PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan...

32
DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 07 KAJIAN SEKTOR KESEHATAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK KEAMANAN PANGAN

Transcript of PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan...

Page 1: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

0 7

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK KEAMANAN PANGAN

Page 2: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK KEAMANAN PANGAN© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

PengarahDr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc

PenulisDra. Lucky S. Slamet, M.ScDewi Amila Solikha, SKM, M.Sc

Editor Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhDProf. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.

Foto: UNICEF Indonesia

Diterbitkan dan dicetak oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]

Cetakan pertama: April 2019ISBN: 978-623-93153-4-4

Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya.

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK KEAMANAN PANGAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

Page 3: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

Kajian Sektor Kesehatan • viv • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

KATA PENGANTAR

Menjelang akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) melakukan Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review/HSR) 2018 yang merupakan suatu proses berbasis bukti yang akan digunakan sebagai masukan dalam penyusunan target, arah kebijakan, strategi, dan prioritas pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2020-2024.

Kajian Sektor Kesehatan 2018 dengan topik “Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan” merupakan terobosan baru dalam kajian analisis sektor kesehatan 2018 mengingat dalam kajian analisis sektor kesehatan 2014, pengawasan obat dan makanan merupakan bagian dari tematik farmasi dan teknologi kesehatan. Hal ini dikarenakan pengawasan obat dan makanan merupakan salah satu agenda pembangunan nasional bidang kesehatan dengan fungsi yang strategis dalam upaya perlindungan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat dan sekaligus untuk mendukung daya saing obat dan makanan nasional.

Laporan Kajian Sektor Kesehatan 2018 dengan topik “Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan” menyajikan identifikasi isu strategis dan tantangan pengawasan obat dan makanan, menganalisa capaian dan memberikan rekomendasi dalam bentuk arah kebijakan, strategi, indikator, kerangka kelembagaan dan kerangka regulasi. Masukan dari kajian ini akan menjadi salah satu referensi utama dalam menyusun RPJMN 2020-2024 terutama mengenai pengawasan obat dan makanan. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun dan narasumber yang telah membantu penyelesaian laporan ini. Kami sangat berharap kajian ini dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan dalam merancang pembangunan kesehatan ke depan.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Page 4: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

Kajian Sektor Kesehatan • vii

DAfTAR ISI

Kata Pengantar iv

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Singkatan x

Ringkasan Eksekutif xii

1. PENDAHUlUAN 1

2. ANAliSiS SiTUASi 3

2.1. Capaian Pengawasan Obat dan Makanan 4

2.2. Kelembagaan dalam Pengawasan Obat dan Makanan 16

2.3. SDM Pengawas 19

2.4. Kapasitas Laboratorium 20

2.5. Penindakan Pelanggaran Obat dan Makanan 21

3. TANTANGAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN 27

4. SARAN/REKOMENDASi KEBijAKAN PEMBiAyAAN KESEHATAN 37

4.1. Usulan Arah Kebijakan dan Strategi 38

4.2. Review Indikator POM 2015-2019 dan Masukan Indikator POM 2020-2024 40

4.2.1. Review Indikator Pengawasan Obat dan Makanan 2015-2019 40

4.2.2. Masukan Indikator Pengawasan Obat dan Makanan 2020-2024 41

Referensi 44

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulisan dan perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi kami berikan kepada Prof. dr. Ascobat Gani (team leader HSR 2018); Prof. dr. Meiwita P. Budiharsana, MPA, Ph.D; Pimpinan dan Tim Deputi 1, 2, 3, 4, serta Tim Biro Perencanaan dan Keuangan BPOM; Dr Budiono Santoso, SpFK, Ph.D; Dr. Ir. Roy Alexander Sparringa, M.App.Sc; Prof.Dr.Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc; Drs. Halim Nababan, MM; GP Farmasi Indonesia dan IPMG; dan juga para narasumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sektor Review) di bawah bimbingan Dr. Ir. Subandi Sardjoko, M.Sc (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan - Bappenas) dengan arahan teknis dari Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, Ph.D (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat - Bappenas), Dewi Amila Solikha, SKM, M.Sc (Kasubdit Kesehatan Masyarakat - Bappenas), Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc (Kasubdit Sumber Daya Manusia dan Pembiayaan Kesehatan-Bappenas).

Kajian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas ini mendapatkan dukungan dari kementerian/Lembaga terkait, serta dukungan dari UNICEF dan DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti WHO, ADB, World Bank, USAID, UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International. Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia.

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi:

1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja

4 Pembangunan Gizi di Indonesia

5 Sumber Daya Manusia Kesehatan

6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan

7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan

8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

vi • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Page 5: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

Kajian Sektor Kesehatan • ixviii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

DAfTAR GAMBAR

Gambar 1 Permohonan Registrasi Obat 2014-2016 dan Ketepatan Waktu Proses Pemberian NIE 6

Gambar 2 Profil Presentase Temuan Obat Tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) 8

Gambar 3 Hasil Pengawasan Obat Tidak Memenuhi Syarat Berdasarkan Parameter Uji 2015-2017 10

Gambar 4 Tren Obat Tidak Memenuhi Syarat Berdasarkan Parameter Uji Tahun 2015 s/d Oktober 2017 10

Gambar 5 Mata Rantai Keamanan Pangan from Farm to Table 11

Gambar 6 Penyebab KLB Keamanan Pangan berdasarkan Jenis Pangan (2013-2017) 12

Gambar 7 Profil Etiologi KLB Keamanan Pangan (2013-2017) 12

Gambar 8 Kinerja Program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya 2013-2017 14

Gambar 9 Kemampuan Uji Badan POM terhadap Fornas dan Produk Beredar di Pasaran 21

Gambar 10 Kelas Terapi Produk Obat Palsu 23

Gambar 11 Jumlah Perkara Tindak Pidana Obat dan Makanan 2015-2017 23

Gambar 12 Temuan Jenis Pelanggaran dalam Perkara Pidana Obat dan Makanan 2017 24

Gambar 13 Nilai Keekonomisan Temuan Produk Obat dan Makanan yang Dimusnahkan Periode 2013-2017 (Produk Mengandung Bahan Berbahaya, Ilegal dan Palsu) 25

Gambar 14 Tren Capaian Indikator Pengawasan Obat dan Makanan 40

DAfTAR TABEL

Tabel 1 Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan (Umum) Tahun 2017 4

Tabel 2 Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan Sebelum Beredar Pre-Market (Penilaian dan Standarisasi) 5

Tabel 3 Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan Post-Market 2017 (Inspeksi Sarana Distribusi dan Produksi) 7

Tabel 4 Target dan Capaian PMR Keamanan Pangan 2015-2017 13

Tabel 5 Kinerja Kawalan Keamanan Pangan 2017 15

Tabel 6 Pengawasan Obat dan Makanan oleh Balai/Balai Besar POM 18

Tabel 7 Kinerja Investigasi dan Penyidikan dalam Rangka Penegakan Hukum Bidang Obat dan Makanan 22

Tabel 8 Putusan Pengadilan atas Perkara Tindak Pidana Obat dan Makanan (Beberapa Contoh) 25

Page 6: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

DAfTAR SINGKATAN

AB Antibiotik

AMR Anti-Microbial Resistance

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Bareskrim Badan Reserse Kriminal

BBO Bahan Baku Obat

BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

BlUD Badan Layanan Umum Daerah

BMHP Bahan Medis Habis Pakai

BMi Business Monitoring International

BPjS Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

BPOM Badan Pengawasan Obat dan Makanan

BPS Badan Pusat Statistik

CDOB Cara Distribusi Obat yang Baik

CPBBAOB Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik

DAK Dana Alokasi Khusus

DAU Dana Alokasi Umum

ESBls Extended-spectrum-beta-lactamases

ina-CBGs Indonesia Case Based Groups

Farmalkes Farmasi dan Alat Kesehatan

Fornas Formularium Nasional

GeMa CerMat Gerakan Masyarakat Cerdas Minum Obat

HPS Harga Perkiraan Sendiri

HSR Health Sector Review

HTA Health Technology Assessment

iDAi Ikatan Dokter Anak Indonesia

iOT Industri Obat Tradisional

jKN Jaminan Kesehatan Nasional

KiE Komunikasi Informasi Edukasi

KPK Komisi Pemberantasan Korupsi

KPRA Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba

KPTK Komite Penilaian Teknologi Kesehatan

Kajian Sektor Kesehatan • xi

lKPP Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Monev Monitoring dan Evaluasi

NiE Nomor Izin Edar

NSAiD Non-Steroid Anti-Inflammation Drug

OECD Organization for Economic Co-operation and Development

OOP Out-of-pocket

PADK Pusat Analisis Determinan Kesehatan

PAK Penyalur Alat Kesehatan

PBF Pedagang Besar Farmasi

PKRT Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

POR Penggunaan Obat Rasional

PPNS Penyidik Pegawai Negeri Sipil

PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronis

PPRA Program Pengendalian Resistensi Antimikroba

PRB Program Rujuk Balik

Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

QSDS Quantitative Service Delivery Survey

Rifaskes Riset Fasilitas Kesehatan

RiPiN Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional

RKO Rencana Kebutuhan Obat

RPjMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

SCM Supply Chain Management

SDGs Sustainable Development Goals

SiRKESNAS Survei Indikator Kesehatan Nasional

SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah

SlE Systemic lupus erythematosus

SRB Surat Rujuk Balik

STR Surat Tanda Registrasi

TNP2K Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan

VVM Vaccine Vial Monitor

WHO World Health Organization

x • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Page 7: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

RINGKASAN EKSEKUTIf

Pengawasan obat dan makanan masih memerlukan penguatan dari berbagai aspek. Secara kelembagaan, perlu kejelasan pembagian peran dan mekanisme koordinasi antara pengawasan produk obat dan makanan baik pusat maupun daerah. Di tingkat pusat, koordinasi ini mencakup beberapa K/L yang berwenang seperti pengawasan produk pangan segar di Kementan, pengawasan produk olahan yang memiliki ijin edar di BPOM, dan pengawasan produk makanan dan minuman secara umum di Kementerian Kesehatan. Di daerah dan pada tataran pelaksanaan koordinasi ini lebih sulit dilakukan dengan semakin meningkatnya produk pangan segar dan industri rumah tangga. Pengembangan laboratorium dan balai pengawasan obat dan makanan belum secara spesifik disesuaikan dengan penanganan risiko keterpaparan produk dan jumlah penduduk dalam suatu area tertentu. Untuk itu, pengembangan loka di daerah perlu di review kembali. Dalam aspek regulasi, penegakan hukum dan pemberian sanksi bagi pelanggaran obat dan makanan perlu diperkuat. Beberapa pelanggaran yang dilakukan ditemukan secara berulang karena sanksi yang diterapkan tidak membuat efek jera. Peran BPOM sebagaimana diamanahkan dalam “Inpres No.3 Tahun 2017 tentang peningkatan efektivitas pengawasan obat dan makanan” yakni sebagai koordinator dalam pengawasan obat dan makanan perlu lebih dioptimalkan.

Secara umum tantangan pengawasan obat dan makanan dalam 5 tahun ke depan mencakup empat aspek, yaitu: 1) aspek kesehatan-menjamin produk obat dan makanan yang beredar memenuhi standar kualitas, keamanan, dan khasiat/efektivitas terutama bagi industri kecil dan mikro; 2) aspek sosial-meningkatkan kepercayaan publik terhadap produk obat dan makanan yang beredar; 3) aspek ekonomi-mendorong daya saing industri obat dan makanan dengan semakin mudahnya perizinan dan sertifikasi obat dan makanan dengan tetap mempertimbangkan kualitas dan jaminan produk halal, dukungan pengembangan produk dan makanan baru dan ketersediaan bahan baku dalam negeri dengan berbagai riset, dan memperluas inovasi dan pemanfaatan teknologi dalam pengawasan obat dan makanan; dan 4) aspek keamanan nasional-meningkatkan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran obat dan makanan serta bioterorisme.

Arah kebijakan ke depan difokuskan pada peningkatan pengawasan obat dan makanan yang lebih efektif, efisien, dan berdaya ungkit bagi pencapaian target pembangunan nasional, sehingga memberikan perlindungan menyeluruh bagi kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan daya saing obat dan makanan. Strategi yang diusulkan, di antaranya: 1) perlindungan publik dari obat dan makanan yang tidak memenuhi syarat dengan perluasan cakupan dan kualitas pengawasan pre dan post market obat dan pangan; 2) peningkatan kemandirian pelaku usaha, pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat; 3) peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peran Badan POM dalam Integrated Criminal Justice System; 4) percepatan proses registrasi produk obat dan makanan dengan tetap mengacu pada pemenuhan kualitas keamanan produk; 5) peningkatan riset di bidang pengawasan obat dan makanan; 6) peningkatan kemampuan SDM dan kapasitas laboratorium dan Balai POM; dan 7) perluasan pemanfaatan teknologi informasi dalam pengawasan obat dan makanan. Strategi tersebut perlu didukung oleh penguatan kerangka kelembagaan, regulasi dan pendanaan yang memadai. Untuk mengukur capaian kinerja pengawasan obat dan makanan, indikator persentase obat memenuhi syarat dan persentase makanan memenuhi syarat masih cukup relevan untuk digunakan, namun perlu perbaikan metodologi. Selain itu, indeks keamanan obat dan makanan dan indeks pengawasan obat dan makanan sebagai alternatif indikator perlu dieksplorasi dan dikembangkan dengan menggunakan prinsip-prinsip statistik yang valid dan reliable.

1. PENDAHUlUAN

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN,

TERMASUK KEAMANAN PANGAN

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

xii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Page 8: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Dalam rangka penyusunan RPJMN 2020-2024 yang merupakan tahap akhir dari RPJPN 2005-2025, Kementerian PPN/Bappenas melakukan Kajian Analisis Sektor Kesehatan atau Health Sector Review (HSR) pada tahun 2018. Salah satu tematik topik yang diangkat dalam HSR tahun 2018 adalah tematik 7 tentang Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan identifikasi isu strategis dan tantangan pengawasan obat dan makanan, menganalisa capaian dan memberikan rekomendasi dalam bentuk arah kebijakan, strategi, indikator, kerangka kelembagaan dan regulasi. Masukan dari kajian ini akan menjadi salah satu referensi dalam menyusun RPJMN 2020-2024 terutama mengenai pengawasan obat dan makanan.

Komponen Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk pengawalan terhadap Keamanan Pangan sebagai judul tematik tersendiri merupakan terobosan baru dalam kajian analisis sektor kesehatan 2018 mengingat dalam kajian analisis sektor kesehatan 2014, Pengawasan Obat dan Makanan merupakan bagian dari tematik Farmasi dan Teknologi Kesehatan. Hal ini karena Pengawasan Obat dan Makanan termasuk Keamanan Pangan merupakan salah satu agenda reformasi pembangunan nasional bidang kesehatan dengan fungsi yang sangat strategis dalam upaya perlindungan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia dan sekaligus untuk mendukung daya saing nasional bidang usaha obat dan makanan.

Kajian ini akan dikonsolidasikan dengan kajian tematik lainnya menjadi satu kesatuan laporan karena seluruh tematik saling berkaitan, melengkapi dan mendukung. Oleh karena itu, kajian tematik 7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan perlu dibaca bersama, termasuk tetapi tidak terbatas, dengan kajian tematik yang lain, seperti, tematik no 4 (terkait dengan Keamanan Pangan), tematik no 6 (terkait dengan keterpaduan sistem Pengawasan Obat dan Makanan dengan seluruh sektor farmasi), tematik 9 (terkait ketersediaan obat yang terjamin khasiat, keamanan dan mutunya dalam pelayanan kesehatan).

2. ANAliSiS SiTUASi

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN,

TERMASUK KEAMANAN PANGAN

Page 9: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 54 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Pencapaian indikator pengawasan obat dan makanan tersebut didukung oleh beberapa pencapaian kinerja yang lain3, seperti kinerja pengawasan produk obat dan makanan sebelum beredar (pre-market) sebagaimana Tabel 2.

Tabel 2. Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan Sebelum Beredar Pre-Market (Penilaian dan Standarisasi)

Program/Kegiatan

indikator Target RealisasiCapaian

(%)

Penilaian Obat Persentase keputusan penilaian obat yang diterbitkan tepat waktu

60 63 105

Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik

Persentase keputusan penilaian obat tradisional yang diterbitkan tepat waktu

70 64 92

Persentase keputusan penilaian suplemen kesehatan yang diterbitkan tepat waktu

60 60 100

Persentase keputusan penilaian kosmetika yang diterbitkan tepat waktu

75 83 111

Penilaian Pangan Olahan

Persentase keputusan penilaian pangan olahan yang diselesaikan tepat waktu

80 97 121

Penyusunan Standar Obat

Jumlah standar obat yang disusun

10 10 100

Penyusunan Standar Pangan

Jumlah standar pangan yang disusun

14 14 100

Penyusunan Standar Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Kesehatan

Jumlah standar obat tradisional yang disusun

15 15 100

Jumlah standar kosmetik yang disusun

17 17 100

Jumlah standar suplemen Kesehatan yang disusun

8 8 100

Persentase keputusan dokumen uji klinik obat tradisional, kosmetik dan suplemen kesehatan yang diselesaikan tepat waktu

100 100 100

Sumber: Badan POM –Kinerja BPOM dalam angka Triwulan IV Tahun 2017

Kinerja pengawasan pre-market khususnya penilaian dalam proses pendaftaran/registrasi masih memiliki limitasi karena jenis produk obat dan makanan baru yang perlu dievaluasi

3 Badan POM, Kinerja BPOM Dalam Angka Triwulan IV, 2017

2.1. CAPAiAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN

Secara keseluruhan kinerja pengawasan obat dan makanan dalam mengawal keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat dan makanan telah mengalami perbaikan secara bermakna. Berdasarkan evaluasi paruh waktu RPJMN 2015-2019, target pencapaian target pengawasan obat dan makanan yaitu persentase obat yang memenuhi syarat, telah melampaui target sasaran (target 92 % dengan realisasi 98%)1

1. Di samping itu, data2 sebagaimana Tabel 1 Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan (Umum) Tahun 2017, menunjukkan bahwa dari 4 (empat) indikator, 3 (tiga) di antaranya telah melampaui target sasaran 2017 dan 2019, yaitu (i) persentase obat yang memenuhi syarat (99%), (ii) persentase makanan yang memenuhi syarat (92%) dan (iii) jumlah industri farmasi yang meningkat kemandiriannya (100%). Walaupun 1 (satu) indikator yaitu persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan, realisasi pencapaiannya pada tahun 2017 (6%) masih di bawah target (7%), tetapi pada dasarnya sudah terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan pencapaian tahun 2016 (4%).

Tabel 1. Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan (Umum) Tahun 2017

indikator Target (%) Realisasi (%) Capaian (%)

Persentase obat yang memenuhi syarat

93 99 106

Persentase obat tradisional yang memenuhi syarat

82 87 106

Persentase kosmetik yang memenuhi syarat

91 98 108

Persentase suplemen kesehatan yang memenuhi syarat

81 97 120

Persentase makanan yang memenuhi syarat

89 92 103

Jumlah industri farmasi yang meningkat kemandiriannya

12 12 100

Jumlah pelaku usaha Industri Obat Tradisional (IOT) yang memiliki sertifikat CPOTB

71 86 121

Jumlah industri kosmetika yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan

195 210 107

Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin Keamanan Pangan

7 6 96

Jumlah kerjasama yang diimplementasikan

15 15 100

Sumber: Badan POM, Laporan Kinerja 2017

1 Bappenas, Presentasi Pakar, FGD Pengawasan Obat dan Makanan, 30 Mei 20182 Badan POM, Laporan Kinerja 2017

Page 10: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 76 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

makin beragam, dengan jumlah berkas permohonan cukup banyak per tahun. Hal ini menjadi tantangan tersendiri di bidang pengawasan pre-market. Sebagai contoh, untuk produk obat, jumlah berkas permohonan registrasi yang diterima pada 2014 -2016 berturut-turut berjumlah 15.947 berkas (2014), 13.302 berkas (2015), 15.672 berkas (2016). Evaluasi yang dilakukan seringkali terkendala dengan belum adanya standar ilmiah obat baru, sehingga diperlukan upaya khusus untuk penilaian obat dimaksud bersama pakar. Sesuai WHO4, keberadaan pakar dalam proses evaluasi pre-market diperlukan untuk jaminan proses evaluasi ilmiah yang independent dan mengedepankan fairness. Selanjutnya, pemohon registrasi (pelaku usaha) memerlukan upaya juga untuk dapat memberikan data-data sesuai standar yang ditetapkan tersebut.

Gambar 1. Permohonan Registrasi Obat 2014-2016 dan Ketepatan Waktu Proses Pemberian NiE

Sumber: Budi Santoso, 2018

Hal ini seringkali yang menyebabkan proses pemberian Nomor Ijin Edar lebih lama. Dari database Badan POM5, diketahui bahwa jumlah berkas permohonan registrasi obat yang evaluasinya dapat diselesaikan tepat waktu dari tahun 2014-2016 rata-rata berkisar 50% per tahun yang berarti ada backlog sekitar 50% per tahun, sebagaimana yang dapat di lihat pada (Gambar 1 Permohonan Registrasi Obat 2014-2016 dan Ketepatan Waktu Proses Pemberian NIE). Untuk mengatasi hal ini, berbagai upaya deregulasi telah dilakukan, tanpa mengorbankan persyaratan jaminan khasiat, keamanan dan mutu obat. Di antaranya adalah (i) percepatan timeline proses registrasi, misalnya registrasi obat untuk ekspor dari 40 HK menjadi 7 HK, sistem notifikasi untuk registrasi variasi minor (tell and do), (ii) simplifikasi prosedur, misalnya peniadaan tahap pra-registrasi untuk registrasi obat generik lokal dan registrasi variasi major yang tidak perlu uji klinik, (iii) kemudahan dan transparansi misalnya dengan optimalisasi sistem registrasi obat online. Hal ini tertuang dalam Peraturan Kepala Badan No. 24 Tahun 2017 tentang kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, yang merupakan perbaikan dari Peraturan Kepala Badan POM tentang hal sama.

4 WHO Regulatory Benchmark Tools, 20105 Budi.Santoso, presentasi dalam forum FGD Pengawasan Obat dan Makanan, Bappenas, 2018

Di samping itu, pencapaian target pengawasan obat dan makanan juga ditunjukkan dari kinerja pengawasan post-market obat dan makanan yang dimaksudkan untuk menjamin konsistensi dan kesinambungan jaminan khasiat/manfaat, keamanan dan mutu obat dan makanan yang beredar. Capaian kinerja pengawasan post-market obat dan makanan (inspeksi sarana distribusi dan produksi) sebagaimana Tabel 3 (Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan Post-Market 2017 (Inspeksi Sarana Distribusi dan Produksi).

Tabel 3. Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan Post-Market 2017 (inspeksi Sarana Distribusi dan Produksi)

Program/Kegiatan indikator Target Realisasi Capaian

(%)

Pengawasan produksi produk terapetik (obat)

Persentase hasil inspeksi dengan temuan kritikal yang ditindak lanjuti tepat waktu

75 66 88

Jumlah industri farmasi yang meningkat tingkat kemandiriannya

12 12 100

Pengawasan distribusi obat

Jumlah PBF yang meningkat pemenuhan CDOB

150 150 100

Jumlah tindak lanjut regulatori terkait keamanan obat pasca pemasaran

14 13 92

Pengawasan produksi obat tradisional

Jumlah pelaku usaha industri obat tradisional yang memiliki sertifikat CPOTB

80 86 107

Pengawasan produksi kosmetika

Jumlah industri kosmetik yang mandiri dalam pemenuhan ketentuan

210 203 95

Pengawasan produksi dan distribusi pangan

Persentase industri pangan olahan yang menerapkan program manajemen risiko

7 6 96

Jumlah sarana distribusi pangan yang dilakukan inspeksi dalam rangka pendalaman mutu dan sertifikasi

120 124 103

Sumber: Badan POM – Kinerja BPOM dalam Angka Triwulan IV Tahun 2017

Dampak yang diharapkan dari peningkatan kinerja pengawasan obat dan makanan adalah perlindungan komprehensif terhadap konsumen/masyarakat dari obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan khasiat/manfaat, produk ilegal/palsu dan produk yang mengandung bahan yang berbahaya. Selain upaya pengawasan Pre-Post market obat dan makanan, telah dilakukan upaya intensifikasi pengawasan obat dan makanan untuk temuan yang persisten, antara lain terhadap produk obat dan makanan yang sering mengandung bahan berbahaya, misal Obat Tradisional (OT) yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), kosmetika yang mengandung bahan merkuri, hidrokinon, asam retinoat dan zat warna yang dilarang (merah K10/Rhodamin, merah K3, jingga K1) serta produk palsu dan ilegal.

Page 11: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 98 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Intensifikasi pengawasan tersebut dilakukan dalam bentuk kerja sama lintas sektor, khususnya dengan organisasi penegak hukum yang lain, di antaranya adalah Operasi Gabungan Nasional (OPGABNAS) yang dilakukan serentak pada waktu yang sama di seluruh Indonesia. Selain itu, secara periodik juga dilakukan Operasi Gabungan Daerah (OPGABDA) yang dilakukan setiap kwartal/semester di masing-masing provinsi. Operasi ini dilaksanakan secara terpadu melibatkan lintas sektor terkait, misalnya kepolisian daerah, dinas kesehatan, dinas perindustrian-perdagangan. Sasaran operasi ditujukan kepada sarana produksi, distribusi atau pengecer obat, obat tradisional, kosmetika, dan makanan yang diduga melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dengan urutan prioritas produk tanpa ijin edar, produk kedaluwarsa, OT BKO (Obat Tradisional mengandung Bahan Kimia Obat), pangan dan kosmetik mengandung bahan berbahaya, pangan rusak, dan distribusi obat keras di sarana tidak berwenang. Sasaran OBGABNAS 20176 adalah 189 sarana, dengan hasil 176 sarana (93%) melakukan pelanggaran, yang terdiri dari 7% sarana produksi, 10% sarana importir/distributor, 10% sarana apotek, 48% sarana toko, 8% sarana toko obat, 2% gudang, 1% salon dan 8% rumah. Hasil intensifikasi pengawasan obat dan makanan yang diharapkan adalah penurunan pelanggaran bidang obat dan makanan. Salah satu temuan adalah tren penurunan di tahun 2017 OT BKO menjadi 0,69%7, sebagaimana Gambar 2.

Gambar 2. Profil Presentase Temuan Obat Tradisional yang Mengandung Bahan Kimia Obat (BKO)

Sumber: Laporan Kinerja Badan POM 2016 dan 2017

Salah satu subsistem Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, yang meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin: (i) aspek keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang beredar; (ii) ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; (iii) perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat dan penggunaan obat yang rasional; serta (iv) upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri. Oleh karena itu dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai bagian tak terpisahkan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dalam SKN

6 Badan POM, Kinerja BPOM Dalam Angka Triwulan IV Tahun 20177 Badan POM, Laporan Kinerja 2016 dan 2017

diberlakukan penjaminan mutu khususnya untuk produk obat dan makanan yang digunakan.Kegiatan jaminan mutu produk dalam JKN tersebut harus didukung oleh Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) yang efektif dan efisien dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam jejaring kerja dan koordinasi yang responsif dan akuntabel, khususnya terkait (i) jaminan ketersediaan Obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu di sarana pelayanan kesehatan dan beredarnya Makanan yang aman dan bergizi, dan (ii) jaminan kesinambungan akses masyarakat terhadap obat dan vaksin dalam pelayanan kesehatan. Kondisi ini hanya bisa tercapai, antara lain, dengan (i) upaya pengawasan intensif dan pembinaan oleh Badan POM terhadap Industri Farmasi dan Pangan agar mempraktekkan ketentuan Good Manufacturing Practices (GMP) secara konsekuen dalam produksi obat dan makanan, (ii) upaya monitoring dan surveilans mutu obat dan makanan yang beredar, dan (iii) kawalan rantai distribusi obat dan Makanan yang menerapkan Good Distribution Practices (GDP) terkait mutu dan keabsahan obat dan makanan. Tantangan khusus bagi BPOM dalam hal ini adalah intensifikasi pengawasan pre-market dan post-market, serta pembinaan pelaku usaha agar secara mandiri menjamin mutu produknya. Tantangan lain adalah kurangnya keterpaduan koordinasi (perencanaan dan pelaksanaan) antara Badan POM dan K/L yang terkait dalam proses pengadaan obat e-Katalog. Hal ini terkait dengan kebijakan penetapan pemenang suplair obat dalam mekanisme E-Katalog yang hanya menekankan pada harga obat termurah dan diduga dapat terjadi trade-off terhadap jaminan mutu obat dalam pelaksanaan bisnis farmasi yang tidak profesional. Misalnya kurangnya kepatuhan penerapan ketentuan GMP sesuai kondisi saat diberikan Nomor Ijin Edar, dan terjadi peningkatan Toll Manufacturing pemenang suplair obat ke industri farmasi lain tanpa proses registrasi di Badan POM, dengan alasan bahwa pemenang suplair obat terikat dengan komitmen waktu suplai padahal proses registrasi obat di Badan POM memerlukan waktu.

Pada dasarnya, jaminan mutu (Quality Assurance) dalam manajemen suplai obat8 bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa setiap produk obat yang digunakan oleh pasien aman, dan efektif dengan standar mutu yang sama. Karakteristik dari standar mutu tersebut, antara lain, memiliki Nomor Ijin Edar, jaminan kemurnian dan potensi, memiliki keseragaman bentuk sediaan, profil Uji Bio-Availability (bila perlu) yang baik dan merupakan produk dengan kestabilan sesuai ketentuan. Jaminan mutu juga sangat tergantung pada kualitas kemasan, transportasi yang digunakan dan kondisi penyimpanan. Jaminan mutu obat yang dipakai dalam JKN harus mencakup seluruh life cycle dari produk obat tersebut. Dampak tidak terpenuhinya jaminan mutu obat dalam JKN, antara lain, (i) Tujuan penggunaan obat tidak tercapai dan kemungkinan akan meningkatkan biaya pengobatan dan layanan kesehatan akibat risiko dari obat tersebut (ii) Obat yang tidak memenuhi syarat perlu dilakukan penarikan/recall dan akan berdampak pada kelancaran layanan (iii) kekosongan obat apabila tidak ada mekanisme penggantian pasokan yang cepat dan efisien.

Di samping itu, walaupun persentase obat yang memenuhi syarat menunjukkan profil yang on-track tetapi tidak diketahui bagaimana kaitannya dengan sasaran agenda pembangunan nasional dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Apabila dilihat dalam 3 (tiga) tahun belakangan ini masih banyak temuan pengawasan obat yang terkait jaminan mutu dengan masalah terbesar adalah pemenuhan uji disolusi, dan konsistensi kadar obat, sebagaimana terlihat dalam Gambar 3 Hasil pengawasan obat tidak memenuhi

8 Management Sciences for Health (MSH). Managing Drug Supply, 1997, hal.119-150; 161-184; 315-326, update 2012 edition (Google Source)

Page 12: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 1110 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

syarat berdasarkan parameter uji 2015-2017. Kajian terhadap jenis obat yang diuji dari hasil pengawasan obat dalam Gambar 3 menunjukkan menunjukkan bahwa Analgesik/Antipiretik/Anti-inflamasi dan beberapa jenis obat life-saving seperti Antibiotika.

Gambar 3. Hasil Pengawasan Obat Tidak Memenuhi Syarat Berdasarkan Parameter Uji 2015-2017

Sumber: Badan POM: Forum Dialog tentang “Aksesibilitas terhadap Obat-obatan yang berkualitas

dengan harga yang terjangkau dalam JKN di Indonesia”, CSIS, Jakarta,9 Nov 2017

Anti TB, Anti virus dan Kardio-vaskular termasuk produk obat yang konsisten tidak memenuhi syarat mutu dalam kurun waktu 2015, 2016, 2017, walaupun terjadi pergeseran jenis obat untuk temuan terbanyak dari tahun ke tahun, sebagaimana yang terlihat dalam Gambar 4 (Tren Obat Tidak Memenuhi Syarat Berdasarkan Parameter Uji 2015 sampai dengan Oktober 2017). Hasil temuan tidak memenuhi syarat hanya mencakup < dari 2 % obat yang di-sampling dan diuji (dengan asumsi 98,74% obat memenuhi syarat), tetapi kondisi ini memberikan warning bahwa ada sekelompok masyarakat yang mungkin masih terpapar akan obat yang tidak memenuhi syarat apabila tidak ada koordinasi bidang obat sektor publik.

Gambar 4. Tren Obat Tidak Memenuhi Syarat Berdasarkan Parameter Uji Tahun 2015 s/d Oktober 2017

Sumber: Badan POM: Forum dialog CSIS tentang “Aksesibilitas terhadap obat-obatan yang berkualitas

dengan harga yang terjangkau dalam JKN di Indonesia”, Jakarta, Nov 2017

Upaya keterpaduan SISPOM dan K/L terkait dalam SKN perlu direvitalisasi antara lain melalui (i) peningkatan koordinasi kawalan jaminan mutu produk farmasi dalam JKN dan; (ii) peningkatan kerjasama lintas sektor dalam sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan. Khusus untuk proses pengadaan obat dalam e-katalog, diperlukan kerja sama yang lebih erat antara Badan POM, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian Kesehatan dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) utamanya terkait persyaratan pemenang suplair obat dan kawalan jaminan mutu obat, dimana diperlukan masukan hasil SISPOM dalam kriteria pemilihan pemenang suplair obat berdasarkan rekam jejak jaminan mutu obat suplair/produsen (Historical Quality Track Records) yang meliputi (i) Konsistensi kinerja produsen dalam pemenuhan GMP dan GDP, (ii) Data temuan ke-berulang-an masalah mutu untuk produk obat tertentu dari produsen tertentu, (iii) pengaruh riwayat recall terhadap proses resertifikasi dan registrasi obat dan (i) sejarah konsistensi komitmen ketersediaan dan pengiriman sesuai kontrak.

Di sisi lain, permasalahan keamanan pangan juga telah menjadi keprihatinan dunia. Dipicu oleh kenyataan bahwa ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun tidak menular karena pangan yang tercemar (Food Borne Diseases), maka pada tahun 1992 dalam forum FAO/WHO International Conference on Nutrition telah dilakukan deklarasi bahwa memperoleh pangan yang cukup, bergizi dan aman di konsumsi adalah hak setiap orang. Di Indonesia, kawalan Good Practices pada Keamanan Pangan sangat kompleks karena melibatkan kemitraan seluruh komponen pemangku kepentingan yaitu pemerintah (Kementrian Pertanian, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Kesehatan, Badan POM, dan pemerintah daerah), produsen pangan, distributor terkait dan konsumen. Mata rantai Keamanan Pangan from Farm to Table9 adalah sebagaimana Gambar 5 (Mata Rantai Keamanan Pangan from Farm to Table).

Gambar 5. Mata Rantai Keamanan Pangan from Farm to Table

Sumber: Prof Deddy Fardiaz, 2010-2018

9 Prof Dedy Fardiaz, 2010-2018

Page 13: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 1312 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Saat ini Indonesia mengalami beban ganda keamanan pangan10. Beban pertama berkaitan dengan masalah-masalah mendasar keamanan pangan; terutama masih belum diaplikasikannya prinsip pembuatan makanan/pangan dengan baik. Sepanjang tahun 2013-2017 Badan POM11 telah menerima laporan sebanyak 271 Kejadian Luar Biasa Keamanan Pangan (KLB KP) dimana penyebabnya didominasi oleh pangan masakan rumah tangga (36-49%), disusul oleh pangan jajanan (17-36%), pangan jasa boga (13-28%) dan industri pangan olahan (11-15%) sebagaimana Gambar 6 (Penyebab KLB Keamanan Pangan berdasarkan Jenis Pangan 2013-2017).

Gambar 6. Penyebab KlB Keamanan Pangan berdasarkan jenis Pangan (2013-2017)

48%

36%

41%

49%

38%

17%

26%

23%

20%

36%

17%

28%

21%

15%

13%

15%

11%

15%

15%

13%

4%

0%

0%

0%

0%

2013

2014

2015

2016

2017

MasakanRumahTangga PanganJajanan PanganJasaBoga PanganOlahan Tidakdiketahui

Sumber : Badan POM, 2018

Data Badan POM 2013-201712 juga menunjukkan bahwa agen penyebab KLB keracunan pangan ini didominasi oleh agen mikrobiologi (confirmed and suspect) dan disusul oleh agen kimia (confirmed and suspect) sebagaimana Gambar 7 (Profil Etiologi KLB Keamanan Pangan 2013-2017). Beban kedua, secara khusus berkaitan dengan industri pangan Indonesia yang berorientasi ekspor; yang harus menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya.

Gambar 7. Profil Etiologi KlB Keamanan Pangan (2013-2017)

Sumber : Badan POM, 2018

10 Hariyadi P, SNI Valuasi Volume 9/No2/201511 Badan POM, 201812 Ibid

Hal ini tercermin dari data penolakan produk pangan ekspor Indonesia di pasar global. Hal ini disebabkan karena keamanan pangan telah menjadi prasyarat yang semakin ketat bagi perdagangan internasional, dan karena itu maka kondisi keamanan pangan juga akan berpengaruh secara langsung pada kinerja ekspor produk pangan dari suatu negara. Sebagai contoh, data US FDA (US Food and Drug Administration) tahun 2011-201413, menunjukkan terjadi penolakan produk pangan Indonesia oleh US FDA karena alasan keamanan pangan sebanyak 1.451 kasus atau sekitar 30 kasus penolakan per bulan. Alasan terbesar penolakan produk pangan Indonesia adalah karena alasan kotor (filthy, 36%), diikuti dengan tercemar Salmonella suatu bakteri patogen penyebab keracunan pangan (31%). Penyebab penolakan ekspor yang sering juga dialami oleh eksportir Indonesia ke Amerika Serikat adalah ditemukannya residu obat hewan (hormon, antibiotika), dekomposisi (histamin, pertumbuhan mikroba lain, dll), serta alasan lain yang meliputi adanya indikasi praktik tidak saniter, kesalahan pelabelan, dan penggunaan pewarna ilegal.

Upaya peningkatan kinerja kawalan Keamanan Pangan14, khususnya untuk mengatasi beban pertama, sejak 2014 telah dikembangkan Program Manajemen Risiko (PMR) yang menekankan kemandirian pelaku usaha dalam penjaminan penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Konsep ini, menekankan kepada upaya-upaya preventif oleh pelaku usaha dan pemberian kepercayaan kepada industri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk Keamanan Pangan, dimana pelaksanaannya diverifikasi oleh pemerintah sebagai regulator. Pelaksanaan PMR untuk tahap saat ini, difokuskan pada industri pangan yang memproduksi pangan berisiko tinggi, dan dilaksanakan secara bertahap, sebagai berikut:

· Pada tahun 2015 – 2016 diterapkan secara wajib untuk seluruh industri pangan yang memproduksi pangan formula bayi, formula lanjutan dan formula pertumbuhan

· Pada tahun 2017 – 2018 diterapkan bagi industri pangan yang memproduksi pangan steril komersial yang disterilisasi akhir (Low Acid Canned Food in container sterilization), misal: ikan dalam kaleng, susu steril dalam kaleng

· Pada tahun 2019 dan selanjutnya akan dikembangkan untuk produk lainnya

Target dan capaian Program Manajemen Risiko (PMR) 2015-2017 adalah sebagaimana tercantum dalam Tabel 4 (Target dan Capaian PMR Keamanan Pangan 2015-2017).

Tabel 4. Target dan Capaian PMR Keamanan Pangan 2015-2017

Tahun Target(% industri yang Mandiri)

Capaian(% industri yang Mandiri) % Capaian

2015 3% 2.7% 90%

2016 5% 4.6% 91%

2017 7% 6.8% 96%

Sumber : Badan POM, 2018

13 Hariyadi P, SNI Valuasi Volume 9 / No 2/ 201514 Badan POM, Kedeputian 3, 2018

Page 14: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 1514 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Mengingat masalah yang mendesak terkait dengan Keamanan Pangan pada saat ini adalah masalah persisten penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang melebihi batas dan penggunaan bahan kimia yang dilarang/berbahaya untuk pangan (misalnya formalin, boraks, zat pewarna non pangan) khususnya pada level industri rumah tangga, jasa boga, dan UMKM15, maka saat ini intensifikasi kawalan Keamanan Pangan juga diprioritaskan pada beberapa program antara, lain, program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya, program Desa Pangan Aman, program pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), program pembinaan UMKM, serta peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi. Hasil pengawasan pangan di pasar dalam rangka program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya sepanjang 2013-2017 menunjukkan tren penurunan pangan yang mengandung bahan berbahaya (Boraks, Formalin, Rhodamin B dan Kuning Metanil), sebagaimana ditunjukkan Gambar 8 (Kinerja Program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya 2013-2017).

Gambar 8. Kinerja Program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya 2013-2017

Sumber : Badan POM, 2018

Pengawasan terhadap PJAS dilakukan melalui pengambilan sampel dan pengujian laboratorium terhadap cemaran kimia dan cemaran mikrobiologi (angka kapang dan khamir, MPN Coliform, Angka lempeng Total, Pemanis buatan Siklamat). Hasil evaluasi terhadap Pangan PJAS 2012-2014 menunjukkan bahwa 4 (empat) jenis pangan paling bermasalah, yaitu es, minuman berwarna/sirup, jeli/agar dan bakso. Oleh karena itu selanjutnya pantauan Keamanan PJAS difokuskan pada 4 jenis pangan tersebut. Hasil pengawasan PJAS pada tahun 2015 – 2017 menunjukkan adanya penurunan PJAS yang tidak memenuhi syarat, yaitu pada tahun 2015 terdapat 47% sampel pangan tidak memenuhi syarat (dari 526 sampel), pada tahun 2016 sampel pangan tidak memenuhi syarat menurun menjadi 39% (dari total sampel 627 sampel), dan pada tahun 2017 sampel pangan tidak memenuhi syarat menurun menjadi 19% (dari 1449 sampel). Penyebab PJAS tidak memenuhi syarat antara lain karena:

15 BAPPENAS, presentasi pakar, FGD Bappenas Pengawasan Obat dan Makanan, 30 Mei 2018

· Hygiene dan sanitasi yang tidak terpenuhi (ditunjukkan dengan data Angka Kapang dan Khamir, Angka Lempeng Total bakteri, dan MPN Coliform melebihi batas)

· Mengandung pemanis buatan siklamat yang melebihi batas· Mengandung bahan yang dilarang ditambahkan di pangan, misal: Rhodamin – B di sirup,

Boraks di bakso

Walaupun profil Keamanan Pangan tahun 2017 menunjukkan perbaikan yang signifikan, intensifikasi kawalan Keamanan Pangan masih terus harus dilakukan karena realisasi capaian indikator program/kegiatan Keamanan Pangan yang ditetapkan sebagaimana Tabel 5 (Kinerja Kawalan Keamanan Pangan 2017) yang dilakukan Badan POM menunjukkan cakupan yang terbatas. Oleh karena itu, upaya kerjasama lintas sektor antar kementrian/Lembaga from Farm to Table perlu direvitalisasi.

Tabel 5. Kinerja Kawalan Keamanan Pangan 2017

indikator Target RealisasiCapaian

(%)

Jumlah desa pangan aman 100 100 100

Jumlah desa yang diintervensi keamanan pangan 2100 2094 99

Jumlah desa pangan aman di daerah destinasi wisata

10 10 100

Jumlah komunitas yang mendapat sosiasilasi keamanan pangan

110 110 100

Persentase laporan keracunan pangan yang di tindaklanjuti

100 110 100

Jumlah komunitas desa yang terpapar Keamanan Pangan (5 komunitas/desa/komunitas)

2500 1930 77

Jumlah sekolah yang diintervensi keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

5000 5000 100

Jumlah usaha pangan (Usaha Mikro Kecil dan Menengah/UMKM) yang diintervensi keamanan pangan

21000 20511 97

Jumlah komunitas pelaku usaha pangan desa da-lam pemanfaatan dan pengembangan teknologi

4200 4188 99

Sumber : Badan POM – Kinerja BPOM Dalam Angka Triwulan IV Tahun 2017

Page 15: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 1716 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

2.2. KElEMBAGAAN DAlAM PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN

Pengawasan obat dan makanan yang memiliki dimensi luas dan kompleks merupakan komponen pembangunan kesehatan yang melibatkan multisektor dan multilevel di Pusat dan Daerah, dengan berbagai pemangku kepentingan. Rantai pengawasan obat dan makanan masih terfragmentasi dimana sebagian kewenangannya tidak dimiliki Badan POM sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian bidang pengawasan obat dan makanan, utamanya terkait dengan upaya di pemerintah daerah dan penegakan hukum. Agar pelaksanaan pengawasan Obat dan makanan efektif dan efisien, telah dilakukan berbagai upaya penguatan SISPOM terhadap 4 (empat) aspek/kerangka, yaitu (i) kerangka regulasi (dasar hukum, kedudukan, kewenangan), (ii) kerangka kelembagaan (tugas, fungsi, organisasi), (iii) kerangka sumber daya (SDM, pendanaan/anggaran, infrastruktur), dan (iv) kerangka koordinasi dan sinergisme lintas sektor dengan fokus utama penguatan SISPOM adalah sebagai berikut:

· Menguatkan kewenangan dan wibawa kelembagaan Badan POM sebagai penjuru dan instansi terkait untuk secara efektif melaksanakan pengawasan hulu ke hilir dan tindak lanjut hasil pengawasan

· Meningkatkan koordinasi, kolaborasi dan komunikasi lintas sektor serta mengembangkan jejaring kemitraan dengan Kementrian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah

· Melaksanakan pelayanan publik yang lebih efisien dan mendekatkan Badan POM dan instansi terkait pengawasan obat dan makanan ke masyarakat

· Meningkatkan pengawasan dan penindakan yang bisa memberikan efek jera terhadap pelanggaran hukum atas jaminan keamanan, manfaat, dan mutu obat dan makanan

· Meningkatkan pemahaman dan keterlibatan masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan obat dan makanan

Penguatan sistem dan kelembagaan pengawasan obat dan makanan juga dilakukan dengan pelaksanaan benchmarking ke beberapa institusi bidang pengawasan obat dan makanan di beberapa negara, yang tergolong negara maju (misalnya US FDA) dan negara emerging (misalnya Chinese FDA)16. Secara global, Badan Kesehatan Dunia (WHO-World Health Organization) sesuai mandatnya berupaya memperkuat sistem regulatori obat negara anggotanya, terutama negara berkembang17, antara lain dengan melakukan kajian tingkat maturity sistem regulatori dimaksud. Untuk itu, WHO telah menyusun Global Benchmarking Tools yang mencakup organisasi dan fungsi regulatori yang harus dicakup. Pada bulan Juli 2018, organisasi dan fungsi Badan POM untuk pengawasan obat dan vaksin dikaji oleh WHO, dengan hasil bahwa Badan POM termasuk NRA (National Regulatory Authority) dengan fungsi regulatori yang mantap (Maturity Level 3 dan 4 dari total 5 level)18.

Dalam rangka penguatan kelembagaan pengawasan obat dan makanan pada leval pusat telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, pada leval daerah, telah dilakukan langkah-langkah strategis sesuai amanat Nawacita pertama yaitu untuk menghadirkan Negara dalam memberikan jaminan kepada masyarakat atas keamanan dan mutu obat dan makanan. Langkah-langkah strategis tersebut, antara lain, meliputi penguatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai besar/Balai POM diseluruh provinsi, dan pembentukan UPT di kabupaten/kota tertentu secara bertahap sesuai kebutuhan pengawasan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan pasal 35 Peraturan Presiden No. 80 tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pada bulan Mei

16 Badan POM, Kinerja BPOM Dalam Angka Triwulan IV Tahun 201717 WHO, World Health Assembly (WHA) Resolution 67.20, 2014 18 WHO Benchmarking Visit at Badan POM, July 2018

201719 Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada prinsipnya mendukung rencana pembentukan UPT Badan POM di Kabupaten/Kota tertentu tersebut dan pada bulan Juni 2018 sebanyak 40 Loka POM (UPT level eselon 4) telah disetujui oleh Kementrian PANRB20. Untuk itu, telah ditetapkan Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Kriteria Klasifikasi Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM dan Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan BPOM.

Menyadari bahwa dalam penguatan kelembagaan pengawasan obat dan makanan pada leval daerah perlu dilakukan dengan lebih strategik, maka telah dilakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, antara lain, dalam bentuk kerjasama formal yang dipayungi oleh Peraturan/Keputusan Bersama antara Menteri terkait dengan Kepala Badan POM dan atau Nota Kesepahaman (MOU-Memorandum of Understanding) antara pimpinan pemerintah kabupaten/kota dengan Kepala Badan POM. Secara umum, pelaksanaan koordinasi di tingkat pusat telah berjalan dengan baik. Namun di tingkat daerah, kerjasama lintas sektor sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah terhadap pentingnya kawalan obat dan makanan yang aman dan bermutu sebagai bagian program/kegiatan pemerintah daerah. Untuk itu, langkah strategis secara nasional dalam kaitan ini adalah implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2018 tentang Peningkatan Koordinasi Pengawasan Obat dan Makanan di daerah sebagai turunan dari Instruksi Presiden No. 3/2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan koordinasi pengawasan obat dan makanan di jajaran pemerintah daerah akan lebih efektif.

Dalam rangka intensifikasi keamanan pangan, dengan mengacu pada Undang Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, telah ditetapkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan POM No. 43 Tahun 2013 dan No. 2 Tahun 2013 tentang Pengawasan Bahan Berbahaya yang Disalahgunakan dalam Pangan, dimana dimandatkan pembentukan Tim Pengawas Terpadu Bahan Berbahaya yang beranggotakan wakil dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Tim dimaksud di daerah diketuai oleh Kepala Dinas yang membidangi Perdagangan dan beranggotakan seluruh instansi yang terlibat dalam produksi dan peredaran bahan berbahaya, yaitu (i) Dinas yang membidangi perindustrian dan perdagangan, serta (i) instansi yang terdampak dengan penyalahgunaan bahan berbahaya yaitu: BBPOM/BPOM, Dinas yang membidangi pertanian, peternakan, perikanan dan pasar. Sampai dengan saat ini telah terbentuk sebanyak 23 Tim Pengawas Terpadu Provinsi dan 73 Tim Pengawas Terpadu Kabupaten/Kota. Namun demikian, pada saat ini hanya sedikit Tim Pengawas Terpadu yang aktif melakukan pengawasan dan melaporkan kegiatan yang telah dilakukan ke Kementerian Dalam Negeri dan Badan POM sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama tersebut. Implementasi yang agak berhasil-guna sebagian besar diinisiasi kegiatannya oleh Balai Besar/Balai POM, baik dari sisi penyediaan anggaran pengawasan, kompetensi, maupun penetapan target pengawasan.

Kendala utama yang dihadapi dalam koordinasi untuk kegiatan ini adalah (i) setelah Undang Undang No. 23 Tahun 2014 diterbitkan, persepsi pemerintah daerah adalah tidak merasa perlu untuk membentuk Tim Pengawas Terpadu Bahan Berbahaya dan menyiapkan anggaran pengawasan (ii) pemerintah daerah tidak memiliki database sarana distribusi bahan berbahaya di wilayahnya. Penugasan pemerintah daerah provinsi untuk menyediakan layanan penerbitan

19 Badan POM, Naskah Akademik Penguatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2017-2018

20 Badan POM, Surat dari Menteri PANRB No B/411/M.KT.01/2018 tanggal 8 Juni 2018 perhal penataan UPT BPOM

Page 16: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 1918 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya, yang disertai dengan rekomendasi hasil pemeriksaan dari pemerintah kabupaten/kota dimana sarana pemohon berlokasi, masih belum terlaksana dengan baik. Sampai dengan saat ini hanya 18 Provinsi yang telah menyediakan layanan penerbitan izin dimaksud dan proses pelayanan yang diizinkan tidak seluruhnya mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 44/M-Dag/per/9/2009, dan (iii) Keterbatasan kompetensi petugas daerah untuk melakukan pengawasan, termasuk pelaksanaan Pro Justitia bagi pelanggaran terkait. Dengan telah ditetapkannya regulasi baru untuk penguatan kelembagaan dan koordinasi pengawasan obat dan makanan serta pembentukan 40 Loka POM (level eselon 4) di beberapa Kabupaten/Kota, perlu diperkuat tata hubungan Balai Besar/Balai/Loka POM dan pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan perlunya upaya yang lebih keras untuk penguatan kemampuan Balai Besar/Balai POM. Dalam konteks ini, sangat diperlukan NSPK yang menjadi acuan kerja sama antara K/L yang terkait pengawasan obat dan makanan dengan pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian/Perdagangan, dan jajaran lintas sektor lainnya.

Tabel 6. Pengawasan Obat dan Makanan oleh Balai/Balai Besar POM

indikator Target Realisasi Capaian (%)

Jumlah sampel obat KB yang diuji menggunakan parameter kritis

995 981 98,59

Jumlah sampel obat yang diuji menggunakan parameter kritis

57.702 56.881 98,58

Jumlah sampel makanan yang diuji menggunakan parameter kritis

24.848 24.346 97,98

Persentase cakupan pengawasan sarana produksi obat dan makanan

63 46.23 73,38

Persentase cakupan pengawasan sarana distribusi obat dan makanan

25 39.52 158,08

Jumlah perkara di bidang obat dan makanan

315 306 97,14

Jumlah layanan publik BB/BPOM 40.192 56.840 141,42

Jumlah komunitas yang diberdayakan 727 713 98,07

Jumlah dokumen perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang dilaporkan tepat waktu

321 326 101,56

Persentase pemenuhan sarana prasarana sesuai standar

90 80.76 89,73

Sumber: Badan POM – Kinerja BPOM dalam Angka Triwulan IV Tahun 2017

2.3. SDM PENGAWAS

Perubahan lingkungan strategis pengawasan obat dan makanan berjalan dengan kecepatan bagaikan deret ukur, sementara upaya efisiensi di berbagai bidang kerja dan tambahan sumber daya (manusia dan pendanaan/anggaran) yang ada, hanya menghasilkan perkembangan kapasitas yang berjalan seperti suatu deret hitung. Sesuai kajian WHO21, sebagaimana organisasi National Regulatory Authority (NRA) yang lain, Badan POM yang merupakan organisasi berbasis bukti ilmiah dan ilmu pengetahuan (scientific/evidence and knowledge-based) dan sekaligus merupakan organisasi penegak hukum (enforcement agency) perlu didukung oleh SDM yang memadai dengan kompetensi, kemampuan, ilmu pengetahuan atau intangible asset yang lain sesuai bidang yang diperlukan sehingga keberadaan Badan POM dalam menjalankan peran dan fungsinya benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas. Saat ini, SDM yang dimiliki oleh Badan POM sampai tahun 2017 sejumlah 3.812 orang, yang tersebar di Unit Kerja Pusat dan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia. Ditinjau dari analisa beban kerja, utamanya dengan upaya penguatan kelembagaan dan peningkatan koordinasi lintas sektor, Badan POM masih memerlukan penambahan SDM sejumlah 3.568 orang22. Mengingat tantangan terkait kelangkaan SDM merupakan hal yang akan terus dihadapi, strategi pengembangan SDM perlu difokuskan menjadi pengembangan Human Capital dimana kajian yang dilakukan bukan saja berdasarkan analisa beban kerja, tetapi juga pada kemampuan dan kompetensi apa yang diperlukan karena pada dasarnya terdapat dua masalah besar terkait dengan Human Capital, yaitu kuantitas maupun kualitasnya. Keterbatasan kualitas SDM Badan POM perlu mendapat perhatian khusus, utamanya dari perspektif internasional, dimana SDM Badan POM masih harus ditingkatkan kompetensinya dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Sesuai dengan Peraturan Badan POM No. 26 Tahun 2017, telah dibentuk satu unit khusus pusat pengembangan SDM pengawasan obat dan makanan dengan level eselon 2 yang diharapkan dapat menjadi center of excellence untuk mendukung pengembangan profesionalisme SDM, antara lain meningkatnya rasio Human Capital strata 3 (S3) dan strata 2 (S2) yang merupakan salah satu pilar penting terwujudnya Badan POM sebagai organisasi pembelajar yang berbasis kuat pada ilmu pengetahuan (scientific/evidence and knowledge-based learning organization). Regulasi yang perlu dituntaskan untuk pendukung penguatan kelembagaan, kapasitas institusional, cakupan dan sumber daya pengawasan obat dan makanan. Dalam melaksanakan pengawasan obat dan makanan yang komprehensif, walaupun sudah ditetapkan beberapa regulasi baru dalam 2 (dua) tahun belakangan ini, tetap diperlukan dukungan Undang-Undang yang bersifat (Lex Specialis) yang dapat menajamkan pengawasan obat dan

21 WHO, Ratanawijitrasin S., Wondemagegnehu E., Effective Drug Regulation, A multi Country Study, 200222 Badan POM – Laporan Kinerja BPOM 2017

A shortage of qualified personnel was cited as a major problem facing the National Regulatory Authorities (NRA) worldwide. A number of strategies can be considered in order to alleviate the shortage of human resources: better human resource planning; sharing and pooling of international resources on education and training, on information, and on QC; instituting incentives, prioritizing and streamlining work processes, job enlargement and job enrichment. (Effective Drug Regulation, a Multi Country Study, WHO, 2002)

Page 17: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 2120 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

makanan dalam melindungi masyarakat dan sekaligus dapat mengesampingkan perundang-undangan yang bersifat umum (Lex Generalis). Di samping itu, perlu dilakukan revisi beberapa dasar hukum yang mungkin sudah obsolete dan perlu disesuaikan dengan kondisi lingkungan strategis obat dan makanan terkini serta NSPK terkait.

Khusus tantangan terkait SDM pengujian, diperlukan upaya penambahan SDM dan peningkatan kompetensi yang terstruktur dan intensif, karena data pada tahun 2017, SDM di laboratorium obat dan makanan pusat (Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional) hanya berjumlah 153, dengan pendidikan terbanyak adalah sarjana S1 (83 orang), diikuti oleh sarjana S2 (33 orang) dan hanya 1 (satu) Sarjana S323. Tantangan lain terkait standar GLP laboratorium pengawasan obat dan makanan adalah cakupan dan kemampuan uji yang dimiliki. Salah satu contoh nyata adalah terbatasnya kapasitas pengujian dalam rangka mendukung ketersediaan obat dan jaminan mutu yang berkesinambungan program JKN.

2.4. KAPASiTAS lABORATORiUM

Data dalam 3 (tiga) tahun belakangan laboratorium Badan POM hanya mampu menguji sekitar 34.11% sampai 43.92% obat yang ada di dalam Formularium Nasional (FORNAS), dan sekitar 24.87 % sampai 32.02 % obat yang beredar24, sebagaimana terlihat pada Gambar 9 (Kemampuan Uji Badan POM terhadap Fornas dan Produk Beredar di Pasaran), padahal Permenkes nomor 75 Tahun 2016 memberikan mandat kepada Badan POM untuk Penyelenggaraan Uji Mutu Obat JKN pada Instalasi Farmasi Pemerintah dengan cara melakukan pengambilan sampel yang representatif dan berdasarkan analisis resiko serta pengujian mutu berdasarkan standar kompedia.

Tantangan lain adalah mempertahankan akreditasi laboratorium Badan POM (PPOMN/ PPPOMN) sebagai laboratorium pengendali mutu untuk pengujian obat HIV/AIDS, antituberkulosa dan Anti Malaria (ATM) yang diperoleh sekitar tahun 201325. Audit yang dilakukan tim prekualifikasi WHO pada medio 2018 ke laboratorium Badan POM (PPOMN/PPPOMN) ternyata menunjukkan masih ada temuan major terkait penerapan sistem mutu yang perlu ditindak lanjuti dengan CAPA (Correction Action Prevention Action), walaupun sebelumnya sudah ada bantuan USAID melalui USP-PQM26 untuk laboratorium Badan POM (PPOMN/PPPOMN) berupa pelatihan kemampuan uji dan penerapan GLP.

Perubahan organisasi dari laboratorium obat dan makanan di Pusat, dari Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) menjadi Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN) sesuai dengan Peraturan Kepala Badan POM No. 26 Tahun 2017. PPOMN memiliki tugas dan fungsi utama sebagai berikut : (i) Pengembangan Metoda Analisa dan Baku Pembanding; (ii) Memastikan pemenuhan GLP oleh Balai Besar/Balai POM (iii) Memastikan seluruh obat dan makanan yang beredar di Indonesia mampu diuji (iv) menjadi laboratorium

23 Badan POM, Laporan Tahunan PPOMN 201724 Badan POM, Laporan Tahunan kedeputian 1 BPOM 2015-201725 USAID Press Release Dec 4, 2013.26 Badan POM, Laporan Kinerja PPOMN, 2017

rujukan dan melakukan uji yang belum dapat dilakukan oleh Balai Besar/Balai POM (rujukan skala nasional dan internasional). Dengan penataan kembali organisasi laboratorium di Pusat, tantangan baru selanjutnya adalah bagaimana implementasi yang optimal akan peran dan fungsinya dalam mendukung pengawasan obat dan makanan, utamanya dengan meningkatnya kompleksitas produk obat dan makanan yang perlu diuji.

Gambar 9. Kemampuan Uji Badan POM Terhadap Fornas dan Produk Beredar di Pasaran (%)

Sumber : Badan POM, Laporan Tahunan Kedeputian 1 BPOM 2015-2017

2.5. PENiNDAKAN PElANGGARAN OBAT DAN MAKANAN

Pengamanan (security) jaringan peredaran obat dan makanan yang bermutu, aman, dan berkhasiat dari infiltrasi produk ilegal, di bawah standar (sub-standard) dan palsu (falsified), merupakan perhatian dunia27 . Oleh karena itu salah satu fungsi pengawasan obat dan makanan di samping melindungi masyarakat dari peredaran obat dan makanan yang tidak aman, bermutu dan bermanfaat, juga perlu melakukan upaya penegakan hukum (enforcement).

Kegiatan pengawasan post-market sebagai upaya hilir pengawasan obat dan makanan juga mencakup kegiatan law enforcement (kegiatan bidang penyidikan dan penindakan) sebagai salah satu upaya untuk memberikan dampak bermakna tindak lanjut pelanggaran di bidang obat dan makanan, antara lain, berupa pemberian efek jera pelaku tindak pidana obat dan makanan yang selanjutnya diharapkan akan berdampak pada penurunan pelanggaran di bidang obat dan makanan. Untuk memperkuat kegiatan penyidikan dan penindakan, dilakukan beberapa upaya penguatan, antara lain, operasi terpadu dan operasi intensif dalam kerangka ICJS (Integrated Criminal Justice System) yang melibatkan Bareskrim POLRI serta K/L terkait, di samping kegiatan koordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mempercepat penyelesaian

27 WHO, the 65th WHA 2012, resolution on Member State Mechanism on SSFC medical products; the 67th WHA 2014, Resolution No 67.20, Regulatory System Strengthening

Human Capital Program adalah pilar penting untuk menjadikan Badan POM sebagai scientific/evidence and knowledge-based dan sekaligus learning organization yang terus berkembang mengikuti perubahan lingkungan strategis baik di organisasi internal maupun eksternal

Page 18: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 2322 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

berkas perkara tahap 1 (penyerahan berkas perkara) hingga tahap 2 (penyerahan barang bukti dan tersangka). Peningkatan kinerja dan profesionalisme Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dioptimalkan guna mendukung kapasitas sumber daya manusia yang lebih baik. Keberhasilan kegiatan investigasi awal dan penyidikan diukur dengan beberapa indikator28 dengan realisasi sebagaimana Tabel 7.

Tabel 7. Kinerja investigasi dan Penyidikan dalam Rangka Penegakan Hukum Bidang Obat dan Makanan

indikator Target Realisasi Capaian (%)

Jumlah intervensi yang diberikan kepada Balai Besar/Balai POM 69 79 114

Perkara yang diselesaikan hingga penyerahan berkas perkara (tahap 1) 4 2 50

Perkara yang diselesaikan hingga penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap 2) 2 3 150

Sumber: Badan POM –Kinerja BPOM Dalam Angka Triwulan IV Tahun 2017

Khususnya di bidang obat, dari studi WHO tentang obat palsu, termasuk obat ilegal dan obat di bawah standar (substandar)29 diketahui bahwa masalah tingginya temuan obat palsu, substandar dan ilegal, khususnya di negara berkembang dapat meningkatkan kerentanan pertahanan keamanan negara, menimbulkan ancaman terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian, dan sekaligus juga melemahkan kepercayaan terhadap Pemerintah, profesional kesehatan, sistem dan program kesehatan. Dari 118 studi WHO yang dilaksanakan dari tahun 2006 sampai 2016 serta data WHO Global Surveillance and Monitoring System (GSMS) diketahui bahwa obat Antimalaria palsu berkontribusi terhadap 51.000 sampai 297.000 kematian setiap tahunnya di negara-negara sub-Sahara Afrika dengan dampak ekonomi total pertahun diperkirakan antara US$ 9 juta dan US$ 54 juta akibat diperlukannya tambahan pengobatan dan perawatan lebih lanjut. Secara global, data pemalsuan obat terbanyak, antara lain adalah Anti Malaria, Antibiotika, antituberkulosa yang merupakan obat lifesaving sebagaimana terlihat dalam Gambar 10 (Kelas Terapi Produk Obat Palsu – data WHO).

Di Indonesia, kasus vaksin palsu yang terkuak pada tahun 201630 dan beberapa kejadian penyalahgunaan obat yang sudah dilarang beredar (PCC: Parasetamol, Coffein, Carisoprodol) memperkuat fakta bahwa keberadaan obat ilegal dan palsu bukan saja merupakan kejahatan kemanusiaan yang mengancam perlindungan kesehatan masyarakat, tetapi juga merupakan kejahatan yang dapat mengganggu jalannya perekonomian, dan lebih jauh dapat mengganggu keamanan dan ketertiban yang berujung pada menurunnya pertahanan negara. Dalam kaitan ini, apabila ditemukannya kasus kejahatan obat dan makanan, Badan POM senantiasa berada di front line dalam menghadapi keluhan dan pengaduan masyarakat, meskipun sebenarnya kasus tersebut menjadi ranah sektor lain. Hal ini menunjukkan kebutuhan untuk penguatan kerangka pengawasan obat dan makanan, termasuk penegakan hukum terkait yang lebih koordinatif, apalagi pada saat ini belum ada data di Indonesia yang komprehensif untuk

28 Badan POM, Kinerja BPOM Dalam Angka Triwulan IV Tahun 201729 WHO, 118 Field Studies 2006-2016 and WHO Global Surveillance and Monitoring System (GSMS) 201630 WHO, Investigation on falsified Vaccine in Indonesia, 2016

mengukur besaran masalah dan dampak akibat beredarnya produk obat dan makanan palsu, substandar dan ilegal. Oleh karena itu dirasa perlu (i) untuk melaksanakan studi khusus tentang produk palsu, substandar dan ilegal di Indonesia secara independen dan (ii) untuk meningkatkan koordinasi dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System-ICJS), mengingat Badan POM tidak dapat berperan sebagai single player karena keterbatasan kewenangan sehingga dukungan dan jaringan kerja sama yang baik dengan semua pemangku kepentingan termasuk para penegak hukum sangat diperlukan.

Gambar 10. Kelas Terapi Produk Obat Palsu

Sumber : Investigation on falsified Vaccine di Indonesia (WHO, 2016)

Ancaman bidang obat dan makanan yang sangat serius menyebabkan pada Oktober 2017 Presiden RI mencanangkan Aksi Nasional Pemberantasan Obat Ilegal dan Penyalahgunaan Obat, agar secara serentak aksi nasional lintas sektor dilaksanakan di 34 Provinsi oleh Balai POM di Daerah, bersama dengan pemerintah daerah dan K/L terkait di seluruh wilayah Nusantara. Dalam Aksi Nasional ini koordinasi dan kerjasama terpadu diperluas dengan pemangku kepentingan baik pemerintah pusat-daerah, masyarakat, dan pelaku usaha, melalui strategi di bidang Pencegahan, Pengawasan, dan Penindakan Hukum untuk memberikan efek jera.

Gambar 11. jumlah Perkara Tindak Pidana Obat dan Makanan 2015-2017

Sumber : Kedeputian IV, BPOM (Mei 2018), Bappenas,

FGD Pengawasan Obat dan Makanan, 30 Mei 2018

Page 19: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

2. Analisis Situasi • 2524 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Pada tahun 2017 temuan jenis pelanggaran obat dan makanan berjumlah 293 perkara dengan rincian temuan pelanggaran terbanyak berturut-turut adalah Kosmetik Tidak Memenuhi Syarat (TMS) 67, Obat Tradisional (OT) Tanpa Ijin Edar (TIE) 59, Pangan TIE 51, sedangkan total temuan sepanjang 2015-2017 adalah sebagaimana Gambar 11 (Jumlah Perkara Tindak Pidana Obat dan Makanan 2015-2017). Hal terpenting dalam pengamanan (security) peredaran obat dan makanan adalah upaya komprehensif dan terpadu untuk melakukan pencegahan maupun pemberantasan terhadap kejahatan ini dan terhadap pelaku harus diberi sanksi yang berat agar dapat memberi efek jera serta mencegah orang lain berani melakukan kejahatan ini. Di samping itu, harus dilakukan upaya terstruktur terhadap pemberantasan kejahatan bidang obat dan makanan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pelaku industri legal sehingga industri lokal/domestik dapat meningkatkan daya saing bangsa. Hal ini disebabkan karena sumber produk TIE, TMS, Ilegal dan palsu kebanyakan merupakan produk yang bersumber dari luar Indonesia.

Gambar 12. Temuan jenis Pelanggaran dalam Perkara Pidana Obat dan Makanan 2017

Sumber: BPOM, Mei 2018

Nilai ekonomi produk-produk tersebut tergambar dari nilai barang bukti yang berhasil diamankan dan kemudian dimusnahkan yang jumlahnya meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Gambaran nilai ekonomis barang bukti kejahatan bidang obat dan makanan periode 2013-2017 dapat dilihat dalam Gambar 13 Nilai Keekonomisan Temuan Produk Obat dan Makanan yang Dimusnahkan Periode 2013-2017 (produk mengandung bahan berbahaya, ilegal dan palsu).

Gambar 13. Nilai Keekonomisan Temuan Produk Obat dan Makanan yang Dimusnahkan Periode 2013-2017 (Produk Mengandung Bahan Berbahaya, ilegal dan Palsu)

Sumber: Badan POM, Mei 2018

Salah satu tantangan aspek penegakan hukum bidang obat dan makanan dan menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya upaya penegakan hukum, antara lain adalah bahwa hukuman yang dijatuhkan belum memiliki efek jera, sehingga diperlukan upaya lanjutan guna meyakinkan bahwa tindak pidana obat dan makanan merupakan kejahatan serius dan kepada pelakunya perlu diberikan hukuman maksimal berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gambaran contoh putusan pengadilan terendah dan tertinggi terhadap perkara pidana bidang obat dan makanan adalah sebagaimana Tabel 8 dimana dapat dilihat bahwa putusan hukum yang dijatuhkan tidak mempunyai efek jera dan tidak sebanding dengan insentif ekonomi serta keuntungan finansial yang didapatkan oleh para pelanggar hukum. Hal ini mengakibatkan pelanggaran berulang dan bahkan menjadi contoh bagi para pelanggar hukum yang lain. Selain itu, lemahnya payung hukum mengakibatkan upaya penegakan hukum bidang obat dan makanan tidak dapat dilakukan secara maksimal.

Tabel 8. Putusan Pengadilan atas Perkara Tindak Pidana Obat dan Makanan (Beberapa Contoh)

No ProdukAncaman

PidanaPutusan Pengadilan Terendah Putusan Pengadilan Tertinggi

1. Obat UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan: Pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 Milyar

Pidana denda 150 ribu (mengedarkan obat G-Obat dengan Resep) – BBPOM di yogyakarta

Pidana Penjara 3 tahun 4 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan (mengedarkan obat TIE) – Pusat Penyidikan Obat dan Makanan

2. Obat Tradisional

Percobaan 1 tahun (mengedarkan OT TIE) - BBPOM di Pekanbaru

Penjara 18 bulan denda 1 milyar Rupiah subsider 1 bulan (mengedarkan OT TIE) – BBPOM di Banda Aceh

3. Kosmetik Pidana denda 500 ribu subsider 3 bulan (mengedarkan kos TIE) – BBPOM di Semarang

Pidana penjara 2 tahun 6 bulan dan denda Rp5 juta subsider 3 bulan (mengedarkan kosmetik TIE) – BBPOM di Mataram

Page 20: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

26 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

No Produk Ancaman PidanaPutusan Pengadilan

TerendahPutusan Pengadilan

Tertinggi

4. Pangan UU RI Nomor.18 tahun 2012 tentang Pangan: Pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp10 Milyar

Percobaan 1 tahun (mengedarkan pangan TIE) – BBPOM di Samarinda

Pidana Penjara 2 tahun (mengedarkan pangan TIE) – BBPOM di Mataram

Sumber : Badan POM, Mei 2018

Keberhasilan intensifikasi pengawasan obat dan makanan yang lain, antara lain, adalah penindakan terhadap jaringan kosmetika iIegal impor dengan nilai keekonomisan senilai hampir 19 miliar rupiah pada tahun 2017. Terhadap berbagai temuan kasus pelanggaran bidang obat dan makanan, yang terpenting adalah membongkar modus operandi dan aktor intelektual dari kasus tersebut, dan pemberian sanksi yang memiliki efek jera (deterent sanction) terhadap pelaku kejahatan di bidang obat dan makanan. Hal ini penting untuk memberikan dampak perlindungan kepada masyarakat luas, dan juga untuk memberikan kepastian hukum bagi para pelaku industri legal agar terjadi persaingan yang sehat dan sekaligus dapat meningkatkan daya saing bangsa.

Berbagai perbaikan terkini atas kinerja pengawasan obat dan makanan pada dasarnya tidak lepas dari upaya berkesinambungan dalam penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM), khususnya terkait penguatan dasar hukum koordinasi pengawasan, mengingat keberhasilan pengawasan obat dan makanan sangat tergantung pula pada jejaring dengan instansi lain dimana diperlukan koordinasi dan kerjasama yang efektif secara terus menerus. Dengan ditetapkannya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan, koordinasi lintas sektor pengawasan obat dan makanan antar K/L dan pemerintah daerah diperkuat untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing melakukan peningkatan efektivitas dan penguatan pengawasan obat dan makanan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi: (1) sediaan farmasi, yang terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetik; (2) ekstrak bahan alam; (3) suplemen kesehatan; (4) pangan olahan; dan (5) bahan berbahaya yang berpotensi disalahgunakan.

Salah satu upaya untuk mengatasi tantangan tersebut yakni operasi penindakan pelanggaran menjadi lebih intensif dan efektif, utamanya terkait dengan kerjasama dengan aparat penegak hukum lain (kepolisian, Bea dan Cukai, kejaksaan, pengadilan). Unit baru di organisasi Badan POM ini diharapkan akan berhasil guna dalam penegakan hukum bidang obat dan makanan bekerja sama dengan aparat penegak hukum yang lain.

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

3. TANTANGAN PENGAWASAN

OBAT DAN MAKANAN

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN,

TERMASUK KEAMANAN PANGAN

KRONOlOGiS TEMUAN KOSMETiK ilEGAl 2017:

1. Akhir bulan Maret 2017, Balai POM di Serang berhasil mengungkap peredaran kosmetika Ilegal senilai 5,4 miliar rupiah yang diduga berasal dari Filipina yang diselundupkan melalui jalur tidak resmi di wilayah Sumatera.

2. Hasil temuan BPOM di Serang tersebut, berhasil dikembangkan 3 hari berikutnya melalui pengungkapan oleh Deputi Penindakan di wilayah Cengkareng dengan total temuan mencapai 3 miliar rupiah.

3. Pengembangan kembali dilakukan dan berhasil diungkap oleh Balai Besar POM di Lampung dengan temuan mencapai 11,2 miliar rupiah.

Page 21: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

3. Tantangan Pengawasan Obat dan Makanan • 2928 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Dalam lima tahun ke depan pengawasan obat dan makanan menghadapi berbagai tantangan yang saat ini telah dijumpai maupun tantangan baru. Secara umum tantangan pengawasan obat dan makanan dalam 5 tahun ke depan mencakup empat aspek, yaitu: 1) aspek kesehatan-menjamin produk obat dan makanan yang beredar memenuhi standar kualitas, keamanan, dan khasiat/efektivitas terutama bagi industri kecil dan mikro; 2) aspek sosial-meningkatkan kepercayaan publik terhadap produk obat dan makanan yang beredar; 3) aspek ekonomi-mendorong daya saing industri obat dan makanan dengan semakin mudahnya perizinan dan sertifikasi obat dan makanan dengan tetap mempertimbangkan kualitas dan jaminan produk halal, dukungan pengembangan produk dan makanan baru dan ketersediaan bahan baku dalam negeri dengan berbagai riset, meniadakan penyelundupan dan peredaran produk ilegal dan palsu, serta memperluas penggunaan teknologi dalam pengawasan obat dan makanan; dan 4) aspek keamanan nasional-meningkatkan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran obat dan makanan serta bioterorisme.

Secara spesifik tantangan eksternal maupun internal dalam pengawasan obat dan makanan lima tahun ke depan, sebagai berikut:

a. Pemenuhan Target SDGs

Dari 17 agenda SDGs yang ditargetkan tercapai pada tahun 2030, yang dapat dikaitkan dengan pengawasan obat dan makanan langsung ataupun tidak langsung adalah SDGs Goal 2 (Zero Hunger), 3 (Good Health and Well-being), dan 9 (Industry, Innovation and Infrastructure). Untuk SDGs Goal 2 (Zero Hunger), kontribusi pengawasan obat dan makanan terhadap kondisi ini adalah tersedianya pangan dengan nilai gizi yang cukup, misalnya pangan diet khusus yang mengandung Angka Kecukupan Gizi (AKG) tertentu seperti pada produk pangan untuk pasien diabetes dan formula bayi; garam, terigu, dan minyak goreng sawit difortifikasi dengan mikronutrien. Hal ini hanya dapat terjadi jika produsen pangan olahan yang telah diinspeksi dan dibina Badan POM menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP) dan menjamin mutu produknya termasuk nilai gizi sesuai dengan standar nasional dan internasional yang ditetapkan. Pengawasan fortifikasi pangan dasar sesuai program kesehatan oleh Badan POM bekerja sama dengan K/L yang terkait merupakan prioritas.

Untuk SDGs Goal 3 (Good Health and Well-being) dimana cakupan agendanya antara lain peningkatan program imunisasi anak, kawalan agar terjadi penurunan angka kematian anak dan ibu hamil, dan peningkatan penanggulangan penderita HIV/AIDS. Kontribusi pengawasan obat dan makanan adalah jaminan ketersediaan dan akses masyarakat terhadap obat dan vaksin yang aman, berkhasiat, efektif dan bermutu yang merupakan salah satu pencapaian JKN. Selain itu, perlu perhatian khusus pada koordinasi lintas sektor dalam jaminan mutu obat dan vaksin, misal: kawalan sistem Cold Chain Monitoring produk vaksin, kawalan kestabilan obat esensial untuk menanggulangi kasus PPH (Post Partum Haemorhage) seperti injeksi oksitoksin, kawalan mutu obat lain untuk kesehatan ibu (maternal health) seperti magnesium sulfat dan ketersediaan obat Antriretroviral yang bermutu dan terjangkau.

Untuk SDGs Goal 9 (Industry, Innovation and Infrastructure-membangun infrastruktur yang kukuh, menggalakkan industrialisasi inklusif dan berkelanjutan, serta membantu mengembangkan inovasi), agenda yang terkait dengan usaha bidang obat dan makanan adalah SDGs target 9.5, yaitu Enhance scientific research, upgrade the technological capabilities

of industrial sectors in all countries, in particular developing countries, including, by 2030, encouraging innovation and substantially increasing the number of research and development workers per 1  million people and public and private research and development spending. Dalam hal ini, terdapat 2 (dua) indikator yang telah ditetapkan untuk memantau pencapaian target 9.5, yaitu (i) ekspenditur riset dan pengembangan sebagai proporsi Gross Domestic Product, dan (ii) Rasio peneliti (yang full time) per 1 juta penduduk. Di bidang usaha obat dan makanan, hal ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat usaha yang telah memberikan penekanan pada riset dan pengembangan untuk inovasi umumnya hanya sebagian misalnya bidang obat, pangan olahan, selebihnya merupakan UMKM. Tipe inovasi yang dilakukan di bidang usaha Indonesia umumnya masih berkisar pada inovasi marketing dan proses, belum pada inovasi produk31

1. Kontribusi Badan POM dalam hal ini untuk capaian target 2024 adalah dukungan peningkatan kemandirian dan daya saing usaha bidang obat dan makanan, pembinaan UMKM obat dan makanan (UMKM obat tradisional, kosmetika dan makanan), fasilitasi pelaksanaan inovasi obat dan makanan dengan menciptakan insentif bagi pelaksana riset dan pengembangan dan juga mendukung inovasi yang tidak terkait langsung dengan riset dasar seperti technology transfer serta pelaksanaan peningkatan awareness pentingnya riset dan pengembangan.

b. Peningkatan Daya Saing dan Kemandirian industri Obat dan Makanan

Upaya pantauan peningkatan daya saing dan kemandirian usaha obat dan makanan saat ini masih ditekankan pada kepatuhan pemenuhan Good Regulatory Practices yaitu Good Manufacturing Practices (GMP), Good Laboratory Practices (GLP) dan Good Clinical Practices (GCP). Ke depan, diperlukan upaya peningkatan daya saing dan kemandirian usaha obat dan makanan dengan dukungan insentif khusus untuk usaha obat dan makanan yang telah melakukan investasi berbasis riset dan inovasi, baik untuk bahan baku maupun produk jadi32

2. Oleh karena itu Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2016 mengenai Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan perlu dioptimalkan dengan menyusun roadmap yang mencakup (i) prioritas pengembangan produk, antara lain produk yang berbasis herbal dan bioteknologi, (ii) insentif ilmiah dan teknis misalnya penetapan skema prioritas untuk pelaksanaan uji klinik dan pendaftaran produk inovasi, (iii) insentif untuk produk ekspor dan insentif ekonomi lainnya seperti pemotongan pajak, dan (iv) koordinasi lintas sektoral.

Mengingat salah satu komponen untuk peningkatan daya saing adalahnya tersedianya produk yang dapat di pasarkan, maka upaya efisiensi dan efektivitas registrasi produk obat dan makanan tanpa mengabaikan persyaratan khasiat/manfaat, keamanan dan mutu perlu terus ditingkatkan. Sebagai contoh, untuk bidang obat, ketentuan baru tentang kriteria dan tata cara pendaftaran tahun 2017 terkait penerapan reliance system33

3 dan dukungan akan OSS (Online Single Submission)34

4 perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Di samping itu, perlu dilakukan penyempurnaan mekanisme pendaftaran online produk obat dan makanan di tingkat pusat (Badan POM) dan tingkat provinsi (Balai POM) untuk mendukung proses pendaftaran obat dan makanan, serta pembinaan dan penyiapan berkas pendaftaran oleh industri UMKM khususnya untuk obat tradisional obat-obatan, kosmetik dan pangan industri rumah tangga.

31 UNESCO, survey to support SDGs goal 9, 201332 UNESCO, survey to support SDGs goal 9, 2013 dan berbagai sumber lain (GPFI, seminar Penta Helix, UnPad,

2016; informasi inovasi obat di China dan India)33 Badan POM, Peraturan BPOM No 26 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat (Buku Coklat)34 Presentasi Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Reformasi Perijinan Berusaha dan

OSS (Online Single Submission), 18 Mei 2018

Page 22: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

3. Tantangan Pengawasan Obat dan Makanan • 3130 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

c. implementasi UU No.33 Tahun 2014 tentang jaminan Produk Halal (jPH)

Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal akan diberlakukan 5 (lima) tahun sesudah diundangkan. Hal ini berarti mulai tahun 2019 diperlukan langkah antisipatif dan adaptif untuk implementasi Undang-Undang tersebut untuk produk obat dan makanan yang tetap mendukung upaya kemandirian dan daya saing usaha bidang obat dan makanan35

5. Langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak pelaksanaan Undang-Undang JPH, antara lain (i) pemberian kawalan atas daya saing produksi obat dan makanan, dan (ii) ketersediaan alternatif obat “life saving” dan vaksin yang mengandung dan atau berbasis bahan yang “tidak direstui” atau diproduksi bersentuhan dengan bahan dimaksud.

d. Peningkatan Pemanfaatan Teknologi informasi

Pemanfaatan sistem informasi kesehatan terkini dan teknologi informasi diperlukan untuk mendukung kegiatan penetapan regulasi bidang obat dan makanan, dan strategi komunikasi efektif risiko, misal: data pola penyakit, data resistensi antibiotika, data outbreak keracunan pangan. Di samping itu, pengawasan rantai suplai/distribusi obat dan makanan merupakan kegiatan post-market yang saat ini menjadi tantangan terbesar pengawasan obat dan makanan, utamanya yang terkait efisiensi suplai dan jaminan keabsahan produk. Hal ini hanya dapat ditanggulangi dengan upaya khusus yang berbasis elektronik, mengingat keterbatasan SDM. Saat ini dikembangkan aplikasi teknologi informasi 2D Bar Code untuk semua produk dan aplikasi SMART BPOM. Efektivitas implementasi aplikasi teknologi informasi baru ini juga menjadi tantangan ke depan, baik dari aspek kepatuhan pelaku usaha (untuk pencantuman 2D Bar Code) maupun kemampuan regulator dalam mengelola datanya. Di samping itu, masih perlu ada peningkatan investasi teknologi informasi yang lain yang ditujukan antara lain, untuk perluasan cakupan pantauan rantai suplai/distribusi, pantauan ketersediaan obat (berkoordinasi dengan Kementrian Kesehatan dan pemerintah daerah), deteksi dini keabsahan obat dan makanan oleh masyarakat melalui perangkat telpon genggam, dan kontrol keamanan produk di media virtual (distribusi online, promosi melalui media sosial dll).

Pemanfaatan teknologi, utamanya teknologi informasi merupakan hal yang mutlak untuk meningkatkan efektivitas pengawasan obat dan makanan, dan pemantapan pelayanan publik, mengingat lingkungan strategis dan tantangan bidang obat dan makanan yang sangat dinamis. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional pengembangan e-government. Sesuai WHO, bisnis proses pengawasan obat dan makanan memerlukan kecepatan tindak lanjut dan manajemen berbasis teknologi informasi akan lebih efektif dan efisien untuk semua kegiatan regulatori pengawasan obat dan makanan yang siklusnya berulang36

6, di samping dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Dalam kaitan ini, sebagaimana tahun 2016, pada tahun 2017 Badan POM diminta oleh Kementrian PAN dan RB untuk segera menyempurnakan rumusan ukuran kinerja organisasi Badan POM secara berjenjang serta melaksanakan pemantauan dan pengukuran kinerja tersebut secara elektronik di seluruh level organisasi secara berkala37

7. Strategi pemanfaatan teknologi informasi dikembangkan dengan aplikasi berbasis web dengan fokus prioritas (i) pelaksanaan tata kelola Pemerintahan yang baik (e-Good Governance); (ii) proses bisnis pengawasan obat dan makanan, dimana perlu ada keterkaitan antara data pre- dan post-market (iii) Peningkatan efektivitas layanan publik.

35 Bappenas, Presentasi GPFI, forum FGD Pengawasan Obat dan Makanan, 30 Mei 201836 WHO, Ms Sauwakon Ratanawijitrasin and Mr Eshetu Wondemagegnehu, Effective Drug Regulation, a Multi

country study, 200237 Badan POM, Laporan Kinerja BPOM 2017

Dengan telah dikembangkannya beberapa aplikasi teknologi informasi untuk pengawasan obat dan makanan, yang menjadi tantangan adalah apakah aplikasi tersebut berhasil-guna dan berdaya-guna untuk pengawasan obat dan makanan sebagaimana tujuan pengembangannya. Namun demikian, terkait informasi tentang regulasi, standar, persyaratan dan tata laksana prosedur obat dan makanan serta hasil pengawasan dilapangan pada kenyataannya belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena belum disajikan dalam 2 (dua) bahasa (bilingual), sebagaimana komentar WHO pada saat melakukan assessment/benchmarking ke Badan POM bahwa manfaat informasi dalam situs Badan POM dipaparkan hanya dalam bahasa Indonesia, sedangkan pencari informasi termasuk mereka yang bukan berbahasa Indonesia38

8.

Tantangan lain yakni pemanfaatan teknologi dalam tindak lanjut hasil pengawasan obat dan makanan melalui pelaporan aplikasi SIPT (Sistem Informasi Pelaporan Terpadu) yang isinya antara lain, hasil pengawasan sarana distribusi dan pengujian sampel produk obat dan makanan oleh seluruh Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia. Sistem ini belum secara optimal dapat mengkaitkan hasil pengawasan dengan kecepatan tindak lanjut pengawasan, misalnya pelaksanaan penarikan (recall) bets produk yang bermasalah dari lapangan dan pemberian sanksi terhadap temuan pemeriksaan sarana distribusi dan pelayanan obat dan makanan. Dari data yang ada diketahui bahwa dari keseluruhan temuan bidang pengawasan obat dan makanan, hanya sekitar 20% yang ditindak lanjuti secara efektif, karena kurangnya kecepatan proses dan tidak adanya koordinasi lintas sektor, misalnya oleh pemerintah daerah yang memberikan ijin sarana tersebut39

9. Di beberapa negara, apabila ditemukan produk obat dan makanan yang bermasalah, institusi regulatori nasional atau daerah (National Regulatory Authority – NRA) dapat memerintahkan penarikan produk kepada pemilik produk dari tempat layanan kesehatan secara serentak di seluruh negeri serta meminta yang bersangkutan melaporkan hasilnya melalui sistem elektronik dalam waktu 24 jam kepada NRA mengenai jumlah, nomor bets dan rencana lebih lanjut terhadap bets yang bermasalah40

10. Hal ini memberikan jaminan perlindungan masyarakat yang cepat dan menyeluruh dari produk obat dan makanan yang bermasalah.

Selain itu, sistem informasi yang ada perlu disempurnakan dengan aplikasi yang mengintegrasikan hasil pre-market dan post-market (temuan di lapangan) dengan tindak lanjut regulatori yang cepat, termasuk koordinasi dengan dengan K/L dan pemerintah daerah agar perlindungan masyarakat dari Obat dan Makanan yang Tidak Memenuhi Syarat, palsu, dan ilegal dapat dilakukan secara komprehensif. Hal mendasar lain yang perlu dilakukan dalam pemanfaatan teknologi informasi adalah perlu adanya sinergisme antara sasaran strategik Badan POM yang ditetapkan dengan pemanfaatan teknologi informasi pengawasan obat dan makanan sebagai indikator kinerja yang dapat menunjang penguatan sistem pengawasan obat dan makanan.

e. Kemitraan yang Berdampak pada Pengawasan Obat dan Makanan

Penerapan jaminan mutu obat JKN dalam rangka ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial, merupakan kegiatan yang beririsan dengan program pengawasan obat dan makanan, khususnya dalam pelaksanaan pengadaan obat dan penyusunan e-katalog. Selama ini, dalam pelaksanaan pengawasan obat dan makanan masih dijumpai kendala yang berkaitan dengan koordinasi dengan pemangku kepentingan, utamanya di lapangan. Demikian halnya dengan jaminan mutu obat kontrasepsi yang dikoordinasi oleh BKKBN;

38 WHO NRA Assessment ke Badan POM tahun 201239 Badan POM, Kinerja BPOM Dalam Angka Triwulan IV Tahun 201740 DCDGI, 2014 State of Gujarat, India

Page 23: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

3. Tantangan Pengawasan Obat dan Makanan • 3332 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

serta sarana pengelolaan darah dan produk bersumber darah yang dikoordinasi oleh Palang Merah Indonesia dan Kementrian Kesehatan. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme khusus, misalnya, adanya forum komunikasi lintas sektor terkait pengawasan mutu obat beredar yang melibatkan K/L, dan pemerintah daerah (Dinkes Provinsi dan Kabupaten/Kota).

Upaya perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat serta penggunaan obat yang rasional. Pengawasan obat dan makanan mencakup juga pengawasan terhadap informasi label/penandaan dan promosi obat yang dimaksudkan agar tidak terjadi penyalahgunaan dan penggunaan yang salah suatu obat oleh pengguna (tidak sesuai dengan indikasi yang disetujui saat produk diberi ijin edar). Dari aspek supply, Badan POM telah banyak melakukan pembinaan termasuk memberikan pedoman pengelolaan obat-obat tertentu, namun pada kenyataannya dilapangan banyak ditemukan penggunaan obat terdaftar yang disalahgunakan, misalnya yang mengandung misoprostol, dextrometorfan, amitriptilin, dan klorpromazin dan yang sudah dilarang beredar, misal PCC (Parasetamol, Caffein dan Carisoprodol). Untuk itu, dari aspek demand, diperlukan langkah-langkah strategis khusus yang melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan pemerintah daerah dan Badan POM untuk melakukan upaya preventif dan promotif. Hal ini sejalan dengan Inpres No. 3 Tahun 2017 yang dimaksudkan untuk perkuatan regulasi dan meningkatkan koordinasi lintas sektor dengan Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah, serta memaksimalkan fungsi posko terpadu di 34 propinsi sebagai forum komunikasi, informasi dan koordinasi dengan lintas sektor terkait permasalahan obat dan makanan.

Upaya percepatan pencapaian SDGs, utamanya SDG Goal 2 (Zero Hunger) terkait dengan akses untuk mendapatkan makanan yang aman, bergizi dengan jumlah yang cukup sesuai kebutuhannya. Ketersedian pangan dengan nilai gizi yang cukup perlu dikawal, misalnya pangan diet khusus yang mengandung Angka Kecukupan Gizi (AKG) tertentu seperti pada produk pangan untuk pasien diabetes dan formula bayi; garam, terigu, dan minyak goreng sawit difortifikasi dengan mikronutrien. Di samping itu, diperlukan peningkatan awareness dalam bentuk serta Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat. Tantangan bagi BPOM ke depan adalah kolaborasi, koordinasi dan jejaring kerja dengan K/L terkait dan pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan teknis terkini tentang standar gizi pangan olahan, pengawalan mutu, manfaat, dan keamanan pangan olahan, serta pelaksanaan KIE kepada masyarakat.

Penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka Keamanan Pangan yang melibatkan K/L lain, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk mengakomodasi tantangan terkini yang dihadapi di bidang Keamanan Pangan. Badan POM telah menginisiasi berbagai upaya lintas sektor dalam rangka Keamanan Pangan, misalnya program pengawasan bahan berbahaya mengingat penggunaan bahan berbahaya yang persisten dalam makanan. Berbagai upaya tersebut selain berkoordinasi/berkolaborasi dengan K/L terkait dan pemerintah daerah, juga telah melibatkan peran aktif dari komunitas masyarakat. Program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya yang dimulai sejak tahun 2013 digagas dalam rangka mengendalikan peredaran bahan berbahaya dan pangan yang mengandung bahan berbahaya di pasar, serta mendukung Program Pasar Sehat Kementerian Kesehatan. Demikian juga program Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang dicanangkan sejak 2010.

Pengawasan obat dan makanan mencakup juga kontrol terhadap arus impor dan ekspor produk obat, obat tradisional, kosmetika, suplemen kesehatan dan pangan/makanan termasuk bahan baku (bahan aktif dan bahan penolong). Dalam hal ini jejaring dan koordinasi pengawasan obat

dan makanan dengan K/L terkait sangat diperlukan, khususnya untuk implementasi jejaring (i) INSW (Indonesia National Single Window) yang merupakan sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukan penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron dan pembuat keputusan tunggal untuk ijin kepabeanan dan pengeluaran barang41

11 dan (ii) Indonesia National Trade Repository System yang merupakan sistem repository nasional di bidang perdagangan yang diperlukan untuk menghadapi ekonomi global sehingga lebih transparan.

Di samping itu, dalam mendukung Inpres No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, diperlukan investasi pelaku usaha dalam bentuk Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Dalam kaitan ini, peran Badan POM adalah terkait dengan dukungan informasi persyaratan teknis untuk industri obat dan makanan bagi K/L (Badan Koodinasi Penanaman Modal, Kementrian Perdagangan) yang menangani kebijakan dimaksud, misalnya penerapan Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Pengawasan Obat dan Makanan pre-market khususnya yang terkait dengan pemberian ijin edar Obat didasarkan pada kriteria khasiat, keamanan dan mutu. Khusus untuk obat yang masih dilindungi paten sesuai Undang Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, pertimbangan kepentingan publik yang mendesak akan ketersediaan obat dimaksud dimungkinkan dengan adanya Peraturan Presiden tertentu. Kontribusi Badan POM dalam kaitan ini terkait dengan kajian teknis dan informasi ketersediaan obat yang lain.

f. Penguatan Kapasitas dan Kemampuan Uji laboratorium Obat dan Makanan

Dalam mengawal kebijakan pengawasan obat dan makanan, pengujian laboratorium merupakan salah satu tulang punggung pengawasan yang penting dan saat ini diselenggarakan oleh laboratorium Badan POM yang berkedudukan di pusat dan yang tersebar diseluruh Indonesia di Balai Besar/Balai POM (UPT Badan POM). Laboratorium Badan POM di pusat adalah Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) yang mempunyai 2 (dua) aspek yang strategis sesuai tugas dan fungsinya yaitu meningkatkan kemampuan uji laboratorium BB/BPOM diseluruh Indonesia dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Seiring dengan tuntutan kebutuhan pengawasan serta harapan masyarakat atas jaminan mutu dan keamanan obat dan makanan, maka harus dilakukan peningkatan kemampuan uji laboratorium sesuai Standar Good Laboratory Practices (GLP) dan standar mutu laboratorium (ISO 2001:2015 dan 17025) baik di PPOMN/PPPOMN maupun di laboratorium Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia secara bertahap. Pada saat ini, semua laboratorium Balai Besar/Balai POM dapat melakukan pengujian dan analisis hasil uji obat dan makanan sederhana, tetapi untuk yang lebih kompleks pengujian harus dilakukan oleh BPOM (PPOMN/PPPOMN)42

12. Dalam kaitan ini, yang perlu mendapat perhatian adalah kebijakan saat ini dimana hasil pengujian Balai Besar/Balai POM dapat langsung dimanfaatkan untuk tindak lanjut regulatori, termasuk upaya penindakan. Hal ini perlu dicermati dan seharusnya hanya dapat diberlakukan untuk Balai Besar/Balai POM dengan kemampuan uji strata tertentu.

Untuk itu, penguatan laboratorium pengawasan obat dan makanan yang fungsional harus dibangun dengan memperhatikan jumlah penduduk, faktor risiko paparan, dan tingkat konsumsi masyarakat akan produk obat dan makanan. Konsep baru ini perlu menetapkan kebijakan dan perencanaan bidang pengujian secara komprehensif, dari aspek manajerial dan

41 Peraturan Presiden No 10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window

42 Badan POM, Laporan Tahunan Pusat Pengujian Obat dan Makanan (PPOMN) 2017

Page 24: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

3. Tantangan Pengawasan Obat dan Makanan • 3534 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

teknis, antara lain misalnya uji profisiensi yang diperlukan, sinergisme prosedur Quality Control (QC)/Quality Assurance (QA) untuk laboratorium di Pusat dan Daerah, penerapan sistem mutu terkini (ISO 2001:2015 dan ISO 17025); penetapan metoda sampling yang mewakili dan efisien, dan penetapan baku pembanding yang merupakan kebutuhan utama untuk pelaksanaan pengujian seluruh obat beredar. Untuk itu, perlu disusun peta jalan.

Dengan konsep ini, kompetensi dan kemampuan uji obat dan makanan, utamanya laboratorium di Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia dapat lebih merata, sehingga mampu mengawal upaya pengawasan obat dan makanan secara optimal. Khususnya laboratorium Balai Besar/Balai POM di luar pulau Jawa, di provinsi daerah yang terpencil dan terluar dengan lokasi geografis sulit, kapabilitas/kemampuan uji perlu disetarakan dengan kompleksitas produk-produk yang beredar di wilayahnya. Hal ini berarti perlu upaya khusus untuk (i) Peningkatan kompetensi SDM dalam melakukan pengujian, (ii) Perbaikan peralatan dan sarana prasarana untuk pelaksanaan pengujian, dan (iii) Pemenuhan ruang lingkup pengujian sesuai standar kompetensi dan standar mutu ISO terkait.

Langkah strategis lain yang harus dilakukan terkait penguatan sistem laboratorium pengawasan obat dan makanan adalah, pembentukan satu jaringan kerja nasional yang dinamis dan kohesif untuk semua laboratorium pengawasan obat dan makanan dengan peralatan yang lengkap dan memadai sesuai standar Good Laboratory Practices (GLP) serta didukung oleh sumber daya (manusia dan anggaran/dana) yang cukup, kompetensi SDM dalam melakukan pengujian yang memadai dan, pemenuhan ruang lingkup pengujian sesuai standar kompetensi dan standar mutu ISO terkait. Standar Minimum Laboratorium dalam GLP43

13 mencakup SDM, Infrastruktur dan peralatan, program pengamanan laboratorium, kemampuan analisia tren, serta kajian secara periodik kinerja laboratorium, termasuk kompetensi SDM dan pelatihan yang dilakukan. Pada tahun 2017, pemenuhan Standar Minimum Laboratorium di laboratorium pengawasan obat dan makanan hanya mencapai 76,1%, walaupun terdapat peningkatan apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2016 sebesar 64,5%44

14.

Khusus tantangan terkait SDM pengujian, diperlukan upaya penambahan SDM dan peningkatan kompetensi yang terstruktur dan intensif, karena data pada tahun 2017, SDM di laboratorium obat dan makanan Pusat (Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional) hanya berjumlah 153, dengan pendidikan terbanyak adalah sarjana S1 (83 orang), diikuti oleh sarjana S2 (33 orang) dan hanya 1 (satu) Sarjana S345

15. Tantangan lain terkait standar GLP laboratorium pengawasan obat dan makanan adalah cakupan dan kemampuan uji yang dimiliki. Salah satu contoh nyata adalah terbatasnya kapasitas pengujian dalam rangka mendukung ketersediaan obat dan jaminan mutu yang berkesinambungan program JKN.

Tantangan lain adalah mempertahankan akreditasi laboratorium Badan POM (PPOMN/ PPPOMN) sebagai laboratorium pengendali mutu untuk pengujian obat HIV/AIDS, antituberkulosa dan anti Malaria (ATM) yang diperoleh sekitar tahun 201346

16. Audit yang dilakukan tim prekualifikasi WHO pada medio 2018 ke laboratorium Badan POM (PPOMN/PPPOMN) ternyata menunjukkan masih ada temuan major terkait penerapan sistem mutu yang perlu ditindak lanjuti dengan CAPA (Correction Action Prevention Action), walaupun

43 WHO, Global Benchmark Tools, 201744 Badan POM, Laporan Kinerja BPOM 201745 Badan POM, Laporan Tahunan PPOMN 201746 USAID Press Release Dec 4, 2013

sebelumnya sudah ada bantuan USAID melalui USP-PQM4717 untuk laboratorium Badan POM

(PPOMN/PPPOMN) berupa pelatihan kemampuan uji dan penerapan GLP.

Dalam hal ini, mengingat pengembangan laboratorium obat dan makanan sangat padat sumber daya (manusia dan anggaran/dana) dan sarana-pra sarana maka penambahan jenis laboratorium harus dilakukan dengan sangat strategis48

18, dan perlu diprioritaskan dengan kajian yang matang, antara lain (i) memperkuat laboratorium yang belum berhasil-guna secara optimal, misalnya laboratorium rokok, laboratorium vaksin dan produk biologi yang terbatas kapasitasnya, dan (ii) menetapkan pengembangan laboratorium untuk dukungan kecepatan pengujian yang strategis, misalnya Mobile Laboratory, Mini Laboratory untuk screening.

Untuk itu, harus dibuat “Peta Jalan” pengembangan laboratorium Badan POM dengan fokus prioritas sebagai berikut :a) Menetapkan konsep baru laboratorium pengawasan obat dan makanan yang fungsional

harus dibangun, berupa regionalisasi atau spesialisasi laboratorium di tingkat provinsi, dan peningkatan kapasitas untuk pengujian berbasis potensi daerah

b) Memperkuat jejaring kerja (networking) laboratorium Badan POM di pusat dan Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia dengan berbagai laboratorium di dalam negeri (termasuk universitas, lembaga penelitian) dan kerja sama bilateral serta multilateral dengan berbagai institusi di luar negeri

c) Memperkuat Laboratorium Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional sebagai laboratorium yang memiliki jaringan/akses regional dan global serta dapat mempertahankan sistem akreditasi internasional dan WHO. Dalam hal ini laboratorium Pusat tetap harus melaksanakan pengujian untuk produk obat dan makanan yang tidak dapat diuji oleh laboratorium Balai Besar/Balai POM

d) Meningkatkan kompetensi dan kapabilitas personil laboratorium pengujian melalui pelatihan yang berkelanjutan baik berupa in-house training maupun pelatihan di luar negeri

e) Pemantapan penerapan Quality Management System terkini dan persyaratan Good Laboratory Practices (GLP), termasuk persyaratan standar minimum laboratorium (sarana-prasarana laboratorium di pusat dan daerah kemajuan IPTEK, dan SDM)

g. Penegakan Hukum dari Pelanggaran Obat dan Makanan

Pengamanan (security) jaringan peredaran obat dan makanan yang bermutu, aman, dan berkhasiat dari infiltrasi produk ilegal, di bawah standar (sub-standard) dan palsu (falsified), merupakan perhatian dunia49

19. Oleh karena itu salah satu fungsi pengawasan obat dan makanan di samping melindungi masyarakat dari peredaran obat dan makanan yang tidak aman, bermutu dan bermanfaat, juga perlu melakukan upaya penegakan hukum (enforcement). Khususnya di bidang obat, dari studi WHO tentang obat palsu, termasuk obat ilegal dan obat di bawah standar (substandar)50

20 diketahui bahwa masalah tingginya temuan obat palsu, substandar dan ilegal, khususnya di negara berkembang dapat meningkatkan kerentanan pertahanan keamanan negara, menimbulkan ancaman terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian, dan sekaligus juga melemahkan kepercayaan terhadap Pemerintah, profesional kesehatan, sistem dan program kesehatan. Dari 118 studi WHO yang dilaksanakan

47 Badan POM, Laporan Kinerja PPOMN, 201748 Badan POM, Laporan kinerja BPOM 201749 WHO, the 65th WHA 2012, resolution on Member State Mechanism on SSFC medical products; the 67th WHA

2014, Resolution No 67.20, Regulatory System Strengthening50 WHO,118 Field Studies 2006-2016 and WHO Global Surveillance and Monitoring System (GSMS) 2016

Page 25: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

36 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

dari tahun 2006 sampai 2016 serta data WHO Global Surveillance and Monitoring System (GSMS) diketahui bahwa obat Antimalaria palsu berkontribusi terhadap 51.000 sampai 297.000 kematian setiap tahunnya di negara-negara sub-Sahara Afrika dengan dampak ekonomi total pertahun diperkirakan antara US$ 9 juta dan US$ 54 juta akibat diperlukannya tambahan pengobatan dan perawatan lebih lanjut. Secara global, data pemalsuan obat terbanyak, antara lain adalah Anti Malaria, Antibiotika, anti tuberkulosa yang merupakan obat life saving.

Di Indonesia, kasus vaksin palsu yang terkuak pada tahun 20165121 dan beberapa kejadian

penyalahgunaan obat yang sudah dilarang beredar (PCC: Parasetamol, Coffein, Carisoprodol) memperkuat fakta bahwa keberadaan obat ilegal dan palsu bukan saja merupakan kejahatan kemanusiaan yang mengancam perlindungan kesehatan masyarakat, tetapi juga merupakan kejahatan yang dapat mengganggu jalannya perekonomian, dan lebih jauh dapat mengganggu keamanan dan ketertiban yang berujung pada menurunnya pertahanan negara. Dalam kaitan ini, apabila ditemukannya kasus kejahatan obat dan makanan, Badan POM senantiasa berada di front line dalam menghadapi keluhan dan pengaduan masyarakat, meskipun sebenarnya kasus tersebut menjadi ranah sektor lain. Hal ini menunjukkan kebutuhan untuk penguatan kerangka pengawasan obat dan makanan, termasuk penegakan hukum terkait yang lebih koordinatif, apalagi pada saat ini belum ada data di Indonesia yang komprehensif untuk mengukur besaran masalah dan dampak akibat beredarnya produk obat dan makanan palsu, substandar dan ilegal. Oleh karena itu dirasa perlu (i) untuk melaksanakan studi khusus tentang produk palsu, substandar dan ilegal di Indonesia secara independen dan (ii) untuk meningkatkan koordinasi dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System-ICJS), mengingat Badan POM tidak dapat berperan sebagai single player karena keterbatasan kewenangan sehingga dukungan dan jaringan kerja sama yang baik dengan semua pemangku kepentingan termasuk para penegak hukum sangat diperlukan.

Hal terpenting dalam pengamanan (security) peredaran obat dan makanan adalah upaya komprehensif dan terpadu untuk melakukan pencegahan maupun pemberantasan terhadap kejahatan ini dan terhadap pelaku harus diberi sanksi yang berat agar dapat memberi efek jera serta mencegah orang lain berani melakukan kejahatan ini. Di samping itu, harus dilakukan upaya terstruktur terhadap pemberantasan kejahatan bidang obat dan makanan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pelaku industri legal sehingga industri lokal/domestik dapat meningkatkan daya saing bangsa. Hal ini disebabkan karena sumber produk TIE, TMS, Ilegal dan palsu kebanyakan merupakan produk yang bersumber dari luar Indonesia.

Salah satu tantangan aspek penegakan hukum bidang obat dan makanan dan menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya upaya penegakan hukum, antara lain adalah bahwa hukuman yang dijatuhkan belum memiliki efek jera, sehingga diperlukan upaya lanjutan guna meyakinkan bahwa tindak pidana obat dan makanan merupakan kejahatan serius dan kepada pelakunya perlu diberikan hukuman maksimal berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gambaran contoh putusan pengadilan terendah dan tertinggi terhadap perkara pidana bidang obat dan makanan dimana dapat dilihat bahwa putusan hukum yang dijatuhkan tidak mempunyai efek jera dan tidak sebanding dengan insentif ekonomi serta keuntungan finansial yang didapatkan oleh para pelanggar hukum. Hal ini mengakibatkan pelanggaran berulang dan bahkan menjadi contoh bagi para pelanggar hukum yang lain. Selain itu, lemahnya payung hukum mengakibatkan upaya penegakan hukum bidang obat dan makanan tidak dapat dilakukan secara maksimal.

51 WHO, Investigation on falsified Vaccine in Indonesia, 2016

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

4. SARAN/REKOMENDASi

KEBijAKAN PEMBiAyAAN KESEHATAN

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN,

TERMASUK KEAMANAN PANGAN

Page 26: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

4. Saran/Rekomendasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan • 3938 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

4.1. USUlAN ARAH KEBijAKAN DAN STRATEGi

Arah kebijakan ke depan yang diusulkan “peningkatan pengawasan obat dan makanan yang lebih efektif, efisien, dan berdaya ungkit bagi inovasi, sehingga memberikan perlindungan menyeluruh bagi kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan daya saing obat dan makanan”. Arah kebijakan yang ditetapkan tersebut perlu memperhatikan 2 (dua) hal penting yaitu a) penyelarasan dengan sistem kesehatan nasional, dukungan terhadap aspek sosio-ekonomi, dan dukungan inovasi dan aspek ilmiah riset dan pengembangan terkait aspek regulasi uji klinis, dan b) pengembangan kerangka kinerja regulatori (Regulatory Performance Framework)

a. Penyelarasan dengan (i) Sistem Kesehatan Nasional secara keseluruhan, antara lain, peningkatan akses obat dan makanan yang terjamin khasiat/manfaat, keamanan, mutu, dan keterjangkauannya termasuk upaya promosi kesehatan masyarakat jangka panjang dengan komunikasi yang jelas, efektif dan memiliki target sasaran; (ii) dukungan terhadap aspek sosio-ekonomi dalam mengawal aspek ekonomi bisnis obat dan makanan dan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat (iii) dukungan inovasi dan aspek ilmiah riset dan pengembangan terkait aspek regulasi uji klinis produk biopharmaceutical, dan pengembangan obat berbasis herbal serta kajian ketersediaan obat life-saving halal (antisipasi pelaksanaan UU Jaminan produk halal).

b. Pengembangan kerangka kinerja regulatori (regulatory performance framework) untuk mengukur dampak kinerja pengawasan obat dan makanan terhadap kesehatan masyarakat sesuai indikator kinerja utama (key performance indicator) yang ditetapkan. Kerangka kinerja regulatori harus bertujuan mendorong efisiensi, transparansi dan akuntabilitas, antara lain, cost-effectiveness pelaksanaan pengawasan obat dan makanan; seberapa jauh berfungsinya institusi pengawasan obat dan makanan; seberapa jauh akses publik terhadap regulasi, prosedur, kriteria dan keputusan regulatori; dampak biaya (cost-impact) terhadap bisnis farmasi apabila terjadi keterlambatan dalam penetapan keputusan regulatori; akuntabilitas hasil tindakan regulasi; dan efektivitas komunikasi risiko.

Strategi yang diusulkan untuk melaksanakan arah kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui: a. Perlindungan publik dari obat dan makanan yang tidak memenuhi syarat dengan

perluasan cakupan dan kualitas pengawasan pre- dan post-market obat dan pangan berisiko

b. Peningkatan kemandirian pelaku usaha, pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat

c. Percepatan proses registrasi produk obat dan makanan dengan tetap mengacu pada pemenuhan kualitas keamanan produk

d. Peningkatan riset di bidang pengawasan obat dan makanan e. Peningkatan kemampuan SDM dan kapasitas laboratorium dan Balai POM f. Perluasan pemanfaatan teknologi informasi dalam pengawasan obat dan makanan g. Peningkatan kemandirian dan inovasi/pengembangan obat, obat tradisional, bahan baku

farmasi dalam negerih. Penguatan perlindungan dan promosi kesehatan masyarakat melalui komunikasi risiko

yang efektif (effective risk communication), mencakup (i) penguatan pengetahuan yang mendukung komunikasi efektif risiko, (ii) perluasan kapasitas penyebarluasan, dan pengawasan efektif komunikasi risiko, dan (iii) optimalisadi kebijakan komunikasi risiko dan manfaat

i. Peningkatan akses obat dan makanan yang aman, bermutu, berkhasiat/bermanfaat dan terjangkau serta peningkatan jaminan keamanan pangan;

j. Peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peran Badan POM dalam Integrated Criminal Justice System (ICJS);

k. Peningkatan komunikasi risiko obat dan makanan termasuk jejaring kerja sama dengan masyarakat dan pemangku kepentingan;

l. Optimalisasi implementasi Inpres No 3/2017 tentang peningkatan efektivitas pengawasan obat dan makanan;

m. Penyelesaian beban ganda keamanan pangan yaitu (i) penguatan prinsip pembuatan makanan/pangan yang baik sesuai GMP/HACCP pangan masakan rumah tangga, pangan jajanan, pangan jasa boga dan industri pangan olahan, khususnya untuk UMKM dan perluasan PMR (Program Manajemen Risiko); (ii) penguatan pemenuhan persyaratan internasional terhadap pangan olahan produksi Indonesia untuk ekspor.

Arah kebijakan dan strategi tersebut perlu didukung oleh penguatan kerangka kelembagaan, kerangka regulasi, dan kerangka pendanaan.

Penguatan kerangka kelembagaan yang didasarkan pada pendekatan manajemen risiko, pemanfaatan teknologi informasi dan kolaborasi lintas sektoral untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, tata kelola pemerintahan yang baik dan efisiensi, dengan (i) pengembangan model berbasis risiko untuk inspeksi produksi dan evaluasi produk terhadap kepatuhan Good Regulatory Practices (Good Review Practices, GMP, GDP) berkoordinasi dengan lembaga lain, (ii) pengembangan model pengujian obat dan makanan yang inovatif serta penjajakan kerja sama dengan laboratorium independen (misalnya laboratorium di universitas terakreditasi) untuk pengujian produk obat dan makanan yang established (iii) intensifikasi kegiatan penegakan hukum termasuk pengungkapan aktor intelektual yang berkaitan dengan kejahatan obat dan makanan dengan kolaborasi yang kuat dalam sistem peradilan pidana terpadu (ICJS : Integrated Criminal Justice System).

Penguatan kerangka pendanaan dengan peningkatan efisiensi alokasi anggaran, utamanya untuk revitalisasi kinerja laboratorium dan pelaksanaan sampling dan pengujian produk obat dan makanan.

Penguatan kerangka regulasi yang difokuskan pada penguatan dasar hukum berdasarkan Good Regulatory Practices, dengan mempertimbangkan input (sumber daya manusia, dan alokasi anggaran), proses (regulasi dan bisnis proses atau layanan berdasarkan konsep perlindungan yang komprehensif dan promosi kesehatan masyarakat dari hulu hingga hilir - full Spectrum52

1), dan output (implikasi bagi kesehatan masyarakat). Penting untuk melakukan kemitraan antara K/L, dan pemerintah daerah di semua level) dan penegakan hukum atas seluruh pelanggaran obat dan makanan secara tegas.

52 Full Spectrum adalah pengawasan obat dan makanan sesuai kriteria Benchmarking WHO dan studi FAO-WHO yaitu (i) Pengawasan pre-market berupa kawalan khasiat/manfaat, keamanan, dan mutu melalui sistem registra-si, penerapan jaminan mutu, penerapan GMP dan (ii) Pengawasan post-market berupa kawalan kepatuhan GMP, GDP, Market Vigillance dan upaya Law Enforcement (penyidikan dan penindakan) serta pelaksanaan Effective Risk Communication dan upaya promosi kesehatan masyarakat bidang obat dan makanan.

Page 27: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

4. Saran/Rekomendasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan • 4140 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

4.2. REViEW iNDiKATOR POM 2015-2019 DAN MASUKAN iNDiKATOR POM 2020-2024

4.2.1. Review indikator Pengawasan Obat dan Makanan 2015-2019

Dalam mengukur capaian pengawasan obat dan makanan, perlu diukur dengan indikator tertentu. Pada periode 2015-2019 kinerja pengawasan obat dan makanan secara nasional diukur dengan persentase obat memenuhi syarat dan persentase makanan memenuhi syarat. Namun, tren capaian dari tahun ke tahun kurang sensitif untuk menggambarkan progress kinerja (hampir 100%). Permasalahan utama pada tingginya capaian obat dan makanan antara lain karena metode pengukuran yang kurang representatif.

a. Definisi Operasional dan Cakupan Pengawasan Obat dan MakananObat dan makanan yang Memenuhi Syarat (MS) adalah obat dan makanan yang aman dikonsumsi, yaitu yang memenuhi standar keamanan/mutu dan khasiat (untuk Obat) produk yang telah ditetapkan terkait dengan komponen yang terkandung di dalamnya. Dengan definisi operasional tersebut maka pernyataan MS (Memenuhi Syarat) atau TMS (Tidak Memenuhi Syarat) hanya bisa ditetapkan dengan analisis laboratorium terhadap komponen yang terkandung di dalam obat dan makanan, baik komponen kimia maupun mikrobiologi (atau biologi). Pernyataan MS atau TMS untuk kriteria pelanggaran terhadap ketentuan lainnya seperti tidak memiliki NIE/produk ilegal, produk kadaluarsa/produk rusak, dan tidak memenuhi ketentuan label/penandaan, digunakan sebagai pelengkap informasi dan tetap dicatat terkait dengan sampel yang diuji di laboratorium. Dengan demikian, setiap sampel yang diambil dari peredaran diuji di laboratorium terhadap parameter uji kimia dan mikrobiologi serta uji lainnya untuk menetapkan kategori MS atau TMS. Definisi operasional ini terbatas pada produk obat dan makanan (olahan) yang memiliki ijin edar, sehingga obat dan pangan tanpa ijin edar serta pangan segar tidak dijadikan sasaran. Permasalahan di lapangan karena terdapat beda kewenangan antara BPOM sebagai pengawas obat dan pangan dengan ijin edar dan Kemtan sebagai pengawas pangan segar. Selain itu, stakeholder lainnya yaitu Kemkes sebagai pengawas makanan dan minuman di berbagai tempat-tempat umum.

Gambar 14. Tren Capaian indikator Pengawasan Obat dan Makanan

Sumber: BPOM, berbagai tahun

b. Penentuan SampelMengacu pada pedoman sampling obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, dan pangan, metode yang digunakan dalam penentuan sampel yaitu gabungan antara purposive-targeted dengan pendekatan analisis risiko dan metode acak/random. Selain itu, sampling dikelompokkan atas dua jenis sampling rutin dan sampling kasus. Sampling rutin dilakukan secara purposive-targeted melalui pendekatan analisis risiko yang dilakukan untuk obat-obat yang digunakan untuk pelayanan di sarana pemerintah maupun sarana pelayanan lain yang bekerja sama dengan BPJS dan sampling obat non JKN yang dilakukan di sarana swasta dan dilakukan secara acak/random. Pengambilan sampel dilakukan secara acak/random untuk memenuhi keterwakilan (representative) terhadap produk yang beredar. Obat dalam kategori ini mencakup obat, obat tradisional, dan suplemen kesehatan. Sampling yang dilakukan karena dipicu kasus tertentu (triggered sampling). Dengan penentuan sampel tersebut, pengawasan obat dan makanan tidak murni dilakukan secara random dan mempengaruhi hasil capaian yang belum mencerminkan kondisi di lapangan. Penentuan sampel dilakukan berdasarkan pada survei baseline data yang tidak dilakukan secara berkala.

c. Pendekatan Berbasis Risiko Pengambilan sampel berbasis risiko (risk-based sampling) digunakan dalam fungsi pengawasan obat dan makanan dengan penentuan sampel berdasarkan perkiraan risikonya terhadap kesehatan. Sehubungan dengan hal tersebut, obat dan makanan yang dikonsumsi dalam jumlah besar, sering dikonsumsi oleh masyarakat dan produk yang kemungkinan terkontaminasi seharusnya diambil sampelnya dalam jumlah lebih banyak atau lebih sering diuji. Semua rencana sampling harus mempertimbangkan secara statistik terkait dengan sejumlah sampel yang dianalisis. Namun, saat ini pengambilan sampel terbatas pada alokasi anggaran dan kapasitas laboratorium, sehingga pemerataan beban laboratorium dalam pengujian disamaratakan sementara faktor risiko, keterpaparan, dan jumlah penduduk masing-masing wilayah berbeda-beda.

d. Pengukuran Pengawasan Obat dan Makanan Dengan kondisi SDM, kapasitas laboratorium, dan ketersediaan anggaran yang ada pada lembaga pengawas obat dan makanan di Indonesia yakni BPOM, belum ada regulasi yang mengatur atau mewajibkan peran swasta secara mandiri untuk self-assessment terhadap produknya melalui laboratorium yang telah dinyatakan layak oleh BPOM sebagai regulator.

4.2.2. Masukan indikator Pengawasan Obat dan Makanan 2020-2024

Ke depan indikator pengawasan obat dan makanan 2020-2024 perlu dijabarkan menjadi Indikator yang mampu memberikan gambaran sejauh mana upaya pengawasan obat dan makanan mampu memberikan dampak perlindungan kesehatan masyarakat dan mencakup pengukuran hasil pengawasan untuk seluruh komoditas dan prosesnya. Untuk itu, perlu dilakukan benchmarking53

2 terhadap indikator serupa yang secara internasional mampu mengukur dampak terhadap upaya pengawasan yang dilakukan, antara lain, sebagai berikut :

53 Australian Government, Therapeutic Goods Administration, Dept of Health, TGA Key Performance Indicators, July 2015-June 2016

Page 28: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

Kajian Sektor Kesehatan • 4342 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

a. Adanya peningkatan efektivitas dan efisiensi perlindungan kesehatan masyarakat b. Adanya koordinasi dan komunikasi dengan lintas sektor dan pemangku kepentingan

yang jelas, sesuai target dan pelaksanaannya efektifc. Tindakan regulatori pengawasan obat dan makanan yang dilakukan sebanding

dan efektif dengan paparan resiko regulatori d. Adanya pendekatan yang terarah dan terkoordinasi terhadap kepatuhan standar

dan persyaratan serta pelaksanaan monitoring hasil pengawasan obat dan makanan

e. Adanya transparansi upaya pengawasan obat dan makanan dengan keterlibatan semua pihak yang diregulasi

f. Adanya dukungan terhadap peningkatan kemandirian dan inovasi serta perbaikan kerangka regulatori

Di samping hal tersebut di atas, komponen kritis yang penting untuk masuk sebagai indikator pengawasan obat dan makanan adalah pelaksanaan komunikasi risiko yang efektif54

3, yang dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori yaitu komunikasi interaktif tentang benefit risk produk obat dan makanan agar masyarakat dapat melakukan kajian mandiri terhadap produk yang diregulasi dan pemberian pedoman kepada pelaku usaha obat dan makanan untuk melakukan komunikasi efektif.

Untuk memenuhi beberapa kaidah tersebut di atas, terdapat berbagai usulan indikator pengawasan obat dan makanan ke depan sebagai berikut:

a. Persentase Obat Memenuhi Syarat dan Persentase Makanan Memenuhi Syarat dengan PerbaikanSampai dengan saat ini persentase obat memenuhi syarat dan persentase makanan memenuhi syarat masih merupakan indikator yang relevan untuk digunakan dalam 5 tahun ke depan. Namun, perlu perbaikan baik dari aspek pengambilan sampelnya maupun dari aspek keterwakilan produk obat dan makanannya. Dalam pengambilan sampel perlu dibedakan antara random dan targeted. Khusus random dapat digunakan dalam pengukuran kinerja capaian pengawasan obat dan makanan. Sementara itu, targeted dilakukan terpisah dengan tujuan untuk mengukur capaian kegiatan yang strategis seperti pangan jajanan anak sekolah dan lain sebagainya. Dalam penentuan sampelnya menggunakan risk-based sampling dengan memperhatikan jumlah penduduk, risiko keterpaparan produk obat dan makanan (exposure), dan tingkat konsumsi masyarakat. Penentuan sampel tersebut perlu berbasis pada hasil survei baseline data.

b. indeks Keamanan Obat dan Makanan & indeks Pengawasan Obat dan MakananIndeks dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi agregat indikator keamanan dan pengawasan obat dan makanan yang dibentuk dari dimensi obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan makanan, dapat dibandingkan antar waktu, antar wilayah (provinsi), dan antar dimensi. Perubahan kondisi dapat ditunjukkan oleh perubahan angka indeks. Indikator yang lebih mencerminkan impact yang diusulkan adalah indeks keamanan obat dan makanan yang diharapkan dapat tersusun beberapa indikator outcome yang korelasinya kuat dalam menentukan keamanan, manfaat/khasiat, dan mutu obat dan makanan. Indikator lainnya yang bersifat komposit yakni

54 US Dept of Health and Human Services, Food and Drug Administration, Strategic Plan for Risk Communication, 2009.

indeks pengawasan obat dan makanan, pada skala nasional dapat menggambarkan kinerja organisasi pengawas obat dan makanan. Hal yang perlu menjadi perhatian dalam penentuan indeks adalah komponen penyusunnya perlu dikaji secara komprehensif dan pengukurannya perlu dibuat secara berkala. Jika ditinjau lebih lanjut, terdapat kelemahan dalam penggunaan indeks. Indeks merupakan indikator yang sifatnya komparasi, perbandingan dengan daerah/negara lain, sebagai contoh misalnya indeks pembangunan manusia. Sementara untuk indeks keamanan maupun pengawasan obat dan makanan belum terdapat ada benchmark-nya dan tidak dapat dibandingkan dengan kondisi di negara lain. Selain itu, indeks merupakan komposit dari banyak indikator/variabel, sehingga kurang mampu menjelaskan intervensi yang harus dilakukan apabila indeks tersebut masih rendah dan perlu melihat lagi ke dalam bagian mana yang lemah. Untuk itu, indeks keamanan obat dan makanan perlu dikaji lebih lanjut terutama komponen pembentuknya dan cara hitungnya sehingga mampu merepresentasikan kinerja sistem pengawasan obat dan makanan. Namun, indeks pengawasan obat dan makanan lebih tepat menjadi indikator organisasi karena mengukur kinerja dari seluruh fungsi (unit) di organisasi BPOM, bukan indikator pembangunan untuk pengawasan obat dan makanan.

Page 29: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

Kajian Sektor Kesehatan • 4544 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

REfERENSI

1. Australian Government. (2016). Therapeutic Goods Administration Key Performance Indicators July 2015-June 2016. Australia: Department of Health.

2. Badan POM. (2015). Laporan Tahunan 2015. Jakarta: BPOM.

3. Badan POM. (2016). Laporan Tahunan 2016. Jakarta: BPOM.

4. Badan POM. (2017). Laporan Kinerja 2017. Jakarta: Badan POM.

5. Badan POM. (2017). Naskah Akademik Penguatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2017-2018.

6. Badan POM. (2017). Laporan Tahunan 2017. Jakarta: BPOM.

7. Badan POM. (2017). Kinerja BPOM Dalam Angka Triwulan IV. Jakarta: BPOM.

8. Badan POM. (2017). Laporan Kinerja BPOM Tahun 2016-2017 dan hasil indepth interview terhadap Kesestamaan Juni-Juli 2018. Jakarta: BPOM.

9. Badan POM. (2017). Laporan Tahunan Pusat Pengujian Obat dan Makanan (PPOMN) 2017. Jakarta: BPOM.

10. Badan POM. (2017). Laporan Tahunan Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA 2016-2017. Jakarta: BPOM.

11. Badan POM. (2018). Laporan Tahunan Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan 2017 dan hasil indepth interview dengan kedeputian III Juni-Juli-Agustus 2018.

12. Bappenas. (2017). Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2019. Jakarta: Bappenas

13. Biro Hubungan Masyarakat dan Dukungan Strategis Pimpinan BPOM. (2018, Juli). Penguatan Sistem Regulasi BPOM melalui WHO NRA Benchmarking. Dapat diakses di: https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/14621/Penguatan-Sistem-Regulasi-BPOM-melalui-WHO-NRA-Benchmarking.html.

14. Britton, K., Koseki, S., and Dutta, A. (2018). Expanding Markets while Improving Health in Indonesia: Private Health Sector Market in the JKN Era. Washington, DC: Palladium, Health Policy Plus; and Jakarta, Indonesia: TNP2K.

15. Deats, Michael; Eisenhawer, Martin, World Health Organization. (2016), Falsified Vaccine Incident, Indonesia 2016, A Report of WHO fact finding visit 10 to 12 August 2016.

16. Drugs Central Standard Control of the Government of India. (2014). medicine product recall system in State of Gujarat, India, finding of the visit, 2014.

17. FAO and WHO. (2017). Assessment of the National Food Control System in Indonesia. Jakarta: FAO/WHO Joint Mission.

18. Fardiaz, Dedy. (2010-2018) kumpulan berbagai presentasi di pertemuan Rapat Kerja Badan POM.

19. Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia. (2016). disampaikan dalam Seminar Penta Helix Kemandirian Bahan Baku Farmasi, Universitas Padjadjaran, September 2016.

20. GPFI .(2018, Mei). Harapan industri farmasi untuk pengawasan obat dan makanan di Indonesia. Disampaikan pada FGD Pengawasan Obat dan Makanan yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, 30 Mei 2018.

21. Hariyadi, P. (2015). Keamanan Pangan: Tantangan Ganda Bagi Indonesia. SNI Valuasi Volume 9 No.2 Tahun 2015, Hal. 6-9.

22. Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.

23. Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan.

24. Kementrian Perindustrian. (2016). Data Nilai Ekspor Tahun 2016. Dapat diakses di: https://www.kemenperin.go.id/statistik/exim.php.

25. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2018). disampaikan dalam acara Reformasi Perijinan Berusaha dan OSS (Online Single Submission), 18 Mei 2018.

26. Kepala Badan POM .(2018, Mei). Review Pengawasan Obat dan Makanan. Disampaikan pada FGD Pengawasan Obat dan Makanan yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, 30 Mei 2018.

27. Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

28. Management Sciences for Health (MSH). (1997). Managing Drug Supply, hal.119-150; 161-184; 315-326, update 2012 edition.

29. McKency Report. (2012). acuan dalam Rencana Strategis Deputi 1 2015-2019 Badan POM, Jakarta : BPOM.

30. Peraturan BPOM Nomor 26 tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan.

31. Peraturan BPOM Nomor 11 tahun 2018 tentang Kriteria Klasifikasi Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM.

32. Peraturan BPOM Nomor 12 tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan BPOM.

Page 30: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

Kajian Sektor Kesehatan • 4746 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

33. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 87 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat.

34. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

35. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

36. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.

37. Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian.

38. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.

39. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window.

40. Ratanawijitrasin, Sauwakon, Wondemagegegnehu, Eshetu & World Health Organization. (‎2002)‎. Effective drug regulation : a multicountry study. Geneva: World Health Organization.

41. Santoso, Budiono. (2018, Mei). Meningkatkan daya saing obat di Indonesia ditinjau dari sisi keamanan. Disampaikan pada FGD Pengawasan Obat dan Makanan yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, 30 Mei 2018.

42. Surat Menteri PANRB Nomor B/411/M.KT.01/2018 Tanggal 8 Juni 2018 perihal penataan UPT BPOM.

43. Pusat Informasi Obat dan Makanan. (2012, Juli). NRA Assessment. Dapat diakses di: https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/1695/NRA-Reassessment.html.

44. UNESCO Istitute for Statistic. (2013). The First Intenational Survey on Innovation by Manufacturing Firms, 2013.

45. Universitas Pajajaran (2016). Seminar Penta Helix Kemandirian Bahan Baku Farmasi (BBF), September 2016.

46. USAID (2013). Press Release on accreditation of BPOM laboratorium for HIV/AIDs, TB and ATM products, December 4, 2013.

47. US Department of Health and Human Services. (2009), Strategic Plan for Risk Communication, Food and Drug Administration, USA : Department of Health and Human Services.

48. WHO. (2012). Sixty-Fifth World Health Assembly: Resolutions and Decisions Annexes. Geneva: WHO.

49. WHO. (2014). Sixty-Seventh World Health Assembly: Resolutions and Decisions Annexes. Geneva: WHO.

50. WHO. (2017). WHO Global Surveillance and Monitoring System (GSMS) for substandard and falsified medical products. Geneva: WHO.

51. WHO. (2017). Global Benchmark Tools 2017. Geneva: WHO.

52. WHO (2017), A study on the public health and socioeconomic impact of substandard and falsified medical products , Geneva : WHO, November 2017.

53. WHO. (2017) Global Surveillance and Monitoring System (GSMS) for falsified and substandard medical products, Geneva : WHO, November 2017.

Page 31: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

48 • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan

Page 32: PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN, TERMASUK ......viii • Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan Kajian Sektor Kesehatan • ix DAfTAR GAMBAR Gambar 1 Permohonan Registrasi

Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]