia)

IndeksPembangunanBerkelanjutan(IPB)

  Merupakan indekskomposit (ekonomi,sosial dan lingkungan)

  Data relatif tersedia pada level pusat dandaerah

  Penghitungan relatifmudah

  Mampumenggambarkankinerja pembangunan berkelanjutan di pusatdan daerah

  Dapat digunakansebagai “novelty”(kebaruan) dalammengukur pembangunan berkelanjutan diIndonesia

  Sensitif terhadap pembobotan

  Belum ada standarisasiantar wilayah

  Perlu perbaikankomponen IKLH

  Diperlukan target kinerjaekonomi yang baku yang

menjadi basis perhitunganindeks PDRB.

Dapat dilakukansegera

Diperlukansosialisasi ke daerahsehingga ada aspek penerimaan(acceptability) dan

tidak menimbulkanresistensi

Page 57: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 57/62

53

4.2.4. Roadmap Pengembangan IPLH

Pengembangan beberapa indikator yang telah dibahas sebelumnya tentunya tidak akandapat dilaksanakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dibutuhkan pentahapan yang

 jelas dan terarah agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pada tahun-tahun awal, kegiatan

lebih ditekankan pada tahapan persiapan dan penghitungan beberapa indikator makro.Kegiatan pada tahapan persiapan antara lain adalah perubahan/penambahan komponenlingkungan hidup, perubahan pembobotan dan standarisasi kondisi eksogenous pada IKLH.Tahapan persiapan lainnya yaitu dilakukannya studi yang komprehensif tentang deplesi dandegradasi. Sementara indikator yang telah mulai dilakukan penghitungan adalah PDB Hijaudan Genuine Saving   pada tingkat nasional. Penghitungan kedua indikator ini telah bisadilakukan pada tahun awal, tetapi tentunya studi-studi tentang deplesi dan degradasi dapatdijadikan sebagai bahan untuk penyempurnaan kedua indikator ini pada tahun-tahun

 berikutnya. Penghitungan indikator yang lebih kompleks baru mulai dilakukan pada tahun keempat. Tabel 27 menjabarkan secara lebih detil tahapan yang dibutuhkan dalam

 pengembangan IPLH.

Tabel 28 Roadmap Pengembangan IPLH

KegiatanTahun 

 LeadingSector  2015 2016 2017 2018 2019

1.  Perubahan/penambahan komponen

lingkungan hidup dalam IKLH

x KLH

2.  Perbaikan sampel IKLH x KLH

3.  Perubahan pembobotan IKLH x KLH

4.  Standarisasi kondisi eksogenous (geografi)dan demografi pada IKLH

x KLH

5.  Penghitungan IKLH (nasional/provinsi) x x x KLH

6.  Pengembangan IKLHD kabupaten x KLH

7.  Penghitungan IKLHD kabupaten x KLH

8.  Penghitungan PDB Hijau (nasional) x x x x x BPS

9.  Penghitungan Genuine Saving  (nasional) x x x x x BPS

10. Studi komprehensif tentang deplesi dan

degradasi lingkungan

x x Bappenas-

BPS-KLH

11. Pengembangan PDRB Hijau (provinsi) x x x x BPS

12. PengembanganGenuine Saving  (provinsi) x x x x BPS13. Pengembangan Indeks Pembangunan Hijau x KLH-BPS

14. Penghitungan Green Rating   x KLH

15. Penghitungan Indeks Pembangunan

Berkelanjutan (nasional/provinsi)

x x x x x Bappenas

Page 58: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 58/62

54

4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan

Hidup

Pengembangan indikator pembangunan lingkungan hidup yang mengakomodasidinamika pembangunan lima tahun mendatang memang tidak mudah. Berbagai tantangan

akan dihadapi yang disebabkan oleh berbagai faktor.Pertama adalah menyangkut ketersediaan data. Masalah ini adalah masalah klasik yang

sebenarnya sudah cukup lama dirasakan untuk mengembangkan indikator yang komprehensif. Namun demikian tidak semua informasi dan data ini tersedia baik pada tingkat pusat maupundaerah. Misalnya saja data terkait dengan deplesi sumber daya alam, data ini tidak tersediasecara mudah di BPS maupun sektor terkait. Demikian juga dengan degradasi lingkungan.Meski KLH mengeluarkan SLHI setiap tahun, namun sering data yang diperoleh juga belummencerminkan kondisi yang sebenarnya di daerah karena data yang tersedia masih bersifatagregat, belum pada unit kabupaten/kota atau provinsi.

Kedua menyangkut kapasitas kelembagaan di daerah untuk mengembangkan indikatorlingkungan yang komprehensif. Dari hasil FGD di berbagai kota ditemukan bahwa tidak

semua daerah memiliki kapasitas untuk mengembangkan indikator lingkungan seperti PDRBhijau sekalipun yang lebih sederhana. Masalah ini diperberat pula oleh sistem otonomi daerahyang sekarang berjalan dimana investasi pada sumber daya manusia yang telah dididik ataumengikuti pelatihan PDRB hijau misalnya, bisa saja kemudian dimutasi di tempat lain,sementara penggantinya sama sekali belum bisa memahami esensi PDRB hijau atau aspeklingkungan secara menyeluruh.

Tantangan ketiga yang akan dihadapi adalah terkait dengan kepentingan dan komitmenkepala daerah dalam mengembangkan ekonomi hijau secara menyeluruh. Di beberapa daerahaspek lingkungan belum menjadi prioritas dan akan terkalahkan oleh sektor yang lebih

 banyak menghasilkan PAD. Hasil kunjungan di daerah bahkan ada Kota yang kantor BLH(Badan Lingkungan Hidup) daerahnya “dititipkan” pada perkantoran swasta. Ini

menunjukkan komitmen dan investasi di bidang lingkungan yang rendah yang tentu saja akansulit mengembangkan indikator pembangunan yang hijau di masa mendatang.

Tantangan lain yang akan dihadapi adalah menyangkut penyempurnaan metodologi perhitungan indeks yang komprehensif. Penyempurnaan ini memerlukan investasi pengetahuan publik dan finansial yang tidak sedikit dan juga memerlukan diskusi yang intensdengan berbagai sektor. Sebagai contoh pengembangan IKLH oleh Kementrian LingkunganHidup pada masa lalu misalnya banyak dibantu oleh lembaga donor seperti DANIDA. Olehkarenanya diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah pusat untuk mengembangkanmetodologi ini secara kontinu dan sistematis.

 Namun demikian dari berbagai tantangan-tantangan tadi tentu saja dapat dijadikan peluang bagi daerah dan pusat untuk mulai menyusun kebutuhan data yang sistematik sesuaidengan kebutuhan pengembangan indikator lingkungan. Dengan demikian akan dihasilkanefek domino kepada daerah untuk melakukan sistem basis data yang lebih baik.Pengembangan indikator yang baru juga akan memicu daerah untuk berlomba-lombamemperoleh rating hijau yang lebih misalnya sehingga akan memicu investasi yang lebih

 besar kepada bidang lingkungan hidup. Selain itu pengembangan indikator ini juga akanmemberikan peluang kerja sama yang lebih baik dengan berbagai pihak di daerah seperti

 perguruan tinggi lokal, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya yang akan membantumeningkatkan kapasitas kelembagaan di daerah.

Secara khusus, pengembangan Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) menjadi halyang sangat potensial untuk dilakukan, mengingat komponen penyusunnya sudah dikenal

luas, terutama untuk PDRB dan IPM. Tantangannya memang terletak pada IKLH yangmerupakan indikator yang relatif baru dibandingkan dua indikator sebelumnya. Indikator ini

Page 59: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 59/62

55

masih memerlukan beberapa penyempurnaan agar dapat dipergunakan sebagai indikator yangmampu mengukur capaian pembangunan lingkungan dan dapat diaplikasikan untuk melihatketerbandingan antar waktu dan antar wilayah. Sehubungan dengan uraian sebelumnya, maka

 prasyarat dalam penghitungan IPB paling tidak meliputi hal-hal berikut ini:a.  Tersedianya data yang dibutuhkan dalam penyusunan IPB pada tingkat provinsi hingga

kabupaten. Tidak saja sekedar tersedia, data tersebut tentunya juga harus tersediasepanjang waktu (kontinu) dan dapat dipercaya (reliable). Terjaminnya ketersediaan datasepanjang waktu akan menjadikan IPB sebagai indikator yang dapat menggambarkan

 periodisasi pengembangan wilayah. Data yang reliable  tentunya akan menjaminobjektivitas dari IPB sendiri, sehingga akan menjadi indikator yang mampu diterima olehsemua orang.

 b.  Dibutuhkan kekuatan hukum yang menjadikan IPB sebagai indikator kinerja (key

 performace indicator ), sehingga IPB tidak hanya sekedar angka tanpa makna.Penyepakatan IPB sebagai salah satu indikator pembangunan tentunya dapat dituangkandi dalam dokumen perencanaan makro seperti RPJM, baik di tingkat nasional maupun ditingkat daerah. Skema insentif -disinsentif   tentunya juga dibutuhkan agar IPB dapat

menjadi barometer pembangunan. Tersedianya data PDRB dan IKLH secara rutin setiaptahun dan dipergunakan sebagai indikator pembangunan daerah, diyakini juga didorongoleh adanya skema yang mengaitkan kedua data tersebut dengan penghitungan DanaAlokasi Umum (DAU). Skema seperti ini tentunya juga dapat dilakukan pada IPB,misalnya dengan juga mendorong IKLH sebagai komponen DAU. Artinya jika dataPDRB, IPM dan IKLH telah tersedia, maka secara tidak langsung sudah menjamintersedianya data untuk penghitungan IPB.

c.  Penghitungan IPB melibatkan koordinasi lintas institusi, sehingga mekanisme sinergikelembagaan sangat dibutuhkan untuk pengembangan IPB. Paling tidak, koordinasi iniakan melibatkan institusi seperti Bappenas, BPS, Kementrian Lingkungan Hidup, danKementrian Keuangan. Koordinasi memang merupakan bahasa yang gampang diucapkan,namun sulit untuk dilaksanakan, apalagi jika sudah menyangkut ego sektoral.

Page 60: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 60/62

56

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari analisis yang telah dilakukan terkait evaluasi dan pengembangan indikator pembangunan lingkungan hidup, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan.

  Indikator lingkungan hidup yang digunakan saat ini meski diakui sebagai “the bestavailable indicator ” yang ada saat ini namun masih dirasakan memiliki defisiensi

karena belum memiliki efek kebijakan pembangunan yang berarti khususnya didaerah. Dengan kata lain apa implikasi IKLH 60 atau 80 bagi daerah sampai saat ini

 belum memberikan efek perubahan.

  Sampai saat ini sulit menentukan target dari kinerja lingkungan hidup yang setaradengan target indikator lain seperti pertumbuhan ekonomi, IPM dan sejenisnya.Kesulitan ini dirasakan karena output dari LH bersifat multisektor dan melibatkan

 berbagai aspek kehidupan.

  Dari sisi komponen pembangunan masih dirasakan adanya pembobotan yang terlaluseragam sehingga unsur fairness dan standarisasi belum menjadi pertimbangan

  Di tingkat operasional di daerah, masih dirasakan sulit bagi daerah untukmengembangkan indikator lingkungannya sehingga masih mengandalkan penilaiandari pusat. Namun ini pun menjadi pisau bermata dua karena jika dilakukan di daerahdikhawatirkan terjadi moral hazard dan ketiadaan independensi

  Tantangan pembangunan pada lima tahun mendatang semakin kompleks danmemerlukan indikator pembangunan yang lebih akomodatif dan komprehensif denganmempertimbangkan unsur pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dandampaknya terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Dengan demikian beberapa rekomendasi kebijakan mendasar antara lain adalah

  Dalam RPJM mendatang aspek-aspek yang berkaitan dengan tekanan terhadaplingkungan seperti jejak ekologis (ecological footprint ) dan biocapacity  hendaknyadapat dipertimbangkan untuk menjadi bagian dalam penilaian indikator pembangunanlingkungan

  Dalam pelaksanaan memang mungkin ditemukan kesulitan dan hambatan untukmengukur indikator di atas, untuk itu mungkin kedua indikator tersebut dapatdigunakan sebagai indikator satelit (pelengkap) bagi laporan IKLH

  Mengingat IKLH sudah berjalan cukup lama dan sudah memiliki protokol perhitungan yang relatif mudah dilakukan, IKLH masih tetap bisa dipertahankansebagai indikator lingkungan hidup. Namun demikian penyempurnaan terhadapvariabel dan metode perhitungan IKLH yang ada saat ini harus dilakukan

  Penyempurnaan yang krusial adalah terkait dengan penggunaan komponen yangmudah diinterpretasikan dan informatif. Dengan kata lain skor IKLH harusmemberikan informasi lingkungan yang mudah kepada pengambil kebijakan dan

 penjelesan terhadap komponen pembentuk IKLH yang bisa dikaitkan dengan program pembangunan. Sebagai contoh jika skor IKLH 60, bagaimana skor inidiinterpretasikan secara mudah dan komponen apa saja yang menyebabkan skor 60tersebut sehingga intervensi kebijakan (misalnya apakah kualitas udara yang burukatau tutupan hutan yang kurang) dapat dilakukan melalui komponen tersebut.

  Penyempurnaan IKLH ini menyangkut penggunaan indikator kinerja lingkungan yangterkait dengan hulu dan hilir atau input proses dan output, atau bisa saja terkaitdengan komponen stock dan flow dari sumber daya alam dan lingkungan.

Page 61: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 61/62

57

  PDRB hijau atau semi hijau masih tetap relevan untuk digunakan karena akanmenunjukkan bagaimana deplesi dan degradasi SDAL berpengaruh terhadap

 pertumbuhan ekonomi. Namun demikian diperlukan protokol atau metode bakuterkait dengan perhitungan deplesi dan degradasi (memerlukan teknik valuasiekonomi) yang mudah dilakukan dan mudah diinterpretasikan oleh pengambil

kebijakan. Protokol ini juga akan memudahkan daerah untuk mengumpulkan datauntuk menghitung PDRB hijau daerah tersebut.

  Mengembangkan indikator yang lebih komprehensif seperti Indeks PembangunanHijau (IPH) dan Green rating atau Dashboard Sustainbility Index (DSI). Oleh karenamemerlukan tahapan yang memerlukan proses pembelajaran, indikator-indikatortersebut bisa saja sementara ini menjadi indikator komplemen

  Indikator yang bersifat “low hanging fruit ” atau mudah untuk dilaksanakan sebagaiindikator komposit pembangunan berkelanjutan adalah Indeks PembangunanBerkelanjutan (IPB). Indeks ini relatif mudah dilaksanakan dan diinterpretasikan,namun memerlukan kesepakatan terkait dengan target keluaran indeks ekonomiseperti target pertumbuhan ekonomi.

  Diperlukan penguatan kapasitas kelembagaan untuk mengembangkan indikator didaerah sehingga setiap daerah akan memiliki insentif untuk menuju pembangunanyang lebih berkelanjutan

Page 62: digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

8/19/2019 digital_153578-[_Konten_]-Konten D466

http://slidepdf.com/reader/full/digital153578-konten-konten-d466 62/62

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana dan Yusuf. 2007. Assessing Indonesia's sustainable development: long-run trend,

impact of the crisis, and adjustment during the recovery period . MPRA Paper No. 1736.February 2007

Badan Pusat Statistik (BPS). 2010.  Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2008 (Perbaikan dari

 Laporan tahun 2009).Jakarta : BPSBadan Pusat Statistik. 2012. Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia

2007-2011. Jakarta: BPSBappenas. 2013. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Jakarta: BappenasDANIDA. 2012. Methodology Development of Green GDP And Green GRDP For Indonesia.Fauzi A. 2004.  Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta :

Gramedia.Fauzi A. 2007.  Economic of Nature’s Non Convexity: Reorientasi Pembangunan Ekonomi

Sumber Daya Alam dan Implikasinya bagi Indonesia [Orasi Ilmiah]. Disampaikan padaOrasi Ilmiah Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, FakultasEkonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 10 November 2007.

Fauzi A. 2009.  Rethinking Pembangunan Ekonomi Sumberdaya Alam dan

 Lingkungan.Artikel dalam buku Orange Book: Pembangunan Ekonomi Berkelanjutandalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Editor Rina Oktaviani, dkk. Bogor: IPB Press.

Fauzi A. 2012. Ekonomi Hijau untuk Bumi.Harian Kompas, 7 Juli 2012Gustami. 2012.  Indonesiian Experiience in Developing Sustainable Development Indicator .

Genewa. 6 Desember 2012Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2010.  Indeks Kualitas Lingkungan Hidup

 Indonesia 2009. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH

Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2011.  Indeks Kualitas Lingkungan Hidup

 Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH

Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2012.  Indeks Kualitas Lingkungan Hidup

 Indonesia 2011. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH

Leitman.Et. al. 2009. Investing in a More Sustainable Indonesia: Country Environment

 Analysis.CEA Series East Asia and Pacific Region.Washington DC: The World Bank

Rustiadi E., S. Saefulhakim, D.R. Panuju. 2009.  Perencanaan Pembangunan dan

 Pengembangan Wilayah, Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor IndonesiaWorld Bank. 2006. Where is the Wealth of Nation? Measuring Capital for 21 st  

Century.Washington DC: The World Bank.