PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISLAM & DEMOKRASI

366
Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi i PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISLAM & DEMOKRASI PENGEMBANGAN MODEL DEMOKRASI BERKETUHANAN YANG MAHA ESA Auditorium Kantor Pusat Bank Bukopin, 25 Juli 2017 & Gedung Alawiyah Lt.8 Kampus UIA, 26 Juli 2017 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH JAKARTA 2017

Transcript of PROSIDING SEMINAR NASIONAL ISLAM & DEMOKRASI

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi i

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

ISLAM & DEMOKRASI PENGEMBANGAN MODEL DEMOKRASI

BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

Auditorium Kantor Pusat Bank Bukopin, 25 Juli 2017

&

Gedung Alawiyah Lt.8 Kampus UIA, 26 Juli 2017

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

JAKARTA

2017

ii Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Tim Penyunting Prosiding

SEMINAR NASIONAL ISLAM DAN DEMOKRASI,

Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa

Penasehat

Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesin, SH, MH

Prof. M. Taufik Makarao, SH, MH

Dr. A. Ilyas Ismail, MA

Ketua

Slamet Riyanto, SH, MH

Anggota

Dr. Ir. Atifah Thaha, MSc., M.Ec.Dev.

Dr. Efridani Lubis, SH, MH

Rohmat Adi Yulianto, Lc., MDLS

Euis Nurhidayati, SPd, M.Psi

Arifudin, SH, MH

Diterbitkan Oleh :

Program PASCA SARJANA

Universitas Islam As-Syafi‘iyah

Jl. Jatiwaringin No. 12 Pondok Gede, Jakarta Timur 17411

ISBN : 978-602-72544-3-5

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan

sebagian atau seluruh isi buku ini kedalam bentuk apapun, secara elektronis maupun

mekanis, termasuk fhotocopy, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin

tertulis dari penerbit.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Hak Cipta , Bab XII Ketentuan Piadana,

Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6).

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi iii

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadlirat Ilahi Rabbi, karena atas berkat

rahmat dan hidayah-Nya buku prosiding ini dapat diterbitkan oleh Program Pascasarjana

Universitas Islam As-Syafi‘iyah (UIA). Buku prosiding ini berisi kumpulan makalah yang

merupakan pemikiran kritis para ulama, pakar/ahli, dan cendekiawan muslim, serta tulisan para

dosen dan mahasiswa Program Pascasarjana dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang

disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan di Jakarta oleh Program Pascasarjana

Universitas Islam As-Syafi‘iyah pada tanggal 25-26 Juli 2017.

Materi dalam prosiding ini dikelompokkan dalam dua bagian utama. Pertama, pemikiran

para ulama, pakar/ahli, dan cendekiawan muslim yang merupakan materi utama dan diletakkan

pada bab kedua sampai bab kelima. Dan kedua, pemikiran para dosen dan mahasiswa Program

Pascasarjana dari perguruan tinggi di seluruh wilayah Indonesia yang disampaikan sebagai call

for paper seminar.

Materi utama prosiding dibagi dalam enam bab, yang masing-masing menunjukkan

pengelompokan tema yang dibahas dalam seminar. Bab pertama memuat gambaran umum pokok

permasalahan, yakni relasi antara Islam dan demokrasi, dengan perspektif pada pengembangan

model demokrasi berketuhanan yang maha esa. Bab kedua menyajikan konsep permikiran

mengenai paradigma, konseptualisasi, dan konvergensiIislam dan demokrasi dalam model

demokrasi berketuhanan yang maha esa. Ada dua tulisan yang disajikan, yakni Islam dan

Demokrasi Dalam Konstitusi Indonesia yang dtulis oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH,

M.Sc. dan Islam dan Demokrasi, oleh Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, MA.

Bab ketiga menyajikan pembahasan penting mengenai pengembangan pemikiran dan

pelembagaan model demokrasi berketuhanan yang maha esa. Dua tulisan ulama dan ahli menjadi

sajian utama, yakni Islam dan Demokrasi: Pengembangan Pemikiran Kenegaraan Dalam Islam

yang disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Ma‘ruf Amin, MA, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)

dan Islam, Nomokrasi, Demokrasi, dan Teokrasi, yang ditulis Guru Besar Hukum Tata

Negara Universitas Indonesia dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Prof. Dr. Jimly

Asshiddiqie, SH, MH.

Bab keempat berisi pembahasan mengenai Islam dan demokrasi dalam perspektif teologi

politik sebagai model demokrasi berketuhanan yang maha esa, yang menyajikan berbagai tulisan

dari tiga pakar/ahli kajian keislaman, yakni Prof. Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA, Prof. Dr.

iv Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Achmad Mubarok, MA, dan Dr. Fachry Aly, MA. Prof. Dr. Din Syamsuddin menyumbangkan

lima tulisan menarik dengan lima tema berbeda, yakni Negara Pancasila, Negara Perjanjian dan

Kesaksian (Darul Ahdi was Syahadah); Viable Islamic State In The Modern Era; Islam,

Pluralism, and Democracy; Islam and Democracy in Indonesia, serta Perspective On The Caliphate

Today. Dua tulisan lagi mengenai Islam dan Demokrasi: Perspektip Teologi Politik Sebagai Model

Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa oleh Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA, dan

Perkembangan Islam dan Demorasi Di Indonesia oleh Dr. Fachry Aly, MA.

Bab kelima menyajikan tiga tulisan ahli mengenai pengalaman beberapa negara Islam

dalam menerapkan prinsip demokrasi berketuhanan yang maha esa, Dalam bagian ini disajikan

tulisan Islam dan Demokrasi: Penerimaan Dalam Sistem Pemerintahan Di Beberapa Negara Islam

oleh Prof. Dr. Deddy Ismatullah, SH, MH, Islam dan Demokrasi: Melihat Pengalaman Negara

Turki oleh Dr. Hamdan Basyar, M.Si, serta Islam dan Demokrasi: Mencari Model Demokrasi

Untuk Negeri-Negeri Islam (Sebuah Background) oleh Dr. A. Ilyas Ismail, MA.

Materi pelengkap merupakan call for paper seminar, berisi beragam pemikiran yang

ditulis oleh para dosen dan mahasiswa Program Pascasarjana dari berbagai perguruan tinggi baik

negeri maupun swasta di Indonesia. Tulisan-tulisan ini diletakkan dalam bab enam.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan atas

terselenggaranya Seminar dan penerbitan prosiding ini, antara lain Ketua Majelis

Permusyawaratan Rakyat RI, Pemerintah Provinsi, Jawa Barat, PT. Bank Bukopin, serta

Yayasan Perguruan Tinggi As-Syafi‘iyah (YAPTA).

Besar harapan kami penerbitan prosiding ini dapat menjadi salah satu sumbangan

pemikiran Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‘iyah terhadap pengembangan

khasanah ilmu pengetahuan dalam rangka menumbuhkembangkan nilai-nilai Islam dan

demokrasi di Indonesia.

Billahit taufiq wal hidayah

Jakarta, 25 Agustus 2017

Tim Penyunting

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................ iii - iv

Daftar Isi ....................................................................................................................... v-vi

Pengantar Penerbitan .................................................................................................. vii

Ketua Panitia Seminar, Prof. Dr. Zainal Arifin Husein, SH, MH

Sambutan Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah, ................................................. vii - xvi Dr. Masduki Ahmad, SH, MM

BAB I : .......................................................................................................................... 1 - 8

PENDAHULUAN

Islam & Demokrasi : Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa

BAB II:

PARADIGMA, KONSEPTUALISASI, DAN KONVERGENSI ISLAM DAN DEMOKRASI

DALAM MODEL DEMOKRASI BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

1. Islam Dan Demokrasi Dalam Konstitusi Indonesia .............................................. 9 - 16

Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, M.Sc.

2. Islam dan Demokrasi, .............................................................................................. 17 - 34

Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, MA

BAB III :

PENGEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PELEMBAGAAN MODEL DEMOKRASI

BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

1. Islam dan Demokrasi: Pengembangan Pemikiran Kenegaraan Dalam Islam, .. 35 - 38 Prof. Dr. KH. Ma‘ruf Amin, MA

2. Islam, Nomokrasi, Demokrasi, dan Teokrasi, ....................................................... 39 - 56

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, MH

BAB IV :

ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI POLITIK SEBAGAI

MODEL DEMOKRASI BERKETUHANAN YANG MAHA ESA.

1. BAGIAN SATU : Negara Pancasila, Negara Perjanjian dan Kesaksian (Darul Ahdi was

Syahadah) ................................................................................................................. 57 - 64

Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,

Bagian Dua : Viable Islamic State In The Modern Era, ...................................... 65 - 74 Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,

Bagian Tiga : Islam, Pluralism, and Democracy, .................................................. 75 - 80 Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,

Bagian Empat: Islam and Democracy in Indonesia, ............................................ 81 - 84 Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,

Bagian Lima: Perspective On The Caliphate Today, ........................................... 85 - 88

Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA,

2. Islam dan Demokrasi : Perspektif Teologi Politik Sebagai Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, .............................................................................. 89 - 100 Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA

3. Perkembangan Islam dan Demokrasi Di Indonesia, ............................................ 101 - 106

Dr. Fachry Aly, MA Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi iii

vi Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

BAB V :

PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA ISLAM DALAM MENERAPKAN PRINSIP

DEMOKRASI BERKETUHANAN YANG MAHA ESA, 1. Islam dan Demokrasi: Penerimaan Dalam Sistem Pemerintahan Di Beberapa Negara

Islam, ........................................................................................................................ 107 - 124 Prof. Dr. Deddy Ismatullah, SH, MH.

2. Islam dan Demokrasi: Melihat Pengalaman Negara Turki, ............................... 125 - 146

Dr. Hamdan Basyar, M.Si

3. Islam dan Demokrasi: Mencari Model Demokrasi Untuk Negeri-Negeri Islam (Sebuah

Background), ............................................................................................................ 147 - 150 Dr. A. Ilyas Ismail, MA

BAB VI:

ISLAM DAN DEMOKRASI DARI BERBAGAI PERSPEKTIF (CALL FOR PAPER)

1. Musyawarah dan Demokrasi Menurut Perspektif Al Qur’an, ............................ 151 - 192 Dr. Baharudin Husin, MA (Dosen Program Pascasarjana Magister Komunikasi Islam

Universitas Islam As-Syafi‘iyah – Jakarta)

2. Islam dan Demokrasi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah Untuk Mengembangkan Model

Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa, .......................................................... 193 - 204

Dr. Zahratul Idami, SH, MH (Dosen Universitas Negeri Syiah Kuala – Banda Aceh)

3. Apa Kesalahan Islam terhadap Demokrasi ........................................................... 205 - 222 Abdul Hadi, Lc, MA (Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam As-

Syafi‘iyah- Jakarta)

4. Kontribusi Islam Dalam Perwujudan Paradigmatik Demokrasi Berketuhanan Yang

Maha Esa, ................................................................................................................. 223 - 240 Damrah Mamang, SH, MH (Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum/Mahasiswa

Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi‘iyah - Jakarta)

5. Demokrasi Deliberatif Yang Berketuhanan: Sebuah Konsep Konvergensi Islam dan

Demokrasi ................................................................................................................. 241 - 254

Ahmad Baihaki, SHI, MH,, Adi Nur Rohman, S.H.I., M.Ag, dan Rahmat Ferdian Andi Rosidi,

S.H.I, M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Raya)

6. Islam dan Konstitusi: Studi Terhadap Perkembangan Amandemen Konstitusi Republik

Arab Mesir Tahun 2011-2014 ................................................................................. 255 - 274 Rohmat Adi Yulianto, Lc, MDLS (Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

UIA/Mahasiswa Program Doktor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga - Yogyakarta)

7. Demokrasi Ekonomi Dalam Islam .......................................................................... 275 - 286 Dr. Atifah Thaha, M.Ec. (Ketuan Program Studi Program Pascasarjana Magister Manajemen

Universitas Islam As-Syafi‘iyah - Jakarta)

8. Sistem Ekonomi Kerakyatan Sebagai Pengembangan Pemikiran dan Perkembangan

Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa, .......................................................... 287 - 308 Dr. Efridani Lubis, SH, MH (Dosen Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas

Islam As-Syafi‘iyah - Jakarta)

9. Kepemimpinan Etik : Studi Kasus Kepemimpinan Presiden Soeharto Dalam Gerakan 30

September Partai Komunis Indonesia ................................................................... 309 - 318

Gunawan Wibisono

10. Wacana Pemikiran Islam Pada Masa Orde Baru ................................................ 319 - 338

Saipudin dan Ika Kartika

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi vii

PENGANTAR PENERBITAN

Dalam perspektif konstitusi negara RI, agama mendapatkan posisi yang terhormat, karena

secara tegas diatur baik dalam Pembukaan UUD maupun dalam batang tubuh. Dalam perspektif

ini maka dasar Ketuhanan Yang Maha Esa (agama) telah ditempatkan sebagai bagian dari

landasan bernegara dan pembetukan hukum negara. Implikasi terhadap pemahaman cita hukum,

maka rumusan Pasal 29 UUD 1945 dapat dilihat dari dua sisi yaitu persuasive source dan

authoritative source. Persuasive source, diartikan sebagai sumber yang orang harus diyakinkan

untuk menerimanya dan authoritative source, diartikan sebagai sumber yang otoritatif yaitu

sumber yang mempunyai kekuasaan (authority).

Demokrasi sebagai suatu gagasan yang memiliki nilai universalitas dan moralitas, selalu

merujuk pada sumber otoritas pemiliknya yakni rakyat itu sendiri. Nilai universalitas memberikan

dasar pembenar bagi berlakunya kebebasan manusia dan pengakuan hak-hak dasar manusia

dalam kehidupan negara. Demikian pula nilai moralitas merupakan prinsip-prinsip moral yang

bersifat umum dan dapat ditelaah oleh akal manusia. Kedua nilai tersebut merupakan esensi yang

tetap yang dijadikan ide dasar tentang perumusan hakekat demokrasi yang berkeadilan. Oleh

karena itu, Islam dan demokrasi sama-sama memiliki nilai universalitas dan moralitas.

Dalam perspektif Pasal 29 UUD 1945, maka nilai universalitas dan moralitas Islam dan

negara memiliki sumber yang sama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Paradigma demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa merupakan esensi dari demokrasi ideal yang dirumuskan dalam

Pembukaan dan ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Nilai Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa

akan menjadi perdebatan akademik dan praksis, karena dari segi ontologis belum dirumuskan

secara utuh makna substansi demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula secara

praksis belum pernah dirumuskan baik segi konsep operasional, kelembagaan maupun

parketknya.Seminar Nasional ini berniat untuk menggali dan mengexplor tentang gagasan Islam

dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan

konstitusi Indonesia (UUD 1945).

Mudah-mudahan buku hasil seminar nasional ini bermanfaat untuk kemajuan islam dan

demokrasi di indonesia.

Jakarta, 25 Agustus 2017

Direktur Pascasarjana

Universitas Islam As-Syafi’iyah

Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH.,MH

viii Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Kata Sambutan

Islam dan Demokrasi

Dinamika Kehidupan Sosial-Demokrasi di Indonesia Saat Ini

Dr. Masduki Ahmad, SH., MM

Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah

Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Merupakan suatu kehormatan tersendiri bagi saya atas kesempatan yang diberikan untuk

memberikan pengantar pada buku ini yang diberi judul ―Islam dan Demokrasi: Pengembangan

Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa‖. Walaupun secara masif kajian ini telah

banyak dilakukan diberbagai perguruan tinggi di Indonesia, namun tidak banyak yang kemudian

dapat menghasilkan suatu produk pemikiran serta gagasan yang dapat dijadikan sebagai referensi

dalam rangka penguatan ideologi bangsa serta pengembangan model sistem kedaulatan negara .

Kajian khusus mengenai Islam dan Demokrasi dalam buku ini merupakan hasil dari

seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Islam As-Syafi‘iyah. Seminar tersebut menjadi

bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian awal kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya

secara berkala dan bertahap, yakni Majelis Mudzakkarah As-Syafi‘iyah (MMA). Majelis

Mudzakkarah As-Syafi‘iyah merupakan suatu majelis (forum) ilmiah yang membahas mengenai

berbagai macam problem dan isu-isu keummatan. Majelis ini diselenggarakan setiap bulan sekali

(minimal), dan selalu direspon secara antusias oleh seluruh sivitas akademika di UIA baik

pimpinan, dosen, mahasiswa serta karyawan. Hal tersebut juga yang kemudian menjadikan

Majelis Mudzakkarah As-Syafi‘iyah ini sebagai salah satu ciri khas yang dimiliki oleh

Universitas Islam As-Syafi‘iyah.

Majelis Mudzakkarah As-Syafi‘iyah selalu membahas tentang isu-isu yang up to date dan

topik-topik yang sedang hangat di lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu,

tidak jarang MMA ini selalu menghasilkan gagasan serta ide-ide alternatif sebagai solusi dalam

menyikapi berbagai tantangan dan permasalahan kekinian bangsa.

Di penghunjung akhir tahun 2016 hingga pada pertengahan tahun 2017, isu integrasi

bangsa menjadi trending topic di kalangan masyarakat bangsa Indonesia, khususnya di wilayah

Jakarta. Secara paralel, isu ini mulai muncul ke permukaan setelah adanya pidato dari pejabat

Gubernur DKI -saat itu- berujung pada vonis hakim (untuk sang Gubernur) bersalah karena

dianggap menodai agama. Hal ini kemudian semakin menguat karena bertepatan dengan

momentum perayaan pesta demokrasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang juga menyebabkan

terjadinya pertarungan politik yang dinamis. Kekuatan-kekuatan politik dan kepentingan praktis

(dalam hal pemilihan Gubernur DKI) semakin memanfaatkan isu keagamaan sebagai alat untuk

mencapai tujuan. Isu agama ini kemudian berdampak pada penyebaran isu-isu kebencian yang

membuat sebagian besar orang larut dalam kebencian terhadap salah satu pihak atau kelompok,

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi ix

sehingga tidak jarang menyebabkan terjadinya konflik-konflik sosial. Muncul gerakan-gerakan

masif seperti, aksi bela Islam jilid I, II, III dan gerakan 411, 212, tabligh akbar 901 dan gerakan

lainnya yang cenderung saling membenarkan satu sama lain yang pada akhirnya memunculkan

konflik horizontal di masyarakat. Tidak jarang berita-berita hoax, fitnah, kebohongan dan isu-isu

kebencian lainnya sengaja disebarluaskan di lingkungan masyarakat dengan maksud agar

kehidupan masyarakat menjadi tidak stabil, yang pada akhirnya bepotensi menimbulkan chaos.

Dampak dari adanya dinamika sebagaimana dijelaskan di atas, berlangsung secara masif

ke berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat, hingga menyentuh pada ranah ideologi bangsa

Indonesia, yakni Pancasila. Mulai dibentuk persepsi bahwa berbagai gerakan sosial

kemasyarakatan yang dilandasi dengan basis keagamaan adalah sebagai upaya untuk merubah

ideologi Pancasila. Gerakan dakwah yang disampaikan secara kritis dianggap sebagai perlawanan

terhadap ideologi bangsa Indonesia.

Islam, dalam konteks perkembangan bangsa Indonesia memiliki peranan penting dan

utama. Selain sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia, tidak sedikit bahkan

nilai-nilai serta prinsip dalam Hukum Islam dijadikan sebagai rujukan dalam membentuk

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahkan sudah sejak lama, ada peradilan khusus

dalam ruang lingkup Mahkamah Agung yang menangani perkara perdata untuk subjek hukum

pemeluk agama Islam (muslim) yakni peradilan agama.

Dinamika sejarah proses pembentukan dan penetapan pancasila sebagai landasan dan

dasar negara, mulai muncul dan menguat kembali sebagai topik hangat hingga saat ini. Isu sara

yang semakin menguat, menjadikan pergolakan kondisi sosial masyarakat mengarah kepada

pembahasan sejarah pembentukan Pancasila. Tahun lalu (2016), isu ini muncul dan mencuat di

permukaan setelah adanya penetapan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila oleh Presiden Joko

Widodo. Keputusan penetapan hari lahir Pancasia ini menimbulkan perdebatan pandangan di

masyarakat bangsa Indonesia. Ada yang berpandangan bahwa pancasila itu tidak lahir pada saat 1

Juni, melainkan pada 18 Agustus 1945, karena secara syah Pancasila dijadikan dasar negara pada

saat sidang PPKI 18 Agustus 1945. Kemudian ada juga yang berpandangan, bahwa rumusan

pancasila yang ada sekarang ini dianggap tidak syah, karena rumusan pancasila yang sah adalah

rumusan seperti yang ada dalam Piagam Jakarta, karena penghapusan 7 (tujuh) kata dari Piagam

Jakarta itu tidak memenuhi quorum (dalam prosesnya) dan tidak seimbang. Serta pandangan

lainnya yang juga memperkuat Keputusan Presiden Joko Widodo bahwa pancasila lahir pada

tanggal 1 Juni 1945 ketika Soekarno menyampaikan pidatonya dalam sidang BPUPKI tentang

dasar negara Indonesia. Perdebatan tersebut pada tahun 2016, masih dapat diredam dan tidak

terlalu berdampak masif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Namun dalam kurun waktu

terakhir ini, di tahun 2017, perdebatan pandangan ini semakin tajam dan meluas. Lebih masif lagi

x Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

adalah adanya aturan pemerintah (Perppu Ormas) yang cenderung diprediksi mengancam nilai-

nilai kehidupan demokrasi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Hal ini tidak bisa

dilepaskan dari perspektif yang berbeda dalam memaknai dan memahami sejarah bangsa

Indonesia.

Terlepas dari berbagai pandangan dan perspektif sebagaimana disebutkan di atas, tidak

dapat dipungkiri bahwa nilai, prinsip dan spirit Islam sangat menjiwai dasar serta landasan negara

Indonesia. Pancasila yang telah disepakati menjadi dasar negara, kemudian dituangkan kedalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang dijadikan

sebagai landasan konstitusi bangsa dan negara Indonesia. Dalam konteks sederhana, dapat

dibandingkan bahwa dalam UUD NRI 1945, dijelaskan bahwa pembentukan negara Indonesia

adalah untuk mewujudkan kesejahteraan secara umum (tidak hanya bangsa Indonesia, namun

lebih luas lagi). Nilai ini sangat dijiwai oleh nilai dan semangat Islam (Al-Qur‘an). Islam

merupakan agama yang disyiarkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan berdasarkan pada wahyu

yang diturunkan dari Allah SWT (Al-Qur‘an). Menurut Fazlur Rahman, tujuan diturunkannya Al-

Qur‘an ini tidak lain adalah untuk menegakkan sebuat tata masyarakat yang adil dan menjadi

rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil „alamin). Kemudian hal lain, adalah prinsip musyawarah.

Dalam Sila ke-empat Pancasila, disebutkan bahwa kepemimpinan serta kebijakan yang diambil

oleh negara (Penguasa) harus berada dalam koridor permusyawaratan (musyawarah). Sama

halnya dengan prinsip dalam Islam, dikenal dengan istilah syura yang artinya (secara bahasa)

menjelaskan, menyatakan atau mengajukan pendapat yang baik, disertai dengan menanggapi

dengan baik pula pendapat tersebut. Perintah untuk musyawarah ini, khususnya tertuang dalam

Q.S As-Syura ayat 38, bahwa segala urusan yang berkaitan dengan mereka (masyarakat) agar

dilakukan dan diputuskan dengan musyawarah diantara mereka.

Kemudian hal lain dalam konteks sistem kedaulatan (kekuasaan), negara Indonesia

berdasarkan pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa ―kedaulatan berada di tangan

rakyat......‖. Hal ini menunjukan bahwa negara Indonesia menganut sistem Demokrasi

(Kedaulatan Rakyat). Menurut Abraham Lincoln, Demokrasi merupakan sebuah sistem

―pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat‖.Istilah demokrasi ini berasal dari negara

Yunani, ‗Demos‟ artinya pemerintahan dan‗Kratos‟ artinya rakyat. Lebih lanjut Robet Dahl

mengatakan, “the demos should include all adult subject to the binding collectivedecisions of the

association”,

Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika sampai masa renaissance, dimana demokrasi

menjadi alat untuk melawan bentuk kekuasaan pemerintahan yang berbasis dogma-dogma

keagamaan (gereja). Istilah yang digunakan pada masa renaissance, adalah suatu sistem

demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi xi

berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, eksekutif, yudikatif. Sejak dulu, sistem

pemerintahan semacam ini ditentang oleh filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai

pemerintahan orang-orang bodoh. Aristoteles menamakannya pemerintahan orang-orang miskin

tak berkeutamaan. Abu Nasr Al-Farabi dan IbnRusyd menyebutnya sebagai kebusukan dalam

pemerintahan utama (madinah fadillah).

Dalam perkembangannya, salah satu hal yang menjadi beban berat dalam penerapan

sistem demokrasi adalah bahwa sistem ini cenderung tidak praktis apabila jumlah masyarakat

semakin membesar. Berdasarkan hal tersebut, Jean Jacques Rousseau beserta filsuf politik lain

menyempurnakannya dengan teori demokrasi perwakilan, sistem pemilihan para wakil rakyat

sebagai pemerintah. Sistem perwakilan ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang

diterima di dunia sehingga memaksa banyak cendekiawan muslim menciptakan teori

demokratisasi Islam.

Prinsip dasar dalam sistem demokrasi adalah prinsip persamaan, prinsip adanya kesamaan

antara seluruh umat manusia. Nilai dan semangat dari prinsip ini yang menjiwai segala macam

bentuk perlawanan terhadap sistem kekuasaan di berbagai negara hingga saat ini. Sebagai contoh

di negara-negara Eropa, perlawanan ini berkembang pada zaman renaissance. Kemudian di

negara-negara timur tengah, terjadinya ―Arab Spring‖, di tahun 1970-an terjadinya revolusi Iran,

dan yang terjadi di beberapa tahun terakhir ini adalah dinamika pergolakan politik setelah

tumbangnya Hosni Mubarak, kemudian naiknya Muhammad Mursi yang pada akhirnya terjadi

kudeta militer. Secara umum, dinamika di negara-negara timur tengah ini merupakan proses dari

demokratisasi sistem kekuasaan atau kedaulatan di masing-masing negara. Karena mayoritas,

sistem kekuasaan yang dianut di negara-negara timur tengah adalah Monarki, yang

kecenderungannya menimbulkan otoritarianisme yang tidak menerapkan prinsip persamaan bagi

seluruh warga negaranya.Hal ini yang menjadi basis utama, mengapa adanya intervensi

(demokratisasi) di negara-negara timur tengah.

Krisis otoritarianisme yang melanda dunia ini ternyata tidak mesti mengarah pada

pemunculan rezim-rezim demokrasi liberal. Meskipun demokratisasi muncul diberbagai belahan

dunia seperti Eropa Timur, Amerika Latin, Asia Timur, akan tetapi revolusi liberal menyisakan

sebagian wilayah tertentu seperti Timur Tengah yang relatif tidak tersentuh. Islam dipandang

sebagai penghalang utama menuju demokrasi, sebagaimana ditunjukkan pada pemilu di Aljazair

(1990), atau Iran pada periode lebih awal, demokrasi yang lebih luas tidak boleh menyebabkan

liberalisasi yang lebih luas karena membawa pada kekuatan kaum fundamentalis yang berharap

menciptakan bentuk teokrasi yang popular.Sehingga menurut Huntington, tidak ada satu negara

pun di dunia ini yang mayoritas penduduknya beragama Islam bisa dikategorikan sebagai negara

demokratis. Dan jika demokratisasi berkembang di Timur Tengah justru cenderung memberikan

xii Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

peluang bagi kebangkitan ―fundamentalisme‖ Islam. Seperti disinggung Samuel P. Huntington

bahwa dewasa ini yang paling potensial menjadi kekuatan politik alternatif –baik bagi rezim-

rezim diktator militer maupun monarki absolute—di kawasan Timur Tengah, tidak lain dari kaum

―fundamentalis‖. Seperti terjadi di Aljazair, Kuwait, Libanon, Mesir.

Tidak dapat kita pungkiri bawha istilah, gagasan, konsep serta penerapan sistem

demokrasi muncul dan berkembang dari negara barat. Sehingga ketika setiap kali membahas

mengenai demokrasi, selalu berkaitan erat dengan barat.Dalam konteks kajian antara Demokrasi

dengan Islam, maka pembahasan ini merupakan kajian peradaban, ideologi serta latar belakang

sejarah yang masing-masing berbeda.Demokrasi tumbuh dan berkembang di barat (Eropa),

sedangkan Islam muncul, lahir dan berkembang di Arab.Krisis otoritarianisme yang melanda

dunia ini ternyata tidak mesti mengarah pada pemunculan rezim-rezim demokrasi liberal.

Meskipun demokratisasi muncul diberbagai belahan dunia seperti Eropa Timur, Amerika Latin,

Asia Timur, akan tetapi revolusi liberal menyisakan sebagian wilayah tertentu seperti Timur

Tengah yang relatif tidak tersentuh. Islam dipandang sebagai penghalang utama menuju

demokrasi, sebagaimana ditunjukkan pada pemilu di Aljazair (1990), atau Iran pada periode lebih

awal, demokrasi yang lebih luas tidak boleh menyebabkan liberalisasi yang lebih luas karena

membawa pada kekuatan kaum fundamentalis yang berharap menciptakan bentuk teokrasi yang

populer.Sehingga menurut Huntington, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mayoritas

penduduknya beragama Islam bisa dikategorikan sebagai negara demokratis. Dan jika

demokratisasi berkembang di Timur Tengah justru cenderung memberikan peluang bagi

kebangkitan ―fundamentalisme‖ Islam. Seperti disinggung Samuel P. Huntington bahwa dewasa

ini yang paling potensial menjadi kekuatan politik alternatif –baik bagi rezim-rezim diktator

militer maupun monarki absolute—di kawasan Timur Tengah, tidak lain dari kaum

―fundamentalis‖. Seperti terjadi di Aljazair, Kuwait, Libanon, Mesir.

Hubungan antara Islam dengan demokrasi pada prinsipnya besifat aksiomatis dan cukup

kompleks.Sebab, Islam adalah agama dan risalah yang mengandung prinsip-prinsip serta asas-

asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalat manusia.Sedangkan, demokrasi hanyalah

merupakan sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja antaranggota masyarakat serta

simbol yang diyakini membawa banyak nilai-nilai positif.Kemudian, dunia Islam tidak hidup

dalam keseragaman ideologis sehingga terdapat satu spektrum panjang terkait hubungan antara

Islam dan demokrasi ini. Khaled Abou El Fadl, mengatakan bahwa meskipun Al-Qur`an tidak

secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap satu bentuk pemerintahan tertentu,

tetapi dengan gamblang memaparkan seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu

pemerintahan untuk Muslimin.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi xiii

Suatu polemik hubungan demokrasi dengan Islam ini berakar pada sebuah ―ketegangan

teologis‖ antara rasa keharusan memahami doktrin atau kebiasaan yang telah ajeg atau mapan

oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntutan untuk memberikan pemahaman yang baru

terhadap kebiasaan tersebut sebagai respon dan reaksi atas fenomena sosial yang telah berubah

(perkembangan zaman).

Setidaknya terdapat 3 hal dalam perbincangkan antara Islam dan Demokrasi, (1) sejarah

menunjukan bahwa umat Islam secara empirik selalu bersentuhan dengan pengalaman-

pengalaman politik kenegaraan yang variatif (berbeda-beda), tidak baku; (2) banyak yang percaya

bahwa terdapat prinsip-prinsip yang tertuang dalam Al-quran yang sangat bersesuaian dengan

demokrasi. Ada tuntutan untuk menegakkan prinsip-prinsip ini dalam praktek politik negara dan

pemerintahan; (3) banyak juga yang menolak demokrasi karena diyakini tidak bisa

dipertanggungjawabkan secara keagamaan.

Berkaitan dengan Demokrasi, Secara empirik, demokrasi biasanya menggunakan

sejumlah indikator antara lain:(1) kedaulatan rakyat, (2)pemerintahan berdasarkan persetujuan

dari yang diperintah (rakyat), (3) kekuasaan mayoritas, (4) hak-hakminoritas, (5) jaminan hak-

hak asasi manusia, (6)pemilihan yang bebas dan jujur, (7) persamaan di depanhukum, (8) proses

hukum yang wajar, (9) pembatasanpemerintah secara konstitusional, (10) pluralisme

sosial,ekonomi dan politik, dan (11) nilai-nilai toleransi, (12) pragmatisme, (13) kerjasama dan

(14) mufakat.

Apabila dikomparasikan denga beberapa indikator sebagaimana dijelaskan di atas, secara

jelas dan gamblang dapat dikatakan bahwa Demokrasi tidak bertentangan denga Islam.Bahkan

dengan sistem demokrasi, nilai-nilai serta prinsip Islam dapat dilaksanakan. Perbandingan

pendekatan yang harus dilakukan dalam mengkaji dan membandingkan antara Islam dan

Demokrasi, adalah dengan memahami proses lahirnya Piagam Madinah, baik secara formil

maupun materil.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam

UUD NRI Tahun 1945 menganut sistem Demokrasi. Demokrasi yang dianut tidak an sich

sebagaimana perkembangan di Barat, tetapi Demokrasi yang dijiwai serta dilandasi oleh Nilai-

nilai Pancasila. Hal ini yang merupakan hasil kesepakatan dari para pendiri Bangsa, dan menjadi

ciri khas khusus Indonesia dalam sistem kedaulatan negara. Dengan kondisi geografis serta

demografis yang beragam, menjadikan Indonesia memiliki karakter yang berbeda dibandingkan

negara-negara lainnya.Sehingga dalam sistem kedaulatannya pun memiliki pendekatan yang

berbeda.

xiv Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Sila-sila dalam Pancasila, menjadi dasar serta pedoman bagi setiap warga (bangsa)

Indonesia dalam menjalankan kehidupanna Berbangsa dan Bernegara. Kelima sila tersebut

memiliki keterikatan dan saling berkaitan satu sama lain. Namun, dari kelima Sila dalam

Pancasila tersebut, yang menjadi pondasi utama yang menjiwai seluruh sila adalah substansi pada

nilai Sila yang Pertama, yakni Ketuhanan (Ketauhidan).Dengan landasan ini, bangsa Indonesia

adalah merupakan bangsa yang ber-Tuhan. Sehingga tidak sama dengan negara-negara Barat

yang kecenderungannya berpandangan sekuler dalam penerapan sistem demokrasi.

Dari penjelasan di atas, muncul sebuah petanyaan, bagaimana kondisi nyata kehidupan

berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini? Apakah sudah selaras dengan apa yang telah

disepakati oleh para Pendiri Bangsa? Sebagaimana telah disinggung di awal, bahwa gesekan atau

konflik yang dilandasi dengan unsur SARA sangat sensitif dan berdampak masif, meluas yang

pada akhirnya dapat menimbulkan situasi yang tidak stabil, bahkan chaos.

Hal di atas kemudian menjadi trending topic akhir-akhir ini, sehingga menjadi bahasan

utama dalam Majelis Mudzakkarah As-Syafi‘iyah. Dikarenakan fenomena serta gejolak sosial

yang semakin dinamis dalam merespon dampak dari dinamika Pilgub DKI, Penistaan Agama

oleh Pejabat Publik (Gubernur), hingga pada isu perlawanan dari kelompok radikal,

fundamentalis agama yang dianggap mendorong adanya perubahan ideologi kebangsaan, yang

kemudian direspon dengan ditetapkannya Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi

Kemasyarakatan. Selain sarat dengan unsur politis, dinamika tersebut tidak lain adalah

ketidakharmonisan pemahaman mengenai demokrasi dengan agama, khususnya dalam hal ini

adalah Islam.

Oleh karena itu, Universitas Islam As-Syafi‘iyah berinisasi untuk melakukan sebuah

kajian khusus yang komprehensif mengenai Islam dan Demokrasi. Selain sebagai upaya

merespon isu-isu kekinian bangsa Indonesia, kajian khusus ini ditujukan agar dapat memberikan

sumbangsih pemikiran serta solusi untuk mengatasi tantangan sosial yang terjadi dalam kurun

waktur terakhir ini. Wujud dari kajian khusus ini, dikemas dalam beberapa rangkaian diskusi

Majelis Mudzakkarah As-Syafi‘iyah, yang kemudian dilakukan Seminar Nasional Islam dan

Demokrasi: ―Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa‖.

Kegiatan Seminar Nasional tersebut dilaksanakan pada tanggal 25-26 Juli 2017,

bekerjasama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Bank Jabar

dan Banten (BJB), Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN) Jakarta. Setidaknya terdapat 5

(lima) hal yang menjadi tujuan dari penyelenggaraan seminar tersebut, diantaranya: (1)

menghimpun pandangan dari berbagai ahli/pakar tentang konseptuliasasi, dan konvergensi Islam

dan demokrasi; (2) menghimpun pandangan para ahli tentang kelembagaan yang ideal untuk

mengimplementasikan prinsip Islam dam dan demokrasi; (3) menghimpun pengalaman

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi xv

pelaksanaan demokrasi berkarakter lslam di beberapa negara sebagai suatu model; (4)

merumuskan persemaian ideal antara islam dan demokrasi dalam kelembagaan demokrasi yang

islami; (5) merumuskan model ideal Islam dan demokrasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa

dalam tataran ontologis dan aksiologis.

Atas nama Pimpinan Universitas Islam As-Syafi‘iyah, mengucapkan terima kasih atas

partisipasi serta kerjasamanya bagi semua pihak yang telah mendukung terselenggaranya acara

seminar nasional ini, terkhusus bagi para Narasumber yakni Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra,

Prof.Dr. KH.Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA, Dr.Fachry Ali, Dr. M.HamdanBasyar,

M.Si, Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., MH, Prof.Dr.K.H. Ma‘ruf Amin, Prof. Dawam Rahardjo,

Prof.Dr. Achmad Mubarok, MA., dan seluruh tokoh lainnya yang telah menyumbangkan

pemikiran serta gagasannya mengenai Islam dan Demokrasi. Semoga buku ini dapat menjadi

rujukan alternatif solusi untuk mengatasi tantangan zaman saat ini dan semoga dapat memberikan

inspirasi dalam perkembangan keilmuan serta gagasan konsep Islam dan Demokrasi, khususnya

dalam konteks sistem demokrasi di Indonesia. Terima Kasih….

Billahittaufiq Wal Hidayah,

Wassaamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 1 Agustus 2017

Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah

Dr. Masduki Ahmad, SH., MM

xvi Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

BAB I

PENDAHULUAN

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 1

ISLAM DAN DEMOKRASI:

PENGEMBANGAN MODEL DEMOKRASI BERKETUHANAN

YANG MAHA ESA1

I. Islam dan Demokrasi dalam Konstitusi Indonesia

Dalam perspektif historis, perdebatan tentang dasar Negara terjadi tarik menarik antara

kelompok nasionalis (sekuler) dengan kelompok nasionalis (Islam). Untuk merumuskan

gagasan yang berkembang, maka dibentuk Tim Perumus yang beranggota 9 orang ( Panitia 9

) yang melahirkan rumusan Piagam Jakarta (Jakarta Charter ) yang juga merupakan

gentlemen's agreement. Rumusan Piagam Jakarta muatannya mengandung aspek politik, hak

asasi manusia, staatidee dan rechsidee. Terdapat lima rumusan dasar yang menjadi inti dari

Piagam Jakarta yang bermaktub dalam alinea 4 yaitu : " ... Kemudian dari pada itu untuk

membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah

kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia yang terbentuk

dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan

berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan

Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia." Rumusan Panitia 9 (sembilan) mendapat reaksi keras dari anggota

BPUPKI terutama mengenai rumusan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at

Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Reaksi keras ini menimbulkan perdebatan sengit bagi

golongan nasionalis sekuler maupun beberapa anggota nasionalis Islam. Rumusan tersebut

menimbulkan implikasi politik dan dikhawatirkan terjadi perpecahan bangsa. Setelah

mendapat beberapa penjelasan panjang lebar dari golongan nasionalis Islami yang duduk

dalam Panitia 9, maka tanggal 14 Juli 1945 disetujui secara bulat Piagam Jakarta sebagai

mukaddimah (Preambule) UUD.

Dalam konstalasi politis dan normatif, agama telah ditempatkan pada posisi sebagai

bagian dari landasan bernegara. Hal ini dapat ditelusuri pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945

yang menegaskan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pada

ayat (2) ditegaskan pula bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.

2 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu. Memahami ketentuan Pasal 29 UUD 1945 tidak terlepas dari perdebatan

yang muncul pada masa perumusannya yang diawali dengan perumusan Piagam Jakarta.

Piagam Jakarta merupakan konsensus nasional yang lahir sebagai antisipasi klimaks dari

perjuangan panjang bangsa Indonesia. Dikatakan konsensus nasional, karena Piagam Jakarta

dilahirkan oleh lembaga yang dibentuk pada zaman penjajahan Jepang (oleh Dai Nippon)

yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI

(Dokuritsu Zyunbi Tyooskai). Oleh karena itu, dalam perspektif konstitusi negara RI, maka

agama mendapatkan posisi yang terhormat, karena secara tegas diatur baik dalam

Pembukaan UUD maupun dalam batang tubuh. Dalam perspektif ini maka dasar Ketuhanan

Yang Maha Esa (agama) telah ditempatkan sebagai bagian dari landasan bernegara dan

pembetukan hukum negara. Implikasi terhadap pemahaman cita hukum, maka rumusan Pasal

29 UUD 1945 dapat dilihat dari dua sisi yaitu persuasive source dan authoritative source.

Persuasive source, diartikan sebagai sumber yang orang harus diyakinkan untuk

menerimanya dan authoritative source, diartikan sebagai sumber yang otoritatif yaitu sumber

yang mempunyai kekuasaan (authority).

Ide (Bernegara) dan Konstruksi Undang-Undang Dasar 1945 penting untuk dikaji

dengan beberapa pertimbangan. Pertama, perkembangan sosial kemasyarakatan, politik

kenegaraan, ekonomi, budaya dan pergaulan internasional terus berubah bahkan sangat

dinamis. Kedua, Perubahan UUD 1945 pascareformasi ditandai (bersamaan dengan)

konsolidasi demokrasi dan ketatanegaraan yang juga dinamis. Ketiga, ide bernegara disatu

sisi dan konstruksi (isi) konstitusi juga terus dikaji, diteliti, ditulis dan disoal oleh banyak

kalangan selama masa transisi dan konsolidasi ketatanegaraan pasca reformasi ini.

Terkait dengan demokrasi, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan, Kedaulatan berada

di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Para penyusun UUD

1945 sepakat memilih demokrasi sebagai jalan kemaslahatan berbangsa dan bernegara.

Bangsa ini telah mantap memosisikan rakyat sebagai basis ontologis setiap aturan dan

kebijakan negara. Tak ada sistem lain sebaik demokrasi, meskipun demokrasi diakui

bukanlah sistem yang sempurna. Ketika bicara soal demokrasi apa yang hendak dibangun,

Hatta menyatakan bahwa demokrasi Indonesia kelak adalah demokrasi yang sesuai dengan

kultur dan nilai luhur bangsa, bukan demokrasi asal „jiplak‟ mentah-mentah konsepsi Barat.

Untuk itu, kata Hatta, model demokrasi yang musti dikembangkan ialah demokrasi yang

cocok dan disesuaikan dengan karakter keindonesiaan sendiri, yakni demokrasi kekeluargaan

berlandaskan permusyawaratan. Mengenai demokrasi, idenya menyimpul pada gagasan yang

sama, yakni demokrasi haruslah memperjuangkan keseimbangan pencapaian kebebasan,

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 3

kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan, dalam semangat permusyawaratan. Dalam

Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa susunan negara Republik Indonesia yang

berkedaulatan rakyat didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, dan

keadilan. Dalam pengertian semacam ini pula, rumusan dalam Alenia Keempat Pembukaan

UUD 1945 “…..kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan”, harus diberi pengertian bahwa demokrasi disertai kewajiban

untuk mengedepankan musyawarah demi pencapaian mufakat dalam prinsip kekeluargaan.

Model demokrasi Indonesia berangkat dari karakter luhur bangsa yang menjunjung tinggi

semangat kekeluargaan dan gorong royong. Untuk itulah, siapapun yang berkecimpung

dalam dunia politik, seharusnya senantiasa membuka hati dan pikiran untuk memudahkan

jalan musyawarah dengan menjunjung etika politik dan semangat kekeluargaan.

Demokrasi sebagai suatu gagasan yang memiliki nilai universalitas dan moralitas, selalu

merujuk pada sumber otoritas pemiliknya yakni rakyat itu sendiri. Nilai universalitas

memberikan dasar pembenar bagi berlakunya kebebasan manusia dan pengakuan hak-hak

dasar manusia dalam kehidupan negara. Demikian pula nilai moralitas merupakan prinsip-

prinsip moral yang bersifat umum dan dapat ditelaah oleh akal manusia. Kedua nilai tersebut

merupakan esensi yang tetap yang dijadikan ide dasar tentang perumusan hakekat demokrasi

yang berkeadilan. Oleh karena itu, Islam dan demokrasi sama-sama memiliki nilai

universalitas dan moralitas. Dalam perspektif Pasal 29 UUD 1945, maka nilai universiltas

dan moralitas Islam dan negara memiliki sumber yang sama yakni Ketuhanan Yang Maha

Esa. Paradigma demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa merupakan esensi dari demokrasi

ideal yang dirumuskan dalam Pembukaan dan ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Nilai

Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa akan menjadi perdebatan akademik dan praksis,

karena dari segi ontologis belum dirumuskan secara utuh makna substansi demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula secara prakasis belum pernah dirumuskan

baik segi konsep operasional, kelembagaan maupun parketknya. Seminar Nasional ini

berniat untuk menggali dan mengexplor tentang gagasan Islam dan Demokrasi:

Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan konstitusi

Indonesia (UUD 1945).

II. Issue Startegis

Abad baru ditandai oleh menguatnya tuntutan terhadap demokrasi politik, penegakan

Hak-hak Asasi Manuisa (HAM), kesetaraan dan keadilan gender, serta kesadaran tentang

ancaman kerusakan lingkungan global. Inilah 4 issu utama yang mengemuka sejak

4 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

penghujung abad yang lalu, dan makin fenomenal belakangan ini. Reformasi tahun 1998

yang terjadi di negeri kita dan terus bergulir hingga kini, sesungguhnya merupakan dampak

langsung dari tuntutan global demokratisasi politik ini. Demikian pula gerakan dan reformasi

politik yang mengguncang negeri-negeri Islam dan Arab dimulai dari Tunisia, Mesir, Lybia,

Suriah, Jordania, Yaman, Arab Saudi, dan beberapa negara Monarchi di Teluk, menjadi saksi

nyata menguatnya demokratisasi politik. Pergolakan ini, seperti kita saksikan, terus

berlangsung hinggga kini, dan belum ada yang bisa memprediksi kapan akan berakhir.

Dalam tesis Francis Fukuyama, dengan background jatuhnya Uni Soviet dan berakhirnya

perang dingin, tuntutan terhadap demokrasi politik itu tidak pernah akan berakhir. Ia

dipandang justru sebagai akhir dari sejarah yang bisa diperjuangkan oleh umat manusia unuk

mencapai keadaban. (Fukuyama, The End of History and the Last Man: 1997). Ini berarti

gerakan demokrasi akan terus menguat seiring dengan lahirnya gerakan kebebasan

(liberalisme) dalam semua lapangan kehidupan yang menyertai globalisasi saat ini. Seperti

pernah diramalkan Huntington, gerakan demokratisasi atau apa yang ia namakan “the fourth

wave democracy” (demokrasi gelombang keempat) dipastikan menguat dan akan menyapu

seluruh negeri dan bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali negeri-negeri Arab dan Afrika

Utara.

Sampai titik ini, tesis Fukuyama dan Huntington mengandung segi-segi kebenaran.

Gerakan demokrasi yang mengguncang negeri-ngeri Arab (Arab Spring) menjadi saksi nyata

kebangkitan gelombang demokrasi itu. Namun, seperti diketahui, gerakan demokrasi Arab

itu kini menemui jalan buntu. Malahan banyak pakar menilai bahwa gerakan demokrasi Arab

itu dipandang telah gagal, terlebih lagi setelah munculnya gerakan ISIS (Islamic State of Iraq

and Suriah) yang notabene-nya anti Barat dan anti demokrasi, malahan memandang

demokrasi sebagai ajaran setan yang merusak dan melemahkan Islam. ISIS tampil pada saat

yang tepat (the truth moment) di kala negara-negara Arab sedang gonjang-ganjing dan

sedang mencari bentuk, akibat terpaan angin kencang Arab spring. Tak dapat disangkal

bahwa ISIS telah meramaikan panggung dan pergolakan politik di Timur Tengah. Meski

ditolak oleh Islam mainstream, dan dilawan secara internal maupun melalui kekuatan-

kekutan asing (Barat), ISIS tetap eksis dan menyebarkan ancamannya secara luas, tak hanya

di negeri-negeri Arab, tetapi juga bagi negeri-negeri lain di dunia, tak terkecuali di

Indonesia.

Dari berbagai fenomena yang dikemukakan di atas, patut dipertanyakan satu masalah

pokok (issu penting), yaitu hubungan Islam dan demokrasi. Pertanyaan dasarnya, apakah

Islam kompatibel dengan demokrasi? Apakah demokrasi dapat menjadi jalan terbaik

mengatasi berbagai konflik politik di negeri-negeri Islam? Terhadap pertanyaan dasar ini,

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 5

sebagian pakar meragukan dan pesimistis. Dalam banyak studi atau riset, disimpulkan, Islam

justru dipandang sebagai pendorong otoritarianisme Arab (Rothstein, 2011 dan Chenny,

2012). Kesimpulan yg sama dikemukakan oleh Kuru, 2014 dan Van Hoorn, 2013. Sejumlah

2/3 penduduk Mesir memilih pemerinahan seperti Arab Saudi ketimbang Turki. Dari vedio

yang diputar ISIS, tidak semua pemuda Mesir yang terpelajar dan melek IT, setuju dan pro

demokrasi. Namun, tidak sedikit pula pakar yang bersikap optimistik. Sikap ini didasarkan

pada kecenderungan baru pada era globalisasi yang menyemburkan gerakan liberalisasi dan

demokratisasi saat ini. Beberapa hasil studi memperkuat pendapat yang optistik ini.

Penelitian yang dilakukan John L Esposito terhadap 6 negeri Islam, meliputi Algeria, Mesir,

Sudan, Iran, Pakistan, dan Malaysia, menunjukan dengan jelas bahwa tidak ada kontradiksi

antara Islam dan demokrasi. Dengan kata lain, Islam sejalan dan kompatibel dengan

demokrasi. Studi lebih luas dan dalam dilakukan oleh Gallup terhadap 25 negeri Islam (2001

dan 2007) dengan kesimpulan yang sama. Islam sebangun dengan demokrasi.

Di luar itu semua, demokrasi itu sendiri adalah sebuah proses seperti ditulis oleh Colette

Rausch (2012) dalam analisisnya tentang demokrasi di Myanmar. Rausch menegaskan

bahwa demokrasi adalah sebuah perjalanan. Di dalamnya, proses adalah substansi yang

terpenting. Ini berarti, bagaimana proses itu dibangun, itulah yang menentukan makna dan

substansi dari demokrasi an sich. Disamping itu, demokrasi juga selalu mengandung

paradoks. Pada satu sisi, demokrasi menjanjikan kebebasan, keadilan, dan kedamaian dalam

mengatasi konflik-konflik politik, sehingga demokrasi diabsolutkan, dan dipandang sebagai

doktrin atau system politik yang terbaik. Namun, pada sisi lain, ajaran demokrasi belum

sepenuhnya memenuhi “janji manis” yang ditawarkannya. Pada kenyataannya, demokrasi

tidak selalu berkorelasi secara positif dengan keadilan. Contoh terbaru, terpilihnya Donald

Trump, mengalahkan Hillary Clinton, dengan system electoral vote, dianggap kurang

memenuhi rasa keadilan, karena secara popular vote, Clinton jauh lebih unggul dibanding

Trump.

Di Indonesia sendiri, sejak reformasi 1998, demokrasi politik terus digaungkan. Sebagai

bangsa, kita berbangga, bahwa Indonesia dipandang sebagai negara demokrasi terbesar

ketiga di dunia, setelah Amerika dan India. Pujian pun datang dari banyak pengamat yang

menilai Indonesia adalah satu-satunya negeri Islam yang bisa membangun dan

mengembangkan demokrasi, dengan Turki sebagai satu-satunya pengecualian. Merle Calvin

Ricklefs, peneliti asal Australia, memandang Islam Jawa (dalam arti luas: Islam Indonesia)

mengalami kemajuan singnifikan, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Terjadi sintesis baru di Indonesia saat ini, bukan antara Islam dan mistik, melainkan Islam

dan demokrasi. Ini merupakan perkembangan menarik dan sekaligus menggembirakan. Tak

6 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

heran bila cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar, merekomendasikan agar Indonesia

menjadi model pengembangan demokrasi di negeri-negeri Islam. Meskipun demikian,

demokrasi di Indonesia bukan tanpa masalah. Pertama, demokrasi kita dianggap

menyimpang dari falsafat bangsa (Pancasila). Kedua, demokrasi kita tidak substansial, tetapi

hanya procedural. Naiknya kembali Novanto sebagai Ketua DPR dapat dijadikan sebagai

contoh. Meski absah secara metodologis, namun hal itu dirasakan kurang memenuhi rasa

keadilan, bahkan dapat dipandang cacat secara moral. Tak heran bila banyak pakar

mengusulkan agar demokrasi politik kita diubah dari demokrasi prosedural ke demokrasi

substansial atau system politik yang oleh Cliford Geerzt disebut “politik makna” (the politics

of meaning) dalam Culture and Politics in Indonesia (1972). Ketiga, demokrasi kita ternyata

tidak berkorelasi secara positif dengan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Lantas

pertanyaannya, Apakah masih ada alasan membela dan memajukan demokrasi kalau sebagai

sistem politik, demokrasi di negara-negara yang dinamakan young democracies tidak

sanggup mencegah korupsi dalam pemerintahan dan gagal juga menghentikan praktik-

praktik yang melanggar HAM dalam masyarakat? Pertanyaan lainnya, karena demokrasi

juga tidak tunggal, paling tidak dalam implementasinya dalam pemerintahan, model

demokrasi seperti apa yang harus dibangun dan dikembangkan di Indonesia dan negeri-

negeri Islam lain?

Respons Islam dalam menghadapi tantangan modernitas bersifat dinamis. Di satu pihak,

terdapat gerakan yang melakukan pengambilan secara selektif (appropriation) terhadap

unsure-unsur sains – teknologi dan seni dari Barat, seperti dikembangkan oleh

Muhammadiyah. Di sisi lain, ada gerakan otentisasi (authentication) dengan berpaling pada

tradisi-tradisi keagamaan local sebagai bentuk resistensi terhadap serangan modernitas,

seperti yang ditempuh oleh Nahdlatul Ulama (NU). Sehebat apapun gempuran modernism

dan skripturalisme, kontinuitas pandangan dan etos relegi Nusantara masih bisa

dipertahankan. Geertz (1981) menyimpulkan bahwa karena peran ulama sebagai pialang

budaya, pengaruh reformisme Islam dari Timur Tengah itu masih bisa diseleksi, disesuaikan

dengan konteks lokal, sehingga ketahanan mental primordial Nusantara yang bersifat adaptif,

menyerap , gradualistis, dan kompromistis masih bisa bertahan. Radiasi reformisme

keagamaan dalam perkembangannya tak mengarah kepada kedalaman pemurnian (force),

tetapi perluasan (scope).

Perkembangan dunia pasca-industrial dengan revolusi dibidang telekomunikasi,

transportasi, dan turisme membawa arus globalisasi yang makin luas cukupannya, dalam

penetrasinya, dan instan kecepatannya. Dengan intensitas dan ekstensivitas arus globalisasi,

radiasi budaya dari lapisan terluar (teknologi) bisa cepat disusul oleh peradiasian pada

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 7

lapisan – lapisan budaya yang lebih dalam hingga menembus jantung spiritualitas bangsa ini.

Dengan posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia

kedalam pihak “yang menang” (winners) dan “yang kalah” (losers); serta menumbuhkan

ketidaksetaraan, baik secara internasional maupun dalam negara bangsa (Hobsbawn, 2007).

Selain menimbulkan deprivasi social bagi pihak – pihak yang kalah, hidup dalam sebuah

dunia pasca-modern, seperti yang dijelaskan Baudrillard (1992), berarti hidup dalam sebuah

gerak interpenetrasi pengalaman-pengalaman cultural dan pluralisasi alam kehidupan yang

dialami manusia sehingga melahirkan ketidakjelasan nilai – nilai ideal dan

menumbuhkembangkan gaya hidup konsumerisme yang menyebabkan terjadinya

diferensiasi dan fragumentasi dalam pandangan dunia.

Keretakan dalam pandangan dunia ini diperburuk oleh distorsi komunikatif dalam ruang

publik akibat penaklukan rasionalitas nilai kebijakan hidup bersama, oleh rasionalitas

instrumental dari dunia sistem kapitalisme. Distorsi komunikatif ini menimbulkan alienasi

sosial, yang melemahkan hubungan – hubungan permusyawaratan dengan hikmat-

kebijaksanaan dalam kehidupan bersama. Meluasnya gejala deprivasi dan alienasi sosial

membawa dampak serius pada corak keagamaan Indonesia. Arus radiasi budaya dari

penyebaran teknologi baru bersama seni dan konsekuensi nilai etis yang ditimbulkannya

melahirkan resistensi dalam bentuk revivalisme keagamaan, dengan menarik agama ke arah

politik identitas. Dengan politisasi identitas keagamaan, manusia yang pada dasarnya multi-

identitas direduksi habis-habisan ke dalam satu identitas-keagamaan. Dalam kerangka

politik identitas, fanatisisme dirayakan dengan menolak rasionalitas, perbedaan tafsir, prinsip

representasi dan inklusivitas, serta pemerintahan konstitusional sebagai bantalan vital

demokrasi. Pandangan dunia keagamaan menjadi hitam-putih, kawan – kawan, kehilangan

elan vital etos klasik keagamaan di Indonesia yang bersifat adaptif, estetis, dan toleran.

Serangan gencar terhadap jantung keberagamaan ini bisa mengubah secara mendasar jati diri

kebangsaan Indonesia. Jalan nasionalisme kewargaan di Indonesia tidak menempuh trayek

sekularisme. Dalam pengalaman Eropa, munculnya nasionalisme bangkit, agama memainkan

peran penting. Kemunculan masyarakat sipil dan politik utamanya terlahir dari komunitas

agama – budaya, bukan dari komunitas pasar. Jalan menuju nasionalisme kewargaan

ditempuh dengan cara pengadaban masyarakat keagamaan dan kesukuan untuk bisa

memasuki kehidupan publik secara damai dan toleran.

Paradigma demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa merupakan esensi dari demokrasi

ideal yang dirumuskan dalam Pembukaan dan ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Nilai

Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa akan menjadi perdebatan akademik dan praksis,

karena dari segi ontologis belum dirumuskan secara utuh makna substansi demokrasi

8 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa. Jika demokrasi difahami dari sudut logika politik akan

melahirkan penguatan kekuasaan walau dengan cara melawan nilai-nilai etika moral dan

keadaban, namun jika demokrasi difahami dari sudut logika hukum, kebenaran dan keadilan,

akan melahirkan kekuasaan yang legitimate, competence dan legal. Inilah ruh sebenarnya

dari nilai dasar Pancasila untuk berneraga. Hal-hal tersebut itulah, yang akan dikaji, dan

dibahas dalam seminar ini dengan tema “Islam Dan Demokrasi: Pengembangan Model

Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa”

BAB II:

PARADIGMA, KONSEPTUALISASI, DAN

KONVERGENSI ISLAM DAN DEMOKRASI

DALAM MODEL DEMOKRASI

BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 9

ISLAM DAN DEMOKRASI1

Oleh: Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH2

Assalamualaikum Wr. Wb.

Bapak-bapak dan ibu-ibu, peserta hadirin yang saya muliakan. Izinkan saya

menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang sub tema yang dibahas dalam seminar ini mengenai

demokrasi kaitannya dengan islam, baik dalam teori maupun praktik di negara-negara modern

sekarang ini. Saya akan beritik tolak membahas masalah ini dari premis di dalam al-Quran surat

Al-Baqarah ayat 185 yang mengatakan:

Artinya:” Di bulan Ramadhan itu Allah menurunkan al-Qur‟an untuk dijadikan sebagai petunjuk

bagi ummat manusia dan penjelasan atas petunjuk itu sesuatu yang akan membedakan (antara

yang benar dan yang batil) (al-Baqarah: 185)

Dari konteks ini kita bisa memahami bahwa sesungguhnya Al-Qur‟an adalah sebuah

petunjuk universal untuk semua ummat manusia, dan penjelasan atas petunjuk itu serta sesuatu

yang membedakan, al-Qur‟an memberikan petunjuk sesuatu dan menjelaskan segala sesuatu dan

tidak ada satu persoalan yang tidak dicakup oleh al-Qur‟an. Tetapi meskipun demikian cakupan

al-Qur‟an terhadap persoalan-persoalan manusia, masyarakat, dunia internasional, maupun

tentang alam semesta ini tidak bersifat detail tetapi memberikan penjelasan yang bersifat umum

dengan menekankan kepada aspek-aspek tertentu.

Kata-kata al-Qur‟an jelas mengandung suatu sejarah tetapi al-Qur‟an bukanlah suatu

teksbook yang mengandung sejarah. al-Qur‟anberkisah tentang Lukman yang tidak dijelaskan

kapan dan dimana dia hidup, tetapi yang ditekankan di dalam al-Qur‟an bahwa Lukman

merupakan prototype sebagai seorang ayah yang baik dan bijaksana. Ketika diangkat sebagai

prototype seorang yang bijak, maka tema Lukman menjadi tema moral yang bersifat universal

dan berlaku kapan pun dan dimana pun, dan dia juga menjadi contoh tauladan begi semua ummat

manusia.

Dalam konteks kehidupan politik dan negara, jauh sebelum Islam, negara-negara itu

sudah ada, kekuatan politik dunia pun sudah ada. Maka kalau kita melihatnya dalam perspektif

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-27 Juli 2017. 2 Guru Besar Hukum Tata Negara pada Universitas Indonesia dan Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA)

10 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

modern adanya kekuatan super power itu sudah ada sebelum kedatangan islam. Negara dan

kekuata politik itu juga sudah tercermin dalam surat al-Qur‟an Ar-Ruum yang mengisahkan dua

super power di dunia ini yang saling kalah mengalahkan antara kerajaan Romawi di Barat dan

kerajaan Persia di Timur. Maka disamping itu ada kekuatan-kekuatan penyeimbang yang lain

seperti kekuatan China yang dipimpin oleh Dinasti Tang pada zaman nabi Muhammad, bahkan

ada kemunculan kekuatan politik besar di negara ini di bawah Kerajaan Sri Wijaya pada awal

abad ke-6 Masehi. Tetapi al-Qur‟an tidak secara spesifik membicarakan sebuah sistem politik.

Karena tuhan bukan sistem, tetapi Tuhan adalah petunjuk. Dengan petunjuk itulah kita membuat

sistem. Sistem adalah buatan manusia. Hasil rancangan dan hasil ijtihad manusia dengan

melakukan studi perbandingan empiris tentang sistem yang berkembang di negara-negara lain,

baik dalam sejarah maupun apa yang sedang hidup pada waktu itu. Sistem juga dapat terbentuk

yang didasari oleh prinsip-prinsip atau petunjuk-petunjuk universal yang ditulis dalam al-Qur‟an

itu.

Walaupun banyak sekali lieratur yang ditulis baik oleh sejarah-sejarah yang ditulis oleh

islam itu sendiri maupun oleh orang-orang barat yang melakukan studi tentang islam, misalnya

tulisan tentang Muhammad Prophet Assessment yang artinya Muhammad adalah seorang nabi

dan seorang negarawan, dan sebagainya. Bahkan banyak buku yang ditulis dalam konteks Hukum

Tata Negara yang menganalisis perjanjian antara Rasullulah dengan kelompok-kelompok

masyarakat Madinah ketika Rasullullah sampai di Yastrib, maka beberapa kelompok orang-orang

di sana (Yastrib), termasuk orang-orang Yahudi termasuk orang-orang mukminin yaitu Muhajirin

dan Anshor yang dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Ibn Ishak disebut Kitabun Nabiyu,

yang banyak orang dikemudian hari mengatakan - termasuk guru kita Almarhum Prof. Zainal

Abidin Ahmad - menulis buktu berjudul Piagam Madinah Konstitusi Pertama yang ada di Dunia.

Dan Prof. Zainal Abidin Ahmad mengatakan bahwa kontrak social (social contract) yang ditulis

oleh JJ Rosseau pada awal zaman modern di Eropa itu hanya suatu teori filosofis, tetapi secara

empiris kontrak social terjadi di Zaman nabi yang kemudian membentuk Madinah sebagai civil

state yang juga menunjuk Rasul sebagai pemimpinnya, tetapi tidak disebutkan secara jelas posisi

Nabi itu apa, baik kepala negara ataukah apa. Namun di dalam al-Qur‟an dengan tegas

mengatakan Wama Muhammadun illa Rasuul, yang artinya tidaklah Muhammad itu kecuali ia

seorang Rasul. Jadi ini adalah historis pertama dari praktik politik kontrak sosial yang

membentuk Madinah sebagai suatu komunitas dan dibahas agak detail mengenai pengertian

tentang Madinah yang menggambarkan suatu konsep kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu

sama lain dari konsep „Din‟ yang dikenal dalam islam itu sendiri.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 11

Dalam kepemimpinannya itu, nabi Muhammad bertindak sebagai pemimpin masyarakat

Madinah dan menentukan segalanya serta melakukan musyawarah dengan pengikut-pengikutnya

sehingga kemudian turunlah ayat-ayat tentang musyawarah, turun juga ayat-ayat tentang ulil amri

dan turun juga ayat-ayat tentang peperangan. Sehingga kemudian juga kita melihat struktur

perjanjian dalam piagam madinah ada kewajiban kelompok militer dari semua pihak. Contohnya

adalah ada kesepakatan yang menyatakan apabila Madinah diserang dari luar, maka baik itu umat

Muslim maupun Yahudi maupun lainnya akan bersatu padu dan saling mempertahankan Madinah

daru serangan musuh tersebut. Itu adalah kesepatakan militer, dmana dalam zaman modern

dikenal dengan wajib militer. Sehingga dalam keadaan Madinah diserang kemudian Yahudi

melakukan diskresi dengan tidak mau ikut berperang dan mereka tidak mau diperintah yang

akhirnya Madinah mengalami kekalahan dikalangan umat islam, lalu 100 orang Yahudi itu

didakwa dipengadilan karena tidak ikut berperang, maka ia dikenakan sanksi hukuman mati

karena dianggap melakukan diskresi.

Hal ini kemudian yang jadi perdebatan saya dengan Prof Figural Harini yang mengatakan

begitu kejamnya hukum islam. Tetapi setelah saya buka diskusi persidangan waktu itu, ternyata

Zaid bin Sabid mengadili peristiwa itu dan terbukti 100 orang Yahudi melakukan diskresi.

Setelah terbukti melakukan diskresi, Zaid bertanya kepada pendeta Yahudi, dalam kitab Toga

perbuatan diskresi maka hukumannya apa yang diberlakukan? Lalu pendeta mengatakan

hukumannya adalah hukuman mati, lalu kemudian diketok dan dijatuhkan hukuman tersebut. Jadi

hukuman hukuman yang dikenakan kepada Yahudi bukan dari hukum islam melainkan hukum

Yahudi itu sendiri. Lalu dimana letak tidak adilnya?

Dari kejadian tersebut memberikan satu isyarat bahwa piagam Madinah memberikan

inspirasi yang sangat penting bagi perkembangan apa yang disebut demokrasi yang berkembang

dikemudian hari yaitu adanya suatu struktur masyarakat demokrasi yang beragam. Orang Islam

ada 2 (dua) kelompok, Anshar dan Muhajirin, dan Yahudi sebanyak 12 suku, dan ada juga orang

Kristen Historia yang ada sekitar Madinah itu. Ada juga orang arab yang fanatisme. Mereka

membentuk suatu komunitas dalam suatu perjanjian yang kemudian disebut Madinah yang orang

Islam diberlakukan hukum islam, orang Yahudi diberlakukan hukum Taurat, dan kepada orang

Arab non muslim diberlakukan hukum adat mereka. Jadi sebenarnya hal ini merupakan suatu

konteks yang sangat modern. Indonesia ini dikatakan secara hukum dikenal dengan sebutan unity

in diversity, yaitu bersatu di dalam keragaman, karena di Indonesia ini ada hukum privat yang

mustahil disatukan. Makanya dikatakan dalam perkawinan dikatakan bahwa perkawinan adalah

sah jika dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing, dan ketika terjadi perceraian, maka

harta yang ada dikembalikan pada hukum agama atau hukum adat masing-masing. Jadi ini

memang suatu teori yang sangat modern dalam piagam madinah yang mengakui adanya pluralitas

12 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

masyarakat dan mengakui suatu hukum nasional tetapi juga berlaku suatu sistem yang berbeda.

Dari piagam inilah nabi Muhammad membangun Madinah dan ia menjadi model dalam tulisan

filsuf, seperti al-Farabi yang menulis kitab Madinatul Fadillah yang menggambarkan begitu

idealnya Madinah di zaman nabi dan tulisan tersebut sudah hampir setara dengan tulisan Plato.

Dan itulah sebagai suatu negara yang ideal sebuah negara di kalangan kaum muslimin, dan masih

hidup hingga pada zaman kita sekarang ini.

Begitu juga termonologi yang muncul belakangan dan menjadi persoalan setelah nabi

Muhammad meninggal. Sebagai seorang nabi tentu tidak bisa digantikan dengan orang lain.

Tetapi sebagai kepala Madinah ia bisa digantikan. Mula-mulanya yang menggantikan itu dengan

model yang berbeda-beda sepanjang yang saya pelajari itu tidak disebut dengan istilah Khalifah,

namun disebut dengan Ahlul Mu‟minin. Istilah halifah muncul pada zaman tabiin-tabiin jauh

setelah zaman para sahabat. Sehingga walaupun banyak khalifah-khalifah timbul, maka yang

benar itu yang pertama dahulu yang kemudian mekanismenya dikenal dengan Khulafaurrasyidin.

Jadi tidak ada istilah khalifah yang digunakan secara resmi dipakai pada zaman rasul.

Hal ini menjadi kontrofersial karena HTI yang lebih menekankan pada teori Khilafah itu, dimana

di dalam al-Qur‟an itu ada kata-kata Imam, Sultan dan khilafath yang sebenarnya tidak memiliki

knotasi politik sama sekali. Misalnya dalam penciptaan agama, Allah taala menyatakan

sesungguhnya aku akan menciptakan seorang khalifah dimuka bumi yang ditentang oleh para

syaiton itu. Dengan demikian istilah khalifah tidak berkonotasi politik.

Begitu juga dengan istilah Sulton yang juga tidak berkonotasi politik. Maka yang

dikatakan dalam surat Ar-Rahman ayat 33: Ya Ma'syarol jinna wal insa, inistatho'tum an tanfudzu

min aqthorissamawati wal ardhi fan fudzu la tanfudzuna illa bisulthan. Jadi hai jin dan manusia

jika kalian sangggup melampaui batas-batas langit dan bumi, tetapi kalian tidak bisa

menembusnya kecuali dengan kekuatan. Jadi terminologi khalifah, Imam, dan Sultan pada awal

turunnya al-Qur‟an tidak menganut konotasi politik sama sekali, namun belakangan kemudian

timbullah istilah-istilah tersebut untuk melegitimasi penguasa yang timbul pada zaman itu atau

bisa juga melalui orang yang berteori tentang politik.

Namun saya tidak ingin membahas panjang lebar mengenai sejarah pemikiran politik

islam, tetapi saya ingin melihat perkembangan-perkembangan yang terjadi di zaman modern

sekarang ketika mulai terjadi kontak antara pemikiran barat, terutama sesudah zaman renaissance

hingga penduduk-penduduk musilm itu terjajah sekian lama dan mereka ingin merdeka dan

berjuang menurut spirit islam. Lalu bagaimana model yang mereka tuntut ini? Itulah kemudian

yang menjadi perdebatan panjang pada abad ke-20 ini.

Dalam sejarah politik sesungguhnya partai politik yang muncul di dunia islam yang pertama kali

bukan di timur tengah, tetapi muncul di Indonesia, yaitu Syarikat Islam yang berdiri sejak 1905

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 13

yang kemudian menjadi kekuatan politik terbesar di tanah air ini. Oleh karena itu orang-orang

timur tengah juga orang India yang memberikan spirit kepada mereka untuk membentuk legal

slim ideal yang pada waktu itu ditunjuk seorang pangeran dari syiah ismailiah ditunjuk untuk

menjadi ketuanya, yaitu pangeran Kharim Al-Khan sebagai ketua Liga Muslim India yang

berjuang untuk memerdekakan India yang kemudian berubah menjadi liga muslim Pakistan di

bawah pimpinan Muhammad Al-Jinnah.

Pada abad ke-20 ketika mulai mereda peperangan di dunia islam, baik di Indonesia, timur

tengah, afrika, maupun india pada waktu itu, orang mulai menempuh jalur politik dan mereka

mendirikan partai politik, dan yang pertama adalah syarikat islam. Tetapi banyak anak muda

sekarang yang kurang memahami tentang sejarah terlalu banyak berkiblat tentang ikhwanul

muslimin, berkiblat pada jamaah islami Al-Maududi atau kepada jamaah Hizbut Tahrir yang

sebenarnya tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik signifikan di negara-negara mereka,

kecuali ikhwan pernah muncul sebentar kemudian diberangus lagi. Apalagi jemaat islam di

Pakistan yang juga saya studi di sana dan saya berdialog dengan Al-Maududi dan lain-lain, dan

sepanjang yang saya paham, jamaah tersebut tidak pernah memegang peranan politik sama sekali

di kalangan ummat Islam hingga Al-Maududi meninggal. Jadi jamaah itu seperti jamaah Ikhwan

kalau kita baca tulisan-tulisan Al-Bana itu tidak seberapa namun tulisan yang agak strong itu

tulisan-tulisan Syaikh Qutub yang banyak menginspirasi dari Al-Maududi yang banyak menulis

tentang teori politik ekonomi islam tapi hanya sebatas teori dan tidak berdasarkan pada suatu

pengalaman empiris.

Sebagai suatu contoh misalnya pada tahun 1980an ketika saya melakukan studi ini saya

melakukan riset di depan kampus saya di Lahore yang buku komunis dijual bebas, baik yang

berbahasa Rusia, Inggris, maupun bahasa Urdu. Tetapi kalau di Indonesia punya buku-buku

tersebut langsung ditangkap oleh tentara karena dilarang, tetapi kalau di Pakistan itu tidak ada

kekuatan untuk melawan komunis dan tidak ada juga orang Pakistan yang jadi komunis. Jadi

kalau al-Maududi menulis tentang Islam maupun tentang komunisme itu hanya sebatas teori.

Berbeda dengan kita yang telah memiliki pengalaman empiris.

Sama seperti halnya kita mempelajari ilmu Qalam di timur tengah, tidak akan ditemukan

klenik jawa, kritik islam dengan bahasa jawanya. Jadi dengan pengalaman-pengalaman tersebut

sesungguhnya kita lebih kaya pengalaman daripada orang-orang di timur tengah. Jadi ada

perbedaan sebenarnya antara mereka yang menggali politik dengan mereka yang memegang

kekuasaan politik cenderung menjadi moderat, compromise, dan realistic dalam mengambil

keputusan, tetapi mereka yang belum pernah menduduki kekuasaan akan memiliki pemikiran

yang keras atau fundamentalistik dan itu hasil studi saya dengan melakukan perbandingan antara

Masyumi dengan jamaah islamiyah, karena Moh. Natrsir dia terlibat dalam politik dan kemudian

14 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

dia menjadi menteri Penerangan, di parlemen dia menghadapi PNI yang sekuler dan PKI yang

komunis, dan itu tidak pernah dialami oleh al-Maududi yang tidak menduduki jabatan apapun

kecuali di pesantren dan menulis-nulis buku. Dengan demikian dalam konteks inilah kemudian

orang menjadi berbeda.

Tulisan al-Maududi yang berjudul Islamic law and constitution kemudian kita

bandingkan dengan draft buku yang berjudul “Membentuk Negara Islam” yang ditulis oleh Prof.

Zainal Abidin Ahmad dan apa yang dibahas dalam menyusun UUD dengan draft UUD yang

dibuat oleh Masyumi dan diamanatkan kepada anggota Masyumi untuk diperjuangkan di

Konstituante tahun 1956 yang dibentuk oleh tim beranggotakan 11 orang, dan diketuai oleh Prof

Zainal Abidin Ahmad dan Syafrudin Prawira Negara, Muhammad Nuh, Usman Raliby, dll yang

memuat draft UUD yang diperjuangkan di konstituante. Kalau kita baca draft tersebut maka kita

meihat bahwa 80% dituangkan dalam UUDS 1950 yang kemudian di islamisasikan, yang

kemdian judulnya itu dijadikan alternatif yaitu “Rancangan UUD Negara Republik Islam

Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau “UUD Republik Indonesia berdasarkan

Islam”. Sehingga islam dan pancasila tidak bisa dijadikan sebagai dasar negara, karena pasal 136

UUDS 1950 mengatakan keputusan sah apabila didukung 2/3 anggota konstituante.

Dalam pembahasannya, islam tidak didukung 2/3 dan begitu juga pancasila. Jadi

sebenarnya keduanya tidak menjadi dasar negara. Bahkan apabila PKI pada waktu itu tidak

mendukung pancasila, maka kalau tidak didukung PKI, pancasila ini habis di konstituante yang

tidak bisa dijadikan sebagai dasar negara. Dan ini adalah kenyataan sejarah. Jangan kita

memutarbalikkan sejarah seperti teman kita NU sekarang ini. mengenai Pancasila. Padahal di

konstituante itu, NU, Masyumi dan PSI itu sama-sama mendorong umat islam sebagai dasar

negara sehingga kita ngotot agar piagam Jakarta diterima (Jakarta charter).

Dalam kaitannya dengan demkokrasi saya menemukan artikel yang panjang sekali yang berjudul

“Islam dan Demokrasi dalam pandangan M. Natsir”. Di dalam tulisan tersebut saya menganalisis

dan berpendapat bahwa dalam pandangan orang-orang modernis islam dan demokrasi itu sejalan,

sehingga diletakkanlah efek semangat islam ke dalam demokrasi itu. Karena dalam pikirannya

islam adalah rahmatan lil alamin, islam adalah petunjuk, ia tidak membangun struktur. Makanya

kata M.Natsir dalam sistemnya kita bisa mengambil sistem Belanda, sistem Rusia, dan sistem

apapun tetapi di dalamnya kita kompakkan spirit islam di dalam menjalankan kehidupan

bernegara.

Bagi bagian orang yang mengatakan bahwa ada perbedaan antara kedaulatan rakyat

dalam demokrasi dan kedaulatan Tuhan dalam islam, dan itu juga yang dialami oleh guru saya

yang memiliki pendapat berbeda dalam Konstiuante dimana M. Natsir mengatakan bahwa

demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat, sedangkan Usman Raliby itu mengatakan kedaulatan

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 15

Tuhan. Namun saya diskusikan lebih lanjut bahwa memang Tuhan itu berdaulat dalam alam

semesta ini. Kita akui bahwa memang tuhan berdaulat. Namun dalam konteks bernegara, yang

berdaulat adalah rakyat. Karena dalam pembuatan undang-undang, kebijakan tuhan itu tidak

terlibat langsung. Yang terlibat langsung adalah DPR. Oleh karena itu, dalam kedaulatan

rakyatlah yang berdaulat tetapi dalam kedaulatannya itu menganut apa yang disampaikan syariah

dan tidak boleh melampaui syariah itu. Sehingga dalam draft UUD Masyumi tahun 1956 itu ada

semacam Mahkamah Konstitusi. Dimana di dalam Mahkamah Agung ada kamar yang

membatalkan undang-undang apabila bertentangan dengan syariah. Oleh karena itu, saya mau

mengatakan bahwa demokrasi dalam perspektif islam adalah persoalan tafsir.

Al-Maududi mengakatan demokrasi itu syirik, begitu juga dengan Syaikh Kutub dan

Hizbut Tahrir mengatakan hal yang sama dengan Maududi. Tapi kalau soal khilafah itu persoalan

tafsir lagi. Makanya saya di siaran tv swasta mengatakan bahwa pancasila dan khilafah itu adalah

persoalan tafsir. Walaupun saya dalam hal ini membela HTI tetapi belum tentu tafsiran saya sama

dengannya. Tafsir saya lebih dekat dengan Prof. Sukirman Wiryo Sanjoyo dimana ketika ditanya

ketua BPUPKI Raddjiman Widyodiningrat mengatakan bahwa “tuan-tuan sebentar lagi kita akan

merdeka dan kita akan membentuk negara, lalu bagaimana bentuk negara kita itu? Kerajaan atau

republik?” Lalu berbicaralah banyak orang. Delapan orang dari Solo menghendaki negara kita

berbentuk kerajaan. Namun ketika Prof. Sukirman Wiryo Sanjoyo mengatakan tentang khilafah

yang ia tafsirkan yang mengatakan khulafaurrasyidin itu lebih mendekati sebuah republik

daripada kerajaan. Sehingga semua orang islam di BPUPKI setuju dengan republik. Dan tafsir

mereka antara khilafah dan republik itu sama pada zaman khulafaurrasyidin itu. Jadi kalau kita

membicarakan soal khilafath itu bagaimana itu adalah persoalan tafsir juga.

Tetapi bagi saya khilafat ini adalah presiden RI ini. Jadi kalau saya disalahkan ya sama

saja NU mengatakan bahwa Presiden Soekarno waliul amri al amru bissyaukakh, kalau tidak

disebut ulul amri dalam amru bissyaukhak bagaimana bisa mengangkat wali hakim dalam

hubungannya dengan pernikahan? Seperti bapak saya yang bekerja di KUA, ia juga bisa sebagai

wali hakim untuk menikahkan wanita karena wanita satunya tidak ada. Lalu siapa yang bisa

mengangkat wali hakim? Mereka adalah seorang amir yang diberikan kewenangan untuk menjadi

pemerintah melaksanakan kaidah-kaidah sesuai hukum fikih. Sehingga apa yang dikenal waliul

amri bissaukah itu tidak hanya kepada Bung Karno tetapi kepada Jokowi juga.

Saya kira itu yang bisa saya sampaikan dan barang kali bisa berkembang melalui diskusi

ini. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

16 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 17

ISLAM DAN DEMOKRASI1

Oleh: Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo2

PENDAHULUAN

Pada awal abad 21, ketika Indonesia mengalami poses demokratisasi, sebagai misi utama

gerakan reformasi setelah mengalami zerim otoriter di masa Ode Baru, yang ketika itu terjadi

juga di semua negara ASEAN, maka telah timbul suatu pendapat dari kalangan cendekiawan

Muslim liberal, bahwa Islam itu tidak kompatibel dengan demokrasi. Pernyataan itu didasarkan

pada realitas Dunia Islam yang pada umumnya menempuh rezim otoritarianisme, dengan

beberapa pengecualian. Ada pula negara Islam yang secara formal menganut sistem demokrasi,

bahkan sistem demokrasi multi-partai, seperti Pakistan, tetapi secara substantif, tidak sempurna

(flawed democracy) atau disebut oleh Fareed Zakaria, sebagai sistem demokrasi yang tidak liberal

(illiberal democracy). Sedangkan Demokrasi Terpimpin di masa Orde Lama, dan

Demokrasi Pancasila di masa Orde Baru. disebut sebagai "demokrasi yang tidak lazim"

(unusuall democracy). Tetapi secara substansial teoritis Islam dinilai tidak kompatibel dengan

demokrasi, karena demokrasi itu adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada prinsip

kedaulatan rakyat, sedangkan Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan Tuhan yang absolut. Dua

prinsip itu dianggap tidak bisa dipertemukan (irriconcialbe). Karena itu di Timur Tengah dan

Afrika Utara, kaum militer melakukan sekularisasi, walaupun tidak diikuti oleh proses

demokratisasi juga.

Sistem demokrasi pertama di dunia dijalankan oleh negara kota Athena di Yunani Kuno pada

sekitar tahun 300 SM. Tetapi sesudah mampu bertahan selama 200 tahun, walaupun hanya

dalam skala negara kota (city state) maka dengan runtuhnya Athena, yang diganti dengan rezim

Makedonia di bawah Alexander the Great (Iskandar Zulkarnain), yang menguasai wilayah

Barat dan Timur itu, maka seluruh dunia mengikuti satu dan lain bentuk pemerintahan otoriter.

Sistem demokrasi dalam sebuah negara bangsa (nation state) baru hidup kembali pada awal abad

18 dengan berdirinya Negara Amerika Serikat (1776) yang diikuti oleh berbagai negara-negara

Eropa. Itulah yang disebut oleh Samuel Huntington dari Universitas Harvard dalam bukunya

"The Third Wave of Democracy" (1991) sebagai gelombang pertama demokratisisasi skala global

yang berlangsung dari tahun 1820-an hingga 1922.

Walaupun Yunani Kuno pernah memiliki pemerintahan demokratis, tetapi filsuf Yunani

terbesar Plato maupun Aristoteles tidak menyetujui demokrasi. Bagi Plato, guna menciptakan

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Guru Besar dan Ketua Pusat Kajian Ekonomi Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA)

18 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

keadilan, pemerintahan negara harus dititik-beratkan pada kepemimpinan yaitu yang harus

memiliki kualitas sebagai Raja Filsuf yang bijaksana. Sedangkan bagi Aristoteles, demokrasi

sebagai pemerintahan oleh rakyat, dinilai tidak rasional, karena kepemimpinan rakyat akan

menimbulkan anarki. Pemerintahan aristokrasi dan oligarki dipandang lebih rasional, karena

rakyat itu kedudukannya adalah diperintah bukan memerintah, sedangkan yang memimpin adalah

individu atau elite. Pandangan dua filsuf itulah yang berpengaruh pada Eropa dan kekhalifahan

Islam di Abad Pertengahan. Karena itu maka satu dan lain bentuk absolutisme menjadi faktor

legitimasi dan paradigma politik pada Abad Pertengahan. Absolutisme itu kemudian pada abad 16

memperoleh dasar teoritis dari Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf sosial Inggris dengan teori

kontrak sosialnya. Atas dasar pemikiran Plato, keadilan hanya bisa ditegakkan dengan

kekuasaan absolut sedangkan bagi Hobbes, perdamaian juga harus ditegakkan dengan

ebsolutisme kekuasaan. Dengan demikian baik keadilan maupun perdamaian berkaitan dan harus

ditegakkan dengan satu dan lain bentuk absolutisme, walaupun wacana itu langsung ditentang

oleh John Locke (1632-1704), juga seorang filsuf sosial Inggris yang berpendapat bahwa

kekuasaan itu harus dibatasi melalui konstitusi. Dan kemudian, baru pada abad 20, persisnya pada

tahun 1970, timbul teori keadilan sebagai landasan demokrasi yang ditesiskan oleh John

Rawls (1921-2002), seorang filsuf sosial AS terbesar dalam abad 20.

Negara demokrasi modern tidak berdiri begitu saja, melainkan mengalami proses dengan

lahirnya piagam, revolusi dan teori sosial oleh para pemikir dalam filsafat sosial sebagai

tonggak-tonggak sejarah, seperti misalnya The Glorious Revolution (1688) yang memakzulkan

Raja Inggris King James II untuk digantikan dengan Raja Wiliam Oranye yang melahirkan The

Haouse of Common atau Majelis Rendah yang mengimbangi The House of Lord yang

membentuk parlemen Inggris dalam sistem dua kamar, The Bill of Rights (1689, The Decaration

of Independence Amerika Serikat (1776) The Declaration of Rights of Man and Citizen (1879)

dan Declaration of Human Rights (1948). Demikian pula lahirnya teori kontrak sosial oleh

Thomas Hobbes (1588-1679), Konstitusi oleh John Locke (1632-1704) Trias Politica

Montesquieu (1688-1755) dan negara republik berdasar hukum oleh Jean Jaquest Rousseau

(1712-1778). Pada masa abad pertengahan di Eropa Selatan telah pula timbul negara-negara

republik yang menjembatani proses menuju demokrasi, yang paling terkenal di antaranya

adalah Republik Venesia dan Republik Genoa yang merupakan negara kota yang didukung oleh

pusat perdagangan dan keuangan internasional di Laut Tengah atau Mediterania. Dengan

demikian, ada kaitannnya antara proses demokratisasi dengan perkembangan ekonomi kapitalis.

Sebagaimana pernah ditulis oleh Milton Friedman dalam bukunya, "Democracy and Capitalism"

(1962).

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 19

Dengan demikian, maka demokrasi itu berkembang secara evolusioner tetapi terkadang atau

diselingi juga melalui perubahan sosial besar menuju demokrasi yang dilakukan melalui

revolusi, misalnya The Glorious Revolution Inggris yang menciptakan demokrasi parlementer,

Revolusi Amerika yang menjatuhkan pemerintahan kolonial feodal Inggris yang memelopori

negara republik presidensial dalam skala besar di Amerika Utara dan Revolusi Prancis yang

menjatuhkan kekuasaan monarki feodal.

Proses pembentukan demokrasi itu terjadi atau berkembang melalui perubahan dalam

pemberian hak memilih dan dipilih bagi semua warga negara, hak-hak warga negara (civil

rights) yang setara di satu pihak dan pembatasan kekuasaan negara di lain pihak untuk

menghapuskan absolutisme yang pada abad sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan guna

menciptakan keadilan dan perdamaian dalam masyarakat. Menurut Hobbes umpamanya,

masyarakat alami itu sangat bebas dan egois sehingga mengancam satu sama lain, dimana

anggota masyarakat merupakan serigala bagi yang lain (homo homimi lupus) yang akhirnya

menimbulkan ketidak bebasan. Karena itu diperlukan suatu kontrak sosial yang memberikan

kuasa kepada elite untuk memerintah dalam kekuasaan raja yang memiliki kekuasaan absolut

agar bisa menciptakan perdamaian. Legitimasi semacam itulah yang dipahami pada masa Abad

Pertengahan Eropa maupun Islam yang merupakan abad feodalisme monarki yang absolutist

dalam istilah Perry Anderson (1938), seorang ahli ilmu-ilmu sosial Marxis dari Universitas

Cornell, AS. Hanya saja dalam kekhalifahan Islam yang juga monarki absolut itu, para filsuf

mencoba membatasi kekuasaan dengan memberikan persyaratan kepada para pemimpin negara

(khalifah) dan memberikan pedoman tentang etika kekuasaan sebagaimana dilakukan oleh al

Farabi dan al Ghazali. Al Farabi menggantikan konsep Raja-Filsuf dengan konsep Raja-Sufi

semacam Umar bin Abdul Azis. Sedangkan para ahli fiqih menciptakan sistem hukum syariah

yang harus diikuti oleh khalifah, seperti gagasan Rousseau dalam teorinya mengenai kontrak

sosial antara elit yang memerintah dan rakyat dalam konsep negara hukum, sebagaimana ditulis

oleh al Mawardi dalam bukunya yang terkenal "al Ahkam al Sulthoniah" dalam teori fiqih siasah

atau tulisan ahli fiqih besar seperti Ibn Rush untuk raja-raja Muslim Andalusia. Dengan demikian

maka para ulama Muslim yang menulis kerangka kelembagaan yang mengatur pemerintahan,

yaitu mengenai konsep imam dan imamah, nilai-nilai moral dan sistem hukum yang di satu pihak

berdasarkan kebutuhan masyarakat, misalnya al Mawardi menugaskan negara untuk menciptakan

kesejahteraan rakyat dan di lain pihak atas dasar perintah Allah dan RasulNya yang didasarkan

pada ayat "Ati'u allah wa atiu al Rasul wa ulil amri minkum" (Q.s. An-Nisa 59).

Bersamaan dengan diskursus yang dilakukan oleh Huntington, maka ahli sejarah Amerika

kerurunan Jepang Francis Fukuyama menulis buku yang merupakan gagasan in ekstentuio atas

artikelnya dalam majalah "National Interest" yang kebetulan bersamaan dengan runtuhnya rezim

20 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Komunisme Rusia dan Eropa Timur yang berjudul "The End of History and the Last Man:"(1991)

Dalam buku itu ia menyimpulkan bahwa Demokrasi Liberal dan dan Ekonomi Liberal atau

Kapitalisme adalah puncak perkembangan pemikiran manusia mengenai pengelolaan politik dan

ekonomi, Walaupun belum seluruh dunia menganut ideologi liberal itu, namun telah terbukti

bahwa sistem itu telah mengalahkan sistem-sistem lainnya dan seluruh dunia sedang dalam

proses menuju sistem itu.

Dalam pengertian itu, yang disebut demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan yang

didasarkan pada liberalisme politik dan ekonomi. Liberalisme adalah suatu ideologi atau doktrin

komprehensif yang didasarkan pada azas kebebasan. Namun dalam paham Liberalisme Politik,

liberalisme dalam realisasinya, bukannya tidak mengenal pembatasan terhadap kebebasan.

Pembatasan justru diperlukan guna menjaga dan melindungi kebebasan itu sendiri, misalnya

adalah pelarangan terhadap pernyataan kebencian, pandangan yang ekstrem dan ridikal yang

memakai cara-cara kekerasan arau terorisme. Dengan demikian, maka demokrasi sebenarnya

bukan paham yang tidak mengenal pembatasan. Tapi intinya adalah keadilan yang mengakui

dan menegakkan hak-hak dasar dan hak-hak sipil rakyat berdasarkan hukum.

Dengan demikian, sebagaimana pada pasar bebas murni maka demokrasi juga tidak

didasrkan kepada kebebasan murni. Dalam kritik terhadap istilah ekonomi kelembagaan

(institutional economics), dikatakan bahwa mekanisme atau pengaturan kelembagaan itu tidak

hanya befrlaku dalam ilmu ekonomi, tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya, termasuk

politik Dengan perkataan lain, demokrasi liberal juga mengenal pembatasan yaitu melalui sistem

kelembagaan. Karena itu, maka demokrasi modern kurang tepat jika disebut sebagai "demokrasi

liberal", melainkan "demokrasi institusional", dalam arti proses demokrasi itu tidak diatur secara

bebas, melainkan melalui suatu sistem kelembagaan yang teriri dari kepemimpinan, sistem nilai

dan aturan hukum yang berlaku dalam pengelolaan kekuasaan atau khususnya pemerintahan.

KONSEPTUALISASI DEMOKRASI ISLAM.

Pendapat bahwa Islam itu tidak kompatibel dengan demokrasi memang memiliki argumen

empiris-historis. Argumen itu dibangun dengan menghubungkan antara gejala negara Islam yang

formal dengan bentuk pemerintahan yang demokratis atau otoriter. Tidak semua negara di Dunia

Islam, menamakan diri "negara Islam" (Islamic State) Jumlah Negara Islam hanyalah 7 (15%).

Sedangkan 23 (48%) yang lain menamakan diri "Negara Sekuler" (Secular State). Dan sisanya,

18 (37%), berada di pertengahan, bukan negara Islam atau sekuler, tetapi menetapkan Islam

sebagai agama negara (Islam as state religion).

Di antara 7 negara Islam itu, maka 5 (86%) di antaranya tergolong otoriter. Di antara 23

negara sekulerpun, 12 (52%) masuk ke dalam kategori otoriter. Dan di antara 18 negara yang

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 21

menetapkan Islam sebagai agama negara, hanya 7 (39%) merupakan negara otoriter. Dapat

ditarik kesimpulan bahwa pemerintahan yang otoriter terdapat terbanyak di dalam kategori

Negara Islam dan lebih kecil di negara-negara sekuler dan yang paling kecil adalah di

negara-negara yang menyatakan Islam sebagai agama negara seperti yang dicontohkan oleh

Tunisia setelah Arab Spring 2011. Islam sebagai agama negara memang bisa ditetapkan di

Tunisia dan bisa diterima oleh kalangan militer yang umumnya sekuler, tapi ditolak oleh

BPU-PKI (Badan Persiapan Urusan Kemerdekaan Indonesia) di Indonesia yang kemudian

menyepakati pasal mengenai jaminan terhadap kebebasan beragama yang diterima oleh semua

golongan, termasuk kaum Muslim. Hal ini menunjukkan kaitan antara negara yang berhaluan

moderat dengan demokrasi. Atau demokrasi dapat dicapai lebih mudah di negara yang

berhaluan moderat ( al ummatan washatan (Qs. Ali Imran (3): 110) antara sekularisme dan

negara agama (theocracy), seperti Indonesia yang bukan negara agama maupun sekuler, tetapi

berdasarkan monoteisme yang bisa diterima oleh semua agama di Indonesia, bahkan termasuk

pemeluk Hindu dan Budha yang bukan agama monotheis.

Namun penting untuk diperhatikan, bahwa benih-benih demokrasi telah bersemai di

negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara. Adalah tergesa-gesa untuk mengatakan

bahwa Islam itu tidak kompatibel dengan demokrasi, Sebagian besar dari mereka telah

menganut demokrasi walaupun tidak sepenuhnya demokrasi (liberal) atau yang masih

mengandung predikat kekurangan yang disebut sebagai demokrasi yang cacat (flawed

democracy), rezim campuran (hybrid democracy) dan demokrasi yang tidak liberal (illiberbal

democracy). Paling besar jumlahnya, yaitu 17 negara tergolong ke dalam kategori demokrasi

yang tidak liberal (illeberal democracy) yang tidak sepenuhnya memenuhi hak-hak azasi manusia

atau hak-hak sipil. Tapi kekurangan itu bisa disempurnakan dengan meningkatnya pendapatan per

kapita. tumbuhnya kelas menengah dan organisasi civil society, Pada tahun 2012, Indonesia

dinyatakan sebagai satu-satunya negara demokrasi penuh (full democracy) oleh Freedom House,

tapi pada tahun selanjutnya merosot lagi ke dalam ketegori demokrasi yang tidak sempurna. Jika

timbul diskriminasi atau aksi kekerasan terhaap suatu agama, misalnya pembakaran gereja, maka

peringkat kedemokrasian langsung akan merosot. Dapat ditarik keimpulan bahwa di Dunia

Islam ada kemungkinan bagi demokrasi untuk berkembang, walaupun secara evolusioner maupun

secara revolusioner sebagaimana telah terjadi di Tunisia tahun 2011. Arab Spring terhenti di

negara-negara Muslim lainnya, karena dibendung oleh kelompok militer yang tidak mau

berkompromi dalam penerapan sekularisme. Dapat ditarik pelajaran bahwa faktor penghambat

demokratisasi adalah gerakan fundamentalis Islam yang akan selalu dibendung oleh kekuatan

militer, sebagaimana berkali-kali terjadi di Turki. Di Mesir umpamanya, Rezim Hosni Mubarak

dapat ditumbangkan dan dapat segera dilakukan pemilihan umum. Tetapi ketika Presiden yang

22 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

terpilih secara demokratis Mohammad Mursi memaksakan konstitusi berdasarkan agama, maka

kaum militer membendungnya dan memggulingkan pemerintahan Al Ihwan al Muslimin (IM) itu.

Tetapi di Tunisia dapat dicapai kompromi dengan kaum militer dengan menetapan Islam sebagai

Agama Negara, tetapi tetap didasarkan pada prinsip sekularisme. Di Turki, Partai Keadilan dan

Pembangunan (AKP) yang beraspirasi Islam, berhasil memenangkan pemilihan umum dan

memimpin pemerintahan di bawah Presiden Recep Tayyib Erdogan, tetapi Turki tetap didasarkan

pada sekularisme Ataturk, menginginkan bergabung dengan Uni Eropa, tetapi secara serentak

juga membangun kembali kerjasama dengan negara-negara Islam. Tetapi dalam waktu yang

bersamaan berusaha melaksanakan aspirasi Islam secara demokratis melalui gerakan civil

society. Dalam lingkungan civil society, Fatullah Gulen mengembangkan lembaga pendidikan

"HIKMET" dan mengembangkan pluralisme dengan melakukan interfaith-dialog membangun

kerukunan hidup beragama dengan Sri Paus Pope Paul John II, patraik Gereja Yunani Ortodox

dan Rabi Yahudi Israel, melakukan gerakan sosial, tidak saja membangun jaringan sekolah

300 jaringan sekolah di Turki, tetapi juga di 1.000 sekolah di 180 negara di dunia, termasuk di

Indonesia yang didukung dengan kegiatan usaha misalnya mengolah kelapa sawit guna

memproduksi bio-energi. Di bidang ekonomi, para pengusaha Muslim membentuk organisasi

gerakan ekonomi "MUSAID" yang secara finansial mampu mendukung gerakan politik AKP

sehingga Pemerintah Erdogan juga membalas membantu gerakan ekonomi itu, antara lain

membangun pertanian di Anatolia dengan membangun 4 bendungan besar.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan yang harus dibangun prasarana

kelembagaannya masih mungkin berkembang di Dunia Islam berdasarkan tindakan

pragmatis-empriris. Tapi sebagaimana dikatakan oleh Presiden AS, Barack Obama, dalam

pidato perpisahan bulan Januari 2017, bahwa politik dalam kerangka demokrasi itu pada

hakekatnya adalah "the battle of ideas". Karena itu maka gerakan Islam politik harus mampu

mengembangkan gagasan-gagasan yang kreatif, berdasarkan nalar moral dan nalar publik,

khususnya mengenai konsep demokrasi Islam.

Tapi pertanyaan selanjutnya harus dijawab, yaitu apakah Islam itu mengandung ajaran

mengenai demokrasi. Istilah atau padanannya dengan demokrasi sebagaimana juga negara Islam,

tidak terdapat dalam al Qur'an maupun Sunnah Walaupun hal ini tergantung dari interpretasi.

Fazlul Rahman, misalnya, seorang pemikir Islam dari Universitas Chicago, AS dalam bukunya

"Major Themes of the Qur'an " (1980) bahwa gagasan demokrasi itu terkandung dalam istilah

"al shura" atau musyawarah. Istilah itu terdapat dalam tiga ayat yaitu Q.s. Al Shura (42); 38

Q.s. Al Baqarah (2): 233 dan Q.s Ai Imran (3): 169. Tetapi para ulama mempunyai pendapat yang

berbeda mengenai istilah al shura sebagai padanan demokrasi, apakah sesuai dengan dan

terkandung dalam ajaran Islam atau tidak. Al Mutawali misalnya, berpendapat bahwa

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 23

demokrasi yang didasarkan pada suara terbanyak dari kebanyakan orang (majoritas) itu

bertentangan dengan al Qur'an berdasarkan ayat yang mengatakan bahwa 'orang banyak itu pada

umumnya tidak mengetahui (persoalan)'. Artinya yang mengatahui itu sebenarnya hanya sedikit

orang, yaitu para ahli (Q.s. al'am (6): 111). Karena itu al Qur'an menganjurkan agar orang itu

bertanya kepada ahlinya yang jumlahnya tidak banyak. Disini, al Mutawali menolak

demokrasi sebagai suatu paham majoritarianisme karena pandangan bahwa kebenaran itu

berada dalam suara terbanyak tidak sesuai dengan Islam. Sementara itu Dr. Muhammad Aman

bin Ali al Jami dalam buku kecilnya menulis bahwa "Shuro yang murni itu bukan demokrasi"

(2001). Tetapi ulama yang lain seperti Muhammad al Ghazali dan Fazlul Rahman justru melihat

konsep demokrasi pada istilah al shura. Jadi kalangan ulama sendiri tidak sepakat mengenai

demokrasi dalam hubungannya dengan ajaran Islam.

Fazlul Rahman dalam bujunya "The Major Themes in the Qur'an" (1980) mempunyai

argumen bahwa paham demokrasi itu terkandung dalam istilah al Sura. Pendapatnya itu

mendukung pandangan Muhammad al Ghazali, seorang ahli tafsir dari Universitas al Azhar. Atas

dasar itu maka Rahman berpendapat bahwa untuk menegakkan demokrasi, hendaknya dibentuk

lembaga permusyawaratan rakyat, Pandangan itu dilaksanakan di Indonesia dalam UUD 1945.

Karena itu maka demokrasi Islam itu terkandung dalam UUD 1945.

Dalam buku Ensiklopedia al Qur'an Quraish Shihab menjelaskan makna al shura dari segi

kebahasaan dan dalam konteks yang berbeda menurut tiga ayat

Kata al shura berasal dari shawara, yushawiru yang artinya, menjelaskan, menyatakan, atau

mengambil sesuatu (misalnya madu dari sarang laba-laba atau obat-obatan dari buah-buahan).

Turunan makna itu adalah perundingan (tashawur), memberi isyarat (ashara), meminta

pendapat (shawir), saling bertukar pikiran (tashawara), nasehat atau saran (al matshura), dan

meminta pendapat orang lain (al Mushitasir). Semua kata tersebut pada dasarnya berasal dari kata

shara, yasyuru, shaur yang berarti mengaeluarkan dan mengambil madu dari sarangnya. Dalam

tafsir metaporis, madu adalah lambang kebenaran atau yang barang berkhasiat.

Pengertian itu disebut dalam tiga ayat dalam tiga konteks. Pertama dalam surat al Shura. al

shura disebut dalam kaitannya dengan ciri-ciri orang yang beriman, yaitu taat dan patuh kepada

Allah, menunaikan sholat, menghidupkan musyawarah dan berjiwa dermawan. Jadi melakukan

musyawarah itu merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Ulama Al Razi mengatakan

bahwa praktek musyawarah merupakan tradisi yang telah berlangsung lama dari kalangan umat

beriman bangsa Arab. Pertanyaannya adalah mengapa bangsa Arab modern itu justru sulit

berdemokrasi. Gagasan Sosialisme Arab yang dirumuskan oleh Michel Aflaq pun yang berfaham,

hanya menyebut kebebasan, Nasionalisme dan Sosialisme tetapi tidak menyebut demokrasi.

Sementara itu oleh Sun Yat Sen, Demokrasi atau satu kesatuan trilogi dengan nasionalisme dan

24 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

sosialisme. Tapi dimanapun, demokrasi tidak berkembang dalam paham komunisme. Istilah

"republik rakyat" justru adalah ideologi otoriter.

Kedua, dalam konteks ayat dalam surat al Baqarah, al shura merupakan cara yang harus

dilakukan dalam tanggung jawab bersama antara ibu dan bapak dalam menyapih anak yang

masih dalam masa penyusuan. Menurut al Qurtubi musyawarah merupakan bagian dari ijtihad

atau upaya berfikir mengenai hal-hal yang tidak jelas diatur dalam al Qur'an, misalnya apalah

seorang ibu itu harus menyusui seorang anak hingga dua tahun sesuai dengan hukum alam.

Masalah seperti ini harus dimusyawarahkan antara kedua orang tua. Menurut ahli tafsir modern

Syed Rashid Ridha, dalam tafsir al Manar yang melanjutkan tafsir Mohammad Abduh,

mengatakan bahwa musyawarah mengadung unsur pendidikan dalam keluarga dalam mengambil

keputusan. Karena itu maka ajaran musyawarah bisa di kontektualisasikan melampaui batas

keluarga, misalnya dalam suatu negara, sehingga musyawarah merupakan bagian dari paham

kekeluargaan (brotherhood) dalam kehidupan bernegara. Ketiga, dalam surat Ali Imran

musyawarah diartikan dalam konteks komunikasi antara Nabi dengan sebagian

sahabat-sahabatnya yang menyalahi perintah Nabi, sehingga mengalami kekalahan dalam Perang

Uhud agar tidak bersikap keras, melainkan dengan berbicara baik-baik dan lemah lembut dalam

bentuk musyawarah sehingga para sahabat Nabi tidak menjauh darinya, karena takut.

Musyawarah dalam hal ini merupakan sikap seorang pemimpin yang bijaksana terhadap rakyat,

sebagai metode komunikasi dari atas ke bawah.

Berbagai makna dari musyawarah itu menggambarkann apa yang diebut sebagai komunikasi

aktif yang diteorikan oleh Jurgen Habermas, sehingga Frans Budi Hardiman menyimpulkan

sebuah model demokrasi yang khas yang disebutnya "Demokrasi Musyawarah" sebagai

terjemahan dari istilah "Deliberative democracy" oleh Habermas. Karena itu adalah tepat

pendekatan Fazlul Rahman yang memulai suatu diskursus menganai demokrasi Islam dengan

bertolak dari konsep al shura dalam al Qur'an.

Titik tolak yang lain untuk mencari konsep demokrasi adalah kata al khalifah atau al

khilafah. Ada tiga istilah pokok, yaitu al khilaf yang artinya lupa atau keliru , al khalifa artinya

pengganti dan al khalafa artinya mengganti. Al Khalaf dan kata turunannya disebut dalam al

Qur’an sebanyak 127 kali sedangkan al khalifa sendiri disebut hanya 2 kali, pada Qs al Baqarah

(2): 30 dan Q.s.Shad (38): 26. Selain dalam bentuk mufrad atau tunggal kata khalifah muncul

dalam dua bentuk jama'. Yaitu al khalaif dan al khulafa, Khalif dijumpai 4 kali dan khulafa 3 kali.

Kata khalifa disebut dalam al Qur’an pertama dalam konteks pembicaraan mengenai Adam

as. Nabiullah pertama. Konteks ayat ini menunjukkan bahwa manusia yang dijadikan khalifa di

muka bumi ini untuk memakmurkannya atau membangunnya sesuai dengan konsep yang

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 25

ditetapkan oleh Allah sebagai yang menugaskannya. Kedua dalam konteks pembicaraan Nabi

Daud as. Konteks ayat ini mennjukan bahwa nabi Daud menjadi khalifah yang diberi tugas untuk

mengelola wilayah yang terbatas yaitu Palestina.

Dalam mengelola wilayah kekuasaan itu seorang klalifah tidak boleh berbuat

sewenang-wenang atau mengikuti hawa nafsunya. (Q.s.Shad (38): 267) dan Q.s. Thaha (20): 16).

Dari 3 ayat tersebut dapat disimpulkan ada 7 sifat terpuji yang selayaknya dimiliki oleh seorang

khalifa yaitu: pertama kemampuan untuk menunjukkan jalan kebahagiaan kepada yang

dipimpinnya, dua akhlak yang mulia, ketiga, iman yang kuat, keempat tata beribadah, kelima sifat

sabar, keenam sifat adil dan tujuh tidak memperturutkan hawa nafsu. Dalam pada itu, dalam surat

al Baqarah juga dikatakan bahwa manusia itu menjadi khalifah setelah berjanji bersedia memikul

amanah, yaitu secara positif memakmurkan bumi dan secara negatif tidak berbuat kerusakan di

muka bumi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia itu adalah mandararis Tuhan di muka

bumi, dan karena itu disebut khalifatullah fi al ardh. Tapi sebagai mandartaris, khalifah itu tidak

memiliki kekuasaan yang absolut, melainkan dibatasi. Di samping itu Allah juga berpesan kepada

Nabi Daud as. agar memerintah dengan adil dalam dua arti, yaitu tidak sewenang-wenang dan

menyampaikan hak kepada siapa saja yang mempunyai hak yang disebut dalam teori politik

modern, hak-hak azasi manusia atau hak-hak sipil yang ditetapkan dalam UU.

Dalam penafsirannya terhadap istilah khalifah, Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa

setelah manusia itu menerima mandat dari Tuhan, maka manusia itu memiliki kedaulatan. Dalam

konteks kekhalifahan Nabi Adam, maka manusia itu memiliki kedaulatan manusia sedangkan

dalam konteks Nabi Daud as. yang menjadi sumber kedaulatan adalah rakyat.

Dalam Q.s. Shura kedaulatan Tuhan itu berlaku dalam masalah peribadatan, dalam

hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya. Tapi dalam hubungan horisontal antar sesama

manusia berlaku prinsip kedaulatan rakyat yang terkandung dalam pengertian musyawarah dalam

urusan manusia sendiri (wa amruhum shura bainahum).

Dapat disimpulkan dari pembahasan mengenai konsep khalifah atau khilafah bahwa dalam

konsep kedaulatan manusia atau rakyat itu, di satu pihak Qur'an, membatasi atau memberikan

syarat-syarat dalam mengelola kekuasaan, yang pada dasarnya harus adil dan amanah. Dan di lain

pihak menetapkan hak-hak azazi manusia dan hak-hak warga negara. Itulah makna inti dari suatu

konstitusi sebagai kontrak sosial yang dimaksud oleh John Locke dan John Rawls.

Sebagai kesimpulan, maka teori demokrasi atau kedaulatan rakyat yang disebut dalam

Pancasila itu terkandung pula pada istilah khalifah atau khilafah, baik dari segi kepemimpinan

atau imamah, maupun dari segi kewargaan yang memiliki hak-haknya dalam suatu negara.

26 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Pertama dalam konsep kedaulatan manusia dan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan negara.

Kedua pada konsep amanah yang memberi syarat-syarat kepemipinan dalam istilah amanah,

yang berisikan dasar moral sebagai pedoman kepemimpinan dalam mengelola sumberdaya bumi,

maupun sebagai rambu-rambu untuk tidak melakukan kezaliman, kerusakan dan mengikuti hawa

nafsu. Amanah ini diwujudkan dalam suatu konstitusi atau hukum syariah sebagai berpedoman

dalam politik dan bernegara.

Ketiga khalifah sebagai seorang pemimpin yang adil yang memberikan hak kepada siapa

yang mempunyai hak yaitu hak azasi manusia dan hak sipil yang menjadi kewajiban bagi

negara dan kepemimpinan untuk memenuhi, menjamin dan memeliharanya.

Konsep ketiga yang bisa dipakai sebagai dasar dari demokrasi adalah istilah ijtihad yang

terkandung dalam sunnah nabi ketika menanyakan tentang cara kepemimpinan yang akan

ditempuh oleh Duta Besar negara Madinah kepada callon Gubernur, Muaz bin Jabar. Ketika itu

Nabi menanyakan tentang apa yang akan dipakai sebagai pedoman, ketika mewakili negara

Madinah di Yaman. Muaz bin Jabal menjawab dengan al’Qur'an. Kemudian apa yang akan

dipakai sebagai pedoman jika tidak dijumpai dalam al Qur'an. Muaz menjawab dengan Sunnah

Nabi. Dan kemudian apa yang akan dilakukan jika ia tidak menjumpai itu dalam al Qut'an dan

Sunnah. Maka Muaz menjawab dengan ijtihad, atau pemikiran yang independen

sungguh-sungguh. Mendengar jawaban calon utusannya itu, maka Nabipun bersyukur dan

membenarkan pendapat itu. Cara yang ditempuh oleh Nabi itu sendiri dapat digulingkan sebagai

cara musyawarah, walaupun Nabi sendiri sudah tahu jawaban darim pertanyaannya itu.

Dengan demikian,maka pemikiran yang independen baik secara individu maupun kolektif

adalah salah satu sendi dari konsep demokrasi Islam. Secara individual, ijtihad dilakukan melalui

pemikiran yang sungguh-sungguh dengan dasar-dasar arguman yang logis atau rasional.

Sedsangkan secara kolektif, ijtihad dilakukan dalam bentuk musyawarah sebagai aksi komunikasi

khususnya guna memperoleh pendapat yang lebih benar dari pihak lain dan bukan dalam rangka

memperjuangkan pendapat sendiri dalam ijtihad individual yang perlu disertai dengan dasar-dasar

arguman. Dan dalam mencari pendapat yang lebih baik, al Qur'an menganjurkan untuk bertanya

kepada ahlinya atau yang memiliki kopetensi untuk menjawab (Q.s…. ).

Konsep demokrasi Islam, dalam arti demokrasi musyawarah dapat pula dipelajari dari proses

kelembagaan negara yang didirikan oleh Muhammad saw yaitu dariproses kelahiran Negara al

Madinah Al Munawarah. Asal mulanya adalah undangan yang disampaikan kepada Nabi untuk

menyelesaikan sengketa atau perang saudara antara suku Yahudi Jastrib, Auf dan Kharraj.

Undangan itu diterima dan nabi melakukan negosiasi dengan dua suku yang bermusuhan dan

berperang itu. Kemudian Nabi mengadakan suatu konperensi besar yang melibatkan semua suku

yang ada, terutama di kalangan Yahudi dan Kristen. Jumlah umat Islam pada waktu itu baru 13%

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 27

saja. Hasilnya, melalui diskusi kelompok yang sangat luas, dapat dirumuskan suatu Perjanjian,

yaitu Perjanjian damai yang menjadi dasar dari suatu naskah konstitusi. Perjajian itu juga

merupakan suatu kontrak sosial yang memilih Nabi sebagai Pemimpin masyarakat. Tetapi

berbeda dari teori Thomas Hobbes, Nabi sekaligus juga berhasil membuat kesepakatan

konstitusional untuk membentuk suatu umat.

Konsitusi itu dimulai dengan kesepakatan mengenai pembentukan ummatan wahidah, suatu

ummat yang bersatu. Dalam kesatuan umat itu setiap golongan atau suku, yaitu suub dan kabilah

ditetapkan hak-hak dan kewajibannya. Titik tolak pemikiran dari perjanjian itu adalah suatu

pakta persatuan dan perdamaian yang berazaskan pada keadilan. Sedangkan Piagam itu adalah

suatu dokumen pembentukan demokrasi konstitusional.

Dari teori pembentukan Konstitusi Madimah sebagai wujud dari Demokrasi Islam,ketika

pada waktu ituturun wahyu-wahyu yang berbentuk syariat kemasyarakatan, muamalah dan siasah

atau kenegaraan yang terkandung dalam surat al Baqarah, Ali Imran dan Shura, maka konsep

demokrasi Islam bukan terkandung dalam substansi demokrasi itu sendiri tetapi dalam proses

kelembagaan. Maka bertitik tolak dari teori itu, terwujudnya Indonesia pada waktu Proklamasi

Kemerdekaan, melalui proses permusyawaratan, khususnya melalui sidang-sidang BPU-PKI

yang menghasilkan Konstitusi UUD 1945, dapat disebut sebagai eksemplar Demokrasi Islam,

apalagi Pancasila, Mukaddimah dan batang tubuh UUD 1945 itu sendiri disusun berdasarkan

nilai-nilai syariah pula, atau teori-teori hukum yang sesuai dan tidak bertentangan dengan syariat.

Apabila ada pasal-pasal yang tidak sesuai atau bertentangan dengan syariat Islam, tentu akan

ditentang oleh para ulama besar, seperti Kyai Wahid Hasyim, Kyai Kahar Musyakir, Haji Agus

Salim, atau para pemimpin Islam seperti Sukiman Wirjosanjojo, Abikusno Tjokrosujoso atau Ki

Bagus Hadikusumo. Atas dasar teori itu,maka keseluruhan UUD 1945, termasuk Mukaddimah

dan Pancasila, dapat disebut sebagai konsep Demokrasi Islam, yang intinya adalah demokrasi

musyawarah atau demokrasi deliberatif.

Demokrasi Islam model Indonesia itu sesuai tetapi tidak mengikuti atau didasarkan pada

teori atau konsep demokrasi deliberatif Barat. Tetapi Demokrasi Islam model Indonesia itu juga

berbeda dengan Demokrasi Islam model Pakistan, model Turki atau model Tunisia yang

dikembangkan oleh Partai Ennahda. Dengan demikian, maka model Demokrasi Islam itu bersifat

plural dan tidak tunggal karena sesuai ataun dipengaruhi oleh sejarah dan struktur masyarakat di

negara yang bersangkutan.

Demokrasi Islam secara universal didasarkan pada konsep al ummah sebagaimana tercantum

dalam Q.s. Ali Imran (3): 104, jungto Q.s.Ali Imran ayat 103 dan 110. Dalam surat itu maka al

ummah itu bukan sekedar kumpulan kolektivitas atau kumpulan orang, melainkan suatu

kuompulan yang berorientasi pada nilai-nilai keutamaan (alkair), visi, misi dan tujuan.

28 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang bersumber dari daulat rakyat itu memiliki visa

untuk membentuk suatu ummat yang diikat oleh tali pengikat yang kuat (al urwah almustho),

mengemban misi menegakkan yang baik dan menagkal yang buruk dan jahat menuju kepada

keberhasilan dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (al falakh). Itu adalah suatu

gambaran universal yang berlaku umum. Sedangkan wujud kelembagaan didasarkan pada

ayat-ayat kemasyarakatan (sosial), kemuamalatan (ekonomi) dan siasah (politik) diwahyukan

dalam periode pasca Piagam Madinah.

Nilai-nilai keutamaan yang telah disebut dalam konsep al shura, ah hilafah, al adalah wa

alihsan alwashatan dan al amanah. Al ijtihad adalah bagian dari al shura. Istilah-istilah yang

mengandung nillai-nilai keutamaan yang lain mosalnya adalah al ta'aruf () dan al ukhuwah ().

Dalam surat al Hujurat (87): 13 difirmankan bahwa Allah itu menciptakan manusia yaitu

bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling memahami. Dan sesunggunya orang yang paling

mulia dalam pandangan Allah itu adalah orang yang paling taqwa, yaitu yang menepati kewajiban

dan menghindari larangannya. Ta'aruf itu berlaku dalam masyarakat yang majemuk, lebih-lebih di

zaman modern yang mengalami konsentrasi dan aglomerasi dalam pemukiman dan peradaban.

Jika kemajumukan yang merupakan sunatullah itu tidak didasarkan pada sikap saling memahami

perbedaan, maka akan terjadi konflik dan perpecahan. Karena itu maka pluralisme merupakan

salah satu sendi dasar Demokrasi Islam.

Ukhuwah adalah doktrin persaudaraan. Para ulama mengemukakan beberapa jenis ukhuwah

yaitu antara lain ukhuwah insaniah, persaudaraan atas dasar kemanusiaan, ukhuwah dinilah

persaudaraan di antara umat beragama ukhuwah mathoniayah atau persaudaraan kebangsaan dan

ukwah Islamiyah. Yang paling universal adalah ukhuwah Islamiah, dalam arti persaudaraan atas

dasar perdamaian. Dengan demikiam, maka selain mencakup 3 pengertian persaudaraan itu, maka

Demokrasi Islam pada dasarnya adalah demokrasi yang didasarkan pada perdamaian

KELEMBAGAAN DEMOKRASI ISLAM

Demokrasi Islam sebagaimana telah dijelaskan melalui dasar-dasar nilai keutamaan,

bukanlah demokrasi liberal, dalam pengertian sebagai sistem politik yang didasarkan pada dan

digerakkan oleh mekanisme lalu lintas persaingan pendapat dan kepentingan yang berdasarkan

azas kebebasan, melainkan didasarkan pada sistem kelembagaan. Dengan perkataan lain,

Demokrasi Islam adalah sistem politik kelembagaan (institusional politcs) dimana proses

pengelolaan kekuasaan dilakukan melalui sitem kelembagannya.

Nabi saw pernah bersabda. "setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diminta

pertanggung-jawaban atas kepemimpinanmu masing-masing". Artinya setiap orang adalah

pemimpin dilingkungan masing-masing, rumusan itu berarti bahwa kepemimpinan itu tidak

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 29

bersifat individual melainkan institusional dalam setiap lingkungan yang berbeda-beda,

sehingga terbentuk tanggung-jawab bersama (corespoinsibility).

Menurut teori sosiologi, kelembagaan itu terdiri dari 3 komponen. Pertama adalah

komponen pemimpin dan kepemimpinan. Kedua, adalah sistem nilai. Dan ketiga adalah aturan

hukum sebagai dasar tata kelola (governance).

Dari segi kepemimpinan, Q.s al Nahl (26): 25 memahyukan " Bawalah manusia ke jalan

Tuhanmu dengan hikmah (ilmu pengetahuan),dan keteladanan yang baik dan jalankanlah

kepemiminanmu melalui diskusi, dengan cara yang terbaik". Dengan demikian,

kepemimpinan dalam Demokrasi Islam memiliki tiga sendi. Pertama ilmu pengetahuan. Kedua

keteladanan dan ketiga diskusi.

Ilmu pengetahuan itu dicapai dengan penalaran yang cerdas berdasarkan informasi tentang

realitas dan teori. Dengan demikian, Islam mengajarkan kebebasan berfikir secara independen

atas tanggung-jawab sendiri. Manusia sendiri adalah suatu makhluk yang mendapat anugerah

kemampuan untuk menyebut nama-nama benda (Q.s. alBaqarah (2): 30) sebagai modal

kekhalifahannya (kepimpinannya) yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya dan

karena itulah manusia bersedia dan merasa mampu memegang amanah atas dasar kemampuan

berfikirnya dengan tanggung-jawabnya sendiri. Tidak mungkin manusia itu bertanggung-jawab

atas perbuatannya, tanpa diberikan kebebasan. Dengan begitu maka kepemimpinan itu

didasarkan pada kebebasan yang bertanggung-jawab. Sedangkan tanggung-jawab itu

dilaksanakan melalui taqwa atau taat azas yang tidak menyimpang dari jalan yang lurus (siratal

mustaqim), yaitu jalannya orang-orang yang memperoleh nikmat, dan bukannya jalan yang

sesat karena tanpa ilmu pengetahuan dan tidak pula jalan yang dimurkai yaitu jalan yang

melanggar hukum yang membayakan diri sendiri dan orang lain dari kerusakan dan kerugian.

Karena itu maka kepemimpinan dalam Demokrasi Islam itu adalah kepemimpinan para ahli

(tecnocracy). Dalam aliran Syiah, kepemimpinan berada di tangan ahli hukum (al wilayah al

faqih). Sebenarnya yang berhak memimpin bukan hanya ahli hukum, apalagi hanya hukum

agama, tetapi ahli dalam berbagai bidang. Konsep al wilayah al faqih ini menyerupai

kepemipinan liberal yang karena memerlukan keahlian hukum maka di negara liberal seperti di

AS, para pemimpim negara maupun korporasi umumnya adalah para ahli hukum.

Metode kepemimpinan kedua adalah keteladanan atau dalam budaya Jawa, kepemimpinan

panutan yang harus mampu memberi contoh. Allah tidak menyukai orang yang tidak menjalankan

apa yang dikatakannya (Q.s. ), tidak satunya perkataan dan perbuatan. Dengan kata lain.

Demokrasi Islam menghendaki kejujuran para pimpinan (al siddiq). Disamping ahli juga jujur.

Dengan demikian, maka perbedaan antara Demokrasi Islam dengan Demokrasi Liberal adalah,

Demokrasi Islam itu mengandung unsur keterpemimpinan. Tetapi Demokrasi Islam berbeda

30 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

dengan ajaran Plato yang menekankan faktor kepemipinan seorang filsuf atau aristokrasi dan

oligarki menurut pandangan Aristotelles, tapi kepemipinan yang dilembagakan dalam

musyawarah secara horisontal maupun vertikal dan demokrasi yang didasarkan pada

kepemipinan para ahli. Dari segi itu maka Demokrasi Islam adalah suatu jenis hybrid democracy,

tetapi bukan merupakan kombinasi antara liberalisme dan otoritarianisme, melainkan antara unsur

kerakyatan dan kepemipinan yang lebih logis dalam kerangka fillsafat Yunani khususnya antara

paham demokrasi Athena yang populis yang ditegakkan oleh Kleistenes pada tahun 509 S.M.

dan paham Plato- Aristoteles yang elitis. Penerapan demokrasi dalam realitas pada dasarnya

merupakan tarik ulur antara dua pandangan itu yang dicerminkan dalam struktur dan sistem

kelembagaannya.

Aspek kedua dari kepemimpinan Demokrasi Islam adalah keteladanan. Keteladanan bisa

terjadi apabila pimpinan itu bersifat terbuka (transparacy), bertanggung jawab (responsibility),

adil (fairness) dan mandiri (independence) yang menjadi dasar pengelolaan kekuasaan.

Keteladanan juga bisa terjadi apabila pimpinan itu bersikap mendidik. Karena itu maka

Demokrasi Islam itu mengandung unsur pendidikan politik.

Dalam model kepemimpinan Jawa menurut Ki Hadjar Dewantara, peranan pemimpin itu

tergantung dari posisinya, yaitu jika berada di muka harus memberi teladan, jika berada di tengah,

mengambil prakarsa dan jika berada di belakang, mendorong dan memberi semangat yang

memberdayakan.

Aspek ketiga dari kepemimpinan dalam Demokrasi Islam adalah melalui diskusi. Jadi

seorang pemimpin itu bukan hanya mengambil keputusan dan memerintah, tetapi harus terlebih

dahulu memperoleh pertimbangan dari yang lain, bahkan juga dari yang dipimpin. Jika dilakukan

melalui diskusi untuk mengambil keputusan, maka yang dipimpin akan merasa terikat untuk

melaksanakan atau melakukan partisipasi dan dukungan kongkret dalam pelaksanaan

kesepakatan.

Dalam Demokrasi Islam seperti dicontohkan pada zaman khulafa al Rashidah, pemipim itu

tidak diwariskan, melainkan dipilih. Masalahnya, di zaman pra modern, sulthan itu secara

tradisional diwariskan. Tetapi risikonya, jika diwariskan, maka ketika tidak terdapat kesepakatan

terhadap ahli warisnya tidak beralih persetujuan dari kalangan waris dan para sesepuh,

seperti dalam cerita Mahabharata, maka pergantian kepemimpinan akan dilakukan melalui

kekerasan. Pengganti Nabi, yaitu Abu Bakar Siddiq, tidak mewarisi hak kekuasaan dari nabi

karena hubungan darah, melainkan dipilih secara aklamasi. Khalifah Ummar bin Ktattab,

memang ditunjuk oleh Abu Bakar, walaupun ia sering berselisih dan berbeda pendapat dengan

Umar. Tetapi Umar bukanlah anak atau ahli waris Abu Bakar. Usman bin Affan dipilih oleh

formatur yang terdiri 6 orang pemuka masyarakat yang disebut ahl al hjalli wa al aqdi.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 31

Sedangkan Ali bin Abi Thalib itu menjadi khalifah atas dasar baiat rakyat.

Secara konseptual paham-paham demokrasi itu diterjemahkan pada zaman modern, ke

dalam berbagai bentuk pemerintahan. Di dunia Islam, aliran Platonis diterjemahkan menjadi

bentuk Republik Islam seperti Iran yang memilih imam-iman besar sebagai Presiden seperti

Rafsanjani, Khatami atau Khamanei. Lebih moderat diterjemahkan ke dalam repubik

presidensiil yang menunjuk searang perdana menteri dimana presiden bertindak sebagai tokoh

yang "can do no wrong" seperti di India. Tetapi juga ke dalam sistem presidensial yang menitik

beratkan kekuasaan eksekutif dalam periode tertentu, sebagai presiden.

Aliran yang lebih kerakyatan membentuk pememintahan parlementer. Lembaga parlemen,

disamping membentuk UU juga memilih perdana menteri melalui perwakilan partai-partai.

Sebenarnya partai-partai politik adalah lembaga politik yang melembagakan kekuasaan rakyat

dengan melakukan fungsi agregasi politik, representasi politik dan pendidikan politik.

Aliran yang paling populis melaksanakan demokrasi langsung yang hanya dimungkinkan

pada negara kota dan sulit dilaksanakan dalam negara kebangsaan yang lebih besar skalanya.

Demokrasi langsung hanya bisa dilaksanakan dalam organisasi kecil, misalnya perusahaan atau

koperasi dan desa (demokrasi desa) dalam masyarakat adat.

Dari 50 negara di Dunia Islam, terdapat 8% negara monarki absolut, dan 14% monarki

konstitusional, Sistem republik parlementer ada 16%. Sistem presidensial 26% dan semi

presidensial 22%, Sedangkan tipe republik Islam 10%. Dengan demikian, maka yang terbanyak

adalah sistem presidensial, yang menitik-beratkan pada kekuasaan eksekutif dan yang terkecil

adalah sistem monarki absolut. Monarki konstitusional sudah dua kali lebih banyak, sehingga

dapat ditarik sesimpulan adanya kecenderungan di Dunia Islam ke arah demokratisasi.

Dalam konseptualisasi teori publik mutakhir Demokrasi Islam didefisisikan sebagai suatu

sistim politik dan pemerintahan yang ditegakkan melalui tiga pilar. Pertama, presiden, kepala

negara atau kepala pemerintahan itu dipilih oleh rakyat yang lazim disebut sebagai paham

repubikanisme. Tapi, ketika ini disepakati, maka negara kerajaan seperti di Saudi Arabia atau

Malaysia tidak bisa disebut s bagai negara demokrasi Islam. Padahal, negara-negara monarki

Eropa, seperti Inggris Belanda, atau Denmark, diakui sebagai negara demokrasi, Bahkan negara

demokrasi terbaik di dunia menurut index demokrasi adalah kerajaan Denmark walaupun

merupakan negara monarki konstitusional, sehingga ciri utamanya adalah adanya konstitusi,

sehingga yang dipilih bukannya raja tetspi perdana menteri. Tetapi sebaliknya, negara-negara

republik Arab, seperti Aljazair, Mesir atau Siria, tidak bisa disebut sebagai negara demokrasi

karena pemerintahannya yang otoriter bahkan militeristis, walaupun juga punya konstitusi. Dalam

tradisi Islam yang dibaiat itu adalah pemimpin seperti Ali bin Abi Thalib ra dan bukan rakyat

yang dibaiat oleh pemimin, sebagaimana yang terjadi di Indonesia sekarang. Ini menunjukkan

32 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

bahwa sumber kekuasaan itu dalam tradisi Arab Islam adalah rakyat dan bukan pemimpin.

Sungguhpun demikian di negara-negara sedang berkembang, termasuk di Indonedia pada

dasawarsa 50-an dan '60an, telah terjadi tarik penarik antara demokrasi dan kepemimpinan. Ahli

pendidikan Ki Hajar Dewantara umpamanya pernah mengajukan konsep, bahwa di Indonesia,

yang lebih cocok dengan masyarakat Indonesia adalah "demokratie met leadershap", demokrasi

dengan kepemipimpinan.

Tetapi secara teoritis demokrasi akan mengalami distorsi adalah kepemimpinan, karena

beberapa kondisi. Pertama, kemiskinan, yang menyebabkn orang miskin dikoptasi oleh pemimpin

atau pemerintah dengan, dangan persaingan dalam kepemimpinan dapat menimbulkan gejala

"politik uang" (money politics". Kedua adalah kondisi ketidak-adilan sosial yang menimbulkan

peranan pemerintah yang kuat dalam menegakkan keadilan sosial, sebagaimana kecenderungan di

negara-negara sosialis. Ketiga, kebutuhan untuk melakukan transformasi struktural yang

mwmbutuhkan se buah pemerintahan yang kuat. Kondisi anarki pada masyarakat yang

membutukan penghargaan terhadap hukum, dan kelima, dominasi kekuasaan asing yang

merongrong kedaulatan negara.

Sendi kedua, adalah merupakan negara hukum berdasarkan syariah Islam. Sendi ini juga

mengandung persoalan, karena di negara demokrasi liberal hukum yang berlaku adalah hukum

demokratis yang disusun oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat atas dasar kebutuhan

untuk mengatur masyarakat dan bukan atas dasar ketentuan teks suci karena kepercayaan.

Dengan kata lain, hukum dibuat dengan metode induktif-obyektif dan bukan dengan metode

deduktif-subyektif.

Sendi dasar ketiga adalah bahwa kepemimpinan dan pengambilan keputusan mengenai

masalah-masalah publik dilakukan melalui musyawarah. Musyawarah inilah ciri utama

Demokrasi Islam, sehingga Demokrasi Islam disebut juga sebagai Demokrasi Delibaratif.

Ciri yang membuat berbeda dalam Demokrasi Islam adalah lembaga silaturahmi (Q.s. Al

Baqarah: (2): 27, Q.s. Al Nisa': (4): 1, Q.s. Al Ra'ad 13 1, 25, .Q.s. Muhammad (47): 22) ),

yaitu pertemuan baik bilateral maupun multilateral yang bertujuan mempererea atau

menyambung tali persaudaraan. Tapi makna dari silaturahmi adalah menghubungkan sesuatu

yang perlu dihubungkan demi menjauhi kerusakan atau membangun komunikasi. Dewasa ini

dalam pergaulan politik di Indonesia, silaturahmi sebagai kultur politik sudah melembaga.

Dewasa ini kultur politik yang juga sudah melembaga adalah all tabayun, atau pertemuan

konsuktatif guna memperoleh suatu penjelasan mengenai insiden-insiden politik yang telah

terjadi atau mengenai hoax, yaitu berita-berita bohong yang telah menjadi perbincangan atau

sumber fitnah. Walaupun tabayyun dilakukan dalam kalangan-kalangan terbatas misalnya di

kalangan Nahdhatul Ulama (NU) dengan tadisi pesantrennya, tetapi praktek itu kini sudah

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 33

menjadi fenomena politik nasional karena makin disadari perlunya persatuan nasional dan

perlunya kompromi karena ancaman jalan buntu politik

DEMOKRASI ISLAM DALAM PRATEK.

Di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, belum ada negara yang dapat disebut

telah melaknasakan sistem atau mencapai tahap demokrasi yang penuh (full demokracy). Pada

tahun 2012, Fredom House pernah menyatakan Indonesia sebagai satu-satunya negara mayoritas

berpenduduk Musim yang telah mencapai tahap demokrasi penuh. Padahal pendapatan per

kapitanya belum lagi mencapai US$ 6.000 perte kapita, alih-alih US$ 9.000,- dimana sistem

demokrasinya mampu berjalan stabil. Karena itu pada tahun 1912 telah terjadi sebuah anomali,

sehingga sesuai dengan teori pentahapan demokrasi, maka Indonesia merosot lagi peringkatnya

menjadi negara dengan sistem demokrasi yang tidak sempurna (flewd demnocracy).

Namun meminjam istilah Bernard Lewis yang telah mempelajari sistem demokrasi

khususnya lembaga musyawarah di negara-negara Muslim, kususnya Turki, ada negara-negara

Muslim yang masih mengandung unsur-unsur what went wrong dan ngara-negara yang sudah

mmiliki unsur what wengt right. Negara-negara kategori kedua itu misalnya Pakistan,

Bangladesh, Malaysia, Turki dan Indonesia.

Hal-hal yang masih salah adalah, disatu pihak negara yang hanya mengenal hukum tetapi

tidak mengenal kebebasan, atau otoritarianisme. dan di lain pihak, warga negara yang hanya

menciptai kebebasan tetapi tidak mengenal hukum, atau anarkisme, sebagaimana dirumuskan

oleh filsuf Jerman Abad Pencerahan, Emanuel Kant. Keduanya saling terkait, masyarakat yang

tidak mengenal hukum akan mendatangkan absolutisme kekuasan. Dalam teori Thomas Hobbes,

masyarakat yang anarkis akan mendatangkan rasa tidak aman karena setiap individu akan

menganggap yang lain sebagai serigala sehingga terjadi kondisi "homo homini lupus", Karena itu

untuk menciptakan rasa aman harus dilahirkan Leviatan, atau "raja binatang laut" yang

mempunyai kekuasaan absolut.

Karena itu maka John Locke mengusulkan dibentuknya suatu negara hukum yang

merumuskan suatu konstitusi sebagai hukum dasar. Kelahiran Indonesia dipersiapkan dengan

UUD 1945. Inti konstsitusi adalah di satu pihak membahas kekuasaan negara dan di lain pihak

menjamin hak-hak sipil sebagai ketetapan hukum terhadap sebagian Hak-Hak Azasi Manusia.

Dan kedua membatasi kekuasaan negara untuk tidak menjadi absolute.

Tanda-tanda kehidupan demokrasi adalah ditetapkannya kebebasan berpendapat dan

berkumpul dengan kesempatan untuk mendirikan partai-partai politik yang melakukan fungsi

agregasi politik, representasi politik dan pendidikan politik. Tanda kedua adalah pemilihan

wakil-wakil rakyat hak masyarakat untuk duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang

34 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

tugas utamanya adalah membentuk UU. Pada masa kolonial, Indonesia sudah mengenal "Dewan

Rakyat" (Volksraad) yang anggotanya ditunjuk oleh Pemeritah. Karena itu maka sebelum

mencapai kemerdekaan, timbul Mosi Sutardjo yang mengusul "Indonesia Berparlemen".

Ketiga adalah dibentuknya lembaga pengadilan untuk mengadili pelanggaran UU.

Keempat memperoleh informasi mengenai kehidupan masyarakat sehari-hari dan dunia melalui

pers bebas sehingga pers disebut juga sebagai the fourth goverment.

Di negara-negara monarki absolutis seperti Saudi Arabia, tidak dikenal konstitusi dan yang

dianggap sebagai "konstitusi" adalah al Qur'an. Konstitusi adalah kunci ke arah demokrasi,

karena berisikan hak-hak rakyat disatu pihak dan pembatasan kekuasaan di lain pihak. Hak-hak

yang paling dasar adalah hak berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Karena itu

maka di Saudi Arabia tidak ada pers bebas dan tak ada partai politik yang akan membentuk

kekuasaan eksekutif dan legislatif. Karena tidak ada partai politik, maka rakyat tidak bisa

mengeluarkan pendapat lewat parlemen yang anggotanya dipilih oleh rakyat. Rakyat juga tidak

bisa mengeluarkan pendapat karena tidak ada pers bebas. Koran atau majalah bisa ada, tetapi

hanya memuat berita-berita dari pada pejabat dan birokrat atau aristokrasi.

Di Indonesia partai politik sudah berdiri sejak zaman kolonial uang diterbitkan oleh kaum

cendekiawan dan kelas menengah. Demikian juga proto-parlemen. Tetapi yang menjadi basis

demokrasi sebenarnya adalah organisasi civil society yang mulai marak pada dasawarsa '30-an,

terutama organisasi keagamaan, pendidikan, sosial (buruh, tani, pemuda, perempuan atau guru)

dan penerbitan. Hingga sekarang, civil society tetap menjadi fondasi demokrasi, Karena itu

demokrasi di Indonesia cukup kuat, dan paling berkembang atau maju di dunia Islam. walaupun

beberapa kali mengalami kritis.

Sungguhpun demikian Dmokrasi Indonesia, dilihat dari segi kualitas masih banyak

kekuarangannya. Misalnya menggejalanya politik uang, partai politik dan parlemen, bekerja

dengan pemerintah merupakan sumber korupsi, terbentuknya oligarki yang berpusat pada

partai-partai besar, atau timbulnya gejala hoax didalam demokrasi yang berkembang adalah

media sosial yang disebut juga ciber democracy. Sementara itu partai politik Islam kehilangan

pengaruhnya sebagai kekuatan moderat yang mengakibatkan timbulnya fundamentalism,

penggunaan agama sebagai legitimasi politik dan terorisme sebagai gejala ketidak puasan dengan

demokrasi. Dengan demikian demokrasi musyawarah mengalami kegagalan.

----------------------------------------------

BAB III

PENGEMBANGAN PEMIKIRAN DAN

PELEMBAGAAN MODEL DEMOKRASI

BERKETUHANAN YANG MAHA ESA

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 35

ISLAM DAN DEMOKRASI:

Pengembangan Pemikiran Kenegaraan Dalam Pemikiran Islam1

Oleh: Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, MA2

Assalamualaikum Wr. Wb.

Bismillah, alhamdulillah wassolatu wassalamu ‘ala Rasulillah.

Bapak moderator terima kasih. Karena saya bukan yang ahli ketata negaraan, karena

ketatanegaraan disini ahlinya adalah Prof. Jimly, jadi dalam pembahasan ini saya menggunakan

pendekatan keislamannya. Pada kesempatan ini juga saya tidak terlalu panjang, tetapi hanya

sedikit saja.

Di dalam islam itu ada 3 (tiga) mahzab pendekatan pemikiran. Di dalam 3 (tiga)

pemikiran itu, pertama, ada yang tekstual. Selalu berpegang pada nash selamanya, jadi kalau

tidak ada nash dianggap tidak bisa. Kata Imam al-Qārāfī itu namanya al-Jumūd ʻala al-manqūlāti

Abadan ( الجوىد على الونقىلات أبدا), yang selalu berpegang taktis pada nash teks-teks nya saja. Lanjut

menurut Imam al-Qharafi cara berfikir seperti demikian merupakan kesesatan dalam agama. Jadi

pemikiran ini sangat konservatif.

Kedua adalah mahzab pemikiran yang sangat liberal. Para pemikir ini melakukan ijtihad

secara berlebihan, tanpa batas atau tanpa patokan Ijtihād bi lā Ẓawābiṭ (اجتهاد بلا ضىابط). Jadi

kalau menurutnya jika ada maslahah (kemasahatan), nash juga bisa diabaikannya. Oleh karena itu

ada pemikiran dari kelompok ini adalah melawan nash untuk maslahah. Menurut para ulama,

apabila maslahah itu berlawanan dengan nash maka itu bukan maslahah yang sesunggguhnya,

atau maslahah yang haqīqīyah (sejati), tetapi hanya maslahah mauhumah atau artinya adalah

maslahat yang hanya sekedar asumsi-asumsi saja.

Kelompok ketiga adalah kelompok moderat, adalahkelompok yang berpegang pada nash,

tetapi juga melakukan ijtihad-ijtihad. Imam al-Qārāfī mengatakan bahwa syariah itu memang ada

2 (dua), yaitu ada yang manṣūṣah (الونصىصة), yaitu yang ada nash-nya, dan ada yang ijtihādiyah

yang beum ada nash nya. Bahkan kalau menurut beliau kebanyakan syariah itu lahir dari ,(اجتهادية)

ijtihad, sebab nash itu terbatas, namun segala persoalan-persoalan sifatnya tidak terbatas, al-

Nuṣūṣ mutanāhiyah wa al-Waqāiʻ ghairu mutanāhiyah (النصىص هتناهية والىقائع غير هتناهية).

Sehingga pada kelompok ini, ijtihad lebih sering dilakukan daripada hanya bersandar pada nash

(teks agama).

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2016-2021

36 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Sistem pemerintahan termasuk dalam persoalan ijtihadiyah, yaitu didominasi oleh ijtihad

manusia. Oleh karena itu, Islam menerima semua bentuk pemerintahan. Ada pemerintahan

Khilafah, ada pemerintahan Kerajaan, seperti kerajaan Dinasti Abbasiyah (750 -1258 H

dilanjutkan di Kairo 1261 – 1517 H), Dinasti Umawiyah, bahkan seperti kerajaan al-Mamlakah

al-Arabiyah al-Su’udiyah yaitu Kerajaan Saudi Arabia, maupun Kerajaan Hasyimiah yaitu

Kerajaan Yordania, itu semua masih ada.

Islam juga menerima sistem Republik dengan berbagai bentuk pemerintahannya, seperti

Republik Arab Mesir, Pakistan, dan juga ada di berbagai negara lainnya seperti Republik Islam

Iran dan Indonesia. Sistem pemerintahan Indonesia ini diterima oleh para ulama. Para ulama

menyebut negara ini bukan negara Islam (dārul Islam), tidak juga disebut negara kafir (dārul

kufri), tetapi negara seperti Indonesia ini dapat disebut dārul sulhi atau daarul ahdi, yaitu negara

kesepakatan. Jadi pada negara ini kita perlu ada kesepakatan untuk berdampingan secara damai,

saling mencintai dan saling menyayangi antara sesama. Sehingga jika kita saling menyayangi

yang ada di bumi, maka nanti kita akan disayangi oleh yang ada di langit.

Kesepakatan untuk saling membantu dan saling menolong al-Ta’awun wa al-Tanaṣur

Dalam perspektif Islam yaitu negara ini terbentuk dari kesepakatan, karena saling .(التعاوى والتناصر)

membutuhkan dan saling memerlukan. Menurut imam al-Ghazali di dalam kitab Ihyā ‘ulūmu al-

Dīn ini merupakan bentuk dari interdependensi. Jadi menurut al-Ghazali dalam teorinya, negara

itu terentuk karena ada saling membutuhkan. Seperti kebutuhan akan pertanian, pertanian

membutuhkan transportasi, kemudian membutuhkan pasar, butuh pengamanan, dan lain

sebagainya. Oleh karena itu menurut al-Ghazali perlu adanya tindakan saling menolong dan

saling membantu, maka dengan hal tersebut lahirlah negara. Jika demikian, maka kemudian

lahirlah apa yang disebut dengan negara. Itulah teori bernegara yang 1000 tahun kemudian teori

ini dijelaskan lagi oleh Thomas Hobbes mengenai interdependensi ini.

Jadi di kalangan umat Islam, negara ini adalah negara yang mesti diterima, karena

ijtihadnya ini ijtihadnya para ulama. Oleh karena itu Pancasila final, NKRI juga final, sehingga

kita tidak boleh lagi mempersoalkan hal-hal tersebut, karena ini sudah disepakati dari seluruh

elemen bangsa. Oleh karena itu, di dalam Islam kita menerima demokrasi walaupun

penerimaannya secara terbatas, yang berarti bahwa demokrasi itu tidak ada yang berlawanan

dengan nash. Oleh karena itu para ulama membentuk suatu kaidah yang mengatakan disitu ada

maslahah sepanjang tidak bertentangan dengan nash. Para ulama mengharuskan di dalam

memilih sesuatu yang mashlahah itu adalah yang terbaik (al-Ashlah). Oleh karena itu dikatakan

bahwa tidak mendahulukan sesuatu yang baik daripada yang lebih baik melainkan orang itu jahil

atau bodoh (لا يقدم الأصلخ على الأصلخ فهى جاهل). Memperdebatkan suatu hal untuk menentukan

terdapat kemaslahatan (maslahah) atau tidak, itu penting. Dalam hal mashlahah itu menurut saya

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 37

merupakan hal yang tidak permanen, artinya hari ini mashlahah besok belum tentu, karena ini

sifatnya adalah dinamis, yaitu perlu adanya perubahan-perubahan untuk menjadi yang mashlahah

itu.

Sehingga kalau di dalam Nahdatul Ulama itu ada 2 (dua) paradigma, yaitu menjaga yang

lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik. Ini bermakna bahwa hal untuk

menjaga tradisi dan untuk mentransformasi sesuatu yang lebih baik. Tetapi menurut saya ini

kurang, maka di NU saya tambah satu lagi yaitu harus melakukan inovasi. Jadi menjaga yang

baik, mengambil yang baru yang lebih baik tetapi juga melakukan perbaikan kearah yang lebih

baik yang dilakukan secara continue, terus menerus, dan berkelanjutan ( الأصلخ، ثن الاصلاح إلى ها هى

.(الأصلخ فالأصلخ

Oleh karena itu, menurut saya demokrasi sejalan dengan Islam sepanjang tidak

berlawanan dengan nash. Seperti dalam pengambilan keputusan terbanyak demi kemaslahatan

umat tidak dilarang oleh Islam dan memiliki argumentasi-argumentasi yang kuat. Di dalam Islam

itu juga mengenal sistem di undi. Seperti misalnya untuk memilih pemimpin itu mesti yang

unggul. Ada satu hadis yang mengatakan bahwa siapa yang memilih pemimpin itu adalah

pemimpin yang afdhal. Siapa yang mengangkat seseorang (ista’mala) pada jabatan publik,

padahal ia tau ada orang lain yang lebih afdhal, lebih berhak daripada orang itu (yang

dicalonkan), maka ia dianggap mengkhianati Allah, mengkhianati Rasul, dan mengkhianati

negeri. Sehingga perlu adanya kriteria afdhaliyah, yaitu yang terunggul yang kemudian akan

diambil menjadi pemimpin. Ketika ada calon pemimpin yang keunggulannya sama maka perlu

adanya pendekatan iqrāʻ, yaitu diundi. Jadi kalau nabi mengajak istrinya pergi itu biasanya

diundi. Sehingga demikian di dalam islam, memilih itu melalui berbagai cara, yaitu dari kriteria-

kriteria, atau diundi, atau melalui suara yang terbanyak.

Barang kali itu saja yang dapat saya sampaikan. Dan menurut pandangan saya bagaimana

Islam menghadapi masalah, terutama masalah demokrasi dan masalah sitem pemerintahan itu

merupakan wilayah ijtihad, yaitu wilayah dimana para ulama melakukan pemilihan aturan yang

dilandaskan pada pengkajian terhadap teks-teks agama, dan tidak ada suatu sistem yang baku.

Terima kasih,

wa Allahu aʻlam bisshawab.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

38 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 39

ISLAM, NOMOKRASI, DEMOKRASI, DAN TEOKRASI1

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, MH2

NOMOKRASI ISLAM

Prof. Tahir Azhary, SH, dalam disertasi yang kemudian ditulisnya menjadi buku dengan

judul Nomokrasi Islam, mendalilkan bahwa ide kenegaraan yang di diidealkan dalam Islam

adalah gagasan negara hokum atau nomokrasi. Dengan fasih, bukunya bercerita tentang konsep

nomokrasi yang diidealkan oleh Islam sebagai kunci yang dapat ditawarkan sebagai solusi bagi

kehidupan kenegaraan dalam tradisi Islam itu memang bersifat nomokratis. Namun, tentu saja,

ide nomokrasi itu hanya lah salah satu prinsip yang dianut dalam tradisi Islam. Di samping

nomokrasi, menurut saya, Islam juga menganut paham demokrasi dan bahkan teokrasi dalam

hubungan yang bersifat seimbang.

Memang dapat dimengerti banyak orang yang salah paham seakan Islam sama sekali

menolak ide demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai produk impor dari peradaban barat yang

didasarkan atas paham liberalism dan individualism yang bertentangan dengan prinsip ajaran

Islam. Islam menolak individualism dan liberalism yang mengagungkan pemungutan suara

mayoritas. Islam lebih mengutamaan prinsip musyawarah untuk mufakat. Karena itu, diyakini

oleh banyak kalangan bahwa Islam hanya mengidealkan prinsip nomokrasi, bukan demokrasi

seperti yang secara umum diterima di zaman sekarang. Demokrasi yang diidentikkan dengan

paham liberalism hanya mengutamakan kebebasan individu di atas kepentingan bersama, yang

oleh karena itu dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Namun, sebenarnya, pandangan seperti itu, menurut saya, disebabkan oleh

kesalahpahaman saja. Demokrasi diartikan secara sangat sempit seakan hanya terkait dengan

sistem pengambilan keputusan berdasarkan prinsip „one-man-one-vote‟. Atas pengertian

demikian itu, demokrasi dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam tentang

permusyawaratan dan permufakatan. Konsep musyawarah dalam tradisi Islam, harus lah

dipahami secara lebih mendalam, tidak sekedar bersifat teknis procedural. Prinsip

permusyawaratan itu sebenarnya lebih mengutamakan kualitas substansi keputusan, bukan

prosedur kuantitatif berdasarkan suara mayoritas.

Memang benar, Islam mengajarkan gagasan dan praktik-praktik sistem kekuasaan yang

serupa atau bahkan jauh lebih maju dari ide nomokrasi yang pertama kali berkembang di antara

para filosof Yunani kuno. Adalah Plato yang pertama kali memperkenalkan istilah nomokrasi

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Guru Besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia (MK RI) 2003-2007, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2012-2017.

40 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

(nomocratos‟ atau nomokratien) ini dalam bukunya “Nomoi” (the Laws). Semula, Plato menulis

buku „Republic‟ yang mengidealkan bahwa suatu Negara yang baik seharusnya dipimpin oleh

filosof. Akan tetapi yang ia bayangkan sebagai filosof itu tetaplah seorang raja yang naik tahta

berdasarkan garis keturunan darah. Karena itu, ide Plato itu biasa disebut dengan doktrin raja-

filosof (the doctrine of philosopher‟s king) yang cerdik-cendekia.

Dalam bukunya itu, Plato sama sekali belum membayangkan adanya peran system aturan

hukum yang sangat menentukan dinamika penyelenggaraan kekuasaan negara. Namun demikian,

sesudah Plato diangkat menjadi penasihat Raja Dyonesius yang membawanya bergaul sendiri

dengan kekuasaan sehari-hari, Plato berubah pendirian. Perubahan itu tercermin dalam bukunya

yang selanjutnya yang berjudul “Nomoi”. Di dalam buku ini, Plato sama sekali tidak lagi

menggunakan tesisnya sendiri mengenai kepemimpinan ideal oleh raja-filosof itu. Ia kemudian

berkesimpulan bahwa yang paling utama justru adalah sistem nilai dan norma yang mengatur

dinamikan penyelenggaraan kekuasaan itu. Inilah yang ia namakan sebagai nomokrasi.

Prinsip nomokrasi atau kekuasaan hukum itulah yang di kemudian hari berkembang

menjadi gagasan Negara hukum. Ide ini dalam praktik di Eropah Kontinental yang menganut

tradisi hukum sipil (civil law tradition) dikembangkan dalam gagasan “rechtsstaat”, sedangkan

dalam tradisi negara-negara „common law‟ yang dimotori oleh inggeris menyebutnya dengan

istilah “rule of law”. Gagasan pokok dari kedua konsep negara hukum menurut kedua tradisi ini,

meskipun dirumuskan dalam aspek-aspek yang berbeda, tetapi pada pokoknya berkenaan dengan

ide supremasi hukum dan bahwa yang memimpin kita sehari-hari adalah sistem aturan, bukan

orang atau pribadi tokoh yang menduduki jabatan sebagai pemimpin atau atasan. Bahkan dalam

jargon yang biasa dipakai sehubungan dengan ini berkembang istilah “the rule of law, not of

man”. Yang dianggap pemimpin dalam arti sesungguhnya, bukanlah orang tetapi hukum.

Jauh sebelum pengertian yang demikian berkembang di dunia barat, Islam juga sudah

lebih dulu mengajarkan bahwa yang disebut sebagai imam atau “al-imam”, di samping

mengandung pengertian yang biasa dikenal sehari-hari seperti imam sholat, dan sebagainya, juga

mengandung makna simbolik dalam arti sistem norma atau sistem aturan. Dalam arti yang

sesungguhnya, yang dimaksud sebagai “al-imam” itu bukanlah nabi Muhammad, tetapi Al-Quran

sebagai “al-imam” itu. Itu sebabnya, setiap orang Islam dianjurkan untuk berdo‟a, “Allahuma

arhamna bil-qur‟an, waj‟alhu lana imaaman, wa hudan, wa nuuran, wa rahmah….‟ (Ya Allah,

rahmatilah kami dengan al-Qur‟an, dan jadikanlah al-Qur‟an itu menjadi IMAM kami, petunjuk,

cahaya, dan rahmat bagi kami…). Pengertian yang sama juga terdapat dalam pelbagai do‟a

lainnya atau teks pengakuan, “Rodhidu bi Allahi robba, wabi al-islami diena, wabi Muhammadin

nabiya wa rasula, wabi al-qurani imama” (Aku ridho bahwa Allah lah Tuhanku, dan Islam lah

agamaku, dan Muhammad adalah nabi dan rasul bagiku, dan bahwa al-Qur‟an adalah imamku”.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 41

Islam mengajarkan bahwa ketaatan kita kepada atasan haruslah diukur oleh sejauhmana

atasan kita itu taat dalam menjalankan aturan hukum atau tidak. Atasan harus menjadi teladan

dalam ketaatan kita kepada aturan hukum. Karena itu, ditegaskan dalam al-Qur‟an, “La tho‟ata li

makhluqin fi ma‟syiati al-khaliq” (Tidak ada ketaatan dalam kema‟syiatan kepada sang Khaliq).

Kita wajib tunduk dan taat kepada Rasul, karena beliau selalu tunduk dan taat kepada hukum-

hukum Allah sehingga dapat kita jadikan teladan dalam rangka ketaatan kita sendiri kepada

Allah. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Islam mengajarkan adanya dua pengertian imam atau

pemimpin, yaitu Muhammad dan Al-Quran atau persona dan sistem aturan, atasan dan hukum. Di

antara kedua hal itu, yang secara simbolik lebih diutamakan justru adalah yang kedua, yaitu

sistem aturan, bukan persona. Yang lebih utama adalah aturan hukum. bukan orang per orang

yang menjadi atasan atau pemimpin dalam organisasi negara atau dalam organisasi apapun juga.

Prinsip yang demikian itulah yang dalam tradisi „common-law‟ disebut dengan jargon

“the rule of law, not of man”, pemerintahan oleh hukum, bukan oleh orang per orang. Menurut

A.V. Dicey, dalam prinsip “the rule of law‟ itu, terkandung pengertian adanya supremasi hokum

(supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), dan penyelenggaraan

kekuasaan menurut prosedur hukum (due process of law). Inilah yang biasa kita sebut sebagai

prinsip Negara Hukum yang dalam tradisi „civil law‟ negara-negara Eropah Kontinental,

terutama Jerman dan Belanda disebut dengan istilah “Rechtsstaat” yang biasa dikembangkan

oleh para sarjana seperti Julius Stahl. Dewasa ini, teori-teori mengenai „rule of law‟ dan

„rechtsstaat‟ itu sudah sangat jauh berkembang dari pengertian-pengertian awal yang

diperkenalkan baik oleh Dicey (rule of law) maupun oleh Julius Stahl (rechtsstaat). Akan tetapi,

pada pokoknya, keduanya dan dalam perkembangannya sampai sekarang, kedua istilah itu

mengandung pengertian yang sama yaitu bahwa pimpinan pemerintahan yang sesungguhnya

dalam kenyataan adalah sistem hukum, bukan orang per orang yang duduk atau menduduki

jabatan-jabatan kepemimpinan dalam kekuasaan negara. Pengertian yang demikian sama persis

dengan apa yang dimaksud oleh Islam dengan “al-imam”, yaitu bukan orang, bukan nabi

Muhammad, tetapi sistem nilai, sistem hukum, seperti tercermin dalam al-Qur‟an.

GAGASAN DEMOKRASI

Banyak orang Islam mempersoalkan bahwa Islam tidak menghendaki ide demokrasi yang

bersifat liberal dan mengajarkan prinsip satu orang satu suara. Kesimpulan demikian jelas keliru.

Orang mengeritik ide demokrasi karena kelemahan bawaan yang terdapat dalam prinsip satu

orang satu suara tidak membayangkan bahwa kesimpulan mengenai kelemahan itu, sudah

menjadi pembicaraan semua ahli sejak dulu sampai sekarang. Semua penganjur ide demokrasi

tahu bahwa hal itulah salah satu kelemahan sistem demokrasi. Karena itu, sistem demokrasi

42 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

disadari sebagai sistem yang mempunyai cacad bawaan. Akan tetapi, para ahli pada umumnya

berpendapat bahwa sistem demokrasi dengan segala kelemahannya itu tetaplah merupakan sistem

yang paling dapat diandalkan di zaman sekarang. Karena itu, dalam praktik, sistem demokrasi itu

harus diimbangi oleh prinsip-prinsip lain, yang secara umum diakui perlunya keseimbangan

antara prinsip demokrasi dan negara hukum (democracy and the rule of law). Penerapan prinsip

demokrasi mengandung banyak kelemahan, dan karena itu harus diiringi oleh penerapan prinsip

negara hukum. Sebaliknya, prinsip negara hukum juga banyak mengandung kekurangannya

sehingga harus diimbangi dan diiringi dengan penerapan sistem demokrasi.

Kelemahan demokrasi adalah antara lain terlalu mengutamakan kuantitas suara mayoritas,

bukan kualitas keadilan. Sebaliknya, prinsip negara hukum juga memiliki potensi untuk

disalahgunakan oleh penguasa yang cenderung menggunakan hukum sekedar sebagai alat

kekuasaan belaka. Tanpa demokrasi, hukum hanya berfungsi sebagai alat kekuasaan, sehingga

kekuasaan negara tidak lagi dapat disebut „rule of law‟, tetapi berubah menjadi „rule by law‟,

dimana hukum dimanfaatkan hanya sebagai alat kekuasaan belaka. Karena itu, demokrasi

diperlukan untuk memastikan bahwa hukum yang dimaksudkan untuk mengikat public tidak

dibuat secara sepihak oleh penguasa, melainkan dibuat secara demokratis oleh rakyar sendiri

melalui para wakilnya di parlemen dan penerapannya dalam praktik juga dilakukan secara

transparan dan akuntabel sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Karena itu, mengetahui ada kelemahan dalam sistem demokrasi tidak boleh menyebabkan

kita apriori bahwa Islam pasti tidak menghendaki ide demokrasi. Kesimpulan demikian jelas

sangat keliru, karena dalam perkembangan sejarah dapat dicatat bahwa sebenarnya umat Islam

lah yang pertama kali menerapkan prinsip-prinsip demokrasi itu dalam pengertian modern. Di

zaman Yunani kuno, ide demokrasi itu sendiri belum dianggap sebagai gagasan yang baik. Istilah

demokrasi itu sendiri baru mendapatkan penilaian yang positif, setelah sekian lama dalam sejarah

berkembang praktik-praktik yang dianggap ideal, sehingga di kemudian hari diberi sebutan

demokrasi yang diambil kembali dari istilah yang pernah dipakai di zaman Yunani kuno.

Praktik-praktik yang kemudian berakumulasi menghasilkan pengertian-pengertian baru

yang serba positif tentang ide demokrasi itu justru banyak sekali dapat ditemukan dalam tradisi

Islam di masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Suksesnya sistem penyelenggaraan

kekuasaan di masa kejayaan Islam selama 7 abad (abad ke-6 sampai dengan abad ke-13) tentu

saja menjadi bahan pelajaran di dunia barat sampai beralihnya pusat kekuasaan dan peradaban

umat manusia dari Dunia Islam ke Dunia Barat di Eropah mulai abad ke-14 dan seterusnya.

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan disini, antara lain adalah mengenai sistem

pengambilan keputusan, sistem rekruitmen kepala negara, bentuk organisasi pemerintahan, dan

ide konstitusi tertulis pertama sebagai produk dari kontrak social.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 43

Dalam sejarah, nabi Muhammad dikenal dan diakui, misalnya, oleh Montgomery Watt

dalam bukunya “Muhammad: The Prophet and the Statesman”, bukan saja sebagai nabi dan

rasul, tetapi juga seorang kepala negara/pemerintahan dari sebuah negara dalam pengertian

modern. Sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, Muhammad saw tidak pernah

membuat keputusan kecuali dengan cara dan melalui mekanisme permusyawaratan di antara

sesama para sahabatnya menurut urusan-urusan yang akan diambil keputusan. Kadang-kadang

keputusan diambil dengan cara melibatkan permusyawaratan di antara para sahabat yang ada di

sekelilingnya. Tetapi untuk urusan-urusan yang memerlukan keterlibatan sahabat yang lebih luas,

permusyawaratan dilakukan dengan mengundang para kepala suku atau perwakilan-perwakilan

golongan-golongan untuk mengambil keputusan bersama. Semua urusan selalu

dimusyawarahkan. Inilah yang dimaksudkan dalam al-Quran dengan perintah “Wasyawirhum fi

al-amri” (Dan bermusyawarahlah dalam urusan-urusan mereka), dan “Wa amruhum syuro

bainahum” (Dan dalam urusan-urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka).

Konsep musyawarah itu sendiri juga tidak boleh dipahami seakan hanya bersifat

procedural sebagai mekanisme pengambilan keputusan. Musyawarah itu lebih daripada itu, juga

menyangkut ide tentang „public debate‟, tentang deliberasi, sehingga mencakup pula pengertian

modern tentang “deliberative democracy” yang tidak hanya terkait dengan ide suara mayoritas

seperti dalam “majoritarian democracy”. Yang juga penting dalam proses permusyawaratan itu

adalah mekanisme „take and give‟, iklim curah pendapat (brain-storming) yang lebih berorientasi

mutu keputusan dan substansi keputusan untuk kepentingan bersama. Karena itu,

permusyawaratan jangan direduksi maknanya terkait dengan pengertian musyawarah- muifakat

versus pemungutan suara (voting) yang hanya bersifat prosedural. Metode musyawarah seringkali

disalahartikan seakan dapat didikotomikan dengan metode pemungutan suara mayoritas. Yang

dapat dibandingkan dengan pengertian „voting‟ atau pemungutan suara adalah aklamasi, bukan

musyawarah yang lebih mengandung proses yang lebih luas.

Karena itu, dalam sistem permusyawaratan itu, pertama, dapat dicatat adanya prosedur

untuk sampai kepada suatu keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, yaitu adanya

proses pembahasan bersama. Kedua, dalam proses permusyawaratan itu terkandung pula ide

deliberasi dan perdebatan substantive dengan kemungkinan terjadinya proses member dan

menerima (take and give) antar pengusung ide-ide yang saling berlainan. Di samping itu, ketiga,

para peserta musyawarah itu, yang disebut sebagai sahabat, juga mempunyai fungsi representasi,

yaitu mewakili umat atau rakyat yang tergolong dalam pelbagai kelompok suku dan golongan

penduduk. Hal ini dapat dilkatakan merupakan bentuk-bentuk sederhana dari pengertian modern

tentang sistem perwakilan atau sistem demokrasi perwakilan.

44 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Hal yang sama juga terjadi, ketika nabi Muhammad wafat dan para sahabat dari pelbagai

kelompok dan golongan berkumpul dan kemudian ramai-ramai bersepakat secara aklamasi

memilih Abubakar Siddik menjadi khalifah pengganti yang meneruskan kepemimpinan nabi

Muhammad sebagai kepala negara/pemerintahan. Bahkan, ketika Abubakar Siddik dibai‟at oleh

Umar ibn Khattab, dan kemudian diikuti secara aklamasi oleh para sahabat yang mewakili

pelbagai kelompok dan golongan penduduk Madinah, proses bai‟at itu tidak ubahnya bagaikan

pemilihan presiden secara langsung dalam bentuknya yang paling sederhana, yaitu dengan

pernyataan-pernyataan terbuka. Padahal, di zaman itu,

tidak pernah ada contoh mengenai pergantian kepemimpinan suatu negara tanpa melalui sistem

keturunan darah atau kerajaan.

Sampai zaman nabi Muhammad, belum pernah ada proses pergantian kepemimpinan

seperti yang dipraktikkan oleh umat Islam ketika itu. Negara kaum Muslimin pertama kali

didirikan oleh nabi Muhammad bukan berbekal warisan. Nabi Muhammad lahir sebagai seorang

anak yatim dan piatu. Modalnya hanya kepercayaan masyarakat atau „social trust‟, sehingga ia

dikenal sebagai “al-amin”. Kepercayaan masyarakat atau rakyatnya itulah menyebabkan

Muhammad menjadi pemimpin, sebagai kepala negara/pemerintahan di Madinah. Syarat

keterpercayaan itu jugalah yang menjadi elemen pokok dalam sistem pemilihan umum dalam

sistem demokrasi modern. Dalam bentuknya yang sangat sederhana, nabi Muhammad menjadi

kepala negara atau pemerintahan karena dipilih langsung oleh rakyat karena kepercayaan yang

terbentuk dari bawah dalam waktu lama. Setelah nabi Muhammad wafat, penggantinya

ditentukan bersama melalui proses pemilihan yang bersifat umum dan terbuka. Demikian pula

pergantian kepemimpinan dari Abubakar Siddik ke Umar ibn Khattab, dari Umar ibn Khattab ke

Usman ibn „Affan, dan dari Usman ibn „Affan ke Ali ibn Abi Thalib, serta dari Ali ibn Abi

Thalib ke Mu‟awiyah ibn Abi Sofyan, tidak satupun mempertimbangkan faktor hubungan darah

dengan para pendahulunya seperti di zaman jahiliyah sebelumnya. Mekanisme pergantian

kekuasaan yang demikian itu tidak lain merupakan bentuk pemerintahan republik yang biasa

dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Karena itu, dapat dipahami bahwa sistem khilafah

dalam tradisi Islam itu bukanlah berbentuk kerajaan, tetapi republik, dimana kepala negara atau

kepala pemerintahannya tidak turun temurun.

Sistem kerajaan itu baru kembali lagi muncul setelah wafatnya Mu‟awiyah ibn Abi

Sofyan yang kekuasaannya diteruskan oleh anaknya, dan seterusnya sesudah itu, tradisi zaman

jahiliyah kembali dipraktikkan secara luas dalam sejarah. Padahal, jika saja, prinsip hubungan

darah itulah yang menjadi factor penentu suksesi kekuasaan, niscaya para sahabat akan memilih

Ali ibn Abi Thalib sebagai pengganti nabi Muhammad. Tetapi atas prakarsa Umar ibn Khattab,

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 45

justru Abubakar Siddik lah yang dipilih, sehingga menimbulkan kekecewaan pada sebagian keciil

sahabat yang kemudian memicu perpecahan yang melahirkan golongan yang kemudian dikenal

dalam sejarah sebagai golongan Khawarij yang selanjutnya berperan dalam berkembangnya

aliran tersendiri dalam Islam yang sekarang dikenal dengan mazhab Syi‟ah. Namun, terlepas dari

hal ini, yang jelas, praktik yang diterapkan dalam sistem pergantian kepemimpinan, setidaknya

dalam periode nabi Muhammad dan 4 khalifah pertama, kepala negara/pemerintahan pertama

(termasuk nabi Muhammad) tidak didasarkan pada keturunan, melainkan melalui kepercayaan,

melalui pemilihan, dan melalui pewarisan yang bersifat demokratis.

Hal lain yang juga penting dicatat disini adalah soal Piagam Madinah yang oleh banyak

sarjana dianggap sebagai naskah konstitusi tertulis dalam pengertian modern yang pertama dalam

sejarah. Piagam itu berisi persetujuan bersama seluruh golongan penduduk yang diwakili oleh 13

kepala suku dan golongan masyarakat bersama nabi Muhammad untuk hidup bersama dalam satu

kesatuan masyarakat atau dalam pengertian modern sekarang dapat kita anggap “negara”. Atas

nama seluruh rakyat atau segenap penduduk kota, mereka bersepakat mengenai tugas dan

tanggungjawab masing-masing serta batas-batas hak dan kewajiban masing dalam „negara‟

bersama. Kesepakatan ini mengikat untuk semua golongan penduduk yang tidak boleh dilanggar

berdasarkan hukum kesepakatan. Inilah yang di zaman sekarang dipahami sebagai prinsip-prinsip

konstitusi dan konstitusionalisme modern yang berkaitan erat dengan ide negara hukum. Karena

itu, dapat dikatakan bahwa umat Islam menerima dan bahkan justru merupakan pelopor dalam

penerapan prinsip demokrasi dan ide negara hukum dalam sejarah. Islam sangat akrab dengan

dan bahkan merupakan pelopor bagi berkembangnya ide dan praktik demokrasi dan „rule of law‟

sebagaimana dipahami dan diterapkan di zaman modern sekarang ini.

Tentang istilah demokrasi dan „rule of law‟, tentu saja, kita tidak boleh terpaku mengenai

asal mula bahasa darimana kedua istilah berasal. Orang tidak boleh menolak ide demokrasi itu

semata-mata karena alas an bahwa istilah itu bukan dari bahasa Arab. Istilah demokrasi dan juga

nomokrasi memang berasal dari bahasa Yunani. Demokrasi berasal dari perkataan „demos‟ yang

berarti rakyat, dan „kratien‟ atau „cratos‟ yang berarti kekuasaan. Akan tetapi, menurut para ahli,

di Yunani sendiri di zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles, istilah demokrasi itu sendiri tidak lah

popular. Istilah demokrasi itu malah berkonotasi negative dan tidak disukai. Istilah demokrasi itu

baru dianggap baik jauh di kemudian hari, yaitu setelah umat manusia banyak menemukan

contoh-contoh praktek yang baik yang antara lain dimulai sejak masa kepemimpinan nabi

Muhammad saw. Praktik-praktik yang baik itu terus berkembang dari zaman ke zaman, yang

kemudian dinisbatkan dengan istilah demokrasi yang makin lama makin popular, meski disadari

juga mengandung banyak kelemahan yang senantiasa diperbaiki dari waktu ke waktu.

46 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Sekarang, istilah demokrasi itu sudah diterima umum sebagai gagasan yang ideal di

seluruh dunia. Bahkan, lebih dari 90 persen konstitusi negara-negara di dunia mengklaim

menganut sistem demokrasi, meskipun dalam praktiknya semuanya berbeda-beda, tergantung

ideologi dan sejarah masing-masing negara. Karena itu, tidak perlu ada alas an bagi orang Islam

dimana pun juga untuk menolak istilah demokrasi hanya karena dia berasal dari bahasa Yunani.

Islam justru dapat mengisi makna demokrasi itu sesuai dengan idealitasnya yang sebenarnya

sebagaimana pernah dipraktikkan dalam tradisi Islam sejak zaman nabi Muhammad saw.

Demokrasi di zaman sekarang sudah menjadi bahasa pergaulan umat manusia, sehingga umat

Islam sebagai warga dunia justru harus tampil dengan kepeloporan yang pernah dilakukannya di

masa lalu untuk mengembangkan sistem demokrasi yang benar-benar menjamin kedamaian,

kebahagiaan, dan kemuliaan hidup bersama dalam ruang-ruang kebebasan yang teratur, struktur

kehidupan yang berkeadilan dan kesejahteraan yang merata, sebagai prasyarat untuk terus

meningkatnya kualitas peradaban bangsa di masa depan.

IDE TEOKRASI

Islam sebagai agama tentu selalu dikaitkan dengan persoalan ke-Tuhanan yang apabila

dilihat dalam konteks sistem kekuasaan, berhubungan erat dengan gagasan teokrasi yang berasal

dari perkataan “theo” yang berarti Tuhan, dan “cracy” yang berarti kekuasaan. Ide teokrasi ini,

semula digunakan untuk menggambarkan praktik mengenai sistem kekuasaan raja yang sekaligus

mengklaim dirinya sebagai utusan Tuhan, jelmaan Tuhan, atau jelmaan para dewa yang bersifat

supranatural. Akibatnya luar biasa, semua perkataan raja dianggap identik dengan perkataan

Tuhan yang tidak boleh dibantah. Raja dan keluarga menjadi subjek yang suci yang tidak

mungkin melakukan kesalahan sekecil apapun, “the King can do no wrong”. Hal demikian inilah

yang berkembang di Eropah dan juga di seluruh dunia seperti dengan munculnya konsep „raja-

dewa‟ dalam tradisi Hindu di India, dan raja-pendeta dalam tradisi bangsa-bangsa Eropah yang

apabila diilmiahkan biasa dikaitkan dengan doktrin teokrasi yang berlumur kekejaman dan

penindasan terhadap rakyat.

Dalam sejarah Islam, konsep raja yang tercampur dengan ide tentang perwakilan Tuhan

ini juga berkembang luas. Bahkan, dapat dikatakan bahwa periode republik dalam pengertian

modern yang memperkenalkan sistem peralihan kekuasaan tidak berdasarkan garis keturunan

darah, hanya dipraktikkan sejak masa nabi Muhammad SAW sampai dengan Khalifah Ali ibn

Abi Thalib. Sesudahnya, Mu‟awiyah ibn Abi Sofyan memegang kekuasaan sebagai kepala negara

melalui kudeta, dan seterusnya kekuasaanpara khalifah diwariskan secara turun temurun. Para

khalifah itu mengklaim dirinya tidak saja sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai kepala

agama. Padahal, kedudukan Nabi Muhammad yang digantikan oleh para penerusnya, seperti

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 47

khalifah Abubakar Siddik, khalifah Umar ibn Khattab, khalifah Usman ibn „Affan, dan khalifah

Ali ibn Abi Thalib, termasuk khalifah Mu‟awiyah ibn Abi Sofyan adalah Muhammad dalam

kedudukannya sebagai kepala negara, bukan sebagai nabi dan rasul penerima wahyu dari Allah

SWT. Yang digantikan oleh keempat orang khalifah ini bukanlah kapasitas Muhammad sebagai

penerima wahyu, melainkan kapasitasnya sebagai pemimpin „negara‟.

Namun demikian, sesudah periode khulafa al-rasyidin, empat khalifah pertama itu,

konsep kehilafahan itu mengalami perubahan fundamental. Lama kelamaan, para raja yang

disebut khalifah itudipersepsikan juga sebagai wakil Tuhan di atas muka bumi, sehingga titahnya

identik dengan titah rasul yang menerima wahyu langsung dari Tuhan. Akibatnya, konsep raja-

khalifah ini berkembang tidak ubahnya seperti konsep raja-dewa dalam tradisi Hindu dan raja-

pendeta dalam tradisi Kristiani di Eropah. Karena itu, ketika pengaruh Islam mulai berkembang

dikalangan kerajaan di Jawa, para raja Mataram biasa menyebut dirinya atau dianugerahi gelar

sebagai “Sayyidin Panatagama Khalifatullah ing-Tanah Jawa”, yaitu Penghulu Penata Agama,

Khalifah Tuhan di Tanah Jawa”.Hal ini masih terus berlaku sampai sekarang sebagaimana dapat

diketahui dari gelar di keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta.

Padahal, konsep „khalifatullah‟ itu jelas berbeda sekali dari pengertian khalifah dalam

sistem kekuasaan negara. Konsep khalifatullah itu adalah ide tentang kualitas kemanusiaan setiap

pribadi manusia sebagai wakil Tuhan dalam kehidupan di dunia. Konsep ini justru melahirkan

prinsip persamaan kemanusiaan secara universal. Sebaliknya, sistem kepemimpinan negara

berkaitan dengan ide tentang „khalifatu alrasul”, bukan “khalifatullah”. Setiap pemimpin negara

harus dilihat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Muhammad sebagai kepala negara,

bukan sebagai nabi dan rasul penerima wahyu. Artinya, sistem kepemimpinan politik dalam

tradisi Islam yang benar sebagaimana dipraktikkan di masa nabi Muhammad dan empat khalifah

pertama adalah sistem republic, bukan sistem kerajaan, dan adalah sistem demokrasi dan

nomokrasi, bukan sistem teokrasi sebagaimana tradisi jahiliyah atau pun tradisi yang dipraktikkan

di Eropah sebelum munculnya gerakan sekularisme.

Apakah dengan kesimpulan demikian berarti Islam dapat menerima ide sekularisme

seperti yang dipraktikkan di Russia, di Perancis atau pun di Turki di bawah pengaruh

Attaturkisme? Tentu saja, hal ini juga tidak dapat diterima, karena tradisi politik Islam tidak

memusuhi „agama‟ seperti di Perancis dan di Turki, atau apalagi menganggap masjid dan rumah-

rumah ibadah agama manapun juga sebagai sumber kejahatan terhadap akal sehat manusia seperti

dalam tradisi komunisme. Penerapan ide sekularisme di Russia, Perancis, dan Turki itu dapat

dikatakan bersifat ekstrim. Hal itu saja pun sudah sangat berbeda dari apa yang dipraktikkan di

Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, agama tidak dimusuhi, tetapi dipisahkandandijauhkan

secara lebih„soft‟.Namun, wacana public biasa diisi oleh pandangan yang sebenarnya sama saja

48 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

dengan yang dikumandangkan di Eropah. Namun, meski idenya mirip-mirip saja, tetapi dalam

praktik di Amerika Serikat ternyata muncul perkembangan yang berbeda dari apa yang dialami di

Eropah. Hal inilah yang menyebabkan orang seperti Harvey Cox yang semula menulis buku “The

Secular City” (1976) terpaksa mengubah pendiriannya dengan menulis lagi sebuah buku berjudul

“Religion in the Secular City” (1986).

Pada tahun 1976 ia membuat kesimpulan bahwa di kota-kota Amerika Serikat timbul

gejala bahwa semakin modern kehidupan kota, semakin orang meninggalkan agama dari

kehidupan pribadi masing-masing. Tetapi sepuluh tahun kemudian ia menyadari bahwa apa yang

ia alami atau saksikan dalam buku “The Secular City” itu ternyata tidak lagi menggambarkan

kenyataan yang sebenarnya. Yang terjadi justru adalah gejala spirutialisme baru yang lahir dalam

tekanan hidup kota yang berkembang semakin modern. Kenyataan-kenyataan baru itulah yang

menyebabkan peran agama tidak dapat diabaikan dalam kehidupan masyarakat di ruang-ruang

public dan menyebabkan ide pemisahan agama dan negara secara ekstrim tidak lagi relevan untuk

dikembangkan dalam praktik. Pada pokoknya, kenyataan ini pula lah yang menyebabkan bahwa

gereja di Amerika Serikat relative lebih padat pengunjung atau lebih penuh jamaahnya dimana-

mana, tidak seperti di Eropah yang cenderung kosong dan bahkan banyak yang dijual untuk

dimanfaatkanuntuk keperluan lain. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan pengertian

yang sama sekali berbeda dari ide sekularisme seperti yang dikembangkan di Eropah, tanpa harus

kehilangan kemampuan untuk memisahkan pelbagai urusan secara fungsional atas dasar

kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda.

Karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam konsepsi kita tentang kekhalifahan, tidaklah

sulit untuk memisahkan kapasitas Muhammad sebagai penerima wahyu dari Allah swt dan

kapasitasnya sebagaipemimpin negara. Juga bagi kita tidaklah sulit untuk membedakan dan

bahkan memisahkan antara konsepsi Khalifah Allah sebagai ide tentang persamaan kemanusiaan

dan konsepsi Khalifah Rasul sebagai ide tentang kepemimpinan negara dan pemerintahan. Ulama

sebagai pewaris para nabi dalam sistem negara khilafah yang tidak lain merupakan bentuk

republik itu dapat saja diberi tempat yang penting baik dalam struktur pemerintahan maupun

apalagi dalam dinamika kehidupan masyarakat.Bahkan juga tidak tertutup kemungkinan bagi

para ulama itu untuk terjun ke dunia politik dan kemudian menjadi kepala negara. Namun,

urusan-urusan keagamaan yang khas, sesuai dengan kebutuhannya tentu tidakharus dijadikan

urusan otomatis dari kepala negara, melainkan diserahkan menjadi urusan dan tanggungjawab

otonom para ulama sendiri dengan mengorganisasikan satu lembaga seperti Majelis Ulama

Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 49

Dalam sejarah, paham teokrasi yang kaku dan memonopoli segala tanggungjawab dalam

peri kehidupan kolektif masyarakat, berkembang sangat luas dan dalam waktu yang lama di

Eropah. Dalam perkembangannya, paham teokrasi itu berkembang sangat kaku, dan

menimbulkan kekejaman yang penuh penindasan. Praktik yang demikian itulah yang pada

akhirnya menyebabkan lahirnya paham sekluarisme dan munculnya aliran protestan dalam agama

Kristen yang memisahkan diri dari ortodoksi penganut agama Katolik dalam sejarah.Dalam

pandangan para penganjur ide sekularisme itu, sistem kekuasaan negara harus dirasionalisasikan

dengan cara memisahkan jabatan kepala negara dan kepala gereja yang diharuskan dipegang oleh

orang yang berbeda, sehingga kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi terpisah dari

pengorganisasian gereja.

Dalam perkembangan praktik, tentu saja, perwujudan ide sekularisme itu sendiri

kemudian berkembang secara berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Bentuk yang paling

ekstrim tercermin di lingkungan negara-negara komunis seperti Soviet Russia dan di Perancis

yang dalam penerapan praktiknya sangat berbeda dari pola yang diterapkan di Amerika Serikat.

Di Rusia, terutama di masa komunisme, agama dimusuhi dan bahkan dibasmi. Banyak sekali

gereja orthodox yang dibakar dan dihancurkan. Agama dianggap racun, dan gereja dianggap

sebagai sumber atau sarang kejahatan terhadap akal pikiran manusia.Di lingkungan negara-negara

non-komunis, Perancis juga termasuk yang sangat ekstrim dalam memusuhi agama dan

mencegahnya agar tidak mempengaruhi kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara. Sejak

revolusi Perancis, agama cenderung dimusuhi dan ditabukan dari sistem kekuasaan negara.

Demikian pula di negara Muslim, seperti Turki, sejak Kemal Attaturk, agama juga dimusuhi dan

dijauhkan pengaruhnya dari Negara.

Pendek kata sejak itu, ide tentang teokrasi dianggap „obsolete‟ dan ditinggalkan. Namun

dalam perkembangan di Amerika Serikat muncul variasi yang berbeda dalam pola hubungan

antara negara dan agama. Jika di Eropa Barat Kontinental pola hubungan itu cenderung bersifat

saling bermusuhan(hostile relation). Maka relasi negara dan agama di Amerika Serikat lebih

bersahabat (friendly relation). Para pejabat pemerintahan di Amerika Serikat lebih aktif ke gereja

dan karena itu ”church attendance” di AS tergolong sangat aktif. Jika di Eropa banyak yang

kosong, maka di AS gereja-gereja penuh oleh jamaah. Masalah-masalah etik di sektor public juga

berkembang sangat pesat sehingga upaya-upaya penegakan etika di lingkungan jabatan-jabatan

publik berkembang luas dalam praktik. Dengan demikian, pola relasi antara agama dan Negara

dalam perspektif sekularisme juga berkembang sangat dinamis dari pola komunis yang anti

Tuhan dan anti agama, ke pola Perancis yang memusuhi agama (hostile relation), menjadi pola

Amerika Serikat yang memperlakukan agama dan negara dalam hubungan kemitraan (friendly

relation).

50 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Bagaimana dengan Indonesia? Dapat dikatakan pola hubungan antara agama dan negara

di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 lebih akrab lagi dari sekedar bersahabat.

Hubungan antara negara dan agama di Indonesia adalah bersaudara (brotherly relation). Karena

itu, sila pertama dan utama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan kalimat Alinea

Ketiga Pembukaan UUD 1945 dimulai dengan kata-kata “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha

Kuasa…” yang menggambarkan wawasan kekuasaan bernegara sebagai cermin dari perspektif

tentang Kemahakuasaan Tuhan. Bahkan, dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 sangat banyak

kata dan perkataan yang terkait dengan pengertian tentang Tuhan, Ketuhanan, agama, dan

keagamaan, dan bahkan dengan konsep iman dan taqwa, serta sumpah jabatan yang dimulai

dengan kata “Demi Allah”. Karena itu, saya namakan UUD 1945 sebagai “the most goodly

constitution in the world”. Tidak ada konstitusi negara lain yang menyebut begitu banyak kata

Tuhan dan Agama seperti UUD 1945.

Jika kita membuka kembali lembaran sejarah Islam, terutama pada periode nabi

Muhammad dan empat khalifah pertama, tidak ada salahnya kita mempertimbangkan kembali

pengertian kita tentang konsepsi teokrasi itu secara lebih tepat. Teokrasi dalam pengertian klasik

dan kuno jelas tidak dapat diterima, karena mencampuradukkan antara fungsi kepala negara yang

mewakili kepentingan rakyat dengan khalifah, dengan raja-pendeta, ataupun raja dewa yang

mewakili Tuhan dalam kehidupan bersama dalam negara dan dalam masyarakat. Tetapi, teokrasi

dalam pengertian filsofi tentang kekuasaan tidak ada salahnya untuk dipertimbangkan kembali

pembahasannya di zaman sekarang yang dapat menerima ide teokrasi yang lebih realistis, yaitu

bahwa pada dasarnya kekuasaan yang kita lembagakan dalam organisasi negara berasal dari atau

sekurang-kurangnya tidak boleh mengabaikan keyakinan penduduknya akan adanya Tuhan Yang

Maha Berkuasa di atas semua sistem kekuasaan.

Bagi orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Besar, Yang Maha Berkuasa, tentu

sulit mengembangkan perspektif yang bersifat teosentris (theocentrism) dalam memahami sistem

kekuasaan. Bahwa kekuasaan yang paling tinggi atau kedaulatan yang sebenarnya ada di tangan

Tuhan Yang Maha Kuasa itu. Hanya saja, paham kedaulatan Tuhan (the Sovereignty of God) itu

apabila dijelamakan dalam diri Raja atau dalam konsep Kedaulatan Raja, maka itulah teokrasi

yang ada dan yang dipraktikkan secara salah seperti selama ini dalam sejarah. Karena itu, teokrasi

dalam pengertian modernyang saya henbdak usulkan bukanlah teokrasi yang demikian. Teokrasi

yang saya usulkan adalah teokrasi yang memandangkan kedaulatan sebagai konsep kekuasaan

tertinggi ada pada Tuhan, tetapi penerapannya dalam praktik bernegara tidak dijelmakan atau

diwujudkan dalam kekuasaan raja atau dalam paham kedaulatan raja, melainkan dalam paham

kedaulatan rakyat dan/atau kedaulatan hukum.Karena itu, dalam pandangan Islam, sistem

kekuasaan negara dapat dilihat dalam satu kesatuan sistemik ide Kedaulatan Tuhan (Teokrasi),

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 51

Kedaulatan Rakyat (Demokrasi), dan Kedaulatan Hukum (Nomokrasi) secara sekaligus. Tentu

saja, uraian mendalam mengenai hal ini belum dapat saya ungkapkan disini agar tidak

membebani makalah ini dengan uraian terlalu panjang. Namun, secara ringkas saya ingin

menegaskan pendapat saya bahwa konsep kekuasaan dan sistem politik menurut ajaran Islam dan

dalam tradisi Islam dalam sejarah tidaklah bersifat tunggal. Islam tidak hanya mengajarkan ide-

ide nomokrasi saja, tetapi juga demokrasi, dan teokrasi secara sekaligus, yaitu teokrasi yang

terwujud dalam ide demokrasi atau kedaulatan rakyat, dan hukum-hukum kesepakatan bersama

yang dijadikan rujukan mengikat yang ditaati oleh setiap orang yang taat kepada Tuhan yang

diyakininya.

TENTANG KHALIFAH

Sekarang orang sedang sibuk membicarakan tentang ide khilafah. Hizbuttahrir Tahrir

Indonesia (HTI) yang mengusung dan memperjuangkan ide khilafah ini dibubarkan oleh

Pemerintah berdasarkan Perpu yang dipandang kontroversial. Organisasi HTI dianggap sebagai

organisasi politik yang berusaha mewujudkan impiannya untuk melawan dan mengganti

Pancasila, prinsip Bhinneka-Tunggal-Ika, NKRI, dan UUD 1945. Kalau sekedar berpendapat

(freedom of thought and freedom of expression), tetapi jika pikiran-pikiran bebas itu diwujudkan

dalam bentuk organisasi yang mengajak orang lain, maka diperlukan pengaturan agar tidak

timbul permusuhan di antara sesame warga bangsa. Misalnya, setiap orang boleh saja tidak

percaya pada Tuhan, tetapi jika mengorganisasikan diri dengan mengajak orang lain untuk

bersikap anti Tuhan, tentu tidak boleh. Mendirikan Partai Komunis harus dilarang. Demikian pula

organisasi yang hendak mendirikan Khilafah Islamiyah juga dilarang.

Namun, terlepas dari hal itu, yang menjadi masalah adalah mengapa banyak orang

bermimpi tentang negara khilafah yang dipahami seakan-akan merupakan perintah agama?

Sebabnya adalah kesalahpahaman akan makna khalifah dan sejarah kenegaraan dalam sejarah

Islam serta salah paham pula terhadap konsep-konsep kenegaraan yang tumbuh dan berkembang

dalam sejarah modern, yaitu konsep negara demokrasi dan negara hukum yanh di anggap

bertentangan dengan Islam. Pertama, khilafah, seperti yang sudah diuraikan di atas, sepanjang

menyangkut penyebutannya dalam al-Quran bukanlah mengenai konsepsi kekuasaan negara,

melainkan mengenai konsepsi kemanusiaan universal. Setiap manusia disebut oleh Allah sebagai

“khalifatullah fi al-ardhi”. Hal ini sangat berbeda dan harus dibedakan dari pengertian tentang

“khalifaturrasul” yang berarti sebagai pengganti rasul sebagai kepala pemerintahan negara.

Keduanya tidak boleh dikacaukan seperti pernah dipraktikkan ketika Suthan Hamengkubuwono

dianugerahi gelar sebagai “Khalifatullah ing Tanah Jawa”.

52 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Kedua, kata khilafah itu sendiri sebenarnya hanyalah sekedar istilah, terminologi yang

berasal dari bahasa Arab. Pengertian esensialnya tidak lain bentuk negara, yaitu Negara yang

bukan kerajaan yang tidak lain dapat disebut “republic” seperti yang diimpikan oleh Socrates

yang dituliskan oleh Plato (380 BC) sebagai lawan kata kerajaan yang sudah menjadi kelaziman

di sepanjang sejarah. Sampai masa nabi Muhammad saw (20 April 571 M – 8 Juni 632 M) (12

Rabi‟ul Awwal 571 M – 12 Rabi‟ul Awwal 11 H), dan khulafaurrasyidin, belum pernah ada ide

republic seperti yang diimpikan Socrates dalam kenyataan praktik. Semua praktik pergantian

kekuasaan di sepanjang sejarah selalu bersifat turun temurun atau melalui kudeta. Baru di zaman

nabi Muhammad dan Khulafaurrasyidin, muncul tradisi baru, yaitu terbentuknya negara baru

yang dipimpin oleh seorang anak yatim piatu bernama Muhammad yang mendapatkan “social

support”, “social trust”, dan dipercaya sebagai “al-amin” untuk menjadi pemimpin. Kemudian,

setelah ia wafat, para sahabat yang mewakili warga masyarakat kota Madinah memilih untuk

membai‟at Abubakar Siddik sebagai penggantinya, yang kemudian disebut sebagai

“Khalifaturrasul” atau pengganti Rasul sebagai kepala Negara. Abubakar Siddik memerintah

selama 2 tahun, dan di ujung hajatnya, dalam keadaan sakit memberikan wasiat kepada para

sahabat agar kelak Umar bin Khottob diterima menjadi penerus atau penggantinya sebagai

Khalifah. Sesudah Umar ibn Khottob memerintah selama 10 tahun, ia ditikam seorang budak

Persia, tetapi menjelang ajalnya masih sempat mengangkat 6 orang ahlul halli wal‟aqdhi atau tim

musyawarah yang akan menentukan siapa yang akan menjadi khalifah penerus, yang akhirnya

terpilihlah Usman bin Affan yang memimpin selama 12 tahun. Namun, masa Usman bin Affan

berakhir dengan pemberontakan. Ia terbunuh dan kemudian, para sahabat memilih Ali bin Abi

Thalib sebagai penggantinya. Ali memerintah selama 6 tahun. Iapun dikudeta dan dibunuh oleh

kelompok Mu‟awiyah bin Abi Sofyan yang berkolaborasi dengan kelompok yang berkhianat

kepada Ali bin Abi Thalib. Sesudah Mu‟awiyah bin Abi Sofyan memerintah selama 19 tahun,

pemerintahan khilafah praktis berubah menjadi kerajaan dan dinasti politik sampai munculnya era

“national state” di zaman modern.

Dengan demikian, ketiga, dalam sejarah awal pemerintahan menurut tradisi Islam,

memang belum ada sistem pengaturan kekuasaan yang bersifat baku. Namun, sejarah peradaban

Islam itu dapat dilihat juga sebagai referensi mengenai hukum-hukum Allah yang tercermin

dalam pengertian tentang sunnatullah. Misalnya, tentang sistem pergantian kekuasaan, tentang

bentuk dan susunan organisasi pemerintahan, dan lain-lain sebagainya. Dari praktik-praktik yang

tumbuh dalam dinamika sejarah, kita dapat menafsirkan adalah konsepsi tentang republik

(jumhuriyah) versus kerajaan dalam praktik, mengenai bentuk susunan organisasi berdasarkan

cirri-ciri kebangsaan, konsepsi-konsepsi politik kenegaraan berdasarkan mazhab-mazhab

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 53

pemikiran, seperti Sunni dan Syi‟ah yang memerlukan wadah dan perspektif pemikiran yang

berbeda tentang kekuasaan negara. Saya sendiri mengidealkan konsepsi republic seperti yang

dipraktikkan di era khulafaurrasyidin. Tetapi sejak Mu‟awiyah bin Abi Sofyan, bentuk

pemerintahan yang dipraktikkan dalam sejarah Islam adalah kerajaan yang justru tidak

mencerminkan sunnah Rasul yang sebenarnya. Jika Rasul menghendaki sistem kerajaan, maka

niscaya para sahabat nabi sudah mengikuti jalan pikiran sekelompok minoritas sahabat yang

menghendaki Ali bin Abi Thalib lah yang menjadi khalifah pengganti Rasul, dan bukan

Abubakar Siddik yang dipilih menjadi khalifah.

Keempat, dalam sejarah kekhalifahan sendiri, sesudah wilayahj kekuasaanya terus

berkembang menjadi sangat luas, timbul pula gejala perpecahan dimana-mana yang

menyebabkan munculnya pelbagai dinasti yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Misalnya, di

Mesir, di Irak, di Persia (Iran), di Turki, di Afrika Utara, dan bahkan di Asia Selatan (India)

muncul dinasti-dinasti politik yang tersendiri di samping kekuasaan pemerintahan yang dianggap

sebagai pusat kekhalifahan. Bersamaan dengan itu, di Eropa sendiri muncul pula gelombang

perpecahan banyak kerjaan-kerjaan besar yang memunculkan banyak kerjaan-kerjaan kecil.

Kemunculan banyak negara-negara baru ini berkembang seiring dengan berkembangnya

semangat etno nasionalisme dimana-mana, sehingga berkembang konsepsi yang dikenal sebagai

“nation state” atau Negara bangsa yang juga harus dipahami sebagai gejala sunnatullah sebagai

akibat besarnya jangkauan wilayah kekuasaan yang harus dikelola untuk kepentingan umum.

Karena itu, konsep kekhilafahan dalam pengertian “global government” juga mengalami

perubahan yang sangat drastis, mengikuti kehendak zaman sesuai dengan prinsip sunnatullah.

Sekarang, jikapun ada orang yang ingin mengimpikan suatu negara dengan pemerintahan yang

efektif secara global, maka pemikiran demikian hanya mungkin dipahami dalam perspektif

fungsional, bukan structural.

Jika suatu negara, berhasil membangun kekuasaannya yang dominan di bidang politik,

ekonomi, dan mileter di seluruh dunia, seperti misalnya Amerika Serikat, maka Negara ini dapat

saja dipandang sebagai penguasa global secara fungsional. Negara seperti inilah yang mungkin

diimpikan oleh pengusung ide khilafah di zaman sekarang. Kalau begitu, jadikanlah Republik

Indonesia ini berhasil sebagai negara dominan dan hegemonik di seluruh dunia, di semua bidang

kehidupan, maka jadilah Republik Indonesia secara fungsional sebagai negara “Khilafah

Pancasila” seperti yang diinginkan. Tetapi, negara Indonesia yang demikian tidak dapat

diformalkan secara resmi sebagai negara global yang akan menjadikan secara sepihak semua

negara lain menjadi jajahan Indonesia atau menjadi negara bagian atau provinsi-provinsi jajahan

Indonesia. Karena dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945 sudah ditegaskan “Bahwa

sesungguhnya, kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di

54 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Sebaliknya, jika yang dikehendaki adalah negara global khilafah Islamiyah itu akan menjadikan

Indonesia sebagai salah satu saja dari provinsi atau negara bagian dalam kekhilafahan yang

berpusat di tempat lain, maka artinya, impian yang demikian hendak menjadikan NKRI menjadi

bagian dari negara orang lain. Kedua cara pandang demikian jelas salah dan bertentangan dengan

kesepakatan tertinggi sebagai bangsa yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Karena itu,

pembubaran HTI dengan impian tentang kekhilfahan itu dapat dibenarkan.

KONSEP KEKUASAAN TERTINGGI DALAM UUD 1945

UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam kegiatan penyelenggaraan kekuasaan

negara juga memuat ketentuan-ketentuan yang menggambarkan atau mencerminkan pandangan

umum bangsa Indonesia tentang kekuasaan yang dianggap tertinggi yang biasa disebut dengan

istilah kedaulatan. Menurut pendapat saya, ketiga ide tentang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan

tersebut di atas dapat dibuktikan ternyata juga terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Perhatikan lah bagaimana pembukaan dan pasal-pasal UUD

1945 dengan sengaja membedakan antara perkataan “Tuhan Yang Maha Kuasa” dan perkataan

“Tuhan Yang Maha Esa”.Pada Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 digunakan perkataan

“Ketuhanan Yang Maha Esa....”, yang dipertegas lagi dalam rumusan Pasal 29 ayat (1) yang

menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini sangat berbeda dari

rumusan Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Atas berkat rahmat Allah

Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan

kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Baik rumusan Alinea Keempat Pembukaan maupun rumusan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945

sama-sama menegaskan tentang prinsip dasar, yaitu salah satu prinsip yang merupakan sila

pertama dan utama dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Akan tetaspi, dalam rumusan

Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945, jelas terkandung pemahaman konseptual mengenai sistem

kekuasaan itu sendiri filosofi bernegara. Disini jelas diakui bahwa dorongan keinginan luhur

seluruh rakyat Indonesia untuk bebas dan merdeka diiringi oleh keyakinan bahwa usaha

perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia itu diberkati oleh rahmat Allah, Tuhan Yang Maha

Kuasa di atas segala kekuasaan. Artinya, konsepsi dan konstruksi UUD 1945 yang dirumuskan

sebagai konstitusi negara, sebagai sumber hukum tertinggi dalam kegiatan penyelenggaraan

kekuasaan negara, mengakui adanya prinsip Kedaulatan Tuhan di dalamnya.

Para perumus UUD 1945 menegaskan bahwa sistem kekuasaan negara Republik

Indonesia menganut ajaran Kedaulatan Rakyat dan ajaran Kedaluatan Hukum. Prinsip kedaulatan

rakyat yang tidak lain adalah konsep demokrasi dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2)

yang menentukan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 55

Undang Dasar”. Inilah yang biasa dinamakan prinsip “constitutional democracy” dalam pelbagai

literature hukum dan politik. Sedangkan prinsip kedaulatan hukum yang tidak lain merupakan

konsep nomokrasi atau negara hukum ditegaskan dalam rumusan Pasal 1 ayat (3) yang

menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Kedua ide tentang kedaulatan atau

kekuasaan tertinggi itu tidak boleh dibaca terpisah dari rumusan kalimat pada Alinea Ketiga

Pembukaan UUD 1945 yang mengakui adanya prinsip Kedaulatan Tuhan atau Ke-Maha-Kuasaan

Tuhan yang tidak lain sebenarnya adalah konsep teokrasi dalam pengertian baru atau teokrasi

dalam pengertian modern sebagaimana yang sudah saya uraikan di atas.

Dengan perkataan lain, konstitusi negara Indonesia dapat dikatakan menganut ketiga

ajaran Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, dan Kedaulatan Hukum itu sekaligus. Indonesia

adalah negara demokrasi, negara hukum, dan juga negara yang mengakui ke-Maha-Kuasaan

Tuhan Yang Maha Esa. Memang tidak mudah mengubah citra negatif istilah teokrasi dalam

persepsi public dan bahkan dalam persepsi umat manusia secara universal, akan tetapi untuk

kepentingan ilmiah kita harus mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, negara

nomokrasi, dan negara teokrasi dalam pengertian modern secara sekaligus.

56 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

BAB IV

ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM

PERSPEKTIF TEOLOGI POLITIK SEBAGAI

MODEL DEMOKRASI BERKETUHANAN

YANG MAHA ESA.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 57

Bagian Satu

NEGARA PANCASILA, NEGARA PERJANJIAN & KESAKSIAN

(DARUL AHDI WAS SYAHADAH)1

Oleh: Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, MA2

Bismillahirrahmanirrahim

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia terjadi pada Jum’at, 17 Agustus 1945 bertepatan

dengan 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Peristiwa ini mungkin dapat menggambarkan suasana

kebatinan bangsa, khususnya umat Islam, yang sedang khusyuk menunaikan ibadah puasa,

sementara mereka harus berjuang menegakkan kemerdekaan.Hal ini analog dengan suasana

kebatinan Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya kala Perang Badar yang juga

berlangsung pada bulan suci Ramadhan. Kedua peristiwa itu adalah bentuk nyata pemaduan

antara al-jihad al-asgar (jihad kecil atau perang) dan al-jihad al-akbar (jihad besar yaitu menahan

hawa nafsu melalui puasa).

Koinsidensi sejarah kemerdekaan tadi menunjukkan bahwa pada penghayatan para pendiri

bangsa (the founding fathers) tidak ada batas antara wawasan kebangsaan dan wawasan

keagamaan. Keduanya menyatu dan terpadu secara selaras dan serasi dengan cita- cita bersama

tentang Indonesia masa depan. Bagi mereka, perjuangan memerdekakan bangsa dan negara

adalah kewajiban keagamaan, dan bahwa Indonesia merdeka adalah cita-cita bangsa sekaligus

cita-cita agama.

Pembentukan Negara Indonesia bertumpu pada dua konsensus bangsa, yaitu Cita-cita

Bangsa dan Ideologi Negara. Keduanya termaktub jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Yang

pertama terumuskan sebagai “Trilogi Cita-cita Nasional”, yaitu terwujudnya (1) Negara

Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Perikehidupan kebangsaan

yang bebas; dan (3) Pemerintahan Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan

seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang kedua terumuskan

dalam lima butir falsafah dan ideologi negara yang memadukan nilai-nilai ketuhanan dan

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. Naskah serupa pernah disampaikan sebagai Pidato Kebangsaan

Ketua Umum PP Muhammadiyah17 Agustus 2011. 2 Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat

Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016.

58 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

kemanusiaan (humanisme religius), yang mengejawantah dalam pola hubungan antar rakyat

warga negara yang bersatu dalam orientasi permusyawaratan untuk keadilan dan kemakmuran.

Kedua konsensus bangsa tersebut, yaitu cita-cita nasional dan Ideologi Negara Pancasila,

adalah perjanjian luhur yang mengikat setiap dan segenap warga bangsa, acuan nilai dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara, dan faktor penentu serta pengendali arah kehidupan bangsa

menuju masa depan. Perjalanan bangsa akan sangat ditentukan oleh komitmen dan konsistensi

bangsa dalam mengimplementasikan nilai-nilai perjanjian luhur itu. Setiap deviasi dan distorsi

terhadap konsensus bangsa ini akan mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.

Dalam konteks ini penguatan negara bangsa dan watak bangsa, atau apa yang disebut Bung

Karno sebagai Nation and Character Building, perlu tetap menjadi narasi dan agenda besar

bangsa terutama di tengah gejala merosotnya watak bangsa dewasa ini. Menghadapi dinamika

global baru ini diperlukan selain mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) terhadap

dampak negatif globalisasi, juga strategi peradaban yang relevan dan kontekstual dengan watak

kompetitif dari era baru. Penguatan negara bangsa dan watak bangsa perlu dilakukan bersamaan

dengan revitalisasi dan kontekstualisasi modal sosial dan budaya (social and cultural capital)

bangsa.

Implementasi agenda besar tersebut meniscayakan penunaian kewajiban dan tanggung jawab

setiap dan segenap stakeholders bangsa. Sesungguhnya tidak ada satu elemen yang boleh

berpretensi mengatasi masalah bangsa sendirian, tanpa melibatkan elemen-elemen lain. Umat

Islam, sebagai bagian terbesar bangsa, memang wajar dituntut untuk dapat menunjukkan

tanggung jawab terbesar pula. Untuk dapat mengemban tanggung jawab demikian, diperlukan

persepsi progresif-konstruktif terhadap negara, dan pendekatan partisipatif, loyal, serta kritis

terhadap pemerintahan negara.

Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila merupakan kristalisasi

cita-cita kolektif bangsa Indonesia yang majemuk. Cita-cita kolektif tersebut adalah hasil dari

perjalanan panjang bangsa dalam lintasan sejarah, sejak zaman kerajaan Majapahit dan

Sriwijaya, zaman kesultanan-kesultanan Islam, zaman penjajahan Belanda, hingga zaman

perjuangan kebangsaan menegakkan kemerdekaan. Pembentukan NKRI adalah pilihan sadar

segenap warga bangsa untuk mewujudkan masa depan bersama. Negara, seperti kata Hegel,

adalah wujud persinggungan antara kebebasan subyektif (subjective liberty) dan kebebasan

objektif (objective liberty) seluruh elemen dan komponen bangsa. Maka pembentukan NKRI

berdasarkan Pancasila adalah titik temu pandangan (meeting of mind) seluruh elemen dan

komponen itu.

Pemilihan negara kesatuan dimaksudkan sebagai sarana mempersatukan wilayah Nusantara

yang terdiri dari ribuan pulau yang berjejer dari Sabang sampai Merauke, dan penetapan

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 59

Pancasila sebagai dasar negara adalah wahana mempertemukan kemajemukan nilai dan tradisi

dari agama, suku, bahasa, dan budaya yang berbeda.

Adalah tidak mudah bagi bangsa besar dan majemuk untuk sampai pada konsensus tentang

landasan bersama (common platform) semacam ini. Hal ini dapat terjadi hanyalah karena

kelapangan dada dan tenggang rasa yang besar, serta kebersamaan dan wawasan kenegarawanan

yang luas di kalangan para pendiri bangsa Indonesia.

Sebuah bangsa besar dan majemuk seperti Indonesia memang rentan terhadap perpecahan.

Walaupun kemajemukan dapat dipandang sebagai kekuatan, tapi kemajemukan mengandung

kelemahan. Hal ini terjadi jika unsur-unsurnya menampilkan egoisme, eksklusifisme, dan

absolutisme. Kemajemukan memiliki tendensi disintegratif kalau tidak dapat dilola secara baik

dan ketiga orientasi tersebut tidak dapat dikendalikan. Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan

bahwa kemajemukan tidak dapat dipandang secara taken for granted akan selalu terpelihara,

karena konflik kepentingan mencuat sementara semen perekat tidak cukup kuat. Maka

kemajemukan meniscayakan adanya landasan bersama (common platform) dan “acuan bersama”

(common denominator).

Pancasila adalah common platform dan common denominator bagi bangsa Indonesia. Meminjam

bahasa al-Qur’an, Pancasila dapat juga dipandang sebagai kalimatun sawa’ atau “kata tunggal

pemersatu” bangsa Indonesia yang majemuk. Dalam hal ini, Pancasila lebih dari sekedar

“pernyataan politik” (political statement), tapi juga “pernyataan ideologis” (ideological

statement). Sebagai “pernyataan politik” Pancasila memang mempersatukan berbagai

kepentingan dan aliran politik yang ada. Berbagai aliran politik di kalangan bangsa, baik atas

dasar keagamaan, maupun kebangsaan, seyogyanya tidak dipertentangkan dengan Pancasila, tapi

aliran-aliran politik itu hanyalah titik tolak dan warna perjuangan kelompok-kelompok politik

yang diselenggarakan dalam kerangka Pancasila dan visi negara Pancasila.

Sebagai “pernyataan ideologis” Pancasila adalah rendevous nilai-nilai yang terdapat dalam

banyak kelompok masyarakat, baik agama maupun adat. Masing-masing kelompok agama

memiliki nilai-nilai yang berbeda satu dari yang lain, khsususnya pada dimensi teologis, tetapi

agama-agama bisa bertemu pada dimensi etik, yaitu dengan mengajukan nilai-nilai etika dan

moral yang bersifat universal. Pluralisme keagamaan tidak berarti harus menyamakan agama-

agama. Dalam hal ini perbedaan tidak perlu disama-samakan, dan persamaan tidak harus dibeda-

bedakan. Pancasila merupakan wadah akomodasi nilai-nilai etika yang sama dari berbagai agama

untuk kepentingan hidup berbangsa dan bernegara.

Penetapan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara memang tidaklah mulus. Pada mulanya

(Mei 1945) para pendiri bangsa yang diwakili sembilan tokoh dari berbagai golongan telah

menyepakati Piagam Jakarta yang memuat Pancasila dengan sila pertama berbunyi “Ketuhanan

60 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun, karena ada keberatan

dari sementara kelompok terhadap tambahan tujuh kata di balik kata ketuhanan tersebut dengan

ancaman keluar dari negara baru merdeka, maka pada Sidang PPKI (Agustus 1945) atas usul Ki

Bagus Hadikusumo, Ketua Hoof Bestur Muhammadiyah waktu itu, diubah menjadi Ketuhanan

Yang Maha Esa seperti pada Pancasila sekarang. Proses pemilihan dan penetapan Pancasila

sebagai dasar negara menunjukkan dialog akomodatif tinimbang dialektika konfrontatif. Memang

proses tersebut mengesankan adanya dialektika pemikiran yang mempertentangkan Pancasila

dengan agama (Islam), terutama antara rumusan Piagam Jakarta dan rumusan UUD 1945.

Namun, kearifan dan kenegarawanan para tokoh pendiri bangsa telah mengubah interaksi

dialektik tadi menjadi interaksi dialogis.

Dengan penerimaan Pancasila pada 18 Agustus 1945 sebagai falsafah dan dasar bagi negara baru,

Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka wilayah ini menjadi wilayah perjanjian, dan

NKRI adalah Negara Perjanjian (Abode of Concensus atau Dar al- ‘Ahd; ucapan Indonesia:

Darul Ahdi). Negara Perjanjian atau Darul Ahdi adalah negara yang ditegakkan dan dibangun

atas dasar perjanjian atau kesepakatan di antara segenap rakyat warga negara. Karena

berhubungan dengan kehidupan bernegara, maka perjanjian ini bersifat politis. Tetapi

karena dilakukan oleh orang-orang yang beragama, maka perjanjian itu tentu bersifat keagamaan.

Kesepakatan dan perjanjian yang dilakukan oleh para tokoh bangsa yang mewakili segenap

golongan, dan terjadi pada bulan suci Ramadhan itu, tidak berlebihan untuk dikatakan sebagai

perjanjian suci atau mengandung dimensi sakral. Para tokoh Islam yang mewakili berbagai

kelompok Islam pada Sidang PPKI waktu itu tentu tidak berbasa basi menyepakati NKRI

berdasarkan Pancasila. Mereka adalah tokoh umat yang berkualitas dan berintegritas. Kerelaan

mereka menghilang tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”

dan bahkan mengusulkan perubahan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah manifestasi

kenegarawanan dan kesadaran bahwa sila pertama dan Pancasila secara keseluruhan adalah tidak

bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan bahkan bersifat Islami.

Pada tingkat ini, pandangan mereka itu adalah sebuah ijtihad politik yang dapat

dipertanggungjawabkan. Memang dalam literatur pemikiran politik Islam klasik tidak

ditemukan istilah Darul Ahdi. Yang banyak menjadi isu dan diskursus ulama politik klasik adalah

Darul Islam (kawasan atau negara Islam) atau Darus Silmi (kawasan damai) yang sering

dipertentangkan dengan Darul Kufri (kawasan atau negara Kufur) atau Darl Harbi (kawasan

atau negara perang).

Darul Islam adalah suatu negara atau kawasan yang menerapkan hukum-hukum Islam, walaupun

sebagian penduduknya non Muslim. Imam al- Syarakhsyi, umpamanya, mendefiniskan

Darul Islam sebagai teritorial yang dikuasai kaum Muslimin, salah satu cirinya adalah

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 61

pemerintahan dipegang sepenuhnya oleh orang-orang Muslim. Sedangkan Darul Harb adalah

wilayah yang tidak dikuasai oleh kaum Muslimin, bahkan di wilayah itu mereka diperangi, maka

kaum Muslimin juga harus melawan berperang.

Kedua konsep ini, khususnya Darul Islam (Negara Islam) dan Darul Kufri (Negara Kufur)

acapkali ditransfer oleh sebagian aktifis Muslim untuk diterapkan di negeri Muslim moderen,

seperti Indonesia. Penerapan konsep ini membawa konsekwensi logis bahwa Indonesia,

umpamanya, adalah Darul Kufri atau Darul Harbi yang perlu diubah menjadi Darul Islam. Pikiran

dan tindakan seperti ini tentu merupakan ancaman bahkan dapat dikategorikan sebagai makar

terhadap Negara Pancasila. Di alam demokrasi dan dari perspektif demokrasi, adanya pikiran

atau aspirasi apapun dan oleh kelompok manapun adalah absah, selama diartikulasikan

melalui prosedur dan mekanisme konstitusional, dan tidak didesakkan dengan kekerasan dan

melalui cara inkonstitusional. Pendekatan demikian tentu merupakan pengkhianatan terhadap

perjanjian atau kesepakatan.

Kesepakatan untuk menerima Negara Pancasila tentu mengikat setiap dan segenap rakyat warga

negara, dari generasi ke generasi dalam gerak melintasi zaman. Bagi umat Islam, komitmen

terhadap Negara Pancasila dapat dijadikan sebagai sikap keagamaan, yaitu menepati dan

memelihara janji dan amanat. Sikap ini perlu mengejawantah dalam sikap batin yang

berdwifungsi, yaitu menjadi Muslim dan orang Indonesia sekaligus. Dwifungsi ini sejalan

dengan misi kekhalifahan manusia sebagai “wakil Tuhan di bumi” (khalifatullah fil ardh) yang

dijelmakan pertama sekali sebagai khalifatullah fi Indonesia, atau “wakil Tuhan di Indonesia”.

Memperlakukan Negara Perjanjian secara sejati dapat dikembangkan dalam sikap bahwa

konsensus itu tidak hanya merupakan janji atau ahd, tapi juga mitsaqan ghalizhan, secara

harfiah mengandung arti “janji berat”. Tetapi istilah ini dapat dipahami lebih luas, mitsaq = janji,

komitmen, atau kepercayaan/trust, dan ghalizh = berat, mulia, dan agung.

Sebagai Negara Perjanjian atau Darul Ahdi, Negara Pancasila adalah bentuk final dan ideal bagi

bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan dukungan motto “Bhineka Tunggal Ika”, bangsa

Indonesia dapat mempertahankan kemajemukannya dalam keutuhan. Permasalahan Indonesia

selama ini terletak pada ketakmampuan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan

bangsa, dan kegagalan negara dalam merasukkan nilai-nilai Pancasila ke dalam sistem dan

budaya bernegara (corporate culture). Masih terdapat paradoks pengamalan Pancasila dalam

berbagai aspek kehidupan bangsa, seperti kecenderungan akomodasi nilai-nilai lain dalam praksis

sosial, ekonomi, dan politik. Terjadi anomali dalam aktualisasi Pancasila oleh negara dan

pelaku non-negara, dan sering terjadi konfrontasi Pancasila dengan agama, baik oleh umat

beragama maupun negara itu sendiri. Hal-hal demikian merupakan kontraproduktifitas dalam

62 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

penegakan Negara Perjanjian, dan dapat menjadi faktor penyebab mengendurnya derajat

penghayatan rakyat warga negara terhadap janji mereka.

NKRI, selain sebagai Negara Perjanjian atau Darul Ahdi, juga merupakan Negara Kesaksian atau

Darus Syahadah. Syahadah, dalam Bahasa Arab, mengandung arti kesaksian, tapi juga bisa

berarti pembuktian. Darus Syahadah adalah negara di mana warga negara atau kelompok warga

negara berlomba-lomba memberikan kesaksian atau pembuktian kepada warga atau kelompok

warga negara lain tentang kerja dan kinerja mereka dalam merealisasi cita-cita bersama

membangun negara. Pada Negara Perjanjian setiap warga negara terikat dan terkait dengan

cita-cita bersama yang telah disepakati, maka setiap warga negara memiliki hak dan tanggung

jawab yang sama terhadap negara. Pada Negara Kesaksian, setiap warga negara atau kelompok

warga negara memiliki peluang yang sama untuk berperan serta membangun negara, dan hasil

yang mereka peroleh sangat tergantung kepada seberapa besar peran yang telah mereka lakukan.

NKRI sebagai Negara Kesaksian merupakan kawasan pengabdian, pengorbanan, dan

perlombaan. Di Negara Kesaksian kelompok- kelompok warga negara dituntut untuk

memberikan pengabdian mereka bagi negara, sebagai manifestasi komitmen mereka terhadap

cita-cita bersama. Pengabdian warga negara mengejawantah antara lain dalam sikap dan

perilaku taat terhadap ketentuan-ketentuan negara, seperti taat asas, taat konstitusi, dan taat

hukum. Di Negara Kesaksian, kelompok-kelompok warga negara dituntut untuk memberi

pengorbanan kepada negara, seperti pada kesiapsediaan mengorbankan diri untuk membela

negara, atau mengorbankan kepentingan kelompok demi kepentingan negara. Di Negara

Kesaksian, kelompok-kelompok warga negara juga dituntut untuk berlomba-lomba menampilkan

prestasi dan keunggulan kerja serta kinerja dalam memajukan negara.

Di Negara Kesaksian diterapkan prinsip meritokrasi dan penganugerahan proporsional terhadap

peran kelompok-kelompok warga negara. Masing-masing mendapatkan hasil sesuai dengan apa

yang mereka kerjakan. Tentu negara harus berlaku adil terhadap semua kelompok tanpa

ada yang dianakemaskan. Keberpihakan negara dapat dibenarkan kepada kelompok lemah agar

mereka dapat berada setara dengan kelompok-kelompok lain.

NKRI sebagai Negara Kesaksian adalah kawasan dinamis penuh persaingan sehat. Maka setiap

kelompok di Negara Kesaksian harus siap bersaing dan bertanding dengan kelompok-kelompok

lain untuk merebut kemajuan dan keunggulan. Persaingan berlangsung atas etika sportifitas, siap

menerima kemenangan dan kekalahan. Persaingan juga harus berlangsung dengan menjunjung

tinggi nilai kejujuran, bukan menang dengan menghalalkan segala cara.

Menjadikan NKRI sebagai Negara Kesaksian harus mendorong umat Islam untuk merealisasikan

watak Islam sebagai dinus syahadah atau agama kesaksian dan pembuktian. Seperti perintah al-

Qur’an (QS 2:143) “jadilah kamu semua saksi-saksi bagi semua manusia”, maka umat Islam

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 63

perlu menerapkannya dengan menjadi saksi-saksi bagi Indonesia, yaitu untuk menampilkan diri

sebagai kelompok mayoritas kualitatif selain kuantitatif. Menampilkan budaya kompetitif

kualitatif umat Islam akan lebih mengedepankan orientasi “berjuang menghadapi” (struggle for)

dari pada “berjuang melawan” (struggle against); orientasi pertama mengandalkan otak,

sedangkan orientasi kedua cenderung mengandalkan otot. “Berjuang menghadapi” mendorong

kepada menyelesaikan masalah (problem solver), sedangkan “berjuang melawan” membawa

kepada menciptakan masalah (part of the problem, bahkan problem maker).

Dalam konteks globalisasi yang meniscayakan kualitas, persaingan, dan daya saing, menjadikan

NKRI sebagai Negara Kesaksian mengandung pesan agar bangsa Indonesia siap bersaing

dan bertanding dalam berbagai aspek peradaban. Daya juang yang menjadi salah satu modal

sosial (social capital) bangsa perlu ditransfromasikan menjadi daya saing. Dinamika global yang

ditandai oleh perubahan geopolitik, geoekonomi, dan geobudaya, terutama fenomena The Rise of

China and India, dan perubahan pusat gravitas ekonomi dunia ke kawasan Asia Timur perlu

diantisipasi sebagai tantangan dan peluang sekaligus.

Menghadapi persaingan peradaban tinggi dengan bangsa-bangsa lain dewasa ini diperlukan

revitalisasi dan rekonstruksi mentalitas bangsa ke arah pembentukan manusia Indonesia yang

berkarakter kuat. Manusia berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental seperti kejujuran,

ketulusan, keberanian, kemandirian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip. Bangsa

Indonesia secara relatif memiliki nilai-nilai keutamaan yang mengkristal menjadi modal

sosial dan budaya penting.

Di antara nilai-nilai itu adalah daya juang, tahan menderita, mengutamakan harmoni, dan gotong

royong. Nilai-nilai keutamaan tersebut masih relevan, namun memerlukan penyesuaian dan

pengembangan sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman. Tantangan globalisasi yang

meniscayakan orientasi kepada kualitas, persaingan, dan daya saing menuntut bangsa Indonesia

memiliki karakter yang bersifat kompetitif, dinamis, berkemajuan, dan berkeunggulan.

64 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 65

Bagian Dua

VIABLE ISLAMIC STATE IN THE MODERN ERA1

Oleh: Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, MA2

Bismillahirrahmanirrahim

Introduction

The Muslim World, in the last a few decades, has been facing a problem of how to respond to the

stream of democratization that is sweeping many parts of the globe. The thesis that democracy is

the best and even final form of human governance, which is believed by many in the West, has

influenced Muslims and many Muslim countries, and has created both pros and cons groups.

Arab Spring that hit the Middle East and North Africa region in the last two years, for instance,

may well be perceived as a political drive to democratization. This is a part of inevitable process

of political liberalization in this globalized world.

The other feature of the global society remains in its very nature of being multicultural. The

global society embedding diversity of race, nationality, ethnicity, religion, culture, and language

is now inevitably pushed to maintain multiculturalism. Multiculturalism has now become a world

ideology, any country or religious community must engage in. Multiculturalism is closely related

reciprocally to the emergence of borderless global society. This, in turn, has paved the way for

not only liberalization of trade and economy that created free trade areas, but also liberalization

of religion and culture that created free areas of religion and culture. Together with the imposition

of the principles of Universal Declaration of Human Rights, implementation of multiculturalism

has imposed the exercising of political freedom and freedom of expression.

It is in this backdrop that there is need to discuss a sustainable and viable Islamic state in the

modern era. Though the concept of the ―state‖ or ―nation-state‖ is a modern concept since post-

colonial period, and has no exemplary precedent in the Muslim history of political authority, but

the making of a nation-state based on Islamic principles may well be in lines with Islam. By the

same token, though an Islamic concept of ―shura‖ is not identical with democracy, yet exercising

democracy, of course based on Islamic ethical and moral values, may be perceived as an

application of ―shura‖ in the modern era. Thus, our problem now is more on the methodology

rather then substances. Therefore, it is relevant to raise a question of how to establish viable and

sustainable Islamic state?

1 Paper pelengkap, disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‘iyah (UIA), di

Auditorium Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. Paper ini pernah disampaikan pada Konperensi Alul

Bayt Academy of Islamic Sciences, Amman, Juli, 2012 2 Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat

Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016.

66 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Nation State and the Ummah

The nation-state is a western political concept, developed by France, Italy and Germany in the 18

or 19th century. Weber said that the nation-state is a byproduct of 15th-century advances in map-

making technologies.3 The nation state derives its political legitimacy by establishing itself as a

sovereign territorial unit. While the state is a political and geopolitical entity, the nation is a

cultural and/or ethnic entity. The term "nation state" implies that the two geographically coincide.

Nation-state formation took place at different times in different parts of the world, but it then had

become the dominant form of state organization.

Seeking a conceptual parallel in Islamic political thought to the Western concept of nation-state is

not an easy task. There have been polemics among Muslim scholars regarding what is the most

appropriate concept of Islamic social ideals. The concept of ummah, for example, received two

perceptions among Muslim scholars, that is whether ummah is ―a social religious community‖ or

―a political religious community‖. If the first believes that Prophet Muhammad is merely a

prophet or spiritual and moral leader and his community in Medina is a social community, the

latter believes that the Prophet is a political leader or head of state ruling the Medinan state. The

two propositions have brought consequences to the Muslims throughout history, especially in the

exercising of the idea of state or nation-state.

The problem becomes crucial when one needs to seek the basis of state in the main sources of

Islam, the Qur‘an and the Hadits. As a matter of fact, there are no clear-cut explanations of the

state in the two sources. In the Holy Qur‘an there are two mentions of word relating to dawlah

(an Arabic term for state or nation-state), but not in the form of dawlah, or even an imperative to

establish dawlah or the state. The first mentions is the verb ―nudawilu‖ meaning to rotate in the

verse ―that We rotate the time among mankind‖, and the second is the verbal noun ―dulatan‖

meaning circulation in the verse regarding almsgiving ―so that the wealth will not be circulated

between the rich people among you‖. The Prophet traditions, too, are silent about the idea of the

state, and the creation of the state was not put as a central imperative for the Muslims, like prayer,

zakat, or jihad.

As a result, there are at least two main contrasting ideas about the creation of the state, namely

the nation-state of the Western concept. First, creation of the state is an obligation for the

Muslims, and therefore an Islamic state, or a state based on Islam, like the Medinan state should

be established. Second, creation of the state is not obligatory, or it is important but only as an

instrument to the establishment of an Islamic society.

3 Jordan Nathaniel Branch, ―Mapping the Sovereign State: Technology, Authority, and Systemic Change‖, in International

Organization, Volume 65, Issue 1, Winter 2011

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 67

Islamic Modern Paradigms

In the modern time Islamic political thought recognized at least three paradigms, namely,

traditionalist, modernist, and fundamentalist. Islamic traditionalism inclined to

―institutionalization‖ of religious practices that came to be believed, in the course of history, to

have stemmed from the revelation, traditional Islam is believed to be the authentic Islam.4

Rashid Rida called for the need to return to Islam through the discovery of the true principles of

Islam. Therefore, he saw the need to freeform the Islamic legal system and to restore an Islamic

government, i.e., the caliphate. In his al- Khilafat aw al- Imamat al- ‘Uzma, reexamined the

constitutional theory of the caliphate and sought to restore this political institution in its proper

form and within the framework of the rehabilitation of the Muslim community.5 Rida maintained

that the caliphate is obligatory based on the shari’ah and the consensus (ijma‘) of the

companions. Following the line of the Sunni paradigm, Rashid Rida sought to advocate a type of

government that was characterized by sovereignty of the community; a government that is

constituted by representation and consultation through the ahl al- hall wa al- ‘aqd and the

allegiance of the community (bay’ah). Unlike his predecessors, the first Muslim political theorist

Mawardi (d. 1057), who tended to attribute to the ahl al- hall wa al- ‘aqd qualifications of

knowledge, popularity, and leadership, Rida emphasized the qualification of influence. To him, it

was more important for the members of the council to possess the quality of effective influence,

because by being so, they would have the final authority and be able to enforce their decision

within the community as a whole.

The caliphate revivalism is an answer to the quest of political authority and form of government

suitable to the Muslims in the modern era, yet without leaving aside Islamic principles and the

shari’ah. The decline of the Ottoman caliphate and the domination of the Western powers over

the Muslim countries, led to the emergence various responses among Muslim political thinkers

and leaders.

The modernist paradigm maintains that the civilizational backwardness of the Muslim societies

was due to intellectual stagnation and the rigidness of the ulama in understanding Islam and in

responding to the dynamic of modern life. Therefore, modernist thinkers called for the reopening

of the gates of ijtihad, through which the revitalization of Islam would ensue. For this

revitalization –which may be described as a project that includes the notion of tajdid (renewal)

and islah (reform)—modernist thinkers proposed a variety of approaches, which included

rationalization and secularization. One prominent modernist thinker, Abduh, sought to reconcile

Islamic belief with modern science, because he believed that there was no conflict between Islam

4 M. Sirajuddin Syamsuddin, Islam and Politics in Indonesia’s New Order: The Case Muhammadiyah’s Allocative Politics,

PhD Dissertation, University of California Los Angeles, 1991, p.154. 5 ibid., p 157.

68 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

and reason neither between Islam and modern science. In response to modern (Western) political

theories and institutions, such as the ideas of form of government, democracy, and constitutional

system, Abduh gave assertion that Islam does not recognize any kind of religious sovereignty (al-

sultah al- diniyyah). In other words, Abduh maintained that the nature of Islamic government is

not ―religious‖ but purely ―mundane‖ (al- sultah al- madaniyyah). According to Abduh, the

historic caliphate was not a theocratic political regime, in the sense that the caliph receives the

Law directly from God. The people‘s allegiance and obedience to the caliph was due to their

religious faith. In his al- Islam wa al- Nasraniyyah ma’a al- ‘ilmi wa al- Madaniyyah,

Muhammad Abduh stated: ―(the caliph is) . . . entitled to obedience from the people not by virtue

of the bay‘ah, with its requirement of justice and protection, but by virtue of religious faith, so

that the believer can never oppose him even if he believes him to be an enemy of God‘s religion .

. . for the deeds of a ruler with religious authority, in whatever manifestation, are religion and

law‖.6 According to Malcolm Kerr, the above passage is significant since Abduh attempted to

demonstrate that the traditional theory of the caliphate was similar to a system of civil law in the

Western secular system, and that his system of government is explicitly Islamic.7

Abduh continued to assert that political power had to be based on people‘s will (the public will).

This community sovereignty, in his term of reference, would be established within the integral

principles of freedom (hurriyyah), consultation (shura), and constitution (qanun), would which

serve as the pillars of that political system. Abduh‘s conception of freedom included both

political and social freedom. This freedom included freedom of speech, freedom of opinion,

freedom of choice.8

Out of the principles of social and political freedom, Abduh developed his theory of consultation.

As the consequence of this freedom, particularly political freedom, a collective interest in the

form of public opinion (al- ra’y al- ‘am) would arise within the community. To prevent the

occurrence of any conflict of interest within the community, Abduh proposed the criterion of a

representative government, which in Malcolm Kerr‘s interpretation, was not a democracy.9

The essence of Abduh modernistic ideas is his conclusion that Islam had not determined upon any

form of consultation. The two verses concerning the principle of consultation in the Qur‘an

(Chapter 3: 159 and 42: 38) only affirmed the importance of consultation for Muslims in solving

their affairs, but did not describe its mechanism. Therefore Abduh left it to the Muslim

community to choose and exercise a certain form of consultation in order to achieve their social

welfare.

6 Muhammad Abduh, al- Islam wa al- Nasraniyyah ma’a al- ‘ilm wa al- Madaniyyah, n.d, p 65. 7 Malcolm Kerr, p. 149-150. 8 Muhammad ‗Imarah, al- A‘mal al- Kamilah li al- Imam Muhammad ‗Abduh, Vol. 1, p 339. 9 Malcolm Kerr, op.cit., p. 133.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 69

Another modernist thinker, ‗Ali ‗Abd al- Raziq, in his controversial al- Islam wa usul al- hukm

Raziq introduced a theory in which he not only criticized the validity of the caliphate, but also

questioned the bases of authority in Islam. The core of this theory was his denial of the bases of

government in Islam, or, more moderately, Islam‘s determination of a certain form of

government. He explained the main point of his book as being ― . . . that Islam did not determine

a specific regime, nor did it impose on the Muslims a particular system according to the

requirements by which they must be governed; rather it has allowed us absolute freedom to

organize the state in accordance with the intellectual, social and economic conditions in which we

are found, taking into consideration our social development and the requirements of the times‖.10

‗Abd al- Raziq strongly rejected the view that the Prophet Muhammad had established an Islamic

state in Medina. Instead, he insisted that Muhammad was merely God‘s messenger, not a king or

a political leader. According to him ―Muhammad was solely an apostle. He dedicated himself to

purely religious propaganda without any tendency whatever towards temporal sovereignty, since

he made no appeal in favor of a government . . . the Prophet had neither temporal sovereignty nor

government. He established no kingdom in the political sense of the word nor anything

synonomous with it; . . . he was a prophet only, like his brother prophets who preceded him. He

was neither a king nor the founder of a state, nor did he make any appeal for temporal empire‖.11

Yet, ‗Abd al- Raziq, in fact, did not mean to say that Islam does not require the creation of any

form of government whatsoever. On the contrary, he explained that Islam does indeed not neglect

the necessity for a political authority. In the Qur‘an, he maintained, God implied the necessity of

establishing a government as an essential agency for Muslims in their struggle to protect their

religion and conduct their affairs. But this did not imply that the creation of a government became

a basic tenet of Islam.12 His final definitive statement in al- Islam wa Usul al- Hukm said: ―There

is nothing in the religion which prevents Muslims from competing with other nations in the field

of social and political sciences, and from demolishing that antiquated order which has subjugated

and humiliated them, and to build up rules of their state and the organization of their government

on the basis of the most modern achievement of human reason, and on the most solid experiences

of nations as to the best principles of government.13

The fundamentalist paradigm emphasizes the totality of Islam, that is, that Islam, as a system,

covers all cultural universals. Yet Islamic fundamentalism also emphasizes the distinctiveness of

Islam as opposed to Western culture, and clings to Islam‘s authenticity upon encountering the

10 ‗Ali ‗Abd al- Raziq‘s reply to the Bourse Egyptienne‘s reporter who interviewed him after his dismissal from his

occupation as a judge by the Council of the Greatest Ulama; Quoted from Leonard Binder, Islamic Liberalism, 1988, p. 131;

See also Muhammad ‗Imarah, al- Islam wa Usul al- Hukm li ‘Ali ‘Abd al- Raziq, 1972, p. 92. 11 Quoted from John J. Donahue and John L. Esposito, (eds), Islam in Transition, 1982, p. 30. 12 ‗Abd al- Raziq, op.cit., p. 81-83. 13 ‗Abd al- Raziq, op.cit., p 201; English translation is quoted from Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, op.cit.,

p. 65.

70 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

challenges of the West. In the political domain, the fundamentalists tended to avoid any ideas

deemed to be Westernized, and consequently non-Islamic. Fundamentalist thinkers brought about

the idea of the Islamic system (nizam-i Islami by Mawdudi), or (al- nizam al- Islamy by Sayyid

Qutb). In this perspective, Islamic state is universal and ideological. It is universal in that its

many spheres of activity embrace very aspect of life and is totalitarian in nature. It is ideological

in that this Islamic state is based on, and works fro, a single ideology: the ideology of Islam.

Mawdudi‘s conception of the Islamic state is, thus, based on the shari‘ah, which provides the

basic principles of its nature. In the shar‘i perspective, according to Mawdudi, there are four

principles on which the Islamic state is to be based. They are that it: recognizes the sovereignty of

God, accepts the authority of the Prophet, has the status of God‘s vicegerency, and utilizes mutual

consultation.14

If that is the case, Mawdudi‘s Islamic state is a theocratic state. Yet, since he also emphasized the

Islamic requirement for mutual consultation (shura) among all Muslims in conducting state

affairs, this state also has a democratic characteristic. This kind of state may be best

characterized, as Mawdudi himself suggested, under the term ―theo-democracy‖, that is ―a divine

democratic government, . . . under which . . . the Muslims have been given a limited popular

sovereignty under the suzerainty of God‖.15

Similarly, Sayyid Qutb put shari‘ah a central position in the state‘s terms of reference. He

believed that, in the Islamic state, the real sovereignty and legislation belonged to God alone, and,

consequently, that the shari‘ah was its fundamental constitution. This belief gave birth to Qutb‘s

theory of ultimate divine sovereignty of hakimiyyah –the outcome of his textual interpretation of

such Qur‘anic verses as ―anyone who governs not in accordance with God‘s revelation is an

infidel, or evildoer, or hypocrite‖ (Chapter 5: 34, 35, 36).

The issues appearing in the Muslim World nowdays to an ideal form, namely the caliphate and

the Islamic State of Iraq and Syria or ISIS, are indeed a metamorphosis of that sort of a

fundamentalist idea. It seems that the modern proponents of the Caliphate had sought to reconcile

between pre-modern Islamic political theories and modern Western theories, though with only a

few modification. This traditionalist political paradigm asserted the unity of religion and politics

in Islam, as the central tenet, in addition to its emphasis on the important role of the ulama as

safeguardians of the community. As adherents to the institution of the Caliphate the traditionalists

maintain that the Caliphate is the only form of Islamic government. Therefore, this traditionalist

political paradigm, i.e., the idea of the Caliphate, can not be projected to contemporary political

14 Abul Ala Mawdudi, ―Political Theory of Islam‖ in his Islamic Law and Constitution, edited by Khurshid Ahmad, 1967, p.

165-168. 15 Mawdudi, op.cit., p. 148.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 71

terms. Because in the eye of the beholders the existing form of government, namely the Western

democracy, was invalid and the source of the many problems of the world today.

From the discussion above, though they differ fundamentally from each other, especially in the

mode of response to Western political paradigm, the three paradigms of modern Islamic political

thought share a meeting of mind in the need to base the Islamic political institution, or Islamic

state, on Islamic values and principles. Yet, the main differences are in the ideas, as whether that

political institution or state to be formalistic or substantive with regard to Islam.

Issues of Good Governance

The form of government in Muslim countries varies from monarchism, republicanism, to

democracy. Yet, whatever form of government or political system exercised by Muslim countries,

stream of democratization seems inevitable. The phenomenon of the Arab Spring that has swept

the Middle East and North Africa shows that the people of the region expect a social and political

change. Pew Research Center published in 2012 the trends and expectations of Muslims in

Islamic countries.16

According to the survey, the people of Lebanon, Turkey, Egypt, Tunisia, and Pakistan considers

democracy as the best form of government. The appeal of democracy is especially strong in

Lebanon, where 84% say democracy is preferable to any other kind of government, just 7% think

that there are circumstances in which a non-democratic government can be preferable, and 9%

believe that it does not really matter what kind of government rules the country.

Large majorities also prefer democracy in Turkey, Egypt, and Tunisia. Pakistanis express the

least enthusiasm for the idea of democracy, with just 42% saying it is preferable. Still, only 17%

believe other approaches are better, while 22% say it does not matter. Almost one-in-five

Pakistanis (18%) do not offer any opinion.

It is interesting to observe the growing awareness among Muslims of the necessity for a

democratic system of government. This development also shows that Muslims need to be more

involved in a wider political, economical and social life.

In the changing Muslim world, the people‘s demand to be involved and engaged in every step of

policy making and democratization of state and society is greater than ever. By cooperating with

civil society as an equal partner, the state is not longer a single actor in administrating the

country. The state and civil society (represented by mass organizations, non-governmental

organization, professionals, etc) must work hand in hand to ensure and guarantee the enactment

of civil rights, freedom and democracy. The existence of public sphere in which civil society has

16 Pew Research Center, ―Most Muslims Want Democracy, Personal Freedoms, and Islam in Political Life

Few Believe U.S. Backs Democracy‖, Global Attitude Project, July 10, 2012, p. 14.

72 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

enough space to express its civil rights is an absolute prerequisite for democracy. Democracy

without an independent public space has no signification.

The public sphere developed by civil society may initiate public dialogue and action by bridging

and expressing people‘s opinions, aspirations, and general rights to the State. This means, civil

society may participate actively in state policy making. And for that reason, the independence of

public sphere from political and economic conflict of interest is very essential, in order that equal

dialogue and debate might be built on a foundation of critical rationality, where everyone can

equally express their opinions and rights.

Those ideas exposed in length above are indeed not peculiar to Western political paradigm.

Islamic political thought had a long before discussed such issues as bay’ah wa al- mubaya’ah

(giving oath and allegiance) which is comparable to the idea of social and political contract; al-

siyasah al- shar’iyyah (the divine polity) or al- madinah al- fadilah (the ideal state) which are

parallel to the notion of good governance, because that polity emphasizes both strong and clean

government. These paralleled issues are important and are intrinsic features of good governance

and state affairs, and therefore may be taken into consideration in the making of viable and

sustainable Islamic state in this modern era.

Concluding Remarks

The creation of the state is important as an instrument by which the Muslim community can

achieve their social ideal that is the establishment of the best Islamic community (khayru

ummah). The state is a manifestation of the Prophetic exemplary in order to protect religion and

to govern mundane life (al- Mawardi: al- imamah mawdu’atun li khilafat al- nubuwwah li

harathat al- din wa siyasat al- dunya).T17 There is a symbiotic relationship between Islam and

politics and the state. The state, in this regard, is more as a mean rather that an end.

Since there are no clear-cut explanations from the Qur‘an and the hadith, the creation of the state

as instrumental to the achievement of Islam‘s social ideal --the establishment of the best society--

is a matter of sustainable innovations and adjustment to the given socio-historical, cultural, and

political setting of respective Muslim countries. The form of government and mode of

bureaucracy are, thus, optional based on consensus of the community and their historical

background. The existence of the nation-state based on a particular primordial orientation in

various Muslim societies is realistic, as far as those Muslim nation-states need to be bound in a

global network, and universal cooperation.

17 Abu Hasan al- Mawardi, al- Ahkam al- Sultaniyyah,

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 73

Of most important in the making of statehood among the Muslim people is the necessity to instill

Islamic moral and ethical values in order to establish an ideal state (al- madinah al- fadilah).

Among those values are justice, accountability, trust, and credibility.

Accommodation of democracy is inevitable. Since democracy is not a monolithic system, there is

need to choose its most relevant doctrines with Islamic values and socio-cultural and political

setting of respective Muslim countries. There is need for Muslims to bring democracy into a

moral and ethical paradigm. Moreover, the Muslim world should think hard by utilizing ijtihad in

finding the most viable Islamic state beyond democracy and in the post-democratic world.

74 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 75

Bagian Tiga

ISLAM, PLURALISM AND DEMOCRACY IN INDONESIA1

M. Din Syamsuddin2

Background

01. Democracy is not new in Indonesia. In the post-independence period, Indonesia adopted a

parliamentary democracy system until 1957. However, democracy was on a long ―vacation‖ from

1957 to 1998, when the successive Sukarno and Suharto governments imposed a form of

authoritarian rule. So, what Indonesia has been experiencing since 1998 is an experiment to

restore democracy. In the year 2004 Indonesia experienced for the first time in its history direct

presidential and vice presidential elections. These elections, held in two rounds, underwent

smoothly and successfully. This marked further process of democratization that, indeed, had

begun in this fourth most-populous country in the world with about 220 millions population since

the era of reform in 1998. The collapse of Suharto regime in 1998 has given the Indonesian

people one of the most expensive ingredients of democracy that is freedom. Even, excessive use

of this freedom has led the nation to political euphoria that prolongs until now.

02. Of course, the current democratic experiment is being carried out within a new domestic

context. Indonesia’s society has evolved tremendously over the last four decades. The state of

economic development, even though it is still unsatisfactorily, has improved the life of millions

of Indonesians. More and more Indonesian has access to education and health service.

03. One thing, however, has not changed. Indonesia is still one of the most heterogeneous

nations on earth. Diversity –especially in terms of religion, ethnicity and ideology—remains the

most important feature of the country. In other words, Indonesia is a very pluralistic country.

And, within that plurality, Muslims serve as a majority (88,2 percent of about 220 millions

Indonesian population)

04. The key question is: can democracy flourish in a country as diverse as Indonesia? And,

what is the role of Islam in ensuring both democracy and pluralism can reinforce each other? It is

precisely democracy that could preserve and manage the very diversity of the Indonesian society.

1 Paper pelengkap, disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di

Auditorium Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.

Paper presented at The European Union-Indonesia Day on ―Pluralism and Democracy: Indonesian Perspectives‖, Brussels,

Belgium, 7 December 2006 2 Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat

Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016

76 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Tension in Indonesia began to boil up in the 1990s, and the country was characterized by both

vertical and horizontal conflicts. It is expected that democracy, which becomes the agreed form

of governing since 1998, could manage difference and respect pluralism in the society.

Democracy provides a mechanism by which differences are resolved peacefully, and various

viewpoints are heard and respected. The opening door for democracy, especially that provides

political liberty and equality, has encouraged in Indonesia the coming into being of many new

political parties and social groups, who have been competing among each other in order to

control the national arena.

05. Political fragility in transitioning Indonesia was further added by an international factor

mainly war on terror followed 911 terror attacks on the United States, when the war has implied

generalization and eventually stigmatization to Islam. In the Indonesian context, these domestic

and global factors have created a sort of political shock and anomaly within the society. It is in

this context current trends in Indonesian Islam should be observed.

Current Trends in Indonesian Islam

06. The first trend is often said as radical. It might be true that this trend belongs to groups

are called radicals, because they frequently speak out to defend the interests of the Muslim

community in radical manners and even sometimes engage in anarchism. Yet, their radicalism is

much more ethical in nature that is that they have high sensitivity against all kinds of moralities

prevailing in the society. Thus, the groups are more appropriate be put in the category of ethical

radicalism. This is the first trend of Indonesian Islam and, indeed, its proponents are more vocal

in criticizing all what they felt as against or anti Islam, Though this trend is only supported by a

minor minority within the Muslim community, the radical groups received wide media coverage

especially by foreign media creating a new feature of Indonesian Islam as transforming to be

radical.

Islamic radicalism in Indonesia can be seen as continuation of Islamic fundamentalism

that had appeared in the 1980s. This new wave of fundamentalism was influenced by dynamic

developments in the Muslim world, such as Islamic revolution in Iran in 1979 or Islamic

resurgence in Egypt and Pakistan. And a result of cultural revitalization process launched by

Muslim youth against the New Order depoliticization project. Instead of challenging the regime

they opted to return to Islam and back to the very fundamental values of Islam. Due to political

freedom provided by the era of reform and the transitional political situation these groups

attempted to actualize their vision of the future through political means by creating an Islamic

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 77

party. The rest, because of their inability or unwillingness to organize a political or social

organization, inclined to be co-opted by certain political interest groups to perform struggle in the

name of Islam.

The rise of ―new‖ Islamic groups, which often display a degree of radicalism in

expressing their social and political agendas, for example Laskar Jihad (Fighters Corp) Front

Pembela Islam (Islamic Defense Front or FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (Indonesian Council

of Fighters or MMI, or Hizbut Tahrir Indonesia (Liberation Party of Indonesia or HTI), and

others, should be understood within the context of political openness in Indonesia. Firstly, Islamic

expressions in politics had been oppressed by the New Order government, and the fall of New

Order brought the long-oppressed voices to the fore. Secondly, some of radical voices have been

expressed towards the rampant social ills within both the state and the society, especially on

corruptions and the rise vices such as prostitutions, gambling, and crimes. In other words, it is a

direct response to inability of the state to create a society based on morality and religious ethics.

Thirdly, the rise of Islamic radicalism should also be understood within the context of

contemporary world politics. For example, there is a deep-seated feeling among the Muslim

community worldwide, including in Indonesia, that the U.S has not been balance in its policy

towards the Middle East and the Islamic World. So, the rise of radicalism is primarily more a

function as a reaction against this global injustice and the way the world power handles global

issues. If this unbalance and injustice continues it will encourage radicalization among certain

Muslim groups.

07. The second trend in Indonesian Islam is also the continuation of what had begun in the

1980s that is the emergence of spiritual orientation among Muslim community. This trend has

clearly been evinced by the coming into being of many Muslims stick to spiritual values of Islam

through significant rise of religious gatherings like majelis taklim or pengajian (religious circle)

and the emphasis of Islamic symbolism and practice in daily life.

On this second trend, some observers often make a mistake by equating the growing piety

among Muslims in Indonesia as a sign of growing radicalism. We have now witnessed more

people are flocking to mosques during Friday prayers, more women wearing jilbab/headscarf,

and more people attending religious gathering. These should not be seen as signs of growing

radicalism. It is simply a sign for growing piousness among Muslim who have become aware

about the importance of religion and religious duties in their life. As Indonesia has increasingly

78 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

embraced modernity, religion provides important values and guidance on how to cope with the

challenges of modernization, especially its impacts on modern life, and on day-to-day life. It is

extremely importance for the people outside Indonesia to understand this phenomenon in a

correct so that we can avoid misperception about Islam and the Muslims.

08. The third trend of Indonesian Islam is the mainstream; this trend belongs to the

established Islam, represented mainly by the two largest Islamic organizations, Muhammadiyah

and Nahdhatul Ulama or NU, who have been struggling since the beginning of the twentieth

century to establish a modern and moderate Indonesian Islam. The importance of Muhammadiyah

and NU has been a continuation of the trend over the last 15 years. The two groups have played a

considerable role not only as moderating force in Indonesia’s society, but also as a moral force

that persistently strive for a betterment of social life. We can aware that in the context of

globalization, religious organizations can play an important role in managing globalization, both

in tapping the benefits of the process and in addressing the negative aspects of it. Muhamnadiyah,

for instance, has been at the forefront to promote education, provides social and health services,

empower economic level of live, and push for democracy and good governance. It has also been

instrumental in promoting dialogues not only among religious groups but also between different

civilizations would guarantee harmony, peace and justice in contemporary world.

09. If the first trend, radical Islam, has a political inclination in its strict sense and the second

trend, spiritual Islam, practices a nonpolitical and even anti political orientation, the third trend,

the mainstream, maintain a cultural approach and strategy for social change. This Islamic

mainstream keeps balance between spiritualism and political activism on the one hand, and

between spiritualism and rationalism on the other. If certain radical groups often engage in

violent actions and lean to extremism, the mainstream elements maintain moderation. It is still the

fact, and will continue to be the fact, that the majority of Muslims in Indonesia are moderate, who

despises violence as a means to resolve differences. As a mainstream, Muhammadiyah and NU

will continue to ensure that Indonesia will remain a moderate Muslim country.

Islam and the Future of Democracy

10. Islam has played an important role in promoting democracy in Indonesia. It can be said

that democracy in Indonesia will not work without Muslims participation and if Islam is seen as a

threat to democracy. Indeed, democratic values are inherent in Islamic teachings. Though, there

has been polemics among Muslim political thinkers as whether Islam is pro democracy or not, yet

many Quranic verses and the Prophetic traditions obviously suggest democracy. In Indonesian

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 79

case, Muslim political thinkers and activists have been advocating democracy as the best form of

governance. Prominent Muslim leaders from both NU and Muhammadiyah have reiterated the

Pancasila State of Indonesia is final.

11. Muhammadiyah and NU are committed to ensure that democratization in Indonesia will

consolidate. Islam in Indonesia is committed to ensure a pluralistic democracy within with Islam

plays a prominent role in ensuring that democracy. They should be recognized as pillars of

democracy. Muhamadiyah and NU have played important role as a ―super‖ civil society group, a

mega-NGO, in campaigning for good governance. Muhammadiyah and NU, for example,

established since three years ago a national moral movement for anti corruption. Through

thousands of its schools and higher learning institutions Muhammadiyah included civic education

in the curricula, and through its autonomous youth organizations Muhammadiyah teach

nonviolence education. All these works contribute to the strengthening of democracy in

Indonesia.

12. In short, the roles of Islam in strengthening democracy in Indonesia have been performed

through various ways, including asserting compatibility of Islamic values to democracy,

supporting legal or judicial reform, encouraging good governance, strengthening cultural base for

democracy, taking part in conflict resolution, and promoting interfaith and intercultural dialogues.

13. As the religion of the majority, Islam clearly respects pluralism and, in fact, celebrates it

as a fact of life. Muslims in Indonesia have long practiced the ideology of tolerance as a way to

ensure that differences are respected. Islam has always been at the forefront in ensuring that the

rights of the minority are guaranteed, and the freedom of religion is upheld. In other words,

pluralism –and the need to respect it—is not new for Islam.

14. As a diverse nation where Islam is a majority within a pluralistic society, Indonesia is

now seeking to create a pluralistic democracy within which Islam plays a great responsibility to

preserve the very pluralistic nature of that democracy. Democracy in Indonesia will not flourish

unless the Muslim community participates in the process. And, the best way to ensure that

participation is to treat Islamic political forces as legitimate political forces in the democratization

process.

Possible Obstacle

80 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

15. Democratization process that necessitates political liberty and equality may face an

obstacle by the existence of exclusivist tendency within society. This exclusiveness may derive

from an absolute claim of truth and unreadiness to live in peaceful coexistence in a pluralistic and

multicultural society. In the Indonesian case during the reform era, provided freedom, which

paved the way for political euphoria has, to some extents, encouraged segment of the society, in

almost all religious communities, to behave exclusively and reject pluralism. Exclusivist

orientation among the Muslim community may serve as an obstacle to Islam led democracy in the

country. Yet, since proponents of this tendency are minority in the minority within a great silent

majority of Islamic mainstream, that obstacle can be overcome.

Concluding Remarks

16. Islam is compatible to democracy and the Indonesian experience has clearly shown that

compatibility. The new Indonesian democracy is primarily based on the inherence of democratic

values in Islam as well as the existence of democratic practices by Muslim societies in certain

areas across the archipelago. Islam recognizes pluralism and respects plurality. It is empirical that

Muslims in Indonesia have celebrated pluralism as a fact of life.

17. The future of democracy as well as pluralism in Indonesia is guaranteed by the significant

and strategic roles of two largest Islamic organizations, Muhammadiyah and NU, who have

worked and are still working to encourage democratization process through mainly strengthening

cultural base within the Indonesian society.

18. The emergence of pluralistic democracy in Indonesia will bring about to the world a

novel model of democracy in practice in the Muslim world. As Indonesia is the largest Muslim

country in the world, then democratizing Indonesia could give significant impact on the

emergence of democracy in the Muslim world.

19. True, that there is a possible obstacle of democracy and pluralism, often described by the

emergence of fundamentalist or extremist groups that could pose a threat to democracy. However,

it is important to remember that the use of force, or oppression, will never solve the problem.

There have been many cases around the world, including in Indonesia, where oppression

encourage more radicalization within the Muslim community. The only way to deal with the

problem is demonstrate the state’s capability to deliver economic prosperity and social justice.

Soft power often succeeds, whereas hard power always fails.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 81

Bagian Empat

ISLAM AND DEMOCRACY IN INDONESIA1

M. Din Syamsuddin2

I would like to share some of my view about Democracy in Indonesia. The topic given to me is

crucial, since, we are now experiencing with very challenging processes of regime changes,

unfinished democratic consolidation, and the current unfinished of the Arab Springs –that risking

of instability, turmoil and chaos. The word also still inhabit by leaders who are unwilling to

release their power to their new generation. And we still see the zombie of authoritarian regimes,

which prosecute their own citizens. Well, it is deeply understood that democratization is not

something taken for granted, it require courage and commitment, as its values has to be

embedded into day-to-day political management of in many aspect of life weather in social,

political as well as economy.

Herewith, I would like to share little bit experience about democracy in Indonesia, which I hope it

could provide another view of how democracy is taking place in the largest Muslim community

in the world. Sure, it may be difficult for international community to comprehend Indonesia, due

to its relatively low-key performance in the world politics; however it has a fast territory and

large population. In term of territory, Indonesia is a geopolitical complex of archipelago in

Southeast Asia with more than 17,000 islands that encompasses in three time-zones. From

Eastern region of Merauke in Papua to Aceh in the West most province, it is equal distance of

Dublin to Moscow, around 5,000 kms length. While, the latest population census is 242 million

people inhabiting the archipelago, predominantly in Java (Jawa), Sumatra, Kalimantan, Sulawesi.

Unfortunately, international community knows better about Bali than Indonesia, while Bali is

only one of 37 provinces in Indonesia. 88% of the population are Muslims and others are

Catholics, Christian, Hindu, Buddha, and local beliefs such as animism and dynamism.

From statistical point of view, Indonesia is the 3rd largest democracy after India and the United

States. It is the largest Muslim country in the world and the 4th most populous country in the

world to replace after China, India, and the US. According to the latest Freedom House report,

Indonesia is considered as the only free country in Southeast Asia. This is to highlight the

achievement of people to strife for democracy and the political commitment to realize into

political practices. Indonesia has in the past experiencing with liberal democracy following the

Independent, followed by the so-called Guided Democracy during President Soekarno era, and

followed by the New Order (Orde Baru). After 30 years of authoritarian regime, the New Order

1 1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat

Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016.

82 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

finally collapsed in the hand of movement of reformasi in 1997/1998 –the successful national

reform movement that demand democracy and to end the military back-up to the regime.

Despite Islam is majority, however, Indonesia shows its pluralistic cultural and ethnic

background that united by the one national language, which is Bahasa Indonesia. The focus on

pluralistic society is very crucial, due to the fact that the archipelago consist of more than 1,000

ethnic groups (national statistic reports) with 743 local languages. This is to illustrate the

pluralistic of Indonesian society which enjoys democracy. The above background I purposely

introduce to highlight the important of democracy in a pluralistic society. Attention to current

development and possible future risks and challenges raises question whether Indonesia story, the

world largest Muslim population which has undergone successful democratization could offer

lessons-learn for Islamic world in managing difficult political change.

Perhaps, Indonesia is not the best example for reference, but its success story democratization, is

cognitively important to provide picture an analysis. There is growing international account on

the fact that being the world largest Muslim country and constitute the third largest democracy, it

could possibly provide useful lessons-learn. Hopefully, it will draw picture of Indonesia’s

achievement in managing peaceful transition. Also, Indonesia has shown to the world, the

compatibility of Islam and democracy. Reform takes place from central government to local with

autonomy. There was great daunting challenge and scepticism following the regime-change that

Indonesia with the absence of autocratic regime may turn into chaos. However, commitment of

people of Muslim majority and its community organization such as Muhammadiyah and

Nahdhatul ‘Ulama to embrace democracy, has laid strong foundation for smooth transition and

continues to strengthen and deepen its democratic quality.

There is no one-size fits all solution for democratization as each county is unique with its own

political history that intertwined with plurality of rhizomatic roots of socio-cultural structure –

which is no such country similar to another. Consequently, each country in Arab Spring, of

course, will have to choose their own terms and choices in building of consciousness upon

democracy to provide freedom, rule of law, and human rights protection for peaceful and

sustainable development. Transition is not only simply the step of regime change, but process of

consolidation and further maturation of democracy.

Indonesia, with majority Muslim country that choose democracy as its political system provide

lessons learned for international community especially with regards to ―consolidating

multicultural democracy‖ – a theme which is currently challenging, even, in the so-called

established Western democracy. Managing political change in the Muslim majority country such

as Indonesia, enrich the global discussion, analysis and study about democracy which was not

―democracy by force‖, which proven to be very costly, but the energy for democracy emerged

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 83

from endogenous demand for human dignity and progress. Indonesia experiences, again,

strengthen the argument of compatibility between Islam and democracy that takes place in the

debate within Muslim community (ummah). It also means of revisiting the issue of universality of

democracy and particularities of thought, between global worldview (al-mathla’ al-‘ālami) and

primordial view (al-mathla’ al-qaumi) and how it has impact to discourse of democracy in

Islamic world.

The case of Indonesia provides example of democracy the largest Muslim population in the world

and the third-largest democracy in the world. Learning from Indonesia’s experience, democracy

is not one step process rather longitudinal processes. It will also highlight that democracy is not

merely the availability of space that is open to all parties and groups to voice and participation in

the ongoing political process in a country. The following steps are important to make political

agreement inscribed in a document written in the form of a constitution –the constitution that

have strength to guarantee for fundamental rights, for civil rights –the rights to opinion, of

association, freedom of religion and belief, the right to live with dignity, the right to obtain a fair

and equal treatment before the law, and so on. Significantly, it will address issue of civil-military

relations that is also daunting challenge, as risk of military intervention to politics is visible,

which in Indonesia case it shows the willingness of military to accept democracy that strengthen

the implementation of democratic control to the armed forces that guaranteed by constitution.

Change to guaranteed democracy is necessary to be formally drawn through laws. In Indonesian

case, legislatures have produced hundreds laws and state regulations covering everything from

media freedom to elections, anti-corruption, decentralization, and anti-trust rules. Institutional to

guarantee democratic change has also introduced from setting up of National Ombudsman,

Constitutional Court, and Judicial Court, to Commission for Eradication of Corruption etc.

Legislation also introduced that empowers citizens with freedom of expression, free and

independent elections, and freedom of association. Legal reform is prerequisite for successful

democracy to strengthen and to tackle possible chaos and reversal of democratic process that may

emerge into lawlessness that easily emerged following the fall of the autocratic regime.

Finally, after the experience from Indonesia, I would address my anxiety to international level, to

highlight the important the crucial role of managing multiculturalism in managing democracy.

This is the challenge not only for society that undergoing consolidation to democracy such as

Indonesia, but also for the established democracy such as in Europe which tend to go to direction

of far-rights ideology. Significantly, democracy will only properly implemented if it is supported

by Rule of Law that able to bring justice and guarantee the implementation of human rights.

Identity and multiculturalism both are crucial to promote democracy and peace.

84 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Unfortunately, despite advances in democratic trajectory among nations, the world is still

characterised by the worrying development of negative aspect of growing exclusive identity

resulting in clashes, if not conflict, of identities. Multiculturalism is also facing challenges

brought about by free flow of movement among people of different ethnicities. The spread of

ideas that rejects multiculturalism as a framework for living together would certainly undermine

the principle of humanity, and could become a source of conflict among civilisations.

Consequently, there is a need to strengthen the principle of multi-culturalism to keep balance in

society, especially among democratic societies. The opening up of the society, and the advance of

freedom, would by implications also lead to the imperative of managing differences within the

society. Within this context, democratic society –both advanced and emerging democracies—are

faced with the challenge of managing multicultural society –in which multiculturalism can

complement democratic citizenship and nation-building. Cases in many parts of the world show

that managing multiculturalism within a democracy is often complicated by the politics of

identity. In this context, promoting peace by reconciling the reality of multiple-Identities and the

imperative of multiculturalism would require an exploration of ways by which we can promote

and respect diversity, share common values, and work to build peace through peaceful co-

existence.

Bahan Pidato pada Annual Conference of Community of Sant' Egido

di Sarajevo, Bosnia, September 2012.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 85

Bagian Lima

PERSPECTIVE ON THE CALIPHATE TODAY1

M. Din Syamsuddin2

1. Struggle for unity and authority has been an universal phenomenon in Islamic history as

shown by the rise and the down of Muslims’ political authority, and the quest for power by

Muslims in the context of nation-states today. Islamic political thought, indeed, reflects a

longstanding and continuing intellectual inquiry into the nature and role of government as an

indispensable instrument to secure both religious and temporal affairs and to implement

Islamic ideals within a society. It was the result of serious efforts to explore Islamic

injunctions, or ijtihad, and to domesticate them into a particular realpolitics in any given time.

The inherent link between Islam and politics is not only a manifestation of historical reality,

but also a manifestation of the realm of religion.

2. One of the still discussed topics in the Muslim world is Islam-politics relationship. This is not

because of the fact that Islam and politics seem to be inseparable, but as such is part of the

ijtihad of the Muslims to find a proper format of the relationship in a rapidly changing

situation. Put, differently, this is part of the Muslims effort to find the proper place for Islam

in our daily lives. In the old days, during the classical period of Islam, the idea of nation-state

is quite unheard of. Since the defeat of colonialism in the early twentieth century, we

witnessed the emergence of the so-called nation-state. This is a state in which nation plays a

very important role in its configuration. This feet alone has changed the situation quite

considerably. If we add culture, economy, and other variables of life into the equation, we

have more than sufficient reasons to undertake the renewed ijtihad on this matter.

3. In spite of this, it is important to note that in general there are three different schools of

thought adhered by Muslims. First, those who believed that Islam should be the basis of all

political activities; that shari'a ought to be adopted as the formal and legal guiding principles.

Second, there are those who argue that Islam should be "separated" from politics, as Islam

does not provide any clear pattern of political theory to be followed by the Muslim

community. And third, there are those who stand in between these two positions. Basically,

1 Paper pelengkap, disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di

Auditorium Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017.

Pointers presented at Wilton Park Conference on “The Struggle for Unity and Authority in Islam: Reviving the Caliphate?” 3-5 May 2007, Ussex, United

Kingdom. 2 Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Pengurus Pusat

86 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

they are of the opinion that there is no need to formally and legally embrace Islam as the basis

of politics, and yet, being Muslims, they are compelled to live in accordance to Islamic values

and injunctions. Substantively, therefore, Muslims must live -including in politics-according

to the values recognized in Islam without having to state in public that as such is Islamic.

4. So, there are both religious as well as historical factors that have shaped and influenced the

recent surge of political Islam. What have come to the fore are not some thing of novelty, but

simply a resurrection of the long phenomenon. This is to say that Islam-politics relations will

always become a recurrent theme that needs to be treated accordingly. But, there is some

thing of great important to observe in the recent development of Islam-politics relations. In

the early twentieth century endeavors, attention had primarily been given to the idea of Islam

as the basis of state regardless of the latter's construct. Whether a state is constructed in a

republican or monarchic structure is not terribly significant in these efforts. In today's twenty

first century, some Muslim political thinkers and activists are entertaining the idea of

Caliphate as a possible alternative to the existing political leadership of any given states.

5. Hizb al-Tahrir (Party of Independence) is the most notable institution to champion this idea.

Indonesia's political development could not escape this "predicament." The country's Hizb al-

Tahrir has relentlessly endeavored to promote the idea of caliphate, regardless of its

vagueness both in terms of concept and practice. Besides the Hizb al- Tahrir, the most

notable advocates for the Caliphate are Osama bin Laden’s al- Qaeda, and the Taliban of

Afghanistan. The latter’s leader, Mohammad Omar, was called “Commander of the Faithful”,

a caliphic title. Ayman Zawahiri, Bin Laden’s deputy, ever declared that terror attacks would

be “nothing more than disturbing acts, regardless of their magnitude” unless they led to a

caliphate in “the heart of the Islamic world”.Al-Qaeda named its internet newscast, which

debuted in September, “The Voice of the Caliphate”. It is assumed that the fear of the U.S

leaving Iraq now is partly based on a myth that some radicals would use this country as a

foot-step for establishing Caliphate. In language evoking the Cold War, George W. Bush has

cast the conflict in Iraq as the pivotal battleground in a larger context between advocates of

freedom and those who seek to establish “a radical Islamic empire that spans from Spain to

Indonesia”.

6. Now the question is how viable is the caliphate-style of state or leadership in today's political

configuration. Democracy recognizes any ideas and interests to be articulated freely. Yet, at

the same time, democracy allows any given ideas and interests to be scrutinized and

Muhammadiyah Tahun 2005-2015, dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2011-2016

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 87

questioned whether they have any merits for mankind at large.

7. The idea of the Caliphate is peculiar to Sunni Islam who made use of the term to denote the

ideal Islamic political institution after Prophet Muhammad’s time. The essence of Sunni

theory is that the ummah, the historic community, was based upon the shari`a, that its

historical development was divinely guided and its continuity guaranteed by the infallible

authority of ijma` (concensus). Besides this, the election of the Caliph also included bay`a

(giving of an oath of allegiance) by the community to the Caliph, who must rule in

accordance with the shari`a. Thus, three key political terms in Sunni theory were the

Caliphate, ijma` and bay`a. According to the great Sunni jurist who first systematized Sunni

political theories, Abu Hasan al- Mawardi (d. 1058), the Caliphate is pseudo Prophetic

leadership in order to safeguard both religious and temporal affairs. The Sunni theory of the

Caliphate was based on its doctrines of delegation and obligation –that leadership is man’s

responsibility delegated by God, therefore it is incumbent on the community to obey their

leaders. Sunni thinkers stressed the Caliph’s legitimacy and defended the Caliphate’s

supremacy and indivisibility. Ash`ari (d. 936), the great theologian and the founder of the

Ash`ari school, not only denied any right of people to rebel, but also emphasized the Caliph’s

claim to total obedience even if he disregarded or violated his true duties. In his widely

known saying, Ash`ari declared “we uphold prayer for peace for the caliphs, submission to

their office, and maintain the error of those who hold it right to rise against them whenever

there rebellion against them and civil war”.

8. Yet, the idealization of the Caliphate was not without criticism. A vocal Sunni theologian, Ibn

Taymiya (d. 1327), considered that the corrupt rulers were the most immoral, and therefore

obedience to them were not necessary. He suggested that the Caliphate was not necessary.

Critical observation on the nature of the Caliphate became more penetrating when Ibn

Khaldun (d. 1406) came to a conclusion that the Caliphate after the four Rightly-Guided

Caliphs was no longer Islamic in nature because they were transformed into a form of

kingship.

9. In the modern time, the idea for the Caliphate revivalism emerged especially after the

abolition of the Caliphate institution by Kem,al Atatturk in Turkey in 1924. Among these

revivalists was Rashid Rida who tends to reform the Islamic legal system and to restore an

Islamic government, i.e. the Caliphate. To Rida, “the true Islamic political system is based

upon consultation between the Caliphs and the ulama who are the guardians interpreters of

Islamic law.. Through his treatise on the Caliphate, al-Khilafat aw al- Imamat al- Uzma (the

88 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Caliphate or the Supreme Imamate), Rida reexamined the constitutional theory of the

Caliphate and sought to restore this political institution in its proper forms and within the

framework of the rehabilitation of the Muslim community. The main features of the

Caliphate, according to Rida, are it is a type of government characterized by sovereignty of

the community; constituted by representation and consultation through “the people of

notables and binding” (ahl al-hal wa al-`aqd), who are the legitimate representatives of the

community. In Rida’s proposition, the juxtaposition of the “representatives” and the

“represented”, or the ahl al-hal wa al-`aqd and the ummah, implied that sovereignty over the

community had been delegated to the ahl al-hal wa al-`aqd who were representatives, not

delegates. Nevertheles, Rida still dwelled on the importance of consultation (shura) and

concesus (ijma`) as the principles of democracy and the people’s political participation in

politics. In this connection, Rida identified the ahl al-hal wa al-`aqd with ahl al-shura

(“consultative council) and ahl al-ijma` (“consensus council”).

10. It seems that the modern proponents of the Caliphate had sought to reconcile between pre-

modern Islamic political theories and modern Western theories, though with only a few

modification. This traditionalist political paradigm asserted the unity of religion and politics

in Islam, as the central tenet, in addition to its emphasis on the important role of the ulama as

safeguardians of the community. As adherents to the institution of the Caliphate the

traditionalists maintain that the Caliphate is the only form of Islamic government. Therefore,

this traditionalist political paradigm, i.e., the idea of the Caliphate, can not be projected to

contemporary political terms. Because in the eye of the beholders the existing form of

government, namely the Western democracy, was invalid and the source of the many

problems of the world today.

11. Yet, the proponents of the idea of reviving the Caliphate are minor minority in the Muslim

world. It is clearly evinced by the existence of non-theocratic and even secular states in many

Muslim countries, and that majority of Muslims are consent with the existing forms of

government. According to a recent survey in Indonesia, the most populous Muslim country in

the world, for example, more than 85% of Indonesian Muslims agreed with the current

Pancasila State, which is neither Islamic nor secular. And it is widely recognized that Islam

has become the prime mover of democratizing Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 89

ISLAM DAN DEMOKRASI:

Perspektip Teologi Politik Sebagai Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa1

Oleh : Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA2

Pendahuluan

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang selalu mempertanyakan tentang dirinya. Dari

satu generasi ke genrasi yang lain manusia selalu berusaha menemukan jawaban tentang manusia

itu sesungguhnya apa. Meski perenungan tentang manusia telah berlangsung sepanjang sejarah

manusia, tetapi pembicaraan tentang manusia hingga kini, dan masa mendatang masih akan tetap

menarik. Daya tarik pembicaraan tentang manusia antara lain seperti yang dikatakan oleh Dr.

Alexis Careel dalam bukunya Man The Unknown, adalah karena pengetahuan tentang makhluk

hidup, terutamanya tentang manusia yang belum mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai

dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Kata Careel, pertanyaan tentang manusia pada

hakikatnya hingga kini masih tetap tanpa jawaban.

Di satu sisi manusia menurut al Qur an adalah makhluk yang memiliki potensi besar yang

membuatnya sangat berpeluang untuk menggapai martabat yang sangat tinggi dan terhormat (fi

ahsani taqwim, Q/95:4-5). Tetapi di sisi lain manusia juga sangat potensil terjerembab ke

tingkatan yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang (asfala safilin). Gagasan demokrasi

sepanjang sejarah manusia sesungguhnya merupakan upaya manusia menggapai kehormatan

dalam kehidupan social politik.

Manusia adalah perwujudan atau tajalli dari kebesaran Tuhan sang Pencipta, oleh karena itu

kajian tentang manusia tak pernah mencapai tingkat final, karena sisi-sisi manusia sangat unik,

rumit, lembut, menakjubkan, indah, sistemik dan memiliki keluasan seluas alam semesta . Sisi-

sisi manusia sebagai indifidu, sebagai makhluk social, sebagai makhluk budaya, sebagai makhluk

politik,sebagai makhluk psikologis dan sebagai makhluk yang berketuhanan memunculkan

kesamaan dan perbedaan karakteristik perilaku mereka dalam kehidupan.. Kenyataan

menunjukkan bahwa katakanlah lima ribu tahun lalu , dikenal ada orang baik dan sangat baik di

samping ada orang jahat dan yang sangat jahat. Kini di era IT pun pola itu tetap ada, yakni ada

orang baik dan yang sangat baik disamping banyak orang jahat dan yang sangat jahat.. Gagasan

demokrasi yang diciptakan lebih dari sekali dan di banyak tempat sejak awal sesungguhnya

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Guru Besar Psikologi Islam dan Ketua Program Studi Doktor Komunikasi dan Penyiaran Islam pada Universitas Islam As-

Syafi’iyah (UIA).

90 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

merupakan upaya membangun kualitas masyarakat lebih mendekat kepada kebaikan sekaligus

menjauh dari tarikan keburukan dengan menghormati kedaulatan rakyat. Karena agama juga

mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan menghormati harkat kemanusiaan maka pengembangan

demokrasi juga tidak luput dari perhatian agama.

Manusia sebagai makhluk Politik

Ekpressi politik adalah kerjasama dan bersaing. Untuk mengapai tujuan bersama , manusia

bekerjasama satu sama lain baik dalam lingkup kecil, satu desa misalnya, lingkup regional,

lingkup nasional hingga lingkup international. Sedangkan untuk menggapai agenda subyektip,

manusia bersaing satu sama lain, juga dalam seluruh tingkatan kecil hingga international. Partai

politik, ormas, universitas bahkan Negara adalah wadah kerjasama dan wadah persaingan.

Sejarah politik penuh dengan adegan kerjasama dan adegan persaingan. Mana yang lebih

dominan, kerjasamanya atau persaingannya bergantung kepada sistem yang diterapkan pada

masing-masing Negara. Demokrasi diterapkan antara lain dimaksud untuk membuka peluang

kerjasama dan persaingan seluas-luasnya kepada rakyat dalam menyalurkan aspirasi politiknya .

Mengapa demokrasi juga belum memuaskan adalah karena tabiat manusia yang berada

diantara dua titik ektrim; sangat baik dan sangat jahat. Jika manusia , dalam hal ini pemimpin

atau rakyat banyak ingin menggapai sesuatu yang obyektip dan mulia, pasti mereka bekerja sama

dan bersaing dengan sportip sehingga proses politik terasa indah. Tetapi jika para pemimpin dan

rakyat atau politisi memiliki tujuan tersembunyi yang subyektip dan jahat maka mereka pasti

tergoda untuk melakukan kecurangan dalam kerjasama maupuin dalam bersaing, satu hal yang

membuat kehidupan politik menjadi memuakkan.

Politik adalah power yang bisa mengantar seseorang atau sekelompok orang ke “kursi”

tujuan., oleh karena itu dibutuhkan kecakapan tertentu dalam mengendalikan politik agar power

itu tidak justeru “menghancurkan” tujuan yang diinginkan karena watak power itu liar.

Teori pengendalian politik itu dapat dibaca dari filosofi sais pada masyarakat Betawi. Kata

sais (bahasa Arab) yang merupakan bentuk isim fail dari kata siyasah (artinya politik)

mengandung arti pengendali politik, oleh orang Betawi kata sais digunakan untuk menyebut kusir

sado atau dokar, yakni kereta yang ditarik oleh seekor kuda. Kuda itu sendiri digunakan oleh

teknologi mobil untuk menyebut ukuran dari kekuatan mesin, yakni horse power. Jadi orang

Betawi memandang karakter politik itu seperti kuda, liar, tak mau diam, tetapi jika mampu

mengendalikannya maka kuda bisa mengantar orang dan kereta ke tujuan yang jauh. Berpolitik

harus focus, maka politik tidak boleh terbuka selebar-lebarnya, harus ada yng ditutupi, seperti

kuda harus dikenakan kacamata kuda, supaya focus hanya ke depan. Kuda tanpa kacamata kuda

akan menjadi liar tak bisa dikendalikan. Seorang sais atau kusir harus mampu mengendalikan tali

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 91

kekang, kapan harus ditarik dan kapan harus dilepas, sehingga kuda berjalan sesuai dengan arah

yang diinginkan. Kesalahan dalammengendalikan kuda atau mengendalikan kuda tanpa kacamata

kuda dapat mencelakakan penunggang kuda berikut kereta yang ditariknya.

Demikian pula politik, kebebasan politik tanpa batasan atau menejemen politik yang keliru

dapat memunculkan anarki yang bukan saja mencelakakan politisi, tetapi juga berpotensi

menghancurkan Negara. Demokrasi murni tanpa batasan dimana semua masalah politik

diselesaikan secara langsung oleh mayoritas suara rakyat sangat potensil salah dalam

pengambilan keputusan karena pemerintahan rakyat tidak berlandaskan pada pengetahuan tentang

kebenaran, tetapi bertumpu pada kehendak mayoritas. Oleh karena itu seperti yang kita saksikan

dalam sejarah politik, demokrasi selalu diciptakan lebih dari sekali dan di banyak tempat.

Dinamika Demokrasi

Usia demokrasi sudah sangat panjang, diawali dengan pemikiran para failasuf Yunani kuno,

dipraktekkan di Athena (500-300 SM) pada abad-abad sebelum Masehi. Dalam rentang sejarah

peradaban manusia, selalu dicari model-model demokrasi yang dipandang sesuai . .Demokrasi

yang terbangun dengan baik di satu tempat belum tentu tepat untuk tempat yang lain. Dalam

sejarah perkembangannya, beragam bentuk pemerintahan demokrasi telah muncul dan tenggelam,

terkadang bentuknyapun independen , tak ada hubungannya antara yang satu dengan yang lain.

Demokrasi memang mempunyai beragam bentuk. Ada demokrasi langsung (direct

democracy), ada pula demokrasi tak langsung atau demokrasi perwakilan (representative

democracy), dikenal pula demokrasi murni (pure democracy) dan demokrasi liberal (liberal

democracy).

Demokrasi langsung atau direct democrasy adalah demokrasi yang pernah diterapkan

pada model pemerintahan Negara Kota Yunani Kuno (Athena) dimana rakyat dapat

terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Nampaknya model

demokrasi langsung memang hanya ada di Yunani kuno saja.

Demokrasi tak langsung atau demokrasi perwakilan (representative democracy) adalah

demokrasi yang cocok diterapkan untuk model pemerintahan Negara-nasional, dimana

sebagian kecil penduduk bertanggung jawab untuk mengurus kepentingan rakyat.

Demokrasi murni atau pure democracy adalah demokrasi yang tidak terbatas dimana

semua masalah politik diselesaikan secara langsung oleh mayoritas suara rakyat, tanpa

ada pembatasan-pembatasan apapun. Konsekwensinya, tidak ada alasan untuk mengawasi

keputusan2 yang diambil, karena pemerintahan rakyat itu tidak berlandaskan kebenaran,

tetapi bertumpu pada kehendak mayoritas, apapun keputusannya. Argumen “filosofinya”

adalah bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, tetapi dalam praktek model demokrasi ini

biasanya menuju kepada “tirani mayoritas”.

92 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Demokrasi Liberal atau demokrasi terbatas adalah jenis demokrasi yang menekankan hak

dan nilai-nilai tertentu, seperti kepemilikan pribadi, kebebasan negatip (freedom from),

individualism dan toleransi . Ciri dari demokrasi liberal adalah adanya dua karakter yang

menonjol, yaitu (1) seorang individu harus memperoleh perlindungan dari tindakan

sewenang-wenang pejabat pemerintah, (2) Rakyat berhak menjalankan hak-hak tertentu

tanpa memperoleh ancaman dari pemerintah. Pada umumnya prinsip-prinsip liberalism

ini dtuangkan dalam konstitusi sehingga sistemnya disebut liberalism konstitusional.

Banyak ahli menyatakan bahwa pemerintahan otokrasi yang liberal itu lebih baik

daripada pemerintahan demokrasi yang tidak liberal, karena cirri pemerintahan liberal

adalah adanya penegakan hokum dan perlindungan hak.

Islam dan Demokrasi

Meski sejak zaman Yunani kuno sudah ada istilah demokrasi, tetapi sejarah politik Islam

tidak melahirkan istilah demokrasi. Al Quran lebih menekankan bentuk musyawarah dibanding

demokrasi, wasyawirhum fi al amri,(Q/ 3:159)….. wa amruhum syuro bainahum(Q/42:38).

Tetapi perilaku politik Nabi dan sahabat pada generasi pertama memberikan contoh peradaban

“demokrasi” yang sangat tinggi, seperti Piagam Madinah dan masyarakat madany atau civil

sosiety

Meski kedudukan Nabi Muhammad dalam struktur kekuasaan itu seperti Raja, tetapi Nabi

selalu meminta masukan kepada sahabat-sahabat pilihan sebelum mengambil keputusan

politik.

Piagam Madinah adalah dokumen politik yang sangat tinggi nilai budayanya pada masa

itu, karena Piagam Madinah belum ada bandingannya ketika itu, bahkan kalau mau

dibandingnkan justeru Pancasila lah yang mirip Piagam Madinah.

Penamaan Madinah al munawaqroh (sebelumnya bernama kota Yatsrib) mengandung

arti Negeri atau kota yang penduduknya berbudaya tinggi, dimana kebudayaanya disinari

(oleh nilai-2 wahyu al Qur’an)

Empat khalifah dari generasi khulafa Rasyidin dipilih dengan model-model demokrasi

yang padananya baru bisa disebut sekarang, yaitu (1) Abu Bakar Siddik, khalifah

pertama, dipilih secara aklamasi, (2) Umar bin Khottob, khalifah kedua,dipilih melalui

dekrit, karena kondisi negara sedang kritis, suasa perang.

Usman bin Affan, khalifah ke tiga dipilih melalui demokrasi perwakilan, yakni oleh 6

tokoh yang ditunjuk oleh Umar mewakili aspirasi ummat, ditambah satu tokoh, yakni

anaknya Umar bin Khottob, yang hanya memiliki hak memilih tapi tidak boleh dipilih.

Ali bin Abi Thalib, dipilih secara aklamasi oleh penduduk terbatas karena Negara dalam

keadaan krisis.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 93

Selanjutnya pemerintahan setelah periode khulafa Rasyidin, sejak Bani Umayyah yang

berpusat di Damaskus hingga Turki Usmani, sistem politik yang berjalan adalah dinasti meski

masih menggunakan nama khalifah . Setelah kekhalifahan Turki Usmani bubar sebagai

konsekwensi keberpihakan kepada Jerman yang kalah dalam perang dunia, Turki justeru berubah

menjadi Negara sekuler dengan Nama Republik Turki.

Selanjutnya dunia Islam yang kebanyakan dijajah oleh kolonialisme Barat kemudian tidak

bisa menghindar dari pengaruh Barat, yaitu membentuk Negara nasional, baik yang berbentuk

republic, kerajaan maupun kerajaan konstitusional.

Teologi Politik

Manusia disebut sebagai makhluk budaya, sementara pengertian budaya adalah konsep,

gagasan, dan keyakinan yang dianut oleh orang dalam waktu lama dan konsep itu memandu

tingkahlaku mereka dalam kegiatan sehari-hari. Ketika manusia memilih A, maka dalam

fikirannya sudah ada konsep bahwa A adalah sesuatu yang mempunyai arti yang oleh karena itu

maka ia pilih.. Politik adalah bagian dari budaya, dan politik berhubungan dengan kekuasaan.

Ketika seseorang mengambil keputusan mencalonkan diri sebagai gubernur misalnya, maka

dalam fikirannya sudah terbayang satu konsep bahwa jabatan gubernur akan membawa implikasi

kekuasaan yang membuatnya memiliki nilai lebih. Oleh karena itu ia mulai dengan melakukan

kalkulasi positip negatip dan kemudian mengambil keputusan.

Dalam Islam, berpolitik merupakan bagian dari dakwah, karena obyek dakwaah itu ada yang

bersifat indifidual, keluarga, regional, nasional dan universal. Dakwah politik adalah upaya

membangun tatanan social politik agar setiap orang dalam wilayah regional atau nasional

terlindungi dari ketidak adilan dan lebih jauhnya masyarakat dapat mencapai kesejahteraan serta

hidup bermartabat. Karena masalah kepemimpinan sebagaimana juga tugas dakwah itu

merupakan keahlian maka hanya sekelompok kecil (thoifah) yang di dorong untuk terjun ke

spesialisasi dan profesionalisasi politik (Q/9:122). Dakwah politik merupakan ekpressi

tanggung jawab manusia sebagai khalifatulloh, yakni memelihara anugerah Tuhan agar manusia

(bangsa) bisa menjalani hidup berkualitas dan bermartabat. Dalam satu perespektip, politik adalah

juga merupakan upaya menghidayahi manusia menuju Alloh (kesempurnaan hidup) bukan

semata-mata upaya untuk meraih kekuasaan.

Dalam perspektip filsafat politik, kebahagiaan puncak adalah manakala kebahagiaan itu

terwujud melalui terbentuknya pemerintahan yang sempurna atau istilah lain kota utama

(madinatul fadhilah) dengan keberadaan pemimpin yang adil. Konsep madinatul fadhilah

sesungguhnya terapan ijtihadiyah dari konsep madinah al munawwaroh.

94 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Filsafat politik membagi politik kedalam tiga kategori; politik utama (siyasah fadhilah),

politik tidak utama (siyasah ghoiru fadhilah) dan politik alamiah (siyasah thabi’iyyah)

Politik utama adalah politik yang menjadikan Tuhan sebagai tujuan, yakni berkuasa

dibawah bayang-bayang kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha

Pengasih dan Penyayang sekaligus.

Politik tidak utama (siyasah ghoiru fadhilah) adalah politik yang menjadikan kekuasaan

menjadi tujuan dan untuk itu cara-cara kotor pun dilakukan

Politik alamiah (siyasah thobi’iyah, yaitu politik yang menjadikan materi sebagai tujuan,

seperti kemakmuran, kesejahteraan, tercukupinya sandang pangan papan dan sebagainya.

Politik dalam struktur keilmuan Islam.

Jika anda kuliah di Universitas Islam International dan mengambil program mayornya ilmu

Ushuluddin (Teologi) maka anda harus mengambil program minornya berupa ‘ilmussiyasah atau

ilmu politik. Logika dari strukur keilmuan ini adalah sebagai berikut.

Jika anda ingin berpolitik dengan politik utama dimana Tuhan menjadi tujuan

berpolitiknya, maka anda harus meniru politik Tuhan.

Di satu sisi Tuhan Maha Kuasa, dan kekuasaanya tak terbatas (`ala kulli syai-in qodir ),

tetapi di sisi lain Tuhan adalah Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun (ar

Rohman ar Rahim al Ghofur). Kontrol dari dua titik ektrim ini adalah sifat adil, dan

Tuhan Maha Adil.

Maka seorang politisi yang menjadikan Tuhan sebagai tujuannya, ia berusaha meraih

kursi kekuasaan, agar dengan kekuasaan itu ia bisa menyebarluaskan kasih sayang kepada

rakyat dengan cara se adil-adilnya.

Pengalaman Berdemokrasi

Usia demokrasi sudah sangat panjang, dan dalam rentang sejarah sepanjang itu peradaban

manusia mencari model-model demokrasi yang dipandang sesuai. Demokrasi memang tidak bisa

diklaim sebagai yang terbaik, tetapi terseleksi oleh alam politik sehingga bisa tampil sebagai

suatu sistem politik terbaik diantara yang buruk-buruk. Kini demokrasi membuktikan dirinya

amat dibutuhkan.

Indonesia juga tidak luput dari kehendak memilih demokrasi. Eksperimen demokrasi

berkali-kali dicoba sejak awal kemerdekaan. Pemilihan bentuk Negara Republik Indonesia

membawa konsekwensi untuk berdemokrasi. Bung Karno mencoba dua model demokrasi, yaitu

demokrasi liberal (1950-1959) dan demokrasi Terpimpin (1959-1966)). Presiden Suharto

menawarkan model demokrasi Panca Sila (1966-1998) Ketiga model demokrasi itu

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 95

menunjukkkan bahwa konsep demokrasi yang ditawarkan itu masih bersifat mencari bentuk yang

sesuai, atau bahkan trial and eror. Oleh karena itu ketiga model demokrasi itu jangankan bersifat

mengembangkan demokrasi, malah yang terjadi adalah praktek kekuasaan otoritarian , demokrasi

yang ditawarkan itu hanya sebatas nama dan tidak terwujud dalam realitas.

Oleh karena itu ketika terjadi krisis moneter 1998, gerakan menjatuhkan Presiden Suharto

yang sudah berkuasa selama 30 tahun juga masih menggunakan “bendera” demokrasi, yaitu

dengan proses konsolidasi demokrasi. Upaya mengatasi krisis politik dan moneter yang terjadi

dengan melakukan formulasi bagi reformasi politik dengan agenda utama, demokrasi. Demokrasi

masih tetap dipercaya sebagai satu-satunya sistem politik yang diperlukan untuk menjawab

kondisi kebuntuan bernegara.

Hanya saja disayangkan, suasana kemarahan kepada Suharto dan kroni-kroninya membuat

proses reformasi itu terlalu emosionil. Krisis moneter 1998 mestinya cukup dijawab dengan

reformasi ekonomi saja seperti yang dilakukan oleh Cina, tetapi kemarahan kepada Suharto,

ABRI, Golkar dan Orde Baru mendorong terjadinya reformasi ekonomi dan politik sekaligus,

padahal tidak ada contohnya dalam sejarah, reformasi “barengan” seperti itu yangberhasil. Uni

Sovyet pun bubar karena melakukan reformasi ekonomi dan politik sekaligus, Glassnot dan

Perestoika. Yugoslavia juga bubar.

Yang menyedihkan, eforia reformasi tanpa disadari justeru telah melahirkan sistem yang

tumpang tindih dan terhapusnya kunci pengaman negara melalui amandemen UUD 45, yakni

pencabutan MPR sebagai lembaga tertinggi dan penghapusan persyaratan WNI asli untuk calon

Presiden. Dua hal inilah yang kini mengancam masa depan NKRI, karena (1) ketiadaan lembaga

tertinggi Negara membuat sulit memecahkan masalah pelik nasional secara cepat,dan (2)

penghapusan persyaratan WNI Asli menduduki jabatan Presiden menimbulkan kekhawatiran

masuknya intervensi asing kedalam proses demokrasi seperti yang muncul dalam fenomena

pilkada DKI baru-baru ini..

Sesungguhnya konstitusi yang disusun oleh para pendiri negeri ini (Panca Sila, UUD 45,

Dekrit 5 Juli, Bhinneka Tunggal Ika) sudah sangat indah dan strategis dan masuk kategori konsep

besar. Sayang pada era reformasi yang sangat emosionil, banyak yang mengatakan bahwa

konstitusi juga perlu direformasi karena UUD 45 yang asli dipandang tidak lagi cukup untuk

mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan Negara sesuai dengan harapan rakyat.

Nah, perubahan atau amandemen UUD 45 sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001 dan 2002)

menyebabkan UUD 45 yang asli itu berubah menjadi konstitusi baru meski masih dinamakan

UUD 45, karena UUD 45 hasil perubahan empat kali itu telah mengubah pokok fikiran yang

terkandung dalam naskah asli UUD 45 yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Empat kali

96 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

amandemen mengubah UUD yang semula hanya berisi 71 butir ketentuan menjadi 199 butir

ketentuan. Perubahan itu juga telah mengubah sistem ketatanegaraan NKRI.

Pemilu 2004 dan 2009 yang sepertinya menggambarkan demokrasi yang indah karena

berhasil meletakkan kembali dasar-dasar politik kerakyatan yang diperlukan bagi pengembangan

demokrasi lebih lanjut, tetapi ternyata itu semua tak lebih dari hipotetis saja. Kesuksesan pemilu

2004 dan 2009 baru dalam hal tahapan politik, belum bisa diklaim sebagai telah tercapainya

kehidupan politik demokratis. Pemilu yang idealnya menjadi puncak aspirasi demokrasi malah

sekedar menjadi arena bagi sebagian orang untuk mendapatkan legitimasi public. Pemilu 2014

memperparah asumsi itu sehingga pasca pemilu 2014 demokrasi menjadi “mainan” pemilik

media dan pemilik modal. Kebebasan berpendapat “public” sama sekali tidak mencerminkan

kehidupan demokratis yang dewasa dan bermartabat.

Jika praktek demokrasi di Barat merupakan hasil consensus panjang yang dimulai sejak

pencerahan dan revolusi industry hingga abad ini, demokrasi di Indonesia dapat disebut sebagai

hasil impor dari peradaban Barat modern setelah sebelumnya komunitas bangsa ini memiliki

persekutuan politik dalam rupa kerajaan atau kesultanan. Memang sejak awal kemerdekaan,

pendiri republic ini lebih berkutat pada persoalan bangsa dan kebangsaan, dan bukan pada

persoalan Negara. Perhatian kepada nation building lebih kuat dibanding kepada state building,

satu hal yang berpotensi pada berkembangnya kesadaran yang bisa memanipulasi paham Negara

itu sendiri. Perilaku munafik aparat dan demontrasi kebhinnekaan “kelompok” kepentingan

akhir-akhir ini memperkuat indikasi pemanipulasian faham Negara itu.

Meski demikian, seperti yang dikatakan oleh Fukuyama, demokrasi telah mempengaruhi

pemikiran politik begitu banyak Negara di dunia dan menganggapnya sebagai satu-satunya

ideology politik ideal di seluruh dunia , termasuk di Indonesia. Nampaknya demokrasi bisa

menjadi perekat lintas dalam tiga unsure; yakni masyarakat, bangsa dan Negara. Selain membawa

nilai universal bagi pengaturan hidup bersama secara politis, demokrasi juga memberi tempat

memadai bagi tata social dan budaya. Kebinekaan suku, bahasa, agama dan budaya , melalui

demokrasi bisa disatukan seperti yang dimaksud dalam kalimat tunggal Ika, Bhinneka Tunggal

Ika. Tetapi nilai-nilai demokrasi itu barulah tampil sebagai sistem ketika ia sampai pada tataran

Negara. Dengan kata lain, institusionalisasi demokrasi lah yang menjadi ukuran bahwa demokrasi

telah menjadi sistem politik. Tetapi, demokratisasi juga merupakan proses budaya yang

melibatkan pula masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu dibutuhkan kehadiran lembaga atau

organisasi civil society bagi berlangsungnya proses konsolidasi demokrasi.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 97

Demokrasi pada Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa

Indonesia adalah Negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Sebelum menjadi

Republik Indonesia, telah ada lebih dari 200 kerajaan dan kesultanan Islam. Oleh karena itu tarik

ulur dasar Negara adalah antara Negara nasional (Panca Sila) dengan Negara Islamis (Piagam

Jakarta) . Proses dialog diakhiri dengan dekrit 5 Juli dimana dinyatakan bahwa Piagam Jakarta

menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45. Jika Timur Tengah terpecah menjadi banyak Negara

padahal mereka satu agama, satu bahasa dan satu bangsa, Indonesia yang terdiri dari banyak

agama, suku, bahasa dan budaya justeru bisa bersatu dalam satu Negara. Oleh karena itu

dinamika politik dan dinamika budaya dalam membangun tatanan demokrasi menjadi sangat

menarik.

Pakistan mendiklair sebagai Negara Islam, Mesir pernah juga, Malaysia menempatkan

agama Islam sebagai agama Negara, Chehnya malah menempatkan Tarekat Naqsyabandi sebagai

tarekat Negara, bukan hanya agama Islam, sementara Indonesia mengakui semua agama yang

ada dan Negara melindungi pemeluk semua agama menjalankan keyakinan agamanya masing-

masing. Kehadiran Piagam Jakarta memberi ruang kepada ummat Islam untuk menjalankan

syariah Islam, sehingga dimungkinkan ada Undang-Undang haji, UU wakaf, UU perkawinan,

bank syariah dan sebagainya. Indonesia bukan Darul Islam (Negara Islam), bukan Darul Harbi

(Negara dalam keadaan perang) tapi Darul`ahdi atau Darul mu`ahadah (negeri yang diikat dalam

perjanjian) untuk sama-sama menjaga NKRI dengan Panca Sila dan UUD 45 sebagai pengikat

kebhinnekaan dalam kesatuan NKRI.

Karena demokratisasi itu merupakan proses budaya , maka budaya Islam (dan budaya dari

agama lain) bisa mewarnai prinsip ataupun corak dari demokrasi di Indonesia. Sila ke empat

Panca Sila yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan sesungguhnya justeru bernuansa ajaran Islam karena terambil dari

istilah-istilah dalam Islam, seperti kerakyatan (dari kata ro`iyyah), hikmah (kebaikan),

musyawarah dan wakil. Kebebasan dalam demokrasi bukanlah kebebasan tanpa batas, tetapi

kebebasan yang tetap dalam penghormatan kepada nilai-nilai sacral, nilai2 akhlak mulia yang

diajarkan oleh agama. Penerapan demokrasi pada level praktis seperti pemilu, kelembagaan

Negara, sistem pengawasan, perlindungan kaum minoritas, pemberdayaan wanita, kebebasan

intelektual dan juga kebijaksanaan luar negeri semuanya itu harus memperhatikan nilai-nilai

kesucian agama dan akhlak al karimah yang dianut oleh masyarakat beragama.

Meski demokrasi juga bermakna berlangsungnya kedaulatan rakyat, tetapi untuk

menghindarkan terjadinya tirani mayoritas dan mencegah tampilnya orang-orang “idiot” yang

popular untuk menjadi pemimpin Negara , dimungkan adanya anggauta parlemen yang diangkat

98 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

mewakili kekuatan “moral” masyarakat terdiri dari tokoh-tokoh agama, tokoh2 budayawan dan

tokoh-tokoh intelektual.,

Pada aklhirnya, untuk mewujudkan suatu Republic Demokrasi yang ideal dibutuhkan tiga

syarat yang harus dipenuhi :

Pemegang kekuasaan Negara tidak boleh terpusat, tetapi dijalankan dengan sistem

perwakilan, yakni adanya lembaga Negara dimana rakyat mewakilkan kekuasaannya.

Kekuasaan Negara dan pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi hokum. Segala

sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan public diatur dan tunduk kepada hokum yang

berlaku dalam Negara itu

Adanya partisipasi warga Negara dalam diskursus public. Wrga Negara ikut berperan

aktip dalam menentukan setiap kebijaksaan public.

Sesungguhnya tiga syarat tersebut sudah ada dalam kehidupan bernegara kita, tersimpan

sebagai potensi. UUD Negara kita telah mengatur prinsip-prinsip demokrasi dan

memperbaharuinya agar menjadi lebih baik, sementara institusi Negara jugaberusaha

menyesuaikan dengan tuntutan demokrasi. Tantangannya ialah bagaimana sistem itu bisa berjalan

dengan benar, bagaimana rakyat harus aktip menanggapi dan bagaaiamana pemerintah tahu diri.

Jakarta, 17 Juli 2017-

Daftar bacaan.

1. Anis, M, Islam dan Demokrasi , Perspektip Wilayatul Faqih,Jakarta, Mizan, 2013

2. Dahl, Robert A, Democrasy and Its Critics, New Haven, Yale University Press, 1989

3. Eposito, John L, Islam and Democrasy, New York, Oxford University Press, 1996

4. Faraby, Ara’ahl Madinah al Fadhilah, Beirut, Darul Masyriq, 1968

5. …………..Siyasah al Madaniyyah, Beirut, al Maktaba al Katholikiyah, 1964

6. Hefner, Robert W. Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia (terjemahan),

Yogyakarta, LKIS, 2001

7. Soegeng Saryadi, Membaca Indonesia, SSS, Jakarta, 2005

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 99

CV Singkat

Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA,

TTL, Purwokerto, 15 Desember 1945

Guru Besar Psikologi Islam, Ketua Senat Guru Besar Universitas Islam Assyafi`iyyah

Pengalaman Pendidikan

1. Pesantren

2. Sekolah Tehnik dan Sekolah Guru

3. BA Teologi, Drs. Ilmu Perbandingan Agama, S2 Sufisme, S3 Islamic Studies

Pengalaman Pekerjaan

1. Guru/Kepala SD, SLP, SLA

2. Dosen, Pudek III, Dekan 3 periode, Purek III, Direktur Pasca, Ketua Program S3 (di UIA)

Pengalaman bidang social politik

1. Pengurus MUI Pusat

2. Anggauta MPR, Utusan Golongan

3. Ambassador for Peace/

4. Sekretaris Partai NU Tingkat kecamatan (1964-65)

5. Wakil ketua PMII Cabang Jakarta (1968-1970)

6. Pengurus LPTNU-PBNU (sekarang)

7. Pendiri Partai Demokrat

8. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat (2005-2009)

9. Pembina Partai Demokrat (sekarang)

100 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 101

PERKEMBANGAN ISLAM DAN DEMORASI

DI INDONESIA1

Oleh: Dr. Fachry Ali, MA

I

Mengapa judul makalah ini diawali dengan kata “perkembangan”? Jawabannya adalah

karena kita perlu menemukan “jejak awal” bagaimana Islam di Indonesia berinteraksi secara

kreatif dengan demokrasi. Di sini, pada 1916, kita bertemu dengan pidato pemimpinan Sarekat

Islam (SI) HOS Tjokroaminoto:

In order to reach our objectives, to facilitate our work, and to realize our great plan,

it is neessary to create legislation giving us native the right to cooperate in the

contruction of all these regulations of which we are thinking at present. ... It should

no longer be allowed that laws and regulations are made for us, that one governs

without us, without any participation from outside. Although we strongly desire and

hope for change, we have never dreamt about the coming of Ratu Adil and other

absurd impossible things.

Agar supaya mencapai tujuan-tujuan kita, untuk membantu kerja kita dan

merealisasikan rencana besar kita, sangat penting menciptakan badan legislasi yang

memberikan kaum pribumi hak bekerjasama dalam membangun semua regulasi yang

kita pikirkan sekarang. Kini tak lagi dimungkinkan hukum-hukum dan peraturan-

peraturan dibuat untuk kita, bahwa seseorang memerintah tanpa kita, tanpa

partisipasi dari luar. Kendatipun kita berkeinginan kuat dan berharap akan

perubahan, kita tak pernah berhayal tentang datangnya Ratu Adil dan hal-hal tak

masuk akal lainnya.2

Tjokroaminoto pada 1916 itu memang tidak menyebut frasa “demokrasi”. Namun,

gagasannya tentang partisipasi rakyat dalam memerintah dan ketidakabasahan sebuah

pemerintahan tanpa partisipasi rakyat dalam pembuatan undang-undang bukan saja terdengar

“revolusioner” pada masa itu, melainkan juga memenuhi kriteria “demokrasi” seperti dirumuskan

Stephan Haggard and Robert R. Kaufman.3 Maka, sejauh dokumen sejarah yang saya ketahui,

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Tjokroaminoto, “Speech at the Sarikat Islam Congress, 1916”, dalam Chr. L. M. Penders, (translator and editor),

Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism, 1830-1942 (Queensland: University of Queensland Press,

1977), hlm. 256. 3 Stephan Haggard and Robert R. Kaufman, Dictators and Democrats: Masses, Elites and Regime Change (Princeton and

Oxford: Princeton University Press, 2016). Lihat terutama catatan kaki no 22, hlm. 6.

102 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

interaksi kreatif pertama antara Islam Indonesia dan “demokrasi” terpercik pada pemikiran

Tjoroaminoto pada 1916 di atas.

Dalam interpretasi saya, melalui pidato itu, demokrasi telah berpreseden di dalam

pengalaman kolektif Islam Indonesia sejak awal abad ke-20 itu. Maka, tak mengherankan, ketika

demokrasi tersebut “goyah”, pemimpin Partai Masyumi Mohammad Natsir berseru pada 1956

untuk pemulihan keyakinan akan sistem demokrasi.4 Mengapa “goyah”? Karena sebelumnya,

tepatnya pada 28 Oktober 1956, Presiden Soekarno telah meneriakkan “Kuburkan Partai-partai

politik”.5 Gagasan “penguburan partai-partai politik” dan diikuti gagasan dan penerapan

“Demokrasi Terpimpin” dianggap menyimpang dari sistem demokrasi “yang benar”.6 Inilah yang

mendorong Natsir menyerukan “pemulihan kepercayaan atas sistem demokrasi”.

Sebagai catatan, jauh dari dugaan orang, Natsir adalah tokoh politik yang “luwes”. Benar

bahwa pandangan politiknya dipengaruhi gagasan Barat, yaitu demokrasi dan cenderung pada

perundingan dalam menyelesaikan pemberontakan Darul Islam (DI) di bawah Karto Suwirjo.

Akan tetapi, dibandingkan Sukiman, tokoh Masyumi lain yang menggantikan posisi perdana

menteri yang ditinggalkannya pada 21 Maret 1951, Natsir lebih “lunak” terhadap komunis.

“Sukiman was,” tulis Audrey Kahin, “more militantly anti-communist than Natsir” (Sukiman

lebih militan anti-komunis daripada Natsir). Dan tidak seperti Sukiman yang sang pro-Amerika

Serikat, Natsir menjaga jarak dengan negara adidaya itu.7 Dalam arti kata lain, Natsir adalah

seorang demokrat-nasionalis yang mampu menjaga keseimbangan dan tak membiarkan diri

terpukau mendalam terhadap pengaruh Barat. Maka, dengan kualitas demokratik-nasionalis

semacam ini, preseden demokrasi dalam Islam Indonesia yang dirintis Tjokroaminoto, secara

teoritis, mempunyai masa depan yang lebih cerah.

II

Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, preseden demokrasi terpaksa terhenti dalam

jangka waktu yang panjang. Pertama, ini terjadi karena pertarungan politik nasional pasca Pemilu

1955 dimenangkan, menggunakan frasa Hebert Feith, kaum solidarity makers di bawah

kepemimpinan Soekarno. Kemenangan ini bukan saja membuat kaum administrators di bawah

pimpinan Hatta tersingkir dari panggung politik, melainkan juga merosotnya praktek demokrasi

konstitusional. Melalui Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno bukan saja mengembalikan UUD 1945,

4 Mohammad Natsir, “Restoring Confidence in Democracy”, dalam Herbert Feith and Lance Castles, (eds.), Indonesian

Political Thinking, 1945-1965 (Ithaca and New York: Cornell University Press, 1970), hlm. 89-94. 5 Sukarno, “Let Us Bury the Parties” (1956), dalam Hebert Feith and Lance Castles, (eds.), Indonesia Political Thinking,

hlm. 81-83. 6 Tentang percaturan politik di masa ini, lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca,

New York: Cornell University Press, 1964). 7 Audrey Kahin, Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Mohammad Natsir (Singapore: National

University of Singapore, 2012), hlm. 92.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 103

yang memberikan hak eksekutif lebih besar daripada legislatif, melainkan juga menerapkan

konsep kesatuan ideologis apa yang dikenal dengan “Nasionalisme, Agama dan Komunis”

(Nasakom). Di dalam format politik baru ini, Soekarno bertindak sebagai “Bapak Bangsa” dan

menjadikan partai-partai politik hanya sebagai pendukung pasif dari seluruh gagasan-gagasannya.

Dalam situasi semacam ini, energi “kreativitas politik” lebih tersalurkan untuk memadankan diri

dengan gagasan-gagasan Soekarno, daripada membangun keseimbangan kekuatan politik

berdasarkan mekanisme kontrol yang konstruktif.

Kedua, perubahan kekuasaan kepada resim Orde Baru (1968-1998) kian menghapus

preseden demokrasi itu. Dengan asumsi bahwa pembangunan material adalah kunci keberhasilan

sebuah bangsa, maka rezim Orde Baru menomorduakan demokrasi. Demokrasi dengan

kebebasan berserikat hanya akan menimbulkan kegaduhan ideologis yang tak produktif. Karena

itu, seluruh gerak politik harus terkendali dengan cermat. Semua ditujukan untuk keberhasilan

pembangunan ekonomi. Sebagai konsekuensinya, keamanan dan ketertiban harus ditegakkan

dengan disiplin besi. Ini dilaksanakan dengan mengkonsolidasikan kekuasaan militer atas politik

Indonesia. Dan kebijakan-kebijakan politik-ekonomi dan sosial-budaya harus ditegakkan dengan

keras, demi pembangunan ekonomi. Kebijakan inilah yang secara sinis disebut Bradly Simpson

sebagai economists with guns (para ekonom dengan senjata).8 Kendatipun secara teknokratik

langkah pembangunan yang diambil ini menghasilkan sesuatu yang nyata, secara struktural

bersifat problematik. Andai tak dilanda krisis finansial 1997-98, rezim ini secara teoritis tetap

berhadapan dengan problem akut karena keterbatasan kapasitas struktural untuk menghadapinya.

Mengapa?

Dengan mengambil jalan pembangunan bersifat kapitalis, rezim Orde Baru pada

esensinya menyerahkan nasib kepada mekanisme pasar. Dan sekali langkah ke arah mekanisme

itu diambil, maka perubahan struktural di luar kemampuan kapasitas mendamaikannya terjadi. Ini

karena “[m]arkets are understood not as technical arrangements defined by a self-evident

rationality but as political products defined by power and interest” (pasar dipahami tidak sebagai

pengaturan teknikal yang ditentukan oleh rasionalitas nyata, melainkan produk politik yang

ditentukan oleh kekuasaan dan kepentingan), tulis Richard Robison dan Andrew Rosser. Sebagai

akibatnya, secara langsung atau tidak mekanisme pasar ini adalah juga “[i]nstruments for

constructing and allocating power. Hence, neo-liberal reform is best understood not in terms of a

process of rationalisation, but in terms of the extent to which structural shifts in technology or in

the organisation of production or global capital markets erode the power of entrenched social

and political coalitions” (alat membangun dan mengalokasikan kekuasaan. Karena itu, reformasi

8 Bradly R. Simpson, Economists with Guns: Authoritarian Development and the US-Indonesian Relations, 1960-1968

(Standford, California: Standford University Press, 2008).

104 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

neo-liberal sebaiknya dipahami tidak dari sudut proses rasionalisasi, melainkan dari sudut sejauh

mana perubahan-perubahan struktural dalam teknologi atau dalam organisasi produksi atau pasar

modal global mengikis kekuasaan koalisi sosial dan politik yang selama ini telah berurat-

berakar). Ketakutan akan hilangnya kekuasaan akibat perubahan struktural yang dipaksakan

mekanisme pasar ini mendorong koalisi kekuatan politik domestik menolak reformasi bersifat

neo-liberal. Dan usaha menolak reformasi neo-liberal itulah yang secara struktural problematik

karena negara telah terlanjut berada di wilayah pasar. Krisis finansial 1997-98, dengan demikian,

bukanlah krisis teknikal moneter. Melainkan krisis ketidakmampuan struktural menanggung

akibat-akibat perubahan dan alokasi kekuasaan yang harus ditanggung para penguasa rezim Orde

Baru dengan berada di dalam mekanisme pasar.9

Maka, secara kualitatif, hampir seluruh komponen bangsa tidak siap menerima demokrasi

yang harus diterapkan dengan tiba-tiba ketika rezim Orde Baru runtuh. Sebab, demokrasi “sejati”

tak sempat berkembang sejak 1959 hingga 1998.

III

Dalam fase inilah terjadi “perkembangan” demokrasi di kalangan Islam Indonesia secara

spesifik. Benar, bahwa berbagai kalangan Islam pasca Orde Baru berhasil dan mampu

membangun partai-partai politik tersendiri; benar bahwa secara individual maupun kelompok

telah terjadi transformasi dan mobilitas vertikal beberapa kalangan Islam melalui jalan

pengintegrasian diri ke dalam partai-partai politik tersebut. Akan tetapi, esensinya, aktor-aktor

utama di dalam sistem demokrasi pasca Orde Baru ini adalah kaum oligark ―yang secara

finansial dan kapital telah terlanjur besar di masa Orde Baru. Dan ini mendorong terjadi migrasi

modal (capital migration) ke dalam dunia politik, ketika kalangan kaya menginvestasikan daya

keuangannya ke dalam partai-partai politik secara langsung atau tidak. Kemelut politik yang

berlangsung dewasa ini ―pertentangan antara DPR dengan KPK, dominannya kelompok tertentu

di dalam kepemimpinan DPR, walau terkena persoalan hukum― adalah refleksi nyata dari

migrasi modal ke dalam dunia politik.

Ini mendorong massa Islam berkembang menjadi ―meminjam frasa Ariel Heryanto― a

new kind of disempowerment (jenis baru ketakberdayaan). Sejatinya, apa yang dimasud Ariel

Heryanto dengan disempowerment ini adalah sebuah situasi kontestasi politik pasca Soeharto

yang didominasi oleh entertainment (tontonan atau pertunjukan) dan kompetisi sengit sesama

9 Richard Robison and Andrew Rosser, “Surviving the Meltdown: Liberal Reform and political oligarchy in Indonesia”,

dalam Richard Robison, Mark Beeson, Kanishka Jayasuriya and Hyuk-Rae Kim, (eds.), Politics and Markets in the Wake of

the Asian Crisis (London and New York: Roudledge, 2000), hlm. 173.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 105

anggota partai ―sebagai akibat perubahan UU Pemilu.10 Akan tetapi, di dalam konteks Islam

Indonesia, saya lebih cenderung mengartikan frasa disempowerment ini pada tekanan lain yang

diberikan Ariel Heryanto, yaitu “[g]reater political liberalisation does not automatically

increase the power of the masses” (kebebasan yang lebih besar tidak secara otomatis

meningkatkan kekuasaan massa rakyat).11 Maka, kendatipun benar bahwa kebebasan berpolitik

kian tinggi pasca Soeharto, massa Islam yang sangat besar itu tak mampu memanfaatkannya

dengan maksimal peluang demokrasi ini. Tidak seperti kalangan yang terlanjur besar secara

finansial di masa Orde Baru, massa Islam tumbuh dan berkembang tanpa basis material memadai

untuk membiayai proyek-proyek atau program-program politik mereka.

Kesadaran struktural ini, secara kolektif, tidak atau belum berkembang sepanjang pemilu

1999 hingga bahkan 2014. Sampai dengan pemilu terakhir itu, massa Islam mendefinisikan diri

sebagai warga negara “biasa” yang melihat kesesuaian pandangan atau ajaran agama dengan

sistem demokrasi. Karena itu, mereka berpartisipasi sepenuhnya di dalam setiap pemilu sebagai

warga negara “yang baik”. Akan tetapi, sikap mereka sebagai partisipan “biasa” di dalam siklus

pemilu segera berubah ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), calon Gubernur Daerah Khusus

Ibu Kota (DKI) Jakarta menyinggung Surah al-Maidah ayat 51 tentang pandangan Al-Qur’an atas

pemilihan seorang pemimpin. Dua pertanyaan yang segera timbul di kalangan Islam Indonesia

dengan “insiden” ini. Pertama, apakah layak seorang non-Muslim mengutip ayat Al-Qur’an untuk

meneguhkan keyakinan kalangan Islam guna memilih dirinya ―sementara tak ada kalangan

Islam berusaha menyentuh kitab-kitab suci agama lain untuk motif apapun, terutama politik?

Kedua, dan terpenting, mengapa kalangan Islam tidak punya sarana material untuk memberi

bobot partisipasi mereka dalam dunia politik sesuai kerangka sistem demokrasi?

Maka, seperti terlihat pada kontestasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta April lalu,

pertanyaan kedua dijawab dengan merevitalisasi pandangan agama di dalam dunia politik.

Agama, dalam konteks ini, Islam, dalam percaturan politik pasca Pemilu 2014, dengan demikian,

adalah kompensasi dari absennya dukungan material kalangan Islam berpartisipasi di dalam

sistem politik demokrasi. Dalam arti kata lain, material or financial disempowerment

(ketakberdayaan material dan finansial) yang mereka derita di dalam dunia politik haruslah dicari

substitusinya ke dalam dunia agama. Inilah yang menjelaskan mengapa kalangan Islam Indonesia

mampu memobilisasi massa dalam jumlah sangat besar ke jalan-jalan raya Jakarta ―yang

mengingatkan kita pada The Occupy Movement, protes massif rakyat di Amerika Serikat dan

beberapa negara Eropa pasca krisis finansial global 2008 dengan menduduki sarana-sarana

10 Ariel Heryanto, “Entertainment, Domestication and Dispersal: Street Politics and Popular Culture”, dalam Edward

Aspinall and Marcus Mietzner, (eds.), Problems of Democratizsation in Indonesia: Elections, Institutions and Society

(Singapoe: ISEAS), 2010), hlm. 181-182. 11 Ariel Heryanto, “Entertainment, Domestification and Dispersal”, hlm. 182.

106 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

publik, terutama pusat bisnis dan pasar modal.12 Ini pula yang menjelaskan mengapa pasangan

Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menang secara signifikan di dalam putaran kedua Pilkada

DKI Jakarta pada 19 April 2017 lalu.

IV

Sebagai kesimpulan, jika pidato tokoh Islam HOS Tjokroaminoto pada 1916 memberikan

preseden interaksi Islam Indonesia dengan sistem politik demokrasi, maka aksi Natsir pada 1956

mempertahankan demokrasi yang mulai merosot di tangan Soekarno adalah usaha memelihara

preseden demokrasi tersebut. Keduanya, walau menggunakan logika-logika modern (dan tanpa

menyebut secuil ayat Al-Qur’an), berusaha mendamaikan Islam Indonesia dengan demokrasi.

“Gerakan Islam jalanan” pada 2016-2017 bukanlah usaha mendamaikan Islam dengan demokrasi.

(Sebab, bagi mereka sistem demokrasi telah bersifat taken for granted, bahwa seorang pemimpin

publik haruslah tampil melalui kontestasi pemilihan terbuka). Melainkan, sebuah usaha

menjadikan agama sebagai sumber kekuatan politik di alam demokrasi ―ketika secara struktural

disadari bahwa kalangan Islam Indonesia tidak mempunyai sumberdaya material untuk

menyokong aksi politik mereka.

Jakarta, 25 Juli 2017

12 Tentang hal ini, Tony Milligan, Civil Disobidience: Protest, Justification, and the Law (New York, London, New Delhi

and Sydney: Bloomsbury, 2013), hlm. 1-13.

BAB V :

PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA ISLAM

DALAM MENERAPKAN PRINSIP

DEMOKRASI BERKETUHANAN YANG MAHA

ESA,

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 107

ISLAM DAN DEMOKRASI:

Penerapan Dalam Sistem Pemerintahan Di Beberapa

Negara Islam1

Oleh: Prof. Dr. Deddy Ismatullah, SH. MH.2

A. Latar Belakang

Pembicaraan tentang Islam dan demokrasi dan penerapanya merupakan isu yang

terus menjadi pembahasan baik pada tataaran akademis maupun parktis. Terlebih apabila ada

momentum yang memicunya. Seperti pada seminar yang diselenggarakan oleh Universitas

Assafi‟yah ini, merupakan respon atas siatuasi kontemporer dimana muncul pemikiran-

pemikiran pengembangan sistem pemerintahan khilafah, diantaranya yang banyak

disuarakan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pada saat

yang sama suasana hubungan pemerintah dengan umat Islam juga mengalami fase yang

dinamis, termasuk munculnya keinginan membubarkan ormas Islam yang dianggap tidak

sejalan dengan Pancasila melalui Perpu tentang Ormas.

Pada tulisan ini, sesuai dengan dengan tema yang diminta panitia akan membahas

model penerapan demokrasi di beberapa negara Islam. Fokus permasalahan yang akan

didalami adalah melihat penerapan sistem pemerintah negara-negara Islam, atau negara-

negara yang mayoritas penduduknya muslim. Selanjutnya akan ditelaah dengan melihat

kesesuaian dengan model pemerintahan demokratis. Diharapkan diperoleh gambaran secara

empiris bagaimana kompabilitas Islam dan demokrasi, sekaligus apakah memang sistem

demokrasi membawa kebaikan bagi negara-negara Islam.

B. Islam dan Demokrasi

Untuk melihat sejauhmana kesesuaian Islam dengan demokrasi pada bagian berikut

akan diuraikan secara singkat, atau pokok-pokoknya dari masing-masing sehingga terdapat

gambaran dimana letak kesesuaian dimaksud.

1. Islam

Islam adalah agama yang didasarkan wahyu Allah Swt. yang diturunkan melalui nabi

Muhamad Saw. dan diperuntukan bagi seluruh alam (rahmatan lil„aalamiin) dalam

kehidupan ini. Ajaran Islam yang universal diakui oleh seluruh umat manusia, terutama

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Guru Besar pada Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung dan Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA).

108 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

bangsa-bangsa yang beradab, yang berintikan Ajaran tentang dasar-dasar keimanan

(akidah) dan etika moral (akhlak) serta sebagian besar aspek hukum (syari‟ah) yang

merupkana perwujudan dari akidah dan akhlak tersebut. Memang sebagain dari hukum

tersebut bersifat particular, sebagaiman firman Allah Swt. dalam QS. al-Maidah; 48,

likulli ja‟alna minkum syir‟ah wa minhaj (untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami

berikan aturan dan jalan yang terang). Dalam aspek hubungan antar manusia

(mua‟malah) hukum Islam hanya bersifat garis besar sehingga memiliki elastisitas dengan

perkembangan zaman, sedangkan dalam aspek ibadah ketentuan hukumnya bersifat tetap

dan rinci dan tidak berubah meski zaman berubah.3

Berkaitan dengan tema dalam makalah ini, maka pada bagian berikut akan lebih

uraikan aspek universalitas ajaran Islam, khususnya berkaitan dengan nilai-nilai dasar

kemasyarakatan, yang memiliki spirit nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip demokrasi.

Setidaknya terdapat sembilan prinsip dasar yang merupakan pedoman dalam kehidupan

bermasyarakat yaitu :

1) Keadilan (al-„adalah). Prinsip ini berdasarkan pada firman Allah Swt. dalam QS.

An-Nisaa ayat 135 yang artinya”wahai orang-orang beriman, jadikanlah kamu

orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun

terhadap diri sendiri atau ibu bapamu dan kaum kerabatmu. Keadilan tidak hanya

dipraktekan dalam perundangan dan pemerintahan tetapi juga kehidupan sehari-

hari, termasuk dalam unit terkecil keluarga.

2) Kepercayaan dan akuntabilitas (al-amanah). Prinsip ini didasarkan pada firman

Allah Swt. dalam QS an-Nisa ayat 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah

menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan

apabila menetapkan hokum diantara manusia supaya menetapkan dengan adil.

Konsep ini yang pada awalnya diartikan sebagai kepercayaan (trust) dalam

perkembanganya diartikan sebagai pertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam

melaksanakan amanat”.

3) Persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kemajemukan (al-ta‟addud-diyyah). Prinsip ini

sejalan dengan ketentuan dalam QS. al Hujurat ayat 10, yakni “sesungguhnya

orang-orang mukmin adalah bersaudara. Hal ini diperkuat dengan pola

hubungan persaudaraan dalm semangat persamaan”. Dalam QS. Al-Hujurat ayat

13. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, nilai-nilai

3 Maskuri Abdilah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, PT Gramedia Utama, Jakarta, 2011.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 109

kemajemukan semakin perlu dikembangkan untuk membangun sikap saling

menghargai dan toleransi terhadap perbedaan.

4) Persamaan (al-musawah). Nilai ini antara lain terdapat dlam QS al-Hujurat:13

sebagaiamana disebutkan di atas dan hadis yang diambil dari pidato perpisahan

nabi yang artinya “Sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu

tidak ada perbedaan antara orang Arab dan non Arab, diantara yang berkulit

merah dan yang berkulit hitam, kecuali karena takwanya kepada Allah”. Secara

operasional konsep persamaan ini mengandung perbedaan dalam memaknai dan

mengaplikasikannya, terutama persamaan antara laki-laki dan perempuan dan

antara muslim dengan non muslim. Namun dalam perkembanganya muncul

pemahaman pemahaman yang lebih progresif tanpa lepas dari pemahaman

pokoknya yang merujuk pada pendapat (jumhur) para ulama.

5) Kebebasan (al-hurriyyah). Nilai ini antara lain terdapat dalam QS al-Baqarah ;

256, “tidak ada paksaan untuk (masuk) agama (Islam. Sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar dan jalan sesat”. Disamping itu, di dalam banyak sekali ayat

yang menegaskan perlunya perintah untuk berpikir (la „allakum ta‟qilun) yang

menunjukkan adanya perintah kebebasan berpikir. Hanya secara operasional tetap

terdapat perbedaan pandangan makan kebebasan tersebut, terutama apabila

berkaitan dengan hal yang bertentangan dengan agama.

6) Permusyawaratan (al-syura). Prinsip ini merujuk pada firman Allah Swt. dalam

QS. ali Imran ayat 159. Selanjutnya dalam QS. asy-Syu‟ara ayat 38 yang artinya:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan

mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah

diantara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami

berikan kepada mereka.” Menurut Hasan Ibrahim, sebagaimana dikutip oleh

Sarja,4 garis besar musyawarah penyelenggaraan negara dapat dibagi dalam tiga

ketagori. Pertama, musyawarah dalam pemilihan kepala negara (khalifah)

sebagaiamana dalam pemilihan khalifah setelah Rasulullah Saw. wafat. Kedua,

musyawarah dalam pembentukan Undang-Undang Dasar, sebagaimana dilakukan

oleh Rasulullah Saw. saat membentuk Piagam Madinah. Ketiga, musyawarah

dalam hal keamanan dan peperangan, sebagaimana dicontohkan dalam perang

Tabuk.

4 Sarja, Negara Hukum Dalam Teori dan Praktek. Thafamedia, Yogyakarta, 2016, halaman 37.

110 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

7) Perdamaian (al-slim). Prinsip ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam QS. al-

Baqarah ayat 208 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah

kamu semua dalam perdamaian”.

8) Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Prinsip ini secara tegas

digariskan dalam QS. al-Isra ayat 70 yang didalamnya mengandung persamaan

manusia, martabat manusia dan kebebasan manusia. Prinsip perlindungan hak

asasi manusia (hak hidup) juga ditegaskan dalam QS. al-Isra ayat 33. Dalam

Islam terdapat sekurang-kurangnya terdapat lima kebebasan yang dijamin dalam

nomokrasi Islam yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan

berpendapat, kebebasan memiliki harta benda, kebebasan memilih

pekerjaan/berusaha, kebebasan untuk memiliki tempat tinggal.5

9) Prinsip peradilan yang bebas. Prinsip ini berkaitan dengan prinsip keadilan dan

persamaan. Dalam ajaran Islam, hakim harus memutus perkara dengan seadil-

adilnya dan bebas dari tekanan pihak manapun. Rujukanya adalah QS. an-Nisaa

ayat 5 dan juga hadits nabi yang artinya ”Bila seorang hakim mengupayakan

hokum (dengan jujur) dan keputusanya benar, maka dia akan memperoleh dua

pahala. Tetapi apabila keputusanya salah maka dia akan memperoleh satu

pahala”. (HR. Al-Bukhari).

2. Demokrasi

Konsep demokrasi mulai dikenal sejak jaman yunani kuno dengan konsep “city state”

yaitu bentuk demokrasi langsung pengambilan keputusan politik diambil dan dijalankan

secara langsung oleh suluruh warga yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.6

Selanjutnya berdasarkan pandangan Aristoteles yang mengajarkan perlunya lembaga

yang kuat untuk mengarahkan warga agar tidak kacau dan lembaga tersebut terdiri para

filusuf, yang menurut penerus Aristoteles yaitu Plato dinakamakan bentuk pemerintahan

aristokrasi. Dasar inilah yang kemudian diadopsi oleh agama katholik dengan dalil yang

berbeda yaitu kekuasaan pada dasarnya berasal dari Tuhan yang dilaksanakan oleh gereja,

yang dalam pelaksanaan sehari-hari dilaksanakan oleh raja-raja. Pada abad 16, mulai

terjadi pergeseran terutama dengan munculnya gagasan John Locke yang menegaskan

semua pemerintahan yang sah bertumpu pada persetujuan dari yang diperintah.

Pemiikiran ini paling berpengaruh dalam pengembangan gagasan kedaulatan rakyat,

5 M Daul Ali, M. Thahir Azhary, dan Habibah Daud, Islam Disiplin ilmu Hukum Sosial dan Politik, Jakarta, PT. Bulan

Bintang.

6Trubus Rahardiansah, Sistem pemerintahan Indonesia; Teori dan Praktek dalam Perspektif politik dan hokum, Penerbit

Universitas Trisakti, Jakarta, 2010.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 111

terutama setelah dikembangkan dengan konsep pemerintahan dibangun “kontrak social”

dan selanjutnya dikembangkan oleh Monteqyui yang melengkapai dengan ajaran Trias

Politica (pemisahan kekuasan) yaitu kekuasan eksekutif, legislative dan yudikatif.7

Demokrasi semakin berkembang sejak decade 1990-an, terutama sejak runtuhnya rezim-

rezim komunis di Eropa Timur dan disusul berkembangnya demokrasi dikawasan

tersebut. Secara filosofis dan historis demokrasi, demokrasi tidak memiliki hubungan

dengan agama. Kalaupun dicari hubunganya demokrasi justru merupakan antitese dari

agama (khususnya dikaitkan dengan ajaran teokrasi) dan secara langsung merupakan

antitese dari sistem pemerintahan monarkhi yang berkembang pada abad 15 dan 16. Ihwal

sering munculnya pembahasan hubungan antara agama dengan demokrasi, lebih banyak

disebabkan karena demokrasi dinilai paling bisa menghargai nilai-nilai kemanusiaan.8

Beberapa konsepsi dasar dalam demokrasi adalah adanya kehendak rakyat sebagai

penentu dalam pengambilan keputusan pemerintahan yang diwujudkan melalui pemilihan

umum, adanya pemisahan kekuasaan, pertanggungjawaban pemerintah, dan

penghormatan hak-hak asasi manusia.

3. Kesesuaian Demokrasi dengan Islam

Dari uraian tentang Islam, khususnya berkaiatn dengan prinsip-prinsip kehidupan

kemasyarakatan mapun prinsip-prinsip demokrasi memiliki kesesuaian. Konsepsi

kedaulatan rakyat, pertanggungjawaban, pemisahan kekuasaan, maupun penghormatan

hak asasi manusia secara substantive juga terkandung dalam ajaran Islam. Prinsip

musyawarah (syura) misalnya, bagi kalangan intelektual Islam dipandang sebagai dalil

kesesuaian demokrasi dengan Islam. Argumentasinya adalah sistem demokrasi

merupakan sistem pemerintahan mayoritas yang menetapkan metode musyawarah dalam

pengambilan keputusan. Hal ini telah dilakukan oleh nabi Muhammad Saw. dalam

pengambilan keputusan seperti dalam perang Uhud, dan setelah nabi wafat juga

dilaksanakan dalam pemilihan penerus yaitu memilih Abu Bakar As-Shiddiq r.a sebagai

khalifah. Tidak hanya itu, prinsip keadilan („adalah), persamaan (musawah) dan

persaudaraan (ukhuwah) juga merupakan prinsip-rpinsip yang sejalan dengan demokrasi.9

Namun demikian tetap terjadi perbedaan pandangan di kalangan ahli dan pemikiran

Islam. Setidaknya terdapat tiga pandangan dari para ahli (intelektual) muslim tentang

demokrasi yaitu; Pertama, mereka yang mendukung demokrasi dengan penyesuaian-

penyesuaian tertentu; kedua, pandangan yuang menolak demokrasi dan ketiga,

7 Ibid. halaman 117 8 Opcit. Maskury Abdilah. Halaman 36. 9 Opcit. Halaman 37

112 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

pandangan yang sepenuhnya mendukung demokrasi berdasarkan sekularisme. Memang

dikalangan organisasi gerakan Islam politik terdapat kelompok yang menolak demokrasi

seperti Al Ikhwan Al Muslimun faksi Qutbuiiyah (Pengikut Sayid Quthb), kelompok

Salafi dan beberapa organisasi lainya. Namun sesungguhnya lebih banyak oraganisasi

gerakan Islam politik yang menerima demokrasi ketimbang yang menolak. Berbeda

dengan itu dalam konteks Indonesia justru para intelektual muslim seperti Nurkholis

Madjid, Amin Rais, dan lain-lain sejak awal menerima demokrasi 10.

Adanya ketiga sikap/pandangan tersebut juga mendapatkan penilaian dari para pengamat

internasional dengan sikap yang dan pandangan berbeda dalam dua kutub. Satu sisi Islam

dianggap tidak cocok dengan sistem politik terbuka yang dikehendaki oleh demokrasi

seperti pandangan Andrian Karatnycky, John Waterbury, VS Naipaul, Judith Milner dan

Daniel Pipes. Sedangkan pandangan lain menganggap Islam cocok atau tidak anti

demokrasi seperti dikemukakan oleh John l. Esposito dan John O Voll, Robert W Hefner,

Ali Abootalebi, hamid Enayat, Glenn Robinson, Carles Kuzman dan lain-lain.11

C. Perbandingan Sistem Pemerintahan Di Beberapa Negara Islam

Dengan mendasarkan pada uraian di atas, dimana terdapat pandangan yang

melihat kesesuaian (kompabilitas) antara demokrasi dengan Islam atau sebaliknya, maka

akan menjadi menarik apabila kita melihat fakta empiris bagaiman negara-negara Islam,

atau negara yang mayoritas berpenduduk muslim menerapkan sistem pemerintahan.

Apalagi dikaitkan dengan fenomena Arab Spring12 yang melanda negara-negara Arab dan

Afrika Utara, maka menjadi penting untuk melihat dan membandingkan beberapa sistem

pemerintahan di negara-negara tersebut akan mendapatkan gambaran yang lebih ril.

Apabila kita melihat sistem pemerintahan beberapa negara Islam maka akan

ditemukan beberapa model yang diberlakukan. Sebagian diantaranya masih dengan

sistem monarkhi dengan varian monarkhi konstitusional atau ada yang masih absolut,

sebagain lagi sudah berbentuk Republik. Berikut adalah beberapa negara dimaksud:13

1. Republik Turky

10 Opcit. Halaman 43 11 Steven Fish, sebagaiaman dikutip oleh Arief Mudasir Mandan, dalam Islam dan Nasionalisme, Sebuah Tinjauan Teoritis

dan Empiris, dalam buku Islam dan Nasionalisme dan Masa Depan negarqa Bangsa Indonesia, Fraksi FPPP MPR-RI,

Cetakan pertama, Jakarta, 2011.

12 Arab Spring adalah gerakan pro demokrasi yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, yang dimulai pada

tahun 2010 -2011. Hal ini dipicu oleh peristiwa penjual buah di Tunisia yang membakar diri sebagai protes kepada penguasa

dan kemudian menimbulkan gelombang demonstrasi besar (people power) di Tunisia, yang kemudian segera merambat ke

Mesir, Bahraian, yaman, Libya, bahkan Negara-negara yang mapan seperti Arab Saudi juga terpengaruh. Efek domino dari

esklakasi konflik perlawanan terhadap pemerintahan otoriter inilah yang kemudian dinamakan sebagai Arab Spring (Musim

Semi Arab/kebangkitan Arab) oleh media barat.

13 Lihat Wikipedia.org.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 113

Turki adalah Negara yang menggunakan demokrasi perwakilan parlemen. Sejak

didirikan sebagai sebuah republik pada tahun 1923, meninggalkan sistem

kekhalifahan (Dinasti Usmani) yang sudah berjalan berabad-abad, Turki telah

mengembangkan tradisi kuat sekularisme. Konstitusi Turki mengatur kerangka

hukum negara. Ini menetapkan prinsip-prinsip utama pemerintah dan menetapkan

Turki sebagai negara terpusat kesatuan. Presiden dari Republik adalah kepala

negara dan memiliki peran seremonial. Presiden dipilih untuk masa jabatan lima

tahun oleh pemilihan langsung dan Tayyip Erdoğan adalah presiden pertama yang

terpilih melalui pemungutan suara langsung.

Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Perdana Menteri dan Dewan Menteri yang

membentuk pemerintah, sedangkan kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen

unikameral, Majelis Agung Nasional Turki. Peradilan independen dari eksekutif

dan legislatif, dan Mahkamah Konstitusi dibebankan dengan memerintah pada

kesesuaian hukum dan keputusan dengan konstitusi. Dewan negara adalah

pengadilan dari terakhir untuk kasus administrasi, dan Pengadilan Tinggi

Bandung untuk kasus yang lain. Perdana menteri dipilih oleh parlemen melalui

mosi percaya dalam pemerintahan dan yang paling sering kepala dari partai yang

memiliki kursi terbanyak di parlemen. Perdana menteri sekarang adalah Binali

Yıldırım, yang menggantikan Ahmet Davutoğlu pada tanggal 24 Mei 2016.

Parlemen (lembaga legislative) memiliki 550 anggota parlemen yang dipilih

untuk masa jabatan empat tahun oleh sistem daftar-partai proporsional dari 85

daerah pemilihan. Mahkamah Konstitusi dapat menghentikan pembiayaan publik

partai politik yang dianggap anti-sekuler atau separatis, atau melarang keberadaan

mereka sama sekali. Electoral threshold adalah 10 persen suara.

Pasca terjadinya kudeta yang gagal, Presiden Erdogan melalui partai yang

dipimpinya (Partai Keadilan dan pembangunan/AKP) memenangi Pemilu dan

kemudian melakukan perubahan kearah sistem Presidensial untuk menggantikan

sistem parlementer. Menarik untuk diikuti karena pasca kudeta kekuasaan

Erdogan semakin besar. Namun sampai saat ini kondisi politik masih stabil

dengan ditopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga stabilitas masih

tercipta meski terjadi penangkapan besar-besaran musuh politiknya.

Namun kritik dan tantangan dari lawan-lawan politiknya juga terus bermunculan.

Erdogan dianggap mulai melakukan perubahan-perubahan secara sistematis

dengan mengembalikan Islam sebagai sendi-sendi bernegara seperti pada era

kekhalifahan Usmani. Pada saat yang sama sekulerisme mulai dikikis, yang tentu

114 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

saja mendapat perlawanan dari para pengikut Kemal Attaturk yang dianggap

memiliki andil besar dalam membentuk negara Turki di era modern.

2. Republik Mesir

Mesir berbentuk republik sejak 18 Juni 1953, kekuasaan di Mesir diatur dengan

sistem semipresidensial multipartai. Secara teoretis, kekuasaan eksekutif dibagi

antara presiden dan perdana menteri namun dalam praktiknya kekuasaan terpusat

pada presiden, yang selama ini dipilih dalam pemilu dengan kandidat tunggal.

Mesir juga mengadakan pemilu parlemen multipartai.

Pada akhir Februari 2005, Presiden Mubarak mengumumkan perubahan aturan

pemilihan presiden menuju ke pemilu multikandidat. Untuk pertama kalinya sejak

1952, rakyat Mesir mendapat kesempatan untuk memilih pemimpin dari daftar

berbagai kandidat. Namun, aturan yang baru juga menerapkan berbagai batasan

sehingga berbagai tokoh, seperti Aiman Nur, tidak bisa bersaing dalam pemilihan

dan Mubarak pun kembali menang dalam pemilu.

Pada akhir Januari 2011 rakyat Mesir menuntut Presiden yang berkuasa Husni

Mubarak untuk meletakan jabatannya. Hingga 18 hari aksi demonstrasi besar-

besaran menuntut Presiden Husni Mubarak mundur, akhirnya pada tanggal 11

Februari 2011 Husni Mubarak resmi mengundurkan diri. Pengunduran diri Husni

Mubarak ini disambut baik oleh rakyatnya, dan disambut baik oleh dunia

Internasional. Pasca turunya Husni Mubarak, dilangsungkan Pemilu dan terpilih

Presiden Muhamad Moersy.

Namun pemerintahan Presiden Moersy tidak berumur lama. Pada 4 Juli 2013,

Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdul Fattah as-Sisi

mengumumkan adanya revolusi untuk mengamankan Mesir, yang bertujuan untuk

menggulingkan Muhammad Mursi. Mursi sendiri adalah presiden pertama Mesir

yang dipilih secara demokrasi. Pada 3 Juni 2014, Komisi Pemilihan Mesir

mengumumkan, mantan Jenderal Mesir, Abdul Fattah as-Sisi terpilih menjadi

Presiden setelah menang dalam Pemilu Mesir pada Mei 2014.

Agama memiliki peranan besar dalam kehidupan di Mesir. Secara tak resmi,

adzan yang dikumandangkan lima kali sehari menjadi penentu berbagai kegiatan.

Kairo juga dikenal dengan berbagai menara masjid dan gereja. Menurut konstitusi

Mesir, semua perundang-undangan harus sesuai dengan hukum Islam. Negara

mengakui mazhab Hanafi lewat Kementerian Agama. Imam dilatih di sekolah

keahlian untuk imam dan di Universitas Al-Azhar, yang memiliki komite untuk

memberikan fatwa untuk masalah agama. 90% dari penduduk Mesir adalah

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 115

penganut Islam, mayoritas Sunni dan sebagian juga menganut ajaran Sufi lokal.

Sekitar 10% penduduk Mesir menganut agama Kristen; 78% dalam denominasi

Koptik (Koptik Ortodoks, Katolik Koptik, dan Protestan Koptik). Gereja Kristen

Koptik memiliki keunikan dari denominasi Kristen lainnya, karena, seperti

Kristen Asiria, mereka masih menggunakan bahasa kuno yang dulu mendominasi

daerah mereka sebagai bahasa liturgi, dalam hal ini bahasa Mesir dalam bentuk

Koptik.

3. Malaysia (Negara Federasi)

Malaysia merupakan negara yang berbentuk federasi yang mencakup tiga belas

negara bagian dan tiga wilayah persekutuan yaitu persekutuan Kuala Lumpur,

Labuan Island dan Putrajaya sebagai wilayah administratif federal. Setiap Negara

bagian memiliki majelis, dan pemerintah negara bagian dipimpin oleh kepala

menteri (chief minister) dimana kepala menteri ditiap negara bagian diangkat oleh

majelis negara bagian.

Dalam negara federal seperti Malaysia maka ada kekuasaan federal dan ada

kekuasaan negara bagian. Soal-soal yang menyangkut negara dalam

keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal. Dalam hal tertentu

misalnya mengadakan perjanjian internasional atau mencetak uang, pemerintah

federal bebas dari negara bagian dan dalam bidang itu pemerintah federal

mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Tetapi, untuk soal yang menyangkut negara

bagian belaka dan tidak termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada

kekuasaan negara-negara bagian. Jadi, dalam soal-soal semacam itu pemerintah

negara bagian bebas dari pemerintah federal misalnya, soal kebudayaan,

kesehatan pendidikan.

Bentuk pemerintahan Malaysia adalah monarki konstitusional, yaitu berupa

Negara kerajaan yang diatur oleh konstitusional. Dimana kepala negaranya

merupakan seorang raja yang disebut dengan Yang di-Pertuan Agong (Raja

Malaysia). Yang di-Pertuan Agong dipilih dari dan oleh sembilan Sultan Negeri-

Negeri Malaya, untuk menjabat selama lima tahun secara bergiliran; empat

pemimpin negeri lainnya, yang bergelar Gubernur, tidak turut serta di dalam

pemilihan.

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Malaysia adalah sistem parlementer.

Sistem parlementer yang dipakai oleh Malaysia bermodelkan sistem parlementer

Westminster, yang merupakan warisan Penguasa Kolonial Britania. Tetapi apabila

melihat prakteknya , kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif,

116 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

dan judikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama

zaman Mahathir, kekuasaan judikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan

dan pemerintah negara bagian. Dalam sistem pemerintahan Malaysia yang

menjadi kepala pemerintahan adalah seorang perdana menteri.

Sistem politik Malaysia dapat dikatakan demokrasi, hal ini dapat dilihat dari

adanya pembagian kekuasaan dan adanya pelaksanaan pemilu meskipun kalau

dilihat lebih dalam tidak begitu demokratis karena tidak jurdil. Di Malaysia,

seperti kebanyakan negara lainnya kekuasaan negara terdiri dari badan eksekutif,

legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh kabinet yang

dipimpin oleh perdana menteri; konstitusi Malaysia menetapkan bahwa perdana

menteri haruslah anggota dewan rendah (Dewan Rakyat), yang direstui Yang di-

Pertuan Agong dan mendapat dukungan mayoritas di dalam parlemen. Kabinet

dipilih dari para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara dan bertanggung

jawab kepada badan itu.; sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang

dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara.

Dalam kekuasaan legislatif Malaysia memiliki sistem bikameral yang terdiri dari

Senat (Dewan Negara) dan House of Representatives (Dewan Rakyat). Senat

menguasai 70 kursi di parlemen sementara HoR menguasai 219 kursi. 44 anggota

Senat ditunjuk oleh pemimpin tertinggi sementara 26 lainnya ditunjuk oleh badan

pembuat UU di negara bagian. Anggota HoR dipilih melalui popular vote untuk

masa jabatan selama 5 tahun. Dalam hal kekuasaan Yudikatif, sistem hukum di

Malaysia berdasar pada hukum Inggris dan kebanyakan UU serta konstitusi

diadaptasi dari hukum India. Di Malaysia terdapat Federal Court, Court of

Appeals, High Courts, Session's Courts, Magistrate's courts dan Juvenile Courts.

Hakim Pengadilan Federal ditunjuk oleh pemimpin tertinggi dengan nasehat PM.

Pemerintah federal memiliki kekuasaan atas hubungan luar negeri, pertahanan,

keamanan dalam negeri, keadilan, kewarganegaraan federal, urusan keuangan,

urusan perdagangan, industri, komunikasi serta transportasi dan beberapa urusan

lain.

Pemilihan umum parlemen Malaysia dilakukan paling sedikit lima tahun sekali.

Pemilih terdaftar berusia 21 tahun ke atas dapat memberikan suaranya kepada

calon anggota Dewan Rakyat dan calon anggota dewan legislatif negara bagian

juga. Di beberapa negara bagian, Voting tidak diwajibkan. Malaysia menganut

sistem multipartai. Seperti Indonesia, banyak sekali partai politik di Malaysia,

sekitar 33 parpol. Namun, berbeda dengan Indonesia, pemilu hanya diikuti dua

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 117

kontestan, yaitu parpol yang tergabung dalam Barisan Nasional (BN) dan parpol

yang tergabung dalam Barisan Alternatif (BA). BN adalah koalisi partai penguasa

yang ditulangpunggungi UMNO (United Malays National Organization), MCA

(Malaysian Chinese Association), dan MIC (Malaysian India Congress), serta

sebelas partai pendukung lainnya.Ada pun BA adalah kumpulan partai oposisi

yang dipimpin PAS (Partai Islam se-Malaysia), PKR (Partai Keadilan Rakyat),

DAP (Democratic Action Party), dan16 partai pendukung lainnya.

Sistem kekuasaan legelatif di Malaysia dibagi antara legeslatur persekutuan dan

legeslatur negeri. Parlemen Bikameral sendiri terdiri dari Dewan Rendah, Dewan

Rakyat-DPR dalam sistem di Indonesia, Dewan Tinggi Senat Dan Dewan Negara

Sebanyak 222 anggota Dewan selama 5 tahun. Sementara 70 senator akan

memegang masa jabatan selama 2 tahun dimana 26 orang diantarannya dipilih

oleh 13 majelis negeri bagian. Sementara kekuasaan eksekutifnya dilaksanakan

oleh cabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Perdana Menteri

Malaysia adalah kepala pemerintahan Malaysia. Perdana Menteri dipilih Yang di-

Pertuan Agong, Raja Malaysia, dari antara anggota parlemen yang mendapat

dukungan mayoritas dari parlemen. Biasanya pemimpin partai politik terkuat

dalam parlemen (Dewan Rakyat) yang dipilih menjadi perdana menteri. Sejak

kemerdekaannya pada tahun 1957, Perdana Menteri semuanya berasal

dari UMNO (United Malays National Organisation: Organisasi Nasional Melayu

Bersatu), partai terbesar dalam Barisan Nasional (dikenal sebagai Parti

Perikatan hingga 1969).

4. Kerajaan Arab Saudi

Sistem Pemerintahan Arab Saudi ialah negara dengan bentuk negara monarki

absolut. Sistem pemerintahan Arab Saudi yaitu negara Islam yang berdasarkan

syariah Islam dan al Qur‟an. Kitab Suci al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad

Saw. merupakan konstitusi Arab Saudi. Pada tahun 1992 ditetapkan Basic Law of

Government yang mengatur sistem pemerintahan, hak dan kewajiban pemerintah

serta warga negara.

Arab Saudi dipimpin oleh seorang raja yang dipilih berdasarkan garis keturunan

atau orang yang diberi kekuasaan langsung oleh raja. Hal ini berdasarkan pasal 5

Basic Law of Government yang menyatakan kekuasaan kerajaan diwariskan

kepada anak dan cucu yang paling mampu dari pendiri Arab Saudi, Abdul Aziz

bin Abdul Rahman Al-Saud, dimana raja merangkap perdana menteri dan

118 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

panglima tinggi angkatan bersenjata Arab Saudi. Pada tanggal 20 Oktober 2006

Raja Abdullah telah mengamandemen pasal ini dengan mengeluarkan UU yang

membentuk lembaga suksesi kerajaan (Allegiance Institution) terdiri dari para

anak dan cucu dari Raja Abdul Aziz Al-Saud.

Dalam ketentuan baru, raja tidak lagi memilki hak penuh dalam memilih Putera

Mahkota. Raja dapat menominasikan calon Putera Mahkota. Namun, Komite

Suksesi akan memilih melalui pemungutan suara. Selain itu, bila Raja atau Putera

Mahkota berhalangan tetap, Komite Suksesi akan membentuk Dewan

Pemerintahan Sementara (Transitory Ruling Council) yang beranggotakan lima

orang. Ketentuan ini baru akan berlaku setelah Putera Mahkota Pangeran Sultan

naik tahta.

Konstitusi Arab Saudi menentukan bahwa "Kerajaan Arab Saudi adalah Negara

Arab Islam, memiliki kedaulatan penuh, Islam sebagai agama resmi, undang-

undang dasarnya Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa

Sallam, bahasa resmi Bahasa Arab, dan ibukotanya Riyadh". Di dalam

konstitusinya menyebutkan bahwa sistem pemerintahan di Arab Saudi adalah

Kerajaan atau Monarki. Sedang ayat-ayat lainnya menyebutkan tentang sendi-

sendi yang menjadi landasan bagi sistem pemerintahan di Arab Saudi, lingkungan

resmi yang mengaturnya, unsur-unsur fundamental masyarakat Saudi, prinsip-

prinsip ekonomi umum yang dilaksanakan Kerajaan, jaminan negara terhadap

kebebasan dan kehormatan atas kepemilikan khusus, perlindungan atas hak-hak

asasi manusia sesuai dengan hukum-hukum Syariat Islam.

Pada tanggal 27 Sya'ban 1412 H bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1992 M,

Pelayan Dua Kota Suci Raja Fahd Bin Abdul Aziz mengeluarkan Undang-undang

tentang Sistem Pemerintahan, Syura (Permusyawaratan) dan Daerah untuk

mengatur berbagai macam kehidupan di Kerajaan Arab Saudi. Administrasi

Pemerintahan terdiri dari Kabinet yang dibentuk pada tahun 1373H/1953M.

Majelis ini sekarang mencakup sejumlah departemen yang berkompeten, seperti:

Pertahanan, Luar Negeri, Dalam Negeri, Keuangan, Ekonomi dan Perencanaan,

Perminyakan dan Pertambangan, Kehakiman, Urusan Islam, Wakaf, Dakwah dan

Bimbingan, Pendidikan dan Pengajaran, Pendidikan Tinggi, Kebudayaan dan

Informasi, Perdagangan dan Perindustrian, Air dan Listrik, Pertanian, Pekerjaan,

Urusan Sosial, Komunikasi dan Teknologi Informasi, Urusan Kota dan Pedesaan,

Haji, dan Layanan Sipil.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 119

Peradilan memperoleh independensi secara penuh dan hukumnya bersumber

kepada kitab suci al-Qur`an dan Sunnah Nabi shallallahu'alaihiwasallam. Dalam

berbagai urusan syar'i peradilan merujuk kepada Majelis Peradilan Tinggi yang

bertugas meneliti nash-nash peradilan dan hukum-hukum hudud dan qisas, dan

membawai seluruh mahkamah syar'iyah yang tersebar di penjuru negeri. Lembaga

peradilan dan kehakiman terdiri dari: Mahkamah Umum, Mahkamah Khusus,

Lembaga Kasasi, dan Notariat. Adapun dalam persoalan-persoalan tata usaha

Negara, maka di sana ada lembaga khusus yang menanganinya. Yang terpenting,

diantaranya, ialah “Diwan al-Mazhalim” yaitu lembaga pengadilan yang

berhubungan langsung dengan raja, yang perhatiannya terfokus pada penyelesaian

berbagai persoalan perselisihan yang diajukan terhadap lembaga pemerintahan.

5. Qatar (Emirat)

Qatar dapat dianggap sebagai negara monarki konstitusional maupun monarki

absolut yang dipimpin oleh keluarga Al Thani. Dinasti Al Thani telah memimpin

Qatar sejak 1825. Tahun 2003, Qatar mengadopsi konstitusi yang memilih

langsung 30 dari 45 anggota Dewan Legislatif. Konstitusi ini disetujui mutlak

dalam referendum dengan angka 98%. Emir kedelapan Qatar adalah Tamim bin

Hamad Al Thani, ayahnya adalah Hamad bin Khalifa Al Thani yang

menyerahkan kekuasaan padanya 25 Juni 2013. Kanselir tertinggi memiliki

kekuasaan eksklusif untuk memilih dan mencopot perdana menteri dan menteri

kabinet yang semuanya membentuk Dewan Menteri. Dewan Menteri adalah

otoritas eksekutif tertinggi di negara ini. Dewan Menteri juga memulai legislasi.

Hukum dan dekrit yang diusulkan Dewan Menteri akan dirujuk ke Dewan

Penasihat (Majilis Al Shura) untuk didiskusikan kemudian diberikan ke Emir

untuk diratifikasi. Majelis Konsultatif memiliki otoritas legislatif terbatas untuk

menyusun dan menyetujui hukum, tapi Emir yang menentukan semuanya di

akhir. Anggota dewan saat ini terdiri dari anggota yang ditunjuk oleh Emir,

karena tidak ada pemilihan legislatif sejak 1970. Pemilihan legislatif ditunda

sampai paling tidak tahun 2019.

Menurut konstitusi Qatar, hukum Syariat adalah sumber semua kebijakan Qatar.

Dalam prakteknya, sistem hukum Qatar merupakan campuran antara hukum sipil

dan hukum Syariat Hukum Syariat diberlakukan ke hukum keluarga, keturunan,

dan beberapa tindakan kriminal (termasuk zina, perampokan, dan pembunuhan).

Dalam beberapa kasus, sidang pengadilan keluarga memperlakukan testimoni

120 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

wanita berharga setengah dari testimoni pria. Poligini Islam diperbolehkan.

Judicial corporal punishment adalah seseatu yang umum di Qatar akibat

interpretasi Hanbali hukum Syariat.

Awalnya, ekonomi Qatar difokuskan pada perikanan dan mutiara namun industri

mutiara jatuh setelah munculnya mutiara yang dibudidayakan dari Jepang pada

tahun 1920-an dan 1930-an. Transformasi ekonomi terjadi pada tahun 1940, yaitu

ketika ditemukan minyak bumi di Lapangan Dukhan. Sekarang, pemasukan

utama Qatar adalah dari ekspor minyak dan gas bumi. Simpanan minyak negara

ini diperkirakan sebesar 15 miliar barel (2,4 km³). Dengan tidak adanya pajak

penghasilan, Qatar (bersama Bahrain) adalah salah satu negara dengan tingkat

pajak terendah di dunia. Tingkat pengangguran bulan Juni 2013 adalah 0,1%.

Hukum korporat mewajibkan perusahaan Qatar memegang minimum 51% saham

perusahaan di negara ini. Per 2016, PDB per kapita Qatar menempati posisi

nomor 4 tertinggi di dunia, menurut Dana Moneter Internasional (IMF).

D. Analisa Perbandingan Penerpan Sistem Pemerintahan Negara-Negara Islam

Dari berbagai bentuk negara dan sistem pemerintahan beberapa di atas, tampak

bahwa terdapat variasi bentuk pemerintahan. Dalam kasusu Turky dan Mesir sejak lama

telah menganut sistem demokrasi dengan bentuk republik. Namun terdapat perbedaan

mendasar dimana Turky dibangun dengan basis sekulerisme, sedangkan Mesir sejak awal

menempatkan agama sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari negara. Dua

negara lainnya yaitu Arab Saudi dan Qatar adalah contoh negara yang menganut sistem

monarkhi, meskipun dalam perkembanganya sudah mulai bergeser kearah monarkhi

konstitusional dengan mengadopsi beberapa institusi demokrasi seperti parlemen dan

lembaga yudikatif yang terpisah dari eksekutif. Sedangkan Malaysia adalah salah satu

contoh negara muslim yang juga menegaskan Islam sebagai agama resmi negara yang

menerapkan demokrasi parlementer dalam bentuk negara federal. Model ini juga khas dan

sepertinya ada pengaruh sebagai negara bekas jajahan Inggri.

Melengkapi analisa dan perbandingan tersebut menarik untuk melihat studi yang

dilakukan oleh Steven Fish dalam artikelnya “Islam and Authoritarianism” mengujui data

empiris dari Fredom House dan Polity Project Fredom House membuat skore tingkat

demokrasi dengan skore dengan skala 1 (sangat bebas) hingga 7 (sangat tidak bebas).

Sedangkan policy project membuat skor demokrasi untuk 154 negara dengan skala 10

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 121

(sangat demokratis) hingga dan -10 (sangat otoriter). Penelitian ini dsilakukan pada

periode 1991-200214.

Dalam menganalisa Fish mengajukan beberapa hipotesa yaitu :

1. Ada hubungan yang positif antara tipe suatu rezim dengan perkembangan ekonomi,

dalam arti negara yang ekonominya maju akan mudah menjadi negara yang

demokratis.

2. Ada hubungan antara tingkat keragaman etnik dalam suatu negara dengan tingkat

kemudahan (kesulitan) dalam mencapai demokrasi. Semakin etnisitas suatu negara

akan semakin sulit akan semakin sulit mencapai kompromi/konsesnsus dan demikian

pula kondisi berlaku sebaliknya.

3. Ada hubungan antara performa ekonomi dengan pencapaian demokrasi politik.

Dengan ukuran GDP akan semakin mudah mencapai demokrasi dan demikian pula

sebaliknya.

4. Ada pengaruh budaya dimana bekas negara-negara jajahan Inggris lebih mudah

menjadi demokratis dibanding negara-negara bekas jajahan selain Inggris.

5. Ada pengaruh negative yang diwariskan komunisme terhadap negara-negara bekas

jajahanya terhadap pencapaian demokrasi.

6. Negara-negara kaya sumber minyak cenderung tidak demokratis (dalam konteks ini

dibatasi oleh negara-negara dalam OPEC).

Berdasarkan asumsi dan data-data dari Freedom House (FH) dan Polity Project

dan hipotesa di atas Fish menemukan beberapa hal menarik yaitu; Pertama, analisis

statistic menunjukkan bahwa tidak semua hipotesa terbukti. Meski demikian, satu hal

yang sangat jelas adalah variable islam, perkembangan ekonomi dan keanggotaan dalam

OPEC mempunyai signifikansi yang berkaitan dengan buruknya demokrasi. Sementara

factor-faktor lain tidak memiliki hubungan yang signifikan. Faktor bekas jajahan Inggris

misalnya, tidak dengan sendirinya memberikan gambaran bahwa negara-negara bekas

jajahan Inggris terbukti leboih mudah menjadi demokratis. Begitu pula negara-negara

bekas jajahan komunis (soviet) tidak dengan sendirinya lebih menjadi sulit untuk menjadi

demokratis. Faktor keragaman etnik di suatu negara pun demikian, merupakan faktor

yang sifatnya relative (tidak signifikan) bagi tumbuhnya demokrasi. Dengan demikian,

masalah homogenitas atau heterogenitas etnik suatu negara tidak dengan sendirinya

memberikan landasan yang pasti bagi upaya pencapaian demokrasi.

14 Studi ini dikutip oleh, Arif Mudasir Mandan, Islam dan Nasionalisme, Sebuah Tinjauan Teoritis dan Empiris, dalam buku

Islam dan Nasionalisme dan Masa Depan negarqa Bangsa Indonesia, Fraksi FPPP MPR-RI, Cetakan pertama, Jakarta, 2011.

122 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Kedua, terdapat hubungan antara Islam dan otoritarianisme. Meskipun penjelasan

ini “tidak terlalu memuaskan” bukti-bukti yang ada mendukung hal tersebut. Mengutip

Montesqiu dan Samuel Huntington, terdapat pemahaman yang kuat dikalangan para

ilmuan bahwa masyarakat muslim memiliki kecenderungan terjatuh dalam kekerasan

politik yang mengarah pada otoriritarianisme. Dengan mengutip juga temuan Monty

Marshal yang mencatat bahwa dari 207 episode perang dalam suatu negara, pasca perang

dunia, 35% persen diantaranya terjadi di negara-negara muslim. Senada dengan temuan

itu, Daniel Kaufman, membuat perbandingan muslim dengan pemerintahan katholik.

Kaufman membuat skor dengan skala-2.5 (banyak kekerasan) hingga 2.5 (tidak ada

kekerasan, dan hasilnya di Negara-negara muslim mendapat skor -045, sementara di

negara-negara Katholik memperoleh skor 0,22. Jadi, menurut Kaufman, tampak jelas ada

perbedaan yang mencolok di mana tingkat kekerasan di negara-negara muslim lebih

tinggi dibanding negara-negara Katholik.15

Meskipun studi Fish dilakukan pada era sebelum terjadinya Arab Spring, namun

beberapa temuan dan analisisnya masih memiliki relevansi dengan kondisi actual

setidaknya dengan negara-negara yang dipaparkan di atas. Misalnya terkait factor GDP

dikaitkan dengan pencapaian demokrasi, meskipun tidak sepenuh sesuai namun, dalam

kasus Qatar dan Arab Saudi menjadi factor bahwa pergeseran dari monarkhi absolute

kearah monarkhi konstitusional dapat dilakukan dengan kondisi yang terkendali karena

secara ekonomi kedua negara tersebut sangat mapan (GDP) tinggi. Begitu kasus Malysia,

setidaknya menjadi fakta Negara bekas jajahan Inggris memiliki kemampuan

mengembangkan sistem pemerintahan yang demokratis.

Namun tetap saja dari beberapa negara tersebut, meskipunsama-sama

mengembangkan demokrasi tetapi terdapat perbedaan dalam menerapkan. Aspek

sosiologis masing-masing negara sangat memkpengaruhi. Hal ini juga memiliki landasan

filosofis bahwa dalam islam, bentuk negara tidak diatur secara tegas. Sebab dalam Al-

Qur‟an maupunhadis tidak ditemukan konsep tentang negara. Namun tidak berarti konsep

Negara tidak ada sama sekali,. Secara substantif terdapat sejumlah ketentuan dalam Al-

Qur‟an dan hadist yang menunjukkan adanya pemerintahan dalam umat Islam. Sebagian

ahli memahami hal ini sebagai bahwa negara/pemerintahan adalah sarana untuk

menegakan hokum-hukum sehingga pendirian gama masuk dalam kaidah ma la yatimm

al-wajib alla bih fahuwa wajib.

15 Ibid. Arif Mudasir, halaman 113.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 123

E. Penutup

Berdasarkan penelusuran dan perbandingan lima negara islam yang masuk kategori

negara maju, memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Turki dan Mesir adalah

negara republik yang menerapkan sistem parlementer dan presidensial. Sementara Arab

Suadi dan Qatar adalah sistem pemerintahan Monarkhi konstitusional. Malaysia juga

monarkhi konstitusional namun menerapkan sistem pemerintaha federal dengan parlemen

dua kamar. Dikaitkan dengan ide kekhalifahan (khilafah) maka sesungguhnya secara

empiris tidak ada alagi negara Islam yang menerapkan syariat Islam secara penuh seperti

(Arab Saudi dan Qatar) juga sudah mengarah pada sistem pemerintahan konstitusional

modern (mengarah pada sistem demokrasi).

DAFTAR PUSTAKA

Arif Mudasir Mandan, Islam dan Nasionalisme Sebuah Tinjauan Teoritisdan Empiris, dalam

Islam , Nasionalisme dan Masa Depan Negara Bangsa Indonesia, Frkasi FPPP MPR-RI,

Jakarta, 2011.

Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, PT Gramedia Pustaka

Utama, Cetakan pertama, Jakarta 2011.

Nurkholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan, Mizan Pustaka, Bandung, 2008,

Trubus Rahadiansah, Sistem Pemerintahan Indonesia Teoridan Praktek Dalam perspektif

Politikdan Hukum, PenerbitTrisakti, Jakarta, 2011.

124 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 125

ISLAM DAN DEMOKRASI:

Melihat Pengalaman Negara Turki*

Oleh: Dr. M. Hamdan Basyar**

Pengantar

Referendum rakyat Turki terhadap amendemen Konstitusi pada 16 April 2017, telah menandai

perubahan mendasar sistem politik Turki, dari sistem parlementer menjadi sistem presidensiil.

Hasil resmi referendum yang diumumkan oleh Dewan Pemilihan Tinggi (Yüksek Seçim Kurulu –

YSK) pada 27 April 2017 menunjukkan bahwa yang setuju perubahan berjumlah 51,41 %,

sedangkan yang menolak perubahan berjumlah 48,59 %.1 Ada 18 point perubahan yang diusulkan

pada referendum waktu itu. Hasil tersebut akan diberlakukan mulai November 2019. Satu hal

yang tidak berubah sejak Turki berdiri adalah mereka menyatakan dirinya sebagai negara

demokrasi yang sekular.2

Negara Turki yang berdiri pada tahun 1923 itu memang sekular. Negara itu terbentuk dari

sisa wilayah Dinasti Usmaniyah (Ottoman Empire). Pendiri Turki, Mustafa Kemal Attaturk,

adalah pemimpin gerakan nasionalis Turki yang menginginkan „Turki adalah Turki‟. Kekalahan

Dinasti Usmaniyah dalam Perang Dunia I dimanfaatkan oleh Kemal Attaturk untuk mendirikan

negara Turki modern. Dia berusaha menghilangkan berbagai hal yang berkaitan dengan Dinasti

Usmaniyah, terutama, lambang keislaman. Pemakaian torbus dilarang. Adzan atau shalat dilarang

menggunakan bahasa Arab. Attaturk ingin menghapus berbagai hal non-Turki. Dia mau

mengubah negara Turki yang berbeda dengan dinasti sebelumnya. Sistem negara sekular dipilih

untuk menggantikan sistem Islami.

Sebagai seorang presiden, Attaturk melakukan serangkaian reformasi kehidupan

bermasyarakat di Turki. Dia melakukan sekularisasi dan industrialisasi, untuk menuju negara

modern. Di bawah kepemimpinannya, Turki mengadopsi nilai sosial yang lebih luas, hukum

formal, dan melakukan reformasi politik. Sejak saat itu, di Turki terjadi pemerintahan demokratis.

* Tulisan untuk Seminar Nasional dengan tema “Islam dan Demokrasi: Mencari Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa”, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah, Jakarta, 25-26 Juli 2017 di

Auditorium Lantai 3 Gedung Bukopin. Sebagian bahan tulisan diambil dari buku penulis yang berjudul Pertarungan dalam

Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel (Jakarta: UI Press, 2015). ** Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI); Dosen Program

Studi Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia (PSTTI-UI). 1 Lihat, antara lain, http://aa.com.tr/en/turkey/-turkey-official-referendum-results-announced-/806935. Diakses

pada 7 Juli 2017. 2 Dalam Konstitusi Turki, pasal 2 disebutkan: “The Republic of Turkey is a democratic, secular and social state

governed by rule of law, within the notions of public peace, national solidarity and justice, respecting human rights, loyal to

the nationalism of Atatürk, and based on the fundamental tenets set forth in the preamble.” Lihat Türkiye Büyük Millet

Meclisi, Constitution of the Republic of Turkey dalam https://global.tbmm.gov.tr/docs/constitution_en.pdf. Diakses pada 7

Juli 2017.

126 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Untuk membedakan dengan kekuasaan sebelumnya, Attaturk meninggalkan identitas

Khilafah Usmaniyah yang Islam. Hal itu diwujudkan dengan melakukan sekularisasi dan

westernisasi serta membatasi dan mengontrol peran agama dan lembaga keagamaan. Partai

Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi - CHP), yang didirikan oleh Attaturk, menjadi partai

tunggal yang memerintah Turki sampai tahun 1945, ketika sistem kepartaian berubah menjadi

multi partai. Dalam sistem multi partai itu, berbagai aspirasi politik bermunculan melalui partai

politik. Tahun 1950 menjadi titik sejarah Turki dengan menerapkan sistem multi partai dalam

pemilu. Pada tahun itu, Partai Demokrat, partai oposisi, memenangkan pemilu.

Sebagai negara yang menganut demokrasi, maka pemerintahan Turki seringkali

mengalami perubahan. Beberapa kali kalangan Kemalis menguasai pemerintahan di bawah partai

CHP. Partai yang cenderung kepada Islam juga pernah berkuasa, sebagaimana ditunjukkan oleh

kemenangan Partai Refah pada pemilu 24 Desember 1995. Di bawah kepemimpinan Necmettin

Erbakan, partai Refah memerintah Turki. Tetapi, Refah tidak lama berkuasa, karena kemudian

diturunkan paksa oleh kalangan militer. Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 2002,

Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkìnma Partisi - AKP), pimpinan Recep Tayyip

Erdogan, memenangkan pemilu parlemen Turki.3 Kemenangan AKP dalam pemilu itu, terjadi

pada waktu ketika Turki memulai lagi perundingan secara serius untuk menjadi anggota penuh

Uni Eropa pada awal 2003. Sejak saat itu, Erdogan melakukan reformasi di bidang politik,

ekonomi, sosial, dan hukum, dengan dalih untuk memenuhi standar sistem kehidupan Eropa,

sebagai syarat menjadi anggota penuh Uni Eropa. Erdogan sangat cerdik memainkan kartu Uni

Eropa dalam menghadapi pertarungan melawan militer Turki.

Tulisan ini akan membahas kehidupan demokrasi Turki yang dikaitkan dengan agama

Islam. Pembahasan ingin menjawab bagaimana masyarakat Muslim Turki yang mayoritas itu

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ajaran Kemalisme

Mustafa Kemal Attaturk mengubah tatanan kehidupan yang ada di Turki. Dia mengadakan

serangkaian reformasi radikal yang bertujuan untuk mengubah Turki menjadi negara sekular.

Para pendukung gerakan Kemal Attaturk berusaha membatasi peran agama hanya sebagai sistem

kepercayaan pribadi yang terpisah dari ruang publik. Ideologi baru ini dimplementasikan melalui

serangkaian kebijakan dan hukum antara tahun 1922 dan 1935. Pada tahun 1924, Attaturk

melakukan penghapuskan sistem kekhalifahan, penutupan sekolah Islam tradisional (madrasah),

dan pembubaran pengadilan agama. Kemudian, pada tahun 1925, rezim itu mulai membubarkan

3Setelah Partai Refah dibubarkan, para pendukungnya membuat Fezilat Party.Tetapi partai itupun akhirnya

dibubarkan. Maka, pada tahun 2001, kalangan “muda” mendirikan AKP, sedangkan kalangan “tua” mendirikan Saadat

Party.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 127

sejumlah tarikat, melarang pemakaian tutup kepala khas Dinasti Usmaniyah (fez dan turban) bagi

laki-laki, menghalangi perempuan untuk memakai kerudung dan mengganti kalender Islam

dengan kalendar Gregorian sebagai satu-satunya kalender resmi di Turki. Pada tahun 1926, Turki

mengadopsi Hukum Sipil berdasarkan model Swiss dan Hukum Kriminal model Italia. Dengan

adopsi hukum itu, maka hukum negara tidak lagi menggunakan hukum syariah Islam. Pada tahun

1928, penghapusan Islam sebagai agama negara dari Konstitusi yang berarti deklarasi Turki

sebagai negara sekular. Pada tahun yang sama, Turki mengadopsi alfabet Latin dalam penulisan

bahasa mereka. Pada tahun 1934, diundangkan aturan keharusan adanya nama keluarga dan

Mustafa Kemal sendiri diberikan nama keluarga “Attaturk” (Bapak Turki). Tahun 1935

ditetapkan enam prinsip, yaitu: republicanism, nationalism, populism, secularism, reformism (or

revolutionism), and statism.4 Kemudian, pada tahun 1936, keenam prinsip tersebut dimasukkan

ke dalam Konstitusi Turki.5 Prinsip ajaran itu dikenal dengan sebutan “Kemalisme”.

Dalam faham Attaturk, sekularisme itu adalah kekuasaan negara didesain dapat

mengontrol agama, tidak sekedar memasukkan agama ke dalam ranah pribadi dan

menyingkirkannya dari ruang publik. Faham itu, tentunya, berbeda dengan yang terjadi di dunia

Barat. Langkah penting yang dilakukan oleh Attaturk adalah dengan mengontrol ulama dan

tarikat sufi melalui berbagai cara. Misalnya, Attaturk menetapkan undang-undang mengenai

penyatuan sistem pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Aturan itu menjadi landasan

hukum bagi penutupan seluruh madrasah dan pelimpahan seluruh urusan pendidikan pada

kekuasaan kementerian pendidikan. Pemakaian tradisional (fez dan turban) yang biasa dikenakan

ulama, dilarang oleh aturan Attaturk. Mereka juga tidak boleh lagi menggunakan gelar yang

melambangkan otoritas keagamaan, seperti “alim” atau “syeikh”. Bersamaan dengan

pengadopsian alfabet Latin, maka ada pelarangan pengajaran Bahasa Arab dan Persia. Berbagai

hal tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan hubungan kultural antara Dinasti Usmaniyah

dengan Turki modern.

Attaturk sengaja melakukan hal itu untuk mendegradasi peran ulama dalam masyarakat

Turki. Ulama didorong untuk tidak lagi memainkan peran yang signifikan dalam masyarakat.

Ulama dan perannya, seakan dianggap sebagai peninggalan masa lalu yang dapat menghambat

kemajuan masyarakat Turki modern. Ulama hanya dapat berperan secara terbatas di masjid dan

lembaga keagamaan. Lembaga itu pun dikontrol oleh negara, sehingga independensi ulama

menjadi lumpuh. Ulama sebagai kaum intelektual lama digantikan oleh kaum intelektual baru

yang membangun negara dengan budaya Turki secara sekular. Ada upaya yang berusaha

4 Lihat Prof. Dr. Türkkaya ATAÖV, “The Principles of Kemalism”, dalam The Turkish Yearbook, 1980-1981,

VOL. XX. 5 Lihat, antara lain, Dankwart A. Rustow, “Political Parties in Turkey: An Overview”, dalam Metin Heper dan

Jacob M. Landau (Eds.), Political Parties and Democracy in Turkey (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1991), hlm. 13.

128 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

memutuskan hubungan keilmuan masa lalu dengan masa modern. Misalnya, Institut Sejarah

Turki mulai menulis sejarah baru Turki dan Institut Bahasa Turki membentuk ulang bahasa

Turki.6

Terlihat dengan jelas, reformasi Attaturk dilakukan dengan paksaan, tanpa mempedulikan

tanggapan masyarakat. Usaha Kemal Attaturk untuk mensekularkan Turki lebih dimotivasi oleh

pragmatisme dan keinginan untuk menghilangkan model negara Dinasti Usmaniyah.

Penghapusan simbol-simbol lama itu merupakan langkah yang penting bagi Turki, agar mereka

dapat menjadi negeri yang independen dari hegemoni dan campur tangan Barat. Attaturk

menganggap reformasi yang dilakukannya sebagai upaya untuk melindungi Islam, untuk

memisahkan agama yang suci dari politik yang kotor. Pendukung Attaturk beranggapan bahwa

pengadopsian norma dan lembaga modern memang mengharuskan dikorbankannya beberapa

pemahaman agama tradisional. Dengan keyakinan tersebut, mereka memaksa masyarakat Turki

menjadi masyarakat yang sekular.

Posisi Mustafa Kemal sebagai “bapak” bangsa Turki, setelah kemenangannya dalam

perang kemerdekaan, digunakan untuk mempromosikan dirinya sebagai sosok yang suci,

pemurah dan sangat berkuasa. Berbagai kritik yang ditujukan pada gerakan reformasi Kemal

dianggap sebagai gangguan bagi perkembangan negara. Para pengkritik dan kekuatan oposisi

dibungkam, dan bahkan ada yang diasingkan, agar tidak mengganggu kebijakan yang dibuat oleh

Attaturk.

Pada waktu itu, penghapusan sistem khalifah menjadi isu reformasi yang kontroversial.

Ada kelompok yang ingin mempertahankan khalifah, hanya sebagai simbolik saja, tanpa

mempunyai kekuasaan politik yang berarti. Tokoh gerakan nasionalis Turki, seperti Ziya Gökalp,

mendukung pemisahan antara kesultanan dan kekhalifahan, dan berusaha agar khalifah tidak

memiliki peran dalam politik nasional. Khalifah hanya dianggap sebagai pemimpin spiritual

komunitas Muslim global yang mungkin posisinya setara dengan Paus dalam kalangan Katholik.

Tetapi, Mustafa Kemal Attaturk justru berpendapat bahwa keberadaan khalifah yang menjadi

peninggalan sejarah seperti itu, akan menjadi ancaman bagi kedaulatan nasional republik Turki.

Menurutnya, sistem khalifah harus dihapuskan untuk menghilangkan kaitan dengan masa lalu.

Dan akhirnya penghapusan sistem khalifah itu terjadi pada tahun 1924.

Demokratisasi ala Kemalis

Sebagai pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk berusaha membuat negara itu sebagai

sebuah negara demokrasi. Pada awal kekuasaannya, Turki terlihat masih belum begitu

6 Geoffrey Lewis, The Turkish Language Reform: A Catastrophic Success (Oxford: Oxford University Press,

2002).

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 129

demokratis. Tetapi Attaturk tidak mau berhadapan dengan kelompok yang berseberangan alias

tidak ada partai oposisi. Oleh karena itu, politik Attaturk lebih mengarah pada kekuasaan tunggal,

yakni hanya berorientasi pada ajaran Mustafa Kemal Attaturk atau biasa disebut sebagai

„Kemalis‟.

Konstitusi Turki tahun 1924, menyebutkan bahwa kekuasaan politik berada di tangan

Majelis Tinggi Nasional. Majelis ini merupakan wakil sah kedaulatan bangsa Turki. Pada Maret

1925, Turki mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan pemeliharaan ketertiban. UU

ini telah mengakibatkan tidak adanya partai oposisi. Saat itu, partai yang berkuasa adalah „Partai

Rakyat Republik‟ (Cumhuriyet Halk Partisi - CHP). Partai itu telah memonopoli kekuasaan

politik di Turki. Apalagi, kemudian pada tahun 1931 secara resmi Turki bersistem satu partai.

Dengan demikian, partai oposisi dianggap ilegal. Kondisi tersebut berjalan sampai tahun 1945.7

Dengan sistem kepartaian tersebut, maka berbagai sidang yang dilakukan di Majelis

Nasional, hanya bersifat formalitas saja. Semuanya sudah diatur sebelum persidangan. Dengan

demikian, pada waktu itu sebenarnya tidak ada demokrasi. Sebelum berlakunya sistem partai

tunggal tersebut, Attaturk pernah berusaha mengadopsi keinginan pihak oposisi dengan

memberikan mereka kesempatan untuk eksis, tetapi kemudian tampaknya Kemal Attaturk merasa

terganggu dengan keberadaan kaum oposisi. Dalam tahun 1930, Attaturk mengizinkan berdirinya

sebuah partai oposisi yang loyal, sebagai penyaluran suara yang tidak puas terhadap penguasa

dan sekaligus mendorong CHP untuk bersemangat mendekati masyarakat.

Menyambut keterbukaan penyaluran aspirasi masyarakat, Ali Fethi Okyar mendirikan

sebuah partai yang bernama „Partai Republik Liberal‟ (Serbest Cumhuriyet Firkasi – SCF). Partai

itu membuat manifesto politik yang berisi 11 pokok tentang kebijakan perekonomian liberal dan

penanaman modal asing serta kebebasan berbicara dan pemilihan umum langsung. SCF

melanjutkan manifesto Partai Republik Progresif pada tahun 1924. Partai baru tersebut disambut

dengan antusias oleh masyarakat Turki.

Antusias itu ditunjukkan juga dalam pemilu pada Oktober 1930. Sebagai partai baru, SCF

dapat memperoleh 30 dari 512 kursi. Meskipun perolehan kursi SCF hanya minoritas, tetapi CHP

sebagai partai yang berkuasa merasa terancam. Selain itu, SCF juga menuduh partai yang

berkuasa telah melakukan banyak penyelewengan dan kecurangan pada perhitungan suara dalam

pemilu. Selanjutnya, konflik antara dua partai itu tidak dapat dihindari. SCF akhirnya dibubarkan

pada tanggal 16 November 1930. Dengan pengalaman tersebut, Attaturk tidak mau lagi

melakukan eksperimen politik dengan memperkenankan adanya partai oposisi. Secara resmi,

Turki memberlakukan sistem satu partai pada tahun 1931.

7 Erik J Zurcher, Sejarah Modern Turki (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 217.

130 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Dengan sistem partai tunggal, Attaturk lebih leluasa melakukan eksplorasi politiknya.

Musyawarah dibatasi, bahkan dalam persidangan partai di parlemen. Fungsi persidangan

parlemen hanya meratifikasi dan mensahkan keputusan-keputusan kabinet. Pemilu anggota

parlemen yang dilakukan empat tahun sekali hanya berfungsi seremonial saja. Daftar calon

anggota parlemen disusun oleh Ketua Partai CHP, Ketua Pelaksana, dan Sekretaris Jenderal.

Daftar itu kemudian diratifikasi oleh kongres partai tersebut dan sama sekali tidak terdapat

peluang bagi warga negara untuk menjadi wakil di parlemen atas inisiatif sendiri. Untuk

memberikan sedikit ruang berdemokrasi, Kemal Attaturk menyediakan 30 kursi dalam pemilu

1931, dan 16 kursi dalam pemilu 1935 bagi kalangan independen. Tetapi, kursi itu tidak

sepenuhnya terisi, karena banyak masyarakat yang tidak mau mendukung.

Dalam kehidupan sehari-hari, Mustafa Kemal Attaturk yang menjabat sebagai Presiden

Turki mengontrol sepenuhnya partai politik dan parlemen. Dalam perkembangannya, ada

ketegangan antara Presiden dan Perdana Menteri yang dijabat oleh Ismet Inonu. Kedua petinggi

negara Turki itu seringkali berbeda pendapat. Sehari setelah kematian Kemal Attaturk, 10

November 1938, Majelis Nasional memilih Ismet Inonu sebagai Presiden kedua Turki.

Kepemimpinan Ismet Inonu tidak banyak disukai oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk

menarik perhatian masyarakat, maka pada 19 Mei 1945, Inonu menjanjikan politik Turki menjadi

lebih demokratis. Pada 7 Juni 1945, beberapa tokoh Turki mengajukan memorandum kepada

partai di parlemen. Mereka menuntut agar Konstitusi Turki diimplementasikan sepenuhnya dan

demokrasi ditegakkan.8 Tetapi, usulan tersebut ditolak oleh partai yang berkuasa. Pada 25 Mei

1945, pemilu umum lokal diadakan di Istanbul. Saat itu, untuk pertama kalinya pemerintah

mengizinkan adanya pilihan bebas di antara berbagai calon anggota legislatif dari CHP.

Dalam perkembangan politik Turki berikutnya, ada berbagai usaha yang mengarah ke

sistem multi partai. Bermula pada Juli 1945, seorang industrialis terkemuka di Istanbul, Nuri

Demirag, mendirikan partai oposisi „Partai Pembangunan Nasional‟ (Milli Kalkinma Partisi –

MKP). Partai ini secara resmi terdaftar pada 5 September 1945. Kemudian berdiri „Partai

Demokrat‟ (Demokrat Parti – DP) yang secara resmi terdaftar pada 7 Januari 1946. DP didirikan

oleh empat orang anggota Parlemen yang berasal dari CHP. Mereka adalah Celal Bayar, anggota

parlemen yang mewakili wilayah Izmir dan mantan Perdana Menteri pada masa Presiden

Attaturk; Adnan Menderes, anggota parlemen yang mewakili wilayah Aydin; Fuad Koprulu,

anggota parlemen yang mewakili wilayah Kars dan seorang profesor yang terkenal di bidang

sejarah dan sastra; dan Refik Koraltan, anggota parlemen yang mewakili wilayah Icel.9

8 Dalam Konstitusi Turki disebutkan bahwa negara itu menganut sistem demokrasi yang memberikan ruang politik

bagi seluruh masyarakat. 9 Lihat, antara lain, Ali Yasar Saribay, “The Democratic Party, 1946-1960”, dalam Metin Heper and Jacob M.

Landau (Eds.), Political Parties and Democracy in Turkey (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1991), hlm. 191.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 131

Berdirinya DP tidak terlepas dari ketidakpuasan Menderes dan kawan-kawan di dalam

CHP. Pada tanggal 7 Juni 1945, mereka mengajukan usulan kepada faksi CHP di parlemen,

dengan judul “Proposal for Changes in the Party By-laws and in Some Laws”. Akan tetapi dalam

pembahasan pada 12 Juni 1945, usulan tersebut ditolak oleh anggota parlemen lainnya.

Akibatnya, mereka mendirikan partai politik sendiri untuk menampung aspirasinya.

Menghadapi gerakan oposisi yang mulai bermunculan, CHP melakukan kongres luar

biasa pada bulan Mei 1946. Kongres tersebut memutuskan adanya langkah liberalisasi. Mereka

menyetujui adanya pemilu langsung dan jabatan ketua partai yang permanen dihapuskan.Gelar

Milli Sef (pimpinan nasional) juga dihapuskan. Ismet Inonu sebagai Ketua CHP dipilih kembali.

Kemudian, pada kongres CHP, November 1947, mereka menyetujui adanya kebebasan berusaha

dan memutuskan untuk mencabut pasal 17 undang-undang distribusi tanah.

Transisi politik terus bergulir di Turki. Klimaks periode transisi terjadi dengan

dilaksanakannya pemilu tanggal 14 Mei 1950. Pemilu kali itu sudah menggunakan sistem multi

partai. Hasilnya menunjukkan bahwa Partai Demokrat memenangkan 53,3% suara (4.242.833

suara dari total suara 7.953.055). Mereka memperoleh 408 kursi (83,5% dari total kursi 487).

Sedangkan CHP mendapatkan 39,7% suara atau 69 kursi (14,4% dari total kursi). Sisa kursi

diperoleh Partai Nasional (1 kursi) dan Independen (9 kursi).10 Dengan hasil tersebut, pimpinan

dan pendiri DP, yakni Adnan Menderes, menjadi Perdana Menteri Turki. Menderes menjadi PM

sampai tahun 1960, ketika pihak militer Turki melakukan kudeta di sana dan menguasai

pemerintahan Turki.

Suara Partai Demokrat meningkat pada pemilu berikutnya, 2 Mei 1954. Pada waktu itu,

DP memperoleh 58,4% suara (503 kursi di parlemen). Sedangkan CHP memperoleh 35,1% suara

(31 kursi parlemen).11 Pemilu tahun 1954 merupakan keberhasilan bagi Menderes, pendiri Partai

Demokrat. Tetapi pada tahun berikutnya, penurunan ekonomi secara perlahan mengikis dukungan

pada Partai Demokrat. Bahkan pada Desember 1955, DP mengalami perpecahan yang melahirkan

partai baru, yaitu Partai Kebebasan. Dalam perkembangannya, partai baru tersebut kemudian

menjadi partai oposisi terbesar dalam Majelis Nasional.

Pada pemilu berikutnya, tahun 1957, dukungan masyarakat terhadap Partai Demokrat

mengalami penurunan. Tetapi, partai itu masih dapat dukungan mayoritas dari warga pedesaan.

Perkembangan politik Turki semakin eksplosif. Pada bulan Desember 1957, ada sembilan perwira

angkatan darat yang ditangkap, karena dianggap berkomplot ingin menggulingkan pemerintah.

Secara terbuka, penangkapan tersebut baru diumumkan pada tanggal 16 Januari 1958. Partai

10Ibid., hlm 121-122. 11Erik J. Zurcher, Sejarah Modern Turki (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 292.

132 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Demokrat tidak percaya kepada angkatan bersenjata, karena para perwiranya dianggap masih

memiliki hubungan dekat dengan rezim lama, yakni Ismet Inonu.

Tampaknya, kalangan militer Turki sudah semakin gerah dengan tingkah laku politikus

yang cenderung bebas. Maka, pada 27 Mei 1960, militer melakukan kudeta, dengan alasan untuk

mempertahankan ideologi Kemalis Attaturk. Sebuah pernyataan kudeta dibacakan oleh Kolonel

Alpaslan Turkes melalui radio pemerintah Turki pada pagi hari pukul 03.00, waktu setempat.

Mereka mengumumkan bahwa kekuasaan berada di tangan Komite Persatuan Nasional (KPN)

yang dipimpin Jenderal Cemal Gursel. Pada hari setelah kudeta, Gursel diangkat menjadi Kepala

Negara merangkap Perdana Menteri serta Menteri Pertahanan. Dengan kewenangan ini, maka

Gursel mempunyai kekuasaan yang lebih absolut, dibandingkan dengan kekuasaan yang pernah

dimiliki oleh Kemal Attaturk.

Setelah kudeta militer tahun 1960, kalangan militer berusaha melakukan demokratisasi

dengan adanya pemilu pada Oktober 1965. Tetapi untuk kali yang kedua, militer melakukan

kudeta pada tahun 1971. Untuk beberapa saat, politik Turki di bawah kekuasaan militer.

Kemudian mereka kembali menyerahkan kepada kekuasaan sipil setelah pemilu berikutnya.

Kalangan politik berusaha merebut kekuasaan melalui pemilu multi partai. Ada sedikit ruang

bergerak bagi mereka untuk mengekspresikan aspirasi politiknya. Dalam perkembangannya,

untuk ketiga kalinya, militer kembali melakukan kudeta, pada 12 September 1980.

Kalangan militer membubarkan parlemen dan kabinet. Mereka juga mengumumkan

bahwa bahwa imunitas para anggota Majelis Nasional telah berakhir. Kemudian, militer

membentuk Majelis yang beranggotakan 160 orang. Dalam persidangan tanggal 23 Oktober

1981, Majelis yang diketuai oleh Profesor Orhan Aldikacti itu menghasilkan sebuah draf

kebijakan politik baru Turki. Draft itu menjelaskan bahwa pusat kekuasaan di tangan eksekutif

dan menambah kekuasaan presiden serta dewan keamanan nasional.

Secara berangsur, politik Turki diarahkan menuju demokrasi yang memungkinkan

berbagai kalangan untuk terlibat di dalamnya. Dalam rangkaian kebebasan berpolitik tersebut,

pada tahun 1980-an, partai Islam mulai berkembang di Turki. Akhirnya, dalam pemilu tahun

1995, „Partai Sejahtera‟ (Refah Partisi – RP) memenangkan persaingan politik di Turki.

Pimpinan Partai Refah, Necmettin Erbakan, dilantik menjadi Perdana Menteri. Kemenangan

Refah dan Erbakan disambut dengan penuh kegembiraan dan harapan oleh rakyat Turki.

Refah tidak pernah mengklaim sebagai partai Islam militan dan fundamentalis. Refah

juga bukan “Partai Islam” yang hanya menggunakan jargon-jargon keislaman dan kemanusiaan.

Secara resmi, jargon politik yang dikampanyekan Partai Refah adalah mengutamakan keadilan

sosial, tradisi, dan etika, juga menolak westernisasi. Walau demikian, Refah juga menyatakan diri

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 133

ingin memperjuangkan Islam yang sesuai dengan karakteristik rakyat Turki. Sebenarnya, Refah

dapat disebut sebagai partai moderat yang menjunjung nilai demokrasi dan pluralisme.

Akan tetapi, tampaknya militer Turki tidak begitu rela bila negara sekular tersebut

dipimpin oleh partai politik yang berkecenderungan pada suatu kelompok agama. Maka, untuk

keempat kalinya, militer Turki kembali melakukan kudeta pada tahun 1997, dengan cara yang

“lunak”. Peristiwa kudeta itu biasa disebut sebagai “soft coup”.12 Partai Refah kemudian dilarang,

karena dianggap terlalu memperjuangkan Islam. Kalangan militer sebagai “penjaga sekularisme”

di Turki merasa perlu turun tangan untuk menyelamatkan ajaran Kemalisme Attaturk.

Kalangan militer memperoleh “keistimewaan” berdasarkan Konstitusi hasil referendum 7

November 1982. Mereka dapat membubarkan pemerintahan, demi menjaga sekularisme di Turki.

Konstitusi Turki 1982 adalah rancangan para jenderal pelaku kudeta militer tahun 1980.

Konstitusi itu memberi payung politik dan hukum bagi militer Turki untuk menguasai semua

lembaga negara. Konstitusi ini memberi kekebalan hukum kepada pelaku kudeta. Tetapi,

kemudian kekebalan hukum yang dimiliki militer pelaku kudeta, dihapuskan dalam amandemen

Konstitusi 2010.

Walaupun militer sudah tidak mempunyai kekebalan hukum, tetapi masih ada usaha

kudeta militer terhadap Pemerintahan Turki yang sah pada 15 Juli 2016. Kudeta militer tersebut

gagal. Ada perlawanan dari Pemerintah dan rakyat Turki. Para pelaku kudeta ditangkap dan

dihukum. Otak pelaku kudeta adalah bekas Komandan Angkatan Udara dan anggota Dewan

Militer Agung, Jenderal Akin Öztürk. Dia ditahan bersama para pelaku kudeta lainnya.13

Aktor Demokrasi dan Kiprah Muslim Turki

Penganut Attaturk yang biasa disebut sebagai “Kemalis” itu memperoleh dukungan penuh dari

militer Turki. Kalangan militer memperoleh “keistimewaan” berdasarkan Konstitusi hasil

referendum 7 November 1982. Tidak dapat dipungkiri, kelompok militer adalah salah satu aktor

politik penting di Turki. Cukup lama kelompok itu mengatur kehidupan politik Turki. Akan tetapi

referendum Konstitusi 2010 menghilangkan “keistimewaan” kalangan militer.

Pada tahun 2010, Konstitusi Turki direferendum, dengan 57,88% rakyat Turki

menyatakan persetujuannya. Amandemen konstitusi tersebut terdiri dari 26 butir. Di antaranya

berisi penambahan artikel pada konstitusi, yang memungkinkan tawar-menawar kolektif untuk

pekerja sektor publik, juga penguatan posisi perempuan di lapangan kerja. Yang paling utama

adalah perubahan sistem peradilan di Turki, yakni ada pembatasan kekuasaan pengadilan militer

12 Lihat, antara lain, M. Hakan Yavuz, Secularism and Muslim Democracy in Turkey (New York: Cambridge

University Press, 2009), hlm. 64-65. 13 Lihat, antara lain, https://m.tempo.co/read/news/2016/07/18/117788383/otak-pelaku-kudeta-turki-ditahan.

Diakses pada 18 Juli 2016.

134 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

dan penghapusan kekebalan hukum para pemimpin di pemerintahan kudeta tahun 1980.

Amandemen Konstitusi menjamin persamaan gender dan perlindungan anak-anak, orang tua,

serta orang cacat.

Akan tetapi tokoh oposisi dari Partai Rakyat Republik (CHP), Berhan Simsek,

mengatakan bahwa amandemen itu merusak tatanan sekular yang sudah dibangun di Turki sejak

tahun 1923. Menurutnya, konstitusi hasil amandemen 2010 memberikan terlalu banyak

wewenang kepada Perdana Menteri di peradilan. Simsek juga mengatakan bahwa dengan

amandemen ini, maka perdana menteri menjadi sultan modern. Dia menyebutnya racun yang

dibalut dengan coklat. “Ini malah akan menjadikan semua cabang pemerintahan berada dalam

satu tangan. Berarti Turki akan dikuasai oleh satu orang, seperti Saddam Husein, atau Hitler.”14

Dalam amandemen Konstitusi 2010, terlihat bagaimana peran partai politik yang pro-

Kemalis dan partai politik yang ingin melakukan perubahan. Kelompok Kemalis yang didukung

oleh militer berusaha mempertahankan “keistimewaan” militer sebagai penjaga sekularisme

Kemal. Sementara itu, ada aktor politik lain yang berusaha melakukan reformasi politik. Mereka

itulah kelompok yang menurut Asef Bayat disebut sebagai “post-Islamis.”15

Di Turki, kelompok post-Islamis itu dapat dilihat pada Partai Keadilan dan Pembangunan

(Adalet ve Kalkinma Partisi - AKP). Partai yang didirikan pada tahun 2001 itu, menang dalam

pemilu 2002, 2007, 2011, dan 2015.16 AKP dapat dikatakan telah mengalami transformasi dari

partai Refah yang “Islamis”. Para pemimpin AKP yang berasal dari “kader-kader” partai Refah

telah melakukan transformasi politik dengan tidak lagi menggunakan jargon “Islamis”. Ini tentu

berbeda dengan Partai Saadet yang masih mengikuti pendahulunya, yakni Partai Refah. Dan,

ternyata AKP berhasil menarik perhatian pemilih di Turki. Kemenangan AKP dalam tiga kali

pemilu terakhir menunjukkan partai politik “post-Islamis” lebih dipilih ketimbang partai politik

“Islamis”.

Sudah barang tentu, kelompok “Islamis” maupun “post-Islamis” tidak dapat diabaikan

sebagai aktor politik di Turki. Mereka melakukan perjuangan untuk tetap eksis di tengah

14Lihat http://dunia.vivanews.com/news/read/177302-turki-amandemen-sistem-peradilan 15 Apa yang disebut sebagai “post-Islamisme” oleh Asef Bayat mencakup sejumlah fenomena politik di berbagai

belahan dunia Islam, mulai dari gerakan reformasi di Iran pada akhir 1990-an di bawah Mullah Muhammad Khatami (ia

dikenal karena gagasannya yang masyhur tentang “dialog peradaban” [hiwar al-hadarat]), hingga ke fenomena partai-partai

“tengah” seperti PKS di Indonesia, AKP di Turki, Ennahda di Tunisia, Partai Keadilan dan Pembangunan di Maroko, dan

Partai Tengah (Hizb al-Wasat) di Mesir. Ciri utama gerakan post-Islamisme adalah kecenderungan mereka yang pragmatis,

realistis, bersedia untuk kompromi dengan realitas politik yang tidak sepenuhnya ideal dan sesuai dengan skema ideologis

murni yang mereka yakini dan bayangkan. Post-Islamisme sama sekali tidak sekular, bahkan tetap menunjukkan sentimen

negatif kepada setiap bentuk ekspresi sekularisme, tetapi dia juga menolak teokrasi dan penerapan platform ideologis-

keagamaan, seperti hukum syariah, secara kaku dalam kenyataan politik sehari-hari. Lihat Ulil Abshar-Abdalla, “Revolusi

Post-Islamis di Dunia Islam,” dalam http://islamlib.com/id/artikel/revolusi-post-islamis-di-dunia-islam. 16 Pada tahun 2015, ada dua pemilu parlemen Turki. Pada pemilu 7 Juni 2015, AKP tidak berhasil memperoleh

kursi mayoritas. Untuk membentuk pemerintahan, diperlukan koalisi dengan partai. Akan tetapi koalisi mengalami deadlock

dan tidak berhasil membentuk pemerintahan. Kemudian Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, menetapkan pemilu dini

pada 1 November 2015. Hasil pemilu November 2015, AKP memperoleh kursi mayoritas dan dapat membentuk

pemerintahan sendiri.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 135

sekularisme yang terus dikembangkan oleh kaum Kemalis. Bila dilihat mulai munculnya Turki

modern, maka gerakan Islam di Turki dapat dikelompokkan ke dalam empat masa.17 Pertama,

„gerakan Islam spiritual‟ (a spiritual ethical Islamic movement). Gerakan ini berusaha untuk

menemukan keimanan dan keislaman, sebagai sumber norma kehidupan keseharian. Secara hati-

hati, mereka berusaha melakukan dan menunjukkan identitas komunal sebagai seorang muslim.

Gerakan ini berjalan sekitar seperempat abad (1925-1950). Kedua, „gerakan Islam budaya‟ (a

cultural Islamic movement). Gerakan ini menyadari Islam sebagai bentuk suatu peradaban dan

mereka mencari pengaruh secara budaya dan sosial. Gerakan ini berjalan sekitar 20 tahun (1950-

1970). Ketiga, „gerakan Islam politik‟ (a political Islamic movement). Gerakan ini berusaha

mencapai kekuasaan politik, baik dengan cara meningkatkan posisi tawar mereka secara

ekonomi, maupun mentrasformasikan diri mereka ke dalam lembaga politik negara. Gerakan itu

dilakukan sejak tahun 1970 sampai sekarang. Keempat, „gerakan Islam sosial-ekonomi‟ (a

socioecomic Islamic movement). Gerakan itu menekankan pada peran pasar, asosiasi, dan

lingkungan publik, sebagai jalan untuk mentransformasikan masyarakat Islam. Gerakan ini sudah

berjalan sejak tahun 1983.

Terlihat ada gradasi perjuangan kiprah umat Muslim Turki, dari kegiatan spiritual

kesufian sampai gerakan sosial-ekonomi-politik. Hal itu menunjukkan adanya usaha yang terus

menerus dari kalangan Muslim untuk menunjukkan eksistensinya, di tengah gelombang

sekularisasi yang diajarkan oleh Kemal Attaturk.

Kelompok “Islamis” seringkali dikaitkan dengan Partai Refah yang memenangkan pemilu

parlemen pada tahun 1995 dan Necmettin Erbakan menjadi Perdana Menteri Turki. Tetapi

kemudian, pada 21 Mei 1997, Partai Refah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan tuduhan

melanggar sekularisasi di Turki. Akhirnya, pada 16 Januari 1998, secara resmi Refah dilarang

hidup di Turki. Sebagai antisipasi pelarangan terhadap partai Refah, Erbakan mendirikan partai

baru yang bernama „Partai Kebajikan‟ (Fazilet Partisi – FP), pada 1997. Partai inipun kemudian

dilarang oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2001.Erbakan juga dilarang dalam kehidupan

berpolitik.

Pasca pelarangan FP, partai politik “pro-Islam” terpecah menjadi dua kelompok, yaitu

„Partai Kemakmuran‟ (Saadet Partisi – SP) pimpinan Recai Kutan,18 dan „Partai Keadilan dan

Pembangunan‟ (Adalet ve Kalkìnma Partisi – AKP), pimpinan Recep Tayyip Erdogan. SP

meneruskan cita-cita Partai Orde Nasional (MNP) untuk memperjuangkan keislaman di Turki. SP

dapat disebutkan sebagai penerus partai “Islamis” yang menginginkan masyarakat Turki lebih

17 Lihat M. Hakan Yavuz, Islamic Political Identity in Turkey (New York: Oxford University Press, 2003), hlm. 9 18Pada kenyataannya, yang memimpin Partai Kemakmuran (SP) adalah pemimpin di belakang layar, yaitu

Necmettin Erbakan.

136 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

dapat mengamalkan ajaran agamanya. Sedangkan AKP lebih mengarahkan programnya ke

masalah globalisasi.

Setelah kemenangan AKP dalam pemilu November 2002, dengan memperoleh 34,28%

suara nasional atau 363 kursi parlemen, maka SP kehilangan dukungan kalangan bawah. Dalam

perpolitikan Turki, AKP terus berkibar. Partai itu tersebut memenangkan pertarungan dalam

pemilu parlemen pada 22 Juli 2007, 12 Juni 2011, dan 1 November 2015. Keberhasilan AKP

tidak terlepas dari usaha dan kepribadian pendirinya, yaitu Recep Tayyip Erdogan. Sebelumnya,

Erdogan bergabung pada Partai Refah pimpinan Erbakan.

Kemenangan AKP juga tidak dapat dipisahkan dari aktor politik lain. Mereka adalah para

pengusaha muslim yang berkiprah dalam masyarakat Turki. Mereka lebih berperan, setelah ada

kebijakan ekonomi neo-liberal Turgut Ozal.19 Dia mengubah ekonomi Turki dengan memberi

jalan swastanisasi banyak sektor negara. Dia melakukan liberalisasi ekonomi Turki yang tadinya

banyak dikuasai oleh negara. Dengan cara seperti ini, para “borjuasi” berskala kecil dapat dengan

leluasa bergerak di bidang ekonomi. Mereka itu adalah para pedagang keliling, pedagang kecil,

kontraktor kecil, pemilik restoran, industrialis kecil, pemilik pabrik tekstil, dan pemilik pabrik

pengolah makanan. Sektor ekonomi ini tidak menginginkan adanya intervensi negara di bidang

ekonomi, karenanya mereka mendukung liberalisasi ekonomi. Mereka juga menggunakan simbol

dan etika Islam yang berguna sebagai senjata untuk menggerakkan opini publik melawan negara

dalam bidang ekonomi dan untuk melawan para industrialis besar yang telah lama menikmati

patronase dari negara.20

Kebijakan ekonomi neo-liberal Ozal telah mengubah kelompok Islam di Turki.

Kelompok Nurcu, misalnya, bertransformasi dan memberikan justifikasi teologis bagi mereka

yang bergerak di bidang ekonomi. Beribadah tidak hanya dilakukan di masjid, tetapi juga di

bidang ekonomi. Pemimpin Nurcu mendorong pengikutnya untuk terlibat dalam aktivitas niaga

dan perdagangan, dari pada menjadi pegawai negeri.21

Masyarakat Muslim di berbagai wilayah Turki berubah menjadi kelompok “borjuasi baru

Muslim”. Mereka inilah yang oleh Hakan Yavus disebut sebagai “Macan Anatolia” (Anadolu

kaplanlari). Ada tiga hal utama “Macan Anatolia”, yaitu: 1) mereka konservatif secara agama dan

sosial, liberal secara ekonomi, berorientasi pada swasta, 2) mereka dapat menghasilkan modal

awal melalui jaringan keluarga dan jaringan agama, sehingga lebih mudah untuk mengakumulasi

modal, dan 3) mereka sangat kritis terhadap intervensi negara terhadap ekonomi.22

19Turgut Özal adalah pimpinan Partai Tanah Air (Anavatan Partisi), Perdana Menteri Turki (1983-1989), dan

Presiden Turki ke-8 (1989-1993). Ia adalah tokoh politik dari Kurdi. 20Lihat M. Hakan Yavuz, Islamic Political Identity in Turkey (New York: Oxford University Press, 2003), hlm 89. 21Ibid., hlm. 142. 22Ibid., hlm. 94.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 137

Untuk memperkuat posisi mereka secara politik, para borjuasi muslim membentuk

asosiasi bisnis yang disebut MUSIAD (Müstakil Sanayici ve İşadamları Derneği). MUSIAD itu

berarti Asosiasi Pengusahadan Industrialis Independen Turki. Organisasi ini didirikan pada tahun

1990, dengan sifat non-pemerintah, non-profit, dan berbasis sukarela. Saat ini, MUSIAD

memiliki 3.150 anggota senior dan 1.750 anggota muda yang mewakili lebih dari 15.000

perusahaan. Total investasi anggota MUSIAD adalah 5 miliar dolar AS. Mereka memberikan

kontribusi 17 miliar dolar AS untuk pendapatan ekspor Turki serta mempekerjakan 1.200.000

tenaga kerja. MUSIAD memiliki 31 kantor cabang di seluruh Turki dan 94 kontak kerjasama di

44 negara. Selanjutnya, MUSIAD memberikan kontribusi 15% dari PDB Turki.23

Huruf “M” dalam MUSIAD kepanjangan dari Müstakil yang berarti independen.

Walaupun demikian, sebagian orang mengasosiakannya dengan kata Muslim. Memang, MUSIAD

mempunyai kedekatan dengan partai politik yang berbasis Islam. MUSIAD pernah dekat Rartai

Refah, ketika partai itu berjaya. Waktu itu, MUSIAD lebih cenderung berniaga dengan dunia

Islam. Mereka juga berorientasi ke Eropa. Tampaknya hal itu sejalan dengan orientasi bisnis

pemerintahan Partai Refah. Kini, mereka dekat dengan AKP yang tengah berkuasa di Turki.

MUSIAD mengalami suatu perubahan pandangan terhadap Eropa. Hal itu berkaitan dengan

orientasi politik AKP yang ingin dekat dengan Eropa, agar Turki dapat masuk ke dalam Uni

Eropa.24

Dengan demikian, aktor politik di Turki yang cukup berperan adalah partai politik

penganut ajaran Kemalis yang didukung oleh militer. Belakangan, peran mereka digantikan oleh

kaum “post-Islamis” yang didukung oleh “borjuis muslim”. Perjuangan mereka cukup panjang

dan berjalan secara gradual, dari spiritual sampai masuk ke dunia politik.

Mengkaji gerakan Islam spiritual sampai gerakan politik di Turki tidak akan terlepas dari

gerakan “Sufi Naqshabandiyyah”. Gerakan sufi tersebut sudah ada di berbagai Negara Islam,

termasuk di Indonesia, sejak lama. Naqshabandiyyah Turki dapat dikaitkan dengan Maulana

Halid, seorang mujaddid Naqshabandiyyah di sana. Pengikutnya disebut dengan istilah “Halidi”.

Pada masa Dinasti Usmaniyyah (1820-an), kaum Halidi ini pernah mengusulkan kepada

kesultanan untuk mereformasi kehidupan masyarakat dengan menggunakan syariat Islam sebagai

pedoman. Tetapi, kemudian mereka dikalahkan oleh pembaruan Dinasti Usmaniyah yang

berorientasi ke dunia Barat. Pembaruan itu disebut sebagai „Tanzimat‟ yang berjalan antara tahun

1839-1876.

23Lihat http://www.musiad.org.tr/ 24Perubahan orientasi MUSIAD terhadap Eropa dapat dilihat, antara lain, pada Dilek Yankaya, “The

Europeanization of MÜSİAD: Political opportunism, Economic Europeanization, Islamic Euroscepticism,” dalam European

Journal of Turkish Studies, 9 (2009).

138 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Kaum Naqshabandiyyah menentang reformasi ala Barat (Tanzimat), karena dianggap

tidak „Islami‟. Dalam perkembangannya, terjadi persaingan antara kaum sufi dan pendukung

reformasi yang sering disebut sebagai “Usmaniyyah Muda” (Young Ottomans). Selanjutnya,

terjadi pemberontakan terorganisir yang dipimpin oleh Syekh Ahmad dari wilayah

Sulaemaniyah,25 melawan reformasi Tanzimat (1859). Usaha tersebut gagal dan kaum

Naqshabandiyyah menjadi tertuduh.26

Pada tahun 1860-an, kaum Naqshabandiyyah Halidi tidak begitu bebas bergerak. Mereka

baru terlihat kembali di kancah politik Usmaniyyah, ketika terjadi perang antara Rusia dan Turki

(1877-1878). Pada waktu itu, banyak syekh Naqshabandiyyah yang secara sukarela menjadi

tentara, untuk perang membela Dinasti Usmaniyyah. Selain itu, ada tokoh Naqshabandiyyah

Halidi, yaitu Ahmad Ziyaeddin, yang terkenal dengan sebutan Gumushanevi. Pada masa perang

Rusia-Turki, dia melakukan berbagai usaha untuk penguatan terhadap masyarakat Turki,

sekaligus sebagai reaksi terhadap reformasi tanzimat ala Usmaniyyah Muda. Gumushanevi

mendirikan bank dan memberikan pinjaman kepada pada pengikutnya. Dia juga membangun

empat perpustakaan, yang salah satunya ada di Kota Istanbul. Dengan inovasi pendidikan, dia

ingin meningkatkan mutu para pengikut Naqshabandiyyah. Substansi dari pendidikan

Gumushanevi adalah memahami Islam secara menyeluruh dengan bersandar pada interpretasi

teks yang benar dan nasehat para tokoh sufi. Kombinasi antara teks dan pendapat Guru tersebut

akan membimbing para pengikut Gumushanevi ke dalam struktur sosial yang kuat.

Ketika rezim Republik Turki berdiri, yang menjadi pemimpin Naqshabandiyyah Halidi

adalah Bediuzzaman Said Nursi. Dia adalah produk dari pendidikan Halidi. Said Nursi pada

tahun 1909 terlibat dalam pemberontakan militer melawan penguasa Usmaniyyah. Dia kemudian

diasingkan ke Anatolia. Setelah tahun 1910 dia diampuni dan selanjutnya berkolaborasi dengan

kelompok „Turki Muda‟, dengan menggunakan Islam sebagai senjata melawan imperialisme dan

kolonialisme. Pada Perang Dunia I, Nursi dipenjara oleh Rusia. Pada tahun 1925, Nursi dituduh

terlibat dalam dalam pemberontakan kelompok Kurdi, melawan pemerintahan sekular Attaturk

yang baru berdiri. Pemberontakan itu sendiri dipimpin oleh Syekh Said Palu, salah seorang tokoh

Naqshabandiyyah. Tetapi, Nursi diputus bebas dan diasingkan ke wilayah pegunungan di Turki

barat.

Di pengasingan itu, Said Nursi membangun jaringan pengikut Naqshabandiyyah. Mereka

adalah para tokoh dan pedagang lokal. Gerakan kemudian menyebar di kalangan para petani

kelas menengah.Tulisan-tulisan Said Nursi yang dikumpulkan dalam Risale-I Nur (Tulisan-

25Wilayah Sulaemaniyah adalah provinsi tempat tinggal kaum Halidi Naqshabandiyyah. 26 Lihat antara lain, Serif Mardin, “The Nakshibendi Order of Turkey”, dalam Martin E. Marty dan R. Scott

Appleby (Eds.), Fundamendalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance (Chicago: The University of

Chicago Press, 1993), hlm. 213.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 139

tulisan Nursi), disebarkan secara rahasia, untuk memperkuat jaringan di kalangan pengikutnya.

Nursi dipenjara beberapa kali, karena kegiatannya yang menentang sekularisasi Kemal Attaturk.27

Said Nursi meninggal dunia pada tahun 1960 dan para pengikutnya biasa disebut “Nurcu”.

Selama Said Nursi masih hidup, gerakan mereka lebih memperlihatkan kegiatan spiritual

dan sosial keagamaan. Strategi itu untuk mengurangi tekanan dari penguasa sekular yang

mencurigai kelompok keagamaan dalam kegiatan politik praktis. Penguasa sekular khawatir bila

kelompok tersebut dibiarkan, maka sistem sekular yang dibangun oleh Attaturk akan mengalami

ancaman.

Pada tahun 1970-an, kaum Nurcu mengubah strategi. Mereka mulai bermain politik

praktis. Partai politik pertama yang dianggap dekat dengan kalangan kaum Nurcu adalah Partai

Orde Nasional (Milli Nizam Partisi – MNP). Mereka memiliki program politik nasional yang

dikenal dengan sebutan Milli Gorus (Pandangan Nasional). Partai yang didirikan pada tahun 1970

tersebut kemudian dilarang oleh Mahkamah Konstitusi, 1971, setelah terjadi kudeta militer.

Walaupun demikian, Milli Gorus dari kaum Nurcu terus berjalan. Artinya, mereka akan berusaha

meneruskan perjuangannya melalui partai politik. Kemudian, ketika Partai Penyelamat Nasional

(Milli Selamet Partisi – MSP) didirikan pada 1972, kaum Nurcu ikut mendukungnya. Pada

pemilu tahun 1973, MSP memperoleh 11,8% suara nasional atau 10,6% kursi parlemen. Suara

perolehan mereka turun pada pemilu berikutnya, 1977. Mereka hanya mendapatkan 8,5% suara

nasional atau 5,5% kursi di parlemen.28

Belakangan, Nurcu mengubah pandangan politiknya dan tidak lagi mendukung MSP,

karena dianggap tidak sesuai dengan harapan kaum Nurcu. Mereka keluar dari MSP, ketika partai

itu berkoalisi dengan pemerintah. Mereka protes terhadap aturan yang memberikan amnesti

kepada semua narapidana, menurut pasal 141 dan 142 undang-undang pidana. Faksi Nurcu dalam

MSP menginterpretasikan, amnesti itu sebagai konsesi terhadap narapidana kelompok komunis,

menurut undang-undang darurat militer, pasca kudeta 1971.29 Setelah keluar dari parlemen,

kelompok Nurcu mendukung partai tengah-kanan, yakni Partai Keadilan (Adalet Partisi – AP).

Tokoh berpengaruh dalam Partai Penyelamat Nasional (MSP) adalah mereka yang

mempunyai afiliasi dengan Naqshabandiyyah. Tokoh tersebut adalah Necmettin Erbakan yang

menjadi pimpinan partai; Korkut Ozal yang menjabat Menteri Pertanian dalam berbagai

pemerintahan koalisi antara tahun 1973 dan 1983; Abdulkadir Paksu yang menjabat Menteri

Perburuhan; dan Salih Ozcan yang menjadi anggota parlemen.

27Ibid., hlm. 218. 28 Lihat Yildis Atasoy, Turkey, Islamists and Democracy: Transition and Globalization in a Muslim State

(London: I.B. Tauris & Co. Ltd, 2005), hlm. 123-124. 29Ibid.

140 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Pada tahun 1980-an, generasi baru Nurcu mendukung partai lain, yaitu Partai Jalur

Kebenaran (Dogru Yol Partisi – DYP). Kemudian, pada pertengahan 1980-an, kelompok Nurcu

dianggap dekat dengan Partai Tanah Air (Anavatan Partisi – ANAP). ANAP dipimpin oleh

Turgut Ozal yang waktu itu menjabat sebagai Presiden Turki. Kedekatan itu dilihat dari

keberadaan saudara Presiden Ozal dalam kelompok Nurcu.

Pada tahun 1990, Nurcu terpecah menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok yang

menerbitkan Yeni Nesil (Generasi Baru) menjadi Yeni Asya (Asia Baru). Kedua, kelompok

„pembangkang‟ di Izmir, pimpinan Fethullah Gullen yang dikabarkan mempunyai hubungan

dengan pihak intel dari penguasa. Ketiga, kelompok muda „intelektual‟ Nurcu, pimpinan

Mehmed Metiner, yang sampai tahun 1989 menerbitkan publikasi secara periodik, dengan judul

Girisim. Keempat, kelompok „puritan‟, yang menekankan penyelamatan keaslian ajaran Said

Nursi, dengan menggunakan tulisan Arab. Kelompok terakhir ini, tentunya, dianggap ilegal oleh

penguasa Turki modern.30

Tidak begitu jelas dari kelompok Nurcu mana, yang akhirnya „melahirkan‟ Partai Refah.

Partai ini dianggap dekat dengan kalangan Islam dan ingin memperjuangkan Islam yang sesuai

dengan karakteristik masyarakat Turki. Bila ditelusuri lebih seksama,sebenarnya Refah dapat

disebut sebagai partai moderat yang menjunjung nilai demokrasi dan pluralisme. Mengapa

demikian? Karena Partai Refah mengutamakan adanya suatu keadilan sosial, tradisi, dan etika

dalam masyarakat Turki. Selain itu, Refah juga menolak westernisasi.

Pada Januari 1990, tampak ada tanda-tanda keretakan antara pemimpin Partai Refah dan

kelompok Naqshabandiyyah. Hal itu terlihat dari kutipan tulisan berikut:

Throughout history Muslims have followed the pious, righteous and devout. They

obeyed true Islamic scholars [i.e. Nakshibendi] and pledged their allegiance to them.

They worked under their orders and followed the path they showed to them. Thus

they attained happiness in both worlds. The true caliphs of mankind are the blessed

adepts and shaykhs joined in spirit with God; they are not oppressive and despotic

politicians. How many faithful, just and intelligent government officials,

commanders, ministers, even sultans pledged their allegiance to them, kissed their

hands, requested their prayers, carried out their order, took them as their guides,

and performed services to them?31

30 Serif Mardin, “The Nakshibendi Order of Turkey”, dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (Eds.),

Fundamendalisms and the State:…., hlm. 219-220. 31 Lihat Halil Necatioglu, “The Undisputable Value and Superiority of Islamic Scholars,” in Islam, no. 77, January

1990, p. 6, yang dikutip dari Ibid., hlm. 227.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 141

Dalam beberapa bulan kemudian, Naqshabandiyyah secara gradual ikut masuk ke dunia

politik praktis, dengan memberikan berbagai saran kepada Partai Refah. Dalam jurnal “Islam”

yang diterbitkan oleh Naqshabandiyyah, banyak disebutkan tema-tema persaudaraan dan

kebersamaan. Bahkan pada Juni 1990, jurnal “Islam” meluncurkan satu tulisan yang berjudul

“The Importance and Place of Politics in Islam.” Beberapa kutipan berikut menunjukkan

bagaimana pentingnya keterlibatan Islam dalam dunia politik.

Muslims are responsible for conforming to the religious ordinaces and commands in

social-political matters just as much as they are in matters of worship and piety....

They cannot remain disinterested, uninformed, ineffective, careless, detached and

passive. If they do, they will be held responsible.... Religion is a whole, one cannot

fulfill some parts and turn one’s back on others.... Political organization...is

necessary because if governing by means of democracy and votes falls into the hands

of the opposition, this can lead [to] the Muslims’ most natural rights being

violated.32

Bila memperhatikan isi jurnal “Islam”, maka akan dijumpai seluruh isinya mengarah pada

konsep „syuro‟, suatu konsep „demokrasi‟ dalam politik Islam. Tetapi, dalam perkembangannya

keretakan hubungan antara kaum Naqshabandiyyah dengan Partai Refah semakin nyata pada Juli

1990. Hal itu terlihat dalam wawancara dengan tokoh Naqshabandiyyah yang dimuat dalam

“Islam”, dengan judul “A Political Party and Us.”33

Tarik ulur kepentingan kaum Nurcu dan partai politik selalu terjadi di Turki. Partai Refah

terus berjuang untuk merebut suara masyarakat Turki. Akhirnya pada pemilu 1995, mereka dapat

memperoleh suara yang banyak dan Erbakan menjadi Perdana Menteri Turki. Tetapi, pada 21

Mei 1997, Partai Refah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan tuduhan melanggar

sekularisasi di Turki. Akhirnya, pada 16 Januari 1998, secara resmi Refah dilarang hidup di

Turki. Sebagai antisipasi pelarangan terhadap partai Refah, Erbakan mendirikan partai baru yang

bernama „Partai Kebajikan‟ (Fazilet Partisi – FP), pada 1997. Partai inipun kemudian dilarang

oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2001. Necmettin Erbakan juga dilarang dalam kehidupan

berpolitik.

Setelah pelarangan FP, maka partai politik “pro-Islam” terpecah menjadi dua kelompok,

yaitu „Partai Kemakmuran‟ (Saadet Partisi – SP) pimpinan Recai Kutan,34 dan „Partai Keadilan

dan Pembangunan‟ (Adalet ve Kalkìnma Partisi – AKP), pimpinan Recep Tayyip Erdogan. SP

32Lihat Islam, June 1990, hlm. 7. 33 Lihat Serif Mardin, “The Nakshibendi Order of Turkey”, dalam dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby

(Eds.), Fundamendalisms and the State:........, hlm. 228. 34Pada kenyataannya, yang memimpin Partai Kemakmuran (SP) adalah pemimpin di belakang layar, yaitu

Necmettin Erbakan.

142 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

meneruskan cita-cita Partai Orde Nasional (MNP) untuk memperjuangkan keislaman di Turki.

Sedangkan AKP lebih mengarahkan programnya ke masalah globalisasi. Setelah kemenangan

AKP dalam pemilu November 2002, dengan memperoleh 35% suara nasional atau 365 kursi

parlemen, maka SP kehilangan dukungan kalangan bawah.

Dalam perpolitikan Turki, AKP terus berkibar. Pada pemilu 22 Juli 2007, AKP

memperoleh 46,58% suara nasional atau 341 kursi parlemen. Kemudian pada pemilu 12 Juni

2011, AKP memperoleh 49,90% suara nasional atau 326 kursi parlemen. Selanjutnya, pada

pemilu 1 November 2015, AKP mendapatkan 49,30% suara nasional atau 313 kursi parlemen.

Keberhasilan AKP tidak terlepas dari usaha dan kepribadian pendirinya, yaitu Recep Tayyip

Erdogan.

Karir politik Erdogan cukup cemerlang, karena dia sangat dekat dengan masyarakat

kalangan bawah. Dia juga biasa bersama-sama rakyat melaksanakan pekerjaan kalangan bawah.

Pada tahun 1994, Erdogan terpilih jadi Wali Kota Istanbul, sebuah kota bersejarah dan

metropolitan. Selama menjadi Walikota, Erdogan menegakkan hukum yang adil dan dengan

berani banyak membuat kebijakan yang pro-rakyat. Erdogan sama sekali tidak risih memakai

seragam pekerja dan bersama-sama rakyatnya melakukan pembersihan jalan. Erdogan pun turun

sendiri membagikan kursi-kursi roda pada rakyatnya yang memerlukan.

Semua itu dilakukannya dengan sungguh-sunggh, bukan sekedar formalitas. Kehidupan

keluarganya pun tidak dapat dikatakan mewah. Ketika Erdogan menganjurkan kesederhanaan,

maka dia dan keluarganya menjalani hidup dengan kesederhanaan pula. Erdogan, melalui AKP,

ingin membangun kekuatan Islam, dengan diawali dari perjuangan bersama-sama masyarakat dari

bawah, baru kemudian menuju dakwah ke atas.

Bila di dalam negeri, Erdogan lebih mendekati masyarakat kalangan bawah, maka di

dunia internasional, Erdogan justru menggandeng dan memperkuat lobi dengan Uni Eropa.35

Strategi ini, sekaligus untuk menekan kekuatan sekularis dan militer Turki.

Selain berkiprah di bidang politik, kaum Nurcu juga secara aktif terlibat dalam

pendidikan. Salah satu tokoh Nurcu yang bergerak di bidang ini adalah Fethullah Gulen. Nur

evleri adalah berbagai asrama mahasiswa yang berafiliasi dengan Nurcu cemaati. Tempat itu di

bawah kekuasaan dan kepemimpinan Gulen. Mutevellis (pengurus komunitas), Abiler (saudara

35Erdogan terus berusaha mendekati Uni Eropa (UE), agar Turki diterima menjadi anggota UE. Keanggotaan Turki

terkendala oleh masalah demokratisasi di sana. Kudeta militer dan aturan yang “mengistimewakan” militer di Turki

menghambat keanggotaannya di UE. Selain itu, masalah hubungan Turki dan Cyprus yang tidak harmonis, ikut menambah

hambatan itu. Negara yang ingin menjadi anggota UE harus mengikuti kriteria yang telah dibuat. Kriteria keanggotaan itu,

harus memenuhi norma dan nilai politik yang dianut UE, yaitu: “stability of institutions guaranteeing democracy, the rule of

law, human rights and respect for and protection of minorities; a functioning market economy, as well as the capacity to

cope with competitive pressure and market forces within the Union.” Lihat “Conclusions of the European Council,”

(Copenhagen, Denmark, June 1993). Mengenai perkembangan negosiasi keanggotaan Turki di UE dapat dilihat, antara lain,

pada Vincent Morelli, “European Union Enlargement: A Status Report on Turkey‟s Accession Negotiations” (Congressional

Research Service, September 9, 2011).

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 143

laki-laki), dan Ablalar (saudara perempuan) menjalankan aktivitas cemaat pada level paling

bawah. Tidak ada catatan berapa jumlah mereka, tetapi cemaat telah menyebar ke seluruh Turki.

Hal itu ditandai dengan meningkatnya jumlah pengawas kegiatan cemaat.

Mereka yang dapat bergabung dalam mutevellis adalah yang sudah mendapatkan

tingkatan tinggi dalam cemaat. Mereka terpilih dari mahasiswa Risale-I Nur yang yang paling

berdedikasi dan telah mendapatkan pendidikan lanjutan dari tingkatan lebih tinggi, yang disebut

Nur talebesi. Pendidikan mereka berdasarkan Al Qur‟an dan sunnah Rasul, sebagaimana telah

dibukukan dalam Risale-I Nur karya Said Nursi dan buku-buku tulisan Fethullah Gulen. Secara

periodik, dalam mutevellis diadakan ujian lisan dan tertulis. Abiler dan ablalar menempati posisi

yang lebih rendah dalam hirarki cemaat. Mereka mempunyai pengetahuan yang lebih terbatas

dibandingkan mutevellis.36

Nur evleri adalah apartemen untuk mahasiswa atau mahasiswi yang bangunannya

terpisah. Setiap flat dihuni oleh tujuh mahasiswa/mahasiswi yang dekat dengan kampusnya.

Abiler bertanggungjawab terhadap mahasiswa di bawah asuhannya, sedangkan ablalar mengurusi

mahasiswi. Mutevellis menghubungkan mahasiswa dengan kelompok bisnis muslim untuk

mendapatkan beasiswa. Secara umum, mutevellis laki-laki mengumpulkan dana dari pebisnis

muslim, sedangkan mutevellis perempuan mengadakan bazar dan penggalangan dana. Dalam

bazar, biasanya para ibu menjual makanan buatan sendiri atau menjual kerajian tangan. Dalam

sebulan, hasil penggalangan dana dapat mencapai 25.000 dollar AS.37

Dana yang berhasil dikumpulkan oleh para mutevellisi diserahkan kepada abiler/ablalar

untuk didistribusikan kepada para mahasiswa di bawah asuhannya, sebagai beasiswa dan

kebutuhan lainnya.38 Dengan cara seperti itu, maka mahasiswa mempunyai kepedulian terhadap

mahasiswa lainnya yang kekurangan dana pendidikan. Mereka juga peduli terhadap lingkungan

tempat tinggal mereka.

Di nur evleri juga kadang diadakan dersanes.39 Kelompok Fethullah Gulen mengadakan

dersanes secara gratis atau pun bayaran yang sangat murah. Mereka dibimbing oleh abiler dan

ablalar. Selain dibimbing pelajaran untuk tes ke universitas, mereka juga diberikan pelajaran

keislaman. Dapat dikatakan, bahwa fungsi nur evleri adalah untuk mencetak kader terdidik yang

tidak meninggalkan ajaran Islam. Hal itu terlihat dengan adanya ceramah keagamaan dan diskusi

di bawah bimbingan abiler/ablalar. Mereka juga membaca tulisan Said Nursi, yakni Risale-I Nur

dan tulisan Fethullah Gulen. Para mahasiswa di nur evleri selalu diingatkan untuk melaksanakan

36 Lihat Yildis Atasoy, Turkey, Islamists and Democracy:…., hlm. 158. 37Ibid. 38Pada tahun 1996, ketika berkunjung ke Istanbul dan Ankara, penulis memperoleh informasi bahwa mahasiswa

yang tinggal di Nur evleri tidak dipungut biaya. Mereka juga dapat makan gratis di sana. Kuliah juga tidak membayar.

Selain itu, mereka mendapatkan beasiswa sebesar 50 dollar AS per bulan sebagai uang saku. 39Dersanes adalah kursus atau bimbingan belajar sebelum masuk ke universitas.

144 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

shalat lima waktu dan mendorong kehidupan mereka sesuai dengan norma-norma yang diajarkan

oleh Islam.40

Sejak kudeta militer yang gagal, 15 Juli 2016, kelompok Gulen dilarang hidup di Turki.

Kelompok itu dianggap terlibat dalam kudeta tersebut. Mereka juga dituduh oleh Pemerintahan

Erdogan sebagai teroris yang membahayakan rakyat Turki.

Penutup

Kehidupan perpolitikan di Turki pernah mengalami perubahan. Mereka pernah menganut partai

tunggal. Mereka cukup lama memberlakukan multi partai dalam sistem demokrasi parlementer.

Kini, mereka ingin berubah menjadi sistem demokrasi presidensiil. Akan tetapi, ada satu hal yang

tidak berubah sejak Turki berdiri sampai saat ini, yaitu mereka menyatakan dirinya sebagai

negara demokrasi yang sekular. Dalam Konstitusi Turki pasal 2 tertulis penegasan itu.

Mustafa Kemal Attaturk menerapkan demokrasi sekular dengan menetapkan enam

prinsip, yaitu: republicanism, nationalism, populism, secularism, reformism (or revolutionism),

and statism. Keenam prinsip tersebut dimasukkan ke dalam Konstitusi Turki. Prinsip ajaran itu

dikenal dengan sebutan “Kemalisme”. Dalam faham Attaturk, sekularisme itu adalah kekuasaan

negara didesain dapat mengontrol agama, tidak sekedar memasukkan agama ke dalam ranah

pribadi dan menyingkirkannya dari ruang publik.

Dalam kondisi seperti itu, masyarakat Muslim Turki berkiprah sesuai dengan keadaan.

Kiprah Muslim di Turki dapat dikelompokkan ke dalam empat masa gerakan. Pertama, „gerakan

Islam spiritual‟ (a spiritual ethical Islamic movement). Gerakan ini berusaha untuk menemukan

keimanan dan keislaman, sebagai sumber norma kehidupan keseharian. Secara hati-hati, mereka

berusaha melakukan dan menunjukkan identitas komunal sebagai seorang muslim. Gerakan ini

berjalan sekitar seperempat abad (1925-1950). Kedua, „gerakan Islam budaya‟ (a cultural Islamic

movement). Gerakan ini menyadari Islam sebagai bentuk suatu peradaban dan mereka mencari

pengaruh secara budaya dan sosial. Gerakan ini berjalan sekitar 20 tahun (1950-1970). Ketiga,

„gerakan Islam politik‟ (a political Islamic movement). Gerakan ini berusaha mencapai kekuasaan

politik, baik dengan cara meningkatkan posisi tawar mereka secara ekonomi, maupun

mentrasformasikan diri mereka ke dalam lembaga politik negara. Gerakan itu dilakukan sejak

tahun 1970 sampai sekarang. Keempat, „gerakan Islam sosial-ekonomi‟ (a socioecomic Islamic

movement). Gerakan itu menekankan pada peran pasar, asosiasi, dan lingkungan publik, sebagai

jalan untuk mentransformasikan masyarakat Islam. Gerakan ini sudah berjalan sejak tahun 1983.

40 Pendidikan cara Gulen tersebut diajarkan ke berbagai negara lain, termasuk di Indonesia. Di Jakarta, misalnya,

ada Fethullah Gulen Chair di Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah. Bekerjasama dengan Universitas Indonesia dan

UIN Jakarta, Fethullah Gulen Chair pernah mengadakan International Fethullah Gulen Conference, pada 19-21 Oktober

2010, di Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 145

Terlihat ada gradasi perjuangan kiprah umat Muslim Turki, dari kegiatan spiritual

kesufian sampai gerakan sosial-ekonomi-politik. Hal itu menunjukkan adanya usaha yang terus

menerus dari kalangan Muslim untuk menunjukkan eksistensinya, di tengah gelombang

sekularisasi yang diajarkan oleh Kemal Attaturk.

Daftar Bacaan

Abshar-Abdalla, Ulil. “Revolusi Post-Islamis di Dunia Islam,” dalam

http://islamlib.com/id/artikel/revolusi-post-islamis-di-dunia-islam.

ATAÖV, Türkkaya. “The Principles of Kemalism”, dalam The Turkish Yearbook, 1980-1981,

VOL. XX.

Atasoy, Yildis. Turkey, Islamists and Democracy: Transition and Globalization in a Muslim

State (London: I.B. Tauris & Co. Ltd, 2005).

Basyar, M. Hamdan. Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel

(Jakarta: UI Press, 2015).

Islam (June 1990).

Lewis, Geoffrey. The Turkish Language Reform: A Catastrophic Success (Oxford: Oxford

University Press, 2002).

Mardin, Serif. “The Nakshibendi Order of Turkey”, dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby

(Eds.), Fundamendalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance

(Chicago: The University of Chicago Press, 1993).

Morelli, Vincent., “European Union Enlargement: A Status Report on Turkey‟s Accession

Negotiations” (Congressional Research Service, September 9, 2011).

Rustow, Dankwart A. “Political Parties in Turkey: An Overview”, dalam Metin Heper dan Jacob

M. Landau (Eds.), Political Parties and Democracy in Turkey (London: I.B. Tauris & Co

Ltd., 1991).

Saribay, Ali Yasar. “The Democratic Party, 1946-1960”, dalam Metin Heper and Jacob M.

Landau (Eds.), Political Parties and Democracy in Turkey (London: I.B. Tauris & Co

Ltd., 1991).

Türkiye Büyük Millet Meclisi, Constitution of the Republic of Turkey dalam

https://global.tbmm.gov.tr/docs/constitution_en.pdf. Diakses pada 7 Juli 2017.

Yankaya, Dilek. “The Europeanization of MÜSİAD: Political opportunism, Economic

Europeanization, Islamic Euroscepticism,” dalam European Journal of Turkish Studies, 9

(2009).

Yavuz, M. Hakan. Islamic Political Identity in Turkey (New York: Oxford University Press,

2003).

146 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Yavuz, M. Hakan. Secularism and Muslim Democracy in Turkey (New York: Cambridge

University Press, 2009).

Zurcher, Erik J. Sejarah Modern Turki (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003).

http://aa.com.tr/en/turkey/-turkey-official-referendum-results-announced-/806935. Diakses pada

7 Juli 2017.

http://dunia.vivanews.com/news/read/177302-turki-amandemen-sistem-peradilan

http://www.musiad.org.tr/

https://m.tempo.co/read/news/2016/07/18/117788383/otak-pelaku-kudeta-turki-ditahan. Diakses

pada 18 Juli 2016.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 147

ISLAM DAN DEMOKRASI:

Mencari Model Demokrasi Untuk Negeri-Negeri Islam

(Sebuah Background)1

Oleh: Dr. A. Ilyas Ismail, MA2

1. Abad baru ditandai oleh munguatnya tuntutan terhadap demokrasi politik, penegakan Hak-

hak Asasi Manuisa (HAM), kesetaraan dan keadilan gender, serta kesadaran tentang ancaman

kerusakan lingkungan global. Inilah 4 issu utama yang mengemuka sejak penghujung abad

yang lalu, dan makin fenomenal belakangan ini. Reformasi tahun 1998 yang terjadi di negeri

kita dan terus bergulir hingga kini, sesungguhnya merupakan dampak langsung dari tuntutan

global demokratisasi politik ini. Demikian pula gerakan dan reformasi politik yang

mengguncang negeri-negeri Islam dan Arab dimulai dari Tunisia, Mesir, Lybia, Suriah,

Jordania, Yaman, Arab Saudi, dan beberapa negara Monarchi di Teluk, menjadi saksi nyata

menguatnya demokratisasi politik. Pergolakan ini, seperti kita saksikan, terus berlangsung

hinggga kini, dan belum ada yang bisa memprediksi kapan akan berakhir. Dalam tesis

Francis Fukuyama, dengan background jatuhnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin,

tuntutan terhadap demokrasi politik itu tidak pernah akan berakhir. Ia dipandang justru

sebagai akhir dari sejarah yang bisa diperjuangkan oleh umat manusia unuk mencapai

keadaban. (Fukuyama, The End of History and the Last Man: 1997). Ini berarti gerakan

demokrasi akan terus menguat seiring dengan lahirnya gerakan kebebasan (liberalisme)

dalam semua lapangan kehidupan yang menyertai globalisasi saat ini. Seperti pernah

diramalkan Huntington, gerakan demokratisasi atau apa yang ia namakan “the fourth wave

democracy” (demokrasi gelombang keempat) dipastikan menguat dan akan menyapu seluruh

negeri dan bangsa-bangsa di dunia, tak terkecuali negeri-negeri Arab dan Afrika Utara.

2. Sampai titik ini, tesis Fukuyama dan Huntington mengandung segi-segi kebenaran. Gerakan

demokrasi yang mengguncang negeri-ngeri Arab (Arab Spring) menjadi saksi nyata

kebangkitan gelombang demokrasi itu. Namun, seperti diketahui, gerakan demokrasi Arab itu

kini menemui jalan buntu. Malahan banyak pakar menilai bahwa gerakan demokrasi Arab itu

dipandang telah gagal, terlebih lagi setelah munculnya gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and

Suriah) yang notabene-nya anti Barat dan anti demokrasi, malahan memandang demokrasi

sebagai ajaran setan yang merusak dan melemahkan Islam. ISIS tampil pada saat yang tepat

1 Tulisan ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium

Lantai 3 Gedung Bukopin, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) dan Wakil I Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA).

148 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

(the truth moment) di kala negara-negara Arab sedang gonjang-ganjing dan sedang mencari

bentuk, akibat terpaan angin kencang Arab spring. Tak dapat disangkal bahwa ISIS telah

meramaikan panggung dan pergolakan politik di Timur Tengah. Meski ditolak oleh Islam

mainstream, dan dilawan secara internal maupun melalui kekuatan-kekutan asing (Barat),

ISIS tetap eksis dan menyebarkan ancamannya secara luas, tak hanya di negeri-negeri Arab,

tetapi juga bagi negeri-negeri lain di dunia, tak terkecuali di Indonesia.

3. Dari berbagai fenomena yang dikemukakan di atas, patut dipertanyakan satu masalah pokok

(issu penting), yaitu hubungan Islam dan demokrasi. Pertanyaan dasarnya, apakah Islam

kompatibel dengan demokrasi? Apakah demokrasi dapat menjadi jalan terbaik mengatasi

berbagai konflik politik di negeri-negeri Islam? Terhadap pertanyaan dasar ini, sebagian

pakar meragukan dan pesimistis. Dalam banyak studi atau riset, disimpulkan, Islam justru

dipandang sebagai pendorong otoritarianisme Arab (Rothstein, 2011 dan Chenny, 2012).

Kesimpulan yg sama dikemukakan oleh Kuru, 2014 dan Van Hoorn, 2013. Sejumlah 2/3

penduduk Mesir memilih pemerintahan seperti Arab Saudi ketimbang Turki. Dari vedio yang

diputar ISIS, tidak semua pemuda Mesir yang terpelajar dan melek IT, setuju dan pro

demokrasi. Namun, tidak sedikit pula pakar yang bersikap optimistik. Sikap ini didasarkan

pada kecenderungan baru pada era globalisasi yang menyemburkan gerakan liberalisasi dan

demokratisasi saat ini. Beberapa hasil studi memperkuat pendapat yang optistik ini. Penelitian

yang dilakukan John L Esposito terhadap 6 negeri Islam, meliputi Algeria, Mesir, Sudan,

Iran, Pakistan, dan Malaysia, menunjukan dengan jelas bahwa tidak ada kontradiksi antara

Islam dan demokrasi. Dengan kata lain, Islam sejalan dan kompatibel dengan demokrasi.

Studi lebih luas dan dalam dilakukan oleh Gallup terhadap 25 negeri Islam (2001 dan 2007)

dengan kesimpulan yang sama. Islam sebangun dengan demokrasi.

4. Di luar itu semua, demokrasi itu sendiri adalah sebuah proses seperti ditulis oleh Colette

Rausch (2012) dalam analisisnya tentang demokrasi di Myanmar. Rausch menegaskan bahwa

demokrasi adalah sebuah perjalanan. Di dalamnya, proses adalah substansi yang terpenting.

Ini berarti, bagaimana proses itu dibangun, itulah yang menentukan makna dan substansi dari

demokrasi an sich. Disamping itu, demokrasi juga selalu mengandung paradoks. Pada satu

sisi, demokrasi menjanjikan kebebasan, keadilan, dan kedamaian dalam mengatasi konflik-

konflik politik, sehingga demokrasi diabsolutkan, dan dipandang sebagai doktrin atau system

politik yang terbaik. Namun, pada sisi lain, ajaran demokrasi belum sepenuhnya memenuhi

“janji manis” yang ditawarkannya. Pada kenyataannya, demokrasi tidak selalu berkorelasi

secara positif dengan keadilan. Contoh terbaru, terpilihnya Donald Trump, mengalahkan

Hillary Clinton, dengan system electoral vote, dianggap kurang memenuhi rasa keadilan,

karena secara popular vote, Clinton jauh lebih unggul dibanding Trump.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 149

5. Di Indonesia sendiri, sejak reformasi 1998, demokrasi politik terus digaungkan. Sebagai

bangsa, kita berbangga, bahwa Indonesia dipandang sebagai negara demokrasi terbesar ketiga

di dunia, setelah Amerika dan India. Pujian pun datang dari banyak pengamat yang menilai

Indonesia adalah satu-satunya negeri Islam yang bisa membangun dan mengembangkan

demokrasi, dengan Turki sebagai satu-satunya pengecualian. Merle Calvin Ricklefs, peneliti

asal Australia, memandang Islam Jawa (dalam arti luas: Islam Indonesia) mengalami

kemajuan singnifikan, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Terjadi sintesis

baru di Indonesia saat ini, bukan antara Islam dan mistik, melainkan Islam dan demokrasi. Ini

merupakan perkembangan menarik dan sekaligus menggembirakan. Tak heran bila

cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar, merekomendasikan agar Indonesia menjadi model

pengembangan demokrasi di negeri-negeri Islam. Meskipun demikian, demokrasi di

Indonesia bukan tanpa masalah. Pertama, demokrasi kita dianggap menyimpang dari falsafat

bangsa (Pancasila). Kedua, demokrasi kita tidak substansial, tetapi hanya procedural. Naiknya

kembali Novanto sebagai Ketua DPR dapat dijadikan sebagai contoh. Meski absah secara

metodologis, namun hal itu dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan, bahkan dapat

dipandang cacat secara moral. Tak heran bila banyak pakar mengusulkan agar demokrasi

politik kita diubah dari demokrasi prosedural ke demokrasi substansial atau system politik

yang oleh Cliford Geerzt disebut “politik makna” (the politics of meaning) dalam Culture and

Politics in Indonesia (1972). Ketiga, demokrasi kita ternyata tidak berkorelasi secara positif

dengan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Lantas pertanyaannya, Apakah masih ada

alasan membela dan memajukan demokrasi kalau sebagai sistem politik, demokrasi di

negara-negara yang dinamakan young democracies tidak sanggup mencegah korupsi dalam

pemerintahan dan gagal juga menghentikan praktik-praktik yang melanggar HAM dalam

masyarakat? Pertanyaan lainnya, karena demokrasi juga tidak tunggal, paling tidak dalam

implementasinya dalam pemerintahan, model demokrasi seperti apa yang harus dibangun dan

dikembangkan di Indonesia dan negeri-negeri Islam lain?

6. Bertolak dari dasar pemikiran di atas, maka dipandang perlu dilakukan seminar atau

konferensi secara nasional yang menbahas tentang, “ISLAM DAN DEMOKRASI:

MENCARI MODEL DEMOKRASI UNTUK NEGERI-NEGERI ISLAM.”

Jakarta, Juli 2017

150 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

BAB VI:

ISLAM DAN DEMOKRASI DARI BERBAGAI

PERSPEKTIF (CALL FOR PAPER)

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 151

ASPEK-ASPEK MUSYAWARAH MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR'AN1

Oleh: Dr. H. Baharuddin Husin, MA2

Pendahuluan

Al-Qur‟anul Karim merupakan kitab suci terakhir diturunkan kepada Nabi penutup berisi

pedoman hidup paling lurus (Q.S 17/Al-Isra: 9) mencakup semua aspek kehidupan (Q.S 6/Al-

An‟am: 38). Siapa saja yang mengikuti pasti benar dan hidupnya bahagia dunia-akhirat. Satu-

satunya kitab yang dijamin keorisinilannya sampai kiamat (Q.S 15/Al-Hijr: 9).

Rasyid Ridha merinci tujuan al-Qur‟an ada sepuluh, yaitu: 1). Menerangkan hakekat

agama, meliputi: Iman kepada Allah, iman kepada hari berbangkit, dan pembalasan serta amal-

amal shaleh; 2). Menjelaskan tentang kenabian, kerasulan, tugas dan fungsinya; 3). Menjelaskan

Islam sebagai agama fitrah yang sesuai dengan akal fikiran, sejalan dengan ilmu pengetahuan dan

cocok dengan kata hati dan intuisi; 4). Membina dan memperbaiki masyarakat manusia dalam

satu kesatuan meliputi; kesatuan bangsa, hukum, dan bahasa; 5). Menjelaskan keistimewaan-

keistimewaan Islam dalam hal pembeban kewajiban-kewajiban kepada manusia, meliputi rohani

dan jasmani, material spiritual, membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, mudah

dikerjakan, gampang difahami, dsb; 6). Menjelaskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar berpolitik

dan beragama; 7). Menata kehidupan material (harta) manusia; 8). Memberikan pedoman umum

mengenai perang dan cara-cara mempertahankan diri dari agresi musuh; 9). Mengatur dan

memberikan hak-hak perempuan dalam bidang agama, sosial, dan kemanusiaan pada umumnya;

10). Memberikan petunjuk-petunjuk dalam pembebasan budak dan memerdekakannya. 3

Musyawarah merupakan perintah Alla swt (Q.S. Ali Imran 3:159, Q.S. Al-Syura: 38).

Kedua ayat diatas merupakan dasar utama tentang perinsip musyawarah yang harus difahami dan

dijalankan umat islam dalam menggapai kemaslahatan hidup dunia dan akhirat.

Rasulullah saw dengan segala keagungan dan ketinggian kedudukannya beliau sering

sekali minta pendapat kepada para sahabatnya baik dalam situasi perang maupun damai, baik

dalam urusan rumah tangga maupun dalam urusan umum, sehingga ulama mengatakan: “Tidak

ada orang yang paling banyak musyawarah dengan sahabatnya kecuali Rasulullah saw.”4

Musyawarah merupakan mabda‟ (prinsip) qur‟ani dan asas universal mencakup seluruh

urusan masyarakat. Musyawarah dalam pengertian ini memiliki cabang dan kaidah yang cukup

variatif, berbagai ketentuan dan hukum yang mewujudkan sistem sosial, politik, dan ekonomi

1 Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di

Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Ketua Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (MKPI) Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA). 3 Rasyid Ridha, al Wahyu al-Muhammad, Cairo: Maktabah al-Qahirah. 1960M/1380H, h, 126-268 4 Ibnu Taimiyah, al-siyasah al-Syar‟iyah, (Saudi Arabia: Departemen Urusan ke Islaman dan Wakaf, 1419), h. 126

152 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

yang sempurna, sekaligus merumuskan metode solidaritas, kerjasama, dan partisipasi dalam

pemikiran, pendapat, dan harta benda. Ia bukan sekedar mabda’ dalam ruang lingkup dustur

(konstitusi). Musyawarah dalam makna ini merupakan metode yang komprehensif dan syariat

yang sempurna. Melalui kajian ini kita dapat melihat bahwa syariat Islam bisa dinamakan syariat

musyawarah yang sederajat dengan nama syariat fitrah dan syariat langit. Ia adalah syariat

ilahiyyah ditinjau dari sudut sumbernya, sebagaimana ia juga bersandar pada sumber-sumber

ijtihadiyyah yaitu ijmak dan ijtihad. Keduanya membuka pintu bagi akal dan pikiran untuk

menemukan hukum-hukumnya dan merintis jalan ke arah perkembangan yang bervariasi serta

berproses dalam ruang lingkup fikih dan ilmu, yang keduanya mengalami perubahan-perubahan

karena pengaruh tempat dan zaman. Kedua sumber ini –ijmak dan ijtihad- senantiasa mengalami

pembaharuan dari sela-sela musyawarah dan tukar pendapat yang bersifat ilmiyah5.

Dari uraian singkat di atas penulis tertarik mengkaji aspek-aspek musyawarah menurut

perspektif al-Qur‟an dengan pendekatan metode Tafsir Maudhu (tematik). Identifikasi masalah

meliputi: a). Ayat tentang musyawarah (baik ayat yang langsung menggunakan istilah

musyawarah maupun secara substansif tapi mengandung makna musyawarah); b). Pengertian

musyawarah; c). Tujuan musyawarah; d). Hukum musyawarah; e). Khitab musyawarah; f).

Lingkup musyawarah; g). Syarat ahli al-Syura; h). Sistem musyawarah; i). Keputusan majelis al-

Syura, dengan uraian sebagai berikut:

A. Ayat tentang musyawarah :

Minimal ditemukan 5 ayat yang berbicara tentang musyawarah, yakni: surat Al-Syura/42:

38; Al-Shaffat/37: 102; An-Naml/27: 32; Al-Baqarah/2: 233; dan Ali-Imran/3: 159

1. Surat Al-Syura/42: 38

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan

shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan

mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.

Ayat di atas termasuk kategori surat Makkiyah, dan menjadi dasar dinamakan dengan

nama al-Syura. Surat al-Syura ada 53 ayat (lihat hal. 6)

5 Taufiq sl-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. Ke-1, h. 18

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 153

2. Surat Al-Shaffat/37: 102

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,

Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku

menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku,

kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku

termasuk orang-orang yang sabar".

3. Surat Al-Naml/27: 32

Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah Aku pertimbangan dalam urusanku

(ini) Aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam

majelis(ku)".

4. Surat Al-Baqarah/2: 233

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi

yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan

Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan

menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan

Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban

154 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan

keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu

ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu

memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan

Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

5. Surat Ali-Imran/3: ayat 159

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka.

sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri

dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,

dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu

Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Adapun pelajaran yang bisa kita ambil dari surat al-Syura adalah, al:

1. Musyawarah merupakan salah satu sifat yang istimewa bagi kaum muslimin dalam

semua kondisi disamping percaya kepada Allah swt, mendirikan sholat, dan saling

menjamin dalam infaq. Sehingga seandainya tidak ada manajemen politik,

pemerintahan, ataupun negara, musyawarah tetap berlaku.

2. Musyawarah diperintahkan sesudah iman dan sholat. Hal ini berarti bahwa musyawarah

salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan sholat dan zakat. Hal-hal yang

dimusyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan urusan bersama ialah perkara jama‟ah.

3. Saat ayat ini diturunkan kaum muslim masih merupakan individu-individu yang hanya

disatukan dengan kalimat “bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah swt dan bahwa

Muhammad saw adalah utusan-Nya” sementara mereka berkumpul untuk menunaikan

sholat dalam keadaan takut dan khawatir. Maka Allah swt menghendaki agar

musyawarah dan tukar pendapat diantara mereka sebagai permulaan menuju masyarakat

baru yang berbeda dengan masyarakat jahiliyah. Sekaligus menumbuhkan rasa

solidaritas dan gotong royong.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 155

4. Ungkapan dalam ayat ini bersifat umum, yakni segenap individu, golongan, kelas dan

organisasinya. Bukan hanya penguasa semata-mata. Artinya, umat wajib menetapi

musyawarah, dan umat harus menekankannya kepada para penguasa yang telah mereka

pilih untuk mengatur urusan mereka dengan musyawarah.6 Dengan demikian,

musyawarah merupakan tanggung jawab bersama seluruh pribadi masyarakat. Dosa bagi

yang mengabaikannya dan menimpa kepada umat keseluruhan.

5. Menentukan musyawarah sebagai pondasi untuk mewujudkan jama‟ah yang baru yang

belum punya negara dan sistem politik sebenarnya merupakan sarana memperoleh

hubungan silaturrahim diantara jamaah sekaligus menjadi dasar keanggotaan dan

loyalitas mereka kepada masyarakat itu7.

Ibnu Abbas8 mengatakan bahwa surat al-Shafat diturunkan di Mekah. Khusus ayat 102

menceritakan kisah nabi Ibrahim as dengan putranya nabi Ismail as.

Ibrahim berkata kepada putranya kalimat “Fandzur maa dzaa tara” artinya apa pendapatmu.

Hal ini menunjukan adanya musyawarah antara nabi Ibrahim as dan putranya Ismail as.

musyawarah nabi Ibrahim as dengan putranya bukan suatu ketetapan melainkan untuk

diketahui bahwa hal itu adalah cobaan yang diturunkan oleh Allah swt agar ia tegar

menghadapinya, tidak gelisah dan mampu menguasai dirinya sehingga dia dimudahkan untuk

melaksanakan perintah tersebut dan mendapatkan pahala serta menjadikan sunnah dalam

musyawarah9.

Para ulama menafsirkan ayat “maa dzaa” dengan “maa tasyiir” yang artinya apa pendapatmu

tentang mimpi tersebut?10 Musyawarah, kategori ayat-ayat Makiyah juga terdapat dalam surat

al-Naml/27: 3211

Ayat diatas mengungkapkan kisah ratu Bilqis dari kerajaan Saba di Yaman bahwa ketika Nabi

Sulaiman as mengirim surat agar ia masuk agama Allah swt dan berserah diri kepada Rabb al-

Alamin, ia tidak memutuskan sendiri menolak ajakan nabi Sulaiman as tersebut, melainkan ia

bermusyawarah dengan pemuka kerajaan.

Dalam ayat diatas kalimat “aftuunii” yang mengandung makna berikanlah fatwa atau pendapat

kalian kepadaku. Ayat ini merupakan dalil atas dibenarkannya musyawarah12. Jika perempuan

6 (Maksudnya bahwa umat mempunyai kewajiban mengeluarkan pendapat dalam masalah-masalah umum dan

mempublikasikannya, kendati tidak diminta oleh pihak penguasa. Lihat Abd al-Qadir Audah, al-Islam wa audhaun al-

Siasiah, h. 120. dan hal itu dianggap menjalankan amar mar‟ruf nahi anil munkar 7 Taufiq al-Syawi, Musyawarah Bukan Demokrasi, op. cit. h. 67-69 8 Lihat footnote no. 2, h.15 9 Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al-Husaini al-Aludi, Ruh al-Ma‟ani fi Tafsir al-Qur‟an al-Azhim wa Sab‟i al-

Ma‟ani, (Mauqi‟u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid. 17, h. 200 10 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad as-Anshari al-Qurtubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, (Dar al-Kitab al-„Araby, t.th),

jilid. 15, h. 103, lihat juga al-Syaukani Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir, op. cit. , jilid 4 h. 404 11 Surat ini merupakan surat Makiyah yang diturunkan setelah surat al-Syu‟ara, lihat al-Qur‟an dan terjemahnya, (Majma‟

Malik Fahd, t.t.), h. 591

156 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

kafir ini berkata: Berilah aku pendapat, hai para ahli syura, sebagaimana yang biasa aku

lakukan dalam memutuskan masalah dengan kehadiran dan kesaksian kalian”. Maka

sepatutnyalah orang-orang (muslim) yang telah diwajibkan oleh Allah swt agar

bermusyawarah bersama para ahlinya melebihi dari itu13.

Surat al-Baqarah ayat 233 termasuk surat dan ayat Madaniyah karena sebagian besar ayat

turun pada permulaan hijrah nabi saw ke Madinah14. Ayat ini merupakan dalil musyawarah

dalam sebuah keluarga buat kemaslahatan si bayi15, apabila kedua orang tua nya ingin

menyapih sebelum dua tahun masa menyusui16.

Musyawarah disini dalam rangka mencari pendapat yang baik untuk kemaslahatan si bayi, dan

orang tua boleh meminta pendapat orang lain ketika akan menyapih bayinya sebelum habis

masa menyusui yaitu usia dua tahun17.

Ayat-ayat Madaniyah lain yang membahas musyawarah adalah : (Q.S Ali-Imran 3: 159). Al-

Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa surat Ali-Imran termasuk surat Madaniyah18.

Ahmad Musthafa al-Maraghi19 mengatakan: Ayat ini diturunkan seusai perang Uhud. Ketika

itu sebagian sahabat ada yang melanggar perintah nabi saw, akibatnya menyeret kau muslimin

kepada kegagalan dan Rasulullah saw sendiri mengalami luka. Namun Rasulullah saw tetap

bersikap lemah-lembut, tidak mencela kesalahan para sahabatnya20.

Selanjutnya beliau menfsirkan ayat ini (wa syaawirhum fil amr) tempuhlah jalan musyawarah

dengan mereka, yang seperti biasanya engkau lakukan dalam kejadian-kejadian seperti ini, dan

berpegang teguhlah padanya. Sebab mereka itu meski berpendapat salah dalam musyawarah

memang hal ini merupakan suatu konsekuensi untuk mendidik mereka, jangan sampai hanya

menuruti pendapat seorang pemimpin saja, meski pendapat pemimpin itu benar dan

bermanfaat pada permulaan dan masa depan pemerintah mereka. Selagi mereka mau

berpegang pada sistem musyawarah itu, insya-Allah akan selamat dan membawa

kemaslahatan bagi semua21.

12 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, op. cit., jilid. 13, h. 194 13 Muhammad Abd al-Qadir Abi Fariz, Sistem Politi Islam, op. cit., h. 55 14 al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Majma‟ Malik Fadh. t.th), h. 7 15 al-Qurthubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, op. cit., jilid 3, h. 172 16 Abu Ja‟far al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta‟wil al-Qur‟an, (Muasasah al-Risalah, 1420H/2000M/

www.qurancomplex.com) cet. Ke-1, jilid 5, h.70 17 Abu Hayan, Tafsir Bahr al-Muhith,(Mauqi‟u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid 2 h. 430 18 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Jami‟ liahkam al-Qur‟an,op. ct., jilid 4, h. 1 19 Ahmad Musthafa al-Maraghi, ahli tafsir, pendidikan beliau: Dar al-Ulum th 1909 M kemudian diangkat guru syari‟ah

ditempatnya belajar, diantara karangannya, Tafsir al-Maraghi, al-Hisbah fi al-islam, beliau meninggal dunia di Kairo th

1952, liha Zarekli, al-A‟lam, op.cit., jilid. 1, h. 258 20 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), jilid. 4. h. 193, lihat juga Sayyid

Qutub, Fi Zhilal al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1400H/1980M), Cet. Ke-9, j.1, h.500 21 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, op. cit., j.4, h.195

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 157

Beberapa pelajaran dari surat ali-Imran ini adalah:

1. Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw yang mulia, yang Allah swt telah memilihnya

untuk menyampaikan risalah-Nya. Rasul saw menerima perintah-perintah dan pengarahan-

pengarahan Ilahiyah melalui wahyu al-Qur‟an kendati musyawarah belum dibutuhkan –

karena wahyu telah menjamin, memimbing, dan mengarahkannya – namun Allah swt

berkehendak menjadikannya sebagai ikutan, dan menjadikan musyawarah sebagai

peraturan yang diwajibkan atas generasi-generasi berikutnya, dan atas orang-orang yang

datang sesudah mereka, yaitu mereka yang mengatur berbagai urusan kaum muslimin, yang

lebih membutuhkan musyawarah daripada beliau, karena mereka tidak menerma wahyu

dari langit.

2. Ayat ini turun sesudah perang Uhud. Para ahli tafsir dan sejarah Nabi saw telah bersepakat

bahwa Rasulullah saw benar-benar telah bermusyawarah dengan para sahabat sebelum

berperang. Beliau berpendapat tidak usah keluar dari kota dari kota Madinah22 dan bertahan

di Madinah, karena ketetuan itu memungkinkan mereka menghancurkan pihak penyerang

dengan mudah. Tetapi mayoritas sahabat, karena dorongan semangat, menekankan agar

keluar dari Madinah untuk menghadapi musuh supaya tidak ditafsirkan mereka takut

menghadapi musuh lantaran mereka tidak keluar.

Maka Rasulullah saw, menuruti usulan mayoritas. Kebetulan hasil pertempuran itu

merupakan malapetaka bagi kaum muslim, maka orang-orang khawatir dan menduga hal

itu akan terjadi sebab Rasulullah saw, tidak mau lagi bermusyawarah dan tidak mau lagi

menyetujui pendapat mereka23, oleh karenanya datanglah nash ayat yang mulia untuk

menghilangkan keraguan ini dengan mewajibkan Nabi saw, agar mengampuni apa yang

terjadi dari kelompok terbanyak, dan agar terus menjalankan musyawarah dan konsisten

dengannya. Nashnyapun tegas dan mantap, karena datang dalam bentuk perintah dan

menetapkan. Yaitu firman Allah: (Q.S Ali-Imran 3: 159)

Maksudnya ialah bahwa musyawarah itu wajib dan ditetapkan24, meskipun ada

kemungkinan bahwa pendapat mayoritas itu keliru atau berbahaya. Karena bahaya yang

timbul dari kekeliruan mayoritas itu lebih ringan daripada bahaya yang timbul akibat

meninggalkan musyawarah dan akibat sikap egois para penguasa yang tidak mau menuruti

pendapat mayoritas manusia. Maka untuk mengokohkan mabda ini Allah swt

memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menetapi musyawarah, kendati beliau menerima

22 Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zad al Ma‟ad Fi Khair al-„Ibad, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1987M/1407H ), cet. Ke-15,

jilid.3, h. 193 23 Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur‟an, op. cit,. jilid.1, h. 461 24 Karena perintah itu artinya wajib, selagi tidak ada yang memalingkannya, sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu ushul.

dalam hal ini memang tidak ada yang memalingkannya

158 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

pengarahan dari Allah swt dengan perantaraan wahyu. Allah swt menghendaki hal itu agar

perihal menetapi musyawarah menjadi perintah yang tegas dan merupakan nash yang kekal

dalan al-Qur‟an.

3. Ayat ini tidak hanya menjadi dasar bagi kewajiban Rasulullah saw, menetapi musyawarah

tetapi juga memiliki pengertian bahwa seluruh generasi yang datang sepeninggal beliau

agar berjalan diatas metode beliau dalam hal menetapi prinsip musyawarah, sebagai sunnah

Nabi saw, yang tetap disamping musyawarah sebagai mabda Qur’ani dengan adanya nash

yang tegas. Dengan demikian, musyawarah menjadi fondasi setiap sistem yang berorientasi

ke islam atau menegakkan syiarnya ataupun menetapi syariatnya, baik sistem politik,

ekonomi, sosial dan lainnya25.

B. Pengertian Musyawarah

1. Dilihat dari tinjauan Etimologi

Kata musyawarah merupakan bentuk masdar26 dari kata kerja Syawwara – yusyawwiru

dimana kata dasarnya syara27 sedangkan Syura diambil dari kata dasar Syara al-Asala

yang berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah28, sehingga kata Syaur berarti madu

dan masyar berarti sarang tawon atau lebah29.

Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat

diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat dan pemikiran; hal ini karena

musytasyir atau orang yangmengajak bermusyawarah seakan-akan mengambil pendapat

dari orang lain30.

Al-Alusi31 berkata dalam tafsirnya bahwa musyawarah adalah mengeluarkan pendapat

.....

Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan

dengan makna dasarnya yaitu madu untuk obat. Madu dihasilkan oleh lebah, jadi

musyawarah seharusnya bagaikan lebah yaitu makhluk yang sangat disiplin, kerja

samanya mengagumkan dimanapun hinggap tidak pernah merusak, tak mengganggu

25Taufiq al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, op.cit., h. 69-70 26 Ibnu Mandzur, lisan al-„Arab,op.cit., jilid. 5, h. 227 27 Ibid, lihat juga Munawir Warson Ahmad, al-Munawir(Karapyak Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku ilmiyah

keagamaan pondok pesantren al-Munawir)h. 802. 28 Ibnu Mandzur, lisan al-„Arab, (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2003), jilid. 5, h. 225 29 al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut Libanon: Dar al-Masyriq), cet. Ke-17, h. 407 30 Ibnu Zakaria Abu al-Husen Ibnu Faris, Mu‟jam Maqayis al-Lughat, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1972), jilid. 3, h.

542. 31 Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al-Husaini, beliau lahir di Baghdad 1217 H, ahli fikih, tafsir, hadits, meninggal dunia

di Baghdad 1270H. (Global Arsbic Encyclopedia. http://www.mawsoah.net

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 159

kecuali bila diganggu. Sehinngga tidak heran bila Nabi saw menyamakan sifat seorang

mukmin bagaikan lebah32.

Dengan demikian jelaslah bahwa kata musyawarah sinonim dengan kata syura, yang

berarti perundingan, permusyawaratan, bermusyawarah, dan berkonsultasi33. Dalam

kajian bahasa, kata syara yang merupakan akar kata syura dan musyawarah memiliki

arti lain tergantung pada kontek kalimatnya. Misalnya syara dabbah artinya melatih

binatang, atau menaiki untuk mencobanya. Syara-ibil artinya onta gemuk atau bagus34

Dalam kamus besar bahasa Indonesia musyawarah atau musyawarat diartikan:

perundingan atau perembukan35.

2. Dilihat Dari Tinjauan Terminologi

Para ulama memberikan definisi musyawarah :

Kata musyawarah menurut Qurthubi seperti kalimat tasyawur yang mengandung makna:

mengeluarkan pendapat36.

Kata musyawarah menurut Abu Bakar al-Baqa‟i37 mengandung makna mengambil

pendapat yang layak untuk diamalkan, atau menyarikan pendapat dan menjernihkannya

dari kotoran hati sebagaimana menyarikan madu dari sarangnya38

Abu faris mendefinisikan : Pengertian-pengertian yang dapat ditelusuri dari kata dasar

syawara dan derivatnya ini, memberikan pengertian dasar yang memungkinkan bagi

kita untuk mendefinisikan musyawarah. Yaitu bahwa musyawarah yang kita maksud

adalah: “Menyarikan pendapat-pendapat yang berbeda-beda dan sudut pandang yang

terlontar berkenaan dengan satu masalah tertentu, mengujinya dari para pemikir dan

pakar hingga sampai pada kebenaran atau pendapat yang paling benar dan paling baik

untuk dipraktekan agar menghasilkan yang terbaik”39.

32 Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, loc.cit., jilid.1, h.20 33 Ibnu Zakaria Abu al-Husein Ibnu Faris, Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazweni al-Razi, abu al-Husen. Lahir tahun 329

H dan meninggal th 395 H, beliau adalah termasuk salah seorang ulama bahasa dan adab di jamannya. Likat Zakerli, al-

„Alam, op.cit., jilid. 1, h. 193. Mu‟jam al-Lughat, op.cit., jilid. 3, h. 227 34 al-Munjid Fi al-Lughah,(Beirut Libanon: Dar al-Masyriq), cet. Ke-17, h. 407 35 Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Indonesia: Balai

Pustaka, 1995), edisi.2, cet.Ke-4, h. 477 36 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qutrhubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, op.cit., jilid. 3, h. 172 37 Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribath bin Ali bin Abi Bakar al-Baqa‟i, beliau berasal dari baqa‟I, Suriyah, lahir th 809 H,

meninggal th 885 H di Damaskus, lihat Zarekli, al-A‟lam, op.cit., j.1, h. 56 38 Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribath bin Ali bin Abi Bakar al-Baqa‟i, Nudzum al-durur fi Tanasubi Ayat wa al-Suwar,

(Mauqi‟u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.1 h. 360-361 39 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit. h. 54

160 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Abd al-Rahman abd al-Khaliq mendefinisikan musyawarah sebagai berikut,

permusyawaratan adalah: Eksplorasi pendapat orang-orang berpengalaman untuk

mencapai sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran40.

Abd al-Hamid Isma‟il Anshari, mengatakan bahwa musyawarah adalah: Eksplorasi

pendapat umat atau orang-orang yang mewakili mereka, tentang persoalan-persoalan

yang umum dan berkaitan dengan kemaslahatan umum pula(Abd al-Hamid Ismail

Anshari, al-Syura wa Atsaruha Gi al-Dimakratiyah, (Kairo: Al-Maktabah al-Salafiyah,

1981),h. 4.

Ibnu al-„Arabi41 mengatakan, bahwa musyawarah adalah: “Pertemuan guna membahas

permasalahan masing-masing mereka saling bermusyawarah dan mengemukakan

(pendapat) yang dimilikinya”.

Mahmud Muhammad Babali mengemukakan bahwa muasyawarah adalah: “Tukar

menukar pendapat guna memperoleh yang paling mendekatikebenaran; maka karena

itu, musyawarah (sekaligus) merupakan (bentuk dari) tolong-menolong, saling

menasehati, kemauan yang kuat dan tawakal kepada Allah swt”42

Isma‟il al-Badawi mengatakan bahwa musyawarah adalah: “Usaha menghasilkan

kebenaran setelah eksplorasi/studi terhadap pendapat-pendapat orang lain.”43

Dr. Artani Hasbi menyimpulkan definisi musyawarah adalah: “ Pertemuan para ahli

untuk membahas suatu permasalahan dengan saling mengemukakan pendapat para

anggota, diminta atau tidak agar diperoleh kesimpulan yang comfortable dan

berdasarkan niat tawakal kepada Allah swt.”44

Dalam kamus besar bahasa Indonesia musyawarah diartikan: “Pembahasan bersama

dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah”45

Jadi musyawarah adalah : Pertemuan para pemimpin atau para ulama dan para pakar

untuk membahas suatu masalah secara sungguh-sunguh dengan tujuan medapatkan

jalan atau solusi yang terbaik dan dapat dipertanggungjawabkan.

40 Abd al-Rahman Abd al-Khaliq, al-Syura Fi Zhili Nizham al-Hukum al-Islami, (Kuwait: al-Dar al-Salafiyah, 1975), h.

14. 41 Muhammad bin Abdillah bin Muhammad al-Ma‟arifi, Abu Bakar bin al-„Arabi, beliau salah seorang ulama Malikiyah,

ahli fikih, hadits, tafsir, ushul. Lahir di Isbelia th 462 H, meninggal dunia di Maraqis pas th 543 H. Global Arabic

encyclopedia. http://www.mawsoah.net 42 Mahmud Muhammad Babali, al-Syura Suluk wa-Iltizam, (Makkah: Maktabah al-Tsaqafah, 1986), h. 19 43 Isma‟il al-Badawi, Mabda‟ al-Syura Fi Syariat al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi), jilid. 1, h. 7 44 Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Kitab Ahkam bab Ma Jaa Fi al-Qadli Yushibu wa Yukhitu

no. 1248 (dalam Mausu‟ah), lihat juga Imam Malik, al-Muntaqa Syarh al-Muwatha‟ no. 1261 45 Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, no 17157

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 161

Musthafa al-Maraghi46 dalam tafsirnya mengatakan musyawarah memiliki bayak faidah

diantaranya:

1. Sesungguhnya musyawarah itu menjelaskan kadar akal dan pemahaman, dan

ukuran kecintaan dan keikhlasan untuk kemaslahatan umat.

2. Sesungguhnya akal manusia bertingkat-tingkat dan pemikiran mereka berbeda-

beda, maka kadang nampak dari sebagian mereka pemikiran yang benar yang tidak

nampak di sebagian yang lain.

3. Sesungguhnya pendapat-pendapat pada musyawarah mempertimbangkan pada

tujuannya, dan memilih pendapat yang benar dari pendapat yang lainnya.

C. Manfaat Musyawarah

Musyawarah memiliki sejumlah manfaat, al:

Melindungi dan menghargai potensi akal musyawarah,

Memperkokoh soliditas ukhuwah dan jamaah serta menggapai keberkahan

berjamaah karena yang bertemu dan bermusyawarah adalah para ulama, para pakar dan

para pemimpin dimana merekalah teladan umat dan ditangan merekalah soliditas jamaah

dan kesatuan umat.

Musthafa al-Maraghi47 ketika menjelaskan faedah musyawarah pada point keempat beliau

mengatakan :

Sesungguhnya pada musyawarah itu nampak bersatunya hati untuk menuju kata mufakat,

dan bersatunya hati tersebut, akan membantu tercapainya apa yang dimaksud, sekaligus

merupakan faktor kemenangan48.

Ibnu al-„Arabi49 mengatakan : “Musyawarah adalah perekat jama’ah, barometer akal dan

salah satu sebab diperoleh kebenaran, tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan akan

mendapat petunjuk”.

Diriwayatkan dari Hasan Bashri50 dan Dlahak51 keduanya berkata: “Tidaklah Allah swt

memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah karena butuh pada pendapat para sahabat, akan

46 Lihat halaman 2 47 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, op.cit., jilid. 4, h. 197 48 Sa‟id bin Ali al-Qathani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), cet. Ke-1, h. 407, dilain pihak

disyariatkan berjama‟ah pada sholat, karena sholat berjama‟ah lebih utama dapi pada sholat sendirian dengan 27

derajat(Dja‟far Amir, Ilmu Fiqih, (Solo: Cv. Ramadhani, 1991), cet. Ke-2. H. 64 49 Ibnu al-Arabi, Ahkam al-Qur‟an, (Mauqiu al-Islam: Maktabah Syamilah), jilid 7. H. 86 50 Hasan al-Bashri, nama lengkapnya adalah Abu Sa‟id al-Hasan ibnu Abi al-Hasan Yassar al-Bashri. Ia dilahirkan pada

tahun 21 H/ 642M di Madinah, ayahnya bernama Yassar, Maula Zaid bin Tsabit, ibunya bernama Khairah Maulat Ummu al-

Mu‟minin Ummu Salamah. Ia meninggal dinia di Bashrah pada tahun 110H/ 729M. Ia bertemu dengan 70 ahli Badar dan

300 orang sahabat Rasulullah saw,dan belajar ilmu kepada mereka, Hasan Bashri adalah orang yang selalu takut dan berduka

sepanjang hari, hidup zuhud dan wara. Lihat Ahmad Barmawi, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia,(Jakarta: Restu Agung,

2006), h. 99 51 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an, op.cit., jilid.4, h. 250

162 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

tetapi Dia ingin mengajarkan mereka keutamaan bermusyawarah dan untuk diikuti oleh

umat setelahnya.”52

Ibnu Taimiyah53 berkata: “Tidaklah menyesal orang yang beristikharah kepada Sang Khaliq

dan bermusyawarah dengan makhluk dan teliti terhadap urusannya.”

Ibnu al-„Athiyah54 mengatakan :“Musyawarah adalah bagian dari kaidah syari’ah dan sendi

hukum, barangsiapa tidak mau bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka

menjauhinya wajib.”55

Syaikh Syaltut56 berkata, “musyawarah merupakan asas pemerintahan yang baik dan

merupakan jalan menuju jelasnya kebenaran dan mengetahui pendapat yang matang. Al-

Qur‟an memerintahkan hal tersebut dan menjadikannya sebagai salah satu unsur dari unsur-

unsur yang menjadi penopang pemerintahan. Di dalam al-Qur‟an ada sebuah surat yang

dinamakan dengan surat “al-Syura” ia dinamakan demikian karena ia satu-satunya surat yang

menetapkan musyawarah sebagai unsur dari unsur kepribadian muslim yang hakiki.

Kehidupannya tergantung dari kejernihan hati yang berisi keimanan dan tawakal, serta

bersihnya anggota tubuh dari dosa dan kekejian. Dan senantiasa takut pada Allah swt dengan

senantiasa menegakkan shalat dan saling membantu57

D. Hukum Musyawarah

Bermusyawarahlah terjemahan dari kata “Syawirhum” (QS. Ali Imran/3: 159) bentuknya

perintah dimana hukum asal dari perintah menunjukan hukum wajib. Jadi hukum

musyawarah? Dari istimbat ayat di atas hukumnya wajib. Hukum ini akan tetap pada asalnya

selama tidak ada dalil yang merobahnya menjadi sunah. Dan tidak ada satu dalilpun yang

mengubahnya menjadi sunah. Bahkan sebaliknya, ada nash-nash lain dari kitab dan sunah

yang menguatkan wajibnya musyawarah ini58.

52 Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam bin Abdillah bin Abd al-Qasim al-Dimasyqi al-Hambali, Abu al-Abbas

Taqiuddin ibnu taimiyah, lahir di Huran, wafat di Damaskus th 728 H, lihat Zarekli, al-A‟lam, op.cit., jilid. 1, h. 44 53 Ibnu Taimiyah, al-Kalim al-Thayyib(Al-Maktabah al-Islami, 1399 H), cet. 4, h. 71 54 Dia bernama „abdu al-Haq bin Ghalib bin Abd al-Rahman bin Abd al-Ra‟uf bin Tamam bin Athiyyah, dia dipanggil Abu

Muhammad, dia berasal dari keturunan Zaid bin Muharrib. Dikenal sebagai sosok yang fakih dan alim, sangat mengerti

tafsir, hukum-hukum fikin, hadits, nahwi, bahasa, dia meninggal pada tahun 546. Lihat Ibnu Farhun, al-Dibaj al-Mudzhib

Lima‟rifati Ulama al-Madzahib, (Mauqi al-Warraq: Maktabah Syamilah), jilid. 1, h. 103 55 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ liahkam al-Qur‟an,)op.cit., jilid. 4, h. 249 56 Dia adalah salah seorang ulama Mesir yang sangat terkenal, Syaikh Azhar. Dia memliki sekian banyak karangan dalam

fikih, tafsir, dan pengetahuan umum. Meninggal pada tahun 1964M. Lihat Ali Muhammad al-Ahalabi, Fikih Kemenangan

dan Kejayaan, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 605 57 Ibid 58 Ali Muhammad al-Shalabi, Fikih Kemenangan dan Kejayan,, op.cit., h.608).

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 163

Imam Fakhrurrazi59 berkata : Zhahir perintah itu mengarah pada hukum wajib, maka firman-

Nya “Syaawirhum” itu menunjukan pada wajib60

Al-Jashash al-Hanafi61 berkata mengenai hukum-hukum yang ada dalam al-Qur‟an saat

memberi komentar pada firman Allah swt :(Q.S al-Syura 42:38)

Ini menunjukan pada keagungan posisi musyawarah karena dia disebutkan bersamaan

dengan iman dan penegakkan shalat. Ini juga menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk

itu62.

Al-Thahir bin Asyur63 Iman Nawawi64 berkata, “Sahabat-sahabat kami berbeda pendapat

apakah musyawarah itu wajib atau sunnah atas Rasulullah saw sebagaimana bagi kita juga?

Namun yang shahih dalam pandangan mereka adalah wajib. Dan inlah pendapat yang

menjadi pilihan.

Yang menjadi pilihan para fuqaha dan kalangan ahli ushul adalah, bentuk amr (perintah:

Syawirhum,penj) yang ada dalam ayat itu menunjukan pada wajib65

Syeikh Abdul Wahab Khalaf66 berkata, “Siapapun yang memperhatikanal-Qur‟an dengan

seksama dan sunnah yang shahih akan tampak padanya bahwa pemerintahan Islam itu

berdasarkan pada undang-undang, dan bahwa masalah ini tidak hanya khusus milik orang

tertentu.

Pemerintahan itu untuk umat yang terpresentasikan melalui ahlu al-Hilli wa al-Aqdi. Sebab

Allah swt telah menetapkan bahwa urusan kaum muslimin hendaknya dilakukan dengan cara

musyawarah diantara mereka. Dan Allah swt menyifatinya sebagai sesuatu yang tetap dan

sifat yang lazim sebagai masalah umat dan sebagai keharusannya.

59 Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husen bin Ali al-Tamimy al-Bakry al-Razi al-Ayafi‟I, lahir th 544, beliau ahli

tafsir, fikih, bahasa, mantiq, wafat th 604H. Lihat Mukadimah al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, 2004M/

1425H) cet. Ke II, j.1 60 Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Husen bin Ali al-Tamimy al-Bakry al-Razi al-Ayafi‟I, lahir th 544, beliau ahli

tafsir, fikih, bahasa, mantiq, wafat th 604H. Lihat Mukadimah al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah,

2004M/1425H), cet. Ke II. J.9, h.55. 61 Dia bernama Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi. Dikenal sebagai sosok yang zuhud dan wara dan dia laksana samudera

ilmu. Banyak orang yang belajar padanya. Dia meninggal pada tahun 370H. Lihat al-Taqi al-Ghazi, al-Thabaqat al-

Sunniyah Fi Tarajum al-Hanafiyyah, (Mauqi‟u al-Warrak: Maktabah Syamilah, t.th) jilid.1, h.122./ www.alwarraq.com 62 Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, ahkam al-Qur‟an, (Beirut: Dar Ihyau al-Turats al-„Araby, 1985M/1405H), jilid. 5.

H.263 63 Muhammad bin Thahir bin Muhammad al-Syadzali bin Abd al-Qadir bin Muhammad bin A‟syur, beliau adalah pemimpin

para ulama di Tunusia pada masa Muhammad Shahiq Basya dan menjadi Qadli di jamannya, th 1268H, kemudian menjadi

mufti th 1277H, wafat di Tunisia. Lihat Zarekli, al-„Alam, op.cit., jilid.6, h.173) berkata, “Dari apa yang diungkapkan al-

Jashash menunjukan bahwa madzhab Abu Hanifah mewajibkannya(Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, (Mauqi‟u al-

Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.3, h.263. 64 Yahya bin Syarf bin Muri bin Hasan bin Husen bin Muhammad bin Jam‟ah bin Huzam al-Nawawi al-Syafi‟I, lahir di

Nawa, Syam th 631H, diantara kitab yang beliau tulus: al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim, Arba‟in al-Nawawiyah, wafat th

676H. Lihat Zarekli, al-„Alam, op.cit., jilid.8 h.149 65 Imam al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Qalam, 1987M/1408H), cet.Ke-1, jilid.4, h.318. 66 Dia dilahirkan pada tahun 1880 di Kufr Ziyat dan masuk al-Azhar pada tahun 1900 setelah hafal al-Qur‟an dan belajar di

Madrasah Qadha Syar‟i pada tahun 1915M,kemudian ia diangkat menjadi pengajar di sekolah ini. Dia ikut melakukan

perjuangan revolusi pada tahun 1919 maka tampaklah bakat orasi dan kepenulisannya. Dia aktif dalam melakukan Qadha dia

mengajar di fakultas Hukum di Universitas Kairo selama 22 tahun. Dia meninggal pada tahun 1956, Mukadimah bukunya

Ushul Fiqh. Lihat Ali Muhammad al-Shalabi, Fikih Kemenangan dan Kejayaan), op.cit., h.607

164 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Jika kaum muslimin telah melalaikan sistem musyawarah ini hingga lenyap dan sirna

semangatnya, bahkan yang lain telah berani mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah pilihan

(sunnah) dan bukan suatu kewajiban, dan mereka talah melalaikan tanggung jawab (amr

ma’ruf nahi munkar) hingga pemimpin mereka bertindak berdasarkan pendapatnya sendiri.

Mulut-mulut sudah mulai bungkam untuk memberi nasehat, telinga-telinga sudah mulai tuli

mendengar nasehat, dan mereka telah mengabaikan bai‟at dan menghapusnya hingga

menganggapnya sebagai sesuatu yang simbolis belaka, maka sesungguhnya mereka tidak

akan mampu mencapai tujuan dan tidak akan bisa menyerap aspirasi umat67.

Pembahasan musyawarah terkait dengan masalah kebajikan yang berdampak langsung

terhadap mashlahat umat maka wajib hukumnya memusyawarahkan.

Adapun urusan-urusan yang skalanya lebih kecil, urusan sehari-hari yang tidak berdampak

langsung terhadap mashlahat umat seperti urusan menyapih anak, urusan bepergian, urusan

menyekolahkan anak dan lain-lainnya maka sunnah hukumnya (Q.S al-Baqarah/2: 233).

Jika diperhatikan ayat diatas lafadz tasyawur tidak menunjukan perintah, dengan demikian

tidak ada alasan mewajibkan musyawarah untuk menyapih anak. Disamping itu batas waktu

dua tahun masa menyusui bukanlah ketetapan wajib, tetapi menyempurnakan penyusunan

hingga dua tahun atau menyapih sebelumnya dikembalikan kepada kemauan orang tua.

Namun demikian musyawarah dalam hal seperti ini tentu sangat dianjurkan karena

menjadikan orangtua berfikir dengan sungguh-sungguh dan mempertimbangkan berbagai

aspek demi kemaslahatan si kecil. Bisa jadi inilah salah satu bimbingan Allah swt untuk

menjalin komunikasi dan kasih sayang antara suami-istri yang diamanahi oleh Allah swt

berupa anak, yaitu menghidupkan sunnah musyawarah dalam kehidupan rumah tangga demi

kebaikan anak-anak dan keberkahan dari Allah swt.

E. Khitab Musyawarah

Perintah musyawarah bukan hanya ditujukan kepada Rasulullah saw tetapi juga ditujukan

kepada umat Islam karena pada hakekatnya al-Qur‟an diturunkan untuk menjadi petunjuk

bagi umat manusia (2:185), disamping itu seluruh perintah dalam al-Qur‟an berlaku umum

kecuali bila ada dalil yang menunjukan bahwa perintah tersebut khusus untuk Rasulullah

saw. Dalam hal ini tidak terdapat satupun dalil yang menunjukan bahwa perintah

musyawarah hanya diwajibkan kepada Rasulullah saw bahkan berdasarkan dalil-dalil yang

ada justru menunjukkan sebaliknya68.

67 Ali Muhammad al-Shalabi, Fikih Kemenangan dan Kejayaan, op.cit., h.606-607 68 lihat pembahasan hadits tentang syura h.27-3

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 165

Khitab ayat diatas tertuju kepada pemimpin. Jadi sesungguhnya musyawarah itu wajib bagi

hakim/pemimpin dalam syariat Islam. Banyak ulama dan fuqaha yang berpendapat demikian

maka tidak boleh lagi bagi seorang pemimpin untuk meninggalkannya atau mengambil

keputusan sendiri sesuai pendapatnya, tanpa meminta pendapat kaum muslimin dari ahli al-

Syura. Sebagaimana tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk diam mengenai hal ini dan

membiarkan pemimpin untuk berjalan sesuai pendapatnya saja, kemudian memaksa

kehendak tanpa mengikutsertakan orang lain. Jika dia tetap maju melaksanakan itu, maka dia

telah melakukan sebuah kemungkaran yang harus diingkari dan ditolak69, sesuai dengan

hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan imam Muslim, dimana Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hendaknya ia mengubah dengan

tangannya, dan jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu

juga maka ubahlah dengan hatinya dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman.” (HR

Muslim)70

Dan diantara yang menunjukan bahwa pemimpin negara wajib bermusyawarah,

sesungguhnya Nabi saw dengan segala kemuliaan dan kedudukan beliau yang tinggi beliau

banyak bermusyawarah dengan para sahabat, belaiu bermusyawarah dengan para sahabat

dalam perang Badar dalam memerangi kaum kafir, beliau bermusyawarah dalam perang

Uhud apakah dia tinggal di Madinah atau keluar menghadapi musuh, dan bermusyawarah

pada Sa‟daen: Sa‟ad bin Muadz71dan Sa‟ad bin Ubadah72 pada perang Khandak maka

keduanya berisyarat padanya untuk meninggalkan untuk musuh atas sebagian buah-buahan

Madinah sebagai imbalan dari perginya mereka dari memerangi Rasulullah saw kemudian

Rasulullah saw menerima pendapatnya73.

Dan begitulah nabi banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya sampai para ulama

berkata: Tidak ada seorangpun yang banyak bermusyawarah dari Nabi saw74.

Ibnu „Athiyyah75 berkata, “musyawarah merupakan asas syariat dan pilar hukum. Maka para

pemimpin yang tidak meminta pendapat dari orang yang berilmu dan ahli agama, dia wajib

dicopot. Ini sesuatau tang tidak ada perbedaan pendapat76.

69 Ali Muhammad al-Shalabi, Fikih kemenangan dan Kejayaan, op.cit., h.603-604 70 Imam Muslim Abul Husen Muslim bin Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-

Qalam, 1408H/1987M), cet. Ke-1, h.281 71 Sa‟ad bin Mu‟adz bin Nu‟man al-Alusi al-Anshari, pemimpin kabilah Aus di Madinah, masuk Islam pada usia 31 th dan

wafat pada usia 37 th, beliau termasuk syuhada Khandak, lihat Khalid M Khalid, Karekteristik 60 Sahabat, op.cit., h.561 72 Sa‟ad bin Ubadah bin Dalim bin Haritsah, al-Khazraji, pemimpin kabilah Khazraj pada masa jahiliyah dan Islam, hidup

sampai masa Khalifah Umar bin Khatab, beliau termasuk orang yang masuk Islam dengan dakwahnya Mush‟ab bin Umeir,

wafat ketika dalam perjalanan menuju Syiria. Lihat Khalid M Khalid, Karekteristik 60 Sahabat, op.cit., h.571 73 Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan binHusen al-Taimi al-Razi, Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Gaib,

(Mauqi‟u al Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.9, h.67. 74 Abdul Karim Zaidan, Ushul al-Da‟wah (Muasasah al-Risalah, th 2001M/1421H), cet.Ke-9,h.217-218. Lihat juga Ibnu

Taimiyah, al-Siyasyah al-Syar‟iyah, (Saudi Arabia : Departemen Wakaf dan Da‟wah), h.169 75 Dia bernama abd al-Haq bin Ghalib bin Abd al-Rahman bin Abd al-Ra‟uf bin Tamam bin Athiyyah, dia dipanggil Abu

Muhammad, dia berasal dari keturunan Zaid bin Muharrib. Dikenal sebagai sosok yang fakih dan „alim, sangat mengerti

166 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah77 berkata, “Para pemimpin pasti membutuhkan

musyawarah78. Karena sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan Nabi-Nya untuk

bermusyawarah. Allah swt berfirman (Q.S Ali-Imran 3:159)

Ibnu Khuwaizimandad79 berkata: Wajib bagi para wali (penguasa) mengajak musyawarah

dengan para ulama dalam hal-hal yang mereka tidak ketahui, dan hal-hal yang tidak jelas

bagi mereka menyangkut urusan agama; kepada ahli militer mengenai urusan perang; tokoh-

tokoh masyarakat mengenai masalah-masalah kemaslahatan bersama, para pejabat, menteri

dan kalangan profesional mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan negeri dan

pembangunan80. Hasan al-Banna81 mengatakan: “ Merupakan hak umat Islam untuk

menyoroti para pemimpin dengan sebaik-baiknya dan hendaknya ia memberikan nasehat

padanya dalam hal yang ia anggap baik. Sang pemimpin juga hendaknya meminta nasehat

dan ide dari mereka dan menghormati aspirasinya dan mengambil pendapat yang baik dari

pendapatnya. Allah swt telah memerintahkan penguasa dalm hal ini dengan firman-Nya (Q.S

al-Syura 42:38). Dan Allah swt memuji orang-orang mukmin dengan baik (Q.S Ali-Imran

3:159)

Sunnah Rasulullah saw juga menyebutkan hal itu82. Imam al-Maududi83 berkata, “Wajib bagi

imam untuk memimpin negara dengan bermusyawarah bersama ahlu al-Hilli wa al-Aqdi,

anggota majelis al-Syura, dan dia tetap dianggap sebagai pemimpin sepanjang dia masih

mendapat kepercayaan dari umat.” Dia juga berkata, “Asas penting kelima dari pemerintahan

Islam adalah kewajiban musyawarah bagi para pemimpin dan petinggi negara bersama

dengan kaum muslimin, meminta kerelaan mereka dan pendapat mereka dengan menetapkan

sistem musyawarah84.

tafsir, hukum-hukum, fikih, hadits, nahwu, bahasa, dia meninggal pada tahun 546. Lihat Ibnu Farhun, al-dibaj al-mudzhib

Lima‟rifati Ulama al-Madzahib, op.cit., jilid.1, h.103 76 Ibnu athiyah al-Muharaby, al-Muharrir al-Wajiz, (Mauqi‟u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.2, h.35. 77 lihat h.36 78 Ibnu Taimiyah, al-Siyasyah al-Syar‟iyah, op.cit., h.126 79 Ibnu Khuwaizimandad adalah termasuk ulama Malikiyah yang terkenal dalam setiap periwayatan hadits, dan tidak

majhul,... lihat Qadli Iyadl, Tartib al-Madzarik wa Tarqib al-Masalik, (Mauqi‟i al-Warrak: Maktabah Syamilah/

www.alwarraq.com), jilid.1h.5 80 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami liahkam al-Qur‟an, op.cit., jilid.4, h.250). 81 Hasan bin Ahmad bin Abd al-Rahman al-Banna, semoga Allah merahmatinya, lahir pada 1906M, di kota Mahmudiyah,

sebuah kawasan dekat Iskandariyah, setelah menyelesaikan kuliahya di dar al-Ulum, kairo, beliau menjadi guru yang

berpindah dari satu kota ke kota yang lain untuk menyeru umat adar mengamalkan al-Qur‟an dan perpegang teguh pada

sunah nabi saw, lewat tangan beliau, Allah swt memberi petunjuk kepada ribuan mahasiswa, buruh, petani, dan berbagai

golongan masyarakat lainnya, beliau merupakan pendiri Ikhwan al-Muslimin di Mesir, beliau wafat setelah ditembak di

depan kantor al-Syubban al-muslimun, saat itu th 1949M. Lihat Hasan al-Banna, Majmu‟atu al-Rasail, (Kairo: Dar al-

Tiba‟ah wa al-Nashr wa al-Tauji), h.5 82 Hasan al-Banna, Majmu‟atu al-Rasail, op.cit., h.31 83 Abu al-A‟la dilahirkan pada tanggal 13 Rajab 1321/ 25 Septermber 1903, di Aurangadad, India, beliau adalah penulis

yang handal, pada awal th 1940-an beliau mendirikan gerakan Jama‟ah Islam, th 1947 beliau pindah ke Pakistan, dan

memusatkan pikirannya untuk mendirikan negara Islam, beliau wafat pada usia 60 tahunan, lihat Abu al-A‟la al-Maududi,

Khilafah dan Kerajaan,(Bandung: Mizan, 1990), cet. Ke-3, h.7 84 Abu al-A‟la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, op.cit., cet Ke-3 h.99

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 167

Abdul Karim Zaidan85 berkata, “Sesungguhnya keterwakilan kepala negara dari imat ini

adalah keterwakilan yang terikat. Diantara ikatannya adalah hendaknya ia senantiasa

bermusyawarah dengan umat ini. Musyawarah itu disebutkan dalam nash syariat, dengan

demikian maka umat tidak mungkin menyerahkan secara total kekuasaannya itu kecuali

dengan adanya ikatan ini, yakni ikatan musyawarah. Baik itu dikatakan saat dia dipilih atau

tidak86.

F. Lingkup Musyawarah

Yang dimusyawarahkan berlaku umum tidak hanya berlaku dalam urusan perang dengan

alasan:

Pertama: Kalimat “fil amr” yang artinya “dalam urusan itu” menunjukan urusan yang

sifatnya umum, al-Sa‟di menafsirkan “fil amr” dengan mengatakan segala urusan yang butuh

dimusyawarahkan87.

Kedua : kaedah mengatakan : “Pelajaran itu berdasarkan keumuman lafadznya bukan

kekhususan sebabnya”88. Contoh ayat tentang dzihar89 (Q.S al-Mujadilah 58:2)

Meskipun ayat tersebut diturunkan terkait peristiwa yang dilakukan oleh Aus bin Shamit90

tetapi hukum tersebut bukan hanya berlaku pada dia tetapi berlaku umum. Artinya siapapun

yang melakukan perbuatan (dzihar) seperti yang pernah dilakukan Aus bin Shamit dia

terkena hukum yang sama91.

Namun demikian,meskipun makna urusan itu bersifat umum, tetapi tetap ada batas-batas

yang tidak boleh dilampaui yaitu urusan yang qath‟i (sudah ditetapkan hukumnya oleh

Allah swt dan Rasul-Nya) tidak boleh lagi dimusyawarahkan. Artinya akal manusia tidak

boleh meribah ketetapan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, betapapun

dilakukan dengan musyawarah. Dengan ungkapan lain akal tidak boleh mendahului wahyu.

85 Abdul Karim Zaidan, ia adalah seorang ulama Bagdad, ahli dibidang ilmu fikih dan juga beliau adalah seorang pengacara,

beliau juga guru besar di Perguruan tinggi Bagdad, guru besar di Perguruan Tinggi Shan‟a. Lihat Abdul Karim Zaidan,

Ushul al-Dakwah, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 2001), cet. Ke-9, h.1 86 Al-Shalabi Ali Muhammad, Fikih Kemenangan dan Kejayaan, op.cit., h.603-607 87 Abd al-Rahman bin Nashir bin Sa‟di, Tafsir al-Karim al-Rahman Fi Tafsiri Kalam al-Mannan, (Saudi: Muasasah al-

Risalah, 2000), jilid.1, h.154. 88 Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqon Fi Ulum al-Qut‟an, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid.1, h,30.Wasathiyah wa Daf‟i al-Ghuluw,

(Saudi: Kementrian Wakaf dan Da‟wah wal Irsyad, 1425 , cet Ke-2, jilid.1, h.92 89 Artinya perkataan seorang laki-laki kepada isterinya: “engkau seperti punggung ibuku” untuk hukumnya lebih luas lagi

dibahas dikitab fikih, lihat Abd al-Rahman al-Juzairi,al-Fiqhu „Ala al-Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Syarikat Dar al-

Arqam bin Abi al-Arqam, t.th , jilid.4, h.467 90Aus bi Shamit bin Qais bin Ashram bin Fihr bin Tsa‟labah bin Hganim bin Salim bin Auf bin Khazraj al-Anshari, sahabat

nabi yang ikut dalam perang Badar, Uhud, ia adalah saudara kandung dari Ubadah bin Shamit, ia wafat pada masa Khalifah

Utsman bin Affan. Lihat Ibnu Abdil Bar, al-Isti‟abFi Ma‟rifati al-Ashhab, (www.alwarraq.com: maktabah syamilah), jilid.1

h.37. lihat juga al-Khatib al-Bagdadi, al-Asma al-Mubhamah Fi al-Anbai al-Muhkamah, (www.alwarraq.com: maktabah

ayamilah , jilid.1 h.2 91M. Ali al-Shabunyi, Rawai‟u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), jilid.2, h.526

168 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Musthafa al-Maraghi mengatakan : Rasulullah saw selalu bermusyawarah dalam berbagai

urusan, kecuali dalam hukum karena hukum itu diturunkan oleh Allah swt dengan wahyu-

Nya92.

Islam memberi wilayah musyawarah sangat luas. Manusia bermusyawarah dalam masalah-

masalah dan urusan mereka selama tidak berbenturan dengan teks-teks al-Qur‟an maupun

sunnah Rasulullah saw atau menolak yang telah disepakati oleh umat. Musyawarah adalah

masalah ijtihad dan sebagaimana diketahui tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang

telah ditetapkan oleh nash. Demikian pemahaman sahabat tentang wilayah musyawarah.

Bahkan mereka selalu menanyakan kepada Rasulullah saw apakah masalah yang dihadapi

merupakan wahyu atau bukan, jika bukan merupakan wahyu melainkan pendapat Rasulullah

saw mereka kemudian mengemukakan pendapat93.

Pada peristiwa perang badar94 umpamanya ketika Rasulullah saw turun menempati tempat air

yang terdekat, Khabab bin Mundzir95 lalu bertanya: “Wahai Rasulullah sar, apakah timpay

ini dipilih oleh Allah swt untuk engkau – malalui wahyu – yang tidak boleh bagi kami berada

lebih depan atau belakang, ataukah ini pendapat, perang atau taktik? Beliau menjawab:

“Tidak, melainkan ini pendapat, perang dan taktik tipu daya.” Khabab berkata lagi: “Wahai

Rasulullah saw, ini bukan tempat yang tepat. Maka sebaiknya engkau mengajak orang-orang

ketempat air terdekat kaum Quraisy, lalu kita bertempat disana, kemudian kita menyelinap di

belakangnya dari tengah dan kita buat kolam air diisi air, lalu setelah itu kita perangi mereka.

Kita dapat minum sementara mereka tidak.” Mendengar saran ini Rasulullah saw lalu

bersabda: “Kamu telah mencuri saran yang tepat”96.

Mengenai kasus musyawarah yang lainnya, adalah terjadi pada perang khandaq97, yaitu

Rasulullah saw hendak memberi bani Ghathafan sepertiga hasil kurma Madinah dengan

syarat mereka tidak memerangi kaum muslimin kembali ke negeri mereka. Rasulullah saw

kemudian menemui Sa‟ad bin Muadz danSa‟ad bin Ubadah untuk meminta pendapat mereka

berdua. Mereka menjawab “Wahai Rasulullah saw, apakah ini masalah yang kau sukai lalu

agar kami perbuat, ataukah ini sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt yang harus kita

laksanakan ataukah sesuatu yang engkau perbuat untuk kami?” Beliau menjawab:

92 Musthafa al-Maraghi Ahmad, Tafsir al-Maraghi, op.cit., jilid.25, h.94 93 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit, h.71 94 Perang Badar terjadi pada hari Jumat 17 Ramadlan, sebabnya rasulullah saw mendengar Abu Sufyan kembali dari Syam

bersama rombongannya dengan membawa harta yang banyak ..., lihat Utun al-Atsar, (Mauqi‟u Ya‟sub: Maktabah

Syamilah), jilid.1, h.321 95 Khabab bin Mundzir bin Amr bin Jamuh al-Anshari, beliau termasuk sahabat anshar yang pertama-tama masuk Islam, ia

termasuk ahli Badar, ... lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah Fi Ma‟rifati Shahabah, (Mauqi‟u Al-Warraq: Maktabah

Syamilah , jilid.1 h.327/ http://www.alwarraq.com 96 Ibnu Katsir, Sirah Nabawiyah, (Mauqi‟u Ya‟sub: Maktabah Syamilah), jilid.2, h.402. lihat juga Shafiyu al-Rahman al-

Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004., h.278 97 Perang Khandaq terjadi pada th 5 H pada bulan Syawwal, dinamakan khandaq atau parit karena Rasulullah dan para

sahabatnta menggali parit dalam peprangan tersebut atas usulan Salman al-Farisi, lihat Shafiyu al-Rahman al-Mubarakfury,

Sirah Nabawiyah, op.cit., h.402

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 169

“Melainkan ini sesuatu yang aku perbuat untuk kamu. Demi Allah swt aku tidak berbuat

demikian selain karena aku melihat orang-orang arab musyrik telah memanah kalian dari

satu busur dan mereka mengepung kalian dari segala arah. Maka aku ingin menghancurkan

persekongkolan mereka terhadap kalian hingga batas-batas tertentu”. Mereka memberi

pandangan lain, tidak sependapat dengan Rasulullah saw, lalu beliau meminta pendapat

mereka98.

Berbeda dengan peristiwa perjanjian hudaibiyah99 dimana beliau tidak meminta pendapat

para sahabat dan tidak pula mengambil pendapat mayoritas. Beliau tidak mengajak seorang

sahabat pun untuk memberi pendapat mengenai perjanjian ini baik mengenai isinya

maupunperlu atau tidaknya perjanjian ini ditandatangani. Mayoritas sahabat tidak sependapat

dengan Nabi saw. Mereka menentang – karena mengira ini masalah ijtihad dipimpin oleh

Umar Bin Khatthab ra100

Ketika masalah ini diketahui secara luas dikalangan sahabat sementara mereka belum

mengetahui bahwa itu perintah Allah swt, Umar mendatangi Abu Bakar101 dan berbicara

dengannya. Kemudian mendatangu Rasulullah saw dan bertanya: “Wahai Rasulullah saw

bukankah engkau utusan Allah swt? Beliau menjawab: “Benar”. Bukankah kami kaum

muslimin? Beliau menjawab: “Benar”. Mengapakah kita memberi kehinaan pada agama

kita? Beliau menjawab: “Aku hamba Allah swt dan Rasul-Nya tidak akan menentang

perintah-Nya dan Dian tidak akan menyia-nyiakan aku”102.

Disini jelas bahwa perjanjian hudaibiyah adalah ketetapan Allah swt dan berdasarkan itu,

Nabi saw tidak pernah meminta pertimbangan kepada para sahabat.

Berangkat dari pijakan ini pila dapat dipahami bahwa tekad Abu Bakar memerangi kaum

murtad yang menolak membayar zakat karena masalah ini ditamukan nashnya sehinggan ia

memahami bahwa ini bukan masalah ijtihad, sebagaimana firman Allah swt (Q.S al-Taubah

9:5)

Oleh sebab itu Umar ra, segera menerima sikap Abu Bakar ra, ini ketika ayat ini disebutkan.

Sebab Shalat adalah salah satu rukun Islam, begitu pula zakat103.

98 Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, (Mauqi‟u al-Islam: Maktabah Syamilah), jilid.2 h.223. 99 Terjadi th 6 H..., Lihat Muhammad bin Abd al-Wahab, Mukhtashar Siratu al-Rasul saw,(Saudi: Kementrian Wakaf,

1418H), cet. Ke-1, jilid.1 h.265 100 Umar bin Khaththab adalah sahabat nabi saw yang bergelar al-Faruq (pembeda antara benar dan yang bathil) ia juga

khalifah kedua setelah Rasulullah saw wafat, dia terkenal dengan khalifah yang adil, kecerdasannya sangat luar biasa,

banyak ulama menulis buku tentangnya, ia wafat setelah ditikam oleh Bau Lu‟luah, lihat Abbas Mahmud Aqqad, Menyusuri

Jejak Manusia Pilihan, Umar bin Khaththab, (Solo: Tiga Serangkai, 2003., cet. Ke-1, h.255 101Abdullah bin Abi Kuhafah, beliau merupakan khalifah pertama setelah Rasulullah saw wafat, beliau diberi gelar al-

shiddiq, ia adalah orang pertama masuk Islam dari kalangan orang dewasa yang bukan hamba sahaya, wafat pada usia 63 th,

lihat Ibnu Abdil Bar, al-Isti‟abfi Ma‟rifati al-Ashhab, (Mauqi‟u am-Warrak), jilid.2, h.13 102 Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam), op.cit.,jilid.2, h.316 103 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Potitik Islam, op.cit., h.72

170 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Dengan demikian wiliayah musyawarah itu luas tetapi terbatas, terbatas tapi luas, artinya ada

masalah atau urusan yang dapat ditentukan dengan musyawarah, ada masalah yang tidak

dibenarkan dimusyawarahkan lagi dimana manusia harus menerima ketetapan tersebut yaitu

masalah-masalah yang telah ditetapkan hukumya oleh agama.

G. Syarat-syarat al-Syûrâ

Dalam kajian ushul fiqh syarat berarti: sesuatu yang menentukan adanya hukum, tidak

adanya sesuatu itu berarti tidak adanya hukum, tetapi adanya sesuatu itu tidak otomatis

adanya hukum.104

Contoh wudlu merupakan syarat sahnya shalat, tidak adanya wudhu otomatis tidak sah

shalatnya, tetapi adanya wudhu tidak secara otomatis harus melakukan shalat. Demikian juga

saksi dalam akad nikah. Tidak adanya saksi otomatis tidak sah nikahnya tetapi adanya saksi

tidak secara otomatis harus melakukan nikah.

Terkait dengan ahlu al-syûrâ syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :

1. Baligh

Baligh artinya sampai.105 Dalam istilah fiqh adalah cukup umur untuk menerima

kewajiban agama (mukallaf) yang ditandai dengan mimpi basah untuk laki-laki dan haid

untuk perempuan.

Baligh merupakan salah satu syarat orang itu menjadi mukallaf, karena ketika seseorang

belum baligh maka ia belum menjadi mukallaf atau bebas kewajiban. Sebagaimana dalam

hadits disebutkan :

به سعه الله صي الله عي عي سفع اىقي ع ثلاثخ ع اىصج زز جيغ ع اىزبئ زز غزثقظ ع اىعث ق

زز جشا )سا أث داد(

"Rasulullah Saw bersabda: diangkat pena dari tiga orang: anak kecil sampai baligh,

orang yang tidur sampai bangun, dan orang gila hingga sembuh" (HR. Abu Daud)106

Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda:

سفع اىقي ع ثلاس ع اىبئ زز غزفظ ع اىصئج زز سزي ع اىد خز عقو )سا ازذ اصسبة

اىغ اىسبم(

"Rasulullah Saw bersabda: diangkat pena dari tiga orang: orang yang tidur sampai

bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gola hingga sadar. (HR. Ahmad,

Ashhabu Sunan dan Hakim)107

104 M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 59 105 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, op.cit., jilid 1, h. 498 106 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mausu'ah Hadits) no. 3824 107 Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, op.cit., 23003

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 171

Anak belum dewasa tidak sah menjadi anggota majlis al-syûrâ baik mumayiz maupun

yang tidak, karena anak-anak tidak berwenang atas hartanya, atau menentukan jalan

hidupnya. Maka bagaimana mungkin dapat menentukan jalan hidup umatnya atau

menangani harta, jiwa, kehormatan mereka? Di samping itu juga anak-anak tidak mampu

mempertimbangkan persoalan dengan baik dan tidak mampu membedakan antara yang

mendesak dan tidak mendesak, yang bermanfaat bagi umat dan tidak, yang harus

dilakukan dan yang harus dijauhkan. Anak kecil tidak dibebani hukum syari'ah dan tidak

dituntut tanggung jawab atau perbuatannya di dunia dan akhirat. Dengan demikian naluri

keagamaannya lemah.108

2. Sehat Akal

Orang gila tidak berhak menjadi anggota majlis al-syûrâ, karena akal adalah prasyarat

bagi beban syariah. Maka keutuhan yang dikaruniakan oleh Allah SWT apabila tidak ada

seseorang berarti menjatuhkan apa yang menjadikan kewajiban. Di sisi lain mengurusi

dan menangani masalah-masalah kepentingan umum membutuhkan daya nalar yang kuat.

Untuk menjadi anggota majlis al-syûrâ tidak hanya dituntut adanya akal yang diperlukan

sebagai prasyarat beban agama, melainkan lebih dari itu, juga dituntut akal yang melebihi

rata-rat, jauh dari kelengahan dan keterlenaan, cerdas dan mencapai tingkat prima.109

Di samping itu pula akal sehat akan memudahkan seseorang untuk menelaah dan meneliti

dan menyampaikan pemikirannya, Ibnu Khaldun110 dalam bukunya mengatakan bahwa

Rasulullah Saw dalam berdakwah untuk meyakinkan pengikutnya yang masih baru dia

menempuh jalan pemikiran, dia mengubah cara berpikir tradisional.111

3. Beragama Islam

Tidak dibenarkan non muslim menjadi anggota majlis al-syûrâ. Allah SWT berfirman :

ن ش أى الأ عه أغعا اىش ا أغعا الله آ ب أب اىز

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di

antara kamu" (QS. An-Nisa/4: 59)

Ayat ini berbicara kepada orang-orang yang beriman, maka pemerintahan bergantung

kepada mereka. Tidak dibenarkan keluar dari batasan ini, yakni non muslim. Dalam

108 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam (Jakarta: Rabbany Press), h. 80 109 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 80 110 Abu Zaid Abd al-Rahman bin Muhammad bin Khaldun, lahir di Tunisia th. 732 H/1332 M, dalam perjalanan hidupnya ia

mengabdi ke pemerintahan yang satu ke yang lain sehingga akhirnya ia lelah kemudian ia meninggalkan dunia politik dan

kemudian ia menulis buku Muqadimah yang terkenal sampai sekarang, ia wafat th. 808 H/1406 M, lihat Fuad Bali & Ali

Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. Ke-2, h. 15 111 Fuad Bali & Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, op.cit, h. 110

172 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

firman-Nya: Uli al amri diantara kamu, yang dimaksud ialah dari penganut agama kamu.

Allah SWT juga berfirman:

عجلا إ عي اى ىينبفش دعو الله ى

"dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk

memusnahkan orang-orang yang beriman."

Sementara bagi non muslim dalam majlis al-syûrâ seandainya memegang urusan kaum

muslimin, menangani masalah harta, potensi jiwa mereka, adalah salah satu jalan

(kekuasaan) paling besar. Jadi pada ayat ini Allah SWT secara tegas menafikan

kewenangan dan kekuasaan orang-orang kafir atas orang-orang mukmin, pengakuan atas

keanggotaan mereka dalam majlis al-syûrâ dengan demikian juga bertentangan dengan

ayat ini.112

Perlu dikemukakan di sini bahwa non muslim seperti ahli dzimmah (warga non muslim di

bawah pemerintahan Islam) tidak boleh menjadi ahli al-syûrâ. Bukti paling kuat yang

mendukung penegasan ini adalah bahwa tidak ditemukan pada masa Nabi Saw maupun

Khulafa al-Rasyidin, umpamanya, satu bukti yang menunjukkan adanya seseorang dari

ahli dzimmah yang dipilih menjadi anggota majlis al-syûrâ, atau gubernur, atau penguasa

di wilayah tertentu Negara Islam, atau qadli (jaksa), atau menteri yang memimpin salah

satu departemen pemerintahan, atau panglima perang, atau diizinkan memberikan suara

bagi pemilihan khalifah. Namun demikian hingga pada masa Rasulullah Saw pun tidak

pernah kosong dari warga dzimmi. Bahkan pada masa khilafah rasyidah jumlah warga

dzimmi diperkirakan mencapai tiga juta orang. Seandainya peran serta dalam masalah-

masalah ini ada hak mereka tentu Rasulullah Saw tidak akan pernah mengabaikan hak

mereka.113

Zaman sekarang atau di Negara yang tidak mayoritas Islam maka mengajak

bermusyawarah kaum non muslim dan mengakomodir pendapat mereka adalah tidak

dilarang. Bahkan, ia bisa menjadi keharusan jika terdapat kemaslahatan bagi umat.

Karena kemashlahatan adalah dasar bagi seluruh hukum dunia. Hingga sebagian ulama

ada yang berkata, "kamaslahatan harus didahulukan dari teks jika bertentangan

dengannya114

112 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit, h 79 113 Abu al-A'a al-Maududi, Nazharah al-Islam wa Hadyuh, h. 302 114 Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Maqasid Syariah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. Ke-1 h. 244

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 173

4. Merdeka

Hamba sahaya (abd) tidak dibenarkan menjadi anggota majlis al-Syura, baik hamba yang

akan dibebaskan bersyarat (mukatab) ataupun hamba yang dibebaskan apabila tuannya

meninggal dunia (mudabbar). Sebab hamba sahaya terikat dengan hak-hak tuannya, tidak

memiliki kebebasan atas dirinya sendiri. Dengan demikian tidak memiliki kebebasan atas

orang lain. Mukatab juga terikat oleh hak-hak tuannya, apabila ia tidak mampu

melaksanakan prasyarat atas pembebasan dirinya maka ia kembali dalam status budah,

mudabbar juga demikian, tetap berstatus hamba selama tuannya masih hidup dan

diperlakukan sebagai budak selama hayat tuannya itu.115

5. Berpengetahuan atau berilmu

Ilmu menurut bahasa berarti pengetahuan. Para ulama mendefinisikannya sebagai

pengetahuan akan kebenaran berdasarkan dalil, atau penemuan terhadap sesuatu secara

hakiki.

Dengan definisi ini jelaslah perbedaan antara ilmu dengan tsaqafah. Tsaqafah adalah

pemahaman global terhadap berbagai ilmu, sedangkan ilmu adalah pemahaman khusus

lagi mendalam terhadap salah satu cabang ilmu dari berbagai jenis ilmu lainnya. Karena

ilmu merupakan kebutuhan primer bagi manusia seperti kebutuhan makan dan minum,

maka Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadapnya. Tingkat perhatian yang

tidak dijumpai dalam agama sebelumnya maupun dalam system buatan manusia

manapun, baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Dengan melihat kitab Allah dan

sunnah Rasulullah Saw anda akan mendapatkan contoh dalam nash-nashnya dengan

sangat jelas.116

Al-Qur'an telah menyejajarkan antara ikrar dan persaksian orang-orang yang berilmu

dengan persaksian Allah SWT dan malaikan dalam firman-Nya:

اىعض ب ثبىقغػ لا ئى ئلا قبئ أى اىعي لائنخ اى لا ئى ئلا أ ذ الله ش ض اىسن

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),

yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga

menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),

yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali-Imran: 18)

115 Muhammad Abd al-Qadir Abu Faris, al-Qadli fi Al-Islam, h. 34 116 Abdullah bin Qasim al-Wasyli, Syarah Ushul 'Isyrin Menyelami Samudra 20 Prinsip Hasan al Banna (Solo, Era

Intermedia, 2005), cet. Ke-2, h. 86-87

174 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Dijelaskan pula bahwa orang-orang mukmin yang berpengetahuan lebih utama dan lebih

tinggi kedudukannya pada hari kiamat daripada orang-orang mukmin yang tidak

berpengetahuan.

دسخبد أرا اىعي اىز ن ا آ اىز شفع الله

"niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-

orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah/58: 11)

Dijelaskan pula bahwa tidak ada persamaan maupun perbandingan antara orang yang

berpengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahuan. Allah SWT berfirman:

لا عي اىز عي اىز قو و غز

"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang

tidak mengetahui?" (QS. Al-Zumar/39: 9)

Dijelaskan pula bahwa ketaqwaan dan rasa takut kepada Allah SWT yang sebenarnya

hanya dicapai oleh para ulama. Sebagaimana firman Allah SWT:

بء اىعي عجبد ب خش الله ئ

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama"

(QS. Fathir/35: 28)

Dijelaskan pula bahwa ahli ilmulah yang menjadi saksi atas orang-orang yang berbuat

durhaka. Sebagaimana firman Allah SWT

اىنزبة ذ عي ع ن ث ذا ث ش قو مف ثبلل

"Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan antara orang yang

mempunyai ilmu Al Kitab"

Ilmu juga merupakan sumber kekuatan, sebagaimana firman Allah SWT

ل غشفل شرذ ئى قجو أ اىنزبة أب آرل ث ذ عي قبه اىز ع

"berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[1097]: "Aku akan membawa

singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip".(QS. An-Naml/27: 40)

Dengan ilmu orang bisa mengetahui hakikat-hakikat sesuatu, sebagaimana firman Allah

SWT

ثبه عشث ريل الأ ب عقيب ئلا اىعبى ب ىيبط

"dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang

memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (QS. Al-Ankabut/29: 43)

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 175

Dalam hadits disebutkan juga tentang ilmu diantaranya:

ه الله صي الله عي عي غيت اىعي فشعخ عي مو غي )سا اث بخخ(قبه سع

"Mencari ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah)117

Dalam hadits lain disebutkan:

ععذ عبخ خطجب زذثب ععذ ث عفش قبه زذثب اث ت ع ظ ع اث شبة قبه زذ ث عجذ اىشز

قه ععذ اىج صي الله عي عي قه شذ الله ث خشا فق ف اىذ )سا اىجخبس(

"Barang siapa yang Allah SWT kehendaki kebaikan pada dirinya, ia akan

memahamkannya dalam urusan agama." (HR. Bukhari)118

Yusuf al-Qardhawi119 mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan syarat bagi

semua profesi kepemimpinan, baik dalam bidang politik maupun administrasi,

sebagaimana yang dilakukan Yusuf as. ketika berkata kepada raja Mesir dalam firman

Allah SWT:

يل ائز قبه اى ( أ ن ب ىذ قبه ئل اى ب مي أعزخيص ىفغ في الأسض ٤٥ث ( قبه اخعي عي خضائ

( (٤٤ئ زفظ عي

"dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaKu, agar aku memilih Dia sebagai orang yang

rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan Dia, Dia berkata:

"Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan Tinggi lagi

dipercayai pada sisi kami"; berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara

(Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".

(QS. Yusuf/12: 54-55)

Yusuf as. menunjukan keahliannya dalam pekerjaan besar yang ditawarkan kepadanya,

yang mencakup pengurusan keuangan, ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistic

pada waktu itu.120

Orang yang menjadi ahli al-syûrâ disyaratkan memiliki pengetahuan tentang syariat

Islam, pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar melakukan ijtihad ia tidak

bertentangan dengan aturan syariah yang ditetapkan oleh al-Kitab dan Sunnah atau ijma',

Allah SWT berfirman:

117 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Mausu'ah Hadits), No. 220 118 Imam Bukhari, Shahih Bukhari (Mausu'ah Hadits), No. 69 119 Beliau termasuk ulama kontemporer yang masih hidup, yang banyak memberikan konstribusi pemikiran untuk umat pada

jaman sekarang, ia menguasai ilmu fikih dan berbagai keilmuan Islam yang lainnya sehingga ia diangkat menjadi mufti dan

beliau sekarang tinggal di Suria 120 Yusuf Al-Qardhawi, Fikih Prioritas, (Jakarta: Rabbani Press, 1996), cet. Ke-1, h. 63)

176 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

بء اىعي عجبد ب خش الله ئ

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama"

(QS. Fathir/35: 28)

Sebagian ulama berkata: pengetahuan yang menjadi prasyarat bagi ahli al-syûrâ tidak

harus mencapai tingkat ijtihad.121

6. Kelayakan Moral, yakni

Seseorang yang menunaikan kewajiban, dan menjauhi berbagai maksiat. Tidak dikuasai

oleh hawa nafsu, dan bertakwa, amanah, menjadi teladan, bertutur kata baik.

7. Laki-laki

Laki-laki menjadi syarat, sementara perempuan tidak dibenarkan menjadi anggota majlis

al-syûrâ. Terkait perempuan tidak boleh menjadi anggota majlis al-syûrâ, para ulama

berbeda pendapat dalam hal itu.

Pihak yang melarang

Alasan pihak yang mensyaratkan laki-laki dan melarang perempuan menjadi anggota

majlis al-syûrâ adalah:

1) Karena laki-laki pada umumnya lebih kompeten daripada kaum hawa dan

kepemimpinannya ada di pihak laki-laki.

عي اىغبء ا خبه ق اىش

"kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita" (QS. An-Nisa/4: 34)

Dengan demikian perempuan tidak didahulukan atas laki-laki dan tidak pula dijadikan

pemimpin. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan

kepemimpinan keluarga atau tanggungjawab rumah tangga, bukan kepemimpinan

umum. Hujah (dalil) ini tetap berlaku demikian. Jika perempuan tidak mampu

mengurus kepemimpinan keluarga yang tidak lebih dari bilangan jari maka lebih tidak

mampu menangani urusan masyarakat manusia.122 rasulullah Saw bersabda:

جخبس(ى فير ق ىا أش اشاح )سا اى

121 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 81 122 Lihat al-Qadli fi al-Islam, op.cit., h. 35

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 177

"Tidak akan beruntung suatu kaum yang memberikan urusan kepemimpinan mereka

kepada seorang perempuan" (HR. Bukhari).123

Hadits ini merupakan penegasan statemen dari Nabi Saw mengenai ketidak

beruntungan bagi suatu kaum yang mengandalkan perempuan untuk memimpin

urusan umum dan penting seperti keanggotaan majlis al-syûrâ. Kaum Muslimin

diperintahkan melakukan upaya yang mengantarkan pada keberuntungan dan dilarang

melakukan perbuatan yang mengantarkan kepada kerugian.124

2) Wanita tidak boleh keluar rumah melainkan untuk urusan yang penting

Allah SWT berfirman:

ف ثرن قش

"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu" (QS. Al-Ahzab/33: 33)

Dengan begitu, seorang wanita tidak boleh keluar rumah kecuali untuk suatu

keperluan yang penting.

3) Kendala-kendala kodrati bagi wanita

Karena wanita harus menghadapi kendala-kendala kodrati, seperti datang bulan,

hamil dan kesulitannya, melahirkan dengan rasa sakitnya, menyusui dengan

kesulitannya, keibuan dengan bebannya. Semua ini membuat fisik, psikis dan

pemikirannya tidak mampu mengemban tugasnya sebagai anggota dewan yang harus

menetapkan undang-undang dan mengawasi pemerintah.

4) Tindakan Preventif

Ketika wanita dicalonkan atau duduk di parlemen atau Dewan Perwakilan, maka dia

dituntut untuk bercampur dengan kaum laki-laki dan bahkan kadang-kadang

berkhalwat125 dengan seorang laki-laki. Tentu saja hal ini haram. Sebab sesuatu yang

bisa menjurus kepada perbuatan haram, hukumnya juga haram.

Pihak yang membolehkan

Adapun alasan yang membolehkan wanita menjadi anggota majlis al-syûrâ, antara lain:

123 Imam Bukhari, Shahih Bukhari (Mausu'ah Hadits: Maktabah Syamilah), kitab al Maghazi, No. 4073 124 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 81 125 Berduaan laki dan perempuan yang bukan mahram

178 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

1) Wanita juga manusia, sama seperti kaum laki-laki, dituntut untuk beribadah kepada

Allah SWT, menegakkan agama-Nya, melaksanakan kewajiban-Nya, menjauhi apa

yang dilarang-Nya, berdiri pada batasan-batasan hukum-Nya, berdakwah dan

melaksanakan amar ma'ruf nahi al munkar, terkait amar ma'ruf nahi al munkar

perintah ini bersifat umum, jadi baik laki-laki maupun wanita mempunyai kewajiban

untuk menegakkannya.126

Setiap seruan Allah SWT yang menetapkan syariat juga meliputi diri wanita, kecuali

jika ada dalil tertentu yang khusus bagi kaum laki-laki. Jika Allah SWT berfirman,

"Wahai manusia" atau "Wahai orang-orang mukmin" maka wanita juga termasuk

dalam seruan ini, dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini.

Oleh karena itu tatkala Ummu Salamah r.a.127 mendengar seruan Rasulullah Saw,

"wahai manusia…" maka seketika itu diapun tergopoh-gopoh dan masygul sendiri,

siap untuk melaksanakan isi seruan tersebut, sehingga semua orang merasa heran

terhadap reaksinya yang begitu cepat. Karenanya ia menjawab, 'Aku juga termasuk

manusia'.

Dalam hal ini Al-Qur'an mengajak umatnya (laki dan perempuan) untuk

bermusyawarah, melalui pujian Allah SWT kepada mereka yang selalu

melakukannya. Sebagaimana firman Allah SWT:

ش أ شس ث

"sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat" (QS. Al-Syura/42: 38)

2) Perintah dalam ayat ini bersifat umum, ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak

ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.

Musyawarah merupakan salah satu prinsipi pengelolaan bidang-bidang kehidupan

bersama menurut Al-Qur'an, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga

masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan

musyawarah. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan

memiliki hak tersebut.128

3) Dasar hukum secara umum, wanita sama seperti laki-laki dalam melaksanakan

pembebanan, kecuali ada pengecualian. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT

126 Musthafa Dieb al-Bugha Muhyiddin Mistu, al-Wafi Syarah Kitab Arba'in Al-Nawawiyah (Jakarta: al-I'tishom Cahaya

Umat, 2003), cet. Ke-1, h. 3002 127 Hindun binti Abi Umayah, ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam, ia pernah ikut hijrah ke Habasyah dua kali

sebelum akhirnya hijrah ke Madinah, setelah suaminya meninggal ia dilamar Rasulullah Saw dan akhirnya menikah

dengannya, ia wafat th. 62 H, beliau adalah isteri Rasulullah yang terakhir sekali meninggal. Lihat M. Ali Usman, Partisipasi

Keluarga Rasulullah Saw dalam Merubah Sosial Budaya Dunia , (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet. Ke-1, h. 86. 128 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1993), cet. Ke-3, h. 273-274

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 179

ثعع ش ثعط أ

"sebagian dengan sebagian yang lain" (QS. At-Taubah/9: 67)

4) Al-Qur'an membebankan kepada dua jenis, laki-laki dan wanita, tanggungjawab

menegakkan masyarakat dan membenahinya, yang dalam Islam lazim disebut amar

ma'ruf nahi an al munkar. Allah SWT berfirman:

نش اى ع عشف ثبى ش ىبء ثعط أ أ بد ثعع إ اى إ اى إر لاح اىص ق

الله سعى أىئل عشز الله طع مبح اىض عضض زن الله ئ

"dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)

menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang

ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan

mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah/9: 71)

Dalam kesempatan ini Al-Qur'an juga menyebutkan beberapa ciri orang-orang yang

beriman, setelah menyebutkan beberapa ciri orang-orang munafik, sebagai berikut:

عشف اى ع نش ثبى ش ثعط أ بفقبد ثعع اى بفق اى

"orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain

adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang

ma'ruf ". (QS. At-Taubah/9: 67)

Jika wanita-wanita munafik berdiri di samping kaum laki-laki munafik memainkan

peran untuk merusak masyarakat, maka wanita-wanita mukminah harus memainkan

peranan untuk membenahi masyarakat di samping kaum laki-laki mukmin.

5) Para wanita juga mempunyai peranannya pada masa Nabi Saw. bahkan suara pertama

yang membenarkan dan mendukung beliau adalah suara wanita, yaitu Khadijah r.a.129.

bahkan orang yang pertama kali mati syahid di jalan Islam juga seorang wanita, yaitu

Sumayyah, ibu Ammar, bahkan di antara mereka ada yang ikut berperang bersama

Nabi Saw pada waktu perang Uhud, Hunain dan lain-lainnya, hingga dalam biografi

al-Bukhari disebutkan "bab peperangan dan pertempuran para wanita"

Siapa yang memperhatikan dalil-dalil Al-Qur'an dan sunnah tentu akan mendapatkan

hukum-hukum di dalamnya yang disebutkan secara umum bagi dua jenis, kecuali jika

129 Khadijah binti Khuwailid, beliau di jaman jahiliyah bergelar "al-Thahirah" artinya "yang suci bersih" beliau adalah janda

kaya yang kemudian menikah dengan Rasulullah Saw, ia termasuk orang yang banyak membantu Rasulullah Saw dalam

berdakwah dengan hartanya, ia juga isteri pertama Rasulullah Saw, ia wafat tahun 10 dari kenabian Muhammad Saw. lihat

M. Ali Usman, Partisipasi Keluarga Rasulullah Saw dalam merubah Sosial Budaya Dunia, op.cit., h. 32

180 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

ada tuntutan fitrah yang harus membedakan laki-laki dan wanita, atau yang memang

dipersiapkan untuk masing-masing pihak. Kaum wanita mempunyai hukum-hukum

tersendiri yang bekaitan dengan haid, nifas, istihadhah, hamil, persalinan, penyusuan,

pengasuhan dan lain-lainnya. Kaum laki-laki memegang kendali kepemimpinan dan

tanggungjawab terhadap rumah tangga, dia berkewajiban memberi nafkah dan

melindungi seluruh anggota keluarganya130

6) Bila kita melihat hukum dasar dalam segala sesuatu dan urusan keduniaan adalah

mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Berangkat dari dasar-dasar inilah kita perlu melihat topic masuknya kaum wanita ke

dalam Dewan Perwakilan atau musyawarah dan penetapan pencalonannya serta

kelayakannya untuk berperan berdasarkan dalil-dalil syariat.

Jawaban :

Pihak yang membolehkan, memberikan jawaban terhadap alasan yang diajukan oleh

pihak yang melarang, ringkasnya sebagaimana berikut:

1. Terkait dengan ayat yang menyebutkan kepemimpinan laki-laki atas wanita

berdasarkan firman Allah SWT:

عي اى ا خبه ق اىش اى أ فقا ب أ ث عي ثعط ثعع و الله ب فع غبء ث

"kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah

melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan

karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka" (QS. An-

Nisa/4: 34)

Ayat ini dalam dalam kaitannya dengan kehidupan rumah tangga. Seorang laki-laki

merupakan pemimpin rumah tangga dan bertanggungjawab atas kelangsungannya

sesuai dengan QS. An-Nisa/4: 34 tersebut.

Hal ini menunjukan bahwa maksud kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan atas

rumah tangga. Derajat inilah yang diberikan kepada kaum laki-laki, seperti Firman

Allah SWT:

ى عشف ثبى ثو اىز عي ى عضض زن الله دسخخ خبه عي يش

"dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut

cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan

daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-

Baqarah/2: 228)

130 Yusuf Al-Qardhawi, Fikih Daulah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), cet. Ke-4, h. 227-229)

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 181

Sekalipun seorang laki-laki mempunyai hak sebagai pemimpin atas rumah tangga, toh

istri juga bisa berperan, dia bisa dimintai pendapat yang memang dibutuhkan untuk

kepentingan rumah tangga, seperti yang diisyaratkan Al-Qur'an tentang menyapih

anak yang disusui.

ب س فلا خبذ عي رشب ب رشاض أسادا فصبلا ع فا

"apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya

dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya" (QS. Al-Baqarah/2:

233)131

2. Terkait dengan wanita tidak boleh keluar rumah melainkan untuk urusan penting

berdasarkan firman Allah SWT: artinya: "Dan hendaklah kalian tetap di rumah

kalian" (QS. Al-Ahzab/33: 33)

Ayat ini secara khusus tertuju kepada isteri-isteri Nabi Saw, seperti yang dipahami

dari susunan bahasanya. Sebagaimana yang sudah diketahui, mereka mempunyai

kehormatan dan perlu penekanan tersendiri dari pada wanita-wanita lain. Oleh karena

itu balasan untuk mereka menjadi berlipat jika mereka berbuat buruk.

Sekalipun sudah ada ayat ini, 'Aisyah ra tetap keluar dan ikut bergabung dalam

perang al-Jamal, sebagai reaksinya untuk memenuhi kewajiban agama, yaitu

menuntut balas atas terbunuhnya Utsman bin Affan ra. Tapi ketetapan takdir

meletakannya di tempat yang salah, karena apa yang dilakukannya itu.

Bagaimana pun juga wanita harus keluar rumahnya, pergi ke sekolah, perguruan

tinggi, andil dalam berbagai medan kehidupan sebagai dokter, guru, pengawas dan

lain-lainnya, sebagai tuntutan kerja di luar rumah, yang tentu saja dengan beberapa

syarat yang harus dipenuhi.

Para wanita muslimat yang komitmen dituntut untuk terjun dalam kancah pemilihan

umum, dalam rangka menghadapi wanita-wanita permisivis dan sekuler yang

berambisi memegang kendali peranan wanita secara umum. Terkadang kebutuhan

sosial dan politik lebih besar daripada kebutuhan individu, yang kemudian

memperbolehkan wanita untuk ambil bagian dalam kehidupan secara umum.

Menahan wanita di dalam rumah tidak dikenal kecuali hanya dalam jangka waktu

tertentu, sebagai hukuman atas kekejian yang dilakukannya dan sebelum ada

ketetapan hukum tentang dirinya, sebagaimana firman Allah SWT:

131 Ibid, h. 232-233

182 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

ش فا ن أسثعخ ذا عي فبعزش غبئن اىفبزشخ اىلار أر فب ف اىجد زز ز غن ذا فأ

عجلا ى دعو الله د أ اى

"dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat

orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah

memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah

sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya."

(QS. An-Nisa/4: 15)

3. Terkait dengan tindakan preventif, tidak dapat diragukan, tindakan preventif memang

sangat diperlukan. Tetapi para ulama menetapkan bahwa preventifitas yang berlebih-

lebihan atau terlalu longgar, bisa menghilangkan sekian banyak kemaslahatan, lalu

membuka kerusakan yang justru lebih besar dan banyak, yang tadinya dikhawatirkan

akan terjadi.

Misalnya wanita dilarang memberikan suara dalam pemilihan umum, karena

dikhawatirkan akan menimbulkan cobaan dan kerusakan. Lalu berapa banyak suara

yang seharusnya dimiliki kalangan muslim yang hilang karenanya? Padahal

pengumpulan suara ini sangat penting untuk menghadapi kalangan sekuler. Terlebih

lagi mereka lebih banyak memanfaatkan suara para wanita yang tidak komitmen

terhadap agama.

Dahulu ada seorang ulama yang menolak untuk mengajari para wanita dan tidak

setuju jika mereka masuk ke sekolah dan perguruan tinggi, dengan alasan sebagai

tindakan preventif. Sebagian ulama ada yang memperbolehkan para wanita belajar

membaca dan melarang mereka belajar menulis, agar mereka tidak menulis surat-

surat cinta atau sejenisnya. Tetapi arus kehidupan pada masa sekarang

memperlihatkan bahwa belajar itu bukan merupakan keburukan, bahkan membawa

kepada kebaikan yang amat banyak.

Dari sini dapat kami katakana bahwa wanita muslimah yang komitmen, harus pandai-

pandai menjaga diri saat berhadapan dengan kaum laki-laki, jika dia dicalonkan atau

dipilih dalam dewan perwakilan, harus menghindari hal-hal yang bertentangan

dengan hukum-hukum Islam, seperti berkata genit, berpakaian mencolok mata,

bersolek, berkhalwat dengan seorang laki-laki. Ini perbuatan yang harus dihindari.132

Mereka yang melarang wanita dicalonkan dan duduk di dewan perwakilan beralasan

bahwa kedudukan ini merupakan kepemimpinan terhadap kaum laki-laki, yang berarti

dilarang. Sebab ditetapkan di dalam Al-Qur'an, kaum laki-laki harus menjadi

132 Ibid, h. 231-232

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 183

pemimpin bagi wanita. Lalu bagaimana mungkin kita membalik ketetapan ini, dengan

mengangkat wanita menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki?

Di sini kami perlu menjelaskan dua hal:

1. Para wanita yang dipilih dewan perwakilan jumlahnya sangat terbatas, sehingga

mayoritas anggota dewan tetap di tangan laki-laki. Jumlah mayoritas inilah yang

berhak membuat ketetapan, membuat ikatan dan memecahkan masalah. Sehingga

tidak bisa dikatakan bahwa keberadaan wanita di dewan perwakilan akan

mengangkat wanita sebagai pemimpin atas kaum laki-laki.

Tentang pendapat yang mengatakan bahwa majlis al-syûrâ atau apa pun istilahnya

yang kedudukannya lebih tinggi dari daulah dan bahkan pemimpin daulah, karena

dewan al-syûrâ itu mempunyai kewenangan untuk mengawasi, merupakan

pendapat yang tidak bisa diterima begitu saja. Sebab tidak semua pengawas lebih

tinggi kedudukannya daripada orang yang diawasi. Yang lebih penting adalah hak

untuk mengadakan pengawasan, sekalipun mungkin kedudukannya lebih rendah.

Yang tidak dapat diragukan, bahwa Amir al-Mukminin atau pemimpin daulah

merupakan kedudukan dan kekuasaan yang paling tinggi dalam daulah, sekalipun

begitu siapapun mempunyai hak untuk memberinya nasihat, mengawasi,

memerintah dan melarangnya, sekalipun dia berasal dari kalangan rakyat yang

paling bawah, sebagaimana yang dikatakan Abu Bakar rad an Umar ra dalam

pidato pertamanya setelah diangkat sebagai khalifah.

Tak seorangpun mengingkari bahwa isteri berhak mengawasi suami, yang

merupakan pemimpinnya dalam urusan rumah tangga dan nafkah. Istri bisa

bertanya kepada suami," mengapa engkau membeli barang ini? Mengapa engkau

membelinya sebanyak itu? Mengapa engkau tidak memperhatikan anak-anakmu?

Mengapa engkau tidak menyambung tali kekerabatan? Dan masih banyak

masalah lain yang berkaitan dengan amar ma'ruf nahi an al-munkar.

Kalaupun majlis al-syûrâ mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada

daulah, mengingat dewan al-syûrâ lah yang berhak menetapkan hukum dan

mengawasi, hal itu lebih disebabkan karena bentuk kumpulannya dan bukan

karena pertimbangan individu-individunya. Sementara kelompok mayoritas dalam

dewan al-syûrâ adalah kaum laki-laki.133

Dapat kami katakan, ini semua benar dan memang tidak setiap wanita layak

mengemban tugas sebagai anggota dewan perwakilan. Wanita yang sibuk sebagai

133 Ibid, h. 236-237

184 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

ibu dan segala tuntutannya tidak mungkin menerjunkan diri ke kancah politik.

Andaikata dia ngotot untuk terjun ke sana, semua orang laki-laki akan berkata,

"jangan, karena anak-anakmu lebih layak mendapat perhatianmu."

Tetapi para wanita yang tidak mempunyai anak, sementara mereka memiliki

kelebihan kekuatan, kecerdasan dan juga mempunyai banyak waktu luang, atau

mereka yang usianya sudah mencapai lima puluh tahun atau sekitar itu, sehingga

tidak lagi disebutkan kendala-kendala kodrati di atas, anak-anaknya pun sudah

menikah, dengan usianya itu dia menjadi orang yang matang dan waktunya juga

banyak luang, lalu apakah yang menghalanginya untuk duduk di dewan

perwakilan, terlebih lagi jika mereka mempunyai kelebihan-kelebihan lain dan

memenuhi syarat untuk duduk di dewan perwakilan?134

SEBUAH PANDANGAN

Mencermati diskusi di atas, Penulis menilai kedua belah fihak bermaksud untuk

menjaga kesucian agama dan menjaga kemuliaan wanita. Keduanya memiliki

dasar ayat dan hadits serta penjelasan yang cukup logis. Sudut pandang mereka

yang berbeda dan selama sebuah masalah merupakan masalah ijtihadiyah dan

bukan masalah qath'iyah, wajar saja terjadi sebuah sudut pandang yang berbeda

dan menghasilkan solusi ijtihadi yang berbeda pula. Disinilah dibutuhkan sebuah

kearifan dan kedalaman ilmiah dalam mensikapi perbedaan seperti ini sehingga

ruh musyawarah yang menjadi ciri kehidupan orang beriman tidak sirna karena

perbedaan pandangan dalam syarat menjadi ahli al-syûrâ.

Penulis sendiri sependapat dengan pihak yang membolehkan wanita menjadi

anggota majlis al-syûrâ, atau sekarang disebut dengan anggota parlemen, tetapi

dengan beberapa catatan:

Memiliki latar belakang pendidikan yang dapat mendukung tugasnya di

parlemen

Memiliki keberanian dan kecakapan menyampaikan pendapatnya

Menghiasi diri dengan adab dan akhlak islami

Menjaga diri dari pergaulan yang dapat menodai kepribadian seorang

muslimah

Tidak menyebabkan mudharat di rumah tangganya

134 Ibid, h. 244

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 185

8. Tidak merekomendasikan diri

Seseorang yang merekomendasikan diri dengan pengakuan tertentu bahwa dirinya layak

menjadi anggota majlis al-syûrâ sebenarnya membuat dirinya diletakkan tidak layak

untuk menduduki jabatan yang penting ini. Sebab Al-Qur'an melarang rekomendasi diri

(mengaku suci) dengan firman Nya:

ا أ ارق فلا رضم ث أعي فغن

"Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang

orang yang bertakwa" (QS. An-Najm/53: 32)

Bahkan jika seseorang berambisi pada kepemimpinan ia diharamkan dari kepemimpinan

itu. Dari Abu Musa al-Asari r.a. berkata: Aku masuk menemui Nabi Saw bersama dua

orang dari kaumku, lalu salah seorang di antara mereka berkata: Berilah kami

kepemimpinan, wahai Rasulullah Saw." yang satu lagi juga berkata sama. Kemudian

beliau bersabda:

ع قبه دخيذ عي اىج صي الله عي عي أب سخلا ث ع فقبه ازذ اىشخي ب سع الله ع أث

أشب عي ثعط ب لاك الله عض خو قبه اخش زو رىل فقبه ئب الله ى عي زا اىعو أزذا عبى لا أزذا

زشص عي )سا غي(

"Kami tidak memberi jabatan kepada orang-orang yang memintanya dan tidak pula

kepada orang-orang yang berambisi padanya" (HR. Muslim)135

Agama Islam secara umum melarang meminta kepemimpinan, sebagaimana sabda

Rasulullah Saw kepada Abd al-Rahman.136

صي الله عي عي ب عجذ اىشز لا رغأه الابسح فال ئ زذثب عجذ اىشز ث عشح قبه: قبه ى سعه الله

أعطزب ع غأىخ ميذ ئىب ئ أعطزب ع غش غأىخ أعذ عيب )سا غي(

"Hai Abdurrahman, janganlah meminta kepemimpinan. Sebab apabila kamu diberi

karena meminta maka kamu dibebani dan jika kamu diberi bukan karena meminta maka

kamu akan dibantu" (HR. Muslim)137

135 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Qalam, 1408 H/1987 M), cet. I j.12, h. 449 136 Abd al-Rahman bin Samrah bin Habib bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al-Qurasyi, masuk Islam pada Fath Makkah,

sahabat Nabi Saw, ikut perang Khurasan bersama Utsman bin Affan, ia juga pembuka Sajistan dan Kabul, pada th. 42 H, ia

pindah ke Sajistan, meninggal di Bashrah th. 51 H, lihat Ibnu Abdil Bar, al-Isti'ab Fi Ma'rifati al-Ashhab, op.cit., jilid 1, h.

252 137 Imam Muslim, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, op.cit., j. 12, h. 448

186 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

H. Sistem Musyawarah

Kalau kita telusuri ayat-ayat tentang musyawarah, baik ayat-ayat makiyah maupun

madaniyah kita akan mendapati bahwa perintah musyawarah itu bersifat global.138 Dalam

Al-Qur'an ayat yang berisi perintah dan bersifat global banyak sekali diantaranya perintah

shalat, Allah SWT berfirman:

مبح آرا اىض لاح ا اىص أق

"dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat" (QS. Al-Baqarah/2: 43)

Perintah shalat dalam ayat ini sifatnya global kemudian Rasulullah Saw jelaskan bagaimana

pelaksanaannya dengan ucapan dan perbuatan beliau sebagaimana dalam hadits Rasulullah

Saw bersabda:

ا اىجخبس(زذثب بىل أرب ئى اىج صي الله عي عي ... قبه ... صيا مب سأز أصي )س

"Diceritakan oleh Malik bahwasanya ia telah datang kepada Rasulullah Saw … beliau

bersabda: … Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat" (HR. Bukhari)139

Contoh lain perintah Allah SWT yang bersifat global adalah perintah haji,140 sebagaimana

firman Allah SWT:

ق مو فح ع ش أر عي مو ظب ف اىبط ثبىسح أرك سخبلا أر

"dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang

kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari

segenap penjuru yang jauh" (QS. Al-Hajj/22: 27)

Kemudian Rasulullah Saw menjelaskan bagaimana pelaksanaan haji dan beliau bersabda:

"Dari Jureij … berkata Jabir: saya telah melihat Rasulullah Saw melempar jumrah di atas

kendarannya pada hari nahar dan beliau bersabda: ambillah manasik kalian dariku karena

sesungguhnya aku tidak tahu apa bisa haji setelah tahun ini. (HR. Ahmad)141

Demikian pula dengan perintah musyawarah sebagaimana firman Allah SWT:

س شب ش ف الأ

"dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (QS. Ali Imran/3: 159)

138 Dalam istilah ushul fiqh disebut mujmal (lafadz yang maksudnya tidak dapat ditentukan melainkan mesti ada yang

menentukannya), lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-'Araby, t.th), h. 131, lihat juga Abd Al-

Qadir Hasan, Ushul Fikh, (Surabaya: Al-Muslimun, 1971), cet ke-3, h. 54 139Imam Bukhari, Shahih Bukhari, op.cit., jilid I, h. 163, Kitab Adzan bab Adzan lil Musafir 140 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikh, op.cit, h. 131 141 Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, (Mesir: Dar Al-Ma'arif, 1980), no 13899 (dalam Mausu'ah Hadits)

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 187

Dalam ayat di atas perintah musyawarah bersifat global, dan kalau kita telusuri tidak terdapat

nash dalam kitab Allah SWT atau sunnah Rasulullah yang menerangkan bagaimana cara

melaksanakan musyawarah. Begitu pula tidak terdapat nash yang menjelaskan rincian

jumlah anggota majlis al-syûrâ dan cara menghadirkan jumlah ini.

Sebenarnya yang demikian adalah salah satu cirri khas agama ini yang tidak mewajibkan

umatnya adanya ketentuan cara tertentu yang mungkin cocok pada masa tertentu tetapi tidak

cocok pada yang lainnya sehingga akan memberatkan umat.142

Allah SWT telah menyingkirkan kesulitan dari agama, sebagaimana firman-Nya

ف اىذ ن ب خعو عي زشج

"Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" (QS. Al-

Hajj/22: 78)

Ini yang dimaksud fleksibilitas Islam, karena ia meletakan kaidah-kaidah tetapi membiarkan

bidang yang sangat luas bagi sarana-sarana yang dapat mewujudkan kaidah-kaidah ini untuk

menyingkirkan kesulitan dari umat. Allah SWT menghendaki kemudahan dan tidak

menghendaki kesulitan.143

Allah SWT berfirman:

اىعغش لا شذ ثن اىغش ثن شذ الله

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS.

Al-Baqarah/2: 185)

Konsep bagaimana seharusnya musyawarah itu dilaksanakan, adalah disesuaikan dengan

sosio budaya masyarakat yang senantiasa berkembang, bukan dalam bentuk yang statis dan

kaku. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:

قبه سعه الله صي الله عي عي: أز أعي أش دبم )سا غي(

"Jika hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia, maka kalian lebih mengerti" (HR.

Muslim)144

Namun demikian ia harus merupakan nilai yang tumbuh dari keimanan yang tertancap dalam

hati sanubari, Sayyid Quthub145 memberi komentar bahwa sebagai bentuk peraturan Islam

142 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 72 143 Ibid, h. 73 144 Imam Muslim, Shahih Muslim (Mausu'ah Hadits), no. 4358 145 Sayyid Quthub, Fi Zhilal Al-Qur'an, op.cit., jilid VII, h. 299, Sayyid Quthub, nama lengkapnya adalah Sayyid bin Haji

Quthub bin Ibrahim, lahir pada tahun 1906 di Kaha, Assyut, Mesir Selatan. Ia masuk Ibtida'iyah pada tahun 1912 dan lulu

pada tahun 1916 berhenti sekolah 2 tahun karena revolusi tahun 1919, sekolah menengahnya di Kairo, dan perguruan

tingginya di Dar al 'Ulum Kairo. Bergabung denga gerakan Ikhwanul al-Muslimin pada tahun …., Sayyid Quthub meninggal

188 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

tanpa memperhatikan hakikat iman yang berada di belakangnya tidak akan membawa kepada

kebaikan.146

Yang penting menurut pandangan Islam adalah bahwa hakikat musyawarah itu secara

substansial ditegakkan di tengah masyarakat dan terwujud dalam kehidupan tanpa dibatasi

dengan cara atau teknik. Oleh sebab itu Rasulullah Saw tidak mengharuskan satu cara

tertentu untuk melaksanakan musyawarah, melainkan melakukannya dengan cara-cara yang

berbeda. Kadang-kadang ia mengajak bermusyawarah satu orang, lalu beliau menerima

pandangannya dan melakukan apa yang disarankan kepada beliau itu meskipun tidak

sependapat sebagaimana yang terjadi dengan khabab bin Mundzir dalam memilih tempat

bagi pasukan Islam di Badar. Begitu pula pendapat Salman al-Farisi,147 diterima oleh

Rasulullah Saw untuk menggali parit di sekitar Madinah pada perang Khandak.148

Kadang-kadang beliau meminta pendapat dua atau tiga orang dan biasanya beliau meminta

pendapat dari Abu Bakar dan Umar bin Khathab r.a. seperti yang dilakukan pada perang

Ahzab, beliau meminta pendapat Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah. Seperti yang beliau

lakukan dengan meminta pandangan Usamah bin Zaid dan Ali bin Abi Thalib mengenai

perceraian beliau dengan isterinya.149

Kadang-kadang beliau meminta pandangan khalayak masyarakat melalui utusan dan

perwakilan mereka untuk menyuarakan masyarakat yang mereka wakili, sebagaimana yang

terjadi setelah perang Hunain, ketika kaum muslimin mendapat bagian harta rampasan, para

wanita dan anak-anak, kemudian utusan Hawazin datang meminta kemurahan Rasulullah

Saw lalu beliau bersabda: "Amma ba'du, sesungguhnya saudara-saudara kamu itu datang

dengan bertobat dan aku telah memikirkan untuk mengembalikan para tawanan kaum wanita

dan anak-anak mereka. Barang siapa yang hendak berbaik hati di antara kalian, maka

lakukanlah. Barang siapa diantara kalian tetap pada pendiriannya memegang bagiaanya

hingga kami memberinya dari awwal fa'i yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita maka

lakukanlah". Kemudian bersabda lagi, "Apa yang menjadi bagianku dari bani Abdul

Muthalib adalah milik kalian." Kaum Muhajirin berkata, "bagian kami adalah untuk

Rasulullah Saw," Kaum Anshar berkata: "Bagian kami juga untuk Rasulullah Saw." al-

Aqra'bin habis berkata: "Aku dan Bani Tamim tidak," Uyainah150 berkata: "Aku dan bani

dunia pada 22 Juli 1966 dengan hukuman mati. Diantara karangan beliau yang terkenal adalah al-'Adalah al-Ijtima'iyyah fi

al-Islam, Fi Dzilal Al-Qur'an, Nahwa Mujtama'. Lihat Ahmad Barmawi, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia, op.cit, h. 41 146 Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi. op.cit., h. 12-13 147 Abu Abdillah Al-Farisi al-Romhurmzi al-Ashbahani, orang pertama-tama masuk Islam dari Persia, sahabat nabi dan

menjadi pembantu Rasulullah Saw, ia adalah yang mengusulkan membuat parit pada perang Khandak, wafat th. 34 H, lihat

al-Shafdli, al-Wafi bi al-Wafiyat (Mauqi'ul Warrak: Maktabah Syamilah), jilid 5, h. 99 148 Shafiyu al-Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, op.cit., h. 390 149 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit, h. 73 150 Sufyan bin Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badar al-Fauzari, masuk Islam sebelum Fathu Makkah, dan ia ikut

Fathu Makkah, lihat Ibnu Abdil Bar, al-Ishti'ab Fi Ma'rifati Ashhab, op.cit., jilid I, h. 387

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 189

Fujarah tidak," Abbas bin Mardas al-Sulami berkata: "aku dan bani Sulaim tidak," Bani

Sulaim berkata, "Bagian kami untuk Rasulullah Saw".151

Kemudian Rasulullah Saw bersabda:

قبه سع الله صي الله عي عي اب لا رذس ار ن ف رىل ى أر فبسخعا زز شفعا اىب عشفبؤم أشم

"Aku tidak tahu siapa diantara kalian yang merelakan itu dan siapa yang tidak merelakan.

Maka pulanglah kalian agar para tetua kalian menyampaikan masalah kalian kepada kami"

(HR. Bukhari)152

Mereka lalu pulang untuk berbicara dengan para tetua mereka. Kemudian setelah itu mereka

kembali menemui Rasulullah Saw dan memberitahukan bahwa mereka telah berbaik hati dan

merelakan semuanya.153 Dari sini dapat dimengerti bahwa kaum muslimin tidak terikat

dengan cara bagaimana pelaksanaan musyawarah itu atau berapa jumlah ahli al-syûrâ.

Dengan demikian terbuka bagi akal manusia untuk menggunakan sarana-sarana modern

dalam pelaksanaan musyawarah dan anggota majlis al-syûrâ. Boleh menggunakan jalan

pemberian suara secara rahasia yang melibatkan semua umat Islam yang telah dewasa dan

sehat mental, dengan berbagai sarana yang belum ada di masa lalu.

Pemberian saran dapat melalui dua majlis:

a. Majlis terpilih melalui pemilihan langsung dari masyarakat

b. Majlis lain yang ditentukan dari penguasa, mencakup ulama, teknokrat dan kaum

professional. Majlis ini berperan memberi saran teknis kepada majlis al-syûrâ tanpa

memaksakan atau campur tangan dalam urusan Negara. Sebab para anggota majlis rakyat

banyak dihadapkan pada masalah-masalah teknis operasional yang tidak menjadi bidang

keahlian mereka, seperti menyetujui perjanjian hukum atau pembangunan proyek nuklir,

atau masalah operasional apapun, atau proyek yang membutuhkan adanya pandangan

yang bersifat masukan teknis khusus atau tidak.

Karena ilmuan atau pakar di bidang tertentu tidak memiliki waktu cukup untuk

menggeluti politik atau berkomunikasi dengan masa agar mereka memiliki basis rakyat

yang dapat menyambungkan mereka dengan majlis al-syûrâ yang terdiri dari majlis rakyat

terpilih dan majlis teknik operasional yang dengan demikian menggabungkan antara basis

masa rakyat dengan keahlian ilmiah dalam satu waktu, tidak merugikan salah satu dari

keduanya dengan mengorbankan yang lain.154

151 Ibnu Katsir, Sirah Ibnu Katsir, op.cit., jilid 3, h. 668, Shofiyu al-Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, op.cit., h.

556 152 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, op.cit., jilid 3, h. 145 153 Ibid 154 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit., h. 74

190 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Konsep pemilihan langsung ini diangkat dari peristiwa Bai'atu al-Aqabah kedua, Nabi

Saw telah meminta kepada orang-orang yang memberi baiat kepada beliau dalam

peristiwa itu agar memilih diantara mereka dua belas orang utusan. Lalu mereka memilih

Sembilan dari golongan khazraj dan tiga dari golongan Aus dengan mempertimbangkan

dalam pemilihan mereka perbandingan jumlah para pemberi baiat. Dari golongan Khazraj

enam puluh tiga orang memberi baiat sedangkan dari golongan Aus dua belas orang yang

memberi baiat.155

Perlu diingatkan di sini bahwa bisa jadi dalam proses musyawarah terjadi "Tanazu"

(perbedaan pandangan) antara ahli al-syûrâ. Dalam hal ini Al-Qur'an memberikan arahan:

ئى الله ء فشد ف ش ربصعز لا فا رأ أزغ ش اخش رىل خ اى ثبلل رإ ز م عه ئ اىش

"kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia

kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada

Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya." (QS. An-Nisa/4: 59)

Kembalikan kepada nash-nash yang substansinya sesuai dengan persoalan yang dihadapi,

jika tidak terdapat, maka kembalikan kepada prinsip umum dalam manhaj dan syariah.156

Inilah diantara keistimewaan manhaj Allah SWT, di satu sisi membimbing dan

melindungi manusia dan di sisi lainnya ia memuliakan dan menghargai manusia serta

menjadikan akalnya pada kedudukan untuk bekerja dalam manhaj, kedudukan untuk

bekerja dengan sungguh-sungguh (berijtihad) dalam memahami nash-nash (dalil-dalil)

yang ada dan berijtihad untuk mengembalikan hal-hal yang tidak ada dalilnya kepada

dalil dan prinsip umum dalam agama.157

Penulis melihat salah satu hikmah perintah mengembalikan persoalan kepada Allah SWT

dan Rasul-Nya disaat terjadi perbedaan pandangan adalah agar para ahli al-syûrâ dapat

terhindar dari hawa nafsu yang mendorong untuk mencari menang sendiri dan bukan

solusi yang terbaik. Oleh karena itu dalam penutup ayat tersebut iman menjadi

persyaratannya.

I. Keputusan Majlis al-syûrâ

Keputusan majlis al-syûrâ mengikat atau wajib ditaati dan dilaksanakan. Firman Allah SWT

ف ش ربصعز فا ن ش أى الأ عه أغعا اىش ا أغعا الله آ ب أب اىز ز م عه ئ اىش ئى الله ء فشد

رأ أزغ ش اخش رىل خ اى ثبلل لا رإ

155 Ibnu Katsir, Sirah Ibnu Katsir, op.cit, jilid 2, h. 198 156 Sayyid Quthub, Fi Zhilal Al-Qur'an, op.cit, h. 691 157 Ibid

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 191

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di

antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah

ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada

Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

(QS. An-Nisa/4: 59)158

Ketika Allah SWT memerintahkan kepada pemimpin untuk berlaku adil terhadap rakyat,

Allah SWT juga memerintahkan kepada rakyat untuk mentaati pemimpin. Oleh karena itu

Ali bin Abi Thalib berkata: Kewajiban pemimpin adalah menegakkan hukum yang

diturunkan oleh Allah SWT dan melaksanakan amanah. Bila hal itu sudah ditegakkan maka

kewajiban rakyat adalah mendengar dan mentaati pemimpin.159

Tentu saja kewajiban mentaati pemimpin tersebut selama kebijakan, keputusan ataupun

tuntutannya tidak bersebrangan dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena

ituu lafadz "Athi'u" disebutkan pada lafadz Allah SWT dan Rasul Saw tapi tidak disebut

pada uli al-Amri, mengandung makna, kepatuhan kepada uli al-amri kepatuhan bersyarat

yaitu selama uli al amri tetap dalam koridor hukum Allah SWT dan Rasul-Nya.160

Rasulullah Saw bersabda:

ف )سا اىجخبس(ع عي سظ الله ع قبه اىج صي الله عي عي: اب اىطبعخ ف اىعش

"Dari Ali ra. Telah bersabda Nabi Saw: "Sesungguhnya ketaatan itu hanya berlaku pada

kebaikan (HR. Bukhari).161

J. Kesimpulan

1. Musyawarah merupakan salah satu perintah Allah SWT yang sangat mendasar dalam

berbagai skala (dalam keluarga, masyarakat, dan negara)

2. Lingkup musyawarah adalah semua urusan yang terkait dengan kehidupan manusia

yang belum ada nash Qathie

3. Hasil musyawarah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi

4. Ahli al-Syura/Ahlu al Halhi wa al-Aqli/Ahlu al-Ikhtiyar adalah para pakar

dibidangnya para politisi, para komandan militer, yang beriman dan takwa kepada

Allah SWT.

5. Musyawarah merupakan urung rembug para ulama, para pemimpin dan para pakar

membahas suatu atau berbagai masalah secara serius dengan tujuan memperoleh jasa

158 Diriwayatkan oleh Imam BUkhari dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun pada Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin 'Adi

ketika Rasulullah Saw mengutusnya dalam sariyah… lihat M. Nasib al Rifa'i, Tafsir al-'Aliyi al-Qadir Likhtishar Tafsir Ibnu

Katsir, (Riyad: Maktabah al-Ma'arif, 1988), cet. Ke-5, jilid 1, h. 404 159 Fakhruddin al-Razi, al Tafsir al-Kabir, op.cit., jilid 10, h. 115 160 Sayyid Quthub, Fi Zhilal Al-Qur'an (Beirut: Dar al-Syuruq, 1980), cet. Ke-9, jilid 2, h. 691 161 Imam Bukhari, Shahih Bukhari (Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2004), Kitab al-Ahkam, bab al-Sam'i wa al-Tha'at li al-Imam

Ma lam takun ma'shiyah, jilid 4, h. 360

192 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 193

ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM PERSEPEKTF FIQIH SIYASAH

UNTUK MENGEMBANGKAN MODEL DEMOKRASI

BERKETUHANAN YANG MAHA ESA1

Oleh : Dr. Zahratul Idami, SH, MH2

Abstrak

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang telah dipilih oleh semua negara di dunia,

Indonesia sebagai negara yang banyak penduduk muslimnya, dermokrasi yang didasarkan pada

Pancasila, tentu dalam menerapkan demokrasi akan dipengaruhi oleh agama yang dianut, dan

nilai-nilai Pancasilan tersebut, akan tetapi Islam sangat mengedepankan kepada keadilan dan

kebenaran sehingga tujuan dari tulisan ini adalah mengkaji bagaimana sebenarnya Islam dan

Demokrasi dalam perspektif fiqh siyasah yang nantinya akan dikembangkan menjadi model

demokrasi berketuhanan Yang Maha Esa

1. Pendahuluan

Demokrasi sudah dikenal pada zaman Yunani kuno dengan sebutan direct

democration yang dipraktekkan di negara kota (city-state). Sebagaimana yang dipahami,

bahwa di negara kota ini hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan

secara langsung tanpa melalui mekanisme perwakilan yang dilakukan sekelompok orang.

Demokrasi berdasarkan konstitusi atau demokrasi konstitusional (constituonal

democracy) adalah sebuah frasa yang hadir dengan sejarah sangat panjang. Di zaman

kekaisaran Romawi kata constitution mula-mula digunakan sebagai bahasa teknis untuk

menyebut the acts of legislation by the Emperor.3

Demokrasi konstitusional adalah pemerintahan yang kekuasaan politik dan

kekuasaan pemerintahannya dibatasi oleh konstitusi. Dalam penegrtian itu Almon Leroy

memiliki dua subtansi esensial, yaitu a constitutional and a democratic ingredient. Lebih

jauh Almon L. Way, menjelaskan bahwa the contitutional ingredient of modern

constitutional democracy is called “contitutionalism” or “constitutional goverment.”

Sementara itu, the democratic ingredient of modern contitutional democracy is

representative democracy and relates to: who holds and exercises political authority, how

political authority is acquired and retained, and siqnificance of the latter or regards

1 Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di

Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi danb Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas hukum UI, 2004, hal. 2

194 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

popular control and public acountability of those persons who hold and exersize political

authority.4

Demokrasi merupakan pilihan bangsa Indonesia sejak bangsa Indonesia

memproklamirkan kemerdekaannya, sebagaimana yang dituangkan dalam Sila keempat

tersebut yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan.” Pancasila yang merupakan ideologi, falsafah hidup

bangsa atau nama lain. Sila keempat ini menjadi dasar pengakuan terhadap kedaulatan

rakyat yang diejawantahkan dalam prinsip-prinsip dasar dan demokrasi. Proses bernegara

dan berdemokrasi dalam suatu negara bukan proses yang instan akan tetapi selalu

berkembang dan mengalami pasang surut seperti di Indonesia.

Bagi bangsa Indonesia yang telah memilih demokrasi sebagai pilihan para pendiri

bangsa, namun demokrasi sempat juga terpinggirkan, akan tetapi pada era reformasi hal

ini kembali muncul dan era Reformasi telah mengembalikan kedaulatan rakyat sebagai

dasar bernegara memalui mekanisme demokrasi.

Dalam Islam untuk mengatur sesuatu diperlukan negara dan negara dipelajari

dalam fiqh siyasah dan yang lebih dikenal dalam Islam adalah Syura sedang demokrasi

itu adalah yang berasal dari Barat, akan tetapi nilai-nilai demokrasi yang baik yang

dipralktekkan oleh Barat sebenarnya telah ada dalam Islam bahkan Islam lebih

mengedepankan kepada kepentingan keadilan dan kebenaran bukan kepada suara rakyat

secara keseluruhan meskipun diragukan kebenarannya.

Tulisan ini ingin mengkaji Bagaimana sebenarnya Islam jika dikaitkan dengan

demokrasi dalam perspektif fiqh siyasah, Bagaimana model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa.

2. Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data

sekunder dari berbagai literatur dan jurnal, makalah serta berbagai tulisan yang berkaiatn

dengan judul yang akan dikaji. Setelah data terkumpul maka akan dianalisis dengan

menggunakan teori yang ada dan akan disajikan dengan pendekatan kualitatif.

3. Hasil dan Pembahasan

Pengertian demokrasi secara harfiah sudah tidak asing lagi, hampir sebagian

besar umat manusia dimuka bumi ini telah menggunakan dan menghayati demokrasi

ini. Istilah-istilah demokrasi berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos dan krata.

Demos artinya rakyat, sedangkan Krata artinya pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah:

4 http://www.proconservative.net/CUNAPo/Sci201PartTWOA.shtml, diakses 25 September 2012

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 195

1. dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat;

2. Bentuk pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan

perantaraan wakilnya;

3. Gagasan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan

dalam suatu pemerintahan.5

Dengan demikian, demokrasi adalah merupakan suatu pola pemerintahan

dimana kekuasaan untuk memerintah berasal dari diri mereka (rakyat) yang

diperintah. Dengan kata lain, demokrasi adalah pola pemerintahan

yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat (di Indonesia bisa

dikatakan dengan “Gotong Royong) dalam mengambil keputusan oleh mereka yang

diberi wewenang, legitimasi pemerintah adalah kemauan rakyat yang memilih dan

mengontrolnya.

Teori demokrasi, sebagaiman dikemukakan oleh John Locke dan “nasionalis-

nasionalis” abad ke-18 lainnya membantah keberatan-keberatan Plato terhadap

demokrasi dengan dua cara:

1. Para pendukung teori ini sangat percaya pada kemampuan individu-individu untuk

berdiri di luar kepentingan pribadi dalam keputusan-keputusan kolektif mereka

dan memutuska demi kemakmuran bersama;

2. Para teoritis demokrasi berpendapat bahwa wakil-wakil yang dipilih akan

memainkan peran ganda: mereka akan menjadi penyuara pendukung-pendukung

mereka dan menjadi hakim yang independen mengenai apa yang tepat bagi

kemakmuran masyarakat;

Dalam sistem demokrasi, rakyat menjadi titik sentral sebab rakyatlah yang

pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam menjalankan Kekuasaan Negara dan

Pemerintah. Menurut Robert Dahl, sebagaimana dikutip oleh Sidik Jatmiko,

mensyaratkan ada 8 (delapan) hal cermin dari demokrasi, sebagai berikut:

1. kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi (bersetikan dan

berkumpul);

2. kebebasan berekspresi (mengeluarkan pendapat);

3. hak memilih dan dipilih;

4. kesempatan yang relatif terbuka untuk menduduki jabatan-jabatan publik;

5 Lailah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Palanta, t.th) hlm.116

196 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

5. hak bagi pemimpin untuk berkesempatan untuk mendapatkan keuntungan atau

member dukungan;

6. alternatif sumber-sumber informasi;

7. pemilu yang bebas dan adil;

8. pelembagaan pembuatan kebijakan pemerintah yang merujuk atau tergantung

suara rakyat lewat pemungutan suara maupun cara-cara lain yang sejenis.

Sebagian para pakar demokrasi menyederhanakan pengertian demokrasi ada 2 hal :

1. Demokrasi adalah paham kebebasan dalam bertindak dan melakukan sesuatu

dalam kehidupan bersama;

2. Hak untuk menyatakan berbagai kepentingan (utilitarianisme), hak dan

tanggungjawab, serta hak untuk berserikat.

Demokrasi barat merupakan produk renaissance sejak abad ke-17 dan 18 M.

Selama abad pertengahan Barat merasakan pengalaman pahit hidup dibawah

kekuasaan raja yang absolut. Sikap absolut tersebut tidak jarang didukung oleh gereja.

Gereja ternyata memegang peranan menentukan dalam bidang-bidang agama, sosial,

politik, dan ekonomi. Pada abad pertengahan gereja sangat mendominasi kehidupan

masyarakat.

Henry S. Lucas menyebutkan bahwa pemimpin gereja (uskup) pada dasarnya

adalah seorang bangsawan. Kehidupannya tidak berbeda dengan tuan tanah,

kehidupannya tidak berbeda dengan tuan tanah feudal yang harus tunduk kepada

bangsawan yang lebih tinggi kedudukannya. Selain itu, gereja juga mengklaim

sebagai penafsiran tunggal ajaran-ajaran Kristen kalau mempertimbangkannya.

Akhirnya, sejalan dengan meningkatnya pengetahuan orang-orang barat, mereka tidak

mempercayai agama. Manusialah yang berhak menentukan kehidupan mereka tanpa

boleh dicampuri pleh agama (Kristen). Inilah awal terjadinya “sekularisme” dalam

masyarakat barat sejalan dengan perkembangan demikian, lahirlah pemikiran-

pemikiran yang bersifat memberontak terhadap agama dan Tuhan.

a. Islam dan Demokrasi

Dalam Islam sebagai agama yang sempurna ada beberapa kalangan yang berpendapat

bahwa pengertian demokrasi ini tidak ada dalam Islam, yang ada adalah Syura, akan

tetapi antara Demokrasi dengan Syura juga ada yang berbda pendapat. Ada yang

menyatakan berbeda dan juga ada yang berpendapat antara Syura dan Demokrasi itu

sama. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa antara Demokrasi dengan Syura

itu berbeda karena

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 197

Pengaturan terhadap musyawarah dalam Islam diatur dalam Al-Quran di dalam Q.S.

Ali-Imran [3] : 159

لنت لهم ن ٱلله فبما رحمت مى ل من ح فو ظ ٱل نت ف ا ل مز رم ف ٱ ا ز لهم ٱ نم فٲ

ٱلله هل شمت ف و ٱلم فإذ ظن ه ٱلله ى

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka

menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma‟afkanlah mereka, mohonkanlah

ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.

kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada

Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

3. di dalam Q.S. Asy-Syura [42] : 38

ٱلهذ هم ن ـ ا رسقن ممه رى بظنم أمزم ة ٱلصه أقام م لزبى جاب ن ٱ

Artinya: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya

dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah

antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan

kepada mereka.

Al-Quran tidak membicarakan masalah ini lebih jauh dan detail. Kalau

dilihat secara mendalam, hikmahnya tentu terlalu besar. Al-Quran hanya

memberikan seperangkat nilai-nilai yang bersifat universal yang harus diikuti

umat Islam. Sementara masalah sistem, cara, bentuk dan hal-hal lainnya yang

bersifat teknis diserahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai kebutuhan mereka

dan tantangan yang mereka hadapi. Allah memberikan kebebasan sepenuhnya

kepada umat Islam untuk menggunakan akal dan pikiran mereka, sejauh tidak

melanggar batasan-batasan yang ditentukan-Nya dalam Al-Quran. Agar prinsip

syura ini dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah, setidaknya

musyawarah yang dilakukan harus mempertimbangkan tiga hal: Masalah apa saja

yang menjadi lapangan musyawarah; Dengan siapa musyawarah dilakukan;

Bagaimana etika dan cara musyawarah dilakukan.

Menurut sebahagian ahli tafsir, masalah musyawarah ini hanyalah

dibatasi terhadap urusan-urusan duniawi yang tidak ada wahyunya, bukan

198 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

persoalan agama. Pendapat ini dianut oleh Hasan al-Bisri dan al-Dahhaq. Menurut

mereka, Nabi diperintahkan oleh Allah untuk bermusyawarah tidaklah

menunjukkan bahwa Nabi membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi perintah

ini dimaksudkan untuk mendidik umatnya betapa musyawarah ini menurut suatu

yang penting dalam kehidupan sosial politik umat Islam.

Dari pemahaman ini, maka masalah-masalah yang sudah baku dan

terperinci diuraikan oleh Allah dan Rasulnya tidak mendapat tempat untuk

dimusyawarahkan. Karenanya Islam tidak membenarkan melakukan musyawarah

dalam masalah-masalah seperti dasar-dasar keimanan atau ibadah kepada Allah.

Ini merupakan otoritas Allah sepenuhnya, sebaliknya terhadap masalah-masalah

yang dijelaskan oleh Allah dan Rasulnya secara global dan umum atau yang tidak

dijelaskan sama sekali, maka umat Islam diperintahka untuk melakukan

musyawarah sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebagai contoh, musyawarah

dilakukan dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik seperti menetapkan

hukum pajak, perdagangan, atau yang lain-lain.

Komparasi antara keduanya (Syura dan Demokrasi) mengingat beberapa

kalangan menyamakan antara keduanya. Meskipun komparasi antara keduanya

tidaklah tepat mengingat syura berarti memimta pendapat sehingga dia adalah

mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan bagian dari proses

sistem pemerintahan Islam. Sedangkan demokrasi adalah suatu pandangan hidup

dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem

pemerintahan, sehingga bukan sekadar proses pengambilan pendapat. Dengan

demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara sistem

pemerintahan Islam (Syura) dengan demokrasi itu sendiri.

Menurut Muhammad Iqbal, dari segi prinsip, konsep syura itu berasal dari

Allah swt. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan demokrasi

adalah konsep ciptaan manusia yang lahir dari Barat. Adapun dari segi aplikatif,

pelaksanaan demokrasi tidak terlepas dari budaya Barat yang beberapa hal dalam

beberapa sisi jelas berbeda dengan nilai ajaran Islam. meskipun tidak ada

perbedaan yang principal antara Syura dan Demokrasi, tetapi apabila dilihat lebih

jauh dalam praktik demokrasi yang dilakukan di negara-negara Barat maka perlu

diberi catatan agar tidak segera mengidentikkan syura dengan demokrasi.

Bagaimanapun kedua hal tersebut merupakan dua konsep yang berbeda, baik

secara prinsip maupun aplikatif.

Islam, menurut Iqbal, jelas menolak segala bentuk otoritarianisme dan

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 199

kediktatoran, namun Islam juga tidak menerima model demokrasi Barat yang telah

kehilangan basis moral dan spiritualnya. Iqbal tidak dapat menjadikan demokrasi

modern sebagai model. Karenanya, ia mengajukan konsep demokrasi yang

spiritual yang dilandasi etika dan moral ketuhanan. Islam mengubah asas

demokrasi dari penindasan ekonomi ke penyucian rohani dan mengaturan rohani

yang lebih baik. Jadi, yang ditolak Iqbal bukan demokrasi an sich, melainkan

praktiknya yang berkembang di Barat. Sebagai alternative, Iqbal menekankan

prinsip-prinsip demokrasi yang bisa disejajarkan dengan syura dalam

Islam. Pertama, tauhid sebagai landasan asasi; kedua, kepatuhan kepada

hukum; ketiga, toleransi sesama warga; keempat, demokrasi Islam tidak dibatasi

oleh wilayah geografis, ras, warna kulit, atau bahasa; kelima, penafsiran hukum

Tuhan harus dilakukan melalui ijtihad.6

Abdul Hamid Ismail juga membuat beberapa perbedaan mendasar antara

syura dengan demokrasi:

1. Kekuasaan majelis syura dalam Islam terbatas sejauh tidak bertentangan dengan

nash. Sementara demokrasi yang menekankan kekuasaan mutlak manusia tidak

mempunyai batas yang boleh dan tidak boleh dimusyawarahkan, sejauh anggota

dan masyarakat menghendaki.

2. Hak dan kewajiban manusia dalam syura dibatasi oleh kewajiban sosial dan

agama. Sedangkan dalam demokrasi, kebebasan manusia berada diatas segalanya.

3. Syura dalam Islam ditegakkan atas dasar akhlak yang berasal dari agama,

sementara demokrasi modern berdasarkan suara mayoritas.

Islam yang merupakan agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia

tentunya akan memegang peranan yang besar dalam praktek berdemokrasi. Adapun

sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan dalam Islam sangat terkait dengan

kondisi konstektual yang dialami oleh masing-masing umat. Dalam rentang waktu

yang sangat panjang sejak abad ke 7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah

mempraktekkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan

khilafah (khilafah berdasarkan syura dan khilafah monarki), imamah, monarki dan

demokrasi, sistem tersebut adalah:

1. Sistem Pemerintahan Khilafah

6 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Prenada Media Grup,

2014, hal. 214

200 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial,

sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa.

2. Khilafah Berdasarkan Syura

Sistem pemerintahan khilafah Islamiyah berdasarkan Syura pernah

dipraktekkan pada masa khulafa‟ Ar Rasyidin ketika mereka memimpin umat Islam

di beberapa kawasan yang didasarkan pada sistem musyawarah sebagai paradigma

dasar kekuasaannya.

3. Khilafah Monarki

Sistem monarki merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja

sebagai sentral kekuasaan. Seorang raja berhak menetapkan peraturan bagi rakyatnya.

4. Imamah

Imamah adalah suatu istilah yang netral untuk menyebut sebuah negara.

Dalam literatur klasik, istilah imamah dan khilafah disandingkan secara bersamaan

untuk menunjuk pada pengertian yang sama yakni negara dalam sejarah Islam. tetapi

dalam perkembangannya imamah kemudian menjadi istilah khusus yang

dipergunakan di kalangan syi‟ah yang dikonstektualisasikan dalam bentuk wilayah al

faqih.

5. Demokrasi

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan

penting pemerintah di belakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung atau

tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas

masyarakat dewasa yang berada dalam posisi diperintah.

6. Monarki

Monarki adalah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana yang

berhak menggantikan sang raja adalah keturunannya. Rakyat tidak memiliki hak

untuk menggantikan kekuasaan.7

b. Demokrasi di Indonesia

Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan

sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang

konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah

konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi adanya pembatasan

7 Mujar Ibnu Syarif, Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta:Erlangga, 2008, hal.

219.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 201

kekuasaan pemerintahan atau eksekutif, jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak

warga negara.

Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan

amandemen atas UUD 1945. Dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi

yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang

lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh

MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi

sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini. Jika masyarakat dalam

perkembangannya suatu saat menghendaki Amandemen lagi, maka amademen harus

dilakukan dengan mengedepankan kepentingan umum, sehingga praktek

berdemokrasi akan lebih baik.

Dikutip dari majalah Repulika on line bahwa Menteri luar Negeri Retno LP

Marsudi pada acara Bali Democracy Forum (BDF) IX di Nusa Dua, Kamis

(8/12/2016)" mengatakan bahwa Demokrasi dan Islam di Indonesia menjadi aset

pluralisme dunia." Banyak sekali negara membahas tentang Islam dan demokrasi

yang ada di Indonesia, sehingga Islam dan Demokrasi di Indonesia menjadi aset

dunia karena banyak negara selalu membahas keduanya dalam berbagai forum

demokrasi. Di Indonesia, kehidupan berdemokrasi tercermin dengan adanya situasi

dan suasana nyaman di mana semua orang bisa menyampaikan pendapat dan

pengalaman masing-masing. Sejak berabad lalu agama memainkan peran penting

bagi kehidupan manusia, sosial, ekonomi, dan politik di tatanan nasional, regional dan

global, hal ini dikatakan oleh Presiden Joko Widodo juga dalam acara tersebut.

Selanjutnya Presiden juga mengatakan bahwa selain agama, budaya dan toleransi

menjadi benang merah yang mempersatukan dunia yang berbeda. "Pemerintah perlu

aktif mendorong sinergi agama, demokrasi, dan toleransi di mana semuanya

terefleksikan dalam kebijakan nasional," kata Jokowi. Caranya adalah dengan

melakukan pendekatan top down, baik itu terkait praktik good governance, supremasi

hukum, dan demokrasi di tingkat akar rumput. Jokowi meyakini bahwa seluruh

negara di dunia sepakat akan pentingnya arti demokrasi bagi kehidupan bernegara,

serta hubungan antarnegara di dunia. Selanjutnya beliau juga mengatakan "Tugas kita

semua adalah memastikan bagaimana demokrasi berjalan baik, mendukung stabilitas

dan perdamaian, serta mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat," katanya. Mantan

Sekretaris Jenderal PBB 1997-2006, Kofi Annan mengatakan dirinya percaya bahwa

202 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

agama, demokrasi, dan pluralisme tidak saling menghalangi satu sama lain. Agama

pada faktanya menggiring kemajuan dalam kehidupan sosial dan bernegara, bahkan di

negara sekuler sekalipun. "Agama tidak mengajarkan membunuh sesama. Agama

adalah bagian dari prinsip pluralisme," katanya. Semboyan Indonesia 'Bhinneka

Tunggal Ika,' kata Kofi menjadi contoh bagi banyak negara di dunia.8

c. Demokrasi dalam Perspektif Fiqh Siyasah

Kata fiqih secara leksikal berarti tahu, paham dan mengerti. Secara etimologis

fikih adalah keterangan tentang pengertian atau paham dari maksud ucapan si

pembicara, atau pemahaman yang mendalam terhadap maksud-maksud perkataan dan

perbuatan. Dengan kata lain istilah fiqih menurut bahasa adalah pengertian atau

pemahaman dan pengertian terhadap perkataan dan perbuatan manusia. Secara

terminologis, menurut ulama-ulama syara‟ fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-

hukum yang sesuai dengan syara‟ mengenai amal perbuatan yang diperoleh dari dalil-

dalilnya yang tafshil (terinci, yakni dalil-dalil atau hukum-hukum khusus yang

diambil dari dasar-dasarnya, Al-Qur‟an dan Sunnah). Jadi fiqih menurut istilah adalah

pengetahuan mengenai hukum agama Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an dan

Sunnah yang disusun oleh Mujtahid dengan jalan penalaran dan Ijtihad.9

Siyasah secara etimologis adalah mengatur, mengendalikan, mengurus, atau

membuat keputusan.10 Sedangkan Siyasah secara terminologis adalah mengatur atau

memimpin sesuatu dengan cara yang membawa pada kemaslahatan. Dan Siyasah

adalah ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri,

yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri, serta kemasyarakatan, yakni

mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqamah.11

Politik Islam (fiqh siyasah), adalah hal-hal yang berkaitan dengan

tata hubungan masyarakat, kemudian dari unit terkecil ini menjadi

masyarakat besar bahkan negara. Hukum Islam ini mengatur masalah

perundang-undangan, keuangan negara, hubungan pemerintah dengan rakyat

dan hubungan dengan negara lainnya. Termasuk bagaimana cara mengelola

negara secara baik. Dengan demikian fiqih siyasah menduduki peranan

yang sangat penting dalam penerapan dan aktualisasi hukum Islam. Dalam

fiqih siyasah diatur bagaimana sebuah ketentuan hukum Islam dapat

8 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/08/ohupuq359-islam-dan-demokrasi-di-

indonesia-jadi-aset-dunia

9 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 21. 10 Djazuli, Fiqh Siyasah (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), 40. 11 Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah,..., hal. 21.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 203

berlaku secara efektif dalam masyarakat Islam. Tanpa keberadaan negara

dan pemerintahan, aplikasi hukum Islam sulit diberlakukan, khususnya

bidang-bidang yang menyangkut kemasyarakatan yang komplek.

Di Indonesia pemilihan presiden yang demokratis sudah tercermin dalam

pemilu dan keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut

sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa dilihat

dari terpenuhinya maqashid syari‟ah (tujuan syar‟i) dari imamah (pemerintahan)

Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait

dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan dalam Al-Iqtishad fil „Itiqad

menyatakan, “Dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang

pemimpin (presiden) karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia

ini”.12 Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar‟i di

atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan lain

sebagainya.

d. Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa

Demokrasi Berketuhanan yang Maha Esa ini dapat diwujudkan dengan cara

mengembalikan semua keputusan yang diambil oleh rakyat berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Sila Pertama dari Pancasila ini harus menjadi dasar dalam

berdemokrasi karena jika tidak didasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa bisa

menimbulkan kedaulatan yang bebas, absolut, tidak terbatas dan akan mengakibatkan

tidak ada lagi kontrol terhadap demokrasi yang dijalankan. Demokrasi Pancasila yang

merupakan demokrasi negara Indonesia harus dibangun dan didasarkan pada lima sila

akan tetapi pada awal dari kelima dasar tersebut adalah sila Ketuhanan Yang Maha

Esa. Oleh sebab itu jika kedaulatan rakyat tidak didasarkan pada sila pertama, maka

demokrasi menjadi tidak ada pegangan.

Dengan demikian model dari demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa antara

lain adalah:

1. Menjunjung tinggi agama yang dianut oleh pelaku demokrasi dalam bernegara

dan berdemokrasi

2. Menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan karena Allah itu Maha Benar dan

Maha Adil, maka pelaku demokrasi harus selalu membela kebenaran dan

mewujudkan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan.

12 Imam al-Ghazali, Al-Iqtishad fil „Itiqad, cet. 1988 , hal. 147

204 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

3. Tetap menghargai perbedaan yang ada, tidak mementingkan kepentingan pribadi

atau golongan,

4. Mengatur negara berdasarkan Ketuhanan sehingga nilai-nilai ketuhanan yang bisa

diaplikasikan dalam berdemokrasi akan menghasilkan demokrasi yang baik tidak

akan saling menyakiti baik rakyat atau pemerintah yang dipercaya atau

diamanahkan oleh rakyat untuk memegang kekauasaan dalam peneyelnggaraan

negara.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka Dalam Islam ada pembatasan terhadap demokrasi karena

Islam sangat menjunjung tinggi nilai Ketuhanan sehingga demokrasi yang dimaksud

harus demokrasi yang berlandaskan pada kebenaran yang berasal dari Allah bukan

dengan kedaulatan manusia. Model demokrasi berketuhanan Yang Maha Esa harus bisa

diterapkan di Indonesia dengan menjunjung tinggi sila pertama dari Pancasila pelaku

demokrasi harus tetap bersandar pada agama karena agama menghendaki kepada

kebaikan manusia secara keseluruhan bukan kepada sebagian oreang atau golongan.

5. Daftar Pustaka

Djazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.

Imam al-Ghazali, Al-Iqtishad fil „Itiqad, cet. 1988.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi danb Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi

RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas hukum UI, 2004.

Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 205

APA KESALAHAN ISLAM TERHADAP DEMOKRASI?1

Oleh: Abdul Hadi, M.Ed2

Abstract:

Muslim don’t like democracy or Islam isn’t compatible with democracy, that what is often

spewed by some of Islam’s biggist critics. But look at the picture–a world where much of the

Muslim population lives whithin democratic countries and most Muslims support democracy

prove otherwise. Islam with its misson for human being goodness here and after should not in

comparing with democracy, the first as distinguish civilatation, and the second as path of another

civilatation.

The aim of this paper to disclose some complicated issue of Islam and Democacy, especially how

it point of view in toch with democracy, political system and goverment, and people authority and

so on.The Islamic political system of the country consist of tree componen; Charectristic ,

media/tool, goal. In the chracteristic of Islamic politcal system much semilar with democracy

syistem such as peopel authority, oppositin legitimate,etc. When we talk abaut the tool/media of

this system we have As Syura system which mean freedom which its all variaties, expression,

religion, and politic. The last goal of this Islamic political system is how to achieve justice which

is considered as the main gool of islamic message and vision.

Accountabilitas, Keadilan, As Syura, legal, kebebasan, HAM

Pendahuluan

Demokrasi dan Islam sebuah discourse yang tidak pernah selesai baik ditingkat local maupun

internasional, lebih-lebih pasca tumbangyanya Arab Spring 2012 yang lalu, yang semakin

memperkuat argumenbahwa dunia Arab dan Islam tidak bisa menganut system demokrasi seperti

dunia Barat yang mengklaim sebagai Negara pengusung dan penganut system demokrasi.

Media masa barat dan sekuler turut memberikan andil besar dalam membangun image tersebut,

sebagai contoh ketika Pilkub DKI 2017 dimenangkan oleh Paslon yang beragama Islam melawan

Paslon yang beragama Kristen, CNN dan BBC pada tgl 20 April 2017 dalam siaranya

menyebutkan bahwa kaum konservativ dan radikal Islam telah menang melawan klompok pro

demokrasi di ibukota sebuah Negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar dunia.

Ketika kelompok Islamis semakin menunjukkan kiprahnya dalam percaturan politikakhir akhir

ini, dan berhasil memperoleh dukungan yang cukup siqnikan dalam pemilu, fenomena ini

menjadi perhatian besar di sejumlah mediadan lembaga penelitian, mengenai hal ikhwal korelasi

Islam dan demokrasi, ditambah dengan segudang kebijakan politik dibeberapa Negara yang

mengkaitan Islam dan kaum Muslimin dengan teroris, Isis, Tandhimul Kaidah,dll.

Dari ribuan hasil studi dan penelitian selama ini, lembaga riset dan studi yang menyimpulkan

bahwa Islam anti demokrasi, jauh lebih dominan dibandingkan dengan yang

menyatakansejalandengan demokrasi.Persepsi negative mereka terhadap Islam dapat kita

1 Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di

Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Dosen pada Program Studi Pendidikan Agama Islam - Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam As Syafiiyah.

206 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

maklumi disebabkan karena latar belakang hubungan sejarah negative antara Islam dan

Baratditambah dengan provokasi sejumlah media yang anti Islam. Sungguh menyedihkan

sekali,hal itu juga diamini oleh lembaga riset dan studi yang dikendalikan oleh kelompok muslim

itu sendiri, mereka menolak keras mengkaitkan Islam dan demokrasi, dan menjauhkan Islam

dalam kehidupan bernegara dan politik dan membatasinya hanya pada urusan ritual ibadah dan

alam ghaib.

Timbul pertanyaan berikut ; Apakah Islam dan Demokrasi menjadi sebuah keniscayaan? Kalau

jawabanya demikian; Apakah mungkin meng-integrasikankeduanya dalam membangun sebuah

negara?

Upaya untuk menghadirkan Islam dalam kehidupan, namun mengabaikan sistim demokrasi

sebagai salah satu cara dalam mengatur masyarakat, dan sebagai nilai dalam menggerakkan

mereka, pada hakekatnya telah melalaikan tujuan utama dari syariah (makosid syariah), dan

merusak nilai-nilai kebebasan dalam kehidupan, padahal kebebasan itu sendiri sebagai icon

utama dalam risalah islam. Kalangan muslim yang menolak Demokrasi sebenarnya karena

merasa kuatir dapat merusak batas-batas halal dan haram, sehingga mereka lebih mencari

alternative lain dengan men-syiarkan istilah As-Syura, yang sebenarnya tidak bertentangan

dengan fungsi utama dalam Demokrasi, namun dalam scope dan batasanya.

Jawaban kedua; Apakah Islam dan Demokrasi dapat diintegrasikan? Pertanyaan ini adalah pokok

permasalahan dalam paper ini, dan jawabnya akan terungkap setelah membaca secara utuh dalam

paper ini.

Pembahasan

Demokrasi yes…. Tapi?

Setidaknya Islam ketika diposisikan dengan Demokrasi akan terdholimi minimal dua kali;

pertama ketika dianggap sejalan dengan demokrasi, yang kedua ketika dikatakan melawan

demokrasi, karena meletakkan Islam sejajar dengan demokrasi salah kaprah, dan meletakkaanya

bertentangan dengan demokrasi juga salah, hal yang diperlukan pertama kali adalah melepaskan

Islam dari tuduhan seperti ini, kemudian melakukan pengkajian yang mendalam.

Dari sudut metodologi memposisikan Islam dengan demokrasi tidak dibenarkan, karena Islam

adalah sebuah agama dan risalah yang mengandung prinsip-prinsip mengenai aqidah, ibadah,

muamalah, dan akhlak, sementara demokrasi sebuah sistem dalam pemerintahan dan mekanisme

untuk melibatkan masyarakat agar bisa menentukan pilihanya. Banyak hal yang bisa

menyimpulkan bahwa Islam sejajar dengan demokrasi, akan tetapi perlu disadari bersama bahwa

dimensi agidah dalam sebuah peradaban harus jelas, dan Islam memiliki misi peradaban

tersendiri, sementara demokrasi adalah bagian dari misi peradaban yang lain.Perbedaan semacam

ini tidak perlu diartikan bertentangan dengan demokrasi, karena terdapat persamaan dalam

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 207

beberapa nilai-nilai ideal universal, namun harus tetap dipahami dalam kontek keberagaman

dalam perbedaan.(3)

Dalam kontek lain, perlu disadari juga pembahasan hal ini secara general seperti melihat

kesamaan dasar dan komplikasinya dari sebuah lautan yang dalam, yang menuntut agar seorang

peniliti tidak hanya dengan melempar sebuah gagasan umum saja, tetapi perlu terfukus mencari

benang merahnya dan menhilangkan persepsi yang ada selama ini, agar pembahasanya objektiv

dan proposional.

Pandangan kaum Muslimin- bukan Islam- terhadap demokrasi, adalah suatumasalah yang urgen

namun dalam ketidak pastian, karena hal ini terbebani dengan berat oleh sejarah, dan catatan

sejarah memberikan andil besar yang mendorong adanya rasa ragu, waspada, bahkan juga

penolakan dan tuduhan.

Demokrasi oleh sebagian tidak hanya dipahami sebagai sebuah system pemerintahan yang

berlandaskan pada asas kebebasan, plural, hak berpolitik setiap individu, dll, akan tetapi lebih

dilihat sebagai simbul dari misi peradaban barat yang meng-intimidasi dan merampas hak-hak

umat Islam, diperkuat dengan propaganda media masa yang anti Islam.(4) Dengan demikian

mereka menolak demokrasi bukan karena demokrasinya, tapi pada hakekatnya lebih pada misi

peradaban barat yang berupaya menguasai dan menjajah dunia Islam.

Catatan Untuk Demokrasi

Catatan pertama:

Berkaitan dengan prinsip harus mengadopsi referensi barat dalam hukum ketatanegaraan, dan

dibuat sebagai barometer baik tidaknya ummat manusia, sehingga Barat menjelma sebagai

institusi negara yang berhak memberikan penilaian dan keputusan baik tidaknya sejumlah negara

di dunia ke 3.(5) prinsip ini perlu dicermati dan dikoreksi bukan karena anti terhadap demokrasi,

tetapi lebih pada menjaga marwah diri dan peradaban masing- masing, karena setiap individu

dalam fitrahnya tidak berkeinginan kebenaran ummat yang hetrogen diukur dengan tingkat

loyalitasnya terhadap model-model yang disajiakan oleh Dunia Barat. Kondisi demikian

bertentangandengan nilai-nilaiideal universal manusia, karena mereka adalah hamba yang sama,

demokrasi bukan dianggap sebagai satu satunya pelajaran adab atau syarat utama agar menjadi

beradabyang diintruksikan oleh yang kuat pada yang lemah atau dari menindas pada yang

tertindas.

3 . Fahmi Huwaide (Al IslamWa Demokratiyah)Maktabah El Ahram li tarjemah wannasyr, Cairo pg.95 4 . Jun l Asbusito, James. Biskatori (Al-Islam Wa demokratiyah)Midle Est Journal, volume 3,pg 45. 5 . Fahmi Huwaidi (Al Qur‟an Wassultah)Maktabah El Ahram li tarjemah wannasyr, Cairo pg.65

208 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Catatan kedua

Tertuang dalam pertanyaan berikut:Bolehkah kita mengkritisi demokrasi barat sepertiyang

terjadi selama ini dalam tubuh mereka sendiri? Atau kita pasrah menerimanya dan berkoar-koar

tentang demokeasi dalam setiap waktu? Perdebatan sengit di media barat mengenai sejauhmana

pentingnya partai politik yang tidak lagi suci, karena pengaruh media yang ditunggangi oleh

kepentingan kelompok tertentu, sehingga masyarakat tidak lagi memilih sesui dengan hati

nuraninya, namun dipengaruhi oleh media yang membangun image kelompok tertentu, sehingga

kekuasaan rakyat yang sebenarnya dipertanyakan, karenanya perlu meninjau ulang banyak hal

dalam praktek demokrasi itu sendiri.

Catatan ketiga;

Apakah menerapkan model demokrasi Barat adalah sebuah kewajiban bagi setiap bangsa yang

berbeda kultur dan struktur masyarakatnya. Nilai-nilai demokrasi dalam pradigmnya semua

sependapat, namun yang menjadi perdebatan adalah dalam implementasinya dilapangan, karena

tradisi masyarakat tertentu berbeda dengan tradisi masyarakat lainya, misalnya sebagai contoh di

Negara Mesir adanya partai politiktidak menjadi masalah , akan tetapi di Negara lain seperti

Libanon dan Yaman dengan partai politik akan merusak sistem berkabilah, suku, etnis yang

masihkental kesatuanya.

Catatan ke empat,

Terdapat standar ganda demokrasi dalam prakteknya pada level nasional dan regional, sementara

pada level global banyak pristiwa kudeta terhadap nilai-nilai demokrasi, karena berakar pada

kepentingan bukan atas dasar etika dan kemulian manusia, sehingga negara yang kuat dengan

mudahnya melakukan invasi ke negara yang lemah, ditangan yang kuat hak veto dan

kesengsaraan bagi Negara-negara lemah meskipun kelompok lemah di jagad raya ini adalah

mayoritas. Sejumlah negara adidaya dikultuskan sebagai simbul demokrasi, namun seringkali

Negara tersebut seringkali melakukan kejahatan pada kemanusiaan di negara lain, di internal

negrinya menyerukan sikap tolerans, plural, kebebasan, namun mengusik kedamaian dan

ketentraman negara lain. Sehingga standar demokrasi berasas pada kepentingan dan sangat

subjektif.

Dengan menunjukkan catatan diatas tidak bermaksud untuk mengecilkan atau menghakimi

masalah demokrasi, namun perlu menjadi catatan bersama, selama demokrasi dipahami sebagai

jaminan yang mengantarkan pada kebebasan dan kekuasaan pada rakyat kita wajib

membelanya.Catatan diatas mengenai Islam dan Demokrasi bertujuan untuk mendudukkan

masalah sesuai dengan proporsinya dan sebuah ijtihad untuk menghilangkan beberapa kerancuan

yang menyebabkan perselisihan. Hal itu muncul akibat salah persepsi dalam memandang sistem

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 209

politik Islam dan under estimate terhadap misiIslam dalam bernegara dan membagun

masyarakat.

Karakteristik negara dalam sistem politik Islam

Memahami setiap permasalahan dengan benar artinya telah menyelesaiakn separuh dari masalah

yang ada. Jika persepsi mengenai demokrasi versus Islam semua instrumenya terpenuhi, tentu

merupakan sebuah jaminan yang membuka semua langkah menuju penyelesaian. Pada

hakekatnya kita sedang berhadapan dengan model pahaman yang negatif terhadap keduanya,

namun terhadap Islam porsinyalebih besar.

Penulis tidak ingin menjawab bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut, namuan hanya

berupayauntuk menjelaskan topik ini, dengan menampilkan potret Islam dalam bernegara namun

tidak membahas kasus perkasus karena setiap orang dengan pandanganya sendiri. Potret Islam

dalam bernegara dapat dilihat dari tiga hal yaitu; krakteristikatau ciri ciri yang mendasar,

media/sarana untuk mewujudkanya, tujuan dalam Negara.

Krakteristik Negara dalam persepsi Islam

1. Kekuasaan ada di tangan ummat.

Pilihan ummat dan kerelaanya menjadi syarat untuk keberlangsungan pemerintahan.Menurut

Jumhur Ulamak dari semua aliran teologi Islam; penetapan kepemimpin/imamah harus atas dasar

pilihan umat. Di tangan ummatkepemimpinan itu eksis, karena mereka berhak memilih pemimpin

dan mencabutnya, dari mereka kepemimpinan dimulai, diawasi,dan di evaluasi.(6)

Dr Mohammad Yusuf Musa menyatakan bahwa sumber kekuasan ada ditangan ummat bukan

pada khalifah, sedangkan khlaifah hanya sebagai wakil mereka dalam urusan agama dan urusan

kehidupanya, kekuasaan khalifah bersumber dari mereka, karenanya mereka berhak menasehati

dan meluruskan kholifah jika berbuat salah dan berhak memakzulkanya jika dianggap melanggar

konsitusi, dengan demikian kekuasaan sebenarya ada ditangan mereka bukan pada kholifah yang

mewakilinya.(7)

2. Rakyat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab

Membangun sebuah negara tidak hanya kewajiban pemerintah, rakyat/ummat memiliki

kewajiban dan tanggung jawab yang sama dengan pemerintah.(8) Dalam Alquran ada beberapa

ayat yang khusus berbicara mengenai kewajiban ummat diantaranya: QS. Al Maidah: 8,

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan

(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.dan janganlah sekali-kali kebencianmu

6 . Al Baghdadi (Usuluddakwah) pg 279 7 . Dr.Muhammad Yusuf Musa (Nidhomil Hukmi fil Islam) pg 124 88 . Dr.Muhammad Yusuf Musa (ibid)pg. 116

210 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil

itu lebih dekat kepada takwa.dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Maksud dari ayat diatas untuk melahirkan sebuah masyarakat yang sangat memperhatikan

kemaslahatan masyarakatnya, dan masyarakat yang mempunyai didikasi tinggi terhadap

kebenaran dan perubahan ke arah yang lebih baik, melalui jalan amar makruf nahi mungkar,

karena amar makruf dan nahi mungkar, dapat mencakup ke seluruh dimensi kehidupan dan

seluruh aktifitas masyarakat, darimelawan segala bentuk kemungkaran yang dilakukan oleh

publik dan kedholiman penguasa, sehingga Imam Al Ghazali melihat amar makruf nahi mungkar

sebagai bagian paling inti dalam Agama, karena jika hal ini tidak diajarkan dan di

implemintasikan cahaya kenabian menjadi redup, agama menjadi hilang, dan fitnah dan kejahatan

akan merajalela, kebuduhan dan negara akan hamcur dan rakyat akan sengsara.(9)Amar makruf

wajib dilakukan bersamaan dengan masalah keimanan, firman Allah QS At Taubah 71....

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi

penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah

dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-

Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana”.

Orang yang tidak melaksankan Amar Makruf Nahi Mungkar menurut Imam Ghazali dinyatakan

keluar dari kelompok orang2 beriman, dengan merujuk pada QS Al maidah 79.

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat.

Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”.

Dalam kontek lain, perintah zakat yang menjadi salah satu dari rukun Islam merupakan

kewajiban lainya yang menyuruh masyarakat agar mandiri, sehingga perintah Allah agar orang

yang mampu agar mengeluarkan zakatnya sehingga bisa berkontribusi untuk melaksanakan tugas

agar hidup mandiri. Dengan pemberian tadi tidak diartikan telah berbuat kebaikan/tabarru, tapi

dengan pemberianya itu lebih dianggap memberikan hak orang lain. Dengan demikian sebagai

masyarakat modern sikap menerima kewajiban dan bertanggung jawab sebagai masyarakat

merupakan perintah Allah, tidak perlu menunggu perintah dan izin dari pemerintah dalam bentuk

yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya, hal yang terpenting masyarakat dapat melaksanakan

efektifits kehidupan dirinya, agar tidak menjadi sasaran kekejaman penguasa atau meminta belas

kasiahanya. Hal ini bisa dilihat dari peran masjid yang menjadi pusat pencerahan kebudayaan,

dan peran yayasan Waqaf yang didirikan dari hasil donasi ummat mempunyai andil besar dalam

menjaga kebutuhan urgent masyarakat, dan kebutuhan masyarakat dalam sosial budayanya,

9 . Abu Hamid Al Ghazali (Ihya‟ Ulumuddin) Juz 2, pg 306

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 211

sebagai cintoh dari sekolah, pondok pesantren, perpustakaan, rumah sakit, perhotelan yang di

biayai dan di back up oleh waqaf ummat.(10) Itulah potret masyarakat islam, lebih awal beberapa

abad yang lalu sebelum muncul gagasan masyarakt civil(civil society)

3. Kemerdekaan adalah hak semua.

Ketika seseorang melakukan kebebasanya artinya telah melaksanakan akidah tauhidnya dalam

bentuk lain, membaca syahadat artinya pernyataan bahwa dirinya hanya sebagai hamba Allah dan

membebaskan diri dari penguasaan selaiNya. Allah SWT hanya mengungkapkan jalan yang

dikehendaki terhadap manusia, namun tidak pernah memakasa agar ia sesuai dengan

kehendakNya, dan Allah memberikan kebebasan untuk memilh, sehingga manusia sendiri yang

bisa memutuskan, apakah memilih jalan yang sama dengan yang dikehendakiNya, atau justru

melawan kehendakNya. Apapun pilihan manusia pasti menimbulkan effek dari keputusan

tersebut.(11) Diantara point terpenting dalam kebebasan adalah kebebasan dalam memilih dan

menyatakan pendapat. Seperti dalam QS Al Baqarah 256,

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang

benar daripada jalan yang sesat.karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan

beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat

kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Dengan demikian persepsi Islam dalam memandang kebebasan akidah yaitu dengan melarang

setiap orang agar tidak mengecam orang lain karena memeluk keyakinan tertentu atau

memaksakan keyakinanya pada orang lain, sikap demikian bertentangan dengan ajaran Islam.

Jika masalah kebebasa dalam ajaran Islam menjadi dasar umum yang diakui bahkan kebebasan

dalam menentukan keyakinan, apakah benar orang yang menuduh Islam sebagai agama yang

memberengus kebebasan dalam sosial politik.(12) Kebebasan berpolitik dalam termonologi

modern tidak lebih dari sebuah cabang yang berasal dari ajaran Islam yaitu: kebebasan manusia

sebagai manusia yang ditegaskan dalam Alquran dan Sunnah.Sebagai contoh pesan Rasulullah

SAW terhadap sahabatnya seperti berikut: Diantara kalian janganlah tidak berpendirian dan

berkata: Aku bersama banyak orang, jika mereka berbuat baik aku melakukanya juga, jika

mereka berbuat jahat aku juga demikian.(13) Kebebasan dalam keyakinan mengantarkan pada

kebebasan dalam menyatakan pendapat tidak ada batasan dalam ajaran Islam kecuali dalam satu

hal yaitu pendapat yang disampaikan tidak mencedrai atau keluar dari nilai nilai islam, sama

10 . Dr. Mustafa As Sibaii (Min Rawaee Hadaratina) pg 115. 11 . Muhammad Asad (Manhajul Islam Fil Hukmi) translating Moh. Mansur Madhi, pg. 19 12 . Dr.Sayyid Mustofa (Huququl el Insan fil Islam) pg.24 Teheran 13 . Dr. Muhammad Salim El Awa (Finnidham siyasi liddaulah Islamiyah) pg.251

212 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

halnya dengan merusak tatanan umum dalam sebuah negara.(14) Menyampaikan pendapat

hukumnya wajib dalam menyampaikan kebenaran dan diam mengenai hal tersebut dianggap telah

berbuat dosa dan mendapatkan siksa.

4. Persamaan/ kesetaraan.

Islam memandang manusia berasal dari nabi Adam sebagai pertama semua manusia dan

diciptakan dari jenis yang sama pula, setiap manusia memiliki perlindungan dan kemulian yang

diakui oleh Alquran, tanpa melihat ras dan agamanya, seperti yang telah disampaikan Oleh

Rasulullah pada haji wada‟, mengenai kesatuan asal dan penciptaan manusia. Dalam Alquran

disebutkan: QS Alhujurat 13.

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling

kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang

yang paling taqwa diantara kamu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat diatas secara tersurat ditujukan pada seluruh ummat manusia, dalam hal ini komentar

Mohammad Izzah Daruzzah menyebutkan: Dari ayat tersebut dimaksudkan tidak boleh

mengakui adanya perlakuan diskriminatif pada manusia mesti apapun landasanya.Kelebihan

manusia pada hal ketaqwaan seperti yang disebutkan sebenarnya tidak merusak pada prinsip

kesamaanya, karena ukuran taqwa tersebut hanya ada di akhirat bukan di dunia, di mata Allah

bukan di mata manusia, kelebihan dalam hal taqwa tidak berdampak dalam implementasi kiadah

syareah atau prinsip kesetaraan dalam undang-undang negara.(15) Prinsip kesamaan yang telah

dikenal oleh semua orang dewasa ini, seharusnya tetap ada dalam ingatan disaat Islam pertama

kali menyebarkan konsep ini sejak 14 abad yang lalu, pada saat itu negara Syam yang berdekatan

dengan jazirah arab menganut ajaran Romawi, sesuai dengan ajaranya manusia di bagi menjadi

dua: Pertama kaum yang merdeka, yang kedua kaum hamba sahaya; yang pertama dibagi dua

lagi; kaum yang merdeka penuh mereka dari keturunan Romawi, dan merdeka tidak sepenuhnya

dari keturunan Latin. Sedangkan kaum yang tidak merdeka terdiri dari 4 macam; budak asli,

budak yang di merdekakan, setengah merdeka, kelompok bumi.Dalam sejarah pemerintahan

Romawi hanya kaum yang merdeka asli yang memiliki hak politik, sedangkan kaum lainya tidak

memilikinya. (16) Hendaknya menjadi catatan, di masa Bani Abbasiyah ummat Islam banyak

mengambil dari tradisi klasik Romawi yang dianggap baik, namun tidak mengambil sdikitpun

14 . Dr. Muhammad Salim El Awa (Ibid) pg.190 15 . Dr. Muhammad Salim El Awa (Ibid) pg. 229. 16 . Dr. Makruf Addwalisi (Al Huquq Rumaniyah) pg. 464

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 213

artikel dalam politik yang diterjemahkan oleh Al Farabi, karena Islam jauh lebih maju dalam hal

tersebut.(17)

5. Kelompok yang berbeda/Oposisi diakui legalitasnya

Ketika dalam ajaran Islam mengakui kesamaan asal manusiadan hak kehormatan sebagai

manusia, maka secara otomatis kolompok lain yang berbeda memiliki hak dijamin dan ligitimate

hanya saja karena sebagai manusia, sebagai contoh ketika Rasulullah berdiri pada sebuah jenazah

yang diusung sebagai tanda penghormatanya, kemudian dikatakan pada beliau bahwa jenazah

tersebut adalah orang Yahudi, beliau menjawab: bukanlah dia seorang manusia? Di kala Ali bin

Abi Tholib mengirim surat pada seorang Wali Mesir, isi suratnya beliau menyampaikan: Saya

merasakan hatimu memiliki kasih sayang dan kelembutan terhadap rakyat; karena mereka terdiri

dari dua macam; saudaramu dalam agama dan mereka sama denganmu sebagai makhluk.

Selain itu jugadalam Alquran sejumlah ayat menegaskan perbedaan diantara ummat manusia

sebagai salah satu tanda dari beberapa tanda kebesaraNya dan sebagai sunnatullah di dunia ini,

perberdaan diantara manusia karena mengandung beberapa hikmah yang dikehendakiNya.

Alhujurat 13. Ar Rum 22, Huud 118 – 1119.

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka

Senantiasa berselisih pendapat.Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.dan

untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan:

Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka)

semuanya”.

Kaum yahudi dan Nasrani bukanlah menjadi masalah bagi kaum Muslimin, karena mereka

dianggap sebagai Ahli Kitab, karena nabi2 mereka juga diakui sebagai nabi kaum Muslimin, dan

membenarkan kerasulanya menjadi bagian dari keimananya dalam persepsi Islam. Demikian

juga halnya dengan kaum lain seperti halnya dengan kaum penyembah api dan berhala, mereka di

masa Kholifah umar bin bdul Aziz dieibut dengan ahli zdimmah/ sehingga mereka berhak

mendapatkan tanggungan Allah dan rasulNya.

Islam sejak dahulu tidak menutup hak agama lain, dan juga pendapat orang lain, adanya

keberagaman dalam agama memberikan peluang seluasnya akan adanya perbedaan dalam urusan

dunia, dan legalitas perbedaan dalam keyakinan membuka ruang akan legalitas perbedaan dalam

kontek reformasi sosial politik.

17 . D. Ibrahim Dasuqi Sata (Ettadlil Demokrty) Jaridah el Hayat 20/7/92

214 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

6. Kedholiman diharamkan dan wajib dilawan

Menurut Ibnu Kholdun Kedholiman tidak hanya termasuk dalam katagori dosa besar, dan bukan

hanya sebagai simbul kehancuran sebuah tatanan, namun sebelum kedua hal tadi, karena

melawan hak Allah dan merusak nilai2 keadilan yang menjadi tujuan dalam risalah dan kenabian.

Dalam hadits Kudsi Allah berfirman: Wahai hambaku! Sesungguhnya aku haramkan kedholiman

pada diriku dan aku haramkan kedholiaman itu diantara kalian, maka janganlah saling berbuat

dholim. Islam membolehkan perang untuk melawan sebuah kedholiman, QS: Al Hajj 39.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka

telah dianiaya.dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”.

Seorang muslim tidak dibolehkan meng ekpose kesedihan yang dialami kecuali dalam satu hal

yaitu: ketika diperlakukan dengan dholim. QS: An Nisa „ 148.

“Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang

yang dianiaya.Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Islam mendorong agar memerangi kedholiman, dan syariat Islam menbenarkan hal

tersebut, dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda: Jihad yang paling utama adalah kata

yang benar/hak didepan penguasa yang dholim, paling mulia diantara para syuhada‟ adalah

Hamzah bin Abdul Mutholib dan seorang yang menghadapi penguasa yang dholim, ia menyruh

dan melarang penguasa dari berbuat dholim, dan ia dibunuh oleh penguasa tersebut, karena

ketika keholiman itu dibiarkan oleh manusia Allah akan menurukan adhabNya dalam waktu

secepat mungkin.

Atas landasan beberapa hal tersebut diatas semua Fuqaha‟ sependapat bahwa menegakkan

keadilan hukumnya wajib dan menolak dengan tegas kedholiman di negara dengan otoritas Islam.

Dalam konteks ini Ibnu Taimiyah berkata: Seorang yang dholim tidak berhak mendapatkan

sekedar hukuman dan pelajaran, hal ini telah disepakati oleh para ulamak dan sejauh yang saya

ketahui tidak ada perbedaan.(18)

Komitment melawan kedholiman dalam negara yang menganut sistim Islami, tidak bisa

dibandingkan dengan sistem apapun, disamping itu juga bisa juga menjadi langkah efektif untuk

memperkuat pengawasan rakyat yang dikendalikan oleh hati nurani danketaatanya terhadap

hukum Islam, dan hal ini semua terlepas dan jauh dari institusi kekuasaan yang

mengatasnamakan negara Islam, dan bahkan bisa jadi bertentangan dengan institusi tersebut.

7.Kekuasaan Hukum diatas segalanya

Keabsahan sebuah kekuasan di negara Islam diukur dengan sejauhmana komitment dalam meng

implemntasi hukum hukum Islam, tidak membedakan antara hukum yang mengantur prilaku

seorang muslim sebagai penduduk maupun sebagai hakim dan nilai nilai dan tujuan ideal yang

18 . Ibnu Hazam al Andalusi (Atturuq Al Hakimiyah) pg.14

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 215

termaktub dalam Alquran dan Sunnah.(19) Dalam kontek lain kekuasaan hukum dan kepatuhan

semua elemin terhadap hukum ditempatkan sebagai hukum diatas segla hukum, dan berpungsi

sebagai atap yang bisa disentuh apalagi dipermainkan. Indipendensi hukum dari kekuasaan

negara dan dari lembaga pemangku keputusan bisa jamianan penting yang dapat melawan

kesewenang wenangan penguasa seperti yang terjadi di dunia ketiga di mana penguasa yang

mengendalikan dewan perwakilan rakyat agar membuat undang undang sesuai dengan kemauan

penguasanya.

Hal seperti ini bukan berarti mengkungkung hak para ahli hukum dalam melahirkan sebuah

undang undang, atau membuat hukum atas dasar benar-benar memberikan kemaslahatan, hal

semacam ini terjamin eksistensinya dan tak perlu diragukan, namun tujuan dalam menegakkan

kebenaran itu harus berlandaskan pada acuan yang benar yang trlepas dari hawa nafsu dan

terlepas dari dominasi penguasa. Dan acuan ini terdapat dalam Alquran dan sunnah yang

menjamin keadailan dan menjaga nilai nilai idealisme tinggi yang dapat mengendalikan gerakan

masyarakat dan orientasinya. Sejak 100 tahun yang lalu dalam fiqih Islam telah merumuskan

sebuah pasal tentang struktur kenegaraan secara lengkap dan dibagi kedalam kelompok yang

membuat undang undang dan cara penetapanya, dan kelompok kekuasaan politik yang menjadi

pelaksana dan memutuskan, pasal ini yang membedakan sistem demokrasi dan syareat, dimana

ketetapanya mendahului sistem demokrasi sejak 1000 tahun yang lalu.(20)

Dengan adanya pemisahan tersebut secara efektif dapat membatasi pelanggaran yang dilakukan

oleh badan eksekutif, namun tidak bisa membatasi pelanggaran yang dilakukan oleh mahkamah

yang memutuskan sebuah hukum, apalagi dalam situasi ketika hakim yang membuat undang

undang atau penguasa yang mengeluarkan undang undang tersebut. Konsep Islam dalam

bernegara dapat menyelesaikan kerancuan tersebut, dapat mengantipasi pelanggaran yang

mungkin dilkukan oleh siapapun termasuk dari penguasa dan mahkamah sekalipuan, sehingga

segala undang undang terlepas dari kepentingan dan hawa nafsu.

Sistem As Syura Persepsi Islam

Setelah penulis telaah dalam risalah Islam mengenai media atau sarana yang diperlukan untuk

mewujudkan bentuk negara sesuai dengan krakteristik diatas ditemuan dua hal saja, yaitu sistem

syura dan akontabilitas pemerintah, sedangkan tujuan dalam negara dalam risalah Islam

dirumuskan dalam satu kata: Keadilan

Dari sejumalah studi mengenai syura hanya dilihat sebagai sistem pemerintahan sekaligus sebagai

cara untuk membatasi otoritasnya, namun sejauh penelitian yang dilakukan penulis, konsep

19 . Dr.Mohammad Thoha Badawi (Bahs Finnidam syiyasi Islami) pg. 127 20 . Dr.Taufiq Syadi (Fighu syura wal istisyarah) p.459

216 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

musyawarah adalah teori yang general mencakup semua prinsip dasar mengenai kemerdekaan

secara umum dan hak-hak rakyat, serta partisipasi mereka dalam semua line kehidupan, dalam

ihwal politik, sosial, perekonomian, dll.(21)

Studi mengenai syura sebagai teori umum diawali dengan penegakan HAM, kebebasan ,dan

kekuasaan ditangan ummat. Dalam syariat Islam ditegaskan bahwa HAM dalam syariat kita

tidak hanya terbatas pada kebebasan individu saja, tapi juga kebebasan dalam hal lain seperti

dalam berpendapat, memiliki harta dan kebebasan dalam membelanjakanya, ikut berpartisipasi

dalam menentukan kebijakan umum, mengenai harta dan kekuasaan, memiliki solidarits sosial,

seperti tolong menolong dan aktif bermusyawarah. Pendapat lain menyebutkan syura adalah

partisipasi aktif dalam memberikan gagasan, dan dukungan materi.

Teori umum mengenai syura dalam Islam menurut Abdur Rozak As Sanhuri yaitu konsep

Khilafah, dan kriteria utama dalam khilafah adalah persatuan ummat, dengan sistem khilafah

ummat dapat dipersatukan. Namun konsep ini banyak yang menolak di era sekarang, oleh karena

itu alternatif lain yang bisa menyatukan ummat adalah prinsip kebebasan, karena persatuan

ummat sangat terkait dengan kebebasanya. Istilah syura adalah konsep Islami adalah kebebasan,

kebebasan dalam berfikir, berpendapat, memelihara hak-hak individu, kelompok, dan rakyat.

Semua kebebasan tersebut diatas merupakan unsur pokok dalam sistem politik Islam.(22)

Menurut syaikh Mohammad Saltut dengan berlandasan pada QS: As Syura 38 ,

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,

sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka

menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.

bahwa kata “Amruhum” komprehensif dan mutlak yang mencakup segala urusan yang berkaiatan

dengan publik.(23)

Demokrasi yang kita kenal sebagai dasar dan sistem dalam negara adalah hasil dari perjuangan

panjang yang dilakukan oleh kaum reformis dan revolusioner melawan seluruh bentuk

kediktatoran di Eropa yang dilakukan oleh para raja dan pastur, akan tetapi konsep syura jika

diposisikan dengan benar dalam ajaran Islam dan setting masyarakat bukan dari hasil perjuangan

melawan kediktatoran tapi merupakan perintah syariat Allah, dengan menurunkan Alquran

terhadap Nabi Mohammad untuk orang orang yang beriman terhaap kerasulanya, sedangkan bagi

yang tidak beriman tidak ada jalan kecuaali harus menerima dengan bersumber pada fakta

sejarah. Risalah tersebut adalah visionir reformis dan aplikatif yang bertujuan untuk membangun

21 . Fahmi Huwaidi (Ibid)pg. 116 22 . Fahmi Huwaidi (Ibid)pg. 23 . Mohammad Assad (Ibid) pg.89

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 217

masyarakat sholeh, tentram, dengan menancapkan kaidah kaidahnya yang sangat kokoh dan

kuat.(24)

Konsep syura dalam pengaruhnya sebagai sarana/media untuk mewujudkan sistem politik yang

Islam, memiliki kritaria sebagaimana berikut:

1. Syura dalam terminologi lama diartikan dengan meminta pendapat ahli ra‟yi dan

mengikutunya, namun dalam termenologi modern artinya membuat keputusan yang

didasarkan pendapat ahli dibidangnya dalam hal hal yang menyangkut urusan

publik/ummat.

2. Ada perbedaan antara Ahli syura dan ahli Ijtihad. Yang pertama adalah mereka yang ahli

ra‟yu dan mewakili seluruh elemen masyarakat, sehingga non muslim pun bisa

mewakilinya. Adapaun ahli Ijtihad adalah mereka sebagai ulamak figih yang melakukan

ijtihad untuk menetapkan hukum syareat, dan syriat menjadi pijakan utama dalam hukum

dan perundang undangan. Ahli syura adalah majlis permusyawaratan, sementara ahli

ijtihad adalah majlis ilmiyah.

3. Sebagian Fugaha menyatakan bahwa maksud dari syura adalah ahli halli wal akdi,

penamaan seperti ini berdasarkan pada pemahaman dengan lata belakang sejarah awal

islam dalam suasana hijrah ke Madinah kemudian mendirikan negara Islam pertama.

Bukan menjadi keharusan dengan nama tersebut bagi orang2 yang memiliki peran dan

sepesialisasi seperti ahlil halli wall akdi seperti di masa rasul, namun yang terpenting

harus ada sekelompok orang yang memiliki kompetensi dan spesialisasi di setiap zaman

dalam masyarakat tertentu berperan seperti peranya ahlil halli wall akdi di masa Rasul.

4. Ada perbedaan antara Isytisyarah dan syura...isytisyarah artinya minta pendapat atau

bermusyawarah dengan orang yang dipercayai, orang yang dimintai pendapatnya diangga

paling benar dalam membuat keputusan dari. Isytisyarah hukumnya tidak wajib dan

pendapat yang disampaikan tidak mengikat, tapi as syura hukumnya wajib dan mengikat.

Hal yang membedakan antara keduanya mereka menyangka bahwa syurara tidak wajib

dan tidak mengikat, padahal kalau kita mengetahui perbedaan essesi keduanya, tentu

tidak akan timbul perdebatan.

5. Essensi syura adalah kebebasan, jika tidak ada jaminan dalam kebebasan untuk semua,

maka tidak perlu berbicara tentang syura, karenanya mengekang kebebasan berpendapat

menghilangkan nilai nilai pokok dari syura. Syaikh mahmud syaltut mengomentari hal

ini, Islam telah meletakkan prinsip syura, hal ini kata beliau sejak awal lahirnya Islam

24 . Dhohir Al Qosimi (Nidhomil Hukmi Fi syareahWattarekh Islamiyah) Juz1 pg. 85

218 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

menjadi sebuah manifestasi Islam dalam menetapakan hak hak manusia, dan yang paling

mendasar dari prinsip syura adalah kebebasan dalam menyatakan pendapat. (25)

Partisipasi ummat dalam prinsip kebebasan bermusyawarah dan berdialog, dan hak yang sama

dalam menyampaikan gagasan dan mempertahankan gagasan, adalah system syura sebenarnya

yang wajib diketahu, berpedoman dengan sistem ini kita membuat perundang undangan

masyarakat, hendaknya yang pertama kalidilakukan adalah memberi kebebasan dalam berdialog

berrtukar pendapat sebelum memberikan keputusan apapun.

Akuntabilitas pemerintah

Akuntabilitas pemerintah menjadi alat/media kedua dalam sistem politik Islam, masalah ini

bukan hanya saja hak ummat dalam mendukung atau menolaknya, namun lebih karena kewajiban

syariat yang akan dipertanyakan kelak di akhirat jika mereka lalai melakukanya.

QS: Hud 113

“Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah:

"(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang

menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah,

jika kamu memang orang-orang yang benar".

Dalam Hadits Rasulullah bersabda: Jika manusia melihat kedholiman namun tidak melakukan

sebuah tindakan, maka Allah tidak lama lagi akan menurunkan adzab bagi mereka.

Tugas ummat mengawasi pemerintah terus menerus, mereka perlu menegakkan amar makruf nahi

munkar, memiliki hak bermusyawarah, dan memberi nasehat, mereka sebagai pihak pertama

yang menganggkat seorang imam,karenanyamemiliki hak berkuasa dan memperpanjang

kekuasaanya, dia hanya wakil dari ummat dan ummat berhak mempertanyakan kinerjanya.(26)

Kholifah Abu Bakar menyadari hal tersebut sehingga ketika beliau dilantik langsung

mengumumkan pada ummatnya sebagaimana berikut:

Aku menjadi pemimpin kalian dan aku bukanlah yang terbaik diantara kalian, jika aku berbuat

baik maka dukunglah, dan jika berbuat salah maka luruskanlah. Umar bin Khattab dalam maksud

yang sama didepan ummatnya menyatakan: Bagi mereka terhadap Umar hak taat yang sesuai

dengan perintah Allah, dan bagi Umar terhadap mereka hak memberikan nasehat meskipun

menyakitkan umar. Pada suatu hari umar bin Khaatab meminta mereka agar menunjukkan

kekeliruanya; Salah satu diantara mereka berkata; demi Allah andaikan aku mendapatkanmu

dalam kekeliruan niscaya aku akan luruskan dengan pedangku, Umar bin Khattab menjawab

25 . Syaikh Mahmud Syaltut (Islam,akidah wa syareah )pg.440 26 . Dr.Mohammad Bahauddin Arrayies (an nadzariyah siyasiyah Islamiyah)pg.339

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 219

dengan mengucapkan Allahmdulillah yang telah menjadikan seseorang dikalangan ummat islam

ingin meluruskan Umar dengan pedangnya jika dalam kekeliruan.

Doktor Ziauddin Ar Raiz mengumpulkansejumlah hak ummat agar dapat memakzulkan

penguasa:

Seperti yang diriwayatkan oleh Imam As syafii, bahwa seorang imam di makzulkan karena

karena fasik dan dholim.

Menurut Abdul Khodir Al Baghdadi, Penyimpangan seorang imam ....mengubahnya agarmenjadi

benar, atau menganti dengan imam lain, hal ini juga berlaku pada para pembantunya, jika mereka

menyimpang dari undang undang agardiluruskan atau menganti dengan yang lain.

Imam Abu Hamid Al ghzali menyebutkan sesungguhnya penguasa yang dhalim harus berhenti

dari jabatanya, dengan cara diberhentikan atau memundurkan diri. Karena imam yang demikian

sebenarnya bukanlah imam.

Imam ibnu Hizyam Al Andalusi berkta: kewajiaban seorang Imam jika melakukan kedholiman

meskipun kecil, hendaknya di nasehati agar tidak mengulang kembali, jika kembali pada jalan

yang benar, tidak boleh memakkzulakanya, namun jika tidak demikian maka wajib di makzulkan

dan mencari imam baru yang benar.

Menurut Dr, Taufiq As Syadi Majlis syura sebagai wakil dari ummat adalah pihak yang berhak

mengeluarkan keputusan dalam mengevaluasi pemerintahan, hakim yang mewakili ummat

berhak mengangkat dan memberhentikanya, sedangkan bagi individu bertindak sesuai dengan

batas yang diperbolehkan dalam menegakkan amar makruf nahi munkar, akan tetapi yang

memberikan keputasan adalah majlis musyawarah yang mewakili ummat.(27)

Adapun target dari semua yang telah disebutkan diatas adalah penegakan keadilan, karena hal

tersebut adalah tujuan dalam risalah Islam dan dasar utama dalam kekuasaan. Itulah nilai2

idelisme Islam yang harus diperhatikan dan diuashakan agar mendapatkan proporsi yang tepat

dan benar. Jika bendera Islam menjadi simbul dari sebuah negara, namun essensi nilai islam tidak

dilaksanakan, terutama mengenai keadilan maka misi tersebut kehilangan esensinya dan tujuan

tak mungkin tercapai.

Berikut firman Allah tentang keadilan

Alhadid 25

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata

dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat

melaksanakan keadilan.dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan

berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah

27 . Dr.Taufiq As Syadi(Ibid)pg. 331

220 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak

dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa”.

An nahl 20 :

“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun,

sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang”.

An nisa; 58

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu

menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya

kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

As syura 15 :

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan

kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada

semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya Berlaku adil diantara kamu.

Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu.bagi Kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal

kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan

kepada-Nyalah kembali (kita)".

Al Maidah 8

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan

(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.dan janganlah sekali-kali kebencianmu

terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil

itu lebih dekat kepada takwa.dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Ayat di atas menekankan pentingnya keadilan. Nilai keadilan setelah perintah bertauhid, artinya

ada korelasi kuat antara ketauhidan seseorang dengan keadilan, tidak sempurna tauhidnya tanpa

menyempurnakan sikap dan prilaku adil, sehingga kalau ada pertanyaan; Dimana kalian dari

Islam ?, jawabanya; Dimana kalian dari keadilan.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 221

DAFTAR PUSTAKA

1. Huwaide Fahmi (Al IslamWa Demokratiyah)Maktabah El Ahram li tarjemah wannasyr,

Cairo, 2009.

2. Huwaide Fahmi (Al Qur‟an Wassultah)Maktabah El Ahram li tarjemah wannasyr, Cairo.

3. Asbusito Jun l, Biskatori James. (Al-Islam Wa demokratiyah)Midle Est Journal, volume

3,2008.

4. Bahauddin Mohammad Arrayies (an nadzariyah siyasiyah Islamiyah) maktabah zahra.

5. Asad Muhammad (Manhajul Islam Fil Hukmi) Al Haiah Misriyyah Lil Kitab, Libanon,

2010

6. Al Ghazali Abu Hamid (Ihya‟ Ulumuddin) Maktabah Litturast Al Misyriyyah. Mesir

7. Salim El Awa Muhammad (Finnidham siyasi liddaulah Islamiyah) 2012, Mesir

8. Mustofa Sayyid (Huququl el Insan fil Islam) Teheran 2013.

9. Mustafa As Sibaii (Min Rawaee Hadaratina) Alhaiah Ammah Al Misriyyah, 2010

10. Mohammad Bahauddin Arrayies (an nadzariyah siyasiyah Islamiyah) Kuwait

222 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 223

KONTRIBUSI ISLAM DALAM PERWUJUDAN PARADIGMATIK

DEMOKRASI BERKETUHANAN YANG MAHA ESA1

Oleh: Damrah Mamang, SH., MH2

A. Pendahuluan

Pengembangan model demokrasi Berketuhanan yang Maha Esa, sungguh tepat,

strategis,dan relevan dengan konfigurasi dinamika politik ketatanegaraan kita saat ini, ibarat:

“Puas ketemu buku, kata bergayut gayung bersambut, dinamika dalam suasana kehidupan sosial

politik yang tengah kita saksikan menyusul di beberapa kebijakan politik pemerintah yang

menuai pro dan kontra namun sebagai warga bangsa yang baik taat asas semua kebijakan politik

pemerintah harus kita terima dan laksanakan semampu kita. Kebijakan dan diskresi politik

pemerintah itu antara lain: Pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila

(UKP-PIP) yang bertugas untuk merumuskan akal kebijakan umum pembinaan ideology

Pancasila secara berkelanjutan, sesungguhnya menjadi bagian penting dari maksimalitas

penguatan cinta tanah air melalui pembinaan Pancasila secara komprehensif3. Selain itu adanya

Pansus Hak Angket soal KPK, ranah politik, RUU Pemilu 2019 sebagai Pemilu Pertama yang

dilaksanakan serentak: Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sesuai amanat

konstitusi (UUD 1945) dan putusan mahkamah konstitusi (MK) beberapa waktu yang lalu. Begitu

pula wacana hingga pelaksanaan dikeluarkannya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang organisasi

kemasyarakatan (ORMAS) yang telah ditandatangani Presideng Jokowi Tanggal 10 Juli 2017

sebagai Pengganti UU No. 17 Tahun 2017 tentang ORMAS. Implikasi politik dan hukum adanya

Perppu No.2 Tahun 2017 adalah pihak KEMENKUMHAM atas nama Pemerintah telah

mengeluarkan suatu bessicking/ penetapan/ keputusan tentang pencabutan badan hukum Hizbut

Tahrir Indonesia (HTI) dan pembubarannya sebagai ormas Islam di Indonesia sejak diumumkan

Pemerintah Tanggal 19 Juli 20174.

Diskursus atau debat publik terkait dengan langkah pemerintah di atas antara lain

mempersoalkan sejauhmana hal konstitusionalitas memiliki landasan dan peneguhan prinsip-

prinsip demokratisasi di era reformasi, serta penajamannya pada upaya pengembangan,

perwujudan paradigmatik demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa. Maka konstitusi dan

sumbangsih nilai dan prinsip Islam yang bersumber utamakan Al-Qur’an dan Al-Hadits menjadi

qonditio sine quano, suatu keniscayaan sejatinya.

1 Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di

Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Mahasiswa Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum UIA Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA). 3 Kompas, Edisi: 20 Juli 2017

4 Republika, Edisi 20 Juli 2017

224 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Patut diapresiasi kepada Panitia Penyelenggara Seminar Nasional yang Bertemakan Islam

dan Demokratisasi karena hal ini bernilai strategis, substansial, dan nilai kekinian yang tinggi

dalam wacana global oleh masyarakat internasional dan masyarakat domestik nasional, termasuk

civil society di lingkungan akademis di lingkungan civitas akademika. Di era politik modern,

terutama pasca perang dingin, ada kecenderungan meningkatnya jumlah pemerintahan yang

demokratis atau pemerintahan yang menerapkan nilai-nilai demokrasi di seluruh dunia, seperti di

Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa Timur, maupun di negara-negara bekas Uni Soviet. Rezim-

rezim otoritorian berjatuhan dan digantikan rezim baru yang demokratis. Bahkan menurut Fareed

Zakaria sekitar 62 persen negara di dunia mengkalim dirinya sebagai negara demokratis dan

berbagai negara di dunia masih terus mengupayakan diri agar diakui sebagai negara yang

menganut sistem demokrasi.5

B. Islam, Nomokrasi, dan Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa

Telah menjadi pemahaman umum bagi kita terutama kaum muslimin di seluruh dunia, kaum

intelektual dan para orientalis bahas Islam dengan seperangkat sistem nilai dan ajaran yang

komprehensif menjadi rahmatan lil’alamin (rahmat bagi alam semesta). Menurut Prof. KH.

Ahmad Azhar Basyir – Mantan PP Muhammadiyah dan Guru Besar UGM. Bahwa Islam adalah

agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasulnya sejak Nabi Adam AS hingga yang terakhir

Nabi Muhammad SAW. Untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup yang

menjamin akan mendatangkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak.6

Prof. KH. Ahmad Azhar Basyir, MA dalam bukunya “Negara di Pemerintahan dalam Islam”

mengatakan juga bahwa agama Islam mencakup seluruh dimensi kehidupan dengan beberapa

bidang kehidupan yang utama antara lain, Bidang Akidah dan Ibadah, akhlak dan muamalah yang

mencakup seluruh aspek hablumminannas termasuk politik hukum, ketatanegaraan, ekonomi,

serta sistem pemerintahan dalam kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum

(nomokrasi) yang dianut juga dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945.

Dengan paradigma, rujukan, referensi, falsafah negara maupun konstitusi negara, maka asas

dan tujuan negara Indonesia selaras dan sejiwa dengan asas dan tujuan negara dalam perspektif

Islam. Hal ini sesuai dengan pandangan Prof. Ahmad Azhar Basyir bahwa asas negara menurut

ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan tujuan negara yang harus diwujudkan

adalah terlaksananya ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dalam kehidupan masyarakat menuju

kepada tercapainya kesejahteraan hidup di dunia, material dan spiritual, perorangan dan

5 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen, Editor: Amir, 2008, Trans Wacana, Hal. 11 6 Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, 2000, Yogyakarta, UII Press, Hal. 1

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 225

kelompok serta mengantarkannya kepada tercapainya kebahagiaan hidup di akhirat kelak.7

Tujuan bernegara yang luhur dan mulia ini senapas dengan amanah pembukaan UUD 1945 yakni

mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (solus populi

suprema let). Selain itu salah satu asas konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara, selain asas bersama, rasa keadilan, asas kebebasan, adalah juga asas musyawarah

(syuro) sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 38 dan QS. Al-Imran

ayat 159 yang intinya memberi pedoman etis dalam mengambil keputusan masalah-masalah

publik dengan cara musyawarah untuk mufakat.

Jelaslah bagi dunia Islam secara keseluruhan dan umat Islam di Indonesia, khususnya, tetap

memantapkan keyakinan sedalam-dalamnya, bahwa doktrin dan ajaran Islam yang lengkap dan

sempurna adalah rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam). Seperti dikatakan Prof. Yusril

Ihza Mahendra (YIM) - dalam bukunya Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra8, bahwa

keislaman kita di negeri ini tidak bisa lepas dari keindonesiaan. Di Indonesia ini, Islam sudah

berabad-abad lamanya telah berurat akar dalam kehidupan bangsa. Maka siapapun ketika

berbicara tentang Islam di Indonesia harus berbiacara pula tentang bangsa Indonesia. Sebaliknya

jika berbicara tentang bangsa Indonesia, belum tentu harus berbicara tentang Islam.

Sebab menurutnya ada 2 jenis nasionalisme, Pertama: Paham Nasionalisme/ Kebangsaan

yang dijiwai oleh ajaran Islam, yang disebut dengan Nasionalisme Islami atau golongan

kebangsaan Islami. Kedua, Kebangsaan sekuler yang tidak menjadi paham ajaran-ajaran agama

bahkan dalam prakteknya cenderung memusuhi ajaran-ajaran agama. Lebih lanjut Prof. Yusril

memaparkan, kalau di abad-abad yang lalu, para pejuang Islam telah mengibarkan semangat

dalam melawan penjajah, mereka berjuang untuk masyarakat dan bangsa Indonesia. Serikat Islam

(SI) pada awal abad ke-20 telah menggunakan symbol dan nama Islam. SI organisasi Islam

pertama kali yang mendidik dan mengenalkan kita paham kebangsaan, bukan Budi Utomo (BU),

yang merupakan organisasi para bangsawan (ambtenar dan priyai Jawa), dan anggaran dasarnya

ditulis dalam bahasa Belanda yang anggotanya hanya menerima mereka yang dari Suku Jawa,

Sunda dan Madura. SI pada Tahun 1916 mempunyai anggota 3 Juta dari Aceh sampai

Ambon.tidak berlebihan jika Pendirinya Tjokroaminoto pada waktu itu mengatakan bahwa

kebangkitan SI adalah kebangkitan bangsa yang terjajah. Lalu, apa arti keIslaman bagi kita, kata

Prof. Yusril dilihat dari sudut doktrin Islam tentu saja agama (addin) yang diwahyukan Allah

melalui Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW. Dengan demikia, doktrin agama yang murni berasal

dari Allah dan Nabinya itu adalah suci dan sacral.doktri bukan saja berkembang dengan masalah-

7 Ibid, hal. 27-28 8 Yusril Ihza mahendra, Ensiklopedia Pemikiran Yusril Ihza Mahendra Buku IV, Editor Hafidz Abbas dkk, 2016, Jakarta,

Pro Deleader, hal. 240-241.

226 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

masalah eskatologis tetapi juga membentuk sistem makna dan sumber nilai yang menjadi ukuran

baik atau buruk, benar atau salah, yang akan menjadi patokan prilaku pemeluk-pemeluknya.

Untuk itu, sebelum menelaah jauh korelasi, kohesitas spirit Islam dan prinsip umum

demokratisasi dan implementasinya dalam model demokrasi berkeTuhanan yang Maha Esa di

Indonesia. Ada baik sepintas diuraikan tentang makna, prinsip dan esensi demokrasi yang

diterima umum secara konsepsional/ teoritik hingga ke tataran praktikalnya.

Menurut DR. Hamdan Zoelva- Ketua Umum Syarikat Islam dan Mantan Ketua MK-RI

dalam Bukunya “Mengawal Konstitusionalisme”9, mengatakan konsep demokrasi secara

sederhana dimaknai sebagai pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dengan sering dilaksanakan

dengan konsep totalitarianisme. Hampir seluruh negara di dunia mendaulat dirinya sebagai

negara demokrasi. Selanjutnya dikatakan Hamdan Zoelva, Demokrasi pada dasarnya memberi

harapan kebahagiaan dan kepuasaan bagi rakyat karena rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya

untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan menentukan kebijakan publik. Masih menurut

Hamdan Zoelva, idealnya dalam sebuah negara demokrasi, rakyatlah yang secara langsung

memerintah, membuat UU dan melakukan aktivitas penyelenggaraan negara lainnya. Namun

konsep demokrasi langsung semacam itu sulit dilakukan sekarang ini. Demokrasi dalam dunia

modern sekarang ini adalah demokrasi perwakilan (representative democracy), sehingga

pelaksana aktivitas pemerintahan tersebut adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat melalui

suatu proses pemilihan.

Sumber referensi lain dari DR.Taufiqurrahman Syahuri (TS) dalam bukunya “Tafsir

Konstitusi berbagai Aspek Hukum”10. Menurut TS, Demokrasi menurut asal Government or Rule

by The People. Jadi inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Nomenklatur Demokrasi sendiri

untuk pertama kali diperkenalkan oleh Herodotus, pada Abad Tujuh Belas yang kemudian diberi

makna macam-macam oleh masyarakat politik. Dalam praktik istilah Demokrasi ini tidak berdiri

sendiri tetapi dipandang dengan kata lain yang menjadi ciri khas dari Demokrasi itu. Ada yang

dinamakan Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Liberal, Demokrasi

Rakyat, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila. Ketiga terakhir istilah demokrasi ini

pernah dijalankan di Indonesia.

Selanjutnya, menurut Taufiqurrahman dalam Teori Henry B. Mayo11, Demokrasi didasari

oleh nilai-nilai yang positif dan mengandung unsur-unsur moral universal yang tercermin dari

antara lain:

9 Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, 2016, Jakarta, Konpress, hal. 187 10 Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, 2011, Jakarta, Kencana,hal. 169. 11 Ibid, hal. 170.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 227

1. Penyelesaian perselisihan dengan damai dan melembaga.

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang

berubah.

3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.

4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum.

5.Mengakui serta menanggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang

mencerminkan keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku.

6. Menjamin tegaknya keadilan.

Masih menurut Taufiqurrahman, bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi di atas

dibutuhkan lembaga-lembaga politik yang oleh Robert A. Dahl, disebutnya ada enam lembaga,

yakni:

1. Para Pejabat yang dipilih.

2. Pemilu yang luber dan jurdil.

3. Kebebasan berpendapat.

4. Sumber informasi alternative.

5. Otonomi Asasional.

6. Hak Kewarganegaraan yang inklusif.

Selain itu perlu diselenggarakan beberapa lembaga seperti: pemerintahan yang

bertanggungjawab dan sistem peradilan yang bebas12. Selanjutnya, dikatakan, jika demokrasi

dikaitkan dengan konstitusi, maka muncul istilah demokrasi konstitusional sebagai lawan dari

konstitusi Autokrasi. Dengan mengutip Hans Kolsen, Taufiqurrahman menulis bahwa Konstitusi

Demokrasi dan Konstitusi Autokrasi sebenarnya bukan gambaran tentang Konstitusi-Konstitusi

yang diberikan oleh sejarah, melainkan lebih merupakan tipe-tipe yang ideal.

Jelaslah suatu negara disebut negara demokrasi jika berlaku prinsip demokrasi di dalam

organisasinya. Suatu negara disebut negara autokrasi apabila berlaku prinsip autokrasi di dalam

penyelenggaraannya. Demikian Hans Kelsen. Dalam pengetahuan umum yang kita peroleh

selama ini bahwa demokrasi yang berasal dari bahasa Yunani yakni Demos berarti rakyat dan

kratos yang berarti memerintah. Maka Abraham Lincoln (Presiden AS ke 16, Tahun 1861-1865)

dalam ungkapan yang populer mengatakan esensinya demokrasi di Government of The People,

by The People dan for The People. Maka dalam sistem demokrasi selalu dikatkan dengan sistem

kedaulatan negara rakyat. Karena rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi.13 Dalam

mengawal konstitusionalisme Hamdan Zoelva memaparkan: menurut Urofsky-Penulis AS, bahwa

ada sebelas prinsip dasar demokrasi yakni:

12 Ibid, hal. 171. 13 Ibid, hal. 189.

228 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

1. Konstitusionalisme.

2. Pemilihan Demokratis

3. Federalisme

4. Negara Bagian dan Pemerintahan Lokal.

5. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

6. Peradilan yang Independen.

7. Kekuasaan Presiden.

8. Peranan Media Massa.

9. Peranan Kelompok Penekan (Interest Group).

10. Hak Publik untuk Mengetahui.

11. Perlindungan Hak Minoritas serta control sipil atas militer dari sumber yang sama dikutip

pula buku berjudul “What is Democracy ?” (Apa Kata Demokrasi ?) yang diterjemahkan oleh

Budi Prayitno diterbitkan oleh Deplu AS disebutkan ada sebelas soko guru demokrasi:

1. Kedaulatan Rakyat.

2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.

3. Kekuasaan Mayoritas.

4. Hak-Hak Minoritas.

5. Jamin Hak-Hak Asasi Manusia (HAM).

6. Pemilihan yang Bebas dan Jujur.

7. Persamaan di depan hukum.

8. Proses hukum yang jujur (due process of law).

9. Pembatasan Pemerintah secara konstitusional.

10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik,

11. Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme, kerjasama,dan mufakat.

Selain itu dijelaskan dalam demokrasi juga berlaku prinsip majority rule, di mana warga

bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas sehingga mayoritaslah yang selalui

menentukan setiap kebijakan publik.14 Oleh karena itu,dalam demokrasi sangat mungkin terjadi

tirani mayoritas atas minoritas, jika demokrasi dilakukan tanpa aturan hukum dan batasan hukum.

Maka kehadiran tipikal demokrasi konstitusional menjadi kebutuhan ketatanegaraan modern yang

hukum terelakan dengan penegakan prinsip-prinsip nomokrasi dan nomokrasi Islam. Ini menjadi

komunitas bersama agar kekuasaan mayoritas tidak menjadi dictator mayoritas merupakan tirani

minoritas.

14 Ibid, hal. 190

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 229

Begitu pentingnya kajian dengan upaya penerapan seputar demokrasi konstitusional maka

Prof. Miriam Budiardjo dan Saldi Isra’, sebagaimana yang dikutip Damrah Mamang dalam Jurnal

Veritas, antara lain: Merumuskan Demokrasi Konstitusional merupakan gagasan bahwa

Pemerintahan Demokratis adalah Pemerintahan yang terbatas kekuasaannya. Pandangan

demikian sejalan dengan tujuan dibentuknya Konstitusi sebagai langkah konkrit melakukan

pembatasan kekuasaan.15

Di sisi lain pembahasan tentang eksistensi dan tipikal negara hkum secara universal dan

tipikal negara hukum secara universal yang menjadi landasan pedoman pelaksanaan

demokratisasi, maka menurut Bapak M. Thahir Azhary dari hasil penelitian disertasinya, oleh

DR. Nikmatul Huda, SH., M.Hum dalam bukunya Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam

Putusan MK16, antara lain mengatakan bahwa dalam Kepustakaan ditemukan lima macam konsep

negara hukum sebagai species begrip, yaitu:

1. Negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah. Konsep ini dikenal dengan istilah nomokrasi

Islam.

2. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaats. Model negara

hukum ini diterapkan misalnya di Belanda, Jerman dan Perancis.

3. Konsep rule of law yang diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon, antara lain Inggris dan

Amerika Serikat.

4. Suatu konsep yang disebut socialist legality yang diterapkan antara lain di Uni Soviet sebagai

negara komunis.

5. Konsep negara hukum Pancasila.

Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa dalam mulk siyasi ada dua macam bentuk negara hukum

yaitu (1) siyasah diniyah dan (2) siyasah aqliyah. Ciri pokok yang membedakan kedua macam

nomokrasi itu ialah pelaksanaan hukum Islam (syariah) dalam kehidupan negara dan hukum

sebagai hasil pemikiran hukum Islam (syariah) dalam kehidupan negara dan hukum sebagai hasil

pemikiran manusia. Dalam nomokrasi Islam, baik syariah maupun hukum yang didasarkan pada

rasio manusia, kedua-duanya berfungsi dan berperan dalam negara. Sebaliknya pada nomokrasi

sekuler manusia hanya menggunakan hukum semta-mata sebagai hasil pemikiran mereka.17

Nomokrasi Islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai

berikut: (1) Kekuasaan sebagai amanah, (2). Musyawarah, (3) Keadilan, (4) Persamaan, (5)

Pengakuan, (6) Peradilan Bebas, (7) Perdamaian, (8) Kesejahteraan, (9) Ketaatan Rakyat.18

15 Damrah Mamang, Jurnal Veritas, September 2016, Jakarta, Program Pascasarjana Ilmu Hukum UIA, hal. 21-22. 16 Thahir Azhary dalam Nimatul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan MK, 2011, Jakarta,FH UII Press

Hal. 2. 17 Ibid, Hal. 3. 18 Ibid, Hal.4

230 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Predikat yang tepat untuk konsep negara dalam Islam adalah nomokrasi (Islam) dan bukan

teokrasi. Karena teokrasi adalah suatu negara, sebagaimana dirumuskan oleh Ryder Smith, yang

diperintah oleh Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Menurut Majid Khadduri istilah “teokrasi” dibuat oleh

Flavius Josephus (kira-kira Tahun 37-100 Masehi) yang ia gunakan untuk memperlihatkan

karakteristik dari tipe negara Israel yang ada pada permulaan era Kristen, Josephus

mengaktualifisir negara Israel ketika itu sebagai suatu negara teokrasi. Istilah itu, kemudian

disetujui oleh J. Welhausen dan ia gunakan pula sebagai predikat untuk negara Arab (Islam).

Teokrasi sebagai sebutan untuk negara dalam Islam sama sekali tidak benar dan tidak tepat.

Dari ulasan dan gambaran pemikiran di atas maka jika terkait oleh pertanyaan apa dan

bagaimana kedudukan hubungan Islam dan Demokrasi? Jelaslah jawabannya bahwa Islam baik

sebagai doktrin maupun nilai-nilai fundamental yang bersumber Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dari Demokrasi. Baik demokrasi sebagai ideology

maupun demokrasi sebagai suatu mekanisme/ proses.

Ini tentu sejalan dengan pandangan bernas Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM), dalam

bukunya Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, buku empat Tahun 2016, dikatakan Prof.

Yusril kita perlu belajar berdemokrasi. Kita diajak untuk menyimak gagasan yang pernah

dilontarkan oleh para pemikir bangsa ini, Tjokroaminoto, Soekarno, Agus Salim, Mohamad

Hatta,Syahrir, hingga M. Natsir adalah sekedar untuk mewujudkan beberapa contoh mengenai

komitmen mereka pada konsep demokrasi itu. Mengenai demokrasi itu Prof. Yusril membedakan

menjadi dua, yakni: Demokrasi sebagai ideology dan demokrasi sebagai mekanisme atau proses.

Demokrasi diartikan sebagai ideology, orang tentu akan terlibat dalam perdebatan yang tak

berujung, sebab ia akan masuk dalam diskusi berkepanjangan mengenai landasan filosofis,

bahkan keyakinan-keyakinan politik yang mendasarinya. Kalau sudah memasuki bidang ini,

sukarlah orang akan bersepaham. Sebab keyakinan politik sering harus diterima secara apriori.

Sebagai keyakinan, betapapun ia terbuka untuk didiskusikan dengan mengajukan sejumlah

argumentasi, pada akhirnya ia tergantung pada penerimaan subyektif, yang tak dapat diganggu

gugat orang lain. Demokrasi, menurutnya juga dapat dilihat sebagai proses atau mekanisme

dalam mengambil keputusan. Namun, dalam konteks ini, kita pun dihadapkan di antara dua

pilihan apakah dengan “suara terbanyak” atau mengutamakan “musyawarah mufakat” yang

tentunya ini lebih menekankan consensus atau kedua prose situ dilaluinya sekaligus. Ia

memerlukan etika politik yang tinggi didasarkan niat dan prasangka baik kepada semua pihak.

Maka sampai di batas ini, kata Yusril, persoalan budaya menjadi penting.

Menumbuhkan budaya demokrasi jauh lebih sukar dibanding dengan merumuskan

demokrasi sebagai mekanisme. Untuk “menciptakan” budaya diperlukan pencarian akarnya di

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 231

dalam masyarakat atau sebaliknya harus disosialisasikan dari atas sebagai bagian dari rekayasa

sosial.

Segmen lain dari demokrasi untuk yang ditelaah secara substantive yang bersumber dari

Yuddy Chrisnandi- mantan Menteri PAN-RB RI dalam bukunya “Beyond Parlemen”.

Dikatakannya dalam kajian Demokrasi, Buku Samuel P. Hungtington, The Third Weve of

Democratization (1991)19, disebutkan: semangat utama demokratisasi adalah meruntuhkan rezim

yang tidak demokratis dengan rezim yang demokratis. Dikatakan pula demokratisasi pada intinya

adalah revitalisasi sistem politik otoritorian menjadi sistem yang terbuka dan bertanggungjawab.

Sebagaimana ditulis Hungtington, lanjut Yuddy ada tiga kerangka substantive demokratisasi,

yakni:

1. Berakhirnya sebuah rezim otoriter.

2. Adanya proses transisi yang memberi kesempatan pada partisipasi publik dan liberalisasi

politik menuju pembentukan rezim demokratis.

3. Konsolidasi rezim demokratis.

Lebih jauh dalam kaitan studi transisi demokrasi, yakni: (1) Jalur transformation yakni

proses transisi diinisiasi oleh elit politik yang sedang berkuasa. (2). Jalur Transplacement yang

dilakukan melalui renegoisasi politik antara rezim politik pada kekuatan oposisi. (3). Jalur

replacement yang terjadi karena adanya gerak politik massa yang menuntut perubahan rezim, dan

(4) Jalur intervention yang dilakukan oleh negara lain secara politik, ekonomi, dan operasi

militer. Selanjutnya dipaparkan pula, praktis dalam transisi demokrasi di Indonesia, sejumlah isu

berkembang sehubungan dengan menguatnya tuntunan reformasi sistem politik.

Untuk mempermudah berjalannya proses transisi demokrasi maka menurut Prof. Dr.H.

Zainal Arifin Hoessein, SH., MH- Direktur Program Pascasarjana UIA, perlu diatasi adanya

hambatan/ berier dalam dalam transisional demokrasi, yakni prilaku yang terjebak dalam

demokrasi transaksional20. Prof Zainal secara berani menegaskan tanpa berniat menuding pihak

manapun bahwa dalam transisi demokrasi di Indonesia saat ini Parpol tidak terkecuali Parpol

Berbasis Islam dalam menerapkan prinsip demokrasi, baik dalam pengambilan keputusan yang

terkait dengan kebijakan publik maupun pemilihan pemimpin atau pejabat publik terjebak dalam

lingkup demokrasi transaksional. Demokrasi Transaksional bukan sekedar terkait dengan

financial, tetapi juga kepentingan politik jangka pendek. Termasuk di dalamnya jabatan-jabatan

publik. Prof. Zainal mempertanyakan bagaimana proses politik. Justru tidak mencederai

demokrasi itu sendiri. Artinya produk politik yang digodok di Lembaga Perwakilan sebagai

representasi rakyat menghasilkan produk kebijakan yang mampu mendorong partisipasi dalam

19 Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen, 2008, Jakarta, Trans Wacana, Hal. 11-13 20 Zainal Arifin Hoessein, Hukum dan Dinamika Sosial, 2014, Jakarta, CV. Ramzy, hal. 280.

232 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

mewujudkan kesejahteraan bersama. Solusinya menurut Prof. Zainal, adalah proses recruitment

harus didasarkan pada prinsip demokrasi yang dipandu oleh prinsip hukum (legal), dan akan

menghasilkan pemimpin yang diterima oleh sebagian besar masyarakat (legitimate) karena

kesalehan intelektual, moral dan berkinerja tinggi (competence) dari sumber referensi yang sama,

ada gagasan lain yang ditawarkan Prof. Zainal untuk mengakselerasi dan mengakhiri fase transisi

demokrasi menuju membangun budaya demokrasi Berketuhanan yang Maha Esa adalah

penguatan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Guna memperlancar upaya terwujudnya

konsolidasi demokrasi tersebut, terdapat beberapa agenda yang perlu direalisasikan, yakni:

1. Memperluas akses warga negara terhadap sistem peradilan yang membangun suatu rule of law

yang sesungguhnya.

2. Mengendalikan perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan

pengasingan dari proses politik.

3. Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigative badan legislative sehingga menjadi

badan yang professional dan independen.

4. Desentralisasi kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah, sehingga demokrasi

dapat lebih responsive dan bermakna bagi seluruh warga negaradi seluruh wilayah suatu negara.

5. Menciptakan partai-partai politik yang mampu memobilisasi dan merepresentasikan

kepentingan yang berkembang di masyarakat bukan hanya kepentingan personal para pemimpin

dan lingkungan para politisi belaka.

6. Membangun kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara

modal sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari

negara.

7. Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem persekolahan, program pendidikan

warga yang baru yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan

toleransi, nalar, moderasi dan kompromi yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis.

Agenda konsolidasi yang ambisius tersebut memerlukan adanya peningkatan aturan hukum baru,

penumbuhan lembaga-lembaga baru dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga negara, sistem

kepartaian dan masyarakat sipil.

Dalam paradigma yang mendasar dan substantive terkait kohesitas atau kontra produktifkah

Islam dan demokrasi? Jawabnya jelas doktrin dan ajaran Islam tidak bertentangan dengan prinsip

demokrasi/ demokratisasi. Hal ini didukung oleh pandangan beberapa cendekiawan muslim

maupun non muslim. Dalam bukunya Demokratisasi dan prospek hukum Islam di Indonesia21,

oleh Abdul Ghofur, M.Ag, mengemukakan: Bahwa menurut Giddens, Demok berarti

21 Abdul Ghofur,Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, 2002, Yogyakarta Walisongo Press dan Pustaka

Pelajar, hal. 3-6.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 233

mengandung makna suatu sistem politik di mana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan

Raja atau Bangsawan. Sedang bagi Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa demokrasi Indonesia

adalah penerapan ide-ide demokrasi sejagat (universal) sesuai kondisi Indonesia dan tingkat

perkembangannya. Oleh karena itu, bagi kita Bangsa Indonesia, cepat atau lambat tidak ada

pilihan laih yang lebih maju (advanced) sebagai kelanjutan logis pembangunan nasional. Sebab

demokrasi/ demokratisasi yang lebih maju itulah yang akan menjadi jaminan lestarinya asset

nasional dalam jangka panjang.

Untuk itu, menurut Abdul Ghofur ada beberapa konsep dan pembenaran teologis-sosiologis

yang digunakan oleh sejumlah intelektual yang digunakan oleh sejumlah intelektual muslim

dalam menerima gagasan demokrasi. Pertama, demokrasi diterima sebagai suatu keharusan

sejarah. Kedua, beberapa intelektual muslim merumuskan titik temu antara Islam dan demokrasi

melalui pencarian koherensi prinsip-prinsip atau nilai-nilai dasar tentang pengaturan kehidupan.

Islam dengan sendirinya dianggap cocok (compatible) dengan demokrasi karena adanya

koherensi nilai yang ada di dalamnya, seperti prinsip persamaan (al-Musawah), kebebasan (al-

Hurriyah) pertanggungjawaban publik (al-Mas’uliyah) dan kedaulatan rakyat atau musyawarah

(syura’). Bahkan menurut Hamid Enayat, jika dimaksud Demokrasi adalah sistem Pemerintahan

yang bertolak belakang dengan kediktatoran, maka Islam sesuai dengan demokrasi.22

Sedangkan bagi Abdurrahman Wahid (GUSDUR) lanjut Abdul Ghofur, demokrasi adalah

suatu proses, maksudnya demokrasi tidak dipandang sebagai suatu sistem yang pernah selesai dan

sempurna. Demokrasi sebagai proses mengandung makna bahwa kadar pelaksanaan konkrit dari

prinsip demokrasi itulah yang menjadi ukuran penting. Keadaan atau kondisi demokrasi bisa

beubah-ubah, berkembang atau meroket tergantung dari imbangan kekuatan yang berlaku.

Sehingga Gusdur menegaskan landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya

peluang kepada semua orang dan berartinya kemandirian untuk mengatur hidupnya sesuai dengan

apa yang dia ingini. Intinya, demokrasi menuntut adanya keadilan yang mensyaratkan adanya

otonomi setiap individu. Hal-hal yang masih bisa dinegosiasikan. Ini menegaslam perjuangan

menegakkan demokrasi tidak bisa dilakukan dengan sekali jadi, tapi butuh waktu yang panjang

dan kesabaran yang tinggi disamping juga keseriusan. Jika suatu masyarakat bangsa hidup dalam

iklim demokratisasi, Islam akan terjamin demokrasi juga akan menampilkan wajah Islam secara

damai.23

22 Ibid, Hal.6 23 Ibid, hal. 6

234 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Ditegaskan pula bahwa isu demokratisasi selalu merupakan sesuatu yang strategis dan

fungsional untuk menjawab persoalan bangsa, karena dalam pandangannya, demokrasi dapat

mempersatukan kekuatan-kekuatan bangsa. Dan jika Islam dapat memperjuangkan demokrasi,

maka akan dapat menyumbangkan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa ini.

Arus utama Islam politik di Indonesia berpandangan bahwa Islam dan demokrasi itu cocok

tidak kontraproduktif satu terhadap yang lain. Maka demokrasi berkeTuhanan yang Maha Esa

adalah sebuah keniscayaan untuk terus-menerus dibinakembangkan dalam semangat landasan

filosofi Pancasila sebagai dasar dan ideology negara. Dimana nilai KeTuhanan yang Maha Esa

sebagai nilai dan sila Pertama dan utama yang mewarnai dan membimbing perilaku para

penyelenggara negara dan warga bangsa dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan terwujudnya keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bingkai kemuliaan Indonesia sebagai negara hukum

demokratis konstitusional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Menarik juga mencermati ulasan Dr. H.A Ahsin Thohari, SH dalam bukunya: Hak

Konstitusional dalam Hukum Tata Negara (2016). Dalam analisisnya A. Ahsin mengatakan,

Pancasila sebagai dasar-dasar filosof terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan

kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme, Pancasila sebagai ideology terbuka yang

hanya dapat dijalankan dalam sistem demokratis, dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan

perkembangan masyarakat. Berdasarkan falsafah Pancasila, manusia Indonesia adalah makhluk

ciptaan Tuhan yang mempunyai naluri, akhlak, daya pikir, dan sadar akan keberadaannya yang

serba terhubung dengan sesamanya. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila telah bersemayam,

berkembang, dalam hati sanubari dan kesadaran bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya adalah

nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang bermakna bahwa bangsa Indonesia menyatakan

kepercayaannya, ketakwaannya kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama dan

kepercayaan masing-masing. Prinsip ini mendapat tempat yang konstitusional dalam Pasal 29

UUD 1945 ayat (1): Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, ayat (2) Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Bahkan pengakuan atas eksistensi Tuhan

Yang Maha Esa dalam perjuangan rakyat mewujudkan NKRI ini dituangkan dalam aline ke-3

Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan

didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat

Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Dalam konteks pengembangan demokrasi berkeTuhanan yang Maha Esa ternyata menarik

perhatian tokoh dan ulama besar di Indonesia dalam hal ini termasuk Buya Hamka, dalam

bukunya “Keadilan Sosial dalam Islam” (2015, 31). Dimana beliau lebih memilih demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 235

taqwa. Seorang ahli pikir Islam dari Pakistan memberi nama yang modern yaitu digabungkan di

antara teokrasi dengan demokrasi menjadi teodemokrasi.

Dalam paradigma lain dengan mengutip pendapat Prof. Muchtar Kusumaatmadja dan B.

Arief Sidarta maka Dr. A.Ahsin Thohari dalam bukunya” Hak Konstitusional dalam Hukum Tata

Negara Indonesia.24 Antara lain menulis bahwa khusus berkenaan dengan aspek hukum yang

terdapat dalam Pancasila sebagai konsekuensinya sebagai rechssidee, maka di dalam Pancasila

terdapat asas-asas yang merupakan pencerminan dari tekad dan aspirasi bangsa Indonesia yang

mencapai kemerdekaannya dengan perjuangan yang terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:

A. Asas Ketuhanan mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang

bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama.

B. Asas Perikemanusiaan mengamanatkan bahwa hukum harus melindungi warga negara dan

menjunjung tinggi martabat manusia.

C. Asas persatuan dan kesatuan atau kebangsaan mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus

merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, hukum nasional

berfungsi mempersatukan bangsa Indonesia.

D. Asas demokrasi mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara hukum kekuasaaan,

kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Pada analisis terakhir, kekuasaan ada

pada rakyat dan wakil-wakilnya.

E. Asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama

dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.

Selanjutnya terkait dengan penjabaran dan aktualisasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

dan penerapannya di Indonesia, maka pandangan Akbar Tanjung – Mantan Ketua Umum Golkar

dan DPR- RI dalam artikelnya kontribusi agama dalam ke-Indonesiaan25, menjadi menarik untuk

disimak. Selanjutnya, dikatakan bahwa karakter Islam di Indonesia pada hakikatnya

menggambarkan Islam yang rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semesta alam, karena itu, apabila

ada peristiwa-peristiwa yang bisa dikategorikan sebagai bentuk dari radikalisasi keagamaan,

maka itu pasti bukan mencerminkan sejatinya karakter Islam. Dalam konteks itulah

Cendekiawanan Islam Nurkholis Madjid (Cak Nun) menyebutkan Islam yang rahmatan lil’alamin

bercirikan menghormati keberagaman, inklusif, toleran, dialogis, mengedepankan nilai-nilai

keadilan dan kemanusiaan, tidak ekstreem (ummatan wasathon) dan sejalan nilai-nilai

kemodernan dan demokrasi.

24 A. Ahsin Thahry, Hak Konstitusional dalam Hukum Tata Negara Indonesia, 2016, Jakarta, Erlangga, Hal. 155-17 25 Kompas, 22 April 2017.

236 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

C. Kesimpulan dan Saran

Bertitik tolak dari pemaparan dan uraian di atas maka Penulis sampai pada beberapa kesimpulan

dan saran sebagai berikut:

1. Islam adalah agama Allah (Dienullah), yang wahyukan kepada para Rasulnya sejak Nabi

Adam AS hingga yang terakhir Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat

manusia sehingga pedoman hidup yang menjamin akan mendatangkan kesejahteraan di

dunia dan di akhirat. Seluruh doktrin dan ajaran Islam adalah rahmat bagi seluruh alam

semesta termasuk kita di Indonesia. Secara historical keislaman di negeri ini tidak bisa

lepas dari keindonesiaan, karena di Indonesia, Islam sudah berabad-abad lamanya, telah

berurat dan berakar dalam kehidupan bangsa sejak zaman kolonialisme hingga masa kini

dan depan. Oleh karena itu, Umat Islam seyogyanya lebih mengoptimalkan ajaran Islam

dalamsegala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam

mewujudkan prinsip-prinsip demokratisasi.

2. Doktrin dan ajaran Islam selaras dan compatible dengan konteks demokrasi dan tidak

bertentangan satu dengan lainnya, karena adanya koherensi nilai-nilai yang ada di

dalamnya seperti prinsip persamaan, kebebasan, pertanggungjawaban politik, kedaulatan

rakyat (musyawarah) dan sebagainya. Islam merupakan sistem yang demokratis, dalam

makna bahwa Islam menolak despotisme, absolutisme, otoritarianisme. Dan Islam juga

dipandang sebagai agama yang menegakkan prinsip-prinsip hukum dan

konstitusionalitas. Sehingga semua orang diperlakukan sama (equality before the law),

selain itu juga menganut asas keadilan yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya dan

memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai ketentuan syariah. Islam

memiliki asas musyawarah yang berfungsi menyatukan berbagai keinginan dan kehendak

dalam masyarakat, dimana syura’ (masyarakat) merupakan cara yang efektif. Islam selalu

berpandangan ke depan untuk memperbaiki kehidupan yang lebih baik seperti juga

demokrasi yang selalu mengedepankan prinsip-prinsip keadilan. Untuk itu, perlu ada

upaya yang lebih produktif dan lebih efektif untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dan

prinsip demokratisasi secara konsisten, terpadu, konsepsional dan berkelanjutan secara

nyata dan menjadi gerakan nasional oleh semua elemen bangsa baik penyelenggara

negara maupun warga bangsa.

3. Konsepsi demokrasi Berketuhanan yang Maha Esa dalam gagasan kedudukan dan

pelaksanaan di Indonesia, tetap menjadikan Pancasila sebagai pedoman dan pandangan

hidup falsafah ideology dan dasar negara serta nilai-nilai dan etik moral yang tinggi

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila secara integral dan

komprehensif dalam kedudukannya dapat berfungsi sebagai cita negara dan cita hukum

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 237

dalam konteks negara hukum demokratis sehingga diharapkan dapat lebih akseleratif

membawa Indonesia sebagai negara kebangsaan yang religious dan demokratis dalam

mewujudkan tujuan kita bernegara sesuai amanat pembukaan UUD 1945.

4. Dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan Sila Pertama dan Utama dari

Pancasila, terkandung prinsip bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama dan

berketuhanan, maka menolak predikat sebagai bangsa atheis atau bangsa komunis dan

dengan demikian negara harus meningkatkan perannya secara lebih optimal untuk

menjamin terlaksananya kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing serta untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu. Sebagai

negara yang Bertuhan, maka di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, segala

hukum yang berlaku baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum internasional yang

telah menjadi hukum positif dalam konteks pembangunan nasional harus dilaksanakan

atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, harus

merupakan rangkaian satu kesatuan secara integral dengan sila-sila yang lain dalam

Pancasila adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang

berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan perwakilan dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Selain itu, Pancasila juga mengandung sejumlah asas yang merupakan intisari

dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri, antara lain: asas kulturil, asas religiousitas, asas

kenegaraan daripada bangsa Indonesia, asas di mana bangsa Indonesia berjiwa

Pancasilais lahir bathin dalam seluruh hidup dan kehidupannya termasuk yang

menyangkut bidang sosial, ekonomi, politik, dan bidang kenegaraan lainnya. Selain itu,

Pancasila juga menganut asas kerohanian yang dasar falsafahnya berstatus pokok sebagai

kaidah negara yang fundamental. Di mana nilai-nilai Ketuhanan menjadi nilai yang dapat

mewarnai dan menjadi pedoman dalam bermusyawarah untuk mufakat dalam rangka

terwujudnya demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa.

5. Gagasan dan paradigma demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa dalam bingkai

demokrasi Pancasila baik dalam kebijakan politik pemerintah maupun gerakan

masyarakat madani (civil society) sudah menjadi suatu keniscayaan sejarah dan tuntutan

zaman dalam dinamika perkembangan bangsa ini baik sekarang maupun ke depan, dan

dengan tuntutan masyarakat global yang kian cepat dan kompetitif. Untuk itu, agar asas

dan prinsip dari demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa dapat segera menjadi gerakan

nasional kita sebagai bangsa yang demokratis untuk merealisasikannya berlandaskan

prinsip-prinsip musyawarah untuk mufakat agar bangsa dan negara ini menjadi lebih kuat

dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan

238 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

UUD 1945, terutama meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa diskriminasi dan

pelanggaran HAM bagi warganya. Dan terwujudnya prinsip-prinsip keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia di bawah naungan dan bimbingan demokrasi yang Berketuhanan

Yang Maha Esa.

6. Konsepsi Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa, dalam realitas dan konstelasi

dinamika politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia, sebagai fenomena intelektual

visioner berbasis keluhuran nilai-nilai etik dan moralitas yang tinggi bagi kita sebagai

Negara Kebangsaan yang Religious. Atas fakta dan perspektif itu sudah seyogyanya kita

mencegah sekuat-kuatnya segala kecurangan, moral hazard dalam praktek demokrasi

transaksional yang mencurigakan, yang berpotensi mencederai niat baik dan komitmen

kita sebagai bangsa dalam membangun Pemerintahan dan masyarakat madani yang kuat,

stabil, dinamis, sejahtera, adil dan demokratis.***

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Studi atas

Pemikiran Gusdur, 2002, Yogyakarta,Walisongo Press dan Pustaka Pelajar.

Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, 2000, Yogyakarta, UII

Press.

A. Ahsin Thohari, Hak Konstitusional Dalam HTN, 2016, Jakarta, Penerbit Erlangga.

Artidjo Al-Kostar, Negara tanpa Hukum, Catatan Pengacara Jalanan, 2000,

Yogyakarta,Pustaka Pelajar.

Damrah Mamang, Mewujudkan Negara Hukum Demokratis Konstitusional Berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945, Jakarta, Jurnal Veritas, Edisi September, 2016.

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 2000, Bandung, Mizan.

Frans Magnis Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, 1995,

Jakarta, Gramedia, Pustaka Utama.

Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, 2016, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.

Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam, 2015, Depok Gema Insani.

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, 2008, Jakarta, Setjen dan

Kepaniteraan MK.

M. Sally Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Edisi 2, 2011, Jakarta, Soft Media.

Makmur Amir, dan Reni Dwi Purnowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, 2005, Jakarta,

Pusat Studi HTN FH UI.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 239

Masdar Farid Mas’udi, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam, 2010,

Jakarta, Pustaka Alphabet dan LaKip.

M. AS, Hikam dan Mulyana WK, Wacana Politik Hukum dan Demokrasi di Indonesia,

1999, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan MK, 2011,

Yogyakarta, FH UII Press.

Notonegoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, 1978, Jakarta, Pantjuran Tujuh.

Sutanto (Editor), Haji Agus Salim, 1884-1954, Perang, Jihad dan Pluralisme, 2004,

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Tarmidzi Taher, dkk, Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir, 2001, Jakarta, Pustaka

Firdaus.

Yuddy Chrisnandi, Beyond Parlemen,2008, Jakarta, Transwacana.

Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran, Editor: Hafidz Abbas, Buku I, II, III, IV,

2016, Jakarta, Pro Deleader.

-----------------------, Dinamika Tata Negara Indonesia,1996, Jakarta, Gema Insani Press.

Zainal Arifin Hoessein, Hukum dan Dinamika Sosial, 2014, Jakarta, CV. Ramzy Putra

Pratama.

Seri Buku Tempo, Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman, Jakarta, Tim Penyunting, Arif

Zulkifli, dkk, Kepustakaan Populer Gramedia.

UUD 1945, Setjen MPR-RI, 2013, Jakarta.

Harian Republika, Edisi 16/7/ 2017.

--------------------, Edisi 20/ 7/ 2017.

Harian Kompas, Edisi 22/ 4/ 2017.

--------------------, Edisi 12/ 7/ 2017.

--------------------, Edisi 20 / 7/ 2017.

240 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 241

aDEMOKRASI DILEBERATIF YANG BERKETUHANAN:

SEBUAH KONSEP KONVERGENSI ISLAM DAN DEMOKRASI1

Oleh: Ahmad Baihaki, S.H.I, M.H, Adi Nur Rohman, S.H.I., M.Ag, dan

Rahmat Ferdian Andi Rosidi, S.H.I, M.H.2

Abstrak

Islam dan demokrasi ibarat sisi koin mata uang. Keduanya tidak bisa dipisahkan apalagi

dipertentangkan satu dengan lainnya. Prinsip musyawarah yang tertuang dalam nash al-Qur’an

untuk menyelesaikan suatu perkara, merupakan asas penting dalam demokrasi. Belum lagi prinsip

demokrasi yang menekankan adanya prinsip kesamaan juga mengonfirmasi adanya keselarasan

dengan prinsip Islam. Namun kini yang menjadi tantangan dalam praktik demokrasi di berbagai

belahan negara, termasuk di Indonesia tentang dorongan adanya praktik demokrasi substansial.

Demokrasi yang tidak terjebak pada sisi prosedural an sich namun harus memperhatikan sisi

substansial yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi publik. Islam sebagai ajaran

agama yang universal mengatur hubungan masyarakat dan pemerintah dalam bingkai demokrasi

seperti perumusan kebijakan publik. Partisipasi publik dalam sistem demokrasi menjadi unsur

penting dan elementer. Keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan publik akan mendekatkan

produk kebijakan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi publik. Indonesia harus mampu

mewujudkan suatu sistem politik pemerintahan yang memberi ruang bebas kepada warga negara

untuk beraspirasi di ruang publik yang bersifat bebas, terbuka dan transparan. Diskusi-diskusi

publik seyogyanya mendapatkan ruang terbuka dalam kehidupan bernegara demi tercapainya

kebijakan publik yang asppiratif. Walhasil, terdapat titik temu antara demokrasi deliberatif dan

Islam dimana keduanya meletakkan prinsip musyawarah untuk mufakat sebagai pemikiran dasar

dalam pengambilan keputusan.

Kata kunci: demokrasi, berketuhanan, konvergensi dan Islam

1. Pendahuluan

Isu demokrasi kini telah bergeser tidak lagi dalam taraf pertentangan antara demokrasi

dengan sistem politik lainnya. Karena di berbagai belahan dunia, demokrasi telah menjadi sistem

yang dipilih dalam mengelola sebuah negara. Fenoemana Arab Spring beberapa tahun lalu

menjadi salah satu contoh, gelombang demokrasi juga menyasar ke negara-negara di Timur

Tengah.

Meski tidak dimungkiri, belakangan ada gugatan atas perjalanan demokrasi di berbagai

negara. Tawaran sistem dalam pengelolaan bernegara juga bermunculan sebagai sistem antitesa

dari demokrasi yang dinilai tidak sesuai dengan apa yang diidealkan seperti medium untuk

mensejahterakan masyarakat. Alih-alih demokrasi menjadi cara untuk menghadirkan kebijakan

yang pro publik, demokrasi justru menjadi alat legitimasi pada tirani mayoritas.

1 Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di

Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya,

Email: [email protected], [email protected]

242 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Sejumlah anomali yang terjadi dalam praktik demokrasi inilah yang menghadirkan gagasan

tandingan berupa tawaran sistem politik yang dinilai sebagai antitesa dari sistem demokrasi.

Fenomena Hizbut Tahrir yang menawarkan sistem khilafah dalam pengelolaan negara menjadi

salah satu contoh kritik terhadap penerapan sistem demokrasi di sejumlah negara.

Makanya, dorongan agar sistem demokrasi dapat dirasakan secara konkret oleh masyarakat,

menguat agar demokrasi tidak terjebak pada prosedural rutin berupa pemilihan umum (pemilu)

untuk memilih pra wakilnya baik di parlemen maupun di tingkat eksekutif (presiden). Terlebih,

perkembangan demokrasi saat ini tidak hanya berpaku dalam urusan politik saja, namun juga

masuk dalam sektor ekonomi (Miriam Budiarjo, 2008: 108). Maka muncul pula istilah demokrasi

ekonomi. Hal tersebut tidak terlepas dari persoalan yang muncul di masyarakat yang juga

menjadi tantangan bagi sistem demokrasi untuk meresponsnya. Makanya Demokrasi hingga saat

ini masih dinilai kompatibel sebagai sistem dalam berbangsa dan bernegara.

Ikhtiar untuk meningkatkan kualitas demokrasi senantiasa disuarakan oleh stakeholder mulai

dari ketersediaan regulasi yang aspiratif, modernisasi lembaga politik, serta meningkatkan

kualitas cabang-cabang kekuasaan negara dalam kerja pelayanan terhadap masyarakat.

Idealitas tersebut dapat terwujud jika terjadi kesatuan politik antara lembaga politik dan

kekuatan sosial yang membentuknya. Samuel P Huntington menyebutkan modernisasi akan

terwujud jika melibatkan pengingkatan jumlah dan penganekaragaman kekuatan sosial di dalam

masyarakat. (Huntington, 1983: 15)

Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan publik sejalan dengan gagasan

demokrasi dilberatif yang digaunkan oleh Jurgen Habermas yang menekankan bahwa hukum

dapat dipatuhi jika dihasilkan melalui diskursus praktis dalam proses penyusunan peraturan

perundang-undangan yang berupa opini publik dan aspirasi politis (Budi Hardiman, 2013: 128-

129).

Dalam literatur ilmu politik, partisipasi publik dekat kaitannya dengan partisipasi politik,

karena partisipasi politik juga erat dengan kebijakan publik. Yang dimaksud dengan partisipasi

politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam

kehidupan politk, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau

tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Hal ini sebagaimana disebut

Herbert McClosky, seorang tokoh masalah partisipasi:

“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana

mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan, secara langsung maupun

tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.(Budiarjo : 367)

Bagi negara demokrasi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari

penyelenggaraan kekuasaan yang absah oleh rakyat. Karena konsep partisipasi bertolak dari

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 243

paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang bertujuan untuk masa depan masyarakat itu

dan untuk menentukan tujuan serta masa depan masyarakat itu.

Semakin banyak partisipasi publik, justru semakin lebih baik. Dan sebaliknya, semakin

rendah partisipasi publik justru dinilai sebagai tanda kurang baik karena dapat dimaknai warga

tidak lagi menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan. (Budiarjo: 368-369)

Robert A. Dahl yang memasukkan partisipasi efektif sebagai salah satu kriteria demokrasi.

Menurut dia, sebelum sebuah kebijakan diputuskan untuk diberlakukan, maka seluruh anggota

harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka agar

diketahui anggota lainnya. (Dahl, 2001: 52)

Kendati demikian, definisi soal partisipasi politik memiliki batasan-batasannya. Karena ada

yang berpendapat partisipasi politik adalah tindakan atau aktivitas yang bukan keinginan,

pendapat, keyakinan, kecenderungan yang dalam psikologi politik disebut political atttitudes

(sikap-sikap politik). Partisipasi politik juga bukan tindakan bicara yang dinilai merupakan

keterlibatan politik (political engagement). (Saiful Mujani, dkk, 2011: 81)

Bapak Pendiri Bangsa Mohammad Hatta mengingatkan tentang model Kedaulatan Rakyat

ala Indonesia berbeda dengan apa yang digagas Rousseau, kedaulatan yang bersifat

individualisme. Secara ringkas diuraikan Bung Hatta sebagai berikut:

“Negara itu haruslah berbentuk Republik berdasarkan Kedaulatan Rakyat, Tetapi Kedaulatan

Rakyat yang dipahamkan dan dipropagandakan dalam kalangan pergerakan nasional berlainan

dengan konsepsi Rousseau yang bersifat individualisme. Kedaulatan Rakyat ciptaan Indonesia

harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bersifat kolektivisme. Demokrasi Indonesia

harus pula perkembangan daripada Demokrasi Indonesia yang “asli”. Semangat kebangsaan yang

tumbuh sebagi reaksi terhadap imperalisme dan kapitalisme Barat, memperkuat pula keinginan

untuk mencari sendi-sendi bagi negara nasional yang akan dibangun ke dalam masyarakat

sendiri.” (Hatta, 1992:120). (Yudi Latif, 2011: 385-386)

Hatta berpendapat ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu

bangsa Indonesia, terutama di lingkungan para pemimpin pergerakan. Pertama, tradisi

kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan

keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sesama makhluk Tuhan.

Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebagsaan

karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. (Yudi Latif, 2011:

386)

Peringatan dari Bung Hatta terkait dengan model partisipasi masyarakat Indonesia ini perlu

ditajamkan kembali sebagai sebuah konsep yang mengintegrasikan Islam dan demokrasi dalam

kehidupan masyarakat sebagai wujud demokrasi yang berketuhanan. Langkah ini semata-mata

244 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

untuk memastikan implementasi demokrasi mendekatkan jurang antara publik dengan

penyelenggara negara. Tujuannya agat setiap kebijakan publik memiliki orientasi konkret untuk

kemaslahatan bersama.

2. Demokrasi Indonesia

Secara etimologis, demokrasi (dari bahasa Yunani) adalah bentukan dari dua kata demos

(rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan) yang secara umum istilah demokrasi

diartikan sebagai sebuah bentuk pemerintahan rakyat (government of the people) dimana

kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara langsung oleh rakyat atau

melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung secara bebas.

(Ubaidillah dan Abdul Rozak, 2003: 66). Demokrasi dikembangkan untuk menumbuhkan

partisipasi rakyat, bukan partisipasi seseorang atau kelompok. Peran rakyat (baca : publik) lebih

dihargai karena berperan penting dalam mengambil keputusan untuk kepentingan publik. Sebut

saja, dalam menentukan seorang Kepala Daerah, Bupati, Gubernur, dan Presiden sebagai kepala

negara dalam system demokrasi harus dipilih oleh rakyat. (Jailani, 2015: 136).

Berkaitan dengan pemerintahan rakyat, ada trademark yang sangat terkenal sampai saat ini

yang dinyatakan oleh salah satu presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, presiden Amerika

Serikat yang ke 16. Presiden Amerika tersebut menyatakan bahwa demokrasi adalah

pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mengacu kepada pernyataan tersebut di

atas demokrasi diakui banyak orang dan Negara sebagai sebuah system nilai kemanusiaan yang

paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari system lainnya (Gadug

Kurniawan, 2015: 97)

Perubahan Indonesia menuju demokrasi, menurut Azyumardi Azra (dalam Ubaedillah, 2003:

xiii) adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Setelah kekuasaan orde baru di bawah

Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, Indonesia tercatat di antara negara dalam gerbong

yang disebut banyak ahli sebagai the third wave of democracy (gelombang demokrasi ketiga)

yang terjadi pada dasawarsa 1990-an. Gelombang demokrasi ini ditandai dengan meningkatnya

jumlah negara-negara yang secara formal menganut sistem demokrasi.

Azra (2002: 8) menilai bahwa perkembangan Indonesia menuju demokrasi dalam tiga tahun

terkahir ini agaknya tidak mungkin lagi dimundurkan (point of no return). Perubahan Indonesia

menuju demokrasi jelas sangat dramatis, dan Indonesia mulai disebut-sebut sebagai salah satu

demokrasi terbesar. Perubahan Indonesia menuju demokrasi tidak bisa lain mengikuti

kecenderungan pertumbuhan dramatis demokrasi pada tingkat internasional secara keseluruhan.

Meskipun demikian, demokrasi murni (Barat) bukanlah sistem yang tepat bagi bangsa

Indonesia. Terdapat perbedaan yang mendasar dalam kultur dan budaya masyarakat Indonesia

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 245

yang menjadikan demokrasi untuk Indonesia berbeda dengan demokrasi Barat. Dalam pidatonya

sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta, seperti yang dikutip Zulfikri Suleman (2010: 181)

mengemukakan sebagai berikut:

“Berdasarkan kepada pengalaman yang diperoleh di benua Barat, dan bersendi pula

kepada susunan masyarakat desa Indonesia yang asli, kita dapat mengemukakan

Kedaulatan Rakyat yang lebih sempurna sebagai dasar pemerintahan Negara Republik

Indonesia. Kedaulatan rakyat kita meliputi kedua-duanya: demokrasi politik dan demokrasi

ekonomi. Dengan mudah kita dapat mengemukakannya, oleh karena masyarakat kita tidak

mengandung penyakit individualisme. Pada dasarnya masyarakat Indonesia masih bersendi

kepada kolektivisme”.

Menurut Moh. Hatta, kita sudah mengenal tradisi demokrasi jauh sebelum Indonesia

merdeka, yakni demokrasi desa. Demokrasi desa atau desa-demokrasi merupakan demokrasi asli

Indonesia, yang bercirikan tiga hal yakni 1) cita-cita rapat, 2) cita-cita massa protes, dan 3) cita-

cita tolong menolong. Ketiga unsur demokrasi desa tersebut merupakan dasar pengembangan ke

arah demokrasi Indonesia yang modern. Demokrasi Indonesia yang modern adalah “daulat

rakyat” tidak hanya berdaulat dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi dan sosial.

Demokrasi Indonesia adalah kedaulatan rakyat atau demokrasi dalam kehidupan politik dan

ekonomi, berdasarkan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan, yang menunjukkan perbedaan

yang nyata dengan demokrasi Barat (Suleman, 2010: 183).

3. Islam dan Demokrasi

Wacana tentang Islam dan demokrasi secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga

pemikiran: Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik berbeda. Kedua, Islam

berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan prosedural seperti dipahami dan

dipraktikkan di negara-negara Barat. Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan

mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan di negara-negara maju

(Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 86)

Demokrasi yang merupakan warisan Barat, kerap kali dicap sebagai produk kafir yang tidak

bisa diterima dalam Islam yang bahkan oleh beberapa kalangan sampai kepada pengharaman.

Lagi-lagi, karena demokrasi merupakan buah peninggalan Barat (kafir). Menanggapi hubungan

Islam dan demokrasi, Abdurrahman Wahid –yang akrab disapa Gus Dur- (2007: 285-286)

menilai bahwa salah satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi di kalangan lembaga dan

kelompok agama (red: Islam) adalah perbedaan hakekat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya.

Agama selalu bertolak dari pandangan normatif yang diajarkan Kitab Suci-nya. Sehingga

kebenaran yang dapat diterima hanya satu, yaitu kebebasan ajaran agama tersebut. Sementara

demokrasi berbanding terbalik dengan agama, dimana ia justru membuka peluang seluas-luasnya

246 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

bagi perubahan nilai oleh masyarakat dan dengan demikian justru dapat mengancam nilai-nilai

abadi yan terkandung dalam agama.

Islam merupakan agama yang dinamis. Dinamisme Islam dapat terlihat dari persoalan-

persoalan fiqih yang dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Perubahan yang sangat

signifikan dapat kita lihat dalam lapangan muamalat dan politik. Dalam catatan sejarah,

Rasulullah saw tidak menghilangkan nilai-nilai jahiliyyah seluruhnya, sejumlah nilai-nilai dari

budaya jahiliyyah beliau adopsiyang dituang ke dalam doktrin ajaran Islam atas dasar tauhid.

Contohnya, sistem syura yang merupakanadaptasi dari Dar al-Nadwah amalan pembesar

Quraisy, tahalluf dan haqq al-jiwar (memberikan perlindungan kepada mereka yang dizhalimi)

yang juga diresepsi ke dalam ajaran Islam. Khalifah Umar kerap ditemukan dalam ijtihadnya

mengadopsi dari peradaban Persia dan Romawi, begitupun dengan Rasulullah saw yang juga

mengadopsi teknologi perang Persia dan Romawi saat perang Khandaq (parit) dan pembuatan

manjanik (pelontar batu seperti meriam) dan masih banyak sistem yang diambil untuk dijadikan

sebagai doktrin Islam. (Maszlee Malik, 2017: 59-60)

Hal-hal yang disebutkan di atas pada akhirnya dijadikan olehsejumlah ulama kontemporer

dan pemikir Islam sebagai pijakan untuk melakukan hal yang sama dalam urusan politik dan

demokrasi dimana demokrasi merupakan jalan berpolitik umat Islam. Mereka menilai bahwa

politik hendaknya disikapi sebagai ruang ijtihad yang berlandaskan tujuan hukum

Islam(maqashid syari‟ah).

Diantara yang menerima sistem demokrasi tersebut adalah Syeikh Yusuf al-Qardhawi.

Beliau berpandangan bahwa umat Islam diperbolehkan untuk berpolitik selama tidak

bertentangan dengan syari’ah dan sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Demokrasi harus

dipandang sebagai usaha untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingan rakyat (umat Islam)

dalam memilih pemimpin yang patut dan mewujudkan mekanisme pemerintahan yang adil dan

bersih (Malik, 2017). Namun perlu dipahami bahwa mereka yang menerima demokrasi tidak

menerimanya secara mutlak. Mereka menolak sikap fanatisme pendukung kebebasan mutlak dan

segala hal yang jauh menyimpang dari ajaran Islam. Sikap kebebasan yang kebablasan seperti

yang marak digaungkan belakangan ini merupakan sikap dan cara pandang hidup yang dengan

tegas Islam melarangnya. Kebebasan yang diberikan Islam adalah kebebasan nilai-nilai yang

bernaung dibawah peraturan dan prinsip syari’ah.

Mohammad Natsir, pemimpin Partai Masyumi sekaligus tokoh paling penting dalam

perdebatan mengenai Islam dan negara dalam Dewan Konstituante, seperti yang dinukil Tri

Shubhi Abdillah dkk (2017: 50) menyatakan bahwa ketika ajaran Islam disandingkan dengan

gagasan mengenai negara, yang terlihat ialah sebuah upaya untuk menjadikan sebuah negara

berdasarkan Islam. Paling tidak sebuah negara modern yang dibangun dengan melibatkan asas-

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 247

asas Islam. Tentu saja hal ini bukan sebuah teokrasi sebagaimana pernah ada dalam pengalaman

Kristen-Barat.

“Negara yang berdasarkan Islam bukanlah suatu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan

pula sekuler seperti yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam.”

Nilai demokratis yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya. Inti dari

keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme).

Dalam keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan,

bersifat nisbi belaka. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang

melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan jiwa Tauhid (Latif dalam

Paristisyanti, dkk., 2016: 159). Pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak pada

sesama manusia merupakan hal yang tidak adil dan tidak beradab. Sikap pasrah kepada Tuhan,

yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu yang lain, menghendaki tatanan sosial terbuka,

adil, dan demokratis (Madjid dalam Paristiyanti, 2016).

Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di

hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak

antarsesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan pemaksaan itu.

Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk menyampaikan kebenaran (tabligh) kepada

umat manusia, bukan untuk memaksakan kebenaran kepada mereka. Dengan prinsip persamaan

manusia di hadapan Tuhan itu, tiap-tiap manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak,

dan kebebasannya yang dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang

harus bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga

didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi

kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif dalam Paristiyanti, 2016).

Sejarah nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip-prisip Tauhid itu dicontohkan oleh

Nabi Muhammad S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di Madinah, dengan

mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian dikenal sebagai bangsa (nation). Negara-kota

Madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan konsepsi Negara-bangsa

(nation-state), yaitu Negara untuk seluruh umat atau warganegara, demi maslahat bersama

(common good). Sebagaimana termaktub dalam Piagam Madinah, “negara-bangsa” didirikan atas

dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah)

tanpa membeda-bedakan kelompok keagamaan yang ada.

248 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

4. Prinsip Islam dalam Demokrasi

Secara substansi, nilai-nilai Islam tercermin dalam konsep demokrasi. Untuk melihat sejauh

mana nilai Islam masuk ke dalam konsep demokrasi, prinsip-prinsip utama Islam terkait

demokrasi perlu diketahui dan dipahami terlebih dahulu.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi berlandaskan beberapa prinsip utama

sebagai berikut (Abdul Ghofur, 2002: 41):

1. Al-Musawah, yaitu sebuah konsep persamaan diantara sesama manusia dalam hal martabat,

derajat dan kedudukannya. Islam tidak membedakan manusia berdasarkan strata sosial,

gender, ras, melainkan sikap ketakwaan manusia terhadap Allah lah yang membedakan

kemuliaan seorang manusia. Di dalam Alquran, Allah swt berfirman dalam surat Al-

Hujurat (49) ayat 13:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah

ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi

Maha Mengenal”

2. Al-Hurriyyah, yaitu konsep kebebasan atau kemerdekaan berdasarkan pertanggungjawaban

moral dan hukum, baik di dunia maupun di akhirat. Prinsip ini berpijak kepada konsep

yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang memandang bahwa manusia adalah

makhluk terhormat yang diberikan kemudahan oleh Allah untuk mempunyai kebebasan

memilih. Setiap manusia berhak untuk menentukan pilihannya masing-masing tanpa ada

campur tangan dari luar. Dalam islam, prinsip ini adalah ayat perjanjian ketika manusia

membenarkan ke-rububiyah-an Allah. Allah berfirman dalam Surat al-A’raf (7) ayat 172

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturu-nan anak-anak Adam dari sulbi

mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami

menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak

mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah

terhadap ini (keesaan Tuhan)".

3. Al-Ukhuwwah, merupakan sebuah konsep persaudaraan sesama manusia atas dasar

persamaan kedudukannya sebagai makhluk Allah swt yang sama-sama diciptakan dari

tanah. Firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 213:

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus

Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab

yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 249

perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah

didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-

keterang-an yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi

petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka

perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang

dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”

4. Al-„Adalah, adalah konsep keadilan yang berintikan kepada pemenuhan hak-hak manusia

sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat. Allah berfirman dalam Surat al-

Ma’idah (5) ayat 8:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu

menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-

kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”

5. Al-syura, musyawarah, dimana setiap warga masyarakat berhak atas partisipasi dalam

urusan publik yang menyangkut kepen-tingan bersama. Dalam hal ini mengutamakan

prinsip musyawarah sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Syura (42) ayat 38:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan

shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan

mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.

6. Al-Mas‟uliyyah/responsibility, prinsip pertanggungjawaban yang dipikul oleh setiap

pemegang kekuasaan. Perlu dipahami bahwa kekuasaan merupakan amanah yang harus

diwaspadai dan bukan nikmat yang harus disyukuri. Khusus bagi penguasa, pengertian

amanah berarti fungsi ganda yakni amanat Allah dan amanat rakyat

4. Islam Dalam Wacana Demokrasi Deliberatif

Di berbagai belahan dunia, demokrasi menjadi kata yang paling diminati dan seakan sudah

menjadi sebuah keyakinan sebagian besar umat manusia bahwa ia adalah sebuah konsep yang

ideal untuk mencapai tujuan perdamaian dan keadilan di suatu negara. Demokrasi bukan tujuan

yang hendak dituju melainkan jalan yang diyakini banyak orang menjanjikan untuk bisa

mencapai tujuan hidup bernegara yang baik.

Proses islamisasi dalam aktualisasi demokrasi dalam tataran praktis harus dilakukan

bersama-sama dari kalangan pemerintah dan rakyat dengan mengupayakan usaha-usaha yang

berorientasi kepada perwujudan masyarakat Indonesia yang demokratis, toleran dan kompetitif

250 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

yang sejalan dengan prinsip dan nilai-nilai Islam (Islamic values). Hal ini dapat dilakukan melalui

cara-cara pengembangan budaya demokrasi yang baik dalam kehidupan sehari-hari dengan

mewujudkan prinsip musyawarah dalam merumuskan kebijakan publik.Pendekatan-pendekatan

yang bersifat komunikatif hendaknya lebih dikedepankan dalam rangka menyerap aspirasi

masyarakat sehingga dapat menetralisir gesekan, benturan bahkan ancaman yang kerap timbul

akibat miskomunikasi yang berkepanjangan.Konsep deliberasi yang dihadirkan dalam sistem

demokrasi merupakan tindakan bersama untuk merumuskan dan mewujudkan kebaikan bersama.

Tumbuhnya budaya demokrasi juga membutuhkan dukungan unsur lain, yakni negara.

Negara harus memfasilitasi perangkat-perangkat publik (public spheres) untuk keberlangsungan

demokrasi (Komaruddin Hidayat dalam Ubaedillah, 2003: ix-x).

Gambaran aktualisasi demokrasi deliberatif yang mengedepankan prinsip musyawarah yang

ada dalam kehidupan bangsa Indonesia sejatinya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang

memang telah dijelaskan bahwa demokrasi Indonesia adalah yang berlandaskan Pancasila yang

ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (teodemokrasi). Dalam perjalannya, beberapa anasir yang

menggambarkan praksis demokrasi di Indonesia antara lain:

a. Kebebasan Menyatakan Pendapat dan Berpartisipasi dalam Membuat Keputusan dan

Pemilihan Umum.

Kebebasan menyatakan pendapat adalah bagi warga negara secara umum tanpa

membedakan yang kuat maupun yang lemah. Kebebasan ini diberikan lantaran menyatakan

pendapat menjadi sebuah kebutuhan yang tak terelakkan dalam sistem pemerintahan yang

terbuka saat ini.

Demikian juga dalam hal pembuatan keputusan, masyarakat harus aktif berpartipasi dalam

rangka menghasilkan keputusan yang tepat demi kemaslahatan bangsa dan negara. Aspirasi

dan kemauan rakyat harus dipenuhi dan pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi

yang merupakan arah dan pedoman dalam melaksanakan hidup bernegara. Para pembuat

kebijakan memperhatikan seluruh aspirasi rakyat yang berkembang. Kebijakan yang

dikeluarkan harus dapat mewakili berbagai keinginan masyarakat yang beragam.

Masyarakat disamping ikut berpartisipasi dalam membuat keputusan, mereka juga diminta

aktif dalam kegiatan pemilihan umum (pemilu). Pemilu merupakan salah satu mekanisme

demokrasi untuk ikut terlibat dalam menentukan pergantian pemerintahan secara langsung.

Masyarakat diminta menggunakan hak pilihnya dalam memilih wakil mereka di parlemen

dan pemimpin-pemimpin daerah dan nasional. Ini semua dilakukan secara langsung,

umum, bebas, dan rahasia. Kegiatan semacam ini haruslah dilaksanakan secara jujur, adil,

transparandengan tidak menimbulkan kekacauan disana-sini. Majelis Ulama Indonesia

(MUI) sebagai lembaga yang mewadahi para ulama, zu‟ama, dan cendekiawan Islam

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 251

Indonesia bahkan pernah mengeluarkan fatwa akan larangan golputketika ada calon

pemimpin yang telah memenuhi kualifikasi. Fatwa yang ditetapkan tahun 2009 ini

sekaligus menegaskan dukungan nyata tokoh Islam terhadap pembangunan demokrasi

negeri. Ini semua tentu harus dibarengi dengan nilai dan etika yang baik sesuai dengan

prinsip-prinsip Islam.

b. Kebebasan Berkelompok dan Berserikat.

Berkelompok atau berserikat merupakan elemen penting dalam sebuah sistem demokrasi.

Kebebasan untuk berkelompok ini diberikan guna menemukan jalan keluar secara bersama-

sama dengan kepentingan bersama bukan kelompok. Organisasi-organisasi dibentuk

sebagai wadah penyampaian aspirasi bersama.

Islam memandang bahwa penciptaan manusia memang bergolong-golongan (lihat QS. Al-

Hujurat: 13) demi perwujudan ikatan hubungan antar sesama manusia.

c. Persamaan Kedudukan di Depan Hukum (equality before the law).

Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan baik dan dapat mengayomi

rakyat dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu mengatur bagaimana seharusnya penguasa

bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga rakyatnya. Semua rakyat

memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya, hukum harus dijalankan secara

adil dan benar. Hukum tidak boleh pandang bulu. Siapa saja yang bersalah dihukum sesuai

ketentuan yang berlaku. Di sinilah kedudukan negara hukum (rechtsstaat) terlihat sebagai

elemen penting dalam tegaknya berdemokrasi. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang

dengan adanya aparat penegak hukum yang tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh

pemerintahan yang berkuasa, dan berani menghukum siapa saja yang bersalah (Paristiyanti,

dkk, 2017: 173).

Keadilan adalah unsur penting dalam proses penegakan hukum. Itu sebabnya Islam

menekankan bahwa keadilan mutlak diberlakukan kepada siapapun dan kapanpun. Nilai

keadilan, seperti yang dijelaskan dalam Alquran, dalam penegakan hukum harus

diposisikan sebagaimana mestinya.Tidak ada intervensi, dan tidak ada tendensi apapun

sehingga keadilan adalah milik bersama bagi siapapun yang menghajatkannya.

5. Kesimpulan

Demokrasi Barat bukanlah sistem yang tepat bagi bangsa Indonesia. Terdapat perbedaan

yang mendasar dalam kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang menjadikan demokrasi untuk

Indonesia berbeda dengan demokrasi Barat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ber-

Ketuhanan Yang Maha Esa dimana keyakinan tersebut menjadi pondasi yang kuat bagi sistem

demokrasi Indonesia. Hal ini tentu selaras dengan nilai demokratis yang berasal dari Islam

252 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan

Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme).

Proses internalisasi nilai-nilai Islam dalam tataran praksis demokrasi di Indonesia seperti

yang telah disebutkan di atas, antara lain konsep al-musawah (persamaan), al-hurriyyah

(kebebasan), al-ukhuwawah (persaudaraan), al-„adalah (keadilan) dan al-syura (musyawarah)

merupakan sebuah keniscayaan dimana hal tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek,

diantaranya: (1) kebebasan menyatakan pendapat dan berpartisipasi dalam membuat keputusan,

(2) kebebasan berkelompok dan berserikat, serta (3) adanya persamaan kedudukan dihadapan

hukum.

Pada akhirnya, konsep demokrasi deliberatif yang berketuhanan mencoba untuk

meradikalkan konsep negara hukum klasik dengan teori diskursus. Melalui proses ini, konsep

demokrasi yang ada akan menjadi landasan filosofis bagi terciptanya tatanan bangsa atas dasar

prinsip persamaan dan keadilan. Pendekatan secara komunikatif yang coba dibangun oleh

konsep deliberasi ini berupaya untuk meminimalisir munculnya gesekan-gesekan serta benturan-

benturan yang mungkin terjadi dari elemen masyarakat dan pemerintah yang kesemuanya harus

dibangun dengan nilai-nilai ketuhanan.

Daftar Pustaka

Buku

Al-Jufri, Salim Segaf, dkk. 2004. Penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: PT.

Globalmedia Cipta Publishing.

Azra, Azyumardi. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi.

Jakarta: Kompas.

Budiardjo, Miriam. 2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dahl,Robert A. Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat.

2001.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ghofur, Abdul. 2002. Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas

Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hardiman, F. Budi. Demokrasi Dilberatif, Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam

Teori Diskursus Jurgen Habermas. Cet ke-5.2013.Yogyakarta:Penerbit Kanisius

Huntington, Samuel P. 1983.Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang Berubah (Buku

Kesatu). Terj. Sahat Simamora dan Suryatim. Jakarta: CV Rajawali Pers.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 253

Latif,Yudi. 2011.Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:

Gramedia.

Mahfud MD, Moh. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gema Media.

Mujani R, Saiful, dkk. 2011.Kuasa Rakyat, Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan

Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. Bandung: Mizan.

Nurwardani, Paristiyanti, dkk. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Pendidikan Tinggi.

Jakarta: Ristekdikti

Suleman, Zulfikri. 2010. Demokrasi Untuk Indonesia; Pemikiran Politik Bung Hatta. Jakarta:

Kompas

Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila. 2003. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Cet.

Ke-12. Jakarta: Kencana.

Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi

Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.

Jurnal Tercetak

Malik, Maszlee. 2017. “Politik Islam (Siyasah Syar’iyyah) dan Demokrasi Parlementer di

Malaysia,” dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. XI, No.

1(Februari). Jakarta: INSIST

Shubhi, Tri, dkk. 2017. “Islam dan Negara: Perspektif Pak Natsir,” dalam Jurnal Pemikiran dan

Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. XI, No. 1. (Februari). Jakarta: INSIST

Jurnal Online

Jauhar, Najid. 2007. “Islam, Demokrasi, dan HAM Sebuah Benturan Filosofis dan Teologis,”

Jurnal Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Vol. 11, No. 1, (Juli). (hlm. 31-62)

Jailani, 2015. “Sistem Demokrasi di Indonesia Ditinjau Dari Sudut Hukum Ketatanegaraan,”

Jurnal Inovatif, Vol. VIII, No. I. (Januari)

Kurniawan, Gadug. 2015. “Kebebasan Sebagai Hakekat Demokrasi,” dalam Jurnal Inovatif, Vol.

VIII, No. I, (Januari).

254 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 255

ISLAM DAN KONSTITUSI

STUDI TERHADAP PERKEMBANGAN AMANDEMEN KONSTITUSI MESIR

TAHUN 2011 - 20141

Oleh: Rohmad Adi Yulianto, Lc., MDLS.2

Abstrak

Kajian antara Islam dan konstitusi negara selalu mempunyai ruang negosiasi dialektis yang

sangat fluktuatif. Hubungan antara Islam dan sistem negara dapat mengalami pasang surut yang

dipengaruhi oleh kebijakan rezim penguasa terhadap nilai Islam di dalam aturan ketatanegaraan.

Bagaimana konstruk Islam terhadap konstitusi di dalam kajian fiqih siyasah atau siyasah

syar’iyah nya, sehingga dapat menemukan titik temu teoretis di dalam praksis aturan

ketatanegaraan antara tujuan dari syari‟ah Islam dengan tujuan dari konstitusi negara di dalam

konsep negara-bangsa modern yang dalam pembahasan makalah ini menempatkan Mesir sebagai

obyek kajian. Mesir adalah negara dengan sistem republik presidentil parlementer dengan

populasi penduduknya berlatar belakang multikultur, plural, mengakui keberagaman keyakinan

dan sekte keagamaan yang didominasi oleh penganut Islam Sunni multivarian mazhab fiqih.

Kajian terhadap Mesir ini dapat menjadi perbandingan bagi negara-negara muslim modern

lainnya yang mempunyai kemiripan dari sisi hukum, sosial, politik, dan keagamaan. Tulisan ini

secara khusus menempatkan penggantian konstitusi Mesir tahun 2012 dengan konstitusi 2014

sebagai studi kasus dianalisa dari sudut pandang politik Islam global dengan menelaah lebih

dalam hubungan antara Islam sebagai sebuah keyakinan masyarakat dengan perkembangan

konstitusi yang notabene adalah sebuah perkembangan sosiologis yuridis dari tatanan masyarakat

negara-bangsa modern. Konstitusi Mesir 2012 dan 2014 menarik sebagai obyek studi dalam

kajian antara Islam dan konstitusi, karena di dalam penggantian tersebut mengandung perdebatan

antara kelompok Islam konservatif yang direpresentasikan oleh Konstitusi 2012 dengan

kelompok nasionalis sekuler yang dicerminkan di dalam kandungan konstitusi 2014.

A. Pendahuluan: Islam dan konstitusi

Pembahasan tentang Islam dan konstitusi merupakan kajian yang telah jamak dilakukan di

negara-negara yang mayoritas populasi penduduknya adalah muslim. Populasi muslim di dunia

mencapai lebih dari 1,3 Milyar jiwa, di mana sebagian besar hidup di 44 negara dengan penduduk

mayoritas muslim. Sepuluh negara di antaranya menyatakan sebagai negara Islam, Afghanistan,

Bahrain, Brunei Darussalam, Republik Islam Iran, Kepulauan Maladewa, Mauritania, Oman,

Pakistan, Arab Saudi, dan Yaman. Dua belas negara tidak menyatakan sebagai negara Islam

tetapi menyebutkan di dalam konstitusinya bahwa Islam adalah agama resmi negara, dia

antaranya adalah Aljazair, Bangladesh, Mesir, Irak, Yordania, Kuwait, Libya, Malaysia, Maroko,

Qatar, Tunisia, dan Uni Emirat. Sepuluh negara di antaranya menyatakan bahwa sistem negara

adalah sekuler walaupun memiliki penduduk mayoritas muslim, di antaranya adalah Burkina

1 Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di

Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Universitas Islam Negeri Yogjakarta,

Email: [email protected]

256 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Faso, Chad, Guinnea, Mali, Niger, Senegal, Azerbaijan, Kyrgistan, Tajikistan, dan Turkmenistan.

Tujuh negara di antaranya tidak secara jelas menyebutkan di dalam konstitusinya sebagai negara

Islam atau negara sekuler, Albania, Lebanon, Suriah, Kepulauan Komoro, Djibouti, Somalia, dan

termasuk di dalam kelompok ini adalah Indonesia.3

Di Indonesia sendiri pembahasan antara Islam dan konstitusi telah menjadi bahan

perdebatan serius di tingkat nasional yang terekam sejarah sejak sebelum kemerdekaan melalui

sidang BPUPKI maupun setelah kemerdekaan di dalam pembahasan sidang konstituante 1956 –

1959 dan pada pembahasan amandemen UUD 1945 pasca reformasi dalam sidang umum tahunan

MPR di tahun 2000. Republik Arab Mesir (baca: Mesir) menjadi salah satu negara di kawasan

Timur-tengah yang paling demokratis dalam hal pembahasan dan pengembangan konstitusi jika

dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Timur-tengah. Pembahasan antara Islam dan

konstitusi di Mesir mempunyai banyak kesamaan dengan kondisi di Indonesia karena latar

belakang kemajemukan keyakinan penduduknya,4 dan kedekatan haluan politik di masa

perjuangan kemerdekaan, khususnya kedekatan antara pimpinan negara saat itu antara Soekarno

dengan Gamal Abdel Nasser (baca: Nasser). Berdasarkan beberapa kesamaan di dalam

pembahasan relasi Islam dan konsitusi antara Mesir dan Indonesia, maka tulisan ini menempatkan

Mesir sebagai obyek kajian yang menggambarkan bahwa pembahasan Islam dan konstitusi juga

menjadi perdebatan serius dan demokratis di negara Arab yang notabene sebagai salah satu kiblat

keilmuan Islam, seperti Mesir.

Mesir adalah negara yang mengalami dua kali revolusi yang menghasilkan beberapa

amandemen konstitusi. Konstitusi Mesir pada era negara-bangsa modern dimulai dengan

penerbitan konstitusi 1923 yang dibuat setelah berakhirnya pasa protektorat Inggris atas Mesir.

Konstitusi tersebut menganut bentuk negara monarki di bawah kepemimpinan Raja Farouq.

Gelombang demokrasi dan lahirnya negara-negara baru pasca perang dunia II mempengaruhi arus

politik rakyat Mesir yang ditandai dengan revolusi 1952 dipimpin Nasser yang menolak bentuk

negara monarki dan menuntut raja Farouq lengser tahta untuk diganti dengan sistem demokrasi

parlementer, di mana pimpinan negara adalah presiden dan kepala pemerintahan adalah perdana

menteri. Pada revolusi ini menghasilkan konstitusi 1956 yang berlaku hingga 1958 ketika terjadi

penyatuan antara Mesir dan Suriah ke dalam satu negara, Republik Persatuan Arab ( الجمهىرخ

عزثخ المتحدحال ), yang menuntut diterbitkannya konstitusi baru. Penyatuan kedua negara tersebut

dipicu oleh perang Arab-Israel pada waktu itu yang juga merupakan perang proxy antara blok

barat dan blok timur, namun penggabungan tersebut hanya berlanjut selama 3 (tiga) tahun dipicu

3 Muhammad Nur Farhat, Al-Dīn wa al-Dustūr fī Misr. 4 Mesir mengakui agama abrahamik (Yahudi, Nasrani, dan Islam) sebagai agama yang sah dengan memberikan

perlindungan kepada setiap pemeluknya, mengayomi hak-hak, dan mengakui partisipasi setiap pemeluk agama-agama

tersebut di dalam membangun dan mempertahankan kedaulatan negara.

Pendahuluan di dalam konstitusi Republik Arab Mesir..

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 257

oleh perbedaan sudut pandang kedua negera terhadap perang dengan Israel. Pada 1971 Mesir

kembali menerbitkan konstitusi berlaku sejak Presiden Anwar Sadat (baca: Sadat) hingga Hosni

Mubarak (baca: Mubarak) dan mengalami beberapa amandemen hingga lahirnya gelombang

“musim semi” Arab yang berdampak pada penggulingan Mubarak melalui revolusi 2011. Pasca

tumbangnya Mubarak, kelompok Islam konservatif mendominasi politik Mesir ditandai dengan

terpilihnya Mohammed Mursi sebagai presiden dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Kondisi

tersebut juga berpengaruh terhadap perkembangan konstitusi sehingga pada 2012 terbit konstitusi

baru, namun kelompok militer yang didukung oleh nostalgia rakyat Mesir terhadap stabilitas

keamanan di bawah rezim militer memicu terjadinya kudeta militer sehingga mnjatuhkan Mursi

dan kemudian mengganti konstitusi 2012 yang dianggap hanya mewakili aspirasi kelompok Islam

dengan menerbitkan konstitusi 2014 yang berlaku hingga saat ini.

Tulisan ini secara khusus menempatkan penggantian konstitusi Mesir tahun 2012 dengan

konstitusi 2014 sebagai studi kasus dianalisa dari sudut pandang politik Islam global dengan

menelaah lebih dalam hubungan antara Islam sebagai sebuah keyakinan masyarakat dengan

perkembangan konstitusi yang notabene adalah sebuah perkembangan sosiologis yuridis dari

tatanan masyarakat negara-bangsa modern. Konstitusi Mesir 2012 dan 2014 menarik sebagai

obyek studi dalam kajian antara Islam dan konstitusi, karena di dalam penggantian tersebut

mengandung perdebatan antara kelompok Islam konservatif yang direpresentasikan oleh

Konstitusi 2012 dengan kelompok nasionalis sekuler yang dicerminkan di dalam kandungan

konstitusi 2014. Pada beberapa pasal tentang kehidupan beragama terdapat perdebatan antara

kelompok Islam ekstrim kanan dengan kelompok Islam moderat

B. Identifikasi Masalah

Pada akhir 2010 terdapat istilah “musim semi” Arab yang digunakan untuk menyebut

gerakan protes masyarakat Arab terhadap rezim penguasa yang dilandasi oleh berbagai faktor. Di

antara faktor penyebab terjadinya protes tersebut adalah kekuasaan pemerintah yang otoriter

selama lebih dari dua dekade, kesejahteraan rakyat yang terabaikan, pemerintahan yang korup,

pelanggaran hak dasar kemanusiaan, krisis ekonomi, isu-isu sektarianisme, dan melonjaknya

angka pengangguran. Keadaan tersebut hampir merata di seluruh negara-negara Arab, baik yang

berada di kawasan Afrika Utara, Asia Barat, dan wilayah sekitar Mediteranea. Rangkaian protes

terhadap rezim penguasa tersebut dimulai dari Tunisia yang menyebar ke Aljazair, Yordania,

Mesir, Yaman, Libya, Oman, Maroko, Kuwait, Suriah, dan bahkan Arab Saudi. Ekskalasi protes

di setiap negara tidak sama, sebagian berakhir dengan penggulingan rezim penguasa, pembubaran

kabinet, perubahan aturan perundang-undangan, eksekusi pemimpin rezim penguasa dan

pemburuan terhadap keluarganya, hingga sebagian berakhir dengan perang sipil yang tidak

berkesudahan hingga saat ini.

258 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Mesir secara khusus turut terdampak gelombang protes tersebut pada awal 2011 yang

ditandai dengan demonstrasi massif menuntut pengunduran diri presiden Mubarak dari tampuk

kepresidenan. Protes di Mesir berhasil menggulingkan rezim Mubarak, membubarkan partai

pendukungnya (National Democratic Party), dan mengadili keluarga serta bekas menteri-

menterinya. Pasca Mubarak lengser, dewan tinggi angkatan bersenjata (المجلس الأعلى للقىاد المسلحخ)

mengambil alih kepemimpinan menunjuk, membubarkan parlemen dan menangguhkan

konstitusi. Pemilihan presiden digelar pada mei dan juni 2012 yang menghasilkan kemenangan

Mohammed Mursi dari kelompok Ikhwanul Muslimin dengan perolehan suara 13.230.131 unggul

atas Ahmed Syafeq calon presiden dari kelompok nasionalis yang memperoleh 12.347.380 suara.

Kemenangan Mursi atas Syafeq menjadi pukulan berat bagi kelompok nasionalis sekuler yang

membuktikan bahwa pemilu yang digelar secara demokratis akan membuka peluang bagi kubu

Islamis menduduki kursi pemerintahan.

Di era kepemimpinan Mursi banyak dilakukan perubahan pada peraturan perundang-

undangan, khususnya tentang preferensi aspirasi kelompok Islam puritan di dalam aturan

perundang-undangan dan mengurangi kekuasaan militer di dalam pemerintahan, klimaksnya

terjadi referendum konstitusi 2012 yang disetujui oleh 63.83% dari total partisipasi 17.058.317

suara. Selain mendiskreditkan peran militer di dalam pemerintahan, pemerintahan Mursi juga

dituduh melakukan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, khususnya dengan

memasukkan pasal 219 Konstitusi 2012 yang berbunyi:

The principles of Islamic Law (shari’a) include general evidence, the foundational

principles of Islamic jurisprudence (ushul fiqh), the reliable sources from among the

Sunni schools of thought (nadhahib).

Pasal ini menjadi kontroversial karena memberikan prioritas kepada kaedah pembuktian,

penentuan legalitas yang bersumber dari khasanah literaur Islam Sunni sebagai bagian dari aturan

negara. Hal ini dianggap mengabaikan nilai-nilai keberagamaan dari keyakinan lain untuk

berperan sejajar dengan kelompok Islam Sunni di dalam konstitusi. Selain itu, pasal ini juga

mendapat sorotan dari kalangan Islam moderat, termasuk dari institusi al-Azhar, karena dianggap

hanya mengadopsi sudut pandang Islam Sunni sehingga menutup akses sumber hukum dari

literatur kelompok Islam lainnya yang juga menjadi bagian diksi keumatan Islam dan kebangsaan

Mesir. Dari sudut kebahasaan, pasal ini juga menjadi bahan kritik karena bahasa yang digunakan

tidak sederhana dan terjadi pengulangan, karena sejatinya komponen Islam sebagai sumber

kaedah hukum negara telah dimuat di dalam pasal 2 konstitusi 1971 dalam amandemen tahun

1980 yang kemudian tetap diadopsi di dalam konstitusi 2012 yang berbunyi:

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 259

Islam is the state’s religion, and Arabic is its official language. The principle of

Islamic law (shari’ah) from the main source of legislation

Terdapat anggapan bahwa pasal 219 merupakan masukan dari kelompok salafi/wahabi

yang ingin memasukkan dominasi Islam Sunni model Arab Saudi ke dalam sistem tata negara

Mesir. Pandangan tersebut dianggap oleh publik Mesir sebagai bentuk politik transaksional antara

pemerintah Mursi dengan kelompok Wahabi, karena pada pemilihan presiden Mei-Juni 2012

kelompok ini merupakan kantong suara yang diperhitungkan bagi pencalonan Mursi. Selain itu,

pemerintah Mursi dianggap negara-negara Barat bertanggung jawab atas merosotnya proses

perdamaian Israel-Palestina dengan memboikot jalur transaksi gas alam dari Mesir menuju Israel.

Tekanan politik terhadap pemerintahan Mursi, yang terpilih secara demokratis, semakin

meningkat baik dari berbagai faksi-faksi nasional, militer, kelompok agama minoritas, kelompok

Islam moderat, dan negara-negara Barat seperti Amerika yang terancam kepentingannya di

Timur-tangah dengan merenggangnya hubungan Mesir-Israel pasca terpilihnya Mursi. Keadaan

tersebut memicu kekacauan pada tingkat masyarakat bawah yang secara umum terbagi menjadi

dua kubu, kelompok pro presiden Mursi dan kelompok penolak Mursi yang didukung oleh

kelompok militer. Kepentingan internasional cenderung mendukung lengsernya Mursi yang

dianggap Barat sebagai kemunduran demokrasi Mesir karena terpilihnya presiden dari kelompok

Ikhwanul Muslimin yang dianggap radikal konservatif. Kondisi tersebut menjadi momentum baik

bagi kelompok militer untuk melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Mursi. Dewan militer

menunjuk Abdel Fattah al-Sisi sebagai calon presiden menggantikan Mohammed Mursi yang

digulingkan melalui kudeta.

Mengevaluasi konstitusi 2012 yang dianggap sektarian dengan mengabaikan hak-hak

kelompok minoritas, pemerintahan al-Sisi mengganti dengan konstitusi 2014. Terdapat beberapa

poin mendasar yang menjadi titik singgung antara konstitusi 2012 era Mursi dengan konstitusi

2014, diantaranya adalah tentang kekuasaan militer di dalam pemerintahan, masalah keagamaan,

sistem pemerintahan, hak-hak fundamental dan kebebasan berpendapat, serta kewenangan hakim

konstitusi. Dalam hal kemiliteran, konstitusi 2014 memberi ruang kepada militer lebih luas dalam

mengatur pemerintahan, termasuk melakukan pengadilan militer terhadap warga sipil yang

dianggap melakukan tindak kriminal terhadap militer dan negara (pasal 204 Konstitusi Mesir

2014). Dalam hal keagamaan, konstitusi 2014 menghilangkan pasal 219 dari konstitusi 2012 yang

dianggap sektarian dan mengesampingkan hak-hak keyakinan minoritas dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Dari pembahasan historis perkembangan perubahan konstitusi Mesir dari tahun 1923, 1956,

1971, 2012 dan 2014, dapat diidentifikasi bahwa pembahasan antara Islam dan konstitusi negara

260 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

selalu mempunyai ruang negosiasi dialektis yang sangat fluktuatif. Hubungan antara Islam dan

sistem negara dapat mengalami pasang surut yang dipengaruhi oleh kebijakan rezim penguasa

terhadap nilai Islam di dalam aturan ketatanegaraan. Identifikasi masalah juga mengerucut

kepada pembahasan tentang fungsi, perkembangan, dan tujuan konstitusi bagi sebuah negara

sehingga dapat melakukan kajian intersubjektif-obyektif tentang masing-masing ruang nilai Islam

dan ruang konstitusi. Bagaimana konstruk Islam terhadap konstitusi di dalam kajian fiqih siyāsah

atau siyāsah syar’iyah nya, sehingga dapat menemukan titik temu teoretis di dalam praksis aturan

ketatanegaraan antara tujuan dari syari‟ah Islam dengan tujuan dari konstitusi negara di dalam

konsep negara-bangsa modern yang dalam pembahasan makalah ini menempatkan Mesir sebagai

obyek kajian. Mesir adalah negara dengan sistem republik presidentil parlementer dengan

populasi penduduknya berlatar belakang multikultur, plural, mengakui keberagaman keyakinan

dan sekte keagamaan yang didominasi oleh penganut Islam Sunni multivarian mazhab fiqih.

Kajian terhadap Mesir ini dapat menjadi perbandingan bagi negara-negara muslim modern

lainnya yang mempunyai kemiripan dari sisi hukum, sosial, politik, dan keagamaan.

C. Pembahasan.

1. Konstitusi: Fungsi, Tujuan, dan Perkembangannya

Dalam bahasa Arab konstitusi dikenal dengan istilah dustur (دستىر). Dustur adalah istilah

Persia yang berarti catatan yang merekam aturan kerajaan. Kata dustur adalah gabungan dari

kata dust yang berarti kaedah dan ur yang berarti pembuat kaedah tersebut. Kata dustur

mengalami proses arabisasi melalui perjumpaan dengan istilah Qanun yang juga berasal dari

Persia. Qanun (قبوىن) adalah istilah berasal dari tradisi Yunani yang mengalami peresapan ke

dalam bahasa Persia yang berarti asal-muasal dari segala sesuatu. Kedua istilah tersebut, qanun

dan dustur, meresap menjadi istilah yang jamak digunakan dalam bahasa Arab secara berangsur-

angsur sejak era pemerintahan khilafah Abbasiyah (1261 M – 1517 M) yang banyak

menempatkan kalangan Persia muslim sebagai wazir dan juru tulis istana, khususnya dari klan

Baramak. Hingga saat ini penggabungan kata Qanun dan Dustur dengan awalan bentuk definitif

atau adawat al ta’rif (al) dan imbuhan (iy) di akhir kata (al-Qanun al-Dusturiy – القبوىن الدستىري)

sebagai bentuk sifat digunakan untuk menyebut konstitusi yang memuat aturan perundang-

undangan dasar sebuah negara yang memuat bentuk negara, sistem pemerintahan dan

kekuasaannya, mekanisme pembagian kekuasaan antara badan eksekutif yudikatif dan legislatif,

serta mengatur hak dan kewajiban warga negara.5

Thomas Paine mendefiniskan konstitusi sebagai :

5 Tawfiq Abd al-Aziz al-Sudairy, Al-Islām wa al-Dustūr, bentuk terbitan buku yang dirangkum dari tesis pada

Fakultas Syari‟ah, Universitas Al-Imam bin Sa‟ud, Riyadh, 1407 H. Hlm. 9 dan 25.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 261

A constitution is not the act of a government, but of a people constituting a

government, and a government without a constitution is power without right ... A

constitution is a thing antecedent to a government.6

Dari definisi tersebut Paine menjelaskan bahwa konstitusi bukan hanya sebagai bentuk

formal sebuah aturan dasar yang mengatur bentuk, sistem, dan pembagian kekuasaan negara

semata, tetapi konstitusi merupakan sesuatu yang sudah ada sebelum adanya negara, adalah nilai-

nilai yang hidup dan menjadi kesepakatan bersama di dalam kehidupan masyarakat. Heller

menyatakan bahwa konstitusi bukan hanya diartikan sebagai naskah teks undang-undang dasar

suatu negara yang hanya bersifat yuridis, tetapi konstitusi juga mempunyai pengaruh timbal balik

dengan faktor sosiologis masyarakat di dalam negara. Telah banyak kajian yang membahas

fungsi dan tujuan konstitusi di dalam kehidupan bernegara yang di antaranya adalah untuk

mengatur pembagian kekuasaan setiap lembaga negara, menjamin hak-hak setiap warganegara,

mayoritas maupun minoritas, sebagai dasar hukum dari semua aturan perundang-undangan di

negara.

Konstitusi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang baku maupun yang fleksibel,

federal maupun kesatuan, sentralisasi kekuasaan maupun desentralisasi kekuasaan, berbentuk

republik maupun monarki, semuanya mempunyai tujuan memberikan kemaslahatan tertinggi bagi

kehidupan bernegara suatu bangsa. Untuk mencapai kemaslahatan bernegara tersebut sangat

mungkin konstitusi mengalami penangguhan, perubahan, penghapusan, penggantian yang dapat

terjadi berkali-kali, karena pembuatan konstitusi merupakan proses yang tidak ada akhirnya (an

open ended process). Perlu pengujian keberhasilan atau kegagalannya pada tingkat praktik yang

dapat terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang dan setiap negara memmiliki pengalaman

konstitusi yang berbeda. Semakin beragam identitas bangsa dalam satu negara, semakin

bervariasi motif dan landasan konstitusi yang diinginkan.7

Konstitusi diupayakan menjadi pijakan bagi aktor negara dalam menjawab berbagai

permasalahan yang timbul di masa-masa setelah penerbitannya. Persetujuan rakyat terhadap

sebuah naskah konstitusi menjadi landasan utama dalam mengesahkannya menjadi dasar negara,

tetapi tidak berarti bahwa naskah konstitusi harus mendapat persetujuan dari seluruh rakyat.

Adanya kelompok pro dan kontra terhadap isi sebuah konstitusi adalah keniscayaan

keberagaman. Persetujuan terhadap konstitusi dicerminkan dengan keikutsertaan di dalam proses

penerbitan baik yang dilakukan melalui wakil rakyat, maupun dilakukan secara demokratis

6 Lihat pada Hilaire Barnett, Constitutional dan Administrative Law,(New York: Routledge-Cavendish, 2006),

hlm. 6. 7 Abdullahi Ahmed An-Na‟im, „The Legitimacy of Constitution Making Process in the Arab World: An Islamic

Perspective‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press,

2016, 29.

262 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

langsung melalui referendum, di mana hasil akhir dari referendum tersebut merefleksikan suara

dari keseluruhan bangsa yang bersedia membuat aturan dasar negara dan juga bersedia patuh

terhadap aturan tersebut. Kemasalahatan yang menjadi tujuan dari konstitusi juga dapat

dilihat dari pengayoman hak-hak individu dan seluruh elemen masyarakat yang terdiri dari etnis,

keyakinan, bahasa, tradisi dan budaya yang bervariasi. Pengabaian terhadap hak dan kewajiban

suatu kelompok menempatkan sebuah konstitusi jauh dari tujuan kemasalahan bangsa yang ingin

dicapai. Konstitusi juga berfungsi sebagai media untuk mempromosikan nilai-nilai yang hidup di

dalam masyarakat, menjadi perekat emosional dan sejarah bangsa, penyatu sudut pandang bangsa

dalam hal ekonomi, tradisi, dan identitas diri untuk menghadapi berbagai konstestasi global yang

semakin massif terjadi terhadap kehidupan nasional, merefleksikan nilai demokrasi dan

supremasi hukum dalam negara.

2. Konstruk Islam dan perkembangan perannya di dalam Konstitusi

Seluruh umat Islam saat ini hidup di dalam kehidupan negara-bangsa modern dipengaruhi

oleh model sistem Eurosentris sejak era kolonialisme hingga lahirnya negara-negara baru di

benua Asia dan Afrika. Kehidupan bernegara model Eropa ini kemudian mengalami beberapa

modifikasi yang sejalan dengan tradisi dan nilai-nilai kehidupan masyarakat setempat, namun

tetap mengadopsi prinsip-prinsip utama kenegaraan dari model negara modern Eropa.8 Negara

yang didominasi oleh populasi peduduk muslim mengalami negosiasi antara tiga variabel, prinsip

Islam, adat, dan kaedah hukum Eropa di dalam sistem kenegaraannya.9 Prinsip Islam yang

termanifestasikan di dalam literatur-literatur syari‟ah dari berbagai mazhab yang sebelumnya

hanya dinegosiasikan dengan kaedah adat dan kebiasaan masyarakat, mengalami pengembangan

karena harus dapat diselaraskan dengan model aturan positivistik ala kehidupan bernegara Eropa.

Pada tahap ini akan selalu menjadi perdebatan serius antara Islam sebagai cara hidup setiap

muslim yang mempunyai dimensi hingga di dalam kehidupan bernegara, dengan model bernegara

Eropa yang cenderung sekuleris dan menanggalkan „pakaian‟ agama di dalam negara. Satu dari

dua model negosiasi Islam dan konstitusi negara menjadi pilihan di negara di mana Islam adalah

agama mayoritas penduduknya, antara Islamisasi konstitusi atau positivisasi Islam dalam

konstitusi.10 Hal itu terjadi karena konstitusi merupakan pernyataan dari identitas negara dan

bangsa yang merefleksikan kehidupan masyarakat di dalamnya, di sisi lain Islam tidak hanya

merupakan agama yang mengatur hubungan antara makhluk dengan pencipta semata, tetapi Islam

8 Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‟a, (Harvard: Harvard

University Press, 2010), 86 – 88. 9 Ratno Lukito, „Islamic Law and Adat Encounter : The Experience of Indonesia‟, Tesis, Institute of Islamic

Studies, McGill University, Montreal, 1997.

10 Baudouin Dupret, „The Relationship between Constitutions, Politics, and Islam: A Comparative Analysis of the

North African Countries‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford

University Press, 2016, 233.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 263

adalah agama dan negara (al-Islam Din wa Dawla) yang juga mengatur masalah kehidupan sosial

dan politik pemeluknya.11 Beberapa negara mampu meramu keselarasan antara nilai Islam

dengan prinsip negara sekuler ala Eropa, sebagian lainnya justeru gagal mengintegrasikan kedua

nilai tersebut sehingga terjebak ke dalam konflik horizontal yang berkepanjangan.

Terdapat banyak pendapat di negara dengan mayoritas berpenduduk muslim mengarah

kepada penerapan syari‟ah Islam dalam sistem negara dengan merancang konstitusi yang

didasarkan pada syari‟ah Islam. Sebelum mencapai pada pembahasan syari‟ahisasi konstitusi,

atau Islamisasi konstitusi, ada baiknya difahami bahwa konstruk syari‟ah Islam setelah zaman

Rasulullah didasari oleh interpretasi terhadap sumber hukum Islam yang dilakukan oleh otoritas

keagamaan yang berbeda-beda. Interpretasi tersebut menghasilkan berbagai varian pendapat

produk hukum terhadap satu fenomena tertentu yang kemudian disebut dengan Mazhab (j.

Mazahib). Pendapat antar mazhab terhadap satu kasus hukum dapat sangat kontradiktif sehingga

di dalam kalangan Sunni lahir ilmu hukum baru yang disebut uṣūl al-Fiqh yang dijadikan alat

untuk menelusuri, menganalisa, dan menentukan status hukum didasarkan kepada dalil-dalil

tekstual di dalam sumber hukum Islam.12 Dalam perkembangannya, ilmu uṣūl al-Fiqh tetap tidak

dapat menyeragamkan berbagai pendapat, baik yang bersifat „ubūdiyah maupun mu’āmalah, di

dalam hukum Islam karena keterbatasan metodologi tekstual yang dihadapkan dengan

perkembangan fenomena yang sangat pesat (al-Nuṣūṣ mutanāhiyah wa al-Waqāi’ ghairu

mutanāhiyah). Untuk mengatasi keterbatasan metode tekstual tersebut lahir konsep baru hasil

rekonstruksi pendapat-pendapat mujtahid terdahulu tentang konsep maslahat yang menjadikan

tujuan dari syari‟ah sebagai landasan untuk menentukan status legalitas kasus tertentu di dalam

hukum Islam.13

Perbedaan pendapat di dalam khazanah literatur syari‟ah Islam antar mazhab teologi dan

mazhab fiqih merepresentasikan kekayaan keanekaragaman yang patut dikagumi karena

menunjukkan bahwa Islam selaras dengan situasi dan kondisi di mana ia berkembang (ṣālih

likulli zamān wa makān). Di sisi lain, variasi mazhab (j. Mazahib) dan pendapat yang berbeda-

beda terhadap satu kasus hukum tertentu berimplikasi kepada tidak adanya kepastian hukum.

Kondisi ini akan sangat berbahaya jika diterapkan di dalam pembentukan konstitusi yang

diproyeksikan menjadi landasan bagi seluruh tingkatan aturan perundang-undangan negara.

Keadaan tersebut menjadi lebih kompleks jika di dalam satu negara menjadi tempat

berkembangnya berbagai kelompok mazhab fiqih dan teologi Islam, di mana masing-masing

11 Ferhat Horchani, „Islam and the Constitutional State: Are They in Contradiction?‟ dalam El-Haj, et. al.,

Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016, 199. 12 Clark Benner Lombardi, „The Formation of the Classical Sunni Legal Tradition‟, dalam Lombardi , State Law as

Islamic Law in Modern Egypt: the Incorporation of the shari’a into Egyptian Constitutional Law, (Boston: Brill, 2006), hlm.

11. 13 Jasser Auda, Maqashid al-syari’ah falsafah al-Tasyri’ al-Islamiy: Ru’yah manzumiyah, (London: al-ma‟had al-

„Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, 2007).

264 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

kelompok akan mempertahankan pendapat fiqih yang didasarkan oleh metode interpretasi. Tidak

berlebihan kiranya jika disimpulkan bahwa konstitusi negara Islam yang pernah ada, adalah hasil

konsensus masyarakat yang hidup di negara tersebut terhadap nilai-nilai di dalam syari‟ah Islam

yang melandasi pembentukannya, dengan tidak menutup kemungkinan terdapat nilai-nilai lain

seperti adat dan tradisi yang memiliki kedudukan setara dengan syari‟ah Islam di dalam

pembentukan konstitusi.

An-Na‟im menggunakan istilah konstitusionalisme untuk menjelaskan hubungan antara

institusi negara di dalam pembentukan konstitusi, proses pembuatan konstitusi, dan nilai-nilai

yang melandasi dibentuknya konsitusi. Konstitusi tidak dapat hanya difahami sebagai naskah

yuridis normatif yang diperlakukan secara pragmatik dalam bentuk aturan hukum positif an sich.

Bahwa konstitusi di negara-negara dunia saat ini mengadopsi sistem negara dari legasi

kolonialisme yang mewarisinya, maka proses pembentukan dan landasan legalitas konstitusi akan

terus dibayang-bayangi oleh sistem kolonial Eropa. An-Na‟im bahkan lebih cenderung menyebut

negara teritorial, alih-alih menggunakan negara bangsa, karena pembentukan negara banyak

dipengaruhi oleh pembagian teritorial antara negara-negara Eropa pasca era kolonial. Oleh karena

itu, di dalam pembuatan konstitusi, Islam tidak lain hanya merupakan pendekatan yang memiliki

sebagian ruang dari landasan nilai di dalam konstitusi, bukan sebagai dasar absolut yang

mendominasi pembentukan konstitusi, karena negara-negara muslim post-kolonial tidak pernah

memiliki pengalaman penerapan Islam dalam sistem kenegaraan, sekalipun di dalam negara yang

mengklaim sebagai negara Islam dan mempunyai konstitusi berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah.14

3. Perdebatan konstitusi Mesir sejak 2011 hingga 2014

a. Peran Mahkamah Konstitusi pasca rezim Mubarak

Mahkamah Tinggi Konstitusi (Supreme Constitutional Court – المحكمخ الدستىرخ العلب) Mesir

mempunyai peran penting dalam era transisi pasca lengsernya Mubarak yang menduduki kursi

kepresidenan secara otoriter sejak 1981 hingga 2011.15 Selama 4 (empat) tahun masa transisi dari

2011 hingga 2014, Mesir mengalami drama demokrasi yang belum pernah terjadi sepanjang

sejarah sistem negara. Pemilihan umum presiden Mei – Juni 2012 dianggap sebagai pemilu

paling demokratis dalam sejarah Mesir. Hakim mahkamah tinggi konstitusi berperan sebagai

penyusun naskah undang-undang dasar yang diumumkan pada 30 Mei 2011. Rancangan naskah

konstitusi tersebut berlaku sementara hingga terbentuknya konstitusi baru sebagai pengganti

Konstitusi 1971 yang ditangguhkan pemberlakuannya. Pasal 49 menjelaskan bahwa mahakamah

konstitusi adalah lembaga independen sebagai perangkat yudisial yang otonom bertanggung

14 An-Na‟im, „The Legitimacy of Constitution-Making Process in the Arab World: an Islamic Perspective‟,

dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016, 35. 15 Rainer Grote, „Constitutional Review in arab Countries: Dawn of New Era?‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution,

Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016, 677.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 265

jawab terhadap kekeliruan/ kesalahan aturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan

konstitusi. Penjelasan ini menempatkan mahkamah konstitusi sebagai lembaga yang berperan

penting di dalam melakukan evaluasi terhadap peraturan pemilihan presiden pasca tumbangnya

Mubarak.

b. Kemenangan kelompok Islamis dalam pemilihan presiden 2012

Pemilihan Presiden pasca Mubarak digelar pada Mei dan Juni 2012. Mahkamah Konstitusi

mengintervensi peraturan pemilihan presiden yang melarang pencalonan presiden oknum-oknum

yang pernah memegang jabatan penting negara selama 10 (sepuluh) tahun sebelum 2011 pada

rezim Mubarak. Mahkamah konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut tidak konstitusional

karena menghalangi hak politik warga negara tanpa proses hukum yang transparan. Penghapusan

pasal tersebut membuka peluang kubu pro-Mubarak untuk mencalonkan Ahmed Syafeq yang

pernah menjabat Perdana Menteri ketika Mubarak lengser. Kubu Islamis yang dimotori oleh

kelompok Ikhwanul Muslimin mendapat dukungan dari faksi lain anti-Mubarak mencalonkan

Mohammed Mursi melalui Partai Keadilan (Freedom and Justice Party – حشة الحزخ والعدالخ). Mursi

akhirnya terpilih sebagai presiden dengan total perolehan suara sebesar 52% atau sebesar

13.230.131 suara.

Pasca pemilihan presiden, mahkamah konstitusi menyatakan bahwa peraturan pemilihan

anggota legislatif melanggar konstitusi karena mendominasi kursi parlemen yang seharusnya

terdapat porsi 1/3 diperuntukkan bagi angggota independen. Keputusan ini didasari oleh desakan

kelompok minoritas, kelompok pro-Mubarak, nasionalis, dan Islam moderat yang menilai bahwa

kursi parlemen didominasi oleh faksi Ikhwanul muslimin, sehingga tidak sejalan dengan

pembagian kekuasaan antara lembaga eksekutif dengan legislatif. Mahkamah Konstitusi selaku

lembaga yudikatif independen memutuskan pembubaran parlemen dan menganulir segala hasil

keputusan yang dikeluarkan, termasuk rancangan draft konstitusi 2012. Menjawab dari keputusan

mahkamah konstitusi, parlemen justeru mengadakan voting terhadap naskah konstitusi 2012 pada

28 November 2012 dan disetujui oleh dewan pada 29 Novemebr 2012 meskipun mendapat

kritikan keras dari partai-partai non-Islam, kelompok HAM, dan berbagai pengamat internasional,

yang memandang konstitusi Mesir 2012 memberikan keistimewaan bagi kelompok Islam

konservatif yang diwakili oleh partai pemenang pemilu dan pendukungnya, khususnya tentang

pasal yang mengatur hubungan antara Islam dan negara. Dua hari kemudian, presiden Mursi

mengumumkan bahwa referendum terhadap naskah konstitusi digelar pada 15 Desember 2012.

Hakim mahkamah konstitusi tidak menyetujui keputusan tersebut dan memutuskan untuk

memboikot referendum yang digelar pemerintah. Keputusan tersebut menghadapi protes dari

pendukung konstitusi 2012 sehingga menghadang agenda pertemuan para hakim konstitusi dan

memaksa menangguhkan pertemuan yang membahas perkembangan konstitusi 2012. Keputusan

266 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

hakim mahkamah konstitusi tersebut tidak mengikat anggotanya, di mana 90% para hakim

memutuskan melakukan monitor jalannya referendum yang dijalankan pemerintah. 63.83% suara

referendum sebanyak 10.693.911 suara dari total 17.058.317 suara menyetujui konstitusi 2012.

Hasil dari referendum tersebut dianggap mewakili mayoritas rakyat Mesir sehingga konstitusi

2012 menggantikan konstitusi 1971 yang ditangguhkan pemberlakuannya.

c. Perdebatan konstitusi antara kelompok nasionalis-cum-Islam moderat dengan

kelompok salafis-cum-Islam konservatif

Di antara pasal-pasal yang menjadi obyek perdebatan di dalam konstitusi 2012 adalah

tentang hubungan Islam dan sistem negara. Terdapat 3 (tiga) pasal di dalam kosntitusi 2012 yang

menyangkut kawasan syari‟ah Islam. yaitu pasal 2 yang diadopsi dari kostitusi 1971, pasal 4

konstitusi 2012, dan pasal 219 konstitusi 2012.

Pasal 2 menyatakan bahwa Islam adalah agama resmi negara dan Bahasa Arab adalah

bahasa resmi pemerintahan. Prinsip-prinsip syari‟ah Islam adalah landasan dasar legislasi.

الاسلام ده الدولخ، و اللغخ العزثخ لغتهب الزسمخ، و مجبدئ الشزعخ الاسلامخ المصدر الزئس للتشزع

Islam is the religion of the state and Arabis its official language, and principles of

Islamic Shari’a are the principle source of legislation

Pasal 4 konstitusi 2012 menyatakan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan syari‟ah Islam

harus dikonsultasikan dengan institusi Al-Azhar sebagai institusi Islam independen.

وؤخذ رأي هئخ كجبر العلمبء ثبلأسهز الشزف فى الشؤون المتعلقخ ثبلشزعخ الاسلامخ

Al-Azhar senior scholars are to be consulted in matters pertaining to Islamic law

Pasal 219 konstitusi 2012 menjelaskan bahwa maksud syari‟ah Islam yang dinyatakan di

dalam pasal 2 konstitusi adalah prinsip-prinsip dasar syari‟ah Islam, termasuk dalil-dalil umum

(bukti tekstual non tekstual), kaedah-kaedah dasar (ushuliyah) dan yurisprudensi (fiqhiyah) serta

sumber-sumber hukum Islam yang diakui oleh aliran ahli sunnah wal jama‟ah.

مجبدئ الشزعخ الاسلامخ تشمل أدلتهب الكلخ وقىاعدهب الأصىلخ والفقهخ ومصبدرهب المعتجزح فى مذاهت أهل

السىخ والجمبعخ

The principle of Islamic Shari’a include general evidence, foundational rules, rules of

jurisprudence, and credible sources accepted in Sunni doctrines and by the larger

community

Pasal 2 konstitusi 2012 mengadopsi dari konstitusi 1971. Awalnya pasal tersebut merupakan

inisiasi dari pemerintahan Anwar Sadat yang ingin merangkul kembali faksi-faksi Islamis yang

sebelumnya dimarjinalkan oleh presiden Gamal Abdel Nasser. Keberhasilan Sadat meraih simpati

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 267

dari kelompok Islamis ternyata berakibat blunder politik, di mana kelompok Islam menjadi tidak

terbendung dan sebagian kelompok radikal menuntut tidak hanya sekedar menyertakan pasal

tersebut, tetapi juga mengimplementasikannya secara nyata di dalam hukum negara. Mereka

memandang bahwa pasal 2 konstitusi tersebut mengandung makna yang ambigu karena tidak

menjelaskan maksud dari kalimat “prinsip-prinsip syari‟ah Islam”.16 Terdapat berbagai upaya dari

kelompok Islam fundamental mengusulkan kepada mahkamah kasasi agar melakukan interpretasi

yang jelas terhadap polemik pasal 2 Konstitusi, hingga akhirnya dibentuk komite khusus

membahas masalah tersebut yang menghasilkan keputusan melakukan amandemen pasal 2

konstitusi pada 1980 dengan menjelaskan bahwa syari‟ah Islam menjadi landasan utama di setiap

aturan perundang-undangan, bila tidak ditemukan pendapat jumhur (mayoritas ulama) terkait

satu kasus tertentu maka merujuk kepada salah satu yurisprudensi Islam yang digunakan oleh

masyarakat Mesir.17

Kemesraan hubungan antara kelompok Islam dengan pemerintah Mesir terkoyak pasca

asasinasi terhadap Sadat yang dituduhkan kepada kelompok Islam fundamental. Hosni Mubarak

yang secara konstitusi menggantikan Sadat menerapkan kebijakan represif kepada kelompok

Islam fundamental. Amandemen 1980 terhadap pasal 2 yang seharusnya diikuti dengan Islamisasi

aturan perundang-undangan di Mesir juga terhenti, mahkamah konstitusi menjelaskan bahwa

prinsip syari‟ah Islam tidak mempunyai kekuatan hukum kecuali telah melalui keputusan

pengadilan yang harus dilalui pada setiap tingkatan. Kondisi tersebut menyebabkan terhentinya

proses Islamisasi hukum di Mesir, dan pasal 2 terkesan hanya merupakan „hiasan‟ dari konstitusi

Mesir yang mengakui bahwa syari‟ah Islam adalah sumber hukum utama tanpa menjelaskan

mekanisme penerapannya di dalam aturan perundang-udangan di bawahnya.

Penyisipan pasal 219 pada konstitusi 2012 untuk menjelaskan maksud „prinsip syari‟ah

Islam‟ yang dimuat di dalam pasal 2 konstitusi mempunyai keterkaitan mata rantai sejarah dari

proses Islamisasi hukum di Mesir sebagaimana dijelaskan di atas. Terpilihnya Mursi sebagai

presiden yang merepresentasikan aspirasi kelompok Islam dianggap sebagai peluang meneruskan

perjuangan Islamisasi aturan perundang-undangan yang sempat terhenti ketika Mubarak

menggantikan Sadat sejak 1981. Tidak semua faksi Islam setuju dengan substansi pasal 219,

bahkan institusi Al-Azhar yang merupakan lembaga Islam independen dan bertanggung jawab

terhadap penyebaran misi Islam menolak pasal 219 dan mencukupkan aturan Islam diatur di

dalam pasal 2 secara global. Al-Azhar secara resmi tidak menyetujui pasal 219 karena hanya

16 Saad Eddin Ibrahim, „anatomy of Egypt‟s militan Islamic Groups: Methodological Notes and Preliminary

Findings‟, dalam Egypt, Islam and Democracy: Twelve Critical Essays, (Cairo: American University in Cairo Press, 1996) 8

– 14. Lihat juga: Lombardi , State Law as Islamic Law in Modern Egypt: the Incorporation of the shari’a into Egyptian

Constitutional Law, (Boston: Brill, 2006), 125. 17 Nathan J. Brown dan Clark B. Lombardi, „Constesting Islamic Constitutionalism after the Arab Spring: Islam in

Egypt‟s Post-Mubarak Constitutions‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring,

Oxford University Press, 2016, 245.

268 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

mengakui sumber-sumber Sunni sebagai prinsip syari‟ah Islam dan mengabaikan sumber-sumber

syari‟ah Islam yang berasal dari berbagai aliran teologi dan mazhab yurisprudensi yang berasal

dari kelompok lain selain Sunni. Perbedaan pendapat antara kubu Islamis pada pemerintahan

Mursi dengan institusi Al-Azhar terhadap „prinsip syari‟ah Islam‟ di dalam pasal 219 konstitusi

2012 memaksa pemerintahan Mursi mengesahkan pasal 219 tanpa melakukan konsultasi dengan

Al-Azhar. Hal tersebut tentu tidak konsisten dengan naskah konstitusi yang diusulkan karena di

dalam pasal 4 konstitusi 2012 menjelaskan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan syari‟ah Islam

di dalam aturan perundang-undangan harus dikonsultasikan dengan Al-Azhar sebagai institusi

Islam independen di Mesir.

d. Konstitusi Mesir pasca jatuhnya kelompok Islamis

Polemik konstitusi dan berbagai kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri memicu

gelombang protes keras dari publik Mesir yang menuntut pemakzulan Mursi dari kursi

kepresidenan. Kondisi keamanan negara yang tidak stabil memaksa kelompok militer mengambil

langkah kudeta. Menteri pertahanan, Abdul Fattah al-Sisi, menunjuk hakim mahkamah tinggi

konstitusi, Adly Mansur, menjabat sebagai presiden sementara setelah Mursi dimakzulkan pada 3

Juli 2013. Pada 8 Juli 2013 Adly Mansur mulai membentuk komite ahli melalui dekrit untuk

merumuskan kerangka konstitusi baru yang diproyeksikan mengganti konstitusi 2012. Naskah

lengkap konstitusi baru dipresentasikan pada 3 Desember 2013, dilakukan referendum pada 15 –

16 Januari 2014 dengan hasil 98% menyetujui naskah konstitusi 2014.

Konstitusi Mesir 2014 tetap mengadopsi pasal 2 konstitusi 2012 tetapi menghapuskan pasal

219 yang sebelumnya menjelaskan maksud dari „prinsip syari‟ah Islam‟. Di dalam konstitusi

2014 Al-Azhar didefinisikan sebagai institusi Islam independen bertanggung jawab terhadap misi

penyebaran Islam di Mesir dan dunia, menghilangkan peran Al-Azhar untuk mengkonsultasikan

hal-hal yang berkaitan dengan syari‟ah Islam di dalam perundang-undangan. Banyak pengamat

dari dalam dan luar negeri yang meragukan keseriusan militer dalam menjamin politik demokrasi

di Mesir melalui konstitusi 2014. Khususnya tentang syarat-syarat pembentukan partai politik,

tentang persyaratan ambang pencalonan presiden, tentang pengawasan pemilihan wakil rakyat,

tentang pengadilan keamanan negara, dan tentang penjaminan keamanan publik. Tidak jarang

yang berpendapat bahwa konstitusi 2014 merupakan kemunduran demokrasi di Mesir dengan

mengembalikan ruh konstitusi yang pernah diterapkan pada era otoriter Mubarak.18

4. Konstitusi dan unsur kebermaksudan di dalam hukum Islam

Pasal 2 kontitusi Mesir menjadi perdebatan karena menetapkan bahwa prinsip syari‟ah

Islam adalah sumber utama di dalam perundang-undangan. Perdebatan bukan hanya terjadi antara

18 Tamir Moustafa, „Amending the Egyptian Constitution: 6 Critical Articles that Test the Military Commitment to

Democracy‟, diakses dari www.huffpost.com pada, Ahad, 16 Juli 2017.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 269

faksi Islam dan non-Islam, tetapi juga terjadi perbedaan sudut pandang interpretasi antara

kelompok Islam. Di antara faksi-faksi tersebut adalah, kelompok neo-tradisionalis yang

direpresentasi oleh institusi Al-Azhar, kelompok salafis yang dimotori oleh pendukung model

aturan hukum di Arab Saudi, kelompok modernis yang di kenal melalui terobosan-terobosan

integrasi antara Islam dengan nilai-nilai modern dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan

kelompok sekuler yang mempunyai visi pemisahan antara ruang agama dengan ruang publik.19

Sebagian kelompok Islam memandang bahwa yang dimaksud dengan prinsip syari‟ah Islam yang

menjadi sumber hukum adalah mekanisme argumentasi hukum Islam yang dilakukan melalui

penyesuaian aturan hukum di Mesir dengan dasar-dasar umum (al-Adillat al-Kulliyah) yang

terdapat di dalam al-Qur‟an baik secara eksplisit maupun implisit dan di dalam ajaran sunnah

Nabi yang berupa tindakan, perkataan, persetujuan, yang dapat diketahui secara jelas melalui

penelusuran riwayat dan matan (nash) hadist.

Sebagian kelompok Islam memandang bahwa prinsip Islam yang menjadi dasar utama

perundang-undangan adalah melalui penyesuaian aturan hukum dengan tujuan dari syari;ah Islam

(maqasid al-Syari’ah) yang bermuara pada fitur kebermaksudan dari syari‟ah yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemaslahatan bagi kehidupan umat

manusia.20 Secara etimologi, maqāṣid syarīʻah terbentuk dari dua suku kata, maqāṣid dan

syarīʻah. Maqāṣid )مقبصد( adalah bentuk jamak (plural) dari maqṣad )مقصد( yang merupakan

derivasi dari kata kerja qaṣada-yaqṣudu قصد( –)قصد . Kata qaṣada mempunyai banyak arti, di

antara makna dari kata qaṣada yang terdapat di dalam al-Qur΄an adalah jalan yang lurus,21

mudah, dekat dan tidak menyusahkan,22 adil, tidak berlebihan dan tidak kekurangan.23 Secara

terminologi, Maqāṣid bermakna tujuan yang diinginkan oleh syāriʻ (legistalor).24 Syarīʻah

mempunyai makna jalan menuju mata air, dalam terminologi fiqih, syarīʻah bermakna hukum-

hukum yang disyari‟atkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya, yang ditetapkan melalui al-

Qur‟an dan Sunnah melalui perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi.25 Al-Raysūnī

mendefinisikan syarī‟ah dengan segala sesuatu yang disyari‟atkan oleh Allah kepada hamba-Nya

yang berupa aturan sebagai petunjuk, untuk lebih memudahkan dalam memaknai syarīʻah, al-

19 Nathan J. Brown dan Clark B. Lombardi, „Constesting Islamic Constitutionalism after the Arab Spring: Islam in

Egypt‟s Post-Mubarak Constitutions‟, 249. 20 Ibid., 254. 21 Lihat QS. al-Naḥl [16]: 9, yang artinya: Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara

jalan-jalan ada yang bengkok. 22 Lihat QS. al-Taubah [9]: 42, yang artinya: Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang

mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat

jauh terasa oleh mereka. 23 Lihat QS. Luqman [31]: 19, yang artinya: Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.

Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Lihat: Ibnu Manżūr, Lisān al-‘Arab..., hlm. 3642 24 Ahmad al-Raysūnī, Muhāḍarāt fī Maqāṣid al-Syarī’ah, (Kairo: Dar al-Kalima li Nasr wa al-tawzī‟, 2013), hlm.

9. 25 „Abd al-Karim Zaydān, Al-Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiyah, (Beirut: Mu‟assasah al-Risalah, 1976),

hlm. 39

270 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Raysūnī menyederhanakan arti syari‟ah, menurutnya syarīʻah adalah aturan-aturan yang terdapat

di dalam al-Qur‟an dan Sunnah Nabi.26 Berger memaknai syari‟ah dengan sesuatu yang abstrak

tetapi memuat nilai yang luhur, syari‟ah adalah segala sesuatu yang dapat dinilai baik dan

diinginkan oleh semua orang.27

Signifikansi maqasid syariah di dalam perkembangan studi hukum terletak pada

kemampuannya mendudukkan sebuah permasalahan sesuai dengan tujuan dari hukum itu sendiri,

menempatkan tujuan dari syari‟ah sebagai posisi paling utama di dalam landasan hukum.

Perkembangan hukum melalui pendekatan maqasidi (kebermaksudan) dapat menjadi alternatif

dari kendala ijtihad yang menggunakan pendekatan kausalitas dengan media linguistik teks yang

terkendala oleh kaidah kebahasaan.28 Maqāṣid syarīʻah bukanlah sebuah bangunan teori yang

kaku dan statis, tetapi ia bisa dikembangkan dan diintegrasikan dengan pengetahuan modern.29

Peletak pondasi maqāṣid syarī‟ah sejak era sebelum al-Juwainī,30 al-Ghazālī,31 al-Syāṭibī,32

hingga Ibnu „Ashūr,33 dan al-Fāsī,34 serta para sarjana muslim era kontemporer semisal al-

Raysūnī,35 „Aṭṭiya,36 Kamalī, dan terakhir Jasser Audah,37 telah membuktikan di dalam karya-

26 Ahmad al-Raysuni, Muhāḍarāt fī Maqāṣid al-Syarī’ah..., hlm. 9. 27 Maurits S. Berger, Applying Shari’a in the West, (Amsterdan: Leiden University Press, 2013), hlm. 9-10. 28 Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, (Herndon & London:

IIIT, 2007), hlm. 232-233. 29 Jasser Auda, Maqāṣid al-Syarī’ah: Dalīl lil Mubtadi’, (Herndon: IIIT, 2011), hlm. 28. 30 Al-Juwaini merupakan tokoh pendahulu yang menggunakan istilah maqāṣid dalam karyanya, tetapi juga

menggunakan istilah maṣālih al-„āmmah sebagai padanan kata untuk maqāṣid, dan menggunakan kedua istilah tersebut

secara bergantian di dalam karya-karya. Lihat: Al-Imām al-Ḥaramain Abū al-Ma‟āli „Abd al-Malik ibn „Abd Allah al-

Juwainī, Ghiyāṡ al-Umam fī Iltiyāṡ al-Ẓulam, Mustafa Helmy dan Fouad „Abd al Mon‟eim Ahmed (eds.), (Alexandria: Dār

al-Da‟wah, 1979), hlm. 253. 31 Al-Ghazali menggunakan istilah maṣlahah untuk menjelaskan tujuan dari syari‟at, bahwa yang dimaksud

dengan maṣlahah oleh al-Ghazali adalah menjaga tujuan syari‟ah. Menurutnya, tujuan syari‟ah ada lima, yaitu menjaga

agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Menurutnya, maslaha bukan bagian dari

tingkatan sumber hukum Islam yang ke lima, setelah al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, dan „Aql, tetapi maṣlaha merupakan metode

penentuan hukum yang terkandung sebagai tujuan dari hukum-hukum di dalam sumber-sumber yang empat tersebut. Lihat:

Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghazalī, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, Vol. 2, (Lebanon: Dār al-Huda, 1994), hlm. 481. Vol. 2.,

hlm. 257. 32 Al-Syātibi menegaskan bahwa seseorang tidak akan sampai pada derajat ijtihad kecuali dengan mengetahui

maqāṣid syarī’ah dan menggunakannya sebagai dasar istinbāṭ hukum. Lihat: Abū Isḥāq al-Syāṭibī, Al-muwāfaqāt fī Uṣūl al-

Syarīʻah, (Kairo: al-Hay΄ah al-Miṣriyyah al-ʻĀmmah li al-Kitāb, 2006), hlm. 784. 33 Ibnu „Āsyūr memaknai maqāṣid syarī’ah dengan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh syara‟

dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Maka, masuklah segala macam sifat, tujuan umum, dan makna syari‟at yang

terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperhatikan secara keseluruhan

tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum. Ibnu „Āsyūr juga mengusulkan bahwa tujuan dari hukum Islam adalah

memelihara keteraturan, kesetaraan, kebebasan, kemudahan, dan fitrah. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai utama yang

patut dijadikan dasar kemanusiaan. Lihat: Muhammad al-Ṭāhir Ibnu „Āsyūr, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyah, Muhammad

Ṭāhir al-Mesāwī (ed.), (Yordan: Dār al-Nafāis, 2001), hlm. 183, 246, 405. 34 Tujuan dari syari‟ah adalah kemaslahatan manusia yang tercermin di dalam nilai-nilai kemanusiaan yang

universal, maqāṣid didefinisikan oleh al-Fāsī dengan sesuatu yang tersembunyi dan kearifan yang diberikan oleh syāri‟

kepada manusia sebagai upaya untuk melaksanakan syari‟ah. Lihat: „Allāl al-Fāsī, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyah wa

Makārimuhā, (Casabanca: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1993), hlm. 10. 35 Al-Raysūnī meletakkan maqāṣid al-syarī‟ah sebagai metode dalam memahami teks-teks sumber hukum Islam,

bahwa berijtihad menggunakan maqāṣid (tujuan) syari‟ah sebagai landasan penentuan hukum dapat ditemukan penguatannya

secara metodologi dengan meletakkan nash-nash umum di dalam sumber hukum Islam sebagai tujuan syari‟ah. Lihat:

Ahmad al-Raysūnī, al-Fikr al-Maqāṣidī Qawā’iduhu wa Fawāiduhu, (Rabat: al-Zaman, 1999), hlm. 37. 36 Dalam karyanya Gamal al-Din „Attiya menawarkan metode pengembangan dalam menggunakan maqāṣid

syarīʻah, dari yang semula dimaknai sebagai konsep yang menjadi tujuan hukum Islam menuju relisasi dan pelaksanaan di

dalam kehidupan sehari-hari bertujuan memberikan solusi atas permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 271

karya mereka bahwa konsep maqāṣid syarī‟ah mengalami perkembangan, dan merupakan upaya

untuk menjawab tantangan zaman ketika permasalahan sosial semakin kompleks. Auda

menempatkan maqāṣid syarīʻah tidak hanya dapat dikembangkan sebagai basis rekonstruksi

hukum Islam saja, tetapi juga dapat menjadi landasan metodologi bagi pembaruan hukum

positif.38

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tujuan organisasi kenegaraan adalah

pelaksanaan peraturan-peraturan yang dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan di dalam

masyarakat.39 Kesejahteraan dalam masyarakat dapat terwujud jika kepentingan umum berada

lebih utama dari pada kepentingan individu. Melalui aparatur sipil dan organ-organ di dalam

struktur kenegaraan berupaya mewujudkan sinkronisasi antara aturan dengan tujuan bernegara.

Ketentuan dan sanksi yang diatur di dalam sebuah undang-undang dimaksudkan untuk

meluruskan tujuan dibentuknya sebuah negara. Dalam hal ini prinsip kebermaksudan berperan

penting di dalam modifikasi aturan-aturan positif di dalam sistem peraturan sebuah negara.

Aturan-aturan yang termuat di dalam hukum positif merupakan penggabungan antara tujuan dari

kehidupan individu yang sarat dengan nilai-nilai keyakinan keagamaan dengan tujuan kehidupan

masyarakat bernegara.

D. Penutup

Dari pemaparan makalah ini dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai nilai yang diyakini

oleh pemeluknya mempunyai pengaruh di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perdebatan seputar islamisasi konstitusi atu syari‟ahisasi undang-undang selalu menjadi materi

di dalam pembahasan dasar negara dan hukum di mana penduduknya didominasi oleh penganut

Islam. Keinginan untuk mengejawantahkan nilai keyakinan di dalam kehidupan sehari-hari

menjadi motif utama, kehidupan beragama yang tidak hanya terbatas pada ruang privat, namun

juga pada ruang publik yang dapat dikontestasikan dengan nilai-nilai yang mendasari aturan

hukum seperti adat dan model hukum Eropa. Di sisi lain perlu difahami bahwa sebuah aturan

perundang-undangan, termasuk konstitusi negara, adalah sebuah konsensus sekelompok

masyarakat masyarakat yang hidup di dalam lingkup kebersamaan yang disebut bangsa, maka

nilai keyakinan tidak serta merta dapat diterapkan di dalam aturan positif tetapi perlu adanya

menggunakan metode ijtihad berbasis pada maqāṣid syarīʻah. Lihat: Gamal al-Din „Attiya, Naḥwā Taf’īl Maqāṣid al-

Syarī’ah, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2003), hlm. 185-192. 37 Jasser Audah menggunakan pendekatan sistem untuk melihat permasalahan hukum Islam secara holistik, ia

menempatkan maqāṣid syarīʻah sebagai dasar metodologi ijtihad, menurutnya metode tersebut lebih dapat merespon

problematika yang berhubungan dengan keterbatasan ijtihad linguistik atau ijtihad rasional yang berdasarkan pada hukum

sebab-akibat. Konsep maqāṣid ia kembangkan dari yang sebelumnya hanya bersifat proteksi dan preservasi menuju

pengembangan. Lihat: Jasser Auda, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, a system Apparoach, (Herndon:

The International Institute of Islamic Thought, 2007), hlm. 21-22. 38 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, hlm. 307-308. 39 Jhering 48 (pdf)

272 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

dialog dan integrasi dengan variabel lain yang hidup di dalam kehidupan masyarakat bangsa dan

negara.

Daftar Pustaka

Buku:

„Āsyūr, Muhammad al-Ṭāhir Ibnu, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyah, Muhammad Ṭāhir al-

Mesāwī (ed.), (Yordan: Dār al-Nafāis, 2001)

al-Fāsī, „Allāl, Maqāṣid al-Syarī’ah al-Islāmiyah wa Makārimuhā, (Casabanca: Dār al-Gharb al-

Islāmī, 1993)

Al-Ghazali, Abū Ḥāmid Muḥammad, al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣūl, Vol. 2, (Lebanon: Dār al-

Huda, 1994), hlm. 481. Vol. 2.

Al-Juwaini, Al-Imām al-Ḥaramain Abū al-Ma‟āli „Abd al-Malik ibn „Abd Allah, Ghiyāṡ al-

Umam fī Iltiyāṡ al-Ẓulam, Mustafa Helmy dan Fouad „Abd al Mon‟eim Ahmed (eds.),

(Alexandria: Dār al-Da‟wah, 1979).

Al-Raysūnī, Ahmad, al-Fikr al-Maqāṣidī Qawā’iduhu wa Fawāiduhu, (Rabat: al-Zaman, 1999)

Al-Raysūnī, Ahmad, Muhāḍarāt fī Maqāṣid al-Syarī’ah, (Kairo: Dar al-Kalima li Nasr wa al-

tawzī‟, 2013), hlm. 9.

Al-Sudairy, Tawfiq Abd al-Aziz, Al-Islam wa al-Dustur, bentuk terbitan buku yang dirangkum

dari tesis pada fakultas syari‟ah Universitas al-Imam bin Saud, Riyadh, 1407 H.

Al-Syāṭibī, Abū Isḥāq, Al-muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarīʻah, (Kairo: al-Hay΄ah al-Miṣriyyah al-

ʻĀmmah li al-Kitāb, 2006)

An-Na‟im, Abdullahi Ahmed, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a,

(Harvard: Harvard University Press, 2010).

Attiya, Gamal al-Din, Naḥwā Taf’īl Maqāṣid al-Syarī’ah, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2003)

Auda, Jasser, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law, a system Apparoach,

(Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 2007)

Auda, Jasser, Maqashid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, (Herndon

& London: IIIT, 2007).

Auda, Jasser, Maqashid al-syari’ah falsafah al-Tasyri’ al-Islamiy: Ru’yah manzumiyah,

(London: al-ma‟had al-„Alamiy li al-Fikr al-Islamiy, 2007).

Auda, Jasser, Maqāṣid al-Syarī’ah: Dalīl lil Mubtadi’, (Herndon: IIIT, 2011).

Barnett, Hilaire , Constittional dan Administrative Law,(New York: Routledge-Cavendish, 2006).

Berger, Maurits S., Applying Shari’a in the West, (Amsterdan: Leiden University Press, 2013).

Farhat, Muhammed Nur, Al-Din wa al-Dustur fi Misr.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 273

Lombardi, Clark Benner, State Law as Islamic Law in Modern Egypt: the Incorporation of the

shari’a into Egyptian Constitutional Law, (Boston: Brill, 2006).

Manżūr, Ibnu, Lisān al-‘Arab, Kairo: Dār al-Ma‟ārif, tanpa tahun.

Zaydān, „Abd al-Karim, Al-Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiyah, (Beirut: Mu‟assasah al-

Risalah, 1976).

Artikel:

Moustafa, Tamir, „Amending the Egyptian Constitution: 6 Critical Articles that Test the Military

Commitment to Democracy‟, diakses dari www.huffpost.com pada, Ahad, 16 Juli 2017.

An-Na‟im, „The Legitimacy of Constitution-Making Process in the Arab World: an Islamic

Perspective‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab

Spring, Oxford University Press, 2016.

Brown, Nathan J., dan Clark B. Lombardi, „Constesting Islamic Constitutionalism after the Arab

Spring: Islam in Egypt‟s Post-Mubarak Constitutions‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution,

Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016.

Dupret, Baudouin, „The Relationship between Constitutions, Politics, and Islam: A Comparative

Analysis of the North African Countries‟, dalam El-Haj, et. al., Constitution, Human

Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University Press, 2016.

Grote, Rainer , „Constitutional Review in arab Countries: Dawn of New Era?‟, dalam El-Haj, et.

al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University

Press, 2016.

Horchani, Ferhat, „Islam and the Constitutional State: Are They in Contradiction?‟ dalam El-Haj,

et. al., Constitution, Human Rights, and Islam after the Arab Spring, Oxford University

Press, 2016.

Ibrahim, Saad Eddin, „anatomy of Egypt‟s militan Islamic Groups: Methodological Notes and

Preliminary Findings‟, dalam Egypt, Islam and Democracy: Twelve Critical Essays,

(Cairo: American University in Cairo Press, 1996).

Lombardi, Clark Benner, „The Formation of the Classical Sunni Legal Tradition‟, dalam

Lombardi , State Law as Islamic Law in Modern Egypt: the Incorporation of the shari’a

into Egyptian Constitutional Law, (Boston: Brill, 2006).

274 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 275

DEMOKRASI EKONOMI DALAM ISLAM1

Oleh: Dr. Atifah Thaha2

1. Latar Belakang

Pembahasan tentang Islam dan demokrasi serta penerapannya merupakan isu yang terus

menjadi pembicaraan baik pada tataran akdemis maupun praktis, seperti pada seminar

yang diselenggarakan oleh Universitas Islam As-Syafi‟Iyah (UIA) ini.3 Pembahasan

tentang Islam dan tentang demokrasi mencakup berbagai aspek kehidupan. Tulisan ini

dibatasi pada aspek ekonomi, membahas demokrasi ekonomi dalam Islam.4

Terdapat tiga kata kunci dalam tulisan ini yaitu demokrasi, ekonomi dan Islam. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi diartikan sebagai gagasan atau

pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan

yang sama bagi warga Negara. Demokrasi juga dapat diartikan bentuk atau sistem

pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan

wakilnya yang disebut dengan pemerintah rakyat.5 Negara-negara yang menganut paham

demokrasi dalam pelaksanaan demokrasi tersebut sangat bervariasi dari satu negara ke

negara lainnya, Demokrasi ekonomi di buat dan diawasi semata oleh manusia dalam hal

ini Negara/pemerintah dimana demokrasi ekonomi itu dilaksanakan..

Dalam Al-Qur‟an maupun sunnah tidak ada kata demokrasi, gagasan demokrasi dalam

Islam terkandung dalam istilah “al shura”.6 Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA

mengemukakan pendapat serupa dengan Prof. Dawam Raharjo yaitu dalam Al-Qur‟an

lebih menekankan bentuk masyawarah dibanding demokrasi. Tetapi perilaku politik Nabi

dan sahabat pada generasi pertama memberikan contoh peradaban “demokrasi” yang

sangat tinggi. Tulisan ini tidak membahas filosofi demokrasi, tetapi fokus pada praktek-

praktek kandungan demokrasi dalam ekonomi Islam. Demokrasi dalam ekonomi Islam

bersifat universal mengglobal karena mengacu pada Al Qur‟an dan sunnah dan

pelaksanaannya diawasi langsung oleh Allah SWT.

1 Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di

Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Ketua Program Studi Magister Manajemen (MM) Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA). 3 Deddy Ismatulah, Seminar Islam dan Demokrasi : Penerapan Dalam Sistem Pemerintahan di

beberapa Negara Islam, UIA, 2017 4 Call Paper pada Seminar Nasional” Islam dan Demokrasi, diselenggarakan oleh pasca Sarjana UIA 25-26 Juli

2017 oleh Atifah Tahah, Ketua Prodi MM UIA. 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 6 M. Dawan Raharjo, Seminar Islam dan Demokrasi: Islam dan Demokrasi, UIA, 2017

276 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

2. Demokrasi Ekonomi

Ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Oikos” dan “Nomos”. Oikos berarti keluarga

atau rumah tangga dan Nomos berarti aturan atau peraturan. Sehingga terminologi

ekonomi pada awalnya sangat sempit yaitu manajemen aturan rumah tangga. Pengertian

ini terus berkembang keluar batas rumah tangga mencapai cakupan negara. Terdapat

berbagai pendangan tentang pengertian ekonomi. Pada prinsipnya, pengertian ekonomi

adalah upaya memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memberikan hasil yang

optimal, baik oleh individu maupun kelompok orang. Ekonomi menurut Abraham

Maslow adalah suatu bidang keilmuan yang dapat menyelesaikan permasalahan

kehidupan manusia lewat penggemblengan seluruh sumber ekonomi yang tersedia

berdasarkan pada teori dan prinsip-prinsip dalam suatu sistem ekonomi yang memang

dianggap efisien dan efektif.

Paul A. Samueson menyatakan bahwa ekonomi adalah suatu cara yang dipakai oleh

seseorang atau kumpulan orang dalam memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas

untuk memperoleh berbagai macam komodit dan produk serta menyalurkannya supaya

dapat dikonsumsi oleh masyarakat banyak. Ditinjau dari sisi demokrasi, dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi ekonomi diartikan sebagai gagasan atau

pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan

yang sama bagi warga negara di bidang ekonomi. Menurut Khursid Ahmad ekonomi

adalah suatu usaha yang mengsistematiskan dan memahami segala permasalahan

perekonomian dan segala macam perilaku manusia dengan permasalahan tersebut

berdasarkan perspektif Islam.7

Dikaitkan konsep demokrasi ekonomi dan ekonomi menurut Paul A. Samueson maka

setiap orang atau kumpulan orang haruslah mempunyai hak dan kewajiban, serta

perlakuan yang sama dalam memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas. Dengan

demikian sebenarnya konsep ekonomi dan konsep demokrasi ekonomi sejalan. Dalam

prakteknya, negara-negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi, dalam praktek

penyelenggaraan perekonomian sebagaimana dikemukakan di atas sangat variatif karena

dipengaruhi oleh tatanan negara, pemerintah, dan kelompok masyarakat yang

7 Kurshid Ahmad, Studies in Islamic Economics, International Center for Research in Islamics Economics King

Abdul Aziz University, Jeddah and The Islamic Foundation, U. K. The Islamic Foundation : Leicester, U.K, 1981

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 277

mendominasi kekuatan pemerintah di Negara tersebut serta sejarah sistem perekonomian

negara tersebut.

Pemahaman Oikos dan Nomos terus berkembang sejalan dengan perkembangan

pemikiran manusia, teknologi dan kondisi alam yang akhirnya sampai pada terbentuknya

dua kutub sistem ekonomi, yaitu sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi liberal

dan sistem ekonomi sosialis8. Diantara kedua kutup tersebut terdapat bermacam-macam

system ekonomi. Keberaneka ragaman system ekonomi tersebut sesuai dengan

kebijaksanaan pemerintah dan dominasi “sekelompok rakyat”. Kedua system ini dibuat

oleh manusia sehingga terus berevolusi mengikuti perkembangan jaman dan pemegang

kekuasaan di negara tersebut. Kedua kutup sistem ekonomi tersebut telah ditinggalkan

oleh pelaku ekonomi maupun negara-negara yang menganut paham tersebut didorong

oleh tumtutan rakyat dinegara-negara tersebut karena tidak sesuai dengan harkat dan

martabat manusia serta konsep keadilan dan kesejahteraan.

Sistem sosialis/ komunis menganut konsep sama rata sama rasa. Pada kenyataannya,

setiap individu mempunyai potensi dan keinginan yang berbeda-beda sehingga

masyarakat menuntut adanya perubahan, menuntut individu dihargai sesuai dengan

potensi dan aktualisasi dirinya. Sistem sosialis di Rusia runtuh ditandai dengan telah

dibongkarnya tembok pembatas antara Jerman Barat dengan Jerman Timur. Selanjutnya,

sistem ekonomi sosialis di RRC runtuh setelah adanya tuntutan yang besar dari rakyat

untuk menghapuskan system sosialis yang dikenal dengan peristiwa Tiamen Square.

Namun kebebasan masyarakat/ pelaku bisnis di kedua negara tersebut tetap di batasi oleh

negara/pemerintah dengan peraturan-peraturan yang cukup ketat.9

Sistem ekonomi kapitalis atau liberal yang umumnya berlaku di negara – negara barat

juga tidak dapat diterima oleh masyarakat luas. Sistem ekonomi kapitalis atau liberal

cendrung bersifat demokrasi namun melampaui batas – batas keadilan. Perlombaan

pemanfaatan potensi manusia terbuka seluas-luasnya Pada system kapitalis, setiap

individu memiliki hak yang sama terhadap sumber daya tetapi akses berbeda dipengaruhi

oleh capital dan power yang dimiliki oleh individu atau sekelompok orang. Sehingga

terjadi akumulasi kapital pada sekelompok orang yang memiliki potensi baik capital,

sumber daya maupun jaringan. Pergolakan di negara – Negara yang menganut system

8 Atifah Thaha, Islamic Economic System Leading the World Economy : A Challence, Global Syar‟I, Jurnal

Manajemen dan Bisnis Syariah, Vol.4 No.8, 2014 9 Pengalaman penulis pada waktu mengadakan kunjungan kerja ke RRC tahun 2012

278 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

kapitalis tidak sekeras di Negara yang menganut system sosialis seperti Rusia dan RRC

oleh karena sebagai penyeimbang pemerintah menerapkan sisten pajak progresif. Hasil

dari pajak progresif tersebut dipergunakan untuk membiayai jaminan social bagi

masyarakat yang memiliki potensi terbatas untuk memperoleh kehidupan yang layak.

Di Indonesia perekonomian merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan masyarakat

yang adil makmur dan sejahtera. Indonesia mengklaim menganut system ekonomi

demokrasi.10 Pada sistem ekonomi ini, kegiatan produksi dilakukan oleh semua, untuk

semua dan dibawah pimpinan atau kepemilikan oleh anggota-anggota masyarakat yang

merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang menjelaskan

kekeluargaan dan kegotong royongan dari, oleh, dan untuk rakyat dibawah pimpinan dan

pengawasan pemerintah. UUD 45 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi dan air dan

kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Penguasaan sumber daya alam ditangan orang

perorangan tidak dibenarkan. Artinya monopoli, oligopoly ataupun praktek-praktek kartel

dan perdagangan bebas dalam pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan

prinsip-prinsip Pasal 33 UUD 1945.

Jika melihat pada realita yang sebenarnya demokrasi ekonomi di Indonesia jauh dari

kesempurnaan, masih perlu adanya keseimbangan yang meluas. Peraturan pemerintah

mengenai kebijakan ekonomi belum berjalan dengan baik. Seharusnya kekayaan yang ada

di Indonesia misalnya harus dikelola oleh pemerintah dalam bentuk perusahan negara

untuk kemakmuran rakyatnya. Tetapi pemerintah belum bisa melakukan itu, banyak

kekayaan di negara ini masih banyak dikelola oleh bangsa asing (kapitalis). Secara tidak

langsung ada dua kemungkinan pemerintah tidak siap mengelola (SDM) ataukah ada

unsur politik didalamnya. Dewasa ini sistem ekonomi yang dicapai umat manusia

cendrung pada ekonomi liberal atau kapitalisme yang didukung oleh sistem demokrasi di

dalam politik. Terdapat berbagai penyimpangan sehingga kesejahteraan rakyat belum

tercapai yang tercermin dari tingginya ketimpangan tingkat pendapatan di masyarakat dan

masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemmiskinan dengan tingkat

kesenjangan yang semakin melebar.

Berbagai sistem ekonomi di atas, termasuk sistem perekonomian di Indonesia dikenal

dengan sistem ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam terdapat kaidah-kaidah

serupa dengan demokrasi ekonomi dan pada waktu yang bersamaan terdapat kaidah-

10 M. Dawam Raharjo, Seminar Islam dan Demokrasi: Islam dan Demokrasi, UIA, 2017

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 279

kaidah dalam ekonomi Islam yang tidak terdapat di dalam demokrasi ekonomi. Perbedaan

yang paling nyata adalah demokrasi ekonomi dapat berubah karena sepenuhnya buatan

manusia dan bervariasi baik peraturan maupun pelaksanaannya dari satu Negara ke

Negara lainnya. Demokrasi dalam ekonomi Islam sebagian dapat menyesuaikan dengan

perubahan perubahan pemikiran dan kebutuhan manusia, kondisi alam dan perkembangan

ilmu dan pengetahuan dengan tetap mengacu pada Al-Qur‟an dan Sunnah seperti akan di

bahas di bawah ini.

3. Demokrasi Ekonomi Dalam Islam

Islam merupakan agama yang kaffah, yang mengatur segala perilaku kehidupan manusia.

Bukan hanya menyangkut urusan peribadahan saja, urusan sosial dan ekonomi juga diatur

dalam Islam. Oleh karenanya bagi setiap orang muslim hendaknya Islam merupakan

sistem hidup (way of life) yang harus diimplementasikan secara komprehensif dalam

seluruh aspek kehidupannya termasuk dalam ekonomi Islam baik dalam membangun

konsep/model maupun dalam prakteknya.

Islam adalah agama yang didasarkan wahyu Allah SWT yang diturunkan melalui Nabi

Muhammad SAW dan diperuntukkan bagi seluruh alam (rahmatan lil „alamiin) dalam

kehidupan ini. Wahyu merupakan petunjuk yang sebagian besar berupa hukum (syariah).

Ada hukum yang bersifat mutlak yaitu haram dan halal dan ada petunjuk yang manusia

diberi kewenangan memilih yaitu mubah atau makruf. Manusia juga diberi ruang berfikir

untuk menginterpretasikan petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur‟an mengenai masalah-

masalah yang bersifat teknis sejalan dengan persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas

oleh Al-Qur‟an dan Sunah. Al-Qur‟an menganjurkan untuk masalah-masalah yang belum

ada ketentuannya secara pasti diambil melalui proses ijtihad dengan bertanya kepada

ahlinya atau yang mempunyai kompetensi untuk menjawab dalam hal ini ahli tafsir dan

dilakukan dengan musyawarah sehingga menghasilkan suatu keputusan. Di Indonesia ada

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa untuk hal-hal yang belum

secara tegas ditetapkan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah.11 Hukum yang mutlakpun pada

kondisi tertentu dapat dilakukan proses ijtihad, seperti buah yang telah dipatuk burung

Gagak haram di konsumsi manusia. Akan tetapi Allah memberi kemudahan apabila

peristiwa tersebut terjadi di suatu pulau dan sudah tidak ada lagi makanan yang bisa di

11 Ma‟ruf Amin, Pembaharuan Hukum Ekonomi Syariah dalam Pengembangan Produk Keuangan

temporer : Tranformasi Fikih Muamalat dalam Pengembangan Ekonomi Syari‟ah, Yayasan An-Nawawi

Tanara, 2013, h. 34

280 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

konsumsi, maka buah tersebut dapat dikonsumsi dengan membuang bagian-bagian tyang

telah tersentuh oleh burung Gagak tersebut.12

Islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan termasuk dalam

bermuamalah. Ekonomi bagian dari sebuah pembangunan di dalam sebuah negara. Islam

mengatur ekonomi dengan aturan yang memberikan keadilan bagi warga negaranya dan

memiliki tujuan bagi kemakmuran umat. Setiap individu baik perorangan ataupun dalam

kelompok mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam melakukan aktivitas ekonomi

baik untuk diri, keluarga dan umat yaitu berkeadilan.

Menurut Kursyid, ekonomi adalah suatu usaha yang mensistematikan dan memahami

segala permasalahan perekonomian dan segala perilaku manusia dengan permasalahan

tersebut berdasarkan perspektif islam. Ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan

hukum syariah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan

pembuangan sumber-sumber material dengan tujuan untuk memberikan kepuasan

manusia dan melakukannya sebagai kewajiban kepada Allah dan masyarakat.13

Dari berbagai definisi di atas, penyusun dapat menyimpulkan bahwa Ekonomi Islam

sesungguhnya adalah bagian dari sistem hidup (way of life) itu sendiri yang telah ada

aturannya dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang hadir sebagai solusi ekonomi yang yang

tak dibatasi waktu dan tempat. Demokrasi dalam ekonomi Islam dapat mengatasi yang

selama ini menjadi perdebatan yaitu sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi

sosialis.

Sistem ekonomi menurut Islam ada tiga prinsip dasar (Chapra dalam Imamudin Yuliadi.

2000) yaitu Tawhid, Khilafah, dan „Adalah. Dalam Sistem Ekonomi Syariah, ada

landasan etika dan moral dalam melaksanakan semua kegiatan termasuk kegiatan

ekonomi, selain harus adanya keseimbangan antara peran pemerintah, swasta,

kepentingan dunia dan semuanya bermuara pada kepentingan akhirat dalam setiap

aktivitas ekonomi yang dilakukan. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme

dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat

sekaligus yaitu : Kesatuan (unity), Keseimbangan (equilibrium), Kebebasan (free will),

dan Tanggungjawab (responsibility)

12 M. Dawam Raharjo, Seminar Islam dan Demokrasi: Islam dan Demokrasi, UIA, 2017, h. 6 13Beberapa pendapat tentang ekonomi Islam : Defenisi lain yang lebih lengkap bahwa Ekonomi

Islam adalah ilmu, teori, model, kebijakan serta praktik ekonomi yang bersendi dan berlandaskan

jaran Islam, dengan Al Qur‟an dan Al Hadits sebagai rujukan utama serta ijtihad sebagai rujukan

tambahan.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 281

Ekonomi Islam memiliki nilai-nilai fundamental Islam berasal dari alquran dan as

sunnah.. Nilai-nilai tersebut mencakup al syura (musyawarah), al amanah (mengemban

kepercayaan) , al adl (keadilan) , dan al ihsan (kebaikan). Bisnis Islami juga diikat dengan

ketentuan harus halal baik produk maupun prosesnya dan sidiq (jujur). Dalam hal efisien

dan efektif dalam Islam secara umum dikenal dengan konsep mubazir. Nilai – nilai

tersebut berlaku bagi pelaku ekonomi/ bisnis baik bagi produsen, pedagang maupun

konsumen. Implementasi dari nilai-nilai Islami tersebut tercermin dalam konsep

musyawarah dan pelaksanaannya. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan

musyawarah. Dalam konteks bisnis pendanaan syariah, kesepakatan bagi hasil ditetapkan

dengan musyawarah secara Islami menurut norma-norma kepatutan bisnis, tidak boleh

ada penindasan oleh pemilik modal. Dalam musyawarah suara mayoritas tidaklah

bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Yang

terpenting disini adalah bahwa dari hasil musyawarah harus tetap sejalan dengan nilai-

nilai Islam menurut syariah14, berkeadilan dan hasil musyawarah tersebut sangat

berdampak positif bagi kepentingan dan kemaslahatan ummat. Sebagian dasar-dasar

musyawarah dalam (ekonomi) Islam seperti mengemban kepercayaan, adil, kebaikan,

jujur, efisien dan efektif dapat merupakan padanan konsep demokrasi ekonomi.

Dua hal utama yang tidak sama antara musyawarah dalam ekonomi Islam dan demokrasi

ekonomi adalah dalam demokrasi ekonomi tidak ada konsep halal dan haram yang

berdampak pada kehidupan akhirat. Kedua konsep ini memiliki implikasi penting dalam

mencapai kesejahteraan umat/rakyat secara berkeadilan baik di dunia maupun akhirat.

Misalnya produksi mininuman keras merusak manusia di dunia dan akhirat karena

memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras hukumnya haram. Satu hal yang

sangat membedakan antara demokrasi ekonomi dengan demokrasi ekonomi dalam Islam,

adalah sistem pengawasan. Dalam demokrasi ekonomi selaku pengawas adalah manusia

melalui perwakilan rakyat dan pemerintah dimana demokrasi ekonomi dilaksanakan. .

Dalam (ekonomi) Islam penagwas utama adalah Allah SWT yang keberadaan-Nya

dengan manusia tanpa jarak. Pengawasan oleh manusia tetap dilaksanakan sebagaimana

pengawasan pada demokrasi ekonomi.

Kepatuhan umat Islam dalam melaksanakan perekonomian secara Islami, baik selaku

produsen ataupun konsumen atau keduanya ataupun selaku pembuat kebijakan ekonomi

14 Ibnu Rusyd, Islamic (syariah) Economic Thought : Ibn Rusyd Point of View, Gobal Syar‟Ii, Jurnal

Manajemen dan Bisnis Syariah, 2014

282 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

sangat dipengaruhi oleh tingkat keimanan dan ketaqwaan individu tersebut, tingkat

keyakinan akan adanya akhirat, yaitu hari dimana manusia akan memperoleh ganjaran

dari kehidupan di dunia apakah akan ke neraka atau ke sorga.15

Di bawah ini beberapa aturan demokrasi dalam ekonomi Islam .

a. Kebebasan Mencari Rezeki

Dalam demokrasi ekonomi, setiap orang bebas berusaha mencari rezeki karena itu adalah

hak setiap anggota masyarakat. Dalam mencari rezeki tersebut harus memenuhi

kewajibannya dengan tidak melanggar hak orang lain. Akan tetapi tidak ada ketentuan

tentang rezeki yang halal.

Allah Ta‟ala berfirman,

كثيزا لعل واذكزوا الل لة فانتشزوا في الرض وابتغىا من فضل الل كم تفلحىن{}فإذا قضيت الص

Yang artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi

(untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah

Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS al-Jumu‟ah:10).

Ayat diatas menunjukkan bahwa setiap orang punya hak yang sama untuk mencari rezeki.

Hal ini juga berlaku dalam demokrasi ekonomi. Namun dalam Islam, rezeki yang dicari

tersebut harus halal baik input, proses maupun hasilnya.16

Agama Islam sangat menganjurkan dan menekankan keutamaan berusaha mencari rezki

yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Rasulullah shallallahu „alaihi

wa sallam secara khusus menyebutkan keutamaan ini dalam sabda beliau :

جل من كسب ه إن أطيب ما أكل الز

Artinya: “Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari

usahanya sendiri (yang halal)” [6].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh mencari

usaha yang halal dan bahwa usaha mencari rezki yang paling utama adalah usaha yang

dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri [7].

Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan usaha

halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan tetap menekankan kewajiban

utama untuk selalu bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta pertolongan kepada

Allah Ta‟ala dalam semua usaha yang mereka lakukan. Keberhasilan seseorang itu adalah

atas usaha dan ridha Allah karenanya apabila dia berusaha, apa pun hasilnya dia harus

15 Tafsir Al Quran 16 Atifah Thaha, Karnaen A. Perwataatmadja, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, UIA, 2012

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 283

bertawakal menerima karena itu atas ijin Allah, lahaula walla quwata illah bilahil aliyul

adzim.17

Mencari rezki yang halal mulai dari proses sampai dengan hasil mempunyai implikasi

penting dalam mewujudkan demokrasi ekonomi. Halal merupakan rambu-rambu utama

dalam mencari rezeki/ berusaha ekonomi yang berkeadilan, dalam menggunakan hak dan

kewajiban pelaku ekonomi. Dengan rambu-rambu halal menjadi pembatas dalam

pelaksanaan demorasi ekonomi, tidak ada lagi proses manipulasi, proses penipuan, proses

kecurangan dalam kegiatan ekonomi. Dengan rambu-rambu halal produk-produk yang

dihasilkan pelaku ekonomi terjamin aman dan sehat.

b. Zakat

Zakat merupakan komponen penting lainnya dalam ekonomi Islam untuk

kesejahteraan umat yang setara dengan pajak dalam demokrasi ekonomi dengan

ukuran dan ketentuan yang berbeda. Pajak besarannya dapat berubab-rubab sejalan

dengan peraturan pemerintah dimana demokrasi ekonom di jalankan demikian juga

penggunaannya. Besaran zakat ketentuannya tetap sesuai dengan Al Qur”an dan

digunakan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejateraan umat yang kurang

beruntung seperti di bawah ini.

Artinya :“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-

orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk

(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-

orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan

Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah : 30)

c. Tidak Menimbun Barang

Dalam demokrasi ekonomi menimbun barang tidak efektif dan efisien. Hal tersebut

dapat menimbulkan kerugian dan melanggar hak orang lain.18 Dalam Islam, menimbun

17 https://muslim.or.id/299-antara-tawakkal-dan-usaha-mencari-rizki-yang-halal.html, diakses 1 Juli 2017

18 Kecuali untuk maksud manipulasi guna mendongkrak harga dan kemudian baru barang tersebut di lepas

ke pasar.

284 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

barang tidak hanya tidak efektif dan efisien tetapi adalah perbuatan penipuan karena

banyak orang yang masih membutuhkan barang tersebut. Kita sering mendengar

beberapa saudara kita terutama para pedagang yang menimbun barang dagangannya,

terutama di saat-saat krisis ekonomi, padahal manusia saat itu sangat membutuhkan

barang dagangan tersebut, terutama bahan pokok makanan, kemudian mereka (para

penimbun) menjual barang itu tatkala harga telah melonjak tinggi sehingga mereka

meraup keuntungan yang sangat melimpah, sebaliknya manusia semakin kesulitan

dengan harga yang tinggi, sehingga ini membahayakan perekonomian manusia secara

umum. Untuk mengatasi hal ini pemerintah sudah menetapkan Undang-undang tentang

penimbunan barang. Dalam Islam pengawas utama dan pertama adalah Allah,

sehingga seharusnya para muslimin muslimat tidak melakukan penimbunan barang

dalam melakukan kegiatan ekonomi.

Annisa 4: 29

نكم ن تكىن يا أيها الذين آمنىا لا تأكلىا أمىالكم بينكم بالباطل إلا أ (1 تجارة عن تزاض م

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah saling memakan harta sesama

kalian dengan cara yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan dengan syarat

suka sama suka di antara kalian…” (QS. an-Nisa‟ [4]: 29)

d. Berbuat jujur dalam timbangan : Al Muthofifin 1-3)

Dalam demokrasi, timbangan itu harus sesuai dengan takaran yang disepakati atau

diinginkan oleh pembeli. Kesesuian angka dalam ukuran timbangan menajadi hak

pembeli, kalau dia curang berarti melanggar demokrasi.

Dalam Al-Qur‟an yang menjadi tuntunan hidup umat Muslim, misalnya, disebutkan,

“Dan sempurnakan takaran dan timbangan dengan adil” (QS Al –An‟am, 152).

“Kecelakaan bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila

menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar

atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah mereka itu

menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada hari yang besar.

Yaitu hari ketika manusia berdiri (menghadap) Tuhan Semesta alam” (QS. Al-

Muthaffifin, 1-6).

Komponen ekonomi penting lainnya adalah penggunaan “interest” atau bunga yang

digunakan dalam system ekonomi konvensional, baik untuk modal usaha ataupun

pemilikan asset.19 Dalam Islam system interest tidak dibenarkan hukumnya haram,

karena apabila peminjam dana mengalami kerugian resiko ditanggung sepenuhnya

19 Iqbal Ahmad khan Suhail, What is Riba, New Delhi, Pharos media & Publishing Pvt Ltd, 2005

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 285

oleh peminjam modal sementara pemilik modal tetap menerima manfaat dari dana

yang dipinjamkan. Dalam Islam dikenal dengan bagi hasil berdasarkan kesepakatan

yang berkeadilan. Apabila peninjam modal mengalami kerugian maka kerugian

ditanggung bersama antara peminnjam modal dan pemilik modal sesuai dengan

kesepakatan dengan rambu-rambu syariah.20

PENUTUP

Tidak terdapat kata-kata demokrasi dalam Al Qur‟an dan sunnah yang merupakan acuan dalam

ekonomi Islam. Gagasan demokrasi dalam Islam terkandung dalam istilah “al shura” atau

musyawarah. Ada bagian dari demokrasi ekonomi yang menjadi bagian dalam ekonomi Islam

dan ada juga yang tidak ada. Artinya ada sub set/ irisan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi

dalam ekonomi Islam. Demokrasi ekonomi bersifat lokal karena buatan manusia/pemerintah

dimana kegiatan ekonomi berlangsung. Demokrasi dalam ekonomi Islam bersifat universal dan

transnasional, melampaui batas-batas Negara karena memiliki acuan yang sama yaitu Qur‟an dan

sunnah dan diawasi oleh Allah SWT.

Dalam demokrasi ekonomi dan demokrasi dalam ekonomi Islam, setiap orang atau kumpulan

orang haruslah mempunyai hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama dalam memanfaatkan

sumber-sumber yang terbatas untuk kemakmuran individu, keluarga dan masyarakat. Konsep

kewajiban yang membatasi hak pelaku ekonomi. Dalam demokrai ekonomi, hak dan kewajiban

tersebut diatur oleh manusia/ negara dan peraturan dapat berubah-rubah sejalan dengan system

pemerintah, keberpihakan pemerintah, pemahaman dan kepentingan pemerintah serta kekuatan

kekuatan yang mempunyai pengaruh terhadap pemerintah. Dalam ekonomi Islam, juga mengikuti

peraturan-peraturan dimana kegiatan ekonomi dilakukan dengan acuan utama ketentuan yang

ada dalam Al Qur‟an dan sunnah dan diawasi langsung oleh Allah SWT. Dalam ekonomi Islam

harus misalnya amanah (dapat dipercaya), sidiq (jujur), bisnis yang dilakukan bisnis yang halal

toyiban,adanya ketentuan zakat dan infaq. Pada hari Raya Idul Ftri dan hari raya qurban insya

Allah seluruh umat mendapat rezeki yang halal toyiban. Bagi konsumen, konsep halal toyiban

harus menjadi acuan utama. Dalam ekonomi Islam, bisnis harus untung sama untung rugi sama

rugi, artinya tidak boleh menghitung modal dengan suku bunga tetapi dilakukan dengan

musyawarah sesuai syariat Islam. Instrument – instrument tersebut merupakan bentuk untuk

mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera .

20 Lihat Khursyid

286 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Seharusnya umat Islam mengimplementasikan secara kaffah konsep-konsep ekonomi Islam

sebagai “ way of life” dalam kehidupan. Tingkat kepatuhan umat Islam untuk melaksanakan

konsep-konsep ekonomi Islam sangat individual di tentukan oleh kualitas iman dan taqwa

masing-masing individu. Menjadi tantangan besar bagi umat Islam bagaimana meningkatkan

kualitas iman dan taqwa tidak hanya di bidang ekonomi tetapi dalam seluruh aspek kehidupan.

--------------------00000000------------------------

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 287

SISTEM EKONOMI KERAKYATAN SEBAGAI

PENGEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PELEMBAGAAN MODEL DEMOKRASI

BERKETUHANAN YANG MAHA ESA1

Oleh: Dr. Efridani Lubis, SH., MH2

I. Pendahuluan

Perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mengubah paradigma ketatanegaraan

Indonesia adalah pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: ”Kedaulatan di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penegasan ini

menunjukkan bahwa demokrasi sebagai paradigma, tidak berdiri sendiri, tetapi paradigma

demokrasi yang dibangun harus dikawal bahkan harus didasarkan pada nilai hukum, sehingga

produk demokrasi dapat dikontrol secara normatif oleh paradigma hukum. Hal ini berarti

paradigma demokrasi yang dibangun adalah berbanding lurus dengan paradigma hukum dan

inilah paradigma Negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara hukum yang

demokratis. Paradigma ini berimplikasi pada kelembagaan Negara, model kekuasaan Negara,

prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances, serta kontrol normatif yang

pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga peradilan. Oleh karena itu paradigma tersebut

mengubah paradigma supremasi parlemen menjadi prinsip supremasi konstitusi/supremasi

hukum.

Dalam perspektif pemahaman hukum secara holistik, maka hukum tidak dipahami

sekedar dalam teks-teks hukum, atau hanya sekedar memenuhi kepentingan sesaat bahkan

kepentingan kelompok tertentu, melainkan harus menempatkannya pada konteks yang lebih

besar, yaitu masyarakat Indonesia. Dengan demikian, hukum tidak dilihat sebagai skema-

skema abstrak, melainkan sebagai sesuatu yang utuh dan nyata. Hal ini berarti hukum tidak

hanya dipandang sebagai peraturan (rules) melainkan juga sebagai perilaku manusia yang

terorganisir (organic behavior). Oleh karena itu, mengembangkan hukum melalui

pembentukan hukum baru harus memperhatikan terhadap nilai yang diyakini masyarakat,

sistem sosial, dan lingkungan yang mempengaruhi. Dalam perspektif ini, maka hukum selalu

konteksual dengan persoalan dan perkembangan masyarakat, serta memperhatikan,

melindungi dan memenuhi hak-hak dasar warga negara.

1 Call for paper ini disampaikan pada Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi

Berketuhanan Yang Maha Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA), di

Auditorium Gedung Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2 Dosen Program Pascasarjana Magister/Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi‟iyah (UIA).

288 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Oleh karena itu, pemikiran yang holisitik dan diikuti oleh metoda pemecahan

masalah/analisis masalah dengan memperhatikan komponen yang berada pada satu jalinan

yang utuh, akan menghasilkan produk hukum yasng realistik tetapi juga futuristik yang

menadasarkan pada prinsip-prinsip perancangan hukum antara lain prinsip rule, opportunity,

capacity, communication, interest, process, ideology3.

Banyak ketentuan yang merupakan cerminan paradigma di atas terlihat dalam UUD

1945 sebagai wujud negara demokrasi Indonesia. Pada kesempatan ini, fokus bahasan adalah

Pasal 33 UUD 1945 yang menganut prinsip ekonomi kerakyatan yang erat dengan konsep

demokrasi ekonomi. Konsep Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep ekonomi yang

dikembangkan oleh Soekarno dan Hatta pada tahun 1930-an. Pidato Soekarno pada Agustus

1930 dalam mengajukan pembelaan di Landraad Bandung, menyinggung bahwa ekonomi

rakyat telah terdesak bahkan terpadamkan oleh sistem ekonomi monopoli yang disempitkan

(Soekarno, 1930:31). Kemudian oleh Mohammad Hatta pemikiran Soekarno tersebut

dipertajam dan dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa tulisannya pada harian Daulat

Ra’jat:“Pengaroeh Kolonial Kapitaal di Indonesia” yang dimuat pada tanggal 20 Nopember

1931; “Pendirian Kita” dimuat tanggal 10 September 1932; “Krisis Dunia dan Nasib Ra‟jat

Indonesia” dimuat tanggal 20 September 1932; “Ekonomi Ra‟jat” yang dimuat tanggal 20

November 1933; dan yang paling monumental adalah tulisannya tanggal 10 Juni 1934 yang

berjudul “Ekonomi Ra‟jat dalam Bahaya”. Menggunakan istilah perekonomian ra’jat dan

ekonomi ra’jat pada tulisan tersebut dimaksudkan untuk merujuk pada grass-roots economy

atau ekonomi berbasis rakyat (people-based economy) dan ekonomi terpusat pada

kepentingan rakyat (people-centered economy)4.Latar belakang tulisan-tulisan Mohammad

Hatta pada era tahun 1931 sampai dengan 1934 di atas didorong keprihatianan beliau dengan

politik cultuurstelsel yang diterapkan Belanda, dimana kebijakan perekonomian tidak

berpusat pada kepentingan rakyat dimaksud5. Dalam praktik tanam paksa yang diterapkan

sejak tahun 1830, memaksa para petani untuk menanam komoditas tertentu yang ditetapkan

oleh Pemerintah Hindia Belanda. Praktik ini jelas-jelas sangat menyengsarakan pribumi dan

karenanya banyak kritik yang dilontarkan bahkan oleh petinggi-petinggi Belanda sendiri.

Menanggapi kritikan ini, Parlemen Belanda mengundangkan Agrarisch Wet pada tahun 1870;

dimana diatur bahwa monopoli Pemerintah Hindia Belanda atas hasil bumi Hindia Belanda

diakhiri dengan membuka kesempatan bagi para pemilik modal Eropa untuk menanamkan

3Hoesein, Lubis, Arifuddin, Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Sistem Ekonomi Kerakyatan, Makalah, 2016.

4Lihat Sri Edi Swasono, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Kebudayaan dalam Prosidin Kongres Pancasila VI: Penguatan,

Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi Pelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan

Bangsa, Ambon, 31 Mei-01 Juni 2014, h. 89. 5Swasono, Ibid.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 289

investasi di daerah koloni tersebut berdasarkan hak guna usaha (erfpacht) selama 75 tahun

dan hak opstal untuk selama 20 tahun6.Dampak Agrarisch Wet terhadap pribumi ternyata

tidak lebih baik, menurut istilah Ismawan (2016:1) hanya berganti operator saja; yang semula

eksploitasi dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda di zaman culturstelsel berpindah

tangan kepada para pihak swasta (particulier initiatief). Dengan kesempatan ini, maka

berdirilah perkebunan-perkebunan besar (onderneming) yang dimiliki oleh swasta, yang

sebagian diambil alih melalui nasionalisasi yang menjadi perkebunan negara sekarang ini.

Karena adanya investasi swasta berdasarkan prinsip business as usual, maka para pemodal

Eropa melalukan inovasi dengan bantuan dukungan infrastruktur ekonomi dari De Javasche

Bank menerapkan teknologi modern dan jaringan internasional. Akibatnya, perkebunan (baca

perekonomian) pribumi walaupun dipersilahkan bersaing secara terbuka, namun tetap kalah

dan semakin terpuruk dari perkebunan swasta Eropa tersebut, karena pada umumnya

perkebunan dan pertanian pribumi berskala kecil, berteknologi sederhana, dan berdimensi

lokal. Kesengsaraan para petani inilah yang mendorong munculnya pemikiran amanat

penderitaan rakyat (Ampera) yang diusung oleh para pejuang kemerdekaan.7Oleh karena itu,

tatkala Mohammad Hatta menyusun konsep Ekonomi Rakyat tidak boleh ditafsirkan lepas

dari penderitaan dan kesengsaraan rakyat; dengan kata lain, ekonomi rakyat adalah

pemberdayaan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, konsep ekonomi

kerakyatan tidak bisa dipisahkan dengan konsep kesejahteraan rakyat. Kedua konsep secara

eksplisit dan implisit terdapat pada Pasal 33 UUD 1945.

A. Prinsip Ekonomi Kerakyatan Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945

Pasal 33 UUD 1945 berada di bawah Bab XIV dengan perubahan judul pada

Amendemen keempat menjadi „Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial‟. Merujuk

kepada judul dimaksud terlihat jelas bahwa sistem perekonomian nasional Indonesia

ditujukan untuk kesejahteraan sosial. Hal ini senada dengan pendapat Dawam Rahardjo yang

membahas Pasal 33 dari perspektif ekonomi. Menurut Rahardjo, jika dilihat dengan seksama,

maka Pasal 33 bertujuan untuk mecapai kesejahteraan sosial. (Rahardjo, 2016: xxvii). Dalam

konsteks kesejahteraan, UUD 1945 menggunakan dua istilah, yaitu kesejahteraan umum dan

kesejahteraan sosial. Istilah kesejahteraan umum dapat ditemui dalam Alinea IV Pembukaan

(Preambule) UUD 1945; sedangkan istilah kesejahteraan sosial terdapat pada judul Bab XIV

tersebut di atas. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kedua istilah dimaksud. Menurut

6Lihat Bambang Ismawan, Memberdayakan Perekonomian Rakyat dalam Transformasi Kesejahteraan: Pemenuhan Hak

Ekonomi dan Kesehatan Semesta, Jakarta: LP3ES, 2016, h.1-4. 7Ismawan, Ibid, h.2

290 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Dawam Rahardjo istilah kesejahteraan sosial lebih sering digunakan dalam konteks wacana

pembangunan. Hal ini ditafsirkannya berdasarkan penggunaan istilah tersebut pertama

kalinya oleh Bung Karno dala pidatonya di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menjelaskan rumusan dasar negara yang

diajukannya. Bung Hatta menyetujui penggunaan istilah tersebut, namun beliau

menggunakan istilah keadilan sosial daripada kesejahteraan sosial. Istilah keadilan sosial

lebih menekankan pada distribusi kesejahteraan yang diperoleh dalam pembangunan yang

lebih adil dan merata (Rahardjo, 2016: xxxii).

Makna kesejahteraan sosial sebagaimana tercantum dalam Bab XIV UUD 1945

tersebut di atas, menurut Sri Edi Swasono merupakan rumusan sistem ekonomi Indonesia

yang disebutnya sebagai Doktrin Kesejahteraan Indonesia. Kesehateraan sosial bersama-sama

dengan kesejahteraan umum termasuk dalam kesejahteraan publi (public welfare) yang

merupakan tanggungjawab dan misi negara mewujudkannya. Oleh karena itu, tugas utama

negara adalah memasukan kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya disamping „melindungi

segenap tumpah darah‟, „mencerdaskan kehidupan bangsa‟, „turut serta dalam meneggakkan

perdamaian dunia yang abadi‟ sebagaimana termaktub dalam Aline IV UUD 1945. Istilah

kesejahteraan umum merupakan lawan dari kesejahteraan individu. Oleh karena itu, ukuran

kesejahteraan bukan berbasis pendapat individu; melainkan komunal. Dalam perspektif

filsafat (hukum), ukuran kesejahteraan umum digambarkan oleh teori Jeremy Bentham „the

greatest happiness for the greatest number‟; artinya jika sebagian anggota masyarakat

merasakan manfaat dan merasa senang dengan kebijakan atau situasi tertentu, maka itulah

kesejahteraan umum. Secara kuantitatf, makna kesejahteraan sosial menurut Rizal Ramli

(2014:11) dapat diukur dari (1) Status gizi; (2) status kesehatan yang terlihat dari angka

harapan hidup; (3) status pendidikan, pekerjaan yang mencukupi kebutuhan hidup, dan; (4)

prevalensi kejadian penyakit dan lain-lain, yang harus diukur secara kuantitatif. Sejalan

dengan pikiran utilitarianisme di atas, maka ukuran kesejahteraan rakyat yang paling penting

adalah tercukupinya kebutuhan dasar atau pokok hidup, bukan pertumbuhan ekonomi atau

nilai tukar.

Revrisond Baswir, Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjahmada,

berpendapat bahwa sesungguhnya Pasal 33 UUD 1945 merupakan dasar demokrasi ekonomi

Indonesia yang mengacu pada pemikiran Hatta tentang ekonomi kerakyatan; karena istilah

ekonomi kerakyatan memang tidak ditemukan secara eksplisit. Namun demikian, secara

esensial, makna demokrasi ekonomi dimaksud mengacu pada definisi kata 'kerakyatan'

sebagaimana dikemukakan oleh Hatta dalam tulisannya pada harian Daulat Ra’jat. Selain itu

penggunaan kata kerakyatan pada Sila keempat Pancasila pun dapat ditafsirkan bahwa

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 291

demokrasi ekonomi adalah ekonomi kerakyatan (Baswir, 1995).Selanjutnya dalam

menjelaskan Pasal 33, Hatta menerangkan sebagai berikut:

1. Makna asas kekeluargaan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945:

Azas kekeluargaan itu ialah koperasi. Azas kekeluargaan itu adalah istilah dari Taman

Siswa untuk menunjukkan bagaimana guru dan murid-murid yang tinggap padanya

hidup sebagai suatu keluarga. Itu pulalah hendaknya corak koperasi Indonesia (Hatta:

1977)

2. Makna dikuasai oleh negara Pasal 33 ayat (2) UUD 1945:

Pengertian dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh

negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat

Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh

kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu

dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk

mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan

(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)

untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat8.

3. Makna digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terdapat dalam

Pasal 33 ayat (3):

4. Makna Demokrasi Ekonomi yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4):

Demokrasi ekonomi, menurut Hatta (1932), sebagaimana halnya demokrasi Indonesia,

bersumber pada nilai demokrasi asli di desa-desa di Indonesia. Ada tiga unsur

demokrasi di Indonesia: (1) musyawarah, (2) kemerdekaan berpendapat, dan (3) tolong

menolong. Dengan menerapkan pilar demokrasi ekonomi ini, tidak ada lagi sebagian

kecil orang ataupun golongan yang menguasai kehidupan orang banyak hanya karena ia

menguasai faktor produksi seperti sekarang ini. Idealnya keperluan dan kemauan rakyat

banyak yang harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan, Karenanya, semua

cabang produksi yang memberikan penghasilan besar dan mengenai hajat hidup orang

banyak harus dikelola secara bersama di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan

badan-badan perwakilannya (Hatta: 1932).

5. Selanjutnya, perlu juga dicermati bahwa negara juga memiliki kekuasaan atas cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang

banyak, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Cabang produksi

8Lihat pula Putusan MahkamahKonstitusiNomor002/PUU-

I/2003sebagaimanadiimuatdalamBeritaNegaraRepublikIndonesiaNomor01Tahun2005, tanggal04Januari2005, hal. 208–209.

292 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah cabang produksi yang termasuk

dalam kategori public utility. Menurut Maruarar Siahaan dan Harjono, penafsiran

penguasaan negara ini tidak dapat diartikan dalam konsepsi kepemilikan perdata,

melainkan harus dikaitkan dengan kedudukan negara sebagai entity yang berdaulat,

yang oleh karenanya, kewenangannya meliputi pengaturan hal-hal yang berada di

wilayah kedaulatannya, meskipun diluar kepemilikannya, termasuk di dalamnya untuk

menarik pemilikan orang lain untuk dikuasai negara. Berdasarkan penjelasan di atas,

maka dapat terjadi bahwa (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai

hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang

banyak, dan (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.

Ketiga kondisi ini menjadi penguasaan negara dan harus dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat, seperti digambarkan dalam tabel berikut9:

Tabel 1: Penguasaan Negara atas SDAdan Cabang Produksi yang Menguasai Hajat

Hidup Orang Banyak

No SDA/Cabang Produksi Hajat Hidup Masyarakat Kekuasaan Negara

1 Bumi Tidak mensyaratkan Dikuasai Negara

2 Air Tidak mensyaratkan Dikuasai Negara

3 Kekayaan alam dalam

bumi/air

Tidak mensyaratkan Dikuasai Negara

4 Penting/strategis bagi

negara

Menguasai hajat hidup

orang banyak

Dikuasai Negara

5 Penting Bagi Negara Tidak menguasai hajat hidup

orang banyak

Dikuasai Negara

6 Tidak penting bagi

Negara

Menguasai hajat hidup

orang banyak

Dikuasai Negara

7 Tidak penting bagi

Negara

Tidak menguasai hajat hidup

orang banyak

Tidak dikuasai

Negara

Sumber: Lubis, 2010:127

9Efridani Lubis (2009), Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Berdasarkan Penerapan Konsep Sovereign

Right dan Hak Kekayaan Intelektual, h. 127.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 293

Dari Tabel 1 di atas, terlihat bahwa Peran negara dalam mengelola sumber daya alam

Indonesia (SDA) sangat besar sekali untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peran

negara tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya kepincangan penguasaan sumber

daya pembangunan akibat penguasaan oleh pihak swasta. Dengan penguasaan oleh

negara maka hajat hidup orang banyak – yang dalam teori ekonomi disebut sebagai

kebutuhan dasar manusia (human basic needs) – dapat diproduksi dan didistribusikan

secara lebih merata untuk setiap warga negara. Sejalan dengan pemikiran ini, maka

Demokrasi Ekonomi sebagai landasan ekonomi kerakyatan yang terkandung dalam Pasal

33 UUD 1945 di atas tidak bisa dilepaskan dari peran negara dalam memajukan sektor

ekonomi kerakyatan untuk tujuan pendistribusian kesejahteraan rakyat yang merata.

B. Ekonomi Kerakyatan Sebagai Model Demokrasi Ekonomi Berketuhanan Yang Maha

Esa

Demokrasi ekonomi berdasarkan penjelasan di atas berarti (1) pengelolaan sumber daya yang

baik, (2) kesejahteraan bersama, dan (3) berdasarkan azas kekeluargaan. Atau menurut Hatta

(1932), unsurnya adalah (1) musyawarah, (2) kemerdekaan berpendapat, dan (3) tolong

menolong. Sesungguhnya prinsip-prinsip ini telah ditetapkan dalam Al Qur‟an. Prinsip dasar

ekonomi Islam adalah transaksi ekonomi haruslah memberikan kesejahteraan dan

kemakmuran hidup manusia di muka bumi; tidak hanya memberikan keuntungan kepada

salah satu atau sebagian pihak saja.

Menurut Mahmud Abu Saud, prinsip-prinsip ekonomi Islam itu paling sedikit memuat:

1. Nilai Keimanan menjadi dasar ekonomi dalam Islam

Prinsip ini ditemukan di berbagai ayat, antara lain:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan utuk kamu agamu, dan telah Kucukupkan kepadamu

nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu... (Al Maidah:3).

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah

karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-

Jumu‟ah:10).

Sistem Ekonomi

Kerakyatan

Sumber

daya Kesejahteraan

sosial

SDA/Cabang Produksi

Penting

Dikelola

Negara

294 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

“Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,

harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan

tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan

dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-

Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.S. At-

Taubah:24)

“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju

kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa

yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-

baik Pemberi rezki. (Q.S. Al-Jumu‟ah:11)

2. Transaksi dilaksanakan berdasarkan kesepakatan (suka sama suka)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka

sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah

adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S. An-Nisaa: 29)

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari

sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah

membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.(QS Al-Imran: 159)

3. Tidak menerapkan Riba

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti

berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan

mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),

sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli

dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari

Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah

diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.

Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;

mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. Al-Baqarah : 275)

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 295

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda

dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Q.S. Ali

Imran : 130)

4. Tidak mengurangi hak mitra

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih

bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan

dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar

kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,

kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu

diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”. (Q.S. Al-An‟aam : 152)

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila

menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar

atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. (Q.S. Al-Muthaffifiin : 1-3)

5. Pengelolaan yang baik

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang

akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh

mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS Al-Isra‟: 31).

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk

waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis

di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan

menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan

hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan

hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun

daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah

(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya

mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang

lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua

orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang

seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)

apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil

maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi

Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)

keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai

yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak

menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan

296 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), maka Sesungguhnya

hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah

mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS Al-Baqarah: 282 ).

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak

memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang

(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,

maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah

ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan

persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah

orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS

Al-Baqarah: 283).

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu

adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS Al-Isra‟: 27).

6. Keuntungan usaha untuk kesejahteraan bersama

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil

usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk

kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan

daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan

memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha

Terpuji”. (QS: Al-Baqarah: 267).

“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,

pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang

serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang

bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik

hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-

lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS: Al

An‟am: 141).

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,

maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat

yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)

itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (QS Ar Rum: 39).

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi

dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada

kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Al Baqarah:

274).

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 297

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa semua unsur demokrasi ekonomi secara rasional dan

modern, telah dielaborasi lebih tajam dan mendalam dalam Al Qur‟an. Selanjutnya, jika kita

telaah lebih dekat pemikiran-pemikiran Mohammad Hatta yang menjadi dasar ekonomi

kerakyatan pada Pasal 33 UUD 1945, kita akan melihat pengaruh pandangan Islam yang lekat

di dalamnya. Menurut Anwar Abbas yang menulis “Bung Hatta dan Ekonomi Islam:

Menangkap Makna Maqâshid al Syarî'ah”, konstruksi berpikir Hatta sudah sangat

dipengaruhi ajaran-ajaran Islam sejak muda. Karena sudah yatim sejak berusia 6 bulan, maka

perkembangan pemikiran Hatta muda dipengaruhi oleh Pak Gaek (kakek dari pihak ibu) yang

merupakan pemimpin aliran Naqsabandi di Bukit Tinggi. Pengaruh pemikiran ekonomi

diperolehnya dari latar belakang keluarga ayahnya yang pedagang. Oleh karena itu,

perumusan Pasal 33 UUD 1945, sesungguhnya merupakan kristalisasi ajaran ekonomi Islam

yang disesuaikan dengan semangat nasionalisme pada awal kemerdekaan10.

Tabel: Prinsip Ekonomi Islam dalam Pasal 33 UUD 1945

No Prinsip Ekonomi dalam UUD 1945 Prinsip Ekonomi Islam

1 Pengelolaan sumber daya yang baik:

- Manusia

- Waktu

- Bahan baku

- Proses produksi (pencatatan)

QS Al-Isra‟: 31

QS Al-Baqarah: 282

QS Al-Baqarah: 283

QS Al-Isra‟: 27

Q.S. Al-Jumu‟ah:10

Q.S. Al-Jumu‟ah:11

Q.S. An-Nisaa: 29

QS Al-Imran: 159

2 Kesejahteraan bersama Q.S. Al-Baqarah : 275

Q.S. Ali Imran : 130

Q.S. Al-An‟aam : 152

Q.S. Al-Muthaffifiin : 1-3

QS: Al-Baqarah: 267

QS: Al An‟am: 141

QS Ar Rum: 39

QS Al Baqarah: 274

3 Berdasarkan azas kekeluargaan QS Al-Baqarah: 282

QS Al-Baqarah: 283

10Lihat selengkapnya dalam: Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqâshid al Syarî'ah oleh Anwar Abbas,

2010, Bogor: Grafika Mardi Yuana.

298 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

C. Prospek Penerapan Ekonomi Kerakyatan Sebagai Model Demokrasi Berketuhanan

Yang Maha Esa di Indonesia

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa negara berkewajiban untuk mengelola

sumber daya alam (SDA) dan cabang-cabang produksi penting menggunakan sistem

ekonomi kerakyatan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Penggunaan SDA

dalam kegiatan ekonomi bukanlah hal baru; justru cikal bakal dan penyokong

perekonomian Indonesia adalah SDA11. Saat ini lebih dari 50% rakyat Indonesia hidup

dipedesaan, yang kehidupannya tergantung kepada hasil alam, dan diantara mereka

bahkan masuk kategori miskin yang menurut statistik awal 2012 mencapai 15,72%. Oleh

karena itu, konsekuensinya adalah bahwa setiap strategi pembangunan yang mengarah

pada peningkatan kesejahteraan masyarakat harus difokuskan pada pembangunan daerah

pendesaan. Mengutamakan pembangunan di Desa tidak berarti seluruh dana dan

daya dipusatkan dan diarahkan kepada pembangunan Desa, dengan menelantarkan daerah

kota. Pembangunan pedesaan justru memerlukan dukungan dan bantuan pembangunan

yang lebih pesat dan lebih maju, khususnya dalam rangka industrialisasi. Pada saat

industrialisasi menjadi pilihan, maka penggunaan teknologi menjadi pilihan strategis.

Peran teknologi dalam pembangunan pedeaan penting artinya dalam penciptaan struktur

dan keadaan ekonomi yang lebih baik (Amiruddin, 2015:5).

Dalam konteks arti membangun, cakupannya cukup luas meliputi pembangunan fisik dan

non fisik. Dalam artian non fisik selain peningkatan skill atau kemampuan, ini juga

meliputi pembangunan cara berpikir dan kesadaran untuk bebas dari keterbelakangan,

atau berkeinginan kuat untuk hidup dengan cara yang lebih baik dan bertanggungjawab.

Oleh karena itu, dalam strategi maupun program pelaksanaannya, ekonomi kerakyatan

mengandung tiga unsur pokok, yaitu demokrasi, keadilan sosial dan bersifat populistik.

(Amiruddin, 2015:5). Dengan demikian, adalah tugas negara untuk merumuskan sistem

perekonomian yang memenuhi tiga unsur tersebut dan tentu saja menerapkannya pada

gilirannya.

Berdasarkan pemikiran di atas, menurut Mardi Yatmo Hutomo (2001: 1-3) maka peran

Negara dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan Indonesia meliputi:

1. Menyusun perekonomian berdasar atas azas kekeluargaan (tolong menolong/gotong

royong/kolektivisme), yaitu dengan menjadikan koperasi sebagai model makro dan

mikro perekonomian Indonesia;

11VOC sebagai agen yang memperkenalkan sistem ekonomi modern di Hindia Belanda dulu memperdagangkan rempah-

rempah yang merupkah hasil alam Indonesia. Hal ini kemudian berkembang menjadi perusahaan-perusahaan perkebunan,

yang sebagian masih bertahan sampai hari ini berdasarkan naionalisasi dan dikelola oleh PTPN yang merupakan BUMN.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 299

2. Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak, yaitu dengan mengembangkan BUMN sebagai motor

penggerak perekonomian nasional;

3. Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang

terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

4. Memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan;

5. Memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Tujuan jangka pendek kebijakan itu adalah untuk menghapuskan penggolong-golongan

status sosial-ekonomi masyarakat, baik berdasarkan ras maupun berdasarkan tingkat

penguasaan faktor-faktor produksi. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk

mengoreksi struktur ekonomi kolonial yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda,

serta untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda

perekonomian Indonesia. Penerapan sistem ekonomi kerayaktan ini memang pasang

surut; sehingga belum bisa dijadikan barometer keberhasilan sistem ekonomi di

Indonesia.

Namun demikian, prinsip ekonomi kerakyatan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 33

UUD 1945 belum pernah dijadikan pedoman dalam menjalankan perekonomian di

Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, sekalipun praktek ekonomi kolonial Belanda

menjadi dasar utama pengembangan sistem ekonomi kerakyatan dimaksud, namun pada

kenyataannya sistem ini belum diterapkan secara penuh pada awal kemerdekaan.

Sebagaimana diketahui, sistem perekonomian di dunia dapat dibagi dua besar: ekonomi

liberal/kapitalis, dan ekonomi tertutup/sosialisme. Menurut Partadiredja (1983) bahkan

mengatakan bahwa sebagian besar negara-negara sedang berkembang, termasuk

Indonesia, menganut sistem ekonomi campuran, karena terdapat pemilikan swasta

perseorangan atas alat-alatproduksi yang berdampingan dengan pemilikan negara, dan

bahkan pemilikankelompok-kelompok persekutuan adat. Mekanisme harga dan pasar

bebas, hidupberdampingan dengan perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sebagian besar hargabarang dan jasa dan faktor produksi ditentukan oleh kekuatan

permintaan dan penawaran.Pemerintah juga mempengaruhi kekuatan permintaan dan

penawaran tersebut melaluikebijaksanaan harga, termasuk penetapan upah minimum.

Melihat perkembangan di Indonesia, maka sistem perekonomian di Indonesia setelah

kemerdekaan dapat disarikan sebagai berikut:

300 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Tabel 2

Penerapan Sistem Ekonomi Indonesia Pasca Kemerdekaan

Tahun Sistem Ekonomi Indikator

1945-1950

(Orla)

Pemulihan inflasi yang

sangat tinggi

Berlakunya lebih dari satu mata uang

(mata uang De Javasche Bank, mata uang

pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang

pendudukan Jepang, dan ORI)

Menanggulangi masalah-masalah

ekonomi yang mendesak, yaitu: masalah

produksi dan distribusi makanan, masalah

sandang, serta status dan administrasi

perkebunan-perkebunan

Swsembada pangan (Kasimo Plan)

1950-1957

(Orla)

Ekonomi Liberal Pemotongan nilai uang (gunting

Syarifuddin)

Menumbuhkan wiraswastawan pribumi

(Program Banteng)

Pengambilalihan perusahaan-perusahaan

Belanda (Program Nasionalisasi)

1959-1967

(Orla)

Ekonomi Etatisme Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon)

Devaluasi 2 kali (25 Agustus 1959 dan 13

Desember 1965) untuk menekan inflasi

1967 – 1998

(Orba)

Ekonomi Neoliberal Investasi asing yang sangat terbuka

Pemberian peran yang besar pada sektor

moneter

Privatisasi/swastanisasi

menyerahkan layanan publik pada

mekanisme pasar seperti pendidikan,

kesehatan, air minum/bersih

1998 – 1999

BJ.Habibie

Pemulihan Krismon Menaikkan tingkat suku bunga Serifikat

Bank Indonesia (SBI)

Restrukturisasi perbankan melalui Badan

Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 301

Mengesahkan regulasi pro pasar

1999-2001

Abdurrahman

Wahid

Pemulihan Krismon Pelebaran investasi asing

Pembentukan Dewan Ekonomi Nasional

Pembentukan BPR Nusuma sebagai upaya

untuk mengembangkan ekonomi rakyat,

khususnya warga NU

2001-2004

Megawati

Soekarnoputri

Campuran Penundaan pembayaran utang luar negeri

Privatisasi BUMN

Pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi

2004-2014

Soesilo Bambang

Budiono

Campuran Mengurangi subsidi BBM

Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi

masyarakat miskin

Pembangunan infrastruktur massal

Buy back saham BUMN

Anggaran pendidikan 20% dari APBN

Memudahkan investor asing untuk

berinvestasi di Indonesia bahkan ke daerah

2014-Sekarang

Joko Widodo

Campuran Menerbitkan 12 paket kebijakan ekonomi

yang bertujuan mempermudah investasi

Pemangkasan birokrasi dalam pemberian

ijin dan pendirian badan usaha

Pembangunan infrastruktur konektivitas

Pendirian BPJS

Sumber: dihimpun dari berbagai sumber

Penerapan ekonomi kerakyatan terkait erat dengan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan

menengah (UMKM). Sebagaimana disebutkan dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999,

salah satu kekuatan ekonomi kerakyatan adalah pengusaha kecil dan menengah,

disamping koperasi. Tulisan ini berfokus pada implementasi sistem ekonomi kerakyatan

untuk pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah semata. Alasan untuk itu adalah

pada saat ini lebih banyak sektor usaha mikro, kecil, dan menengah yang ambil peran

dalam dunia usaha nasional. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil

dan Menengah, pada tahun 2012, ada sebanyak 56.534.592 usaha mikro, kecil dan

menengah yang menempati 99,99% dari unit usaha yang ada di pasar. Angka ini

walaupun meningkat jumlahnya pada tahun 2013 menjadi 57.895.721, namun

302 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

persentasinya tetap 99,99%. Namun demikian, terlihat bahwa sebagian besar pelaku

usaha adalah pengusaha mikro, kecil dan menengah.

Pengertian dan pembatasan usaha mikro, kecil dan menengah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah memberi

batasan tentang usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai berikut:

1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha

perorangan yang memenuhi kriteria:

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah).

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdirisendiri, yang dilakukan oleh

orang perorangan atau badanusaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

bukancabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung

maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi

kriteria:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus

juta rupiah).

3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan

oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun

tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan kriteria sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima

ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh

milyar rupiah).

Berdasarkan kriteria di atas, jelas bahwa yang dijadikan ukuran sebagai kriteria usaha

mikro, kecil dan menegah adalah besar modal dan keuntungan perusahaan. Dikaitkan

dengan konsep ekonomi kerakyatan di atas, maka pemberdayaan UMKM sangat

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 303

dimungkinkan menggunakan konsep dimaksud. Seperti yang diutarakan oleh

Tjakrawerdaja (2012: 8-11), salah satu kriteria ekonomi kerakyatan adalah keikutsertaan

rakyat banyak dalam kepemilikan, proses produksi dan menikmati hasilnya. Namun

demikian, dari 8 (delapan) kriteria yang diusulkannya, penerapan sistem koperasi sebagai

pemeran utama menjadi tantangan terbesar. Dalam pemikiran Tjakrawerdana, maka

idealnya UMKM diberdayakan melalui sistem koperasi.

Data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah koperasi yang ada per 31 Desember 2014

di Indonesia sebanyak 209.488 unit terdiri dari Koperasi aktif 147.249 unit (70,28%) dan

Koperasi tidak aktif atau koperasi yang benar-benar tidak aktif dari segi usaha maupun

organisasi sebanyak 62.239 unit (29,72%). Dari jumlah koperasi yang 144.839 unit yang

melaksanakan Rapat Anggota Tahunan dan atau melapor sebanyak 80.008 (54,33%) atau

38,19% dari jumlah koperasi keseluruhan. Tidak-aktifnya koperasi dimaksud menurut

Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM Setyo Heriyanto

disebabkan dua hal: pertama, karena salah pengelolaan karena banyak diantaranya

didirikan bukan berdasarkan analisis kebutuhan yang memadai melainkan berdasarkan

coba-coba sehingga ketika sudah berjalan, baru disadari bahwa koperasi yang didirikan

tidak sesuai dengan bidang usaha yang dimaksud. Kedua, peran anggota koperasi kurang

aktif; kebanyakan hanya semangat pada saat proses mendirikannya saja, sehingga pada

akhirnya koperasi berjalan sekenanya saja tanpa ada perencaaan dan arah pengelolaan

yang baik12.

Tabel 3

Sebaran koperasi menurut skala usaha

Skala

Usaha

1997 1998 1999 2000 2001 2003 2004 2005 2006

UK 39.704 36.761 37.804 39.705 39.883 43.372 44.684 47.006 48.822

UM 60 51 51 78 81 87 93 96 106

UB 2 1 1 5 5 6 6 6 7

Total 39.766 36.813 37.856 39.788 39.969 43.465 44.783 47.108 49.035

Sumber: BPS

Dari data di atas terlihat bahwa sebagian besar koperasi diterapkan untuk usaha kecil;

sehingga upaya untuk mendorong UMKM dengan menggunakan koperasi sebetulnya

12Lihat April 2015, Seluruh Koperasi di Indonesia Diharapkan Aktif, http://www.inspeksianews.com/berita/april-2015-

seluruh-koperasi-di-indonesia-diharapkan-aktif, diunduh 7 Agustus 2016, 21:34.

304 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

sudah dimulai. Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan kemampuan kinerja

koperasi dalam melayani UMKM dimaksud. Jika dilihat perbandingan UMKM dengan

koperasi yang tersedia dari sejumlah 56.534.592 UMKM, hanya ada 147.249 koperasi;

sehingga kurang lebih secara rata-rata 1 koperasi melayani 384 UMKM sehingga

efektifitas pelayanan bisa menjadi masalah tersendiri. Secara umum masalah kinerja

koperasi di Indonesia diakui oleh banyak pihak sehingga koperasi dianggap belum bisa

bersaing di tingkat nasional dengan sistem ekonomi pasar yang diterapkan sekarang ini.

Padahal, secara normatif, Kementerian Koperasi dan UMKM telah mencoba menyusun

penilaian kinerja koperasi secara kuantitatif sebagaimana diatur dalam Kepmen No.

129/Kep/M.KUKM/XI/2002, yang rinciannya sebagai berikut:

Tabel 4

Kriteria Kinerja Koperasi Menurut Kepmen No. 129/Kep/M.KUKM/XI/2002

No Prinsip dan Faktor Bobot

1 Keanggotaan sukarela dan terbuka

a. Rasio peningkatan jumlah anggota (4)

b. Rasio pencatatan keanggotaan dalam buku daftar anggota (4)

8

2 Pengendalian oleh anggota secara demokratis

a. Penyelenggaraan RAT (4)

b. Rasio kehadiran anggota dalam RAT (4)

c. Rencana kegiatan (RK) dalam rencana anggaran pendapatan dan

belanja koperasi (2)

d. Realisasi anggaran pendapatan koperasi (2)

e. Realisasi anggaran belanja koperasi (2)

f. Realisasi surplus hasil usaha koperasi (2)

g. Pemeriksaan (4)

20

3 Partisipasi ekonomi anggota

a. Pelunasan simpanan pokok anggota (3)

b. Pelunasan simpanan wajib anggota (3)

c. Keterkaitan usaha koperasi dengan usaha anggota (3)

d. Transaksi usaha koperasi dengan usaha anggota (3)

e. Pengembalian piutang (3)

15

4 Otonomi dan kemandirian

a. Rentabilitas modal sendiri (3)

b. Return on asset (ROA) (3)

21

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 305

c. Asset turn over (3)

d. Profitabilitas (3)

e. Likuiditas (3)

f. Solvabilitas (3)

g. Modal sendiri/equity (MS) terhadap hutang (3)

5 Pendidikan dan pelatihan

a. Pendidikan dan pelatihan bagi anggota koperasi (3)

b. Pendidikan dan pelatihan bagi pengelola koperasi (3)

c. Penerangan dan penyuluhan (3)

d. Media informasi (3)

e. Tersedia anggaran khusus dan penyisihan dana pendidikan (3)

15

6 Kerjasama di antara koperasi-koperasi

a. Kerjasama usaha secara horizontal (3)

b. Kerjasama usaha secara vertikal (3)

c. Manfaat kerjasama (4)

10

7 Kepedulian terhadap komunitas

a. Penyerapan tenaga kerja (4)

b. Pembayaran pajak cukai/retribusi (4)

c. Dana pembangunan daerah kerja (3)

11

Total bobot 100

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dari 7 faktor kemandirian koperasi di atas,

kelemahan utama terletak pada faktor keempat (otonomi dan kemandirian), dan faktor

kelima (pendidikan dan latihan). Lemahnya faktor otonomi dan kemandirian dapat dilihat

dari masih sangat jarangnya koperasi yang diaudit secara independen dan melakukan

perencanaan secara terstruktur. Sedangkan analisis rasio keuangan/tingkat kesehatan

hanya bersifat apa adanya dari sistem yang digunakan. Padahal faktor ini merupakan

faktor utama dalam menjalankan bisnis/usaha. Untuk faktor pendidikan dan pelatihan

dianggap belum memadai karena orientasi pendidikan pada koperasi lebih dititikberatkan

kepada karyawan, masih sangat jarang koperasi yang melakukan pendidikan kepada

anggotanya. Sedangkan prinsip utama koperasi adalah keaktifan anggotanya13.

13Lihat Ichwan Marisan dan Purwo Adi Wibowo, Penelitian Survei Penerapan Prinsip-Prinsip Koperasi

Pada Koperasi Simpan Pinjam Di Kab. Jepara, The 3rd University Research Colloquium 2016, h. 279.

306 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Berdasarkan kriteria di atas, jelas bahwa yang dijadikan ukuran sebagai kriteria usaha

mikro, kecil dan menegah adalah besar modal dan keuntungan perusahaan. Dikaitkan

dengan konsep ekonomi kerakyatan di atas, maka pemberdayaan UMKM sangat

dimungkinkan menggunakan konsep dimaksud. Seperti yang diutarakan oleh

Tjakrawerdaja (2012: 8-11), salah satu kriteria ekonomi kerakyatan adalah keikutsertaan

rakyat banyak dalam kepemilikan, proses produksi dan menikmati hasilnya. Namun

demikian, dari 8 (delapan) kriteria yang diusulkannya, penerapan sistem koperasi sebagai

pemeran utama menjadi tantangan terbesar. Dalam pemikiran Tjakrawerdana, maka

idealnya UMKM diberdayakan melalui sistem koperasi.

VI. Penutup

Berdasarkan paparan di atas, sesungguhnya sistem ekonomi kerakyatan sebagai model

demokrasi Berketuhanan yang Maha Esa sangat relevan dengan sistem ekonomi demokrasi

ideal Indonesia; walaupun sampai saat ini belum pernah diterapkan secara praktis.

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pemberdayaan UMKM melalui koperasi, dan

lagi-lagi masih sangat relevan untuk kondisi Indonesia sekarang ini dan ini didukung oleh

perangkat legislasi yang memadai. Memang diakui bahwa praktik pelaksanaan koperasi

masih kurang memuaskan; namun kekurangpuasan itu lebih dipicu karena kurangnya

peningkatan kapasitas baik anggota maupun pengelola koperasi. Koperasi seringkali

diasumsikan dan dianggap sebagai bentuk badan usaha lain seperti PT atau CV yang

anggotanya tidak dituntut bertindak aktif. Sementara di koperasi kunci utama dari

keberhasilan koperasi terletak pada aktif tidaknya anggota. Hasil evaluasi yang dilakukan

oleh Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa kebanyakan koperasi yang

tidak aktif itu karena salah urus disebabkan anggotanya tidak aktif secara berkelanjutan;

aktifnya anggota hanya pada saat pendirian saja.

UMKM secara proporsi, menempati jumlah terbesar untuk skala usaha di Indonesia.

Berdasarkan 8 kriteria ekonomi kerakyatan yang dikemukakan Tjakrawerdaja, UMKM

sangat strategis jika diberdayakan dengan menggunakan pendekatan ekonomi kerakyatan;

namun demikian dengan persyaratan Negara berperan aktif untuk mengatasi hambatan-

hambatan pelaksanaan ekonomi kerakyatan dalam praktiknya. Dengan menggunakan

prinsip pembinaan dalam manajemen secara umum, maka Kementerian Koperasi dan

UMKM perlu melakukan upaya pembinaan secara berkesinambungan dalam bentuk antara

lain sosialisasi, penelitian, koordinasi, maupun bimbingan serta pendampingan untuk bisa

mendorong 56.534.592 UMKM lebih efektif dan pada akhirnya dapat berkontribusi kepada

pembangunan di Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 307

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly (2010), Konstitusi Ekonomi, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Baswir, Revrisond (1995), Tiada Ekonomi Kerakyatan Tanpa KedaulatanRakyat, dalam Baswir

(1997), Agenda Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta (2000),

Djajadiningrat, Surna Tjahja, Yeni Hendriani, Melia Famiola (2014), Green Economy/Ekonomi

Hijau, cetakan pertama, Rekayasa Sains Bandung, Bandung.

Hendar dan Kusnadi (2005), Ekonomi Koperasi, edisi kedua Lembag Penerbit FE-UI, Jakarta.

Idris, Amiruddin (2012), Penguatan Ekonomi Kerakyatan Berdasarkan Demokrasi Ekonomi

(Makalah di sampaikan dalam Diskusi Ilmiah MPR RI dan Universitas Almuslim.

Kelsen, Hans, Pure Theory of Law, Berkeley, Los Angeles, London: University of California

Press, 1978.

Limbong, Bernhard (2013), Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi, Margaretha

Pustaka, Jakarta.

Lubis, Efridani (2009), Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Berdasarkan

Penerapan Konsep Sovereign Right dan Hak Kekayaan Intelektual, Penerbit Alumni,

Bandung.

Maftuchan, Ah, Mickael B. Hoelman, Victoria Fanggidaer (ed) (2016), Transformasi

Kesejahteraan: Pemenuhan Hak Ekonomi dan Kesehatan Semesta, cetakan pertama,

Penerbit LP3ES, Jakarta.

Mengenang Prof Mubyarto – Sewindu Kepulangan Sang Guru,

http://www.kompasiana.com/laurenciussimanjuntak/mengenang-prof-mubyarto-

sewindu-kepulangan-sang-guru_552e1ba76ea834a23d8b4580.

Mubyarto, Beberapa Ciri dan Landasan Pikiran Sistem Ekonomi Pancasila, dalam Sistem

Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Sri Edi Swasoono (Ed), UI Press, Jakarta.

Prof Mubyarto dan Ekonomi Pancasila. http://poskotanews.com. Diakses tanggal 27 April 2014.

Rahardjo, Dawam. Ekonomi Pancasila Dalam Tinjauan Filsafat Ilmu.

http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id. Diakses tanggal 27 April 2014.

Ramli, Rizal (2014), Telaah Wacana Ekonomi Kerakyatan dalam Ekonomi Kerakyatan, Lembaga

Suluh Nusantara Bekerjasama dengan American Institute For Indonesian Studies

(AIFIS).

Raz, Joseph, The Concept of a Legal System, Oxford: Oxford University Press, 1970.

Salim, Emil (1979), dengan beberapa editorial. Lihat, Emil Salim, „Sistem Ekonomi Pancasila’,

Prisma, No. 5, Mei 1979.

Setiawan, Bonnie (1999), Peralihan Kapitalisme di Dunia Ketiga: Teori Radikal dari Klasik

sampai Kontemporer, Insist Press, Yogyakarta.

308 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Soesastro, Hadi dalam Ross Mc Leod & Ross Garnaut (1998), East Asia in Crisis: From being a

Miracle to Needing me?

Sularto (ed), (2001), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Menyambut 70 Tahun

Jakob Oetomo, PT Komas Media Nusantaral, Jakarta.

Sumawinata, Sarbini (2004), Politik Ekonomi Kerakyatan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Tarigan, Syawal Efendi, Ekonomi Kerakyatan Antara Konsep dan Realita,

http://www.kompasiana.com/syawal_efendi_tarigan/ekonomi-kerakyatan-antara-

konsep-dan-realita_552e22f36ea834f8088b456a.

Tjakrawerdaja, Subiakto (2012), Revitalisasi Sistem Ekonomi Pancasila, Makalah.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 309

KEPEMIMPINAN ETIK

Studi Kasus Kepemimpinan Presiden Soeharto Dalam Gerakan

30 September Partai Komunis Indonesia1

Oleh : Gunawan Wibisono SH., M.Si.2

ABSTRACT

The integrity of President Soeharto's ethical behavior as a Head of State shows the

sophisticated features, using simple, authoritarian language to realize the stability of his

obsession is economic development.Suharto's high-risk decision making and high-risk actions in

his decision-making tend to be represented as a leader who is more concerned with economic

development than other sectors of development. President Suharto was portrayed as an

authoritarian leader, who adopted a coercive leadership style, who always wanted his command

and instruction to be obeyed immediately. The relevance of communication and the use of

information media of President Suharto in his leadership interaction activities by showing the

content of President Soeharto's message serves to entertain, provide encouragement and

guidance and invite constructive criticism as generally democratic leaders are relatively small.

The integrity of President Soeharto's ethical behavior as a Head of State shows the sophisticated

features, using simple, authoritarian language to realize the stability of his obsession is economic

development. General TNI Soeharto, born in Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, June 8, year

1921, and died in Jakarta, January 27, year 2008 at the age of year 86) was the second President

of Indonesia (1967-1998), replacing Sukarno. Before becoming president, Suharto was the

military leader during the Japanese and Dutch occupation, with the last rank of Major General.

After the September 30th Movement, Suharto declared that the PKI was the responsible party

and led the operation to crush it. This operation killed more than 500,000 people. Soeharto then

took power from Sukarno, and officially became president in 1968. He was re-elected by the

MPR in 1973, 1978, 1983, 1988, 19993, and 1998. In 1998, his term ended after resigning on 21

May That year, following the May 1998 riots and the occupation of the DPR / MPR building by

thousands of students. He is the longest Indonesian in his post as president. Soeharto was

replaced by B.J. Habibie.

Keywords :Ethics Leadership, President Soeharto's Leadership

A. Pendahuluan

Jendral Besar TNI Purn. Soeharto, lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni

1921, dan meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden

Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno. Sebelum menjadi presiden,

Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat

terakhir Mayor Jenderal.Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI

adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya.Operasi ini

menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.

1 Call for paper untuk Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha

Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium Gedung

Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017. 2

310 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada

tahun 1968.Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei

tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR

oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai

presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.

Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda

Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi

penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan

APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas

mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.

Pada 1 Maret 1949, ia tampil memimpin serangan umum dan berhasil menduduki Kota

Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengku Buwono IX

kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera

melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk

membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.

Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi

Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni

1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di

Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV

Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.

Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad

(Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan

jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961

tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris

(Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal

(1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan

merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia

Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI

oleh Jenderal A.H. Nasution.Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima

Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.

Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat

sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.Mayor Jenderal Soeharto dilantik

sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia

(PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 311

Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan

Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965.

Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima

Kopkamtib.Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap

orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI. Deskripsi Sejarah Hidup suharto

Yang menjadi masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana integritas kepemimpinan

Presiden Suharto, bagaimana pengambilan keputusan bersiko tinggi;dan bagaaimana

penggunaan informasi yang relevan dengan menggunakan media komunikasi.

312 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

B. Pembahasan

1. Landasan Teori

a. Pengertian Kepemimpinan

Para pakar memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang arti kepemimpinan, Burns

berpendapat, “kepemimpinan adalah pemimpin menbujuk pengikut untuk mencapai tujuan

bersama.tujuan ini merefleksikan nilai-nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, aspirasi yang

diharapkan oleh pemimpin dan pengikut.”3 Sedangkan Harold W. Boles mendefinisikan

kepemimpinan adalah sebagai proses atau seperangkat tindakan yang dilakukan oleh seseorang

atau sekelompok orang dengan menggunkan pengaruh, wewenang atau kekuasaan seseorang

atau sekelompok orang untuk menggerakan sistem sosial untuk mencapai satu atau banyak

tujuan. Adapun tujuan sistem sosial menurut Bowles adalah memenuhi kebutuhan,

produktivitas, inovasi, dan kebutuhan sistem sosial.4Sistem sosial dimaksud adalah sekelompok

orang yang membentuk subsistem-subsistem sosial yang berkerja secara sinergis untuk

mencapai tujuan sistem sosial.5

Berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud dengan kepemimipinan adalah sebagai

proses pemimpin menciptakan visi, mempengaruhi sikap, perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma,

dan sebagainya dari pengikut untuk merealisir visi. Dalam kaita ini bahwa kepemimpinan

merupakan suatu proses bukan sesuatu yang terjadi seketika. Sehingga kepemimpinan

merupakan hasil proses yang didasarkan pada masukan untuk mencapai keluaran.

b. Kepemimpinan Etik

KepemimpinanetikdidefinisikanolehBrownsebagai“the demonstration of normatively

appropriate conduct through personal actions and interpersonal relationships and the

promotion of such conduct to followers throughtwo-

waycommunication,reinforcementanddecisionmaking”.6Oleh

yangdemikian,definisitersebutmengandungitiga(3)elemenyaitu: (1) menonjolkanperlakuan

yang betul secara normatifnya melalui tindak tanduk individu, (2) menonjolkan perlakuan

yang betul secara normatifnya melalui tindak-tanduk interpersonal; dan (3) promosi

perlakuan yang betul kepada ahli-ahli menerusi medium komunikasi duahal, penegasan

(reinforcement) dan pembuatan keputusan.

3Wirawan, 2003.Kapita Selekta Teori Kepemimpinan: Pengantar Untuk Praktek dan Penelitian, Jilid I. Jakarta : Yayasan

Bangun Indonesia & UHAMKA Press, h. 34-35 4Ibid., h. 17 5Ibid., h. 15 6Brown, M. E, Trevino, L. K. &Harrison, D. A. 2005. Ethical leadership: a social learning perspective for contruct

development and testing.Organizational behavior and human decision process, h. 117-134.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 313

Menurut Trevino, kepemimpinan etika terbina daripada dua (2) factor (pillars) utama.

Faktor tersebut terdiri dari pada kedudukan pemimpin berkenaan sebagai manusia

bermoral dan kedudukan sebagai pengurus moral (moralmanager).7 Kedua hal tersebut

menunjukkan ringkasan factor kepemimpinan etika yang dijelaskan oleh Trevino8

Menurut Trevino, asas kepada kepemimpinan etika memerlukan pemimpin berkenaan

untuk menjadi seorang manusia yang beretika. Dalam konteks membina reputasi sebagai

manusia beretika pada pandangan orang ramai (publik), seseorang pemimpin perlu

menonjolkan dirinya secara nyata sebagai seorang individu yang beretika. Sehubungan

itu beliau perlu menonjolkan elemen etika pada sifatnya, kelakuannya dan pembuatan

keputusan yang diambilnya.Sendi yang kedua pula terdiri daripada melaksanakan tugas

pengurusan dengan berlandaskan etika serta menjadikan etika sebagaia genda utama

kepemimpinan. Dalam kontek sebagai pengurus etika, seorang pemimpin perlu

menjalankan peranan sebagai model kepada amalan-amalan beretika dalam organisasi,

memberi ganjaran dan hukuman bagi menguat kuasakan perlakuan dikehendaki atau

membendung perlakuan tidak dikehendaki dan mengkomunikasikan etik adan nilai-nilai

kepada seluruh ahli organisasi melalui program tertentu. Selain itu menurut Zhu, bahwa

kepemimpinan etika dapat memberi kesan kepada tindak tanduk pekerja, maka elemen

authenticity diperlukan. Authenticity bermaksud setiap pemimpin perlu memastikan

keselarian di antara pegangan (niat) etika beliau dengan tindakan sebenar yang

dilakukannya.9

Berdasarkan deskripsi tersebut dapat dinyatakan bahwa kepemimpinan etika dapat

diukur dari (1) menampilkan sebagai seorang yang memeiliki sifat-sifat etika, (2)

mengimplementasikan perilaku etis dalam kegiatan interaksi kepemimpinannya;dan (3)

promosi perlakuan etis dengan mengacu pada aturan danmenerusi medium komunikasi

dua hal, penegasan (reinforcement) dan pembuatan keputusan.

2. Kepemimpinan Etik (Studi Kasus Kepemimpinan Presiden Suharto Dalam kasus

Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI)

a. Integrity of Leader Behavior Presiden Suharto

Presiden Soeharto sebagai seorang Kepala Negara adalah seorang pemimpin yang sederhana,

tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain. Ketika berbicara dengan orang lain atau

7Spangenberg,H.&Theron,C.C.2000.Promotingethicalfollowerbehaviorthrough leadership of ethics: the development of

the ethical leadership inventory(ELI).South African Journal of Business Management, p. 36 8Trevino, Op. Cit. h. 24. 9Ibid.

314 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam

berbagai organisasi, ia tidak suka menunjukkan keberhasilan atau jasa-jasa yang dimilikinya.

Cara yang digunakan Presiden Soeharto biasanya adalah mengemukakan pengalaman atau jasa-

jasa yang pernah diberikannya kepada bangsa dan negara pada masa lalu. Dalam menyampaikan

pesan-pesan kepada bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya, Presiden Soeharto berusaha

menunjukkan jasanya yang besar dalam membela bangsa dan negara Indonesia, berani melawan

musuh-musuh negara baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pada masa

pemberontakan G 30S/ PKI, dan keberhasilannya dalam penyelenggaraan pembangunan

nasional..

b. Risk Taking in Leader Decision and Action

Dilihat dari orientasinya pada pemeliharaan hubungan, Presiden Soeharto cenderung

ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, atau dalam istilah Likert disebut

“exploitative-authoritative”, kurang demokratis. Hasil analisis menunjukkan, dari periode ke

periode berita yang beredar menunjukkan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi menghibur,

memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif sebagaimana

umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.

Kecuali pada periode awal kekuasaannya, Presiden Soeharto dalam berita suratkabar juga

cenderung ditampilkan sebagai pemimpin yang mengutamakan hubungan dengan lembaga

pemerintah yang dipimpinnya dibanding dengan lembaga-lembaga politik lainnya. Beliau lebih

sering menyampaikan pesan-pesan politik kepada para pejabat pemerintah, seperti menteri,

gubernur, bupati, walikota, dan pegawai negeri, dibanding kepada ketua dan anggota DPR /

MPR, ketua MA, Hakim Agung, pimpinan dan anggota ABRI, ketua dan anggota Parpol, serta

pimpinan dan wartawan media massa. Proporsi berita yang menunjukkan Presiden Soeharto

menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat (termasuk para tokoh dan kalangan perguruan

tinggi), dan kepada mereka yang duduk di lembaga eksekutif lebih besar dibanding proporsi

berita yang menunjukkan ia menyampaikan pesan-pesan kepada pihak lainnya.

Presiden Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih reaktif

dibanding proaktif.Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon terhadap pernyataan

orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya sendiri. Pesan-pesan verbal

sebagaimana tercakup dalam ucapan atau pernyataan yang disampaikan Presiden Soeharto

kepada berbagai pihak lebih banyak berisi tanggapan dirinya terhadap pertanyaan, opini, sikap,

dan perilaku para pejabat dan masyarakat yang dipimpinnyaSelain itu juga Presiden Soeharto

digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki fleksibelitas dalam melaksanakan tugas dan

fungsi kepemimpinannya. Isi pesan-pesan politiknya dari periode ke periode mengalami pasang-

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 315

surut. Pada periode awal kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan pertama 1968-1973,

dominasi gagasan-gagasan sendiri lebih menonjol dalam pesan-pesan politik Presiden Soeharto.

Namun, pada periode pengamalan dan pematangan kepemimpinan, yakni selama masa jabatan

kedua sampai kelima 1973-1993, dominasi gagasan-gagasan sendiri semakin menurun, dan

kecenderungan ini diimbangi dengan meningkatnya tanggapan atau respon yang ia berikan

terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain. Sedangkan pada periode puncak

dan akhir kepemimpinannya, yakni selama masa jabatan keenam dan ketujuh 1993-1998, isi

pesan-pesan politik Presiden Soeharto semakin didominasi oleh tanggapan atau respon yang ia

berikan terhadap gagasan, ucapan, dan tindakan-tindakan orang lain.

c. Communication of relevant information operation

Potret Presiden Soeharto cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering

memberikan perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Dalam setiap

periode kekuasaannya, ia digambarkan jarang memberi perhatian khusus pada lingkup

pembangunan lokal saja atau regional saja. Dilihat dari isi pesan-pesan politiknya,

pembangunan yang paling sering dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah pembangunan

dalam lingkup nasional.Pembangunan lokal Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya dan

pembangunan regional Daerah Tingkat I Propinsi relatif jarang dibicarakan oleh pemimpin Orde

Baru itu.

Surat kabar juga menggambarkan Presiden Soeharto sebagai pemimpin yang memberikan

perhatian pada pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan tanpa membedakan diantara

keduanya.Presiden Soeharto jarang membicarakan pembangunan yang orientasinya hanya

daerah perkotaan atau hanya daerah perdesaan. Dalam media massa ia lebih sering ditampilkan

sebagai pemimpin yang membicarakan tentang pembangunan secara keseluruhan, baik daerah

perkotaan maupun daerah perdesaan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemimpin yang

memberi perhatian umum terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah. Ia jarang digambarkan

sebagai pemimpin yang memberi perhatian khusus pada pembangunan wilayah Barat saja atau

wilayah Timur saja.

Hasil analisis juga menunjukkan, Presiden Soeharto cenderung direpresentasikan sebagai

seorang pemimpin yang lebih mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan

sektor-sektor lainnya.Baik pada periode awal, periode pengamalan dan pematangan, maupun

pada periode puncak dan akhir kepemimpinannya, topik pembangunan yang paling sering

dibicarakan oleh Presiden Soeharto adalah ekonomi. Dari sektor-sektor pembangunan yang

pernah dibicarakannya, dua sektor yang paling sering dibicarakan Presiden Soeharto adalah

sektor Hankam, dan sektor Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi, dan Media

316 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Massa. Topik yang paling jarang dibicarakan pemimpin tersebut adalah topik pembangunan

ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan

gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan instruksinya dipatuhi

orang lain dengan segera. Dalam berita surat kabar Presiden Soeharto cenderung ditampilkan

lebih mementingkan keselamatan dan kelangsungan pembangunan nasional. Demikian

pentingnya hal itu sehingga bagian besar perintah dan instruksi yang disampaikan Presiden

Soeharto kepada orang lain berisi permintaan agar keselamatan dan kelangsungan pembangunan

nasional selalu diprioritaskan.

Ketika ia meminta orang lain agar mau mematuhi pesan-pesannya, Presiden Soeharto biasanya

memilih kata-kata atau kalimat tertentu. Ia lebih sering menggunakan kata-kata atau kalimat

netral dibanding membujuk (persuasive) atau memerintah (instructive ataucoercive). Kesan

yang dapat ditimbulkan dari cara menyampaikan perintah atau instruksi yang demikian adalah

bahwa pada akhirnya perintah atau instruksi Presiden Soeharto diserahkan kepada masing-

masing orang untuk menentukan sikap; apakah mematuhi atau tidak mematuhi pesan-pesan

itu.10

10S.P.Robbins, 2005. Organizational Behavior. Ed.ke-8. Upper Saddel River, NewJersey: Pearson Education

International. h. 76

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 317

C. Kesimpulan

Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Integritas perilaku etis presiden Soeharto sebagai seorang Kepala Negara menunjukkan

sifat-sifat yang supel, menggunakan bahasa yang sederhana, otoriter untuk mewujudkan

stabilitas obsesinya adalah pembangunan ekonomi..

2. Pengambilan keputusan dan tindakan bereiko tinggi presisden Suharto dalam pengambilan

keputusannya cenderung direpresentasikan sebagai seorang pemimpin yang lebih

mementingkan pembangunan ekonomi dibanding pembangunan sektor-sektor lainnya.

Presiden Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang

menerapkan gaya kepemimpinan coercive, yang selalu menginginkan agar perintah dan

instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera.

3. Relevensi komunikasi dan penggunaan media informasi presiden Suharto dalam kegiatan

interaksi kepemimpinannya dengan menunjukan isi pesan Presiden Soeharto berfungsi

menghibur, memberikan dorongan dan bimbingan serta mengundang kritik konstruktif

sebagaimana umumnya pemimpin yang demokratis jumlahnya relatif kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, M. E, Trevino, L. K. & Harrison, D. A. 2005. Ethical leadership: a social learning

perspective for contruct development and testing. Organizational behavior and human

decision process.

Robbins, S. P. 2005. Organizational Behavior.Ed. ke-8. Upper Saddel River, New Jersey:

Pearson Education International.

Sergiovani, Thomas, J., Leadership Basics for Principals an Their Staff, The Education Forum v

60 Spring 2006.

Spangenberg, H. & Theron, C. C. 2000.Promoting ethical follower behavior through leadership

of ethics: the development of the ethical leadership inventory (ELI).South African

Journal of Business Management.

Wirawan, 2003. Kapita Selekta Teori Kepemimpinan: Pengantar Untuk Praktek dan Penelitian,

Jilid I. Jakarta : Yayasan Bangun Indonesia & UHAMKA Press.

318 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 319

WACANA PEMIKIRAN ISLAM PADA MASA ORDE BARU1

Oleh : Saepudin dan Ika Kartika2

ABSTRACT

The discourse of Islamic thought in the New Order, to show a pattern of "hegemonic," which is a

form of relationship where the bureaucracy in order to realize a stable and strong government.

Modernization policy aims to get support and assistance from Western countries and the political

legitimacy of the people. But the implications for the society, especially Muslims as majorities.

For the Muslims, modernization is a relatively new issue. Because it is a reaction or response

which is different among different Islamic groups. There are refused because modernization is

rated as westernization and secularization. Renewal Movement of Islamic Thought in the 1970s

that spearheaded by number of Muslim intellectuals, with the main characters Nurcholish Madjid.

Movement addressed differently by the Islamic community itself. For those who agree, Renewal

Movement of Islamic Thought is a form responin telektual honest and creative the development

of new social and political under the new Order government, which has received the support of

the people. Intellectual response was necessary because some Islamic circles, especially the older

generation too obsessive modernist faction in partisan political activities that require

rehabilitation Masjumi or the realization of "Islamic party" as the desired new Masjumi

metamorphosis. Intellectual response is required because the Muslims, because the experience of

the history and objective conditions themselves are in stagnation thinking, reactive, and not able

to bring alternative ideas in response to changing social and political community as a result of

modernization. For those who do not agree Renewal Movement of Islamic Thought is one form

accommodationist attitude toward political thought and modernization of the New Order. They

consider Renewal Movement of Islamic Thought no more than the efforts of a group of young

people of Islam were swept up by the thoughts that have been "westernized" and "

secularization," thus reducing the teachings and Islam is standard doctrinal views. Renewal

Movement of Islamic Thought also accused of having "stuck" in the framework of the New

Order political strategies that are considered marginalized the Muslim political power. Discourse

thinking intellectual Muslims at the time of order with the birth of the movement of new thinking

Islam is the thinking on the analysis of objective, political impact movement new thinking Islam

is stimulating intellectual discourse (intellectual discourse) in order to seek the cohesion of a

"tension conceptual" between political modernization New Order Muslim aspirations.

A. Pendahuluan

Wacana pemikiran Islam pada masa Orde Baru merupakan realitas social dan cultural

yang menarik untuk mengkaji dan menganalisis tentang hubungan Islam dan politik dalam

persfektif sejarah politik Indonesia pada masa Orde Baru di bawah rezim Suharto. Orde Baru pun

tampil ke panggung politik dan kekuasaan, pada awalnya, mendapat dukungan dari kelompok-

kelompok organisasi Islam yang bangkit kembali setelah rezim Orde Lama runtuh. Kelompok

mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan

KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia)—yang nota bene para anggotanya

1 Call for paper untuk Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha

Esa, yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), di Auditorium Gedung

Bukopin dan Kampus UIA, Jakarta, tanggal 25-26 Juli 2017 2

320 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

mayoritas Islammenjadi ujung tombak perjuangan menentang rezim lama dengan dukungan

pihak militer. Mereka ini menentang pemerintahan Orde Lama di bawah Soekarno yang dianggap

melembagakan "birokrasi yang tak bertanggung jawab" dan kekuasaan otoriter yang dipengaruhi

oleh tradisi mistik Jawa serta budaya feodal. Pada awalnya, dalam beberapa hal, Orde Baru

memang nampak mengadakan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak

bertanggung jawab warisanrezim lama.3

Birokrasi Orde Baru yang berporospada eratnya hubungan militer dan teknokrat, dalam

rangka melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintahan yang stabil dan kuat,

melebarkan fungsinya dengan menjadi mesin politik (political machine) untuk menata kehidupan

sosial politik masyarakat.Disamping sebagai alat administrasi pemerintahan, birokrasi Orde Baru

berkembang menjadi suatu wadah kekuatan politik dan perpanjangan tangan pemerintah dalam

menjalankan roda kekuasaan maupun melakukan rekayasa politik demi tercapainya strategi atau

kebijakan politik yang sudah ditetapkan.Salah satu kebijakan politik penting rezim Orde Baru

ketika Mulai memegang tampuk kekuasaan adalah dipilihnya modernisasi sebagai titik tolak dan

kerangka landasan pembangunan bangsa.Pilihan terhadap modernisasi dianggap sebagai satu-

satunya alternatif dalam memajukan bangsa Indonesia setelah pemerintah rezim sebelumnya

(Orde Lama) dianggap gagal memenuhi tuntutan dan harapan rakyat.

Strategi pemerintah rezim lama yang terlalu kuat beronentasi pada ideologi dan politik, dinilai

oleh rezim baru dinilai telahmembawa ketidakstabilan politik dan kehancuran ekonomi yang

menyengsarakan rakyat.Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru merasa perlu melakukan

modernisasi politik (political modernization) sebagai kebijakan penting yang dianggap bisa

mendukung suksesnya pembangunan ekonomi.Dengan kebijakan tersebut, pemerintah Orde Baru

berharap bisa memperoleh legitimasi politik rakyat dalam upayanya mewujudkan kesejahteraan

sosial ekonomi yang terbengkalai warisan Orde Lama.4Pilihan pada modernisasi diharapkan

dapat menarik dukungan dari negara-negara Barat atau investor asing, agar dapat memberikan

bantuan bagi pelaksanaan pembangunan pada masa-masa awalOrde Baru. Cara ini ditempuh

karena pemerintah Orde Baru pada waktu itu tidak melihat alternatif lain untuk menarik

dukungan finansial bagi pembangunan, kecuali dari negara-negara Barat yang saat itu secara

ekonomis sudah maju. Dan ternyata, pilihan terhadap modernisasi jika dikaitkan dengan tujuan

ini tidak salah.Karena dengan program modernisasi, dukungan dan bantuan dari negara-negara

Barat untuk pembiayaan pembangunan Indonesia mengalir. Keberhasilan rezim baru untuk

meyakinkan negara-negara pemberi bantuan itudi tengah kehancuran perekonomian nasional

warisan Orde Lamabagaimanapun perlu dicatat sebagai "prestasi" awal pemerintah Orde

3M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikian Muslim Masa orde Baru,

(Jakarta: Paramadina, 1995), h. 17 4Ibid. h. 17

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 321

Baru.5Sekalipun demikian, para elite Orde Baru juga menyadari bahwa pilihan terhadap

modernisasi membawa konsekuensi tersendiri. Preferensi model pembangunan yang dipilih atas

dasar "pengalaman negara-negara Barat" itu, membawa konsekuensi bagi munculnya proses

transformasi kultural dan pembaruan sosial yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai yang

sudah ada dan berkembang. Tetapi pilihan ini ternyata mendapat dukungan kuat bukan saja dari

kalangan militer dan teknokrat yang mengendalikan birokrasi, melainkan juga dari kalangan

intelektual modernis sekular yang berada di luar birokrasi. Dukungan kelompok yang terakhir ini

bisa dipahami, mengingat kerinduan mereka akan munculnya suasana baru setelah sekian lama

kehidupan mereka terkekangdengan beberapa pengandaian. Pertama, adanya penerimaan atau

setidak-tidaknya perhatian terhadap kritik-kritik fundamental terhadap dampak dan ekses

modernisasi.Kedua, adanya keyakinan bahwa nilai-nilai dan ajaran agama bisa digali lebih jauh

dan diinterpretasikan kembali untuk bisa memberikan respon yang cerdas dan kreatif dalam

merespom modernisasi.Selain itu juga terdapat kepercayaan bahwa agama, di dalam dirinya,

mengandung kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan sikap mental manusia ke arah yang

lebih baik. Ketiga pola tersebut, dalam formatnya masing-masing muncul dalam tanggapan atau

respon umat Islam terhadap modernisasi dalam dekade 1960-an dan 1970-an.

Dari ketiga pola tersebut, pola ketiga menjadi sangat penting terutama dengan munculnya

gerakan Pembaruan Pemikiran Islam yang dicetuskan oleh sejumlah intelektual muda Islam

dengan tokoh utamanya Nurcholish Madjid. Gerakan ini, sebagaimana dikemukakan oleh

sejumlah pengamat, dapat dianggap sebagai respon intelektual yang lebih ilmiah dan sistematis

dalam,menanggapi persoalan modernisasi.6

Gerakan pemikiran baru mendapatkan reaksi-reaksi yang tajam daripara pengeritik dan

penentangnya. Secara ideologis, gerakan pemikiran baru oleh para penentangnya dianggap telah

keluar dan garis-garis doktrinal Islam dan mensubordinasikan Islam terhadap tujuan-tujuan

ideologis modernisasi yang sekuler dan terbaratkan (westernized). Sementara secara politis

dikhawatirkan akan semakin melemahkan usaha-usaha repolitisasi Islam, khususnya yang

dilakukan sejumlah tokoh dan pendukung partai Masyumi, guna masuk kembali ke gelanggang

tengah percaturan politik nasional.7

Usaha-usaha repolitisasi ini bukan saja telah menguras energi.sosial umat Islam, tetapi juga

membangkitkan kecurigaan-kecurigaan lama di kalangan elit militer dan penguasa Orde Baru

tentang bangkitnya Islam sebagai kekuatan politik alternatif. Sementara itu kelompok-kelompok

lain justru lebih responsif dan bersikap proaktif terhadap modernisasi dan pembangunan serta

terus mencoba mendapatkan akses dalam birokrasi.

5Ibid. h. 18 6Ibid. 7Ibid. h. 18

322 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

B. Pembahasan

1. Lahirnya Intelektual Islam Dari Kampus dan Atmosfir Baru Pemikiran Islam

Dimensi terpenting dari kebijakan birokrasi Orde Baru adalah komitmen mereka terhadap

modernisasi.Pada dasarnya komitmen pada modernisasi ini di samping merupakan pilihan yang

dianggap strategis, juga sengaja dirancang untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi politik

rakyat."8

Orientasi perkembangan kebijaksanaan politik pemerintah Orde Baru, sejak sepuluh tahun

pertama berkuasa, telah menempatkan posisi Islam kurang menguntungkan. Kesan bahwa Islam

itu tradisionalis, anti modernisasi, anti pembangunan, anti Pancasila. Telah menyebabkan umat

Islam terkena proses marjinalisasi dalam modernisasi dan pembengunan nasional. Kenyataan ini

telah membawa konsekuensi-konsekuensi psikologis dan bahkan dianggapnya sebagai beban,

mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim pada diri sebagian pemimpin Islam

Indonesia, terutama kalangan intelektualnya. Beban psikologis agar umat Islam diperhitungkan

eksistensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara inilah kemudian yang mendorong

mereka melakukan suatu gerak perubahan yang diharapkan dapat mengubah citra negatif Islam

dan umatnya.9

Dengan adanya pertukaran mahasiswa ke berbagai Negara Eropa dan Timur Tengah berdampak

terhadap lahirnya para intelektual Islam yang berpikir rasional, kiritis dan bersifat akademis dan

akomodatif. Hal ini ditandai dengan munculnya apa yang disebut sebagai gerakan "pemikiran

baru" Islam di kalangan intelektual muda Islam pada tahun 1970-an itumerupakan perkembangan

radikal dalam pemikiran politik-keagamaan umat Islam pada zaman Orde Baru. Gerakan

"pemikiran baru" itu sendiri tidak saja membicarakan posisi umatIslam, tetapi juga melibatkan

pembicaraan tentang Tuhan, manusia dan berbagai persoalan kemasyarakatan, terutama yang

berhubungan dengan persoalan politik umat Islam serta bagaimana melakukan terobosan-

terobosan baik kultural maupun keagamaan untuk mengembalikan daya gerak psikologis

psychological striking force) umat Islam.10

Gerakan "pemikiran baru" itu timbul dari gagasan-gagasan Nurcholish Madjid yang, oleh Kamal

Hassan, dilukiskan, sebagai seorang intelektual muda Muslim yang berpikiran realistis-

akomodasionis, sebagaimana tokoh Islam seniornya Mintaredja. Karenanya, gagasan "pemikiran

baru" Nurcholish lebih bersifat mengelaborasi pikiran-pikiran Islam dalam hubungannya dengan

masalah-masalah modemisasi sosial-politik umat Islam Indonesia kontemporer. Dengan kata

8Fachry Ali dan Bahtiar Ef fendy, Merambah JalanBaru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru

(Bandung: Mizan, 1986), h. 294. 9Ibid. h. 122 10Ibid. h. 123

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 323

lain, berbeda dengan gagasan-gagasan tokoh Islam senior lainnya, seperti M. Natsir, HM Rasyidi,

Deliar Noer, Zakiah Daradjat. Maftuchah Yusuf dan lain sebagainya, "pemikiran baru"

Nurcholish lebih bersifat empiric Kendatipun bersifat kontroversial, "pemikiran baru itu

mencerminkan rumusan empirik tentang bagaimana mengernbalikan daya gerak psikologis umat

yang telah hilang. Karenanya, "pemikiran baru" itu memang tidak mengesankan sikap apologetik.

Dalam hubungannya dengan gagasan modernisasi pemerintah Orde Baru, gagasan "pemikiran

baru" itu tidak hanya berhenti pada pernyataan bahwa Islam tldak bertentangan dengan

modemisasi atau bahwa modernisasi merupakan suatu kewajiban-keagamaan dalam Islam,

melainkan secara realistis memberikan langkah-langkah perubahan yang hendaknya dilakukan

umat Islam. Artinya gagasan yang ditawarkan dalam pemikiran baru tidak hanya pada retorika

belaka.11

Mensikapi politik modernisasi Orde Baru yang berorientasi pada stabilitas dengan melakukan

marginalisasi terhadap kekuatan politik Islam yang terlalu berorientasi ideologis, maka golongan

muda dari kelompok modernis Islam merasa perlu untukmengambil sikap.Mereka cenderung

memilih rehabilitasi material, dalam arti tidak merasa perlu menghidupkan partai lama yang

sudah dibubarkan.Tetapi memilih berpartisipasi dalam kegiatan politik Orde Baru lewat partai-

partai yang diakui.Sikap seperti ini terutama dipilih oleh para mantan pimpinan HMI (Himpunan

Mahasiswa Islam) tahun 1950-an dan mereka yang pernah menjadi aktivis Ang-katan 1966. Di

bawah patronase "kelompok teknokrat" di sekitar Widjojo Nitisastro dan Sumitro

Djojohadikusumo, kelompok alumni HMI ikut berpartisipasi dalam pemerintahan, meskipun

hanya menempati posisi lapisan kedua kelompok teknokrat yang waktu itu menguasai birokrasi.

Para senior HMI ini secara tegas mendukung modernisasi dengan cara tidak melalui diskusi

secara intelektual, melainkan dengan berpartisipasi langsung dalam kegiatan pembangunan dan

masuk dalam jajaran birokrasi negara.12

Dalam merspon politik modernisasi kelompok yang lebih muda mempunyai persepsi yang

berbeda.Mereka lebih berpikir jangka panjang, dalam arti lebih melihat pentingnya

mempersiapkan infra struktur bagi kegiatan politik umat Islam, meskipun tetap memberikan

dukungan terhadap para seniornya yang masuk dalam birokrasi.Karenanya kelompok yunior ini

lebih tertarik dalam kegiatan membangun masyarakat dan bergerak di bidang pemikiran daripada

terjun ke arena politik atau masuk ke birokrasi.Bagi mereka, modernisasi juga perlu ditanggapi

secara lebih kreatif dan bertanggung jawab.Mereka menyadari, modernisasi merupakan desakan

kultural dan intelektual di mana di belakangnya berdiri kekuatan ekonomi dan kapital

11Ibid. h.123 12M. Dawam Rahardjo, "Basis Sosial Pemikiran Islam di Indonesia Sejak Orde Baru," Prisma, No.3, Tahun XX, Maret

1991, h.18-19.

324 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Barat.Modernisasi juga merupakan seperangkat nilai, baik positif maupun negatif, yang melanda

Indonesia dan Dunia Ketiga lainnya. Di sisi lain,mereka melihat realitas bahwa pemerintah Orde

Baru di samping merupakan agen modernisasi juga memimpin masyarakat dan negara.

Persoalannya,nilai-nilai itu memerlukankontekstualisasi. Di sini kemudian mereka

mempertanyakan kembali persepsi kaum Muslim terhadap konsep-konsep teologis mereka dalam

menyongsong perubahan-perubahan masyarakat dan kecenderungan perkembangan di masa

depan, sehubungan dengan dinamika modernisasi.13

Itulah sebabnya pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, kalangan Islam cukup sibuk

membahas persoalan modernisasi. Antara tahun-tahun tersebut, cukup banyak tulisan-tulisan

tentang modernisasi yang dimuat dalam koran-koran atau majalah seperti Mahasiswa Indonesia,

Mimbar Demokrasi, GemaMahasiwa, Kami, Masa Kini, Panji Masyarakat, Api, Pembina, Suara

Muhammadiyah, dan lain-lain. Diskusi-diskusi atau ceramah tentang modernisasi juga banyak

diselenggarakan.Pada dasarnya, respon kalangan Islam dalam melihat modernisasi secara umum

terbagi dua.14Pertama, respon yang populer berupa tulisan-tulisan tentang modernisasi yang

sifatnya defensif.Umumnya tulisan-tulisan itu bersifat penolakan terhadap nilai-nilai kultural

Barat yang menyertai modernisasi.Sebenarnya, sikap ini lebih rnerupakan reaksi emosional

terhadap pandangan para cendekiawan sekular Indonesia yang mengidentikkan modernisasi

sebagai Westernisasi.Bahkan lebih jauh lagi, terdapat kecurigaan dan kalangan Muslim bahwa

modernisasi juga memuat ambisi-ambisi religio-politik kelompok non-Muslim (Kristen) yang

bertujuan mengeliminasi dan mereduksi Islam dari Indonesia.Sikap umum kedua dari kaum

Muslim adalah sikap yang melihat modernisasi sebagai gagasan yang mencakup segala bentuk

sistem filosofis yang bertujuan merasionalisasikan tindakan yang tidak rasional menjadi rasional,

demi terwujudnya kemajuan.Dalam perspektif ini, modernisasi bisa diterima oleh Islam.Namun

demikian, Islam tetap dilihat sebagai suatu sistem makna alternatif yang lebih baik, dan mampu

membebaskan seluruh umat manusia dari persoalan-persoalan eksistensial.

Sikap yang pertama, misalnya, tercermin dalam tulisan Prof. H.M. Rasyidi di majalah Suara

Muhammadiyah.Rasjidi menulis,... kata "modern" dipergunakanolehorang-

orangKristenpadaumum-nya sebagai cara untuk menarik orang supaya meninggalkan sifat-sifat

keislaman. Ketika kita memasuki bulan puasa, ada orang yang berkata bahwa puasa mencegah

kemajuan dan merugikan kerja.Mari kita menjadi modern dan melupakan puasa.15

Penolakan terhadap modernisasi juga dikemukakan oleh Hamka (Haji Abdul Malik Karim

Amrullah).Ulama modernis terkemuka, melihat modernisasi sebagai bagian dari strategi baru dari

13Ibid. 14M. Kamal Hassan, Respon Intelektual Muslim Terhadap Politik Modernisasi Orde Baru, (Bandung Mizan, 1989), h. 13-14.

15Ibid. h. 17-18.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 325

sisa-sisa penjajah.Modernisasi menurut Hamka merupakan salah satu senjata negara-negara maju

dalam perang kebudayaan. "Modernisasi tidak lain adalah pengelabuan mata bagi suatu rencana

besar untuk mengalihkan pengaruh-pengaruh Islam dan hati kita sehingga kita sudi menjadi

pengekor negara-negara yang dikatakan maju..."16

Dan reaksi kedua tokoh Muslim modernis itu, sulit dihindari adanya kesan bahwa pandangan

mereka bersifat apologetik dan defensif terhadap modernisasi.Reaksi kedua tokoh ini lebih

dimungkinkan karena adanya kekhawatiran, atau bahkan kecurigaan, modernisasi tak lebih dan

kamuflase sebuah rencana besar dalam rangka mendegradasikan nilai-nilai Islam yang telah lama

tertanam dalam diri umat Islam.

Berbeda dengan pandangan kelompok yang lebih muda, yang melihat modernisasi secara lebih

realistis.Misalnya pandangan Deliar Noer, mantan ketua umum PB-HMI yang juga pakar ilmu

politik. Bagi Deliar, modernisasi bukanlah persoalan teologis karena esensi modernisasi itu sesuai

dengan ajaran-ajaran Islam tentang kemasyarakatan. Bahkan ajaran-ajaran Islam sendiri selalu

dalam keadaan modern.Karenanya, kata Deliar, masyarakat modern bukan hanya tidak

bertentangan dengan Islam; tetapi bahkan harus direalisasikan oleh kaum Muslim.47

Persoalannya, bisakah umat Islam Indonesia meraih kualitas-kualitas modern itu?

Deliar menyatakan, untuk bisa meresponi modernisasi secara kreatif, kaum modernis Muslim

haruslah terlebih dahulu berusaha mengatasi masalah-masalah internal umat Islam seperti tradisi

mengikuti konsepsi-konsepsi abad pertengahan secara taklid buta, mengikuti kecenderungan

beberapapraktik-praktiksufi, menganut secara eksklusif beberapa pandangan legalistik serta

menyibukkan diri dalam pergumulan meraih kekuasaan politik. Dalam pandangan Deliar, jika

umat Islam belum bisa membebaskan diri dari persoalan-persoalan tradisionalisme dan

eksklusivisme dalam berpikir, akan menemui banyak hambatan dalam meresponi modernisasi.

Persoalan mendasar yang penting, menurut Deliar, adalah bagaimana umat dapat berbuat dan

berfungsi hingga sampai pada suatu sikap modern dalam menghadapi tantangan zaman, jika umat

Islam benar-benar yakin bahwa Islam selalu sesuai dengan perkembangan zaman.Dan uraiannya

ini, tampak bahwa Deliar mengajak umat Islam untuk bersikap obyektif dan positif terhadap

modernisasi, karena modernisasi tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan

Islam.Sebab, seperti telah dikemukakan sebelumnya, di dalam modernisasi terdapat unsur-unsur

yang sesuai dengan ajaran Islam.

Dari kalangan intelektual Islam lainnya, tanggapan muncul dari M. Amien Rais, yang waktu itu

masih menjadi mahasiswa perguruan tinggi serta aktivis IMM (Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah).Amien Rais setuju bahwa modernisasi merupakan suatu kebutuhan mutlak yang

16Ibid.,h. 20.

326 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

patut didukung pelaksanaannya. Namun ia menyesalkan, modernisasi yang telah menjadi

konsensus nasional itu, telah dipergunakan unsur-unsur tertentu untuk mencapai tujuan

politisnya. la berkesimpulan, melalui modernisasi haruslah dilakukan suatu program yang terpadu

dalam bidang perbaikan moral, psikologi, sosial, politik dan ekonomi. Akhirnya Amien

mengingatkan, bangsa Indonesia agar waspada terhadap eksploitasi politis dari modernisasi, yang

pada gilirannya akan dapat memperlemah peranan agama dalam masyarakat Indonesia.17

2. Munculnya Paham Sekulerisme

Munculnya pemikiran baru Islam yang diprakarsai oleh Nurcholis Madjid yang dilatarbelakngi

oleh adanya stagnasi dan kejumudan berpikir di kalangan umat Islam Indonesia, termasuk

kelembagaan politik yang dimilikinya. Agar supaya umat Islam dapat melepaskan diri dan

kondisi seperti itu, alternatif yang paling mungkin adalah dengan melakukan "pembaruan

pemikiran" yang rasional dan sesuai dengan kondisi empiris yang ada waktu itu. Untuk bisa

sampai pada tahapan ini, cara efektif adalah dengan terlebih dahulu menetapkan sikap dasar

terhadap pembaruan, sebagai pijakan untuk menempuh langkah-langkah operasional. Tetapi,

berbeda dengan generasi senior yang lebih mementingkan pandangan skriptural dan doktrinal

Islam dalam meresponi perkembangan modern, Nurcholish menekankan liberalisasi pandangan

terhadap ajaran-ajaran Islam. Yang dimaksudkan dengan liberalisasi di sini erat kaitannya dengan

membebaskan diri dari nilai-nilai yang tradisional, dan menggantinya dengan nilai-nilai yang

berorientasi ke masa depan. Proses liberalisasi itu mencakup setidak-tidaknya tiga hal:

sekularisasi, kebebasan berpikir, dan gagasan kemajuan.18

Nurcholish Madjid pada tahun 1968 terpilih sebagai ketua umum PB-HMI periode 1966-1969.

Sebagai seorang tokoh muda Muslim yang menonjol, bahkan pernah dicitrakan sebagai "Natsir

muda" dan memimpin organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, ikut melibatkan diri

dalam diskursus tentang modernisasi. Sebagai seorang sarjana Muslim yang dididik dalam tradisi

pesantren dan perguruan tinggi (IAIN), ia menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman dan

pengetahuan umum baik dari sumber-sumber klasik maupun kontemporer dari kepustakaan asing

(Arab maupun Barat). Nurcholish mengemukakan apa yang disebutnya dengan "tinjauan Islami"

terhadap masalah modernisasi.49 Dalam artikelnya yang bertopik "Modernisasi ialah Rasionalisasi

Bukan Westermsasi," Nurcholish mengartikan modernisasi sebagai identik atau hampir identik

dengan rasionalisasi. Di dalamnya terkandung proses perombakan berpikir dan tata kerja lama

yang tidak rasional, serta menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja yang rasional.

Manfaatnya adalah untuk memperoleh dayaguna dan efisiensi yang maksimal, untuk kebahagiaan

17Fachry Ali dan Bahtiar Ef fendy, Op. Cit. ,h. 16-17. 18.Ibid.,h. 207-211. '

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 327

umat manusia. Proses modernisasi ini diperoleh berdasarkan penggunaan penemuan mutakhir

manusia di bidang ilmu pengetahuan. Menurut Nurcholish, modernisasi adalah perintah Tuhan

yang imperatif dan mendasar. Ini karena modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah

atau sunnatullah yang haqq.Bagi seorang Muslim, modernisasi merupakan suatu keharusan

mutlak.Sebab modernisasi dalam pengertian ini berarti bekerja dan berpikir menurut hukum

alam.Menjadi modern artinya mengembangkan kemampuan berpikir secara ilmiah, bersikap

dinamis, dan progresif dalam mendekati kebenaran-kebenaran universal.Beberapa ayat dalam al-

Qur'an secara jelas bisa dijadikan rujukan dalam mengapresiasi modernisasi.

Tetapi Nurcholish secara tegas menolak modernisasi jika halitu diartikan sebagai westermsasi.la

menulis,

Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-

dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip-prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.Akan

tetapi kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan modernisasi ialah westernisasi,

sebab kita menolak westernisme. Dan westernisme yang kita maksudkan itu ialah suatu

keseluruhan paham yang membentuk suatu total way of life, di mana faktor yang paling menonjol

ialah sekularisme, dengan segala percabangannya, sebagaimana telah diterangkan di atas.19

Formulasi pernyataan Nurcholish menunjukkan bahwa modernisasi bukankah westermsasi

perlu dipahami. Westernisasi, seperti yang ditolak Nurcholish, tidak bisa tidak akan melibatkan

persoalan sekularisme. Yakni suatu paham sekularistis yang dibangun darisejarah peradaban

Barat. Jika modernisasi di identikkan dengan westernisasidengan demikian memasukkan unsur-

unsur sekularisme, maka bagi Islam jelas tak ada pilihan lain kecuali menolaknya. Sekularisme,

pada dasarnya adalah sebuah konsep yang bercirikan pemisahan antara gereja dan negara.Ini

berarti, Tuhan tidak mempunyai otoritas untuk campur tangan dalam masalah duniawi.Masalah

duniawi harus diurusi dengan cara-cara lain yang tidak datang dari Tuhan. Dengan kata lain,

seperti diungkapkan Nurcholish, "sekularisme adalah paham tidak ber-Tuhan dalam kehidupan

duniawi manusia."

Pandangan sekularistis seperti itu jelas bertentangan dengan nilai dasar dan kesemestaan

Islam.Sebab ajaran Islam tidak mengenal pemisahan antara persoalan dunia dan akhirat, juga

tidak memisahkan persoalan individu dan sosial.Nurcholish memang mengkhawatirkan bila

modernisasi yang dilaksanakan oleh Orde Baru membawa implikasi bagi tumbuhnya

sekularisme.la mengidealisasikan, modernisasi Indonesia sebaiknya didefinisikan sebagai,

19.Nurcholish Madjid, Islam,Kemodernan, dan Keindonesiaan. (Bandung Mizan, 1987), h. 171-203.

328 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

"rasionalisasi yang didukung oleh dimensi-dimensi moral yang timbul dari dasar keimanan yang

prinsipil terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama dari dasar negara Pancasila."20

Pandangan Nurcholish sebelum tahun 1970-an ini dinilai oleh Kamal Hassan mencerminkan

pemikiran "Muslim idealis,"21 ataudalam bahasa yang lebih sederhana: pandangan Nurcholish

"sebelum Nurcholish yang pembaru."22

Dari akumulasi pengalaman, pengamatan, dan pemikiran Nurcholish itu dituangkan dalam

pidatonya pada tanggal 3 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng

Raya, Jakarta. Dalam acara malam silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan

sarjana Muslim yang tergabung dalam HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam

Indonesia), dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) itu Nurcholish menyampaikan

pidato yang berjudul "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat."

Sebuah pidato yang bersejarah, tapi juga kontroversial dan menjadi pemicu bagi perdebatan dan

polemik yang panjang.

Dalam pidatonya itu, Nurcholish memulainya dengan memberikan konstatasi bahwa umat Islam

Indonesia mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran serta pengembangan aiaran-ajaran

Islam serta kehilangan psychological striking force (daya tonjok psikologis) dalam

perjuangannya.Kondisi seperti itu menghadapkan umat Islam dalam posisi dilematis.Di satu

pihak, dengan kondisi yang tidak menggembirakan, umat Islam diharuskan menempuh usaha-

usaha pembaruan pemikiran agar dapat membebaskan diri dari kejumudan dan stagnasi. Di lain

pihak, tetap mengusahakan dan mempertahankan integrasi (persatuan) dengan resiko tetap

mentolerir kebekuan pemikiran serta hilangnya kekuatan-kekuatan moral yang ampuh.

Dihadapkan pada dilema seperti itu, Nurcholish kemudian menjatuhkan pilihannya pada usaha

pembaruan pemikiran keislaman, walaupun la sadar sepenuhnya bahwa pilihannya pasti akan

mengundang reaksi dari pihak-pihak yang tidak menyetujuinya.23

Dalam makalahnya itu, Nurcholish antara lain berbicara tentang soal partai Islam, persatuan

umat, liberalisasi dan sekularisasi, kebebasan berpikir, gagasan kemajuan, dan perlunya pemi-

kiran baru yang "liberal." Dalam soal partai Islam, seperti telah disinggung di atas, Nurcholish

sampai pada kesimpulan bahwa partai-partai Islam sudah tidak menarik lagi.

Karena itu ia melontarkan "pemikiran baru" dalam sebuah jargon yang agak provokatif, "Islam,

Yes; Partai Islam, No. Dengan rumusan seperti itu, Nurcholish seperti menegaskan pendiriannya

bahwa komitmennya hanyalah pada Islam, danbukan kepada institusi keislaman. Dengan kata

lain, penolakan terhadap institusi kepartaian politik Islam haruslah dipahami sebagai penolakan

20. Ibid.,h. 174-175. 21. M. Kamal Hassan, op. cit., h. 21-30. 22. Fachry All dan Bahtiar Effendy, op. cit., h.142-143.

23Ibid.,h. 204.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 329

bukan karena Islamnya, tetapi penolakan terhadap pemanfaatan atas Islam oleh mereka yang

terlibat dalam kehidupan partai politik Islam. Tingkah laku politik dan pemanfaatan Islam seperti

itu, pada gilirannya justru menjatuhkan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya.24

Penolakan Nurcholish terhadap partai Islam tampaknya bersumber pada fenomena umum yang

ada pada saat itu.Para pemimpin partai-partai Islam yang ada pada waktu itu, tidak lagi menjadi

penyalur aspirasi umat Islam secara keseluruhan, tetapi lebih banyak berjuang untuk kepentingan

golongan atau dirinya sendiri. Selain itu, mereka terkotak-kotak menurut aliran atau madzhab

yang berbeda satu sama lain, serta tidak mempunyai komitmen yang jelas terhadap perjuangan

umat. Lebih parah lagi, ada unsur-unsur atau oknum partai Islam yang terlibat dalam persoalan

korupsi. Ini semua akan memperburuk citra umat Islam.

Dalam kondisi seperti itu, sayangnya, umat Islam justru masih mementingkan jumlah daripada

mutu.Kebanggaan pada faktor jumlah yang mayoritas itu, mendorong mereka untuk

memprioritaskan usaha-usaha menggalang persatuan guna menghadapi kekuatan-kekuatan yang

mendesakkan pengaruhnya dalam peta politik dan pembangunan.Akibatnya umat Islam

sepertinya terbuai oleh jargon-jargon persatuan, tetapi tidak kreatif dan bahkan terjebak dalam

statisme yang melumpuhkan dinamikanya sendiri.Mitos kuantitas dan persatuan ini, justru

menimbulkan cacat yang merugikan secara politis maupun kultural. Untuk mengatasi cacat

tersebut, diperlukan terobosan baru dalam bidang pemikiran: mementingkan kualitas daripada

kuantitas, serta mensosialisasikan ide-ide baru yang dinamis dan lebih bisa menggerakkan

daripada menyibukkan diri dalam usaha "mempersatukan umat" yang belum jelas arah dan

tujuannya.

Gagasan sekularisasi yang dimaksud Nurcholish di sini bukanlah sekularisme seperti yang

dikenal di Barat.Tetapi sekularisasi sebagai salah satu bentuk "liberalisasi" atau pembebasan

terhadap pandangan-pandangan keliru yang sudah mapan. Dalam uraiannya Nurcholish secara

terbuka mengemukakan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud menerapkan sekularisme. Bahkan

konsisten dengan pandangan yang telah ditulisnya dua tahun sebelumnya, ia dengan tegas

menolak sekularisme. Nurcholish menjelaskan,

Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name

for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Dalam

hal ini, yang dimaksud lalah setiap bentuk liberating development.Proses pembebasan ini

diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi

24.Ibid., h.205

330 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transedental dan mana yang

temporal.25

Dengan uraiannya tentang sekularisasi itu, Nurcholish bermaksud membedakan, dan bukan

memisahkan, persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi. Pembedaan ini diperlukan karena ia

melihat banyak umat Islam yang tidak bisa melihat dan memahami persoalan secara proporsional.

Parameter yang digunakan untuk memberikan penilaian tentang nilai-nilai yang"Islami"

seringkali dikaitkan dengan tradisi yang sudah dianggap mapan.Sehingga Islam disejajarkan

dengan tradisi, dan menjadi Islamis disederajatkan dengan menjadi tradisionalis. Karena

membela Islam sama dengan membela tradisi, maka sering muncul kesan bahwa kekuatan Islam

adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Ini menyebabkan mereka kurang mampu

memberikan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia saat ini.

3. Tanggapan Para Intelektual Muslim Terhadap Sekulerisme

Gagasan-gagasan pembaruan yang dilontarkan oleh Nurcholish itu segera mendapatkan berbagai

tanggapan, baik dari kalangan intelektual muda Islam maupun para seniornya. Kalangan muda

yang memberikan tanggapan antara lain Endang Saifuddin Anshary, Ismail Hasan Metarium, dan

Abdul Qadir Djaelani. Sementara dari angkatan tua adalah Prof. M. Rasyidi, Mohammad Natsir,

dan juga Hamka.

Endang Saifuddin Anshary, sekalipun dalam beberapa hal bisa menerima argumen Nurcholish, di

sisi lain tetap melontarkan kritik yang tajam. Jika Nurcholish melihat persatuan umat Islam bukan

respon yang tepat untuk mengantisipasi perubahan sosial dan proses modernisasi, Endang justru

hendak menyatakan bahwa persatuan umat penting. Persoalannya, persatuan umat yang seperti

apa. Di sini ia membedakan antara "persatuan semu" dan "persatuan sejati" yang muncul di

kalangan umat Islam. Menurutnya, persatuan semu adalah persatuan yang dari luar tampak

bersatu, tetapi di dalamnya penuh dengan pertentangan dan friksi-friksi.Dalam persatuan semu,

dasarnya semata-mata adalah rasio dan nafsu untuk kepentingan pribadi.Jika persatuan jenis ini

yang muncul, maka cita-cita untuk mewujudkan 'izzu al-Islam wa al-muslimin (kejayaan Islam

dan kaum Muslim) tidak akan pernah tercapai.Sedangkan persatuan sejati, diidealisasikan oleh

Endang sebagai persatuan yang berpegang pada semangat ajaran Islam i'thisamu bi hablillah,

berpegang teguh pada tali Allah.Tapi persatuan jenis ini, umumnya pendukungnya sedikit.26

25Ibid, h.207. 26. Endang Saefuddin Anshary, Kritik atas Paham dan Gerakan "Pembaruan " Drs. Nurcholish Madjid (Bandung: Bulan

Sabit, 1973), h. 2.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 331

Menurut Endang, idealnya umat Islam mendambakan terwujudnya persatuan baik secara

kuantitatif maupun kualitatif. Namun jika dihadapkan pada keharusan memilih, maka yang harus

dipilih adalah persatuan kualitatif.Sebab hanya persatuan sejati atau kualitatiflah yang dapat

mewujudkan gagasan 'izzu al-Islam wa al-Muslimin.Dengan demikian, dalarn soal persatuan

sebenarnya Endang sependapat dengan Nurcholish dan secara implisit ia sebenarnya mengakui

bahwa umat Islam Indonesia selama ini hanya mementingkan kuantitas dan kurang sekali

menaruh perhatian pada pengembangan kualitas umat.80

Tentang gagasan "Islam, yes; partai Islam, no," meskipun pandangan Endang agak tersamar,

secara substantif tak banyak berbeda dengan Nurcholish.la, misalnya, mengatakan bahwa umat

Islam pada dasarnya selalu concern terhadap keberadaan dan kehidupan partai Islam. Umat Islam

akan selalu menyorot perkembangan partai Islam apa pun keadaannya. Kondisi partai Islam

dalam dasawarsa 1970-an yang tidak lagi menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi persatuan

dan perjuangan, telah menyebabkan merosotnya kepercayaan masyarakat dan kehilangan

dinamika. Ironisnya, banyak para pemimpin partai Islam yang selalu menyatakan Islam tetap

menjadi dasar bagi perjuangan partai. Dari sudut ini, pandangan Endang tampaknya tidak berbeda

dengan Nurcholish.81

Tetapi dalam soal sekularisasi, Endang tidak sependapat dengan Nurcholish. Bagi Endang, Islam

tidak mengenal sekularisasi. Sebab Islam bukanlah semata-mata sebuah agama, tetapi juga

merupakan pandangan hidup yang lengkap.Tanggung jawab seorang Muslim, meliputi persoalan

duniawi maupun akhirat, dan oleh karenanya setiap perbuatan atau pekerjaan yang dilakukannya

masuk dalam kerangka ibadah kepada Tuhan.Dengan demikian, tak satu pun aktivitas Muslim

lepas dari kerangka keagamaan dan kontrol dari Tuhan.Endang juga menolak pandangan

Nurcholish yang melihat sekularisasi sebagai implementasi kekhalifahan manusia di muka

bumi."Fungsi kekhalifahan tak ada hubungannya sama sekali dengan sekularisasi. Fungsi

khalifah adalah melaksanakan amanat Tuhan serta merealisasikan sifat-sifat Ilahi di muka bumi

dalam batas-batas kemanusiaan," tulis Endang.27

Tentang konsep "Negara Islam," Endang juga mengkritik Nurcholish.Menurutnya, memang benar

di dalam al-Qur'an tidak pernah disebut "Negara Islam" (daulah Islamiyah).Tetapi mengingkari

bahwa al-Qur'an memberikan kaidah-kaidah asasi tentang kenegaraan dan kemasyarakatan,

adalah merupakan distorsi yang besar. Dengan caranya itu, Nurcholish menurut Endang berusaha

"membuktikan" bahwa setiap usaha umat Islam menuju kekuasaan politik tertinggi dalam negara

sebagai tindakan menyaingi Tuhan, syirik, yang merupakan dosa besar tak berampun. Kalau

27. Ibid., h. 9.83.

332 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

begitu, lanjut Endang, "orang yang paling pertama kali terkena cap syirik ialah Nabi ... karena

beliaulah orang yang paling pertama membentuk dan memimpin Negara Islam."83

Tanggapan yang keras juga datang Abdul Qadir Djaelani.Aktivis GPI ini mencurigai Nurcholish

sedang berusaha mendorong umat Islam ke arah sekularisasi, dalam arti memusatkan perhatian

umat semata-mata pada persoalan duniawi dan menyingkirkan peranan wahyu atau agama dalam

berbagai aspek kehidupan manusia. "Padahal Islam sama sekali tidak mengenal pemisahan

persoalan-persoalan dunia dan akhirat," tulisnya.84

Dari generasi yang lebih tua, Prof. Rasyidi melancarkan "koreksi" yang tajam terhadap pikiran-

pikiran Nurcholish.Keberatan Rasyidi terutama adalah penggunaan istilah sekularisasi yang

dianggapnya bukan bersumber dari tradisi, bahasa dan nilai-nilai otoritatif Islam.la menyangkal

pandangan yang menyatakan "sekularasi bukan sebagai penerapan sekularisme" sebagaimana

dikemukakan Nurcholish."Saudara Nurcholish Madjid melukiskan seolah-olah Islam

memenntahkan sekularisasi dalam arti tauhid.Kalau soalnyaseperti yang dikemukakan oleh

Saudara Nurcholish Madjid, maka segala sesuatu telah menjadi arbitrer atau semau gue,"

tuturnya.28

Bagi Rasyidi, sekularisasi adalah inheren dengan sekularisme itu sendiri. la menunjukkan

pengertian sekaligus tentang sekularisme dan sekularisasi sebagaimana dikemukakan oleh Alan

Richardson dalam bukunya Religion in Contemporary Debate. Istilah sekularisme, menurut

Richardson, dikemukakan pada 1851 oleh G.S. Holyoake sebagai nama sistem etika dan

filsafatyang bertujuan memberi interpretasi atau pengaturan kepada kehidupan manusia tanpa

kepercayaan kepada Tuhan, Kitab Suci, dan hidup di Hari Kemudian. Sementara dalam bahasa

Inggris yang dipakai sehari-hari, kata Richardson, sekularisme lazim diartikan sebagai suatu sikap

kecenderungan yang ada di masyarakat luas untuk secara mudah menganggap sepi kepada Tuhan

dan semua persoalan serta kegiatan keagamaan oleh karena kesibukan dalam hal-hal duniawi

(sekular), mengimbangi gerak setiap orang lain, mencari kemajuan di dunia dengan tiada henti-

hentinya sehingga membuat seorang terlalu mabuk atau kehabisan tenaga, dan akhirnya tidak

sempat berpikir mengenai hal-hal keakhiratan.86

Rasyidi menyetujui pandangan Richardson yang melihat sekularisme dan sekularisasi sebagai

bagian dari sejarah Barat dan agama Kristen yang bermuara pada pemisahan negara dan agama

(gereja).Dunia Barat yang ada sekarang ini adalah hasil sekularisasi umat Kristen atau peradaban

Kristen, dan bukan sekularisasi agama Kristen, dalam arti sebagai hasil dari sikap pemerintah-

pemerintah non-gerejani untuk menerima ide-ide serta peradaban abad pertengahan.Kata-kata

Richardson ini, menurut Rasyidi, bisa dijadikan pegangan untuk memahami arti sekularisme dan

28. Abdul Qadir Djaelani, "Pokok-pokok Pikiran tentang Tulisan Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah

Integrasi Umat oleh Nurcholish Madjid" dalam Pembaruan Pemikiran Islam (Jakarta: Islamic Research Centre, 1970), h. 17.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 333

sekularisasi. Dengan nada memperingatkan, Rasyidi menulis: "Walaupun saya sendiri paham

bahasa Inggris sudah hampir semenjak 40 tahun yang lalu dan pernah mengajar dalam suatu

universitas dengan bahasa Inggris, namun saya tidak berani memaksakan suatu istilah yang sudah

menjadi umum dalam dunia ilmu pengetahuan."29

Menurutnya, sudah jelas sekularisasi adalah suatu bentuk pendewaan akal yang akan merusak

struktur pengabdian manusia kepada Tuhan, yang justru merupakan esensi kehidupan

keberagamaan dalam Islam. Jika struktur pengabdian itu rusak, maka kehidupan keberagamaan

seorang Muslim tak berarti lagi. Maka jika paham pembaruan Nurcholish diturutkan, katanya,

akan "membawa akibat- akibat yang sangat besar dan tidak kita harapkan."88

Sementara itu tentang soal negara Islam, Rasyidi menilai pandangan Nurcholish sebagai sangat

naif, yang bersumber darikekacauan pikiran, tidak percaya kepada al-Qur'an, dan sepertinya

hanya pernah membaca Injil.Pandangan Nurcholish yang melihat adanya distorsi hubungan

proporsional antara agama dan negara juga dilihat oleh Rasyidi sebagai sikap orang yang tidak

paham terhadap prinsip-prinsip kenegaraan dalam Islam dan pantulan sikap inferiority

complex.Akhirnya dengan keras Rasyidi mendakwa bahwa kesimpulan Nurcholish yang

menyatakan tidak mungkin memberikan predikat keagamaan pada negara merupakan bukti nyata

bahwa, "tujuan Nurcholish dengan gerakan pembaruannya adalah sekularisasi dan sekularisme

terhadap umat Islam Indonesia."89

Tetapi, pandangan Rasyidi sendiri tentang soal negara Islam sepertinya juga belum jelas benar,

dalam arti apakah la setuju atau tidak dalam soal itu.la hanya mengatakan bahwa negara Islam

bukan kekuasaan ruhani, dan juga bukan rahbaniyah yang mempunyai arti lain. Namun

demikian, Rasyidi merujuk pada pandangan Louis Gardet yang menjadi penasehat Sri Paus

Paulus VI tentang soal-soal keislaman.Louis Gardet melihat, konsep negara Islam merupakan

theocratic laique egalitaire.Yakni negara di mana kekuasaan dinyatakan berumber dari Tuhan;

dan negara yang kekuasaan tertingginya di tangan Tuhan itu bersifat laique, artinya penguasanya

adalah orang-orang biasa yang tidak merupakan lembaga kekuasaan ruhani.Negara Islam dalam

pengertian ini juga mengusahakan persamaan hak yang egaliter antara yang menganut Islam dan

yang beragama non-Islam.30

Mengakhiri koreksinya, Rasyidi sekali lagi memperingatkan bahwa pikiran-pikiran Nurcholish

Madjid dan kelompok pembaruannya tetap, "membahayakan umat Islam Indonesia, karena

pikiran-pikiran itu menuju kepada sekularisasi."31

29. H.M Rasyidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholisb Madjid Tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 15.

30Ibid.,h. 83-84 31Ibid.,h. 83-84

334 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Selain Rasyidi, dari angkatan tua yang ikut memberikan tanggapan terhadap gagasan pembaruan

pemikiran Islam Nurcholish dan kawan-kawannya adalah Mohammad Natsir dan Hamka. Natsir

dalam suatu kesempatan ceramah di depan anggota-anggota HMI mengmgatkan bahwa

sekularisasi hanya akan mengakibatkan kecintaan pada diri sendiri dan dunia secara berlebihan.

Orang yang mementingkan sikap hidup sekularistis, kata Natsir, akan berusaha mencari kepuasan

duniawi danmeninggalkan segala bentuk nilai luhur. Akibatnya, ia tidak segan-segan

mengorbankan kebenaran untuk memperoleh kepentingan duniawi yang dicita-citakan. Sikap

seperti ini, menurut Natsir, bertentangan dengan ajaran Islam.Menyinggung soal pembaruan,

Natsir mengingatkan hendaknya setiap usaha yang bermaksud menyegarkan paham keagamaan

(pembaruan), sejalan dengan kepentingan dan watak luhur umat.Juga, pembaruan itu jangan

sampai mengorbankan persatuan umat."Persatuan umat harus selalu dilindungi dan dijaga.Setiap

Muslim wajib bertanggung jawab terhadap persatuan umat," kata Natsir. Ungkapan Natsir ini,

meskipun tidak secara eksplisit menyebut nama, mudah diduga diarahkan kepada gagasan

pembaruannya Nurcholish. Sebagai tokoh senior, Natsir tampaknya meletakkan persatuan umat

sebagai faktor yang paling menentukan dalam perjuangan umat Islam Indonesia.32

Selain Natsir, tokoh senior lain yang memberikan respon terhadap pemikiran Nurcholish adalah

Hamka. Sama halnya dengan Natsir, Hamka juga tidak menyebut nama dalam memberikan

respon terhadap gagasan pembaruannya Nurcholish. Sebagai tokoh reformis yang menonjol di

kalangan organisasi "pembaru" Muhammadiyah, Hamka berpendapat bahwa suatu gerakan

pembaruan (tajdid) tidak perlu merombak atau memperbarui seluruh bangunan Islam agar dapat

memenuhi tuntutan dan kebutuhan manusia modern."Akan lebih baik jika gagasan pembaruan

didasarkan pada pemikiran yang telah diformulasikan oleh para ulama salaf, yang intinya

mengajak umat untuk kembali pada al-Qur'an dan Sunnah," tulisnya.33

Menghadapi berbagai kritik dan respon itu, Nurcholish dan para" pendukung gagasan

pembaruannya tidak berusaha menanggapinya secara terbuka.Hal ini tampaknya dimaksudkan

untuk menghindari munculnya konflik yang tidak terkendali, apalagi gagasan pembaruan itu

sendiri di masyarakat luas seringkali disalahpahami.Pendekatan intelektualistis yang

menggunakan metode schock therapy dalam memformulasikan gagasan pembaruan, tidak saja

menimbulkan polemik yang berkepanjangan di kalangan intelektual Muslim. Tetapi lebih dari itu

telah menyebabkan kesalahpahaman, kecurigaan, dan bahkankemarahan di kalangan umat Islam

yang mendengar dan memahami gagasan pembaruan itu secara tidak utuh. Akibatnya Nurcholish

Madjid dan para pendukung gagasan pembaruannya menjadi sasaran kecaman dalam khutbah-

khutbah atau ceramah di masjid-masjid, kelompok pengajian, atau dalam pembicaraan informal

32Mohammad Natsir, Menyelamatkan Umat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 11-13. 33.Hamka, Beberapa Tantangan Terhadap Umat Islam di Masa Kini, Qakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 7-23.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 335

di kalangan masyarakat bawah.Tidak sedikit di antara mereka ini yang mencap Nurcholish

sebagai telah murtad, melecehkan Islam, oportunistik, dan sejenisnya.

Dalam suasana seperti itu, Nurcholish dan teman-teman pendukung pembaruannya memilih terus

memperkokoh pendiriannya, sekalipun harus bertentangan dengan arus utama (main-stream)

pemikiran umat yang ada di waktu itu.Ini sudah menjadi tekad dan komitmen mereka bersama

untuk, meminjam ungkapan Djohan Effendi yang juga seorang pendukung pembaruan,

"memberanikan diri tegak menghadapi umat, karena apa yang dikehendaki umat bukanlah apa

yang benar-benar dibutuhkan.34S

Respon ideologis kalangan intelektual Muslim Indonesia terhadap persoalan modernisasi

yang diketengahkan pemerintah Orde Baru, bisa dipahami pola dasar kecenderungan pemikiran

mereka. Pertama, secara umum dapat disimpulkan bahwa para intelektual Muslim justru lebih

cenderung mempersoalkan terlebih dulu pengertian modernisasi dan implikasinya bagi kehidupan

keagamaannya. Dari sini sulit dihindari kesan bahwa respon mereka terhadap modernisasi lebih

didasarkan pada kepentingan legalisme atau justifikasi dengan referensi ajaran-ajaran Islam

secara normatif. Dengan kata lam, sepanjang modernisasi itu tidak bertentangan dengan ajaran-

ajaran Islam dan bukan pula westernisasi, maka hal itu tidak menjadi persoalan bagi umat Islam.

Kedua, respon ideologis terhadap modernisasi yang sifatnya reaktif tidak bisa dipisahkan dari

kekhawatiran mereka terhadap orientasi ideologis kaum intelektual sekular dan kelompok non-

Islam yang mempunyai pengaruh kuat terhadap pemegang kebijakan modernisasi pemerintah

Orde Baru. Di sisi lain, posisi umat Islam sebagai kekuatan mayontas justru sedang mengalami

proses marjinalisasi dalam politik, baik karena sebab-sebab intern maupun ekstern.

Kecenderungan pemikiran umat Islam seperti itu, pada gilirannya kurang menguntungkan.

Selain mengesankan sikap yang terlampau berhati-hati, juga mencerminkan kondisi nyata belum

siapnya umat Islam dengan rumusan-rumusan operasional untuk memajukan umat. Di sisi lain,

juga berati umat Islam belum mempunyai identifikasi persoalan terhadap masalah-masalah yang

dihadapi pada awal kepemimpinan Orde Baru. Sikap mereka yang reaktif dan defensif terhadap

persoalan modernisasi yang dianggap sudah menjadi konsensus nasional, justru menyebabkan

mereka acapkali terkena tuduhan tidak siap untuk terlibat dalam proses modernisasi. Mereka

dianggap kurang mempunyai tradisi intelektual sebagaimana dimiliki kalangan Kristen dan

nasionalis sekular (kalangan priyayi) yang mayontas merupakan produk pendidikan Barat. Posisi

marjinal umat Islam dalam proses pembangunan nasional (modernisasi) seringkali menyebabkan

umat Islam dianggap sebagai "anti pembangunan," "anti modernisasi," dan sebagamya.35

34Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, op. cit., h, 142-143.

35.Fachry All dan Bahtiar Effendy, op. cit., h.142-143.

336 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

Di sisi lain, berbeda dengan golongan Islam, kalangan Sosialis dan Kristen justru cukup

akomodatif terhadap berbagai program dan kebijakan modernisasi yang dijalankan oleh

pemenntah Orde Baru. Akibatnya mereka lebih bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan

politik dan mampu memanfaatkan peluang yang tersedia bagi kepentingan kelompoknya. Hal ini

tercermin dari sikap mereka yang bisa menerima dan bahkan mendukung program restrukturisasi

politik, sebagai bagian dari proses modernisasi yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru. Itu

tercermin misalnya dalam sikap mereka yang mengecam kondisi dan sistem kepartaian yang

digambarkan sebagai, "ancaman terhadap modernisasi."54

Sementara itu sikap golongan Islam justru sebaliknya. Bagi mereka keberadaan partai-paitai

politik, termasuk partai Islam, justru sangat penting. Bagi golongan Islam, rehabilitasi Masyumi

atau legalisasi terhadap partai Islam oleh pemerintah justru merupakan prasyarat bagi pemberian

dukungan terhadap Orde Baru. Sikap seperti ini justru mengundang kekhawatiran dan kalangan

militer dan elite Orde Baru tentang akan bangkitnya Islam sebagai kekuatan politik alternatif

terhadap mereka. Sebagai sebuah rezim baru, pemerintah Orde Baru di sampmg melakukan

konsolidasi nasional, juga terus berusaha mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang dianggap dapat

mengganggu stabilitas dan persatuan nasional.

Kecenderungan-kecenderungan politik seperti itu, tampaknya diikuti secara cermat oleh

kalangan intelektual muda Islam. Berbagai diskusi, baik formal maupun informal

diselenggarakan untuk menganalisis perkembangan yang ada. Dari berbagai respon yang muncul,

terdapat polarisasi pemikiran di kalangan umat Islam.36 Pertama adalah kaum formalis, yakni

mereka yang melihat perlunya ditempuh upaya-upaya yang sifatnya formal dan simbolik bagi

idealisasi dan implementasi politik Islam. Bagi kelompok ini cita-cita politik Islam hanya bisa

terwujud jika umat Islam mempunyai partai politik tersendiri, dan keberadaannya diakui secara

legal-formal. Oleh karena itu, adanya partai Islam dianggap suatu keharusan mutlak, sebagai alat

untuk mengatasi persaingan politik dan agama antar golongan yang telah menghancurkan

kepentingan Islam di masa lalu. Selain itu mereka juga menuntut pengesahan status hukum bagi

Piagam Jakarta yang diharapkan bisa menjadi legitimasi bagi perjuangan konstitusional Islam.

Kedua, mereka yang berpikir lebih mengutamakan persatuan dan integrasi kaum Muslim dan

kurang menyetujui keterlibatan yang terlampau jauh dalam politik partisan. Bagi kelompok ini,

persatuan umat Islam jauh lebih penting daripada terjun ke politik praktis yang sarat dengan

konflik kepentingan dan mendorong disintegrasi kaum Muslim. Ketiga, kelompok pragmatis

yang melihat bahwa pendekatan yang ditawarkan oleh kedua kelompok lainnya terlalu idealistik

dan dan tidak praktis. Kecuali menggugat kepemimpinan para pelaku politik Islam lama yang

36.M. Kamal Hassan, op. cit., h. 72-77.

Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi 337

melahirkan "kegagalan" pembangunan internal umat Islam, kelompok ini lebih memilih bersikap

akomodatif terhadap perkembangan sosio-politik yang ada. Sikap seperti ini dirasa lebih kreatif

dari pada melakukan penghadapan atau negasi terhadap real politics Orde Baru.

C. Penutup

Wacana pemikiran Islam pada masa Orde Baru, menampilkan pola "hegemonik," yakni

suatu bentuk hubungan dimana birokrasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang stabil

dan kuat, secara cultural dan struktural berada dalam posisi yang dominan dibanding dengan

kekuatan-kekuatan sosial-politiklainnya. Posisihegemonik ini erat kaitannya dengan strategi dan

kebijakan untuk mengamankan pembangunan dan modernisasi, dengan tujuan memperbaiki

keterpurukan ekonomi dan politik.

Kebijakan politik modernisasi bertujuan untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dari

negara-negara Barat serta legitimasi politik darirakyat. Tetapi membawa implikasi terhadap

masyarakat luas, khususnya umat Islam sebagai golongan mayoritas. Bagi kalangan

Islam,modernisasi merupakan persoalan yang relatif baru. Karena itu muncul reaksi atau respon

yang berbeda diantara berbagai kelompok Islam. Ada yang menolak karena modernisasi dinilai

sebagai westernisasi dan sekularisasi. Ada yang apologi, tetapi diikuti dengan penyesuaian diri

dan adaptasi. Tetapi ada pula yang menempuh pendekatan dialogis dan intelektual dalam

merespon modernisasi.

Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam" (GPPI) pada dekade 1970-an yang dipelopori oleh

sejumlah intelektual muda Islam, dengan tokoh utamanya Nurcholish Madjid. Gerakan

ditanggapi secara berbeda oleh kalangan Islam sendiri. Bagimereka yang setuju, GPPI adalah

suatu bentuk respon intelektual yang jujur dan kreatif terhadap perkembangan social politik yang

baru dibawah pemerintahan Orde Baru yang telah mendapatkan dukungan rakyat. Respon

intelektual itu diperlukan karena sebagian kalangan Islam, terutama angkatan tua golongan

modernister lalu obsesif dalam kegiatan-kegiatan politik partisan yang menuntut rehabilitasi

Masyumi atau terwujudnya "partai Islam" baru yang dikehendaki sebagai metamorfosa partai

Masyumi.

Kelompok-kelompok lain bersikap proktif terhadap modernisasi dan pembangunan serta

berusaha mencari akses danakomodatif terhadap Orde Baru. Respon intelektual diperlukan sebab

umat Islam, karena pengalaman sejarah dan kondisi obyektifnya sendiri berada dalam kejumu dan

berpikir, bersikapreaktif, dan tidak mampu melahirkan pemikiran-pemikiran alternatif sebagai

respon terhadap perubahan social kemasyarakatan dan politik sebagai dampak modernisasi. Bagi

yang tidak setuju GPPI adalah satu bentuk sikap akomodasionis terhadap pemikiran dan politik

modernisasi Orde Baru. Mereka menganggap GPPI taklebih dari sekedar upaya-upaya

338 Prosiding Seminar Nasional - Islam dan Demokrasi

sekelompok kalangan muda Islam yang terbuai oleh pikiran-pikiran yang sudah "ter-Barat-kan"

dan "tersekularisasikan," sehingga mereduksi ajaran dan pandangan doktrinal Islam yang

sudahbaku. Selainitu, GPPI juga dituduh telah "terjebak" dalam kerangka strategi politik Orde

Baru yang dianggap memarginalisasikan kekuatan politik Islam.

Wacana pemikiran inteletual muslim pada masa orde dengan lahirnya gerakan pemikiran

baru Islam merupakan pemikiran hasil analisis yang obyektif, dampak politis gerakan pemikiran

baru Islam telah merangsang diskursus intelektual (intellectual discourse) dalam rangka mencari

kohesi dari sebuah "ketegangan konseptual" antara politik modernisasi Orde Baru dengan aspirasi

umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachry dan Bahtiar Ef fendy, Merambah JalanBaru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam

Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.

Anshary, Endang Saefuddin, Kritik atas Paham dan Gerakan "Pembaruan " Drs. Nurcholish

Madjid, Bandung: Bulan Sabit, 1973.

Anwar, M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang

Cendikian Muslim Masa orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.

Djaelani, Abdul Qadir, "Pokok-pokok Pikiran tentang Tulisan Keharusan Pembaruan Pemikiran

Islam dan Masalah Integrasi Umat oleh Nurcholish Madjid" dalam Pembaruan Pemikiran

Islam Jakarta: Islamic Research Centre, 1970.

H.M Rasyidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholisb Madjid Tentang Sekularisasi (Jakarta: Bulan

Bintang, 1972.

Hamka, Beberapa Tantangan Terhadap Umat Islam di Masa Kini, Qakarta: Bulan Bintang, 1973.

Hassan, M. Kamal, Respon Intelektual Muslim Terhadap Politik Modernisasi Orde Baru,

Bandung Mizan, 1989

Madjid, Nurcholish, Islam,Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung Mizan, 1987

Natsir, Mohammad, Menyelamatkan Umat, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Rahardjo, M. Dawam, "Basis Sosial Pemikiran Islam di Indonesia Sejak Orde Baru," Prisma,

No.3, Tahun XX, Maret 1991.