Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19...

90
onflik K A nalisa A Sektor Kehutanan Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg 1997 - 2003 onflik nalisa K di Indonesia

Transcript of Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19...

Page 1: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

onflikKAnalisaA

Sektor Kehutanan

Yuliana Cahya Wulan

Yurdi Yasmi

Christian Purba

Eva Wollenberg

1997 - 2003

onflik

nalisa

Kdi Indonesia

Page 2: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

Analisa KonflikSektor Kehutanan

di Indonesia

1997 - 2003

Yuliana Cahya Wulan

Yurdi Yasmi

Christian Purba

Eva Wollenberg

Page 3: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

Diterbitkan olehCenter for International Forestry ResearchAlamat pos: P.O. Box 6596 JKPWB, Jakarta 10065, IndonesiaAlamat kantor: Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang,Bogor Barat 16680, IndonesiaTel. : +62 (251) 622622Fax. : +62 (251) 622100E-mail: [email protected] : http://www.cifor.cgiar.org

© 2004 by Center for International Forestry ResearchHak cipta dilindungi. Diterbitkan tahun 2004Foto sampul oleh Made Sudana

ISBN 979-3361-53-0

Page 4: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

Daftar Isi

Daftar Tabel v

Daftar Kotak v

Kata Pengantar viii

Abstrak ix

I. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 2

1.3. Tujuan Penelitian 2

1.4. Batasan Konsep 3

1.4.1. Konflik 3

1.4.2. Frekuensi Konflik 3

1.4.3. Penyebab Konflik 3

1.4.4. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 4

1.4.5. Penyelesaian Konflik 4

1.5. Metodologi Penelitian 4

1.5.1. Unit Penelitian 5

1.5.2. Data dari Media Massa 5

1.5.3. Data dari Studi Kasus 6

1.5.4. Lokakarya Multipihak 6

II. Konflik Sektor Kehutanan antara Tahun 1997 - 2003 8

2.1. Potret Konflik Secara Nasional (1997 - 2003) 8

2.2. Potret Konflik di Kalimantan Timur (1997 - 2003) 12

2.3. Diskusi 15

2.3.1. Pola Sebaran Frekuensi Konflik 15

2.3.2. Faktor Penyebab Konflik 17

III. Studi Kasus Konflik Kehutanan 19

3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19

3.1.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 19

3.1.2. Sejarah Konflik 20

3.1.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 22

3.1.4. Solusi yang Pernah Dicoba 23

3.1.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 23

Page 5: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

iv Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

3.2. Kasus HPH PT. Keang Nam Development Indonesia, Sumatera Utara 26

3.2.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 26

3.2.2. Sejarah Konflik 27

3.2.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 29

3.2.4. Upaya Penanganan Konflik 31

3.2.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 31

3.3. Kasus HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper, Riau 32

3.3.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 32

3.3.2. Sejarah Konflik 34

3.3.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 35

3.3.4. Upaya Penanganan Konflik 38

3.3.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 39

3.4. Kasus HTI Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah 42

3.4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 42

3.4.2. Sejarah Konflik 43

3.4.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 45

3.4.4. Upaya Penanganan Konflik 48

3.4.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 48

3.5. Kasus Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan 49

3.5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 49

3.5.2. Sejarah Konflik 49

3.5.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 52

3.5.4. Upaya Penanganan Konflik 54

3.5.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 54

3.6. Kasus Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur 54

3.6.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 55

3.6.2. Sejarah Konflik 56

3.6.3. Persepsi Pihak-pihak yang Terlibat 58

3.6.4. Upaya Penanganan Konflik 63

3.6.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang Bisa Diambil 63

Page 6: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

vYuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi 65

4.1. Kesimpulan 65

4.2. Rekomendasi 66

Daftar Pustaka 68

Lampiran 70

Daftar TabelTabel 1. Frekuensi Konflik Berdasarkan Provinsi (1997-2003) 12

Tabel 2. Sebaran Konflik di HPH, HTI dan Kawasan Konservasi (1997-2003) 12

Tabel 3. Sebaran Konflik di HPH, HTI dan Kawasan Konservasi di Kalimantan Timur(1997-2003) 15

Tabel 4. Peta Kekuatan Pihak-Pihak Terlibat Dalam Konflik PT. KodecoTimber vs. Masyarakat Adat Dayak Meratus 25

Tabel 5. Luas Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan di Wilayah DASMuara Batang Gadis 27

Tabel 6. Pokok-Pokok Konflik PT. Keang Nam dan Masyarakat Desa Tabuyung 33

Tabel 7. Pokok-Pokok Konflik PT. RAPP vs. Masyarakat Kuntu 41

Tabel 8. Luas Hutan Negara di Desa Temulus dan Bodeh 43

Tabel 9. Kronologi Penjarahan Hutan di Temulus 44

Tabel 10. Pokok-Pokok Konflik Hutan Pegunungan Meratus 55

Tabel 11. Jumlah Penduduk di Dalam Kawasan TNK (2000-2001) 56

Tabel 12. Pokok-Pokok Konflik di Taman Nasional Kutai 64

Daftar KotakKotak 1. Pengusaha HPH di Papua Makin Terdesak 10

Kotak 2. Warga Muara Enim Menuntut Tanahnya Dikembalikan 10

Kotak 3. Kalau Ada Order, Kami Siap Terobos... 10

Kotak 4. Di Balik Lebatnya Hutan Bali 11

Kotak 5. Klaim Tanah dan Kayu Hambat Pengamanan Hutan 11

Kotak 6. Perkembangan Konflik Lahan di Wilayah Taman Nasional Kutai 14

Kotak 7. Penjarah Taman Nasional Kutai Diancam Hukuman Denda 5 M; Keterlaluan,Mantan TNI Ikut Menjarah TNK 18

Kotak 8. Pemukulan Terhadap Karyawan PT. Kodeco 21

Page 7: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

vi Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Kotak 9. Kesepakatan Bersama antara LMMD-KH dengan PT. Kodeco Timber 24

Kotak 10. Peristiwa-peristiwa Konflik antara PT. Keang Nam dan Masyarakat Tabuyungyang Dilaporkan Media Massa 29

Kotak 11. Surat Undangan Penyelesaian Klaim Lahan Masyarakat Adat Rantau 40

Kotak 12. Kongres Adat Tuntut Hormati Haknya; Desak Izin EksploitasiHutan, Dicabut 53

Kotak 13. Kejadian Perusakan Fasilitas Taman Nasional Kutai 60

Daftar GambarGambar 1. Pengelompokan waktu penelitian 5

Gambar 2. Lokasi penelitian 7

Gambar 3. Frekuensi konflik periode 1997-2003 8

Gambar 4. Persentase konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi (KK)tahun 1997-2003 9

Gambar 5. Faktor penyebab konflik (1997-2003) 9

Gambar 6. Faktor penyebab konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi 9

Gambar 7. Frekuensi konflik sektor kehutanan di Kalimantan Timur (1997-2003) 13

Gambar 8. Persentase konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi (1997-2003)di Kalimantan Timur 13

Gambar 9. Faktor penyebab konflik di Kalimantan Timur 13

Gambar 10. Faktor penyebab konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi diKalimantan Timur 14

Gambar 11. Pola frekuensi konflik per tahun 15

Gambar 12. Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Kodeco Timber 19

Gambar 13. Gedung sekolah bantuan dari PT Kodeco Timber untuk masyarakatyang dibangun di Desa Pramasan 2x9 23

Gambar 14. Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Keang Nam Development 26

Gambar 15. Bekas base-camp PT. Keang Nam Dev. yang dibakar masyarakat 28

Gambar 16. Peta lokasi penelitian di kawasan HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper 34

Gambar 17. Gedung sekolah bantuan PT. RAPP untuk masyarakat Desa Kuntu 39

Gambar 18. Sapi bantuan PT. RAPP untuk program PPMR 39

Gambar 19. Peta lokasi penelitian di KPH Randublatung 42

Gambar 20. Sebab-akibat konflik di Perhutani 44

Gambar 21. Kawasan Perhutani pasca penjarahan 45

Gambar 22. Peta lokasi penelitian di kawasan rencana alih fungsi hutan lindungPegunungan Meratus 49

Page 8: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

viiYuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Gambar 23. Diagram perubahan fungsi kawasan Pegunungan Meratus 51

Gambar 24. Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Kutai 56

Gambar 25. Pemukiman penduduk di dalam kawasan Taman Nasional Kutai 58

Daftar LampiranLampiran 1. Informasi yang Direkam dalam Database Konflik 70

Lampiran 2. Contoh Database 71

Lampiran 3. Pedoman Interview 73

Lampiran 4. Daftar Responden 77

Lampiran 5. Daftar Peserta Workshop 78

Lampiran 6. Agenda Workshop 79

Lampiran 7. Surat Pernyataan Pemblokiran Jalan oleh Masyarakat Desa Kuntu dan

Teluk Paman 79

Page 9: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

Kata Pengantar

Penelitian tentang Analisis Konflik Kehutanan diIndonesia 1997-2003 dilakukan bersama oleh Centerfor International Forestry Research (CIFOR), ForestWatch Indonesia (FWI) dan Wageningen UniversityBelanda dengan dukungan dana dari Ford FoundationIndonesia. Penelitian ini dilakukan selama enambulan, mulai bulan April 2003, dan bertujuan untukmemberikan gambaran kondisi konflik sektorkehutanan sebelum dan sesudah masa Reformasi.

Penelitian ini menggunakan media massa (lima mediamassa nasional dan satu media massa lokal) sebagaisumber data utama, dan enam studi kasus di lapangan.Media massa merupakan sumber data untukmelengkapi database yang sebelumnya telah dibuatoleh FWI, sedangkan studi kasus untuk melengkapisekaligus merupakan uji silang (cross check) terhadaphasil temuan pada database. Dari temuan-temuanhasil penelitian ini kami mencoba menarik beberapapelajaran dan memberikan masukan bagi penanganankonflik khususnya di sektor kehutanan di Indonesia.

Dalam rangka penyempurnaan laporan penelitian,kami telah mengadakan lokakarya pada tanggal 17November 2003 di CIFOR, Bogor. Peserta lokakaryaterdiri dari para pakar yang sudah banyakberkecimpung dalam berbagai penelitian ataupenanganan konflik-konflik kehutanan sesuai denganlatar belakang masing-masing. Lokakarya inimenghasilkan banyak sekali masukan untukperbaikan draft laporan dan juga masukan bagipengelolaan konflik di Indonesia.

Tim peneliti yang terdiri dari Yuliana C. Wulan(CIFOR), Yurdi Yasmi (CIFOR dan Wageningen

University Belanda), Christian Purba (FWI) dan EvaWollenberg (CIFOR), mengucapkan terima kasihkepada berbagai pihak yang telah banyak membantukami. Khususnya Bapak Ujjwal Pradhan (FordFoundation Indonesia), Ibu Moira Moeliono (CIFOR),Ibu Dina Hubudin (CIFOR), Ibu Rahayu Koesnadi(CIFOR), kawan-kawan di LPMA KalimantanSelatan, Pengurus LMMD Kecamatan Hampang,Kepala Dinas Kehutanan Provinsi KalimantanSelatan beserta jajarannya, Kepala BKSDAKalimantan Selatan beserta jajarannya, kawan-kawandi Yayasan Hakiki Riau, Dinas Kehutanan ProvinsiRiau, Direktur PPMR PT. RAPP beserta staf, BapakDatuk Khalifah dan Datuk Bendaharo Kuntu, kawan-kawan di Yayasan Leuser Lestari, Direktur PT. KeangNam Dev. Indonesia beserta staf, Dinas KehutananProvinsi Sumatera Utara dan Kabupaten MandailingNatal, kawan-kawan di ARuPA, Administratur KPHBlora dan seluruh stafnya, DPRD Blora, Sdri. Annadan kawan-kawan di NRM Kalimantan Timur, Sdr.Agus dan kawan-kawan di BIKAL Bontang, BapakAde Suharso dan seluruh staf BTNK Bontang, Sdri.Yuni di Friends of Kutai dan seluruh peserta lokakaryaAnalisis Konflik Kehutanan yang telah banyakmemberikan masukan. Ucapan terima kasih jugakami sampaikan kepada semua pihak yang tidakdapat kami sebutkan satu-persatu yang telahmemberikan masukan untuk penulisan laporan ini.

Kami menyadari bahwa hasil penelitian ini belumsempurna. Oleh sebab itu kami menghargai masukankonstruktif yang dapat menyempurnakan laporan ini.Harapan kami, penelitian singkat ini dapat bermanfaatuntuk semua pihak, khususnya bagi pembangunandunia kehutanan di Indonesia.

Hormat Kami,Tim Peneliti

Page 10: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

We provide a profile of forest-related conflict inIndonesia 1997 to June 2003, based on a survey ofnational and provincial newspaper articles and sixcase studies in Sumatera, Kalimantan and Java. Thereport shows that conflict increased most rapidly in2000 during the transition to decentralization, andhas generally stayed at higher levels than during theNew Order period. Reports of conflicts were highestin East Kalimantan, followed by Sumatera andCentral Java. The causes of conflict were primarilydifferences in perceptions about boundaries, rightsto use of forest, compensation payments anddistribution of benefits from forests. Although mediareports focus on the escalation of conflict after thereform period, the case studies demonstrated complexhistories of latent conflict and conflict resolutionthrough compensation payments that provedunsuccessful in reducing long-run conflict. The studyrecommends that (i) conflict management beconsidered an element of forest management, (ii)forest conflicts should be monitored to learn moreabout their incidence, causes and ways of managingthem and (iii) alternative methods for managingconflict should be explored.

Kami menggambarkan profil konflik kehutanan diIndonesia mulai tahun 1997 sampai dengan Juni 2003berdasarkan artikel-artikel koran nasional danprovinsi serta enam studi lapangan di Sumatera,Kalimantan dan Jawa. Penelitian ini menunjukkanbahwa konflik meningkat paling tajam pada tahun2000 selama masa transisi ke masa desentralisasi danpada umumnya tetap berada pada posisi lebih tinggidibandingkan frekuensi konflik selama masa OrdeBaru. Konflik-konflik ini dilaporkan paling banyakterjadi di Kalimantan Timur, kemudian diikuti olehSumatera dan Jawa Tengah. Penyebab utama konflikadalah adanya perbedaan sudut pandang mengenaitata batas, hak pemanfaatan hutan, pembayarankompensasi dan distribusi manfaat dari hutan.Walaupun laporan media lebih terfokus pada eskalasikonflik setelah masa reformasi, studi lapanganmenunjukkan sejarah konflik yang kompleks, dariyang bersifat laten dan penyelesaian konflik melaluipembayaran kompensasi yang tidak memuaskan danterbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan konflikdalam jangka panjang. Penelitian inimerekomendasikan agar (i) pengelolaan konflikdipertimbangkan sebagai elemen dalam pengelolaanhutan, (ii) pemantauan konflik kehutanan terusdilakukan agar kejadian, penyebab dan cara untukmengelolanya dapat dipelajari lebih jauh, dan (iii)pilihan-pilihan metode untuk pengelolaan konflikharus digali.

Abstrak

Page 11: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

1.1. Latar Belakang

Di belahan manapun di dunia, hutan telah menjadiarena pertentangan antara berbagai pihak yangberkepentingan dengan sumber daya hutan. Seringkepentingan satu pihak berbenturan dengankepentingan pihak lainnya (Wondolleck, 1998;Daniels dan Walker, 2001; Buckles, 1999;Wollenberg,dkk. 2001). Dalam banyak kasus,pertentangan kepentingan antara perusahaan HakPengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri(HTI) dan pertambangan, misalnya, seringmenyebabkan masyarakat lokal terlantar, tersisih danaksesnya terhadap hutan menjadi terbatas yangakhirnya berujung pada pertikaian (Wenban-Smith,2001). Tidak jarang pula benturan kepentingan antaraperusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainmenimbulkan persengketaan, yang kadang-kadangsampai berlarut-larut dan tidak terselesaikan dalamjangka waktu yang lama. Antara masyarakat ataukelompok masyarakat juga terjadi benturan-benturankepentingan karena masalah batas desa atau wilayahadat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu (Anau, dkk., 2002).

Berbeda dengan sektor lain, konflik di sektorkehutanan melibatkan berbagai pihak, mulai dariskala lokal sampai skala nasional, dan bahkaninternasional. Selain itu, perbedaan status antarapihak yang “kuat” dan yang “lemah” sangat menonjol.Pihak yang lebih kuat biasanya akan dengan mudahmempertahankan posisinya karena merekamempunyai kekuatan untuk melawan pihak yanglemah. Mereka mempunyai informasi yang lebihbanyak dan kemampuan finansial yang lebih besardibandingkan dengan pihak yang lemah. Perbedaankekuatan antara kedua pihak ini menyebabkanrumitnya penyelesaian konflik di sektor kehutanan.Keunikan lainnya adalah konflik di sektor kehutanansering tidak diketahui umum atau tidak muncul kepermukaan (laten) dan sangat sulit untuk diselesaikankarena terjadi di tempat yang terpencil. Di masalalu, konflik semacam ini sering diselesaikan dengantekanan dari pihak-pihak yang lebih kuat terhadappihak yang lemah.

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan berlakunyadesentralisasi, konflik yang sebelumnya laten mulaibermunculan ke permukaan dan juga memunculkanberbagai konflik baru. Hal ini terutama disebabkan“eforia reformasi” yang membuka kesempatan untukmenyalurkan kehendak dan aspirasi masyarakat yangselama ini sengaja atau tidak, ditutupi oleh rezim OrdeBaru. Eforia ini juga mendorong pihak yang lemahdan selalu dipinggirkan di masa lalu, untuk beranimenuntut hak-hak mereka yang selama ini diserobotdan dilecehkan oleh pihak yang lebih kuat.

Meningkatnya konflik di sektor kehutanan jugadisebabkan oleh krisis ekonomi sejak awal pertengahantahun 1997 dan memuncak di awal tahun 1998.Keterpurukan ekonomi menyebabkan masyarakatsemakin terdorong untuk melakukan penjarahan danatau perambahan hutan yang dianggap sebagai caratermudah untuk mendapatkan uang. Tidaklahmengherankan kalau akhir-akhir ini kita sering melihatdan mendengar dari media massa berbagai kasuskekerasan dalam pengelolaan sumber daya hutan.

Pada tahun 2002, Forest Watch Indonesia (FWI)menerbitkan laporan “Potret Keadaan HutanIndonesia” yang banyak mendapatkan perhatian dariberbagai kalangan (FWI dan GFW, 2001).Sebagaimana dipaparkan dalam laporan tersebut,konflik pengelolaan sumber daya hutan telahberlangsung lama, sejalan dengan kebijakan HPHpada tahun 1970-an. Sejak itu, berbagai konflik antaraperusahaan HPH dan masyarakat sering bermunculan.Penyebabnya antara lain karena masyarakat lokalmerasakan ketidakadilan yang terkait dengan sistempengelolaan hutan skala besar yang menyebabkanakses masyarakat terhadap sumber daya hutanmenjadi terbatas. Konflik semacam ini tidak hanyaterjadi di areal HPH, tetapi juga sering ditemukandi kawasan HTI, perkebunan dan kawasan lindungseperti taman nasional.

Dari beberapa kasus seperti yang digambarkan diatas,konflik kehutanan jelas merupakan suatu masalah dan

1Pendahuluan

Page 12: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

2 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

perlu segera ditangani. Di masa lalu, konflik seringdianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakansecara terbuka dan karena itu cenderung dilupakan(Suporahardjo, 2000). Hal ini mungkin karena latarbelakang budaya kita yang cenderung mengedepankanhubungan harmonis dan kecenderungan untukmenghindari konflik. Barangkali inilah yang menjadisebab mengapa pada masa Orde Baru belum banyakinformasi yang dapat diperoleh mengenai konflikkehutanan.

Seiring dengan perubahan jaman, pengelolaan konflikkehutanan perlu dijadikan wacana pembelajaran bagisemua pihak. Sudah saatnya pihak pemerintahmemperhatikan pengelolaan konflik sebagai salah satupersyaratan dalam pengelolaan hutan. Hanya denganketerbukaan seperti inilah penyelesaian konflik dapatdiupayakan dengan mengembangkan aspek positifdari konflik, dan dalam waktu bersamaan mencobauntuk mengurangi dampak negatifnya.

1.2. Perumusan Masalah

FWI dan GFW (2001) telah memetakan sebarankonflik kehutanan di Indonesia berdasarkan hasilsurvei terbatas tentang konflik sumber daya hutan1 .Beberapa penyebab umum konflik di sektorkehutanan berdasarkan laporan tersebut antara lainadalah: kegiatan HPH, aktivitas penebangan liar(illegal logging), penetapan kawasan lindung danpenetapan kawasan taman nasional, pembangunanHTI dan perkebunan kelapa sawit. Konflik ini terjadikarena perbedaan pandangan mengenai hak ataslahan, pelanggaran perjanjian oleh pihak-pihak yangterkait, maupun ketidakjelasan batas kawasan.

Anau dkk.(2002) menggambarkan konflik yangterjadi di antara desa-desa di kawasan hutan di huluSungai Malinau, Kalimantan Timur, karenaperbedaan penafsiran atas batas desa2 . SelanjutnyaSuporahardjo dan Wodicka (2003) melaporkankonflik yang terjadi di dalam pengelolaan kawasan“repong damar” di Krui Lampung. LaporanSuprohardjo dan Wodicka tersebut mengungkapkan

bahwa penyebab konflik antara masyarakat denganproyek pengembangan kelapa sawit adalah karenaadanya tumpang tindih lahan. Di samping itu, konflikjuga terjadi antara masyarakat dengan DepartemenKehutanan, dalam hal batas wilayah hutan produksiterbatas yang juga mencakup kebun damarmasyarakat. Konflik juga bisa dipicu karena persoalankompensasi (ganti rugi) yang tidak layak diterimamasyarakat karena beroperasinya perusahaan-perusahaan seperti HPH dan pertambangan yangmengakibatkan kerusakan lingkungan mereka (Rhee,2000; Yasmi 2002, 2003).

Faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitandengan akses, hak dan tata guna lahan terutama yangberhubungan dengan kawasan konservasi sepertitaman nasional. Studi yang dilakukan Moeliono danFisher (2003), misalnya, melaporkan bahwa konflikdi kawasan konservasi di daerah Riung, NusaTenggara Timur disebabkan karena penetapankawasan tersebut sebagai kawasan lindung, sehinggamembatasi akses masyarakat terhadap sumber dayahutan dan laut. Pemerintah Daerah di sanamenerapkan berbagai cara untuk membatasimasyarakat masuk ke dalam kawasan lindung denganmenggunakan bantuan polisi dan militer.

Lebih jauh konflik kehutanan telah membawamalapetaka bagi pihak yang terlibat atau pihak lainyang tidak terlibat langsung. Individu-individutertentu mendapat ancaman dan sumber daya alammenjadi rusak (Yasmi, 2003). Lebih menyedihkanlagi, konflik juga bisa menelan korban fisik bahkankematian3 . Pengelolaan konflik bertujuan untukmengantisipasi konflik dan menghindari ataumenguranginya serta meningkatkan keterbukaandalam menyikapi perbedaan penilaian.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan sumber dan akibat berbagai konfliktersebut CIFOR dan FWI bekerja sama untukmelakukan penelitian tentang konflik di sektorkehutanan di Indonesia. Penelitian ini tidak terbatas

1 Lihat peta No. 13 dalam laporan FWI dan GFW.2 Penelitian yang dilakukan oleh Anua dkk. meliputi 27 desa di sepanjang Sungai Malinau yang terletak di dalam kawasan

wanariset CIFOR, Bulungan Research Forest (BRF). Karena batas desa tidak begitu penting di masa lalu dan dengan meningkatnyapersaingan akses terhadap sumber daya hutan dewasa ini, maka konflik batas desa belakangan hari semakin mencuat.

3 Wenban-Smith (2001) mengupas berbagai macam konflik di seputar kehutanan dan berbagai konsekuensinya.

Page 13: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

3Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

pada identifikasi konflik yang pernah terjadi saja,akan tetapi lebih jauh untuk melihat faktor-faktorpenyebabnya, pihak yang terlibat, sejarahnya, prosespenyelesaian dan hasilnya di berbagai arena konflikkehutanan. Secara khusus, penelitian ini mempunyaidua tujuan utama, yaitu:1. Menyajikan profil konflik kehutanan, khususnya

yang terjadi di areal HPH, HTI, dan kawasanlindung untuk melihat sebarannya secara geografis(per provinsi).

2. Membandingkan konflik yang terjadi sebelumdan sesudah masa Reformasi dan mencoba untukmenarik beberapa pelajaran dari kejadiantersebut.

1.4. Batasan konsep

Seperti yang telah disampaikan pada bagian pertama,konflik bisa melibatkan perusahaan dan masyarakat,antara anggota - masyarakat, antara perusahaan satudengan perusahaan yang lain dan juga antaramasyarakat dengan pemerintah. Dalam penelitianini, konflik-konflik yang terjadi di areal HPH, HTIdan kawasan konservasi merupakan tiga contohtempat terjadinya konflik, dengan isu dan pemainnyayang beragam. Di ketiga kawasan tersebut ditelusuridan dianalisis konflik apa saja yang terjadi, siapayang terlibat, kapan terjadinya, apa faktorpenyebabnya, bagaimana tingkat eskalasi danpenyelesaian yang pernah diupayakan.

Beberapa konsep yang dipakai sebagai acuan dalampenelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1. KonflikKonflik merupakan suatu perbedaan cara pandang.Bentuknya bisa berupa keluhan saja sampai padatingkat kekerasan dan perang. Walker dan Danielsmengupas dengan seksama berbagai definisi konflikyang memperlihatkan bahwa konflik ternyatamerupakan suatu wacana yang dikonstruksikansecara sosial dan bisa dipandang dari berbagai sudut(Walker dan Daniels, 1997).

Dalam penelitian ini konflik didefinisikan sebagaisuatu “perwujudan perbedaan cara pandang” antaraberbagai pihak terhadap obyek yang sama. Sorotandan titik berat dalam penelitian ini adalah konflik-konflik kehutanan yang telah muncul ke arena publik,seperti aksi demonstrasi, gugatan, dan berbagai protes

kepada pemerintah. Dengan demikian , wujud konflikyang berupa wacana argumentasi dan perbedaanpendapat, tidak dikategorikan sebagai suatu konflik.

Sebagai contoh, peristiwa konflik yang sama bisaberupa perselisihan antara masyarakat A dengan HPHA di mana terjadi aksi-aksi kekerasan yang dilakukanbaik oleh pihak HPH A terhadap masyarakat A,maupun sebaliknya. Namun apabila kemudianperistiwa ini memicu konflik antara HPH A denganmasyarakat B, maka hal ini dianggap sebagai peristiwakonflik yang berbeda. Peristiwa konflik tersebutdihitung sebagai dua peristiwa konflik (konflik antaraHPH A dengan masyarakat A dan konflik antara HPHA dengan masyarakat B).

1.4.2. Frekuensi konflikMenghitung frekuensi konflik sangat dilematis karenaada kemungkinan konflik dengan isu yang samamuncul ke permukaan beberapa kali dan dimuat olehbeberapa media massa yang berbeda. Oleh karenaitu peristiwa konflik yang dilaporkan oleh dua ataulebih media massa di tempat dan waktu yang relatifbersamaan dihitung sebagai satu peristiwa konflik.Hal ini dilakukan untuk menghindari penghitunganganda dari satu peristiwa konflik yang sama. Namununtuk konflik yang sama, tetapi terjadi dalam waktuyang berbeda (misalnya tahun 1998 dan terjadikembali tahun 1999), maka konflik tersebut dihitungdua kali peristiwa konflik.

1.4.3. Penyebab konflikPenyebab konflik dalam penelitian ini dibagi menjadilima kategori berdasarkan berita yang dilaporkan dimedia massa dan informasi di lapangan. Penentuankategori didasarkan pada perbedaan jenis kegiatanyang memicu terjadinya konflik, yang diamati dariartikel koran, yaitu sebagai berikut:• Perambahan hutan, yakni kegiatan pembukaan

lahan pada kawasan hutan yang bermasalah karenaadanya perbedaan penafsiran mengenaikewenangan dalam pengelolaannya;

• Pencurian kayu, adalah penebangan kayu secarailegal yang dilakukan oleh masyarakat/perusahaandi lokasi yang bukan miliknya, sehinggamenimbulkan konflik dengan pihak lain yangmerasa dirugikan;

• Batas, adalah perbedaan penafsiran mengenaibatas-batas pengelolaan/ kepemilikan lahan antarapihak-pihak yang terlibat dalam konflik;

Page 14: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

4 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

• Perusakan lingkungan, adalah kegiatan eksploitasiyang menyebabkan terjadinya degradasi manfaatsuatu SDA dan kerusakan mutu lingkungan disuatu daerah;

• Alih fungsi, yaitu perubahan status kawasan hutan(misalnya dari hutan lindung menjadi hutanproduksi) yang menimbulkan berbagaipermasalahan antara pihak-pihak yangberkepentingan.

1.4.4 Persepsi Pihak-pihak yang TerlibatPihak-pihak yang terlibat adalah pihak yang mempunyaikepentingan dan/atau terkait dengan konflik baik secaralangsung ataupun tidak langsung. Pihak yang terlibatlangsung adalah mereka yang bersengketa karenamasalah tata batas, akses dan sebagainya. Sedangkanpihak yang tidak terlibat langsung misalnya LSM yangmempunyai kepedulian terhadap konflik, atauorganisasi lain seperti Dinas Kehutanan, perguruantinggi, maupun lembaga penelitian.

Pihak-pihak ini teridentifikasi dari informasi yang kamikumpulkan dari lembaga-lembaga yang terlibat dalamupaya penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini,terutama untuk studi kasus, persepsi para pihak yangterlibat langsung maupun tidak langsung dalam suatukonflik tertentu dicoba untuk digali dan dianalisis.

1.4.5. Penyelesaian konflikPenyelesaian konflik merupakan suatu upaya atauinisiatif yang dilakukan untuk mengatasi dan mencarijalan keluar dari suatu peristiwa konflik. Inisiatif inibisa datang dari para pihak yang terlibat dalam konflikatau dari pihak ketiga yang tidak terlibat dalam konflik.Bentuk upaya yang ditempuh bisa bermacam-macam,mulai dari yang sangat sederhana sampai ke tingkatpengadilan dengan menempuh jalur hukum (Fisher,dkk., 2001). Proses negosiasi secara spontan antaradua pihak yang terlibat dalam konflik dianggapsebagai suatu proses penyelesaian yang sederhana danmempunyai potensi keberhasilan yang cukup tinggi,karena adanya kemauan kedua belah pihak untukbernegosiasi. Namun proses spontan kadang tidakberhasil dan penyelesaian konflik harus difasilitasioleh pihak ketiga. Tidak jarang pula prosespenyelesaian konflik harus melalui jalur hukumsebagai alternatif terakhir apabila semua cara lain

sudah buntu. Namun demikian, di Indonesia jalurhukum belum sepenuhnya dapat dipercayai olehsemua pihak yang terlibat, sehingga cara penyelesaiankonflik seperti ini jarang digunakan.

Dalam beberapa tahun terakhir terjadiperkembangan pesat berupa inisiatif yang mendorongpenyelesaian konflik diluar jalur hukum, yang dikenalsebagai Alternative Dispute Resolution (ADR). Konflik-konflik di sektor kehutanan juga telah banyak yangdiupayakan dengan skema ADR ini (Suporahardjo,2002; Buckles, 1999). Dalam penelitian ini,khususnya untuk studi kasus, semua inisiatif dalamupaya penyelesaian konflik dianalisis. Namunberdasarkan hasil observasi, upaya penyelesaian inijarang sekali diungkap secara rinci di dalam artikelkoran. Oleh sebab itu, informasi semacam ini lebihbanyak diperoleh melalui studi kasus (lihat laporanstudi kasus di Bab III).

1.5. Metodologi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua tingkat yang berbeda.Pertama, di level nasional untuk melihat profil konflikyang terjadi di seluruh wilayah Indonesia mulai dariSumatera sampai ke Papua. Kedua, dilakukan ditingkat provinsi untuk membandingkan antarakonflik yang terjadi di daerah dengan konflikkehutanan skala nasional. Kalimantan Timur dipilihsebagai lokasi penelitian untuk tingkat provinsikarena kegiatan kehutanan di sini dianggap cukupdominan, dan akses terhadap informasi lebih mudah.

Sumber informasi untuk kedua tingkat studi inidiambil dari media massa. Untuk tingkat nasional,enam media massa4 dipilih untuk mengobservasiartikel koran yang memuat konflik kehutanan. Periodepenerbitan yang diobservasi adalah dari bulan Januari1997 sampai dengan bulan Juni 2003. Hal yang samadilakukan terhadap media massa lokal5 untukmengetahui konflik kehutanan yang terjadi di tingkatprovinsi.

Di samping itu, untuk melakukan verifikasi danmemperkaya data sekunder dari media massa, telahdilakukan studi kasus di enam lokasi yang berbeda.Data dan informasi dari studi lapangan merupakan

4 Kompas, Tempo, Business Indonesia, Media Indonesia, Antara, dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).5 Kaltim Post.

Page 15: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

5Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

1997 1998 2000 2003ORBA TRANSISI DESENTRALISASI

data empiris yang dikumpulkan selama kunjunganke lokasi kejadian konflik.

1.5.1. Unit PenelitianPenelitian ini menggunakan dua unit penelitian.Pertama adalah “peristiwa konflik”, yaitu kejadiansuatu konflik yang telah muncul ke permukaan, dandimuat dalam artikel koran. Sebagaimana diketahuikonflik di sektor kehutanan bervariasi mulai darikonflik dengan intensitas yang rendah, seperti keluhan-keluhan, sampai kepada konflik dengan tekanan yangtinggi seperti aksi-aksi destruktif. Unit kedua adalahstudi kasus di lapangan, yaitu perusahaan-perusahaanyang bergerak dibidang kehutanan, yaitu HPH danHTI, serta unit pengelolaan kawasan lindung (sepertitaman nasional).

1.5.2. Data dari Media MassaMedia massa merupakan salah satu dari dua sumberdata utama dalam penelitian ini. Media massa dipilihsebagai sumber data karena bisa diperoleh denganmudah dan cepat; bahkan beberapa di antaranya bisadiakses melalui internet. Selain itu, banyak klipingyang telah dibuat oleh berbagai lembaga penelitianseperti CIFOR, GTZ-Kaltim, dan NRM-Kaltim yangbisa dimanfaatkan. Keuntungan lainnya adalah bahwainformasi yang didapatkan dari media massa dapatdengan mudah diarsip.

Namun demikian, kami juga menyadari bahwa mediamassa tidak bebas dari bias (value free) dan memilikipertimbangan tersendiri dalam memunculkan berita.Pada masa Orde Baru media massa tidak dapatdengan mudah memuat berita-berita sensitif. Mediamassa dikekang dan dijadikan alat untukmempertahankan kekuasaan pada waktu itu. Di masaReformasi terjadi perubahan yang menggembirakan.

Walaupun demikian, disadari bahwa media massahanya melaporkan sebagian saja dari informasilengkap di lapangan, dan media massa mana puntidak terlepas dari kepentingan golongan tertentu.

Penelusuran informasi dari media massa dilakukanmelalui majalah dan surat kabar yang terbit antarabulan Januari 1997 sampai dengan Juni 2003, denganurutan pembagian waktu sebagaimana terlihat dalamGambar 16 .

Periode 1997 – 1998 dianggap sebagai periode ketikakekuasaan Orde Baru masih ada tetapi sudah mulaimenunjukkan tanda-tanda melemah. Periode inidianggap penting karena terjadi berbagai perubahankebijakan politik. Dalam periode yang sama, krisisekonomi yang parah mulai melanda Indonesia danmemuncak pada periode ini, sehingga diasumsikanberdampak penting bagi sektor kehutanan.

Periode 1999, dianggap sebagai masa Transisi daripemerintahan Orde Baru ke masa Desentralisasi,dan sektor kehutanan diasumsikan mengalamitransisi pula. Walaupun pada tahun 1999 telahdikeluarkan Undang-undang No. 22 dan No. 25 yangmengatur tentang otonomi daerah, pelaksanaannyabaru mulai berdampak pada tahun 2000, dan baruefektif pada awal tahun 2001.

Periode 2000 – 2003 merupakan periodeDesentralisasi di mana pengurusan sumber daya hutansemakin banyak diberikan kepada pemerintahdaerah. Pembagian waktu ini dipilih untukmembandingkan perubahan konflik kehutanan yangterjadi pada masa Orde Baru dan masaDesentralisasi.

6 Perlu disampaikan disini bahwa pembagian waktu analisis seperti yang diuraikan di atas semata-mata untuk mengaitkannyadengan perubahan politik yang terjadi.

Gambar 1. Pengelompokan waktu penelitian

Page 16: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

6 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

1.5.3. Data dari Studi KasusUntuk studi kasus, dipilih kasus-kasus konflikkehutanan yang terjadi di perusahaan-perusahaanHPH, HTI atau kawasan lindung. Kasus-kasus inidipilih sebagai unit penelitian untuk memberikangambaran profil keanekaragaman konflik di berbagaiaktivitas kehutanan secara lebih mendalam (termasuksejarah konflik).

Studi kasus dilakukan dari bulan Mei sampai denganAgustus 2003. Pengumpulan data untuk satu lokasistudi kasus dilakukan selama sepuluh hari. Data daninformasi lapangan dikumpulkan denganmenggunakan metode wawancara semi terstruktur(semi-structured interview) yang dilakukan terhadaptujuh sampai dengan 21 orang responden kunci (lihatLampiran 3 untuk pedoman wawancara danLampiran 4 untuk daftar responden kunci).Keuntungan menggunakan metode ini adalahkebebasan untuk mengembangkan diskusi sesuaidengan kondisi yang ada untuk menggali informasisecara lebih mendalam. Informasi yang dikumpulkantermasuk sejarah konflik, pihak-pihak yang terlibat,eskalasi konflik dan langkah penyelesaian yang pernahditempuh serta hasilnya.

Sejauh mungkin, wawancara dengan responden kuncidilakukan dengan melibatkan semua pihak yangberkepentingan sehingga informasi yang didapatkandiharapkan akan lebih seimbang. Pihak-pihak yangdilibatkan meliputi, antara lain, wakil perusahaanHPH atau HTI, masyarakat setempat, PemerintahDaerah, pengelola taman nasional, LSM danperguruan tinggi. Namun tidak semua respondenkunci bersedia untuk diwawancarai. Hasil wawancaradicatat untuk selanjutnya dianalisis.

Enam lokasi studi kasus yang dipilih untuk penelitianini adalah sebagai berikut:1. HPH Kodeco, Kalimantan Selatan2. HPH Keang Nam, Sumatera Utara

3. Perhutani Blora, Jawa Tengah4. HTI PT Riau Andalan Pulp and Paper, Riau5. Kawasan Lindung Meratus, Kalimantan Selatan6. Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur

Untuk melengkapi hasil wawancara, dilakukan studipustaka untuk setiap studi kasus. Pustaka didapatkandari buku-buku yang berhubungan dengan lokasistudi, laporan-laporan yang dibuat oleh pemerintahdan instansi terkait, laporan dari HPH atau HTI, sertalaporan dari LSM. Beberapa keputusan hukum sepertiKeputusan Menteri, Keputusan Bupati, dankeputusan-keputusan lainnya yang terkait jugadikumpulkan dari berbagai instansi untuk melihataspek legal dari kasus yang sedang diteliti.

1.5.4. Lokakarya MultipihakHasil kegiatan yang telah dilakukan dituangkan dalamdraft laporan dan disajikan dalam sebuah lokakaryauntuk mendapatkan tanggapan dan masukan. Parapeserta lokakarya7 adalah mereka yang telahberpengalaman dalam hal penelitian/kegiatanpenanganan konflik dari latar belakang yang berbeda-beda, seperti universitas, APHI, lembaga penelitiandan LSM. Lokakarya ini dilaksanakan pada tanggal17 November 2003 di CIFOR, Bogor.

Agenda utama lokakarya8 adalah membahas draftlaporan agar menjadi laporan yang baik dandiharapkan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan danterutama untuk pembangunan sektor kehutanan.Selain itu, pendapat para peserta lokakarya jugamembahas berbagai rekomendasi untuk pengelolaankonflik di Indonesia. Bagi para peserta, lokakaryaini merupakan sarana untuk saling berinteraksi danmembuka jaringan antara lembaga-lembaga yangnantinya diharapkan bisa menjadi mediator dalampenyelesaian konflik kehutanan. Lokakarya ini jugabermanfaat sebagai sarana pembelajaran bagi seluruhpeserta dalam menyelesaikan konflik-konflikkehutanan yang dihadapinya (studi banding).

7 Daftar peserta acara Lokakarya Konflik Kehutanan di Indonesia, 17 November 2003 dapat dilihat pada Lampiran 5.8 Agenda Lokakarya Konflik Kehutanan di Indonesia, 17 November 2003 dapat dilihat pada Lampiran 6.

Page 17: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

7Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Gam

bar

2. L

okas

i Pen

eliti

an

Lo

kasi

Stu

di K

on

flik

Sek

tor

Keh

uta

nan

di I

nd

on

esia fo

rest

wat

ch in

done

sia-

outr

each

-200

3

Ket

eran

gan

:1.

Kab

upat

en M

anda

iling

Nat

al, P

ropi

nsi S

umat

era

Uta

ra2.

Kab

upat

en K

ampa

r, P

ropi

nsi R

iau

3. K

abup

aten

Blo

ra, P

ropi

nsi J

awa

Teng

ah4.

Kab

upat

en K

otab

aru,

Pro

pins

i Kal

iman

tan

Sel

atan

5. K

abup

aten

Kut

ai T

imur

, Pro

pins

i Kal

iman

tan

Tim

ur

Page 18: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

2.1. Potret Konflik SecaraNasional (1997 – 2003)

Berdasarkan hasil observasi terhadap artikel mediamassa nasional, 359 peristiwa konflik di sektorkehutanan telah terjadi dari Januari 1997 sampaidengan Juni 2003. Gambar 3 menampilkan frekuensikonflik yang terjadi setiap tahunnya9 .

Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 konflikdi sektor kehutanan cenderung meningkat cukuptajam. Jumlah konflik meningkat hampir empat kalilipat pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun1997. Pada tahun 2000 jumlah konflik melonjakdrastis sampai 153 kejadian. Angka ini mengalamipenurunan kembali pada tahun 2001 dan 2002.Namun berdasarkan data sampai dengan bulan Juni2003, jumlah konflik cenderung meningkat kembali.

Temuan lain yang juga tidak kalah menariknya adalahbahwa dari 359 kasus konflik yang berhasil dicatat,39% diantaranya terjadi di areal HTI, 34% di kawasankonservasi (termasuk hutan lindung dan tamannasional), dan 27% di areal HPH (lihat Gambar 4).

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa konflikyang terjadi di areal HTI dan kawasan konservasimempunyai porsi yang signifikan, dibandingkandengan yang terjadi di areal HPH. Frekuensi konfliktertinggi (hampir 40%) terjadi di areal HTI.

Diketahui pula bahwa frekuensi konflik meningkatdrastis pada awal pelaksanaan desentralisasi (tahun2000). Di masa Orde Baru dan masa Transisi, konflikdi areal HTI lebih sering terjadi dibandingkan dengankonflik di HPH dan kawasan konservasi. Sedangkandi masa Desentralisasi, konflik di kawasan konservasidan areal HTI lebih banyak dibandingkan dengankonflik di areal HPH.

Berdasarkan hasil analisis artikel di media massa,sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utamakonflik yang terjadi di areal HPH, HTI dan kawasankonservasi, yaitu perambahan hutan, pencurian kayu,perusakan lingkungan, tata batas kawasan atau aksesdan alih fungsi kawasan10 , seperti yang ditampilkandalam Gambar 5. Faktor penyebab konflik yangpaling sering terjadi di berbagai kawasan (36%)adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakatdi sekitarnya.

Sementara itu, faktor yang paling seringmenyebabkan terjadinya konflik di setiap kawasanberbeda-beda. Hal ini secara jelas dapat dilihat dalamGambar 6.

Di areal HPH, konflik sering terjadi karena adanyatumpang tindih areal HPH dengan lahan yang

Konflik Sektor Kehutananantara Tahun 1997 – 20032

Gambar 3. Frekuensi konflik periode 1997-2003

9 Perlu diingat bahwa untuk tahun 2003 hanya dicatat sampai dengan bulan Juni saja. Dengan demikian frekuensi tahun 2003tidak mencerminkan frekuensi konflik keseluruhan tahun 2003.

1 0 Lihat 1.4.3. Penyebab konflik halaman 3.

1429

52

153

4531 35

1997 1998 1999 2000 2001 2002 Juni 2003

Page 19: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

9Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

dikelola oleh masyarakat, seperti ladang atau tanahadat, karena ketidakjelasan tata batas. Pada dasarnya,secara legal pemegang HPH mengklaim berhak atasareal tersebut karena telah memperoleh izin konsesidari pemerintah, sementara masyarakat secaratradisional telah lama mengolah lahan di arealtersebut. Akibatnya, akses masyarakat terhadapsumber daya hutan menjadi terbatas, seperti contohkasus yang ditunjukkan pada Kotak 1.

Lain halnya yang terjadi di areal HTI. Penyebab utamakonflik adalah tata batas kawasan dan pencurian kayu.Perbedaan penafsiran tata batas antara areal HTI danlahan masyarakat merupakan penyebab yang seringmemicu konflik. Hal ini banyak terjadi baik di hutantanaman di Jawa (Perhutani) maupun di areal HTI diluar Jawa. Kotak 2 memperlihatkan contoh kasuskarena tumpang tindih batas areal HTI dengan lahanyang dikelola oleh masyarakat.

Di samping itu, maraknya pencurian kayu di arealHTI yang dilakukan oleh masyarakat maupun oknumyang melibatkan militer telah menimbulkan

HTI39%

KK34%

HPH27%

Gambar 4. Persentase konflik di areal HPH,HTI dan kawasan konservasi (KK) tahun1997-2003

pertikaian-pertikaian antara anggota masyarakat danantara pengelola HTI dengan para pencuri kayu.Perhutani merupakan perusahaan HTI di Jawa yangakhir-akhir ini banyak sekali terlibat dalam konflikdengan para pencuri kayu, seperti yang ditunjukkandalam Kotak 3.

Sementara itu, faktor utama penyebab konflik dikawasan konservasi seperti hutan lindung dan tamannasional adalah perambahan hutan dan pencuriankayu. Hal ini terjadi karena penetapan suatu kawasankonservasi biasanya dilakukan secara sepihak olehpemerintah tanpa melibatkan masyarakat.Akibatnya timbul berbagai kesalahpahaman darimasyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalambeberapa kasus, penetapan hutan lindung atau tamannasional sering memaksa masyarakat untuk pindahke tempat lain. Perambahan menjadi isu utamakarena masyarakat masih menganggap bahwa lahanyang mereka buka untuk ladang adalah hak merekawalaupun telah ditetapkan menjadi kawasan lindung.Contoh kasus perambahan hutan lindung dapatdilihat pada Kotak 4 dan kotak 5.

Gambar 5. Faktor penyebab konflik (1997-2003)

Tata batas/pembatasan akses

36%

Alih fungsi3% Perambahan hutan

26%

Pencurian kayu23%

Kerusakanlingkungan/hutan

12%

Gambar 6. Faktor penyebab konflik di areal HPH, HTI dan kawasan konservasi

0

10

20

30

40

50

60

70

80

HPH HTI KK

Perambahan hutanKerusakan lingkunganAlih fungsi

Pencurian kayuTata batas/pembatasan akses

Page 20: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

10 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Kotak 1. Pengusaha HPH di Papua Makin Terdesak

Nasib 21 perusahaan pemegang 53 Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Papua sangat memprihatinkan.Mereka telah membayar ratusan miliar rupiah kepada pemerintah, tetapi kini dihadapkan pada sejumlahtuntutan masyarakat mengenai hak ulayat. Dari 53 HPH, hanya 35 yang masih aktif, namun dalam waktudekat juga terancam mundur.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Papua, Bosco Fernandez di Jayapura, Sabtu (29/01)mengatakan, APHI sangat menyesalkan tindakan pemerintah terhadap pemegang HPH yang dianggapsebagai sapi perahan, sementara nasib pengusahanya tidak diperhatikan.

Menurut Fernandez, setelah reformasi dan tuntutan kemerdekaan Papua digulirkan, masyarakat jugamenuntut hak ulayat. Pekan lalu masyarakat sekitar hutan di Jayapura menuntut PT. You Lim Sari Rp. 450milyar sebagai ganti rugi hak ulayat.

Sumber: Kutipan Kompas, 1 Februari 2000.

Kotak 2. Warga Muara Enim Menuntut Tanahnya Dikembalikan

Sejumlah warga Rambang Lubai, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan,menuntut PT. Musi HutanPersada (MHP) mengembalikan tanah seluas 12.050 hektare yang pernah mereka kuasai.

Selain itu, mereka juga menuntut PT. MHP sebesar Rp. 2,5 miliar sebagai ganti rugi atas kebun karet,karet campuran, dan tegalan atau ladang yang telah ditumbuhi tanaman tetapi dimusnahkan oleh pihakMHP. Bahkan akibat dari penguasaan tanah tersebut, warga juga menuntut ganti rugi sebesar Rp. 25 jutauntuk setiap hektar dan Rp.301,25 juta sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan berusaha di ataslahan tersebut.

Tuntutan yang dibacakan oleh seorang wakil warga Rambang Lubai, Junial Komar, merupakan perjuanganpanjang yang telah dilakukan selama sembilan tahun. Sejak tahun 1991, mereka telah melakukan 16 kalidemonstrasi. Bahkan katanya, demonstrasi yang pernah dilakukan warga Rambang Lubai ini adalahdemonstrasi yang terbesar di Sumatera Selatan. Demonstrasi yang belakangan ini, dilakukan di kantorGubernur Sumsel selama sembilan hari, terhitung sejak 16 Februari 2000 lalu dan di Dephutbun.

Sumber: Kutipan Kompas, 4 Maret 2000.

Kotak 3. Kalau Ada Order, Kami Siap Terobos...

Meski aparat keamanan sudah diterjunkan ke lapangan dan perintah tembak di tempat belum dicabut, aksipenjarahan dan pencurian kayu hutan, khususnya kayu jati (Tectona grandis) di wilayah Perhutani Unit IJawa Tengah hingga kini masih berlangsung. Dari 20 kesatuan pemangkuan hutan (KPH) yang ada di PerhutaniUnit I Jateng, yang dikategorikan paling parah terkena jarah adalah KPH Pati, Mantingan, Kebonharjo,Blora, Cepu, dan Rembang. Semua KPH itu sebagian besar berada di wilayah Karesidenan Pati yangterdiri dari Kabupaten Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora, ditambah sebagian kecil Kabupaten Bojonegorodan Ngawi (Jatim).

Dalam menjalankan aksinya, sebagian besar di antara mereka sudah dibekali peralatan mesin penebang,truk pengangkut (termasuk truk jenis tronton), peralatan komunikasi termasuk telepon genggam dari oknumyang terlibat dalam bisnis jual beli kayu jati. Di luar ”sektor” hutan jati yang dijarah, upah yang mereka terimapaling tinggi Rp 20.000 per hari. Itu pun harus bekerja keras sepanjang hari. Meski tindakan menjarah itudisadari melanggar hukum, hal itu tetap mereka lakukan. ”Banyak teman yang terlibat, namun kami tetaptenang-tenang saja,” tutur pemuda itu. Penampilan dan gaya kelompok pemuda seperti di Dukuhseti, jugadapat dijumpai di kawasan hutan wilayah KPH Pati, Rembang, Mantingan, Cepu dan Blora.

Hutan produksi Perhutani Unit I Jateng, tercatat seluas 604.519,47 hektare, yang berupa kayu jati, pinus,agatis, sonokeling, mahoni, mangrove, dan kayu putih. Khusus areal kayu jati mencapai luas 312.216,47hektar, yang sebagian besar berada di wilayah Karesidenan Pati dan mutunya amat baik. Bahkan beberaparatus pohon di antaranya termasuk langka dan sekarang masih tumbuh dengan subur di hutan lindung KPHCepu maupun Randublatung.

Sumber: Kutipan Kompas, 12 Juni 2000.

Page 21: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

11Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Berdasarkan frekuensi sebaran konflik secaranasional, 30% dari kasus konflik yang dilaporkanterjadi di Provinsi Kalimantan Timur (lihat Tabel 1).Konflik juga sering terjadi di Jawa Tengah (kasushutan jati di Perhutani) dan Sumatera Utara (kasusHPH).

Selanjutnya, Tabel 2 menggambarkan frekuensikonflik yang terjadi di sepuluh areal HPH, HTI dankawasan konservasi yang sering dimuat dalam mediamassa nasional.

Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah adalahperusahaan kehutanan yang paling sering dilaporkan

terlibat dalam konflik dengan masyarakat. Dikawasan ini, konflik yang paling banyak terjadiadalah pencurian kayu. Namun demikian, urutanfrekuensi yang menempatkan Perhutani Unit I sebagaikawasan yang paling sering mengalami konflik masihdipertanyakan. Ada banyak hal yang dapatdiperdebatkan dalam urutan peringkat frekuensikonflik ini. Utamanya karena sumber data yangdiperoleh berasal dari media massa yang relatif lebihmudah memperoleh akses karena Perum Perhutaniberada di Jawa. Terlepas dari hal ini, urutan peringkatfrekuensi konflik bermanfaat untuk memberikangambaran betapa pentingnya memperhatikan konfliksektor kehutanan dengan lebih serius.

Kotak 4. Di Balik Lebatnya Hutan Bali

Menikmati perjalanan dari Gilimanuk menuju Denpasar, mata kita disuguhi rimbun dan lebatnya pepohonanyang berada di sepanjang pinggiran jalan raya Gilimanuk itu. Namun, siapa mengira bahwa lebat danrimbunnya pepohonan itu adalah “tirai” yang menutupi sebagian lahan hutan yang mulai gundul.

Lapangnya lahan yang seharusnya menjadi kawasan hutan akan semakin jelas terlihat saat kita melewatijalur Taman Nasional Bali Barat (TNBB) dari Gilimanuk menuju Buleleng, melalui jalur Cekik-Seririt. Kondisiserupa juga terlihat di tempat lain yang memiliki kawasan hutan, seperti Kabupaten Bangli, KabupatenBadung dan beberapa kabupaten lainnya.

Hal itu diakui Kepala Sub Dinas Pembinaan dan Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan (Dishut) ProvinsiBali Nyoman Silanawa. Bahkan, diperkirakan sekitar 31.817, 75 hektare atau 25% dari luas keseluruhanhutan daratan di Bali, telah mengalami konversi lahan.

Perubahan fungsi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain perambahan kawasan hutan olehkelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di dekat hutan dan penggunaan kawasan hutan untukpembangunan di luar sektor kehutanan dan penebangan liar.

Kunjungan kerja komisi B DPRD Bali pada awal April lalu, menemukan beberapa jenis gangguan terhadapfungsi hutan lindung, terutama di Kabupaten Jembrana, antara lain pengolahan hutan lindung menjadi lahanproduksi dan pencurian kayu. Diperkirakan, dari sekitar 31.000 hektare luas hutan lindung di kabupatenJembrana, sekitar 3.100 hektare atau 10 persennya rusak akibat dirambah penduduk.

Menurut Kepala Dishut Kabupaten Jembrana, kerusakan hutan tersebut karena masyarakat di sekitarhutan lindung mengolah lahan hutan dengan menanam tanaman produksi, antara lain kopi, cokelat danpisang, Namun, ia menolak pendapat bahwa hutan lindung di wilayahnya sudah berubah fungsi.

Sumber: Kutipan Kompas, Rabu, 29 Mei 2002.

Kotak 5. Klaim Tanah dan Kayu Hambat Pengamanan Hutan

Klaim atas tanah dan kayu sering menjadi penghambat upaya penanganan keamanan hutan di LombokBarat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Akibatnya, terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap isi hutan yangmengarah ke terjadinya degradasi hutan. Hal itu dikatakan Kepala Dinas Kehutanan Lombok BaratSuhajatman Sutamin kepada pers di obyek wisata Suranadi, Lombok Barat, sekitar 13 km timur Mataram,Sabtu (20/4). Dia ditanya soal pengamanan hutan, keberadaan perusahaan penggergajian kayu danpemilikan gergaji mesin (chain saw), termasuk usulan masyarakat mensertifikatkan tanah yang tercatatsebagai areal hutan di Lombok Barat. Juga terdapat klaim atas kawasan hutan yang diusulkan menjadimilik publik, seperti kuburan dan sarana ibadah. Padahal, lokasi fasilitas itu puluhan tahun lalu hinggasekarang tercatat sebagai kawasan hutan, seperti di kawasan Hutan Lindung Sesaot (5.000 ha lebih). ”Ada147 lokasi yang diusulkan sertifikatnya,” kata Suhajatman.

Sumber: Kompas, 22 April 2002

Page 22: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

12 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Dari Tabel 2 juga dapat dipelajari bahwa konflikkehutanan di areal HTI dan kawasan taman nasionallebih banyak mendapat perhatian media massanasional kita. Dari sepuluh kawasan yang terbanyakmenjadi arena konflik, hanya satu HPH saja yangtermasuk ke dalamnya.

2.2. Potret konflik di KalimantanTimur (1997-2003)

Di Provinsi Kalimantan Timur tercatat 97 kasuskonflik yang dilaporkan oleh Kaltim Post selamaperiode penelitian. Sebaran frekuensi konflik pertahun di Kalimantan Timur dapat dilihat padaGambar 7.

Dari gambar tersebut terlihat kecenderungan

peningkatan frekuensi konflik dari tahun 1997sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2001,frekuensi konflik menurun sebesar 40%dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namundemikian pada tahun 2002 meningkat lagi dan bahkanlebih tinggi 20% dibandingkan dengan tahun 2000.Selanjutnya, frekuensi konflik cenderung meningkatkembali di tahun berikutnya11 .

Apabila dicermati dari beberapa uraian di atas, dapatdisimpulkan bahwa pola frekuensi konflik diKalimantan Timur hampir mirip dengan pola frekuensikonflik nasional per periode analisis. Frekuensi konflikmengalami peningkatan sangat nyata pada masaDesentralisasi (tahun 2000-2003). Di masa itu,konflik yang terjadi di areal HPH dan HTI palingbanyak dilaporkan di Kalimantan Timur. Sedangkan

Tabel 1. Frekuensi sebaran konflik berdasarkan provinsi (1997-2003)

Tabel 2. Sebaran konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi (1997-2003)

No. Nama HPH/HTI/ Jumlah Kategorikawasan lindung frekuensi kawasan

1. Perum Perhutani Unit I 41 HTI2. Perum Perhutani Unit III 20 HTI3. PT Inti Indorayon Utama 15 HTI4. PT Oceannias Timber Products 13 HPH5. PT Surya Hutani Jaya 12 HTI6. Perum Perhutani Unit II 12 HTI7. Taman Nasional Kutai 9 Kawasan konservasi8. Taman Nasional Kerinci Seblat 8 Kawasan konservasi9. PT Tanjung Redep Hutani 7 HTI

10. Taman Nasional Gunung Leuser 7 Kawasan konservasi

1 1 Data yang dicatat untuk tahun 2003 hanya sampai dengan bulan Juni, jadi angka total peristiwa konflik untuk tahun 2003belum lengkap.

No. Provinsi Frekuensi Persentase

1. Kalimantan Timur 109 302. Jawa Tengah 47 133. Sumatera Utara 36 104. Jawa Barat 25 75. Riau 19 56. Jambi 16 47. Jawa Timur 14 48. Sumatera Selatan 12 39. Nangroe Aceh Darussalam 10 3

10. Kalimantan Tengah 10 311. Provinsi lainnya 61 17

Total 359 100

Page 23: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

13Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

pada masa Orde Baru dan masa Transisi, konflik diareal HPH tidak sebanyak yang terjadi di areal HTIdan kawasan konservasi. Proporsi konflik kehutanandi Kalimantan Timur yang terjadi di areal HPH, HTIdan kawasan konservasi dari tahun 1997 – 2003 dapatdilihat pada Gambar 8.

Berbeda dengan kasus konflik di tingkat nasional,di Kalimantan Timur frekuensi konflik di areal HTImerupakan yang terendah dibandingkan denganHPH dan kawasan konservasi. Frekuensi konflik diareal HTI hanya sekitar seperlimanya saja darikeseluruhan konflik kehutanan yang terjadi diKalimantan Timur. Sementara itu, areal HPH dankawasan konservasi menjadi arena yangmendominasi konflik kehutanan, dengan frekuensimasing-masing lebih kurang 40%.

Dari sisi penyebab konflik, seperti halnya yangterjadi di tingkat nasional, paling sedikit ada limafaktor utama penyebab konflik kehutanan di

Kalimantan Timur, yaitu: tata batas, perambahanhutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan(termasuk pencemaran)12 , dan alih fungsi atauperubahan status kawasan.

Dari kelima faktor tersebut, lebih dari separuh jumlah(68%) konflik yang sering terjadi di Kalimantan Timurdisebabkan karena masalah tata batas. Tumpangtindih penggunaan lahan akibat ketidakjelasan tatabatas merupakan pemicu konflik sebagaimana yangjuga ditunjukkan di tingkat nasional. Masalah tatabatas juga telah menjadi penyebab konflik di setiapkawasan, sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 10.

Sementara itu, di kawasan konservasi perambahanmerupakan salah satu penyebab utama konflik, seperticontoh kasus yang ditunjukkan pada Kotak 6.

Pencurian kayu tidak dilaporkan terjadi di areal HTIdi Kalimantan Timur, namun cukup bermasalah untukHPH dan kawasan konservasi. Sementara itu,

1 2 Lihat 1.4. Batasan konsep (1.4.3. Penyebab konflik) halaman 3.

Gambar 7. Frekuensi konflik sektor kehutanan di Kalimantan Timur (1997-2003)

74

14

20

12

24

16

1997 1998 1999 2000 2001 2002Juni2003

KK40%

HPH42%

HTI18%

Gambar 8. Persentase konflik di areal HPH, HTIdan kawasan konservasi (1997-2003) diKalimantan Timur

Gambar 9. Faktor penyebab konflik diKalimantan Timur

Pencuriankayu8%

Pengrusakanlingkungan

3%

Perambahanhutan20%

Tata batas68%

Alih fungsi1%

Page 24: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

14 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

perusakan lingkungan seperti pencemaran dankerusakan lahan pertanian masyarakat walaupunporsinya kecil, merupakan salah satu penyebabterjadinya konflik di areal HPH. Tidak ada artikelyang memberitakan adanya perusakan lingkungan diareal HTI dan kawasan konservasi yang kemudianmenjadi faktor penyebab konflik.

Tabel 3 mendeskripsikan sepuluh kawasan denganfrekuensi konflik terbanyak yang terjadi di arealHPH, HTI dan kawasan konservasi di KalimantanTimur. Sangat mengejutkan bahwa ternyata TamanNasional Kutai menempati urutan teratas. Selain itu,

konflik di kawasan HPH juga sangat dominan; duadi antaranya terjadi di PT Inhutani I dan IntracaWood.

Taman Nasional Kutai merupakan kawasan yangpaling sering diberitakan terlibat konflik oleh koranlokal. Kejadian konflik yang paling sering dilaporkandari lokasi ini adalah perambahan hutan yangdilakukan oleh masyarakat. Penyebabnya antara lainadalah pembatasan akses masyarakat dalampemanfaatan sumber daya hutan, sementaramasyarakat sendiri telah bertempat tinggal lama dikawasan ini. Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa

Gambar 10. Faktor penyebab konflik di HPH, HTI dan kawasan lindung di Kalimantan Timur

0

5

10

15

20

25

30

35

40

HPH HTI KK

Tata batasPencurian KayuAlih fungsi

Perambahan HutanPerusakan Lingkungan

Kotak 6. Perkembangan Konflik Lahan di wilayah Taman Nasional Kutai

Ratusan atau bahkan mungkin ribuan hektare hutan di sepanjang jalan Bontang-Sangatta ditebangi dandibakar oleh warga dari Sangatta Lama. Hal ini sebagai reaksi atas pernyataan dari Kantor KecamatanSangatta bahwa area tersebut akan dikeluarkan dari wilayah pengelolaan Taman Nasional Kutai (TNK).Kepala Balai TNK, Warsito, menyatakan bahwa perkembangan ini membahayakan negosiasi antara pihakpengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah mengenai status dan batas-batas desa di dalamwilayah TNK.

Sumber: Manuntung, 12 Oktober 1996

Proyek pemerintah 1996/1997 untuk pemindahan 1750 orang (350 KK) dari areal TNK ke Talisayan diKabupaten Berau terhenti pada 150 KK petani lokal yang tidak mau dipindahkan.

Sumber: Manuntung, 4 Juli 1997

Wilayah TNK yang sudah dienclave untuk Desa Sangatta Selatan dan Teluk Pandan meningkat menjadi24.000 hektare. Pada awalnya luas enclave ini hanya 15.000 hektare. Hal ini disebabkan oleh meningkatnyapopulasi dan kurangnya daya dukung lahan untuk menampung populasi ini. Tim enclave yang terdiri dariinstansi pemerintah terkait, perwakilan desa, LSM dan pihak ketiga ini memulai pembuatan enclave untukdesa-desa tersebut pada bulan Maret 2000.

Sumber: Manuntung, 20 Juni 2001

Page 25: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

15Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

pendatang baru yang kemudian bermukim juga ikutmerambah hutan di sekitar kawasan ini.

2.3. Diskusi

2.3.1. Pola Sebaran Frekuensi KonflikFrekuensi konflik kehutanan yang terjadi sejak tahun1997 sampai dengan bulan Juni 2003 di tingkatnasional dan provinsi (Kalimantan Timur) dapatdicermati dari Gambar 11.

Terdapat perbedaan yang menonjol dari kedua polatersebut. Di tingkat nasional, konflik mencapaipuncaknya pada tahun 2000; sementara di provinsi(Kalimantan Timur) konflik mengalami dua puncakyaitu pada tahun 2000 dan 2002. Perlu diingat bahwapada tahun 2003, data yang tercatat hanya sampaidengan bulan Juni 2003. Masih terdapat

kemungkinan bahwa konflik yang terjadi pada tahun2003 lebih banyak daripada yang disajikan dalamgrafik di atas.

Khusus untuk konflik di tingkat nasional, timbulpertanyaan mengapa pada tahun 2000 jumlah konflikmengalami loncatan yang sangat tajam? Berdasarkaninformasi dari kumpulan artikel media massa, padatahun 2000 berbagai tuntutan ganti rugi bermunculandari masyarakat terhadap perusahaan HPH. Selainitu, berdasarkan asumsi tahun 2000 merupakanpuncak masa Transisi dan munculnya “eforiareformasi”, yang mendorong beberapa kelompokmasyarakat untuk mengambil kesempatan atasketidakjelasan peraturan dan kewenangan yang ada.

Seperti telah dijelaskan, paling sedikit ada limapenyebab konflik di tingkat nasional (lihat Gambar`5).

Tabel 3.Sebaran konflik di HPH, HTI dan kawasan konservasi diKalimantan Timur (1997-2003)

Gambar 11. Pola frekuensi konflik per tahun

0

30

60

90

120

150

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Jum

lah

Ko

nfl

ik

Provinsi Nasional

Sumber: Database CIFOR-FWI

No. Nama HPH/HTI/ Frekuensi Kategorikawasan lindung konflik kawasan

1. Taman Nasional Kutai 25 Kawasan konservasi2. PT Inhutani I 9 HPH3. Taman Hutan Rakyat Bukit

Soeharto 5 Kawasan konservasi4. Intracawood 4 HPH5. PT Tunggal Yudi Hutani 3 HTI6. PT ITCI Kartika Utama 3 HPH7. PT Inhutani II 3 HPH8. Cagar Alam Teluk Apar 3 Kawasan konservasi9. Hutan Lindung Sungai Wain 3 Kawasan konservasi

10. PT Sumalindo 2 HPH

Page 26: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

16 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Isu kompensasi sering muncul antara lain karenamasyarakat menuntut ganti rugi atau kompensasi ataslahan pertanian, tanah adat, kerusakan lingkungan(pencemaran), dan karena pembatasan aksesmasyarakat oleh perusahaan HPH. Pada tahun 2000,masyarakat mulai berani menuntut hak merekakepada perusahaan-perusahaan HPH dan HTI yangsering berujung pada pertikaian. Apabila tuntutanganti rugi ini tidak dipenuhi oleh perusahaan, makamasyarakat akan memberikan perlawanan terhadappihak perusahaan. Dalam beberapa kasus,masyarakat secara paksa menutup kegiatanperusahaan dengan memblokir jalan atau jembatan.Tidak jarang mereka menyurati Menteri Kehutanandan instansi terkait untuk menuntut pencabutanHPH tersebut. Hal ini sangat mirip dengan apa yangdilaporkan oleh Rhee (2000), Yasmi (2002; 2003),Anau (2002) dalam studi mereka mengenai tuntutanganti rugi atau kompensasi yang semakin seringbermunculan dari pihak masyarakat. Penelitian inijuga memperkuat temuan mereka dan dapatdikatakan bahwa isu ganti rugi dan kompensasisangat sering ditemukan dalam konflik kehutanan.

Tuntutan ganti rugi ini tidak bisa dilepaskan darifaktor sejarah. Di masa lampau banyak perusahaanHPH atau perusahaan kayu yang mengabaikankepentingan masyarakat (Wenban-Smith, 2001).Perusahaan sering menggunakan tindak kekerasandalam menghadapi masyarakat lokal dan tidak jarangpula dengan melibatkan kekuatan militer (Anau,2001). Hal-hal seperti ini telah menimbulkankebencian masyarakat dan menumpuk selamabertahun-tahun. Kebebasan yang tersedia dalam masareformasi memberi mereka kesempatan untukmengajukan tuntutan-tuntutan atas hak mereka yangtelah hilang selama bertahun-tahun.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapakonflik kehutanan di masa Desentralisasi cenderungmeningkat tajam? Ada beberapa faktor yang dapatdikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Salah satufaktor utama adalah bahwa Desentralisasi telahmembuka peluang bagi banyak pihak untuk terlibatdalam pengelolaan hutan. Kemudian, PemerintahDaerah yang kini menjadi salah satu pemangkukepentingan (stakeholder) kunci dalam pengelolaanhutan belum siap dan mampu untuk mengelolahutannya dengan baik. Sementara itu, munculkesadaran dari stakeholder untuk mendapatkan hak-

hak mereka. Misalnya, masyarakat lokal yang selamaini telah dikesampingkan oleh pemerintah tiba-tibasadar akan hak-haknya. Di masa Desentralisasi, LSMjuga semakin aktif memberdayakan masyarakat lokaldan menuntut keadilan bagi mereka. Sudah tentuperbedaan kepentingan dari berbagai pihak itu ikutmenjadi faktor yang memicu timbulnya konflikkehutanan.

Pertanyaan lainnya adalah apakah mungkinpeningkatan frekuensi konflik secara drastis yangterjadi pada tahun 2000 ini ada kaitannya denganperkembangan atau perubahan politik yang terjadipada masa itu? Jawabannya bisa “ya” tetapi juga bisa“tidak”, bergantung dari sudut mana kita melihatpermasalahan ini. Dari perubahan politik yangterjadi, tidak dapat disangkal bahwa sebelum tahun1998 terdapat tekanan-tekanan terhadap media massanasional, sehingga isu-isu sensitif seperti konfliksemacam ini tidak dapat dilaporkan secara terbuka.Pada saat itu, pemerintahan Soeharto secarasistematis mengendalikan berita untuk kepentingankelompoknya. Karena perusahaan besar seperti HPHdan HTI sebagian besar dimiliki oleh kroni-kroni(baca: orang dekat) Soeharto, maka kemungkinanberita-berita mengenai konflik kehutanan akandisaring terlebih dahulu. Kemungkinan lain konflikyang terjadi pada masa itu belum terlalu banyak yangmuncul ke permukaan karena masyarakat masihtakut. Selain itu, penanganan konflik lebih banyakdiselesaikan dengan menggunakan pendekatankeamanan atau militer.

Reformasi yang bergulir sejak jatuhnya Soeharto padabulan Mei 1998 belum banyak mengubah wajahmedia massa nasional. Pada masa pemerintahanHabibie (1998-1999), masyarakat pers Indonesia jugabelum melaporkan berita-berita konflik kehutanansecara bebas dan terbuka. Tekanan-tekanan dari pihakpemerintah dan kekuatan militer masih dirasakandominan pada masa itu. Walaupun tahun 1999terjadi loncatan frekuensi konflik sebanyak empatkali lipat, jumlahnya masih jauh lebih rendahdibandingkan dengan yang diberitakan pada tahunberikutnya (tahun 2000). Ada kemungkinan jugabahwa konflik laten yang selama ini terpendam belumsemuanya muncul ke permukaan. Barulah pada masapemerintahan Abdurrahman Wahid (2000-2001) persIndonesia mulai merasakan kebebasan untukmemberitakan hal-hal yang dulu dianggap tabu.

Page 27: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

17Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Kembali kepada pertanyaan awal mengapa lonjakankonflik di tahun 2000 terjadi dengan sangat tajam?Apakah mungkin ada hubungannya dengankebebasan pers yang selalu dikemukakan olehAbdurrahman Wahid, atau memang pada tahun 2000konflik kehutanan merupakan berita sensasionalyang laku dijual? Asumsi yang pertama mungkin adabenarnya, karena terbukti pada tahun tersebutjumlah konflik yang dilaporkan sangat banyak.Asumsi itu mungkin juga benar karena denganjatuhnya Abdurrahman Wahid, artikel media massatentang konflik juga mengalami penurunan secaradrastis. Pada tahun 2001 jumlah konflik yang tercatatdi media nasional hanya 45 kasus. Kemudian munculpertanyaan, apakah penurunan ini merupakansebuah kebetulan saja atau justru karena kebebasanpers yang kembali mengalami tekanan di masapemerintahan Megawati? Suatu pertanyaan yang sulituntuk dijawab!

Mengaitkan frekuensi konflik dengan kebebasan persdapat dikatakan terlalu menyederhanakanpermasalahan. Ungkapan ini mungkin benar. Namundemikian, karena sumber utama data penelitian iniadalah artikel media massa, maka hubungankebebasan pers dengan frekuensi konflik mungkinjuga ada kaitannya.

Apabila diperhatikan lebih jauh, ternyata adakemiripan antara pola frekuensi konflik tingkatnasional dengan tingkat provinsi (Kalimantan Timur).Yang paling jelas adalah kecenderungan peningkatanfrekuensi konflik di masa Desentralisasi. Hanya saja,loncatan frekuensi konflik untuk tingkat nasional jauhlebih besar dibandingkan dengan yang terjadi diKalimantan Timur. Hal ini sangat dipengaruhi olehsebaran konflik per tahun seperti yang telahdisinggung sebelumnya.

2.3.2. Faktor Penyebab KonflikSebab-sebab atau faktor dan latar belakang yangmemicu terjadinya konflik sangat penting untukdipahami guna menyiapkan langkah-langkah yangbisa diambil untuk menyelesaikannya. Dari databaseyang dikembangkan untuk tingkat provinsi, adaempat penyebab utama terjadinya konflik, yaitu tatabatas/akses, perambahan hutan, pencurian kayu danperusakan lingkungan. Sedangkan untuk tingkatnasional ada lima penyebab utama konflik. Empatdi antaranya sama dengan penyebab konflik di

tingkat provinsi (Kalimantan Timur); dan yangkelima adalah masalah alih fungsi suatu kawasanhutan.

Ketidakjelasan tata batas antara areal perusahaanHPH dan HTI atau kawasan hutan lindung denganlahan masyarakat yang hidup di sekitar hutan perlumendapatkan perhatian serius, terutama dari pihakpemerintah. Permasalahan tata batas dan aksesbukanlah hal yang baru di dunia kehutanan. Hal initelah banyak diungkapkan oleh para penelititerdahulu (lihat Anau, 2002; Orstom, 1999;Moeliono dan Fisher, 2003; Suporahardjo danWodicka, 2003).

Pertanyaan selanjutnya yang cukup relevan adalahbatas yang mana yang perlu dipatuhi? Apakah batasyang ditetapkan oleh pihak pemerintah atau batas-batas yang diakui oleh masyarakat lokal, yang seringtumpang tindih dengan klaim pemerintah? Masalahtata batas ini akan terus mengemuka apabila tidakada solusi yang tepat. Untuk mencapai kesepakatantentang tata batas memang tidak mudah, tetapi perludipikirkan jalan keluar untuk menyelesaikan konfliktata batas di kawasan kehutanan. Ketidakjelasan tatabatas tanah adat ini sering dimanfaatkan olehsebagian masyarakat untuk mengklaim lahan denganluas yang tidak masuk akal.

Implementasi desentralisasi ternyata telah ikut sertamenambah rumit permasalahan dan memicu konflikbaru, karena pengaruh pimpinan pemerintah daerah,seperti Bupati, semakin kuat. Dalam banyak kasus,Bupati sering membuat kebijakan-kebijakan yangbertentangan dengan kebijakan yang telah dibuatoleh Pemerintah Pusat, seperti pemberian izin-izinpemungutan dan pemanfaatan hasil hutan kayu(IPPH). Akibatnya areal perusahaan HPH atau HTIyang sudah tumpang tindih dengan lahan milikmasyarakat atau tanah adat harus tumpang tindihpula dengan areal IPPH.

Konflik lainnya berkaitan dengan masalahperambahan dan pencurian kayu akibat cara pandangyang berbeda mengenai tata batas kawasan. Pihakpemerintah berpegang pada tata batas yang menurutmasyarakat lokal ditetapkan secara sepihak.Sementara masyarakat lokal berpegang pada tatabatas mereka sendiri berdasarkan adat dan sejarah.Akibatnya arti perambahan dan pencurian kayu

Page 28: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

18 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

ditafsirkan secara berlainan oleh kedua belah pihak.Karena itulah masyarakat lokal tidak merasamerambah taman nasional. Mereka juga tidak pernahmerasa mencuri kayu karena dari sudut pandangmereka wilayah yang mereka buka atau kayu yangmereka ambil berada di dalam wilayah adat atauwilayah pengelolaannya. Perbedaan persepsi inilahyang sering menimbulkan konflik.

Namun demikian, perlu diakui bahwa terdapatoknum atau kelompok yang secara terorganisirmelakukan pencurian kayu secara besar-besaran dihutan lindung dan taman nasional. Hal ini sudahbanyak diungkapkan dan bukan menjadi rahasia lagi.Dalam beberapa kasus, pencurian ini dilindungi olehoknum militer atau bahkan oleh oknum pengelolataman nasional sendiri. Pemberantasan pencuriankayu memerlukan penegakan aturan hukum yang

menyeluruh, kemauan politis yang kuat, dantindakan yang tegas dari para pejabat pemerintah.

Sebagaimana telah banyak dikemukakan oleh parapeneliti lain, tidak ada satu pun resep mujarab yangbisa menyelesaikan semua konflik kehutanan. Salahsatu upaya yang bisa dilakukan adalah membukaruang-ruang dialog antara berbagai pihak yangberkepentingan sehingga konflik bisa dijadikansebagai wacana pembelajaran bersama. Isu-isukepemilikan lahan sudah sepatutnya diangkat sebagaipokok dialog, dan tidak perlu dihindari atau ditakuti.Dalam hal ini, Pemerintah Pusat maupun PemerintahDaerah dituntut untuk dapat berperan sebagaifasilitator dan membuka diri dalam menanggulangiberbagai konflik. Upaya-upaya persuasif perlu terus-menerus ditempuh dan kehadiran mediator mungkindiperlukan, sesuai dengan tingkat konflik yang ada.

Kotak 7. Penjarah Taman Nasional Kutai Diancam Hukuman Denda 5 M; Keterlaluan, Mantan TNI IkutMenjarah TNK

Sangatta – Delapan tersangka, dua diantaranya sebagai penadah kayu curian di Taman Nasional Kutai(TNK) bakal dijerat UU no. 41 tahun 1999 yang mengancam perusak hutan lindung itu dengan denda Rp. 5miliar dan kurungan badan maksimal 10 tahun penjara.

Hal itu ditegaskan Kapolsektif Sangatta AKP Yustan SIK kepada Kaltim Pos. Menurut Yustan, operasibersama Polsektif Sangatta dengan Polsus BTNK ini merupakan upaya mengamankan TNK dari tangan-tangan jahil yang mengobok-obok TNK. “Kami akan terus mangadakan operasi secara mendadak, danmereka yang tertangkap akan kita proses sampai tuntas tanpa ada ampunan,” tegas Yustan yang mengakujengkel dengan terus dijarahnya TNK itu.

Keenam tersangka dan dua penadah, yakni Suriansyah dan Ardiansyah, warga Gang Beringin, TelukLingga, Sangatta Utara yang mengaku disuruh Cambang Habi diamankan bersama barang bukti berupasebuah chainsaw dan kayu bantalan yang belum berhasil diangkat dari TKP.

Tersangka lainnya, Ramang dan Oca, warga kilometer 5 Sangatta-Bontang yang mengaku disuruhLamanda, warga Masabang dengan barang bukti satu chainsaw. Dan yang lainnya adalah Ahmad Santosoyang disebut-sebut sebagai mantan anggota TNI diduga sebagai penadah kayu haram tersebut. Daritangannya disita truk sewaan berikut 4 potong kayu bantalan.

Sumber: Kaltim Post, 3 Juli 2002

Page 29: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

3.1. Kasus HPH PT. KodecoTimber, Kalimantan Selatan

Kasus ini menggambarkan konflik antara PT. KodecoTimber dengan masyarakat di Kecamatan Hampang,Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.Wilayah desa ternyata bertumpang tindih denganareal rencana kerja PT. Kodeco. Masyarakat yangtinggal di daerah ini merupakan bagian darimasyarakat Dayak Meratus yang tinggal di sekitarkawasan Pegunungan Meratus.

3.1.1. Gambaran Umum Wilayah PenelitianHPH PT. Kodeco Timber terletak di sekitar wilayahPegunungan Meratus yang merupakan satu-satunyakawasan hutan perawan yang masih tersisa di ProvinsiKalimantan Selatan. Pegunungan Meratusmembentang dari arah tenggara ke sebelah utarasampai ke perbatasan Provinsi Kalimantan Timur.Posisinya membelah wilayah Kalimantan Selatanmenjadi dua bagian, sebelah barat dan sebelah timur.Berdasarkan letak geografis, kawasan PegununganMeratus terletak di antara 115o38’00” dan 115o 52’00” Bujur Timur, dan 22o 28’ 00” dan 20o 54’ 00”

Lintang Selatan, dan meliputi tujuh wilayahkabupaten.

Kawasan Pegunungan Meratus tidak bisa dilepaskandari sejarah panjang kehidupan masyarakat asliDayak Meratus, yang mendiami kawasan ini secaraturun temurun. Di kawasan ini tinggal puluhan ribujiwa masyarakat Dayak Meratus yang hidupmengelompok dan terbagi dalam kesatuan hukumadat terkecil atau yang dikenal dengan ‘balai adat’(FWI dan LPMA, 2002). Mayoritas pendudukberagama Hindu Kaharingan, dengan adat-istiadatnyayang berkaitan dengan upacara-upacara keagamaan.Dari hasil pengamatan lapangan, keterbatasan tingkatpendapatan penduduk menyebabkan mereka tidakmampu membangun tempat tinggal yang layak dansarana prasarana desa, termasuk sarana pendidikan.

Hutan merupakan sumber kehidupan bagimasyarakat Dayak Meratus. Pemanfaatannya dikelolasecara bersama-sama, yang diatur berdasarkan aturan

Studi KasusKonflik Kehutanan 3

Gambar 12. Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Kodeco Timber

Page 30: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

20 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

adat mereka sendiri. Mereka berpandangan bahwahutan merupakan tabungan masa depan untuk anak-cucu mereka, sehingga ‘wajib’ dijaga kelangsunganpemanfaatannya. Masyarakat desa pada umumnyamempunyai mata pencaharian dengan cara bahuma(berladang) sistem gilir balik, berkebun kayu manis,manyuar (berburu), mengambil hasil hutan, mendulangemas di Sungai Sampanahan dan sungai-sungai laindi sekitar desa, serta membuat anyaman dari rotan.

Keberadaan hutan di kawasan Pegunungan Meratussaat ini terancam musnah akibat kegiatan berbagaiperusahaan HPH, para penebang liar dan jugapenambang liar. Selain itu, kelestarian PegununganMeratus juga menghadapi ancaman dari perusahaanpertambangan asing skala besar yang diketahuireputasinya kurang baik. Perusahaan tersebut adalahPT. Meratus Sumber Mas (MSM) dan PT. PelsartTambang Kencana (PTK). Keduanya merupakan grupPelsart Resources NL (Australia) yang bergerak dibidang pertambangan emas dan telah menjalinkerjasama dengan perusahaan pertambangan emasasal Kanada, Placer Dome Inc. (FWI-LPMA, 2002).

Studi kasus ini difokuskan pada dua desa yang beradadi sekitar Pegunungan Meratus, yaitu Desa Hampangdan Desa Pramasan 2x9, Kecamatan Hampang,Kabupaten Kotabaru. Di desa ini terdapat LembagaPemasyarakatan Masyarakat Adat (LPMA), yang fokuskegiatannya melakukan pendampingan masyarakatmelalui kegiatan pelatihan, penguatan kelembagaandan peningkatan kesejahteraan masyarakat DayakMeratus. Mereka banyak mengetahui pokok-pokoksengketa antara PT. Kodeco dan masyarakat yangberada di wilayah kerja perusahaan selama ini.

3.1.2. Sejarah KonflikPerusahaan HPH PT. Kodeco Timber mulaiberoperasi di Kecamatan Hampang sekitar tahun1971, dan memperoleh perpanjangan izin konsesipada tahun1982. Selama kurun waktu tersebut,masyarakat di sekitar hutan menganggap perhatianperusahaan kepada mereka sangat kurang, yangterlihat dari sangat minimnya bantuan yang diberikanPT. Kodeco Timber untuk pembangunan desa danpeningkatan kesejahteraan masyarakat.

Peristiwa-peristiwa yang memicu terjadinya konflikantara masyarakat Adat Dayak Meratus dengan PT.Kodeco Timber sebenarnya sudah sejak lama terjadi,

namun tidak langsung memunculkan konflik kepermukaan. Pada tahun 1982, misalnya, PT. KodecoTimber membangun gedung sekolah dasar untuk anak-anak karyawan perusahaan, dan tidak mengizinkanmasyarakat lokal untuk bersekolah di sana.Permasalahan ini pernah disampaikan masyarakatkepada Bupati Kotabaru, tetapi kurang mendapattanggapan dari Pemerintah Daerah. Baru setelah enamtahun kemudian, yaitu pada tahun 1988, masyarakatlokal diperbolehkan untuk ikut memanfaatkan saranapendidikan tersebut.

Sejak saat itu tidak pernah lagi terjadi persengketaansampai setelah masa Reformasi pada tahun 2001.Kesempatan inilah yang kemudian memunculkankonflik ini ke permukaan. Persengketaan diawali olehkegiatan penebangan yang dilakukan PT. KodecoTimber, yang menurut pandangan masyarakat beradadi luar blok yang telah ditetapkan. Sebagian bloktebangan tersebut merupakan lahan yang dikelolamasyarakat di sekitar Baung, Desa Pramasan 2x9.Karena kegiatan penebangan, sebagian besar kebunmasyarakat tergusur serta pohon-pohon yang adaditebang. Masyarakat juga menganggap bahwa PT.Kodeco Timber telah merusak hutan keramat dan telahmengambil hak wilayah hutan adat secara semena-mena. Masyarakat yang lahannya telah diambil olehperusahaan melaporkan kepada Kepala Desa, tetapikarena merasa tidak mempunyai kekuatan untukmelawan, aparat desa tidak bertindak apa-apa ketikaitu. Akhirnya masyarakat melaporkan masalah inikepada Lembaga Musyawarah Masyarakat DayakKecamatan Hampang (LMMD-KH), yang kemudianmenindaklanjuti tuntutan masyarakat kepada pihakperusahaan.

Namun masyarakat menganggap pihak perusahaantidak memberikan perhatian yang cukup terhadapmasalah ini, sehingga masyarakat desa menjadimarah. Pada bulan Februari 2001, 24 orang anggotamasyarakat yang tergabung dalam “pasukan khusus”LMMD-KH mendatangi base-camp PT. KodecoTimber menuntut agar perusahaan memberikanbantuan kepada masyarakat berupa sarana danprasarana pendidikan, sarana keagamaan, budidayatanaman pangan, kegiatan penghijauan sertapemberian kesempatan kerja kepada masyarakat lokal.Masyarakat menuntut sarana pendidikan karenasekolah yang telah dibangun perusahaan lokasinya sulitdijangkau masyarakat desa. Masyarakat juga

Page 31: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

21Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

menganggap tuntutan tersebut seharusnya merupakansalah satu kewajiban perusahaan dalam melaksanakanprogram Pembinaan Masyarakat Desa Hutan(PMDH).

Kemudian karena tidak ada kesepakatan denganpihak perusahaan, pada bulan Maret 2002masyarakat kembali melakukan tuntutan yang sama.Demonstrasi ini melibatkan 40 orang warga dandikoordinasi oleh Pembakal (Kepala Desa) Pramasan2x9. Masyarakat melakukan pemblokiran jalanperusahaan selama satu minggu, yang menyebabkankegiatan produksi perusahaan terhenti. Untukmeredam amarah masyarakat desa, maka keduabelah pihak membuat kesepakatan bersama.

Setelah beberapa kali merevisi surat kesepakatan,akhirnya pada tanggal 6 Maret 2002, suratkesepakatan tersebut ditandatangani bersama olehpihak perusahaan, LMMD-KH sebagai perwakilanmasyarakat dan beberapa saksi dari berbagai instansiterkait. Tuntutan ini direalisasi berupa pembangunantiga unit ruangan kelas untuk Sekolah Dasar di DesaPramasan 2x9 dari enam unit yang dimintamasyarakat, serta bantuan untuk merenovasi gedungbalai adat. Sampai saat ini, walaupun saranapendidikan telah dibangun, kegiatan pendidikanbelum dapat berjalan sebagaimana mestinya, karenapihak perusahaan belum merealisasikan pengadaantenaga guru dan honor bagi tenaga pengajar tersebut.

Selain peristiwa tersebut, pernah terjadi dua kalikonflik antara penduduk desa dengan karyawan PT.Kodeco Timber. Menurut masyarakat, kedua konflikini dipicu oleh kesombongan salah seorang karyawanPT. Kodeco Timber terhadap warga desa yang pada

saat itu meminta bantuan mereka. Akibatnya terjadipemukulan terhadap karyawan perusahaan. Konflikyang pertama, terjadi di Sekatak, Desa Muara Napuh,pada tahun 2001, dan yang kedua di Desa Hampangpada tahun 2002 (lihat Kotak 8).

Selain konflik vertikal antara perusahaan denganmasyarakat, dorongan untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan juga telah memicu konflik horizontalantara masyarakat lokal dan pendatang. Pada tahun2002, konflik antara masyarakat lokal dan masyarakatpendatang (penebang kayu) juga pernah terjadi.Konflik ini mengakibatkan bentrokan fisik sertaperusakan terhadap fasilitas umum yang ada.Penanganan yang dilakukan oleh Pemda setempatketika itu adalah dengan menurunkan pasukanBrimob untuk meredakan bentrokan yang terjadidan mendamaikan kedua pihak yang bertikai.

Selanjutnya, berdasarkan informasi di lapangan,selain PT. Kodeco Timber, terdapat sebuahperusahaan IPHHK (Izin Pemanfaatan Hasil Hutanberupa Kayu) yang beroperasi di sekitar Desa MuaraUrie, Kecamatan Hampang dan KecamatanKelumpang Hulu. Perusahaan ini dimiliki oleh 25orang masyarakat Batulicin, yang memiliki izin ataswilayah seluas ±2.500 ha, yang berada di bekas arealkonsesi sebuah perusahaan HPH. Ternyata,perusahaan IPHHK ini juga melakukan perusakanterhadap wilayah hutan adat sehingga kemudianmasyarakat melakukan penyitaan terhadap kayu milikperusahaan tersebut.

Konflik-konflik vertikal dan horizontal tersebut telahmenyebabkan Pegunungan Meratus mengalamiancaman kerusakan hutan yang cukup besar karena

Kotak 8. Pemukulan Terhadap Karyawan PT. Kodeco

Pada tahun 2002 dua orang penduduk Desa Hampang menebang kayu ulin di areal RKT PT. Kodeco Timber.Mereka meminta bantuan perusahaan untuk menarik kayu tersebut dengan alat berat yang sedang beroperasi,dengan janji memberikan upah sekedarnya kepada sopir alat berat tersebut. Akan tetapi salah satu karyawanperusahaan melarang dan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor. Akibatnya terjadi pemukulan oleh salahseorang penduduk desa. Kemudian pihak perusahaan melaporkan kepada Kapolres Kotabaru dan memintabantuan untuk melakukan penangkapan terhadap dua penduduk desa yang melakukan pemukulan. Namunniat kepolisian dihalangi masyarakat dengan alasan salah satu karyawan perusahaan telah melakukanpenghinaan. Akhirnya kasus tersebut diselesaikan secara damai.

Sebelumnya, pada tahun 2001 pernah juga terjadi peristiwa serupa. Ketika itu warga masyarakat akanmelakukan penebangan di areal RKT PT. Kodeco yang kemudian dilarang oleh karyawan perusahaan. Akhirnyawarga tersebut melakukan pemukulan terhadap karyawan perusahaan tersebut

Sumber: Hasil Wawancara Tim Studi CIFOR-FWI, 2003.

Page 32: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

22 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

berbagai kegiatan pemungutan kayu. Selain oleh PT.Kodeco Timber, pemungutan kayu juga dilakukanmelalui kegiatan IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) danIPHHK yang beroperasi sejak tahun 2002.

3.1.3. Persepsi Pihak-pihak yang TerlibatPihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflikadalah perusahaan dan masyarakat Adat DayakMeratus, sedangkan pihak-pihak lain yangberkepentingan adalah LPMA dan Pemerintah Daerah(Pemda). Informasi mengenai persepsi masyarakatbanyak juga didapat dari beberapa tokoh masyarakatyang merupakan pengurus LMMD-KH. Lembaga iniberdiri pada tahun 2002, dengan tujuan untukmenjadi mediator bagi masyarakat gunamenyampaikan aspirasi dan keinginannya kepadaperusahaan maupun Pemda setempat.

A. PT. Kodeco TimberPada pelaksanaan kegiatan, tim studi tidak berhasilmendapatkan informasi dari pihak perusahaan. PT.Kodeco Timber belum dapat menyediakan narasumber yang dapat diwawancarai ketika tim studimengunjungi base-camp di Kecamatan Hampang ataudi kantor perwakilan di Banjarmasin. Tim studi puntelah berusaha melakukan kontak melalui telepon kekantor perusahaan di Batulicin dan kantor perwakilandi Banjarmasin, serta menyusun kuesioner untuk diisioleh pihak perusahaan yang disampaikan melalui posudara maupun dikirim langsung melalui faxsimile.Tetapi sampai tulisan ini dibuat, tim studi belummendapatkan tanggapan dari pihak perusahaan.

B. MasyarakatPersepsi masyarakat diperoleh dengan mewawancaraibeberapa pemuka masyarakat di Desa Hampang danDesa Pramasan 2x9, yang terdiri dari kepala desa,tiga tokoh masyarakat lain, dan satu orang wargamasyarakat.

Menurut keterangan masyarakat, pada dasarnyakonflik yang terjadi antara masyarakat denganperusahaan disebabkan kurangnya kontribusiperusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya.Kehadiran perusahaan juga dianggap lebih banyakmerugikan karena penyerobotan terhadap lahanmasyarakat sering terjadi. Satu-satunya manfaat yangdirasakan oleh masyarakat selama ini hanyalahpembukaan jalan yang melintasi wilayah desa. Jalanini merupakan jalan sarad untuk mengangkut kayu

milik perusahaan, dan sekarang dapat dimanfaatkanuntuk melakukan aktivitas masyarakat sehari-hari.Selain itu, masyarakat tidak merasakan manfaat laindari kehadiran perusahaan di wilayah mereka.Bahkan untuk menjadi karyawan perusahaan punsangat sulit, sehingga hampir tidak ada penduduklokal yang menjadi karyawan PT. Kodeco Timber.

Ketika pemerintahan Orde Baru masih berkuasa,masyarakat tidak ada yang berani mengambiltindakan apapun untuk menentang perusahaan. Halini karena masyarakat merasa takut dan juga telah“dibodoh-bodohi” oleh pihak perusahaan denganmengatakan bahwa perusahaan telah mendapat izindari pemerintah dan berhak untuk menggunakan danmemanfaatkan lahan konsesi yang diberikanpemerintah, walaupun areal konsesi tersebut seringmenyerobot lahan/kebun masyarakat. Selama masaOrde Baru, perusahaan juga sering menggunakanbantuan militer untuk meredam konflik yang terjadi.Kejadian yang dialami masyarakat di sekitarKecamatan Hampang merupakan salah satu bentukketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya hutan.

Masyarakat saat ini menuntut adanya program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraanmereka. Mereka menganggap selama ini telahbanyak pengusaha dan orang-orang pendatang yangmengeruk kekayaan sumber daya alam dari wilayahmereka. Sementara penduduk asli hanyadiperlakukan sebagai penonton yang tidakmendapatkan apa-apa, bahkan kegiatan perusahaanpun sebenarnya telah mengakibatkan sumberpenghasilan mereka berkurang. Selain itu, merekajuga menuntut agar pemerintah dapat mengembalikanhak-hak mereka, terutama dalam mengelola wilayahadat yang selama ini telah terampas.

C. LSM – Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat(LPMA)

Menurut LPMA, konflik di kawasan hutanPegunungan Meratus mulai muncul ketika PT.Kodeco sering melakukan pelanggaran yangmerugikan masyarakat desa. Salah satunya berkaitandengan tata batas wilayah, yaitu adanya sebagian arealkonsesi PT. Kodeco yang tumpang tindih denganlahan garapan masyarakat. Akibatnya, sebagian besarkebun masyarakat tergusur dan pohon yang ada dilahan tersebut ditebang. Selain itu, PT. KodecoTimber juga telah merusak hutan keramat dan

Page 33: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

23Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

mengambil hak wilayah hutan adat secara semena-mena. Sejauh ini belum pernah ada kesepakatanantara masyarakat desa dengan pihak perusahaanuntuk menyelesaikan masalah tata batas lahantersebut, karena pihak perusahaan menganggapmerekalah yang lebih berhak atas lahan tersebut.

Solusi yang disarankan LPMA untuk menyelesaikankonflik antara PT. Kodeco Timber dan masyarakatAdat Dayak Meratus adalah dengan mengembalikanhak pengelolaan dan pengusahaan hutan kepadamasyarakat adat, karena selama ini PT. Kodeco tidakmemperlihatkan niat baiknya dalam memenuhi hasil-hasil kesepakatan yang telah mereka buat bersama.

3.1.4. Solusi yang Pernah DicobaSampai saat ini solusi yang pernah dicoba untukmeredam amarah masyarakat desa adalah melaluimusyawarah antara perusahaan dan masyarakat yangdiwakili oleh pengurus LMMD-KH dan disaksikanoleh kepala desa dan petugas dari instansi lainnyayang terlibat seperti kecamatan, Dinas Kehutanan,Polsek dan Koramil. Beberapa musyawarah yangdilakukan telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Perusakan kebun dan penebangan pohon buah-buahan milik masyarakat di Desa Pramasan 2x9.Dari kesepakatan yang dihasilkan, PT. KodecoTimber bersedia mengembalikan lahan masyarakatdan membayar ganti rugi untuk pohon buah-buahanyang telah ditebang dan dirusak sebesar Rp. 60.000,-per pohon.

Perusakan hutan kramat dan penyerobotan wilayahhutan adat secara semena-mena. Kesepakatan yangdiambil adalah pihak PT. Kodeco Timber bersediamemenuhi sembilan butir tuntutan masyarakat (lihatKotak 9). Walaupun demikian, dari sembilan butirtuntutan masyarakat yang telah disepakati oleh keduapihak, hanya beberapa butir saja yang terealisasisampai saat ini, yaitu mendirikan ruang belajarsebanyak tiga unit dari enam unit yang telah dijanjikan,serta membantu renovasi bangunan balai adat.Tuntutan yang tidak kalah penting seperti penyediaantenaga pengajar, pemberian beasiswa bagi anak-anakyang berprestasi serta pengembangan budidayatanaman pangan, sampai saat ini belum terealisasi.

3.1.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang BisaDiambil

Konflik yang terjadi antara PT. Kodeco Timberdengan masyarakat terjadi karena perbedaanpendapat mengenai kontribusi perusahaan terhadaptingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat disekitar hutan. Dengan beroperasinya PT. Kodeco diwilayah tersebut, akses masyarakat untukmemanfaatkan hutan, yang selama ini merupakansalah satu sumber mata pencahariannya menjaditerbatas. Selain itu, karena batas-batas perusahaanyang tidak jelas bagi masyarakat, perusahaan jugadianggap telah melakukan penyerobotan lahan denganmenebang pohon buah-buahan yang ada di atas lahanyang diklaim milik masyarakat. Selanjutnya,perusahaan dianggap telah merusak hutan keramatserta mengambil hak wilayah hutan adat secarasemena-mena.

Gambar 13. Gedung sekolah bantuan dari PT Kodeco Timberuntuk masyarakat yang dibangun di DesaPramasan 2x9

Page 34: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

24 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Kotak 9. Kesepakatan Bersama antara Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kecamatan Hampang(LMMD-KH) dengan PT. Kodeco Timber

Pada hari Rabu tanggal enam bulan Maret tahun Dua ribu dua, kami bertanda tangan di bawah ini:1. Nama : Johansyah

Jabatan : Ketua LMMD-KHAlamat : Desa Hampang

Dalam Hal ini bertindak untuk dan atas nama warga masyarakat kecamatan Hampang dan Lembaga MusyawarahMasyarakat Dayak Kecamatan Hampang (LMMD-KH), yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.

2. Nama : H. Achmad Sempo DL.Jabatan : ManagerAlamat : Batulicin

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama perusahaan PT. Kodeco Timber, yang selanjutnya disebut sebagai PIHAKKEDUA.

Dengan ini secara bersama-sama membuat KESEPAKATAN atas hasil pertemuan antara PIHAK PERTAMA denganPIHAK KEDUA bertempat di ruang Balai Desa Pramasan 2x9 Kecamatam Hampang, Kabupaten Kotabaru pada hariKamis tanggal 14 Pebruari 2002 dan disaksikan oleh Muspida kecamatan Hampang, Kep Hampang, dengan kesepakatansebagai berikut:

3. PIHAK KEDUA akan memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA dan kepala desasetempat atas rencana kegiatanyang akan dilakukan oleh PIHAK KEDUA.

4. Sesuai kemampuan dan kondisi perusahaan PIHAK KEDUA akan memberikan bantuan secara bertahap berupa:a. Bidang Pendidikan

• Pemberian honor untuk guru• Pemberian bea siswa bagi siswa yang berprestasi yang tidak mampu. Siswa yang akan menerima bea siswa,

diajukan oleh sekolah melalui PIHAK PERTAMA dan diketahui oleh kepala desa setempat beserta camat.b. Sarana pendidikanc. Sarana keagamaan (tempat ibadah, kegiatan ritual)d. Budidaya tanaman pangane. Kegiatan penghijauan

5. PIHAK PERTAMA diijinkan untuk menempatkan anggota masyarakat setempat untuk membantu dalam pengamanankegiatan logging perusahaan sebanyak 2 dan/atau 3 orang dan dibawah koordinasi Asisten Manager Unit Kerja yangbertindak sebagai perwakilan PIHAK KEDUA. Adapun bantuan pengamanan masyarakat dimaksud di atas diberikanimbalan jasa oleh PIHAK KEDUA diberikan secara berkala per 10 hari melalui perwakilan PIHAK KEDUA (manager/asisten manager) yang bertugas di lapangan.

6. Bila PIHAK KEDUA akan memanfaatkan pohon buah-buahan seperti pohon durian, pohon cempedak, pohon rambutandan lain-lain maka harus ada kesepakatan terlebih dahulu dengan pemiliknya.

7. PIHAK PERTAMA mengingatkan kepada pihak perusahaan Kodeco agar tidak memperkenankan dan/atau tidakmengijinkan kepada pihak ketiga atau pihak lain (perorangan dan atau kelompok) berada dan/atau bekerja padalokasi kerja PIHAK KEDUA.

8. Setiap anggota dan/atau kelompok masyarakat kecamatan Hampang dalam hal permohonan/permintaan bantuankepada pihak perusahaan Kodeco sebagaimana dimaksud pada point 1,2,3,4,5 dan 6 di atas, harus mendapatkanrekomendasi PIHAK PERTAMA yang kemudian membicarakan atau mengkoordinasikan dengan perwakilan PIHAKKEDUA (Manager/Assistant Manager) yang bertugas di lapangan dan selanjutnya bersama-sama membicarakannyadengan kepala desa dan camat kepada PIHAK KEDUA. Kemudian PIHAK KEDUA akan mempertimbangkanpermohonan/permintaan bantuan dimaksud sesuai dengan rencana, lokasi kerja serta kemampuan PIHAK KEDUAdi wilayah kecamatan Hampang.

9. Setiap permohonan bantuan akan diprioritaskan kepada desa di mana PIHAK KEDUA bekerja di dalam wilayahKecamatan Hampang melalui kepala desa setempat diteruskan kepada PIHAK PERTAMA dan diketahui oleh camat.

10. PIHAK PERTAMA bersama seluruh anggota masyarakat serta MUSPIDA kecamatan Hampang mendukung kegiatanPIHAK KEDUA yang beroperasi di wilayah kecamatan Hampang, dan dapat menciptakan suasana aman dan tertib.

11. Demikian kesepatan bersama ini dibuat dengan benar tanpa ada tekanan dari pihak lain untuk dipergunakansebagaimana mestinya.

Sumber: Salinan Lembaran Kesepakatan Bersama antara Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kecamatan Hampang(LMMD-KH) dengan PT. Kodeco Timber, 2002.

Page 35: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

25Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Dari sudut pandang masyarakat, selama lebih kurang33 tahun PT. Kodeco Timber beroperasi, masyarakatmerasakan ketidakpuasan terhadap perusahaan,namun mereka tidak berani mengungkapkan dalambentuk aksi-aksi terbuka. Hal ini disebabkan pihakperusahaan selalu menggunakan pendekatan keamanandengan bantuan militer untuk meredamnya.

Setelah masa Reformasi, masyarakat mulai beranibertindak secara terang-terangan melawan perusahaan.Pendekatan militer pun tidak dapat lagi membendungaksi-aksi yang dilakukan masyarakat. Peristiwa-peristiwa pemicu konflik seperti penggusuran kebunmasyarakat oleh perusahaan, atau gesekan lainnyamenyebabkan timbulnya aksi-aksi seperti demonstrasidan bahkan pemukulan terhadap karyawan perusahaan.Pemicu konflik juga dipengaruhi oleh faktor-faktorluar seperti adanya informasi mengenai tuntutanmasyarakat terhadap perusahaan HPH di lokasi lain.Selain itu, krisis ekonomi yang berkepanjanganmenyebabkan kesejahteraan masyarakat semakinmenurun. Akibatnya mereka harus mencari alternatifsumber penghidupan lain secara cepat.

Keadaan sebelum dan setelah masa Reformasiseolah-olah menjadi terbalik. Kedudukan perusahaanyang selama ini terkesan kuat karena dukungan pihakmiliter, menjadi melemah dengan adanya keberanianmasyarakat yang tidak lagi menghiraukan aparat,seperti ditunjukkan dalam Tabel 4.

Sebelum masa Reformasi, perusahaan lebih kuatdipandang dari segi apapun juga (keabsahan, politik,ekonomi dan sosial). Mereka dengan mudahmendapatkan dukungan dari pihak militer untukmengamankan semua kegiatan mereka. Sebaliknya,pada masa itu posisi masyarakat desa amat lemah.Semua keadaan, walaupun tidak memuaskan, akanmereka terima begitu saja. Namun segalaketidakpuasan yang selama ini mereka pendam

bertahun-bertahun pada akhirnya meledak juga,terutama didorong oleh adanya eforia reformasi.Walaupun dari segi keabsahan mereka lemah (karenawilayah adat yang mereka klaim tidak memiliki suratketerangan secara legal), mereka banyak menerimadukungan dari pihak-pihak lain, terutama karenakebangkitan lembaga-lembaga adat secara nasional.Selain itu, peristiwa-peristiwa kekerasan di tingkatnasional, melemahkan posisi aparat di matamasyarakat. Akibatnya mereka cenderungmengabaikan aparat dan hukum yang selama inimereka patuhi karena terpaksa.

Bagaimanapun juga, konflik terbuka inimenimbulkan beberapa akibat bagi kedua belahpihak. Akibat positif dari adanya konflik ini adalahtimbulnya kesadaran dari pihak perusahaan untuklebih memperhatikan keadaan masyarakat di sekitarhutan. Peningkatan sarana dan prasarana umum didesa-desa sekitar hutan pada akhirnya diharapkandapat meningkatkan perekonomian lokal.

Selain akibat positif, tentu saja ada pula akibat negatifdari konflik ini. Misalnya, aksi-aksi demonstrasi atautindakan kekerasan yang diikuti dengan pemblokiranjalan merugikan kedua belah pihak. Bagi perusahaan,kegiatan produksi mereka menjadi terhenti.Sedangkan bagi masyarakat, karena keterlibatandalam demonstrasi mereka harus menghentikankegiatan perekonomiannya. Selain itu, konflik yangdibiarkan berlarut-larut pada akhirnya dapatmendorong tindakan kekerasan yang sangatmerugikan kedua belah pihak.

Sampai saat ini belum ada tindakan-tindakan yangberarti dalam proses penyelesaian konflik antara PT.Kodeco dengan masyarakat Adat Dayak Meratus.Upaya-upaya penyelesaian yang pernah dilakukanhanya berujung pada tawar-menawar dan akhirnyapemenuhan tuntutan kompensasi, dan sesungguhnya

Tabel 4. Peta Kekuatan Pihak-pihak yang Terlibat dalam Konflik PT. Kodeco Timber vs Masyarakat Adat DayakMeratus

Pihak yangBerkepentingan

Kekuatan Pihak-pihak yang Berkepentingan

Sebelum Reformasi Setelah Reformasi

Keabsahan Politik Ekonomi Sosial Keabsahan Politik Ekonomi Sosial

1. PT. Kodeco Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Lemah Kuat Lemah

2. Masyarakat Lemah Lemah Lemah Lemah Lemah Kuat Lemah Kuat

Page 36: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

26 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

tidak menyelesaikan konflik tersebut sampai ke akar-akarnya. Dengan cara seperti ini, hubungan antarapihak PT. Kodeco dan masyarakat tidak menjadilebih baik. Walaupun terlihat baik, masing-masingsebenarnya saling mencurigai.

Penyelesaian konflik antara PT. Kodeco Timber danmasyarakat Adat Dayak Meratus sebaiknyadiupayakan dengan sebanyak mungkin membukaruang-ruang dialog publik. Dalam hal ini, pihak-pihaklain perlu dilibatkan sebagai mediator.Misalnya,pemerintah, yang mempunyai kewenangandalam hal regulasi yang menyangkut pokok konflik,dan juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat yangsaat ini banyak mendampingi masyarakat lokal.

3.2. Kasus HPH PT Keang NamDevelopment Indonesia,Sumatera Utara

Kasus ini menggambarkan konflik yang terjadi antaraPT. Keang Nam Development Indonesia denganmasyarakat Tabuyung, Kecamatan Muara BatangGadis, Kabupaten Mandailing Natal.

3.2.1. Gambaran Umum Wilayah PenelitianKabupaten Mandailing Natal merupakan salah satudaerah yang terletak di wilayah pantai barat Sumatera.

Kabupaten baru ini adalah hasil pemekaran dariKabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 1998. Kabupaten ini terdiri daridelapan kecamatan, yaitu Kecamatan Natal, BatangNatal, Siabu, Penyabungan, Kotanopan, Muarasipongi,Batahan dan Muara Batang Gadis, dengan ibukotakabupaten berada di Penyabungan (BPS, 2000). Sejaktahun 2002, Kabupaten ini mengalami pemekaranwilayah dengan tambahan beberapa kecamatan.

Penduduk Kabupaten Mandailing Natal berjumlah355.285 jiwa, dengan kepadatan 54 jiwa/km2.Penduduk yang berdomisili di Kabupaten MandailingNatal terdiri dari beragam suku, adat istiadat danagama. Sedangkan mata pencaharian masyarakat adalahdi sektor pertanian/perkebunan, nelayan, pegawainegeri, pedagang dan penyedia jasa. Menurut petaRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), luasKabupaten Mandailing Natal adalah ±6.620,70 km2

(±662.070 ha), dengan kawasan hutan seluas ±21.669ha. Sementara lahan seluas ±240.401 ha dicadangkanuntuk Areal Penggunaan Lain (APL).

Salah satu kecamatan yang berada di KabupatenMandailing Natal adalah Kecamatan Muara BatangGadis, dengan Singkuang sebagai ibukotakecamatannya. Luas wilayah kecamatan ini ±1.327,92 km2 atau 132.792 ha (BPS, 2000), atau lebih

Gambar 14. Peta lokasi penelitian di kawasan PT. Keang Nam Development

Page 37: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

27Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

kurang 20% dari luas wilayah Kabupaten MandailingNatal. Kecamatan ini mempunyai sepuluh desa,diantaranya adalah Desa Tabuyung. Jumlah pendudukkecamatan ini adalah 12.148 jiwa, yang terdiri dari6.201 laki-laki dan 5.947 perempuan.

Sebagian besar desa di Kecamatan Muara Batang Gadisberbatasan dengan areal konsesi HPH PT. Keang NamDev’t. Indonesia. Desa yang berbatasan langsungdengan areal konsesi, antara lain adalah Tabuyung Idan II, dan Pasar Singkuang I dan II. Masyarakat diwilayah pantai barat ini sangat heterogen karenaterdiri dari Suku Mandailing, Tapanuli Selatan,Tapanuli Utara dan Minangkabau. Dari kultur budayalokal yang terbentuk, orang menyebutnya sebagai“masyarakat pesisir” yang menggunakan bahasapesisir, yang berinduk dari Bahasa Minang sebagaibahasa sehari-harinya.

3.2.2. Sejarah KonflikPT. Keang Nam Dev’t. Indonesia, yang tergabungdalam Mujur Timber Group, merupakan salah satuperusahaan HPH yang masih aktif di ProvinsiSumatera Utara. Perusahaan ini memperoleh izinkonsesi berdasarkan Surat Keputusan (SK) MenteriKehutanan (Menhut) Nomor 238/KPTS-Um/5/1974,tanggal 21 Mei 1974. Sejak tahun 1999, perusahaanini mendapat izin perpanjangan konsesi berdasarkanSK Menhut Nomor 805/Kpts-VI/99 tanggal 30September 1999. Kelompok hutannya sebagian besarberada di Tabuyung dan Singkuang (Rencana KerjaTahunan PT. Keang Nam, 1999/2000).

Persoalan yang terjadi antara PT. Keang Nam danmasyarakat Desa Tabuyung sangat rumit karenabukan hanya mereka saja yang berkonflik, tetapi telahmelibatkan pihak-pihak luar.

Penyebab utama konflik adalah ketidakpuasanmasyarakat terhadap PT. Keang Nam. Masyarakatmenganggap bahwa kehadiran PT. Keang Nam diwilayah mereka tidak memberikan kontribusi positifbagi peningkatan taraf hidup masyarakat. Hal inimereka bandingkan dengan perusahaan burung waletyang beroperasi di wilayah itu sejak tahun 1997.Perusahaan walet membuka lapangan kerja bagisebagian masyarakat dan menyediakan fasilitas berupatempat tinggal. Selain itu, setiap tahunnya merekamemberikan sumbangan berupa kebutuhan pokokkepada masyarakat setempat. Dengan demikianmasyarakat menilai bahwa perusahaan walet lebihmemperhatikan kesejahteraan masyarakatdibandingkan dengan PT. Keang Nam yang telah lamaberoperasi di wilayah mereka. Masyarakat juga seringmendengar janji yang tidak pernah ada realisasinya,seperti mengembangkan jaringan radio, membentukkelompok usaha atau koperasi, dan lain-lain, yangpada akhirnya membuat masyarakat kecewa, dankemudian berkembang menjadi konflik antaramasyarakat desa dengan perusahaan HPH.

Penyebab konflik lainnya adalah ketidakjelasan batasantara lahan masyarakat dengan areal konsesiperusahaan, yang kemudian dimanfaatkan oleh pihaklain. Pengusaha-pengusaha perkebunan dari Medanberusaha memanfaatkan hal ini untuk membukausahanya di wilayah Tabuyung. Para pengusahatersebut mengajukan izin membuka perkebunanbermitrakan koperasi milik masyarakat lokal,meskipun sebenarnya ada juga yang bukan murnimilik masyarakat, tetapi hanya mengatasnamakanmasyarakat lokal. Karena tertarik iming-imingmendapatkan lahan perkebunan, maka masyarakatberani menuntut hak atas pengusahaan lahannyakepada PT Keang Nam.

Tabel 5. Luas Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan di Wilayah DASMuara Batang Gadis.

Sumber: Badan Inventarisasi Hutan Wilayah 1 Medan, 2001

No Fungsi Hutan Luas (Ha) Persentase

1. Hutan Lindung 24.601,89 24,772. Hutan Produksi Terbatas 30.592,85 30,813. Hutan Produksi 17.142,31 17,264. Hutan Konversi 2.386,12 2,405. Areal Penggunaan Lain 24.585,47 24,76

Jumlah 99.308,64 100,00

Page 38: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

28 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Gambar 15. Bekas base camp PT. Keang Nam Dev. yang dibakar masyarakat

Masalah komunikasi, keterlibatan masyarakat danmetode pendekatan yang dipakai PT. Keang Namdalam pengelolaan sumber daya hutan selama ini jugamenjadi penyebab konflik dengan masyarakat.Konflik antara perusahaan dan masyarakat lokalmulai terbuka pada tahun 2000. Beberapa peristiwatelah memicu konflik ini hingga mencapai eskalasiyang cukup tinggi, seperti perusakan fasilitasperusahaan.

Pada awal tahun 2000, beberapa warga desamengajukan usul agar perusahaan memberikankontribusi dalam pembangunan desa. Masyarakatmenghendaki agar PT. Keang Nam memberikankontribusi sebesar Rp. 10.000,00 per meter kubikdari jumlah kayu yang ditebang, namun pihakperusahaan hanya sanggup memberikan Rp. 1.000,00per meter kubik. Selain itu, jumlah kayu yang ditebangditentukan oleh pihak perusahaan tanpa melibatkankeikutsertaan masyarakat dalam perhitungannya.Perbedaan ini telah menyebabkan masyarakat merasatidak puas. Kemudian ratusan masyarakat desamengajukan protes kepada perusahaan denganmendatangi base-camp perusahaan. Masyarakatmelakukan demonstrasi dan pemblokiran, yangmengakibatkan kegiatan perusahaan terhenti.Pemblokiran tersebut terjadi dua kali padapertengahan tahun 2000.

Tahun 2001, kejadian pemblokiran terulang kembali,dengan eskalasi yang lebih tinggi dibandingkansebelumnya karena diikuti dengan aksi pembakaranbase-camp dan perusakan fasilitas milik perusahaan(Lihat Gambar 15). Perusahaan mengadukan kejadian

tersebut ke Polres Tapanuli Selatan, karena hal inisudah merupakan tindak pidana. Pihak kepolisianakhirnya melakukan penahanan terhadap sepuluhorang pelaku pembakaran. Kasus ini kemudiandikirimkan ke Kejaksaan Mandailing Natal. Dalamperkembangannya, karena perusahaan sudah tahubahwa mereka ditunggangi oleh pihak lain, makapihak perusahaan tidak mendesak kejaksaan untukmenyelesaikan tuntutannya. Enam bulan kemudianPT. Keang Nam dipertemukan dengan tokohmasyarakat oleh pihak kepolisian untuk mencaripenyelesaian secara damai.

Beberapa kali negosiasi telah dilakukan oleh PT. KeangNam untuk meredam kemarahan masyarakat. Carayang ditempuh oleh PT. Keang Nam, yang diwakilioleh jajaran direksinya, adalah memenuhi beberapatuntutan dari masyarakat, yang diwakili oleh beberapatokoh masyarakat. Tetapi dalam kenyataannya,kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan tidak dapatmenyelesaikan konflik karena tidak menyentuh akarpermasalahannya, yaitu antara lain peningkatankesejahteraan masyarakat, pendidikan dan masalahketidakjelasan tata batas lahan.

Melihat permasalahan antara perusahaan danmasyarakat yang belum terselesaikan juga, makaLSM Yayasan Leuser Lestari (YLL) mulai berinisiatifuntuk melakukan program pendampingan danpenguatan masyarakat Tabuyung. Lembaga ini mulaimelakukan kegiatannya di wilayah Tabuyung padatahun 2001. Salah satu kegiatan yang telahdilakukannya adalah mengadakan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat pedesaan. Hasilnya

Page 39: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

29Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

antara lain adalah adanya keinginan masyarakat untukmemperjelas tata batas lahan melalui pemetaanpartisipatif yang melibatkan semua pihak yangberkepentingan.

3.2.3. Persepsi Pihak-pihak yang TerlibatMasyarakat desa, pengusaha perkebunan dari Medandan PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik tersebut.Konflik yang terjadi diantara mereka tidak terlepasdari andil pengusaha perkebunan dari Medan yangberniat membuka lahan usahanya denganmempengaruhi masyarakat setempat. Tetapi karenaketerbatasan waktu, tim studi tidak berhasilmemperoleh informasi mengenai perspektif pengusahaperkebunan dari Medan tentang konflik yang terjadi.Sementara pihak lain seperti pengusaha budidayaburung walet, LSM Yayasan Leuser Lestari (YLL),Pemda dan pihak kepolisian merupakan pihak-pihakyang tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut.

A. MasyarakatBerdasarkan hasil wawancara dengan empat wargamasyarakat Tabuyung (satu orang tokoh masyarakatdan tiga orang penduduk), terungkap adanyaketidakcocokan dan lemahnya komunikasi antara

pihak perusahaan dengan masyarakat. Penyebabnyaadalah perusahaan tidak pernah mengikutsertakanmasyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan danmenerapkan aturan yang ketat untuk membatasi aksesmasyarakat ke dalam hutan. Misalnya, ketikamasyarakat membutuhkan kayu bakar untukkeperluan acara syukuran desa, masyarakat harusmemperoleh izin terlebih dahulu dari manajerperusahaan. Perusahaan juga sering memberi janji danharapan tanpa ada realisasinya. Semua itu membuatmasyarakat menjadi marah dan akhirnya berkembangmenjadi konflik.

Selain itu, masyarakat menilai bahwa programPembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yangmenjadi kewajiban dari perusahaan HPH, belumsepenuhnya dilaksanakan oleh PT. Keang Nam. Initerbukti dari kontribusi yang diberikan perusahaanselama 33 tahun beroperasi, yaitu hanya 30% dariyang dibutuhkan masyarakat. Satu-satunya fasilitasbangunan yang diberikan perusahaan adalah saranapendidikan berupa pembangunan gedung SD padatahun 2003. Itu pun pada awalnya masyarakatmeminta sarana pendidikan tersebut kepada BupatiMandailing Natal yang sedang melakukan kunjungankerja ke Desa Tabuyung bersama Direktur Utama

Kotak 10. Peristiwa-peristiwa Konflik antara PT. Keang Nam dan Masyarakat Tabuyung yang dilaporkanMedia Massa

Penduduk empat desa di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara,memblokir kegiatan Perusahaan HPH PT. Keang Nam di Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis.Pemblokiran yang telah berlangsung dua pekan ini mengakibatkan ribuan meter kubik kayu hasil tebangantidak dapat dikeluarkan dari kawasan itu, termasuk kapal milik Keang Nam yang penuh muatan kayu tidakdiizinkan berlayar. Menurut keterangan warga, mereka melakukan aksi itu karena perusahaan yang sudah27 tahun beroperasi membabat hutan tidak memperhatikan nasib penduduk di sekitarnya. Padahal sesuaiketentuan pemerintah, hal itu merupakan kewajiban perusahaan. Apalagi sebagian besar dari lebih dari1000 KK penduduk Muara Batang Gadis masih tergolong masyarakat miskin.

Sumber: Kompas, 27 Mei 2000

Ratusan penduduk empat desa di Kec. Muara Batang Gadis, Sabtu (15/7) sore, kembali memblokir kegiatanHPH PT. Keang Nam. Aksi pemblokiran itu dilakukan setelah pagi harinya, dalam pertemuan yang dihadiriDPRD Kabupaten Mandailing Natal dan unsur-unsur Muspika Muara Batang Gadis, PT. Keang Nam belumbisa memenuhi tuntutan warga.

Sumber: Kompas, 17 Juli 2000

Karyawan PT. Keang Nam menjelaskan kepada Kompas peristiwa pembakaran yang terjadi pada tanggal 19Maret 2001. Awalnya puluhan aparat Brigade mobil yang sehari sebelumnya sudah berjaga-jaga di lokasimasih mampu menghadang massa. Namun karena jumlahnya terlalu banyak, hampir 400 orang massaakhirnya menerobos pagar betis aparat dan langsung melakukan pembakaran berbagai instalasi perusahaan.

Sumber: Kompas, 28 Maret 2001

Page 40: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

30 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia. Bupati kemudianmeminta kepada PT. Keang Nam agar bersediamembantu pembangunan sarana pendidikan untukmasyarakat setempat. Pihak perusahaan akhirnyabersedia membantu, dengan catatan sarana pendidikantersebut dibangun dalam bentuk semi permanen.

Masyarakat menganggap pemerintah memegangperanan penting dalam kasus-kasus yang terjadi selamaini, karena pemerintahlah yang telah memberikan izinoperasi kepada PT. Keang Nam. Seharusnya,pemerintah lebih adil dalam mengatur pengelolaansumber daya hutan, karena masyarakat seringdirugikan. Masyarakat juga menginginkan agarpemerintah menyelesaikan masalah tata batas lahanmasyarakat dengan areal kerja PT. Keang Nam atauperusahaan lain yang berbatasan dengan desa mereka.Menurut mereka, sebaiknya pemerintah melakukansosialisasi kembali masalah tata batas ini kepadaseluruh masyarakat, dan jangan hanya kepada orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu saja.

Masyarakat juga ingin supaya kehadiran perusahaandi daerah mereka dapat memberikan kontribusipositif bagi peningkatan kesejahteraan. Namunapabila hal ini sulit dipenuhi, maka masyarakatmenginginkan agar lahan yang selama ini merekakelola dapat dikembalikan lagi, sehingga mereka dapatmelakukan usahanya sendiri.

B. PT. Keang Nam Development IndonesiaPersepsi perusahaan HPH PT. Keang Nam Dev’t.Indonesia didapatkan dengan mewawancarai direkturperusahaan dan satu orang karyawannya. Menurutmereka, terjadinya konflik antara masyarakat denganperusahaan berawal dari masalah antara perusahaandengan pengusaha perkebunan dari Medan.Pengusaha dari Medan, mengajukan izin membukaperkebunan yang mengatasnamakan koperasi milikmasyarakat lokal. Lahan konsesi yang ingin dikonversimenjadi perkebunan kelapa sawit adalah seluas±28.000 ha. Ini berarti hampir separuh dari luaskonsesi PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia, yaitu58.000 ha. Karena menemui jalan buntu, makapengusaha-pengusaha dari Medan tersebut memintakepada masyarakat untuk membentuk koperasidengan janji bahwa mereka akan diberi lahan garapan.

Kebebasan di masa Reformasi dan dukungan daripengusaha perkebunan ini dimanfaatkan oleh

masyarakat untuk meminta sebagian lahan PT. KeangNam untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.Namun PT. Keang Nam tidak bersedia menyerahkanlahan yang diminta tersebut karena perubahan fungsiareal memerlukan persetujuan dari DepartemenKehutanan. Karena masing-masing pihak bertahan,akhirnya masyarakat melakukan demonstrasi danpemblokiran.

Pada tahun 2001, perusahaan memenuhi tuntutanganti rugi kepada masyarakat sebesar Rp. 420 juta.Dana ini diberikan dalam bentuk bangunan dan saranaumum. Perusahaan juga sudah melakukanpembangunan jalan, madrasah dan memberikanbantuan untuk guru-guru. Selain itu, tuntutanmasyarakat yang sifatnya insidentil juga telah seringdipenuhi oleh perusahaan, walaupun banyak yangmenganggap bahwa pemenuhan tuntutan tersebutseolah-olah baru terjadi setelah peristiwa demonstrasidan pemblokiran. Kejadian pemblokiran yangterulang kembali pada tahun 2001 telah menyebabkankerugian sekitar Rp. 4,2 miliar bagi PT. Keang NamDev’t. Indonesia.

Selanjutnya, menurut pihak perusahaan, pemberiandana untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dalamkurun waktu 1997-2000 selalu meningkat dari Rp.9,7 juta hingga Rp. 10 juta. Pemberian dana inidilakukan secara bergilir untuk semua desa.Perusahaan telah mencoba menawarkan beberapakegiatan kehutanan, misalnya menguliti kayu danmembuka jalur untuk kegiatan cruising di dalam hutan.Namun kurang mendapat tanggapan dari masyarakatkarena mereka pada umumnya tidak bersedia untukmelakukannya.

Perusahaan selama ini telah banyak memberikankontribusi kepada masyarakat di sekitar wilayahkonsesi, mulai dari pemberian kompensasi, danabantuan, pembangunan fasilitas umum, juga program-program pemberdayaan masyarakat. Namundemikian, konflik dengan masyarakat tidak kunjungselesai dan selalu datang tuntutan-tuntutan baru,terutama karena dipengaruhi oleh pihak-pihak ketiga.Untuk itu perusahaan berharap agar masyarakat tidakmudah terprovokasi, karena akhirnya masyarakat jugaakan rugi. Di samping itu, perusahaan berharap agarpemerintah juga lebih memberikan perhatianterhadap masalah-masalah yang dihadapi perusahaandan masyarakat di sekitar perusahaan.

Page 41: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

31Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

C. LSM - Yayasan Leuser Lestari (YLL)Penyebab konflik antara PT. Keang Nam Dev’t.Indonesia dengan masyarakat adalah kegiatanperusahaan sendiri, yang mengakibatkan kerusakanlahan milik masyarakat, hilangnya tempat pekuburandan kerusakan lingkungan berupa banjir. Pihak PT.Keang Nam juga tidak memberikan dukunganterhadap kebutuhan fasilitas bagi masyarakat. Ketikamasyarakat mengadukan permasalahan yangdihadapinya, pihak perusahaan tidak seriusmenanggapi keluhan masyarakat tersebut. Perusahaanlebih banyak mengumbar janji dan sangat jarangmerealisasikannya.

Faktor lain yang menyebabkan konflik adalah motifekonomi dan keberadaan perusahaan budidaya sarangwalet yang memulai usahanya sekitar tahun 1997-1998. Perusahaan ini dianggap lebih memperhatikankesejahteraan masyarakat dibandingkan PT. KeangNam Dev’t. Indonesia. Sampai saat ini, perusahaanbudidaya walet dijadikan barometer terhadapkehadiran sebuah perusahaan yang akan melakukankegiatannya di Desa Tabuyung.

D. Dinas Kehutanan Sumatera Utara dan DinasKehutanan Mandailing Natal

Masyarakat mengharapkan keberadaan sebuahperusahaan HPH di sekitar wilayah mereka bisameningkatkan kesejahteraan dan mendukungpembangunan wilayahnya. Bila masyarakat merasatidak memperoleh manfaat dari keberadaanperusahaan tersebut, maka konflik antara perusahaandengan masyarakat kemungkinan besar akan terjadi.Contoh yang dialami masyarakat Tabuyung adalahkarena masyarakat merasa kurang memperolehperhatian dari PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia.Walaupun demikian, konflik yang terjadi antaraperusahaan dan masyarakat sebenarnya tidak terlepasdari kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunanoleh para pengusaha dari Medan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kejelasanstatus, baik status areal kerja perusahaan, tanah ulayatmasyarakat dan juga status masyarakat yang akandibina. Berdasarkan informasi dari Dinas KehutananMandailing Natal, PT. Keang Nam telahmelaksanakan program PMDH, tetapi tidak meratauntuk seluruh desa yang berada di sekitar arealkonsesinya. Hal inilah yang menimbulkankecemburuan bagi masyarakat desa yang kurang

terjamah oleh program PMDH. Pelaksanaanprogram PMDH yang telah dilakukan antara lainberupa bantuan saprodi (pupuk, bibit, pestisida),pemberian bea siswa, pemberian subsidi untuk honorguru, rehabilitasi bangunan sekolah, bantuan bahanbangunan mesjid, pengobatan gratis serta pengerasandan pembukaan jalan.

3.2.4. Upaya Penanganan KonflikSebelum aksi pembakaran dan perusakan fasilitasterjadi, yang merupakan puncak kemarahan dan bataskesabaran masyarakat, mereka telah melakukanpengaduan-pengaduan ke tingkat kabupaten sampaitingkat pusat. Pertama kali yang menerima pengaduanmasyarakat adalah DPRD dan Pemerintah Daerahsetempat, yang dilanjutkan dengan pertemuan bagipihak-pihak yang terlibat. Pertemuan ini telahdilakukan beberapa kali tetapi tidak menghasilkankesepakatan yang memuaskan bagi semua pihak. Halini ditandai dengan masih berlangsungnya aksidemonstrasi dan pemblokiran yang dilakukanmasyarakat.

Ketika konflik mencapai ke aksi pembakaran danperusakan, penanganannya melibatkan aparatkepolisian, karena dianggap sudah melanggar hukum.Ketika itu pasukan Brimob turun ke tempat kejadianuntuk meredakan amarah masyarakat. Kemudianaparat kepolisian melakukan penangkapan danpencarian terhadap orang-orang yang menjadi tokohutama dalam aksi pembakaran dan perusakan fasilitasmilik PT. Keang Nam Dev’t. Indonesia.

Pihak kepolisian mengirimkan berkas penyidikan kasusini kepada pihak Kejaksaan Mandailing Natal untukditindaklanjuti secara hukum. Dalamperkembangannya, karena kedua pihak bersepakatuntuk menyelesaikannya secara damai, maka kasustersebut ditarik dari kejaksaan. Polres Tapanuli Selatanmempertemukan pihak PT. Keang Nam dengan tokohmasyarakat Tabuyung untuk didamaikan, tepatnyaenam bulan setelah aksi pembakaran dan perusakanterjadi.

3.2.5. Kesimpulan dan Pelajaran yang BisaDiambil

Konflik yang terjadi antara PT. Keang Nam Dev’t.Indonesia dan masyarakat Tabuyung disebabkanbanyak faktor dan juga dipengaruhi oleh kehadiranpihak ke tiga. Ketidakpuasan masyarakat terhadap

Page 42: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

32 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

kontribusi perusahaan selama ini dan perebutanlahan merupakan pokok utama konflik ini. Untuklebih jelasnya penyebab konflik dan kepentinganmasing-masing pihak ditunjukkan dalam Tabel 6.Semuanya ini kemudian berujung pada serangkaianaksi demonstrasi dan tindakan kekerasan.

Peristiwa pembakaran dan perusakan olehmasyarakat merupakan salah satu bentuk kekecewaanmasyarakat terhadap kondisi pengelolaan hutanselama ini. Masyarakat dan tokoh masyarakat telahmelaporkan kekecewaannya kepada pihakperusahaan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali.Kemudian masyarakat menindaklanjuti pengaduanini kepada DPRD dari tingkat kabupaten sampaiprovinsi, tetapi tidak membuahkan hasil, sehinggaakhirnya sikap masyarakat sudah sampai pada titikpasrah dan apatis.

Konflik antara masyarakat Desa Tabuyung dan PT.Keang Nam sampai saat ini belum ditangani secaraserius. Hubungan kedua belah pihak pun kurangbaik dan saling tidak percaya. Kehadiran pihakketiga, yaitu para pengusaha perkebunan dari Medan,semakin memperburuk keadaan ini, namun belumada tindakan penanganan konflik yang serius. Konflikini telah berlangsung lama dan telah sampai kepadatingkat eskalasi yang cukup tinggi. Apabila dibiarkan,hal ini dapat menyebabkan tindakan kekerasanlainnya yang tidak mustahil bisa sampai kepadatindakan menghilangkan nyawa.

Sampai saat ini pun kedua belah pihak telahmerasakan dampak konflik ini. Kekerasan yangterjadi telah menyebabkan kerugian yang cukupbesar bagi perusahaan, begitu pula bagi masyarakatsampai ada warganya yang harus mendekam dipenjara. Namun demikian, beberapa peristiwatersebut telah menyadarkan kedua belah pihak bahwaada pihak ketiga yang ingin mengambil keuntungandari konflik yang terjadi (seperti dijelaskan pada saatpenyelesaian kasus penangkapan masyarakat yangterlibat dalam pembakaran base-camp PT. KeangNam).

Untuk itu perlu dibuka ruang-ruang dialog antarapihak-pihak yang terkait dengan konflik ini. PT.Keang Nam seharusnya melibatkan masyarakat yangberada di sekitar konsesinya dalam pelaksanaankegiatan kehutanan. Karena dengan melibatkan

masyarakat, akan timbul kepedulian dan tanggungjawab masyarakat atas keberlangsungan kegiatanperusahaan. Kemudian masyarakat juga sebaiknyadiberikan kesempatan untuk memanfaatkankeberadaan hutan, misalnya untuk mengumpulkankayu bakar, menyadap getah pohon, mengambil madudan lain-lain. Selain itu, perusahaan perlu membukadiri untuk lebih mendengarkan aspirasi danmengetahui kebutuhan masyarakat. Programpemberdayaan masyarakat sebaiknya diawali denganpertemuan dengan masyarakat desa, sehinggapelaksanaan program PMDH dapat menyentuhaspek kehidupan yang dipandang paling penting olehmasyarakat. Sementara itu, Pemerintah Daerah perlumenjalankan fungsi kontrolnya dalam mengawasipelaksanaan program tersebut.

Pemerintah Daerah diharapkan juga untuk melakukanpenertiban terhadap oknum-oknum pengusaha yangtidak bertanggung jawab dan hanya mencarikeuntungan sendiri dengan mengorbankanmasyarakat. Pemberian izin usaha harus lebihdiperketat sehingga tidak hanya mempertimbangkanPendapatan Asli Daerah (PAD) saja. Selain itu, sedapatmungkin melibatkan semua instansi terkait, sehinggatidak mudah memberikan izin penggunaan lahan yangstatusnya tidak jelas.

3.3. Kasus HTI PT. Riau AndalanPulp & Paper, Riau

Kasus ini menggambarkan konflik antara PT. RiauAndalan Pulp and Paper (PT. RAPP) denganmasyarakat Adat Kuntu yang berada di sekitar arealHTI PT. RAPP di Kabupaten Kampar Kiri. Penyebabkonflik adalah ketidakjelasan batas areal kerja PT.RAPP dengan tanah adat mereka. Menurutmasyarakat, sebagian areal konsesi HTI PT. RAPP diwilayah tersebut merupakan tanah adat Kuntu.

3.3.1. Gambaran Umum Wilayah PenelitianPT. RAPP merupakan salah satu produsen terbesarpulp dan kertas dengan kapasitas produksi 1.100.000ton per tahun. Perusahaan ini telah beroperasi sejaktahun 1992 dan mulai berproduksi pada bulanJanuari 1995. PT. RAPP memiliki areal konsesiHPHTI seluas 280.500 ha, yang meliputi KabupatenKampar, Kuantansingingi, Pelalawan, Rokan Hulu,dan Pekanbaru. Studi kasus ini difokuskan di wilayahadat Kekhalifahan Kuntu.

Page 43: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

33Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Tabel 6. Pokok-pokok konflik PT. Keang Nam Dev. Indonesia dan masyarakat Desa Tabuyung

Pokok SengketaPihak yang

BersengketaTuntutan Pihak yang

BersengketaKepentingan

1. Minimnya kontribusiPT. Keang Namterhadap masyarakat

MasyarakatTabuyung

Perusahaan belummemberikan kontribusi yangcukup dalam pembangunandesa dari hasil penebanganPerusahaan belummenjalankan PMDHPembangunan gedungsekolah

Peningkatan KesejahteraanMasyarakat PeningkatanTingkat Pendidikan

PT. Keang NamDev. Indonesia

Perusahaan selama initelah banyak memberikanbantuan kepadamasyarakat, danmasyarakat sebaiknya tidakmudah terprovokasi olehpihak lain.

Mempertahankan arealkonsesinya

2. Perubahan sikapmasyarakat akibatkehadiranperusahaan sarangburung walet

PT. Keang NamDev. IndonesiadenganMasyarakatTabuyung

Perusahaan memberifasilitas tempat tinggal danlapangan pekerjaan bagimasyarakat.

Mendapatkan fasilitas dariPT. Keang Nam yang samaseperti yang diberikanperusahaan sarang burungwalet.

3. Pembatasan akses MasyarakatTabuyung

Perusahaanmengikutsertakanmasyarakat dalampengelolaan hutan dantidak membatasi aksesmasyarakat ke dalam hutan

Pemberian akses bagimasyarakat terhadapsumber daya hutan

PT. Keang NamDev. Indonesia

Perusahaan telah membukakesempatan kerja bagimasyarakat sekitar namundemikian banyak yang tidakbersedia melakukanpekerjaan tersebut.

Hanya memberikankesempatan kerja yangsesuai dengan kebutuhanperusahaan, walaupunmungkin hal itu tidak sesuaidengan kebutuhanmasyarakat.

4. Ketidakjelasan tatabatas lahan

MasyarakatTabuyung

Masyarakat menuntut hakpengusahaan lahan yangdipengaruhi olehperusahaan perkebunanyang ingin berinvestasi

Mendapatkan lahan untukdijadikan perkebunan yangdapat meningkatkan tingkatkesejahteraannya

PT. Keang NamDev. Indonesiadenganperusahaanperkebunan

Pemerintah seharusnyamembantu untukmenjelaskan batas-batasantara lahan masyarakatdan areal kerja PT. KeangNam Dev. Indonesia

Mempertahankan arealkonsesi

Page 44: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

34 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Wilayah adat Kekhalifahan Kuntu yang terletak diKecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar initerdiri dari empat buah desa, yaitu Desa Domo,Kampung Tengah, Padang Sawah dan Kuntu Toeroba.Desa yang inilah yang mengalami konflik dengan PT.RAPP. Keempat desa ini berada dalam satu SistemKenegerian Adat Khalifah yang terletak di kawasanpenyangga Taman Suaka Marga Satwa BukitRimbang-Baling.

Daerah ini kaya akan sumber daya alam berupatanaman obat, dan berbagai jenis kayu yangmemiliki nilai ekonomis tinggi, seperti balam merah,meranti, jelutung, rotan, pasak bumi, gaharu dandamar. Selain itu, terdapat beragam jenis satwa liar,seperti berang-berang, macan dahan, harimausumatera dan tapir melayu.

Kehidupan masyarakat Kuntu sebagian besarmengandalkan hasil kebun karet yang telah dikelolasecara turun-temurun. Di samping itu, matapencaharian yang dapat menunjang perekonomianmasyarakat adalah hasil hutan non-kayu, seperti

rotan, damar, gaharu dan madu. Pada saat ini, selainberkebun karet, masyarakat juga mengusahakankebun jeruk dan bersawah ladang dengan polaperladangan berpindah. Kegiatan berladangdilakukan satu kali dalam setahun13 .

3.3.2. Sejarah KonflikPerusahaan HTI PT. RAPP mulai beroperasi diwilayah ini pada tahun 1994. Pada awalnya, sebagianbesar masyarakat menolak masuknya perusahaan dikawasan ini, karena sebagian areal konsesiperusahaan merupakan lahan yang mereka kelola.Namun pada saat itu masyarakat tidak melakukanperlawanan karena perusahaan memiliki surat izinresmi dari pemerintah, sedangkan mereka tidakmempunyai bukti legal bahwa mereka pemilik sahdari lahan tersebut.

Tanah ulayat di wilayah adat Khalifah Kuntu tidakmengenal sistem kepemilikan pribadi, tetapimerupakan milik komunal (adat). Dalam sistem ini,seseorang boleh mengelola lahan tersebut dan berhakuntuk mengambil hasilnya, akan tetapi tidak

Gambar 16. Peta lokasi penelitian di kawasan HTI PT. Riau Andalan Pulp & Paper

13 Pembuatan sawah ladang diawali dengan pembukaan hutan; kayunya diambil untuk keperluan rumah tangga, kemudianditanami padi serta tanaman sayuran. Sistem perladangan ini berlangsung sampai tiga kali panen. Setelah itu lahannyaditanami karet dan pohon buah-buahan sehingga terbentuk pertanian multikultur.

Page 45: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

35Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

mempunyai hak kepemilikan atas lahan tersebut.Selain itu, tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan.Apabila seseorang ingin menggarap lahan dalamwilayah tanah ulayat, maka yang bersangkutan harusmendapatkan izin dari Datuk Khalifah14 . Hal inidimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalamstatus pengelolaan lahan. Tanah ulayat ini ada yangmasih berupa hutan, dan ada juga yang berupa kebunkaret. Dengan masuknya PT. RAPP, lahan ulayat inisedikit demi sedikit mulai terdesak.

Menurut Hakiki (LSM lokal di Pekanbaru), padatahun 1994 PT. RAPP melakukan pengelolaan lahanpertama untuk areal HTI-nya di daerah tersebut.Pada saat itu luas kawasan hutan adat yang diserobotdiperkirakan sekitar 500 ha. Akan tetapi pada saatitu masyarakat belum mengetahuinya karenalokasinya jauh dari pemukiman masyarakat.

Pada tahun 1995, perusahaan RAPP melakukanpengolahan lahan tahap kedua seluas ±600 ha yangmasih terletak di kawasan hutan adat Kuntu. Padatahap kedua ini sebagian masyarakat sudah mulaimengetahuinya.

Tahap ketiga dilakukan pada tahun 1996 di atas lahanseluas ±400 ha yang sebagian besar berupa kebunkaret masyarakat. Penyerobotan kebun karetdilakukan secara paksa menggunakan bulldozer. Padatahun ini juga dilakukan pembayaran ganti rugikepada masyarakat sebesar Rp.150 ribu per KepalaKeluarga (ada 139 KK) dan uang suguh hati15 sebesarRp.10 juta yang diberikan melalui kepala desa untukpelaksanaan program bina desa. Pada saat itu,masyarakat sebenarnya tidak sepenuhnya bisamenerima keputusan ini, karena dianggap uang gantirugi tersebut terlalu kecil. Akan tetapi pihakperusahaan dan pemerintah desa “mengintimidasi”(dengan cara mendatangi beberapa kali rumah tiapwarga agar mau menerima uang tersebut). Padaakhirnya masyarakat mengalah karena tidak beranimelawan, dan mereka berpikir lebih baik mendapatsedikit daripada tidak sama sekali.

Pada saat isu reformasi mulai bergulir tahun 1997-1999, masyarakat mulai bangkit dan berusaha

menuntut uang ganti rugi yang pantas untuk lahanmereka. Usaha ini dilakukan baik secaraberkelompok maupun perorangan, namun tidakmembuahkan hasil apa-apa. Perusahaan menganggaplahan yang mereka garap sudah menjadi hak merekakarena berdasarkan izin dari pemerintah (SK MenhutNo. 137/KPTs-II/1997) yang dimilikinya dan telahmelakukan ganti rugi sebelumnya. Pada akhir tahun1999 masyarakat kembali menuntut tanahnya akantetapi tidak ditanggapi oleh pihak perusahaan.

Karena tidak juga mendapat tanggapan dariperusahaan, maka pada bulan Maret 2001 masyarakatmemblokir jalan perusahaan. Mereka mendudukibase-camp dan memagarinya dengan kawat berduri.Seluruh aktivitas perusahaan pada saat itu berhentitotal. Masyarakat menuntut perusahaan untukmemberikan uang ganti rugi sebesar Rp. 1,2 milyaratas kebun karet mereka serta seluruh hasil hutanyang berada dalam kawasan hutan adat yang telahdigusur pada waktu pembukaan lahan. Pihakperusahaan akhirnya mulai menanggapi, dankemudian dimulailah proses-proses negosiasi, yangdilakukan antara PT. RAPP dan perwakilanmasyarakat setempat. Dalam hal ini, Yayasan Hakikimelakukan pendampingan masyarakat, sambilmemberikan informasi yang dibutuhkan untukmenyelesaikan konflik. Negosiasi ini terjadiberulang-ulang dan berlangsung selama lebih kurangenam bulan dan akhirnya disepakati bahwaperusahaan sanggup membayar sejumlah Rp. 300juta (hanya seperempat dari jumlah yang dituntutmasyarakat.

3.3.3. Persepsi Pihak-pihak yang TerlibatDalam kasus ini, pihak-pihak yang terlibat langsungadalah perusahaan dan masyarakat sendiri.Sedangkan pihak-pihak lain seperti LSM Hakiki danDinas Kehutanan juga dianggap sebagai pihakberkepentingan walaupun tidak terlibat langsungdalam konflik. Keterlibatan mereka hanya dalamproses-proses negosiasi awal saja atau apabila sudahada kesepakatan antara kedua belah pihak(perusahaan dan masyarakat), maka merekadiikutsertakan sebagai saksi kesepakatan tersebut.

14 Datuk Khalifah adalah orang yang memimpin satu kekhalifahan yang merupakan bapak dari anak-kemenakan. Dia bertanggungjawab atas anak kemenakannya dan juga mengenai pembagian hak garap dari anak-kemenakannya tersebut.

1 5 Uang ganti rugi.

Page 46: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

36 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

A. Perusahaan - PT. Riau Andalan Pulp & PaperPersepsi perusahaan didapatkan berdasarkanpenuturan Direktur Program PemberdayaanMasyarakat Riau (PPMR) PT RAPP dan tiga orangstafnya. Dalam menjalankan operasinya, PT. RAPPmemang banyak mendapatkan tantangan dari berbagaipihak, terutama dari masyarakat, baik mereka yangberada di sekitar lokasi perusahaan yang mendapatkandampak langsung, maupun dari masyarakat luas.Terjadinya benturan-benturan antara perusahaan danmasyarakat tidak dapat dihindari karena ada sajaketidakpuasan masyarakat terhadap perusahaan, danterlebih lagi karena kurangnya perhatian daripemerintah. Hal ini dapat dimaklumi karena rata-ratakondisi kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaanmasih kurang baik.

Konflik-konflik yang terjadi di masyarakat banyak jugadipicu oleh pihak ketiga yang berusaha mengambilkeuntungan. Misalnya, penggerakan massa olehorang-orang yang ingin menjual kayu kepadaperusahaan. Ketika kayu mereka ditolak olehperusahaan karena asal usulnya yang tidak jelas, makamereka akan menggerakkan masyarakat untukmelakukan pemblokiran jalan agar kayu merekadapat diterima perusahaan.

Sementara itu, konflik-konflik akibat klaim tanah adatdari sudut pandang perusahaan dinilai hanya mengada-ada saja, karena secara hukum tanah adat mereka tidakbisa dibuktikan. Pada dasarnya Suku Melayumerupakan peladang berpindah, sehingga sebenarnyaladang-ladang yang sudah mereka tinggalkan danmenjadi hutan kembali tidak bisa lagi disebut sebagaitanah adat. Sering terjadi, lahan yang diklaim sebagaitanah adat luasnya bisa mencapai ribuan hektar, danini sama sekali tidak masuk akal. Jadi, lahan-lahanbekas ladang yang sudah ditinggalkan tidak bisa lagidisebut sebagai tanah adat. Selain itu, masyarakat jugatidak bisa membuktikan, mana yang sebenarnyamereka klaim sebagai lahan adat mereka.

Pemberian kompensasi lebih sering digunakan PT.RAPP sebagai cara dalam menyelesaikan konflik. Halini dilakukan setelah melalui musyawarah dan mufakatdengan masyarakat, karena ada juga tuntutan-tuntutanyang jumlahnya tidak masuk akal. Proses negosiasi initidak banyak melibatkan pihak lain, dan lebih banyakdilakukan antara pihak perusahaan dan masyarakatsaja. Walaupun pihak lain dilibatkan, misalnya dari

pemerintah, mereka hanya terbatas sampai padatingkat kecamatan dan Musyawarah PimpinanKecamatan (Muspika) setempat saja.

Saat ini PT. RAPP mengembangkan programpemberdayaan masyarakat yang dikenal denganPPMR (Program Pemberdayaan Masyarakat Riau).Program ini merupakan suatu mekanisme layanansumber daya dukung untuk membantu masyarakatagar mereka dapat mengentaskan dirinya sendiri. PT.RAPP menyadari bahwa program ini bukanmerupakan cara perusahaan agar terhindar darikonflik-konflik dengan masyarakat, tetapi merupakantanggung jawab sosial perusahaan terhadapmasyarakat di sekitarnya. Dalam implementasinya,masyarakat masih banyak yang menolak program-program ini. Namun demikian PT. RAPP berharapprogram ini dapat meningkatkan kesejahteraanmasyarakat di sekitar areal kerja perusahaan, sehinggadapat mengurangi frekuensi konflik antaramasyarakat dengan perusahaan.

B. MasyarakatBaik tokoh adat dan kepala desa mengakui bahwa intipermasalahan dengan PT. RAPP adalah adanyasebagian areal konsesi HTI PT. RAPP yang berada dikebun karet dan hutan di wilayah tanah ulayatmasyarakat Kuntu.

Pada saat PT. RAPP mulai beroperasi di daerah initahun 1994, perusahaan dengan sewenang-wenangmengambil lahan masyarakat baik yang berupa hutanmaupun kebun karet tanpa mengadakan sosialisasilebih dahulu dengan tokoh adat maupun masyarakatpenggarap kebun karet tersebut. Kepala desamengakui bahwa pada saat itu memang adapemberitahuan melalui desa, tetapi karena perangkatdesa pada saat itu kurang dipercayai masyarakat dandianggap sebagai kaki tangan perusahaan, makamasyarakat tidak mau tahu. Tokoh adat punmenganggap awal kedatangan PT. RAPP ke daerahmereka tanpa permisi dan tidak menghargai hak-hakmasyarakat. Pada tahun itu juga sebenarnyaperusahaan telah mengganti rugi kebun karetmasyarakat yang telah digusur dan uang suguh hati16

berupa bantuan untuk pembangunan desa. Namunmenurut tokoh adat, uang ganti rugi ini diberikankepada masyarakat tanpa ada kesepakatan terlebihdahulu dan disertai dengan tekanan dari pihakperusahaan.

Page 47: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

37Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Pada tahun 2001 masyarakat yang terdiri dari ninik-mamak dan perangkat desa melakukan tuntutan kekantor sektor PT. RAPP Logas Utara. Pada awalnya,masyarakat menyurati pihak perusahaan (lihatLampiran 6. Surat Blokir Jalan) dan menunggujawabannya selama beberapa bulan, namun tidakpernah ada tanggapan. Masyarakat kemudianmenganggap bahwa bila berhubungan denganperusahaan harus disertai kontak fisik. Setelahbermusyawarah dengan ninik-mamak, akhirnyamereka setuju untuk turun ke lapangan dan memblokirjalan masuk ke perusahaan. Pemblokiran dilakukanselama dua hari oleh sekitar 80 orang warga yangterdiri dari ninik-mamak, pemuka masyarakat danpemuda desa. Setelah itu barulah ada reaksi dari pihakperusahaan. Selanjutnya, terjadilah perundingan yangdilakukan oleh ninik-mamak, perangkat desa,perwakilan perusahaan dan Camat, dan memakanwaktu hampir enam bulan (enam sampai tujuh kaliperundingan) sebelum kesepakatan dicapai.Masyarakat mengajukan uang ganti rugi sebesarRp.1,2 miliar; namun kemudian yang disepakatihanya sebesar Rp.100 juta, ditambah dengan satu unitsekolah seharga Rp. 90 juta, bantuan untuk mesjidRp.10 juta dan bantuan untuk desa sebesar Rp.10juta per tahun selama sepuluh tahun. Setelah diceklagi uang yang diberikan langsung pada saat itu sebesar100 juta + 90 juta (untuk 1 unit sekolah) + 10 juga(untuk bantuan mesjid) + 10 juta (untuk desa selama10 tahun, jadi 100 juta)= 300 juta.

Kepala desa juga mengakui bahwa sebenarnyatuntutan-tuntutan ini dipengaruhi juga oleh pihak-pihak luar. Misalnya konflik PT. RAPP dengan desalain atau di lokasi lain. Masyarakat membandingkanbesarnya ganti rugi yang diterimanya dengan desa lainyang juga sedang bersengketa. Apabila merekamerasakan ganti rugi yang diterimanya belum cukup,maka masyarakat pun menjadi resah dan kembaliingin menuntut perusahaan.

Selain pemberian kompensasi, di Desa Kuntu pundilaksanakan program PPMR berupa pengobatangratis, sunatan massal (walaupun untuk sunatan massaltidak ada yang mendaftar), dan program pelatihanpertanian terpadu yang disertai dengan pemberianbantuan berupa sapi untuk penggemukan. Namun

program ini kurang mendapat tanggapan baik darimasyarakat. Menurut kepala desa, karena masyarakattidak ada yang mau mengikutinya, maka pihak desamengutus empat orang dari pesantren17 untukmengikuti pelatihan ini.

Masyarakat Kuntu sampai saat ini tidak melihatpemberian kompensasi sebagai penyelesaian konflikyang dikehendakinya. Pemberian kompensasidianggap sebagai hutang perusahaan kepadamasyarakat yang menerima dampak negatif akibatkegiatan perusahaan selama ini. Menurut mereka,konflik tersebut akan selesai apabila perusahaanmenyerahkan kembali tanah ulayat mereka.

C. Dinas Kehutanan Provinsi RiauBerdasarkan hasil diskusi dengan Kepala BagianPengurusan HTI dan beberapa staf BagianPengembangan Masyarakat, peran Dinas Kehutanandalam proses penyelesaian konflik ini tidak banyak.Menurut mereka, dalam kasus-kasus konflik HTI danmasyarakat lebih banyak diselesaikan secara intern(antara perusahaan dan masyarakat), dan bahkanperusahaan cenderung menutupi hal ini di depanpemerintah. Mereka mengetahui kasus-kasus konflikini dari artikel-artikel di media massa, yang umumnyahanya merupakan kasus-kasus besar. Dalam beberapakasus, memang mereka dilibatkan dalam prosesnegosiasi, tetapi itu pun hanya dalam tahap awal sajauntuk mencari solusi yang paling tepat dalammenyelesaikan konflik tersebut. Apabila mereka telahsepakat, misalnya untuk memberikan uang ganti rugikepada masyarakat, maka Dinas Kehutanan sudahtidak dilibatkan lagi dalam negosiasi selanjutnya.Negosiasi untuk penentuan besarnya uang kompensasidilakukan antara pihak perusahaan dan masyarakatsendiri. Biasanya wakil pemerintah yang dilibatkandalam proses-proses negosiasi ini hanya sampai padatingkat kecamatan.

Dalam kasus-kasus konflik klaim atas tanah adat,Dinas Kehutanan tidak bisa berpihak kepadamasyarakat, karena walaupun ada pengakuan ataskeberadaan tanah adat, luasan dan batas-batasnya tidakjelas, dan tidak dapat dibuktikan secara hukumformal. Sedangkan pihak perusahaan sudah memilikiizin yang sah secara hukum.

1 7 Komunitas pesantren dianggap suatu komunitas yang ekslusif di desa ini dan kurang bersosialisasi dengan masyarakat secaraumum.

Page 48: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

38 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Menurut mereka, konflik-konflik yang terjadi dalamperusahaan HPH/HTI saat ini merupakan kesalahansistem pada masa lalu. Pemerintah Pusat memberikanizin konsesi di daerah tanpa memperhatikan keadaansosial ekonomi masyarakat setempat. Dinas Kehutananmerasa kesulitan untuk membantu pihak-pihak terkaitdalam menyelesaikan konflik tersebut. Langkahterpenting yang perlu dilakukan saat ini adalahmemperjelas batas-batas areal kerja perusahaan denganmelibatkan masyarakat dan instansi terkait lainnya.Namun Dinas Kehutanan merasakan kesulitan untukmendapatkan kepercayaan, baik dari perusahaanmaupun masyarakat, untuk ikut serta dalampenyelesaian masalah tersebut. Perusahaan lebihbanyak menutupi konflik-konflik yang terjadi danberusaha menyelesaikan sendiri, sedangkanmasyarakat lebih suka mengandalkan bantuan daripihak-pihak lain, misalnya LSM.

D. LSM - Yayasan HakikiHakiki mulai aktif di daerah Kuntu pada tahun 2001,walaupun sebenarnya sejak tahun 2000 sudah mulaimengenal beberapa tokoh masyarakat Kuntu. Menurutpenilaian mereka, masyarakat Kuntu pada dasarnyatelah memiliki kelembagaan adat yang kuat danterorganisasi dengan baik, sehingga Hakiki pun tidakterlalu banyak terlibat dalam proses-proses penyelesaiankonfliknya. Peran Hakiki hanya memfasilitasimasyarakat agar mereka bisa mendapatkan wawasanyang luas dan dapat berdiskusi dengan pihak-pihaklain, seperti masyarakat adat lain ataupun denganpemerintah.

Dalam kasus konflik dengan RAPP, biasanya Hakikihanya memberikan masukan-masukan bila masyarakatmembutuhkan, dengan cara berdiskusi dengan tokoh-tokoh adat yang akan mewakili masyarakat dalamproses negosiasi. Masyarakat datang ke Hakiki danmereka akan mendiskusikan masalah-masalah yangada, kemudian hasilnya mereka diskusikan dalammusyawarah adat dan mereka sendiri memilih wakiluntuk bernegosiasi dengan pihak perusahaan.Selanjutnya, Hakiki hanya mengawasi implementasihasil-hasil kesepakatan yang telah dibuat.

Hakiki juga memperkenalkan masyarakat kepadahukum-hukum negara yang berlaku, terutama yangberhubungan dengan tanah ulayat. Hakiki menganggaphukum-hukum negara yang berlaku saat ini telah

melemahkan keberadaan masyarakat adat dan hukumadat, sehingga dalam konflik yang terjadi akibat klaimtanah adat, masyarakat selalu kalah bila menggunakanhukum formal. Contohnya, pemerintah memberikanizin pengusahaan HTI untuk mengelola suatu areal,padahal di wilayah itu terdapat masyarakat lokal yangtengah mengelola areal yang sama. Sementara,masyarakat lokal telah mempunyai sistem kepemilikandan pengelolaan lahan yang telah mereka terapkan diwilayah tersebut secara turun-temurun selama puluhanbahkan ratusan tahun. Karena hukum formal yangberlaku, pada akhirnya masyarakat tersingkir karenakepemilikan mereka tidak diakui oleh pemerintah.

Pada tahun 2002 Hakiki membantu masyarakatmelakukan pemetaan partisipatif di Desa Kuntu untukmemperjelas batas-batas antara wilayah tanah AdatKuntu dengan batas areal kerja HTI PT. RAPP, danjuga batas dengan tanah adat kekhalifahan lain. Darihasil pemetaan ini, diperkirakan terdapat ±1670 hatanah ulayat masyarakat Kuntu yang berada di arealkonsesi HTI PT. RAPP. Pemetaan ini diharapkandapat disosialisasikan agar semua pihak terkaitmendapatkan informasi mengenai batas-batas wilayahkelola mereka. Diharapkan dengan pemetaan ini,masyarakat dapat menyelesaikan persengketaanmengenai tata batas ini secara tuntas.

Hakiki menilai Dinas Kehutanan yang merupakaninstansi terkait, kurang memberikan perhatian dalamkonflik-konflik yang terjadi di seputar kegiatan HTI,kecuali apabila kasus tersebut sudah sampai padatingkat penganiayaan atau bahkan pembunuhan.

3.3.4. Upaya Penanganan KonflikPada awalnya PT. RAPP memilih pendekatan militerdalam penyelesaian konflik. Namun sejalan denganbergulirnya reformasi dan semakin kuatnya posisimasyarakat, PT. RAPP memilih jalan musyawarahsebagai penyelesaian konflik. Biasanya dalammusyawarah, masyarakat diwakili oleh ninik-mamakatau wakil yang dipilih dalam musyawarah internmasyarakat (rapat adat).

Musyawarah antara masyarakat dengan RAPP biasanyaberlangsung berulang kali dan bisa memakan waktuberbulan-bulan. Namun dalam prosesnya, musyawarahini sering menjadi sarana tawar-menawar uang saguhati.18 Setelah terjadi kesepakatan, perusahaan akan

1 8 Uang ganti rugi

Page 49: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

39Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

membayar sejumlah uang kepada masyarakat. Uangganti-rugi lahan masyarakat yang dipakai olehperusahaan biasanya langsung diserahkan kepadaKepala Keluarga (KK) masing-masing. Sedangkanuntuk tanah adat yang tidak digarap/ditanami olehperorangan, maka ganti ruginya bisa berupapembangunan gedung sekolah, bantuanpembangunan mesjid, dan bantuan uang pembinaanyang diberikan melalui desa.

Selain itu, PT. RAPP juga menerapkan program-program pemberdayaan masyarakat di sekitar arealkonsesinya, seperti pelatihan petani terpadu,pemberian bantuan sarana/prasarana pertanian,sunatan massal dan lain-lain.

3.3.5. Kesimpulan dan Pelajaranyang Bisa Diambil

Dari penuturan berbagai pihak, dapat disimpulkanbahwa penyebab konflik antara PT. RAPP denganmasyarakat Desa Kuntu adalah karena adanyatumpang tindih areal kerja HTI PT. RAAP dan lahanadat milik masyarakat Kuntu. Selain itu, masalahbatas areal juga merupakan penyebab utama dalamkonflik ini. Kedua penyebab konflik tersebut,ditambah dengan kurangnya sosialisasi PT. RAPPpada awal perusahaan beroperasi, telah menyebabkankemarahan masyarakat. Kemarahan yang telahterpendam selama bertahun-tahun ini kemudian,muncul ke permukaan pada masa Reformasi.

Gambar 17. Gedung sekolah bantuan PT. RAPP untukmasyarakat Desa Kuntu

Gambar 18. Sapi bantuan PT. RAPP untuk program PPMR

Page 50: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

40 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Masa Reformasi telah memudahkan masyarakatuntuk mendapatkan informasi, sehingga merekamenjadi lebih kritis dan menyadari hak-hak mereka.Permintaan ganti rugi pun bukan hanya sebatas nilailahannya saja, tetapi juga termasuk semua kekayaanalam terutama tanaman-tanaman yang tumbuh didalamnya. Adanya konflik perusahaan danmasyarakat di lokasi lain juga telah memicumasyarakat di Desa Kuntu untuk menuntut PT RAPPdengan hal yang sama. Selain itu, dengan bantuanLSM lokal, mereka lebih menyadari hak-hak mereka

Kotak 11. Surat Undangan Penyelesaian Klaim Lahan Masyarakat Adat Rantau

Pangkalan Kerinci, 24 Maret 2001Kepada Yang Terhormat,Bapak Drs. Dt. Bandaro MudoKetua Umum Lembaga Kerapatan Adat Rantau Kampar Kiridi Lipat Kain

Perihal: Undangan Penyelesaian Klaim Lahan Masyarakat Adat Rantau Kampar Kiri

Dengan Hormat,Teriring dengan do’a dan harapan semoga Bapak berada dalam keadaan sehat wal’afiat dan sukses dalammelaksanakan aktifitas sehari-hari. Amien.

Merujuk pada surat Saudara Nomor: 020/LKA-RKK/III/2001 tanggal 20 Maret 2001, tentang informasiakan adanya perwakilan masyarakat dari masing-masing Desa yang akan datang ke lokasi untukmenghentikan aktifitas PT RAPP di lapangan, maka berkenaan dengan hal tersebut kami mengharapkankepada saudara dan ataupun masyarakat yang menuntut adanya pengklaiman lahan pada konsesi yangkami miliki untuk dapat bersikap arif dan bijaksana dalam upaya penyelesaian permasalahan dengan tidakmelakukan perbuatan anarkis yang pada akhirnya akan merugikan Bapak dan ataupun masyarakat sertakami sendiri selaku investor di Riau ini.

Kami menghargai adanya hak ulayat sebagaimana yang Bapak maksudkan, akan tetapi Kami jugamemerlukan klarifikasi yang mendalam mengenai hal dimaksud sehingga terkesan agak lamban dalampenyelesaiannya.

Sesuai dengan komitmen PT Riau Andalan Pulp and Paper untuk menyelesaikan segenap permasalahanmaka kami mengundang Bapak beserta 5 orang perwakilan masyarakat dari masing-masing Desa untukhadir pada:Hari/ Tanggal : Kamis, 29 Maret 2001Pukul : 14.00 WIB-SelesaiTempat : Hotel Dyan Graha – Pekanbaru

Demikianlah kami sampaikan atas perhatian dan kehadiran Bapak dan Masyarakat, kami ucapkan terimakasih.Hormat kami,

Koord. LD-RFP

Tembusan:Disampaikan Kepada Yth:1. Bapak U. Syarief, Executive Director PT RAPP2. Camat Kampar Kiri di Lipat Kain

Salinan Lembaran Surat Undangan Penyelesaian Konflik Lahan antara PT. RAPP dan Masyarakat AdatKuntu.

dan keberadaan hukum-hukum negara dan lahan adatmereka yang lemah di mata hukum formal.

Sebaliknya, posisi perusahaan setelah masaReformasi menjadi melemah. Apabila pada masaOrde Baru mereka bisa meredam protes masyarakatdengan tekanan melalui pemerintah desa ataumenggunakan kekuatan militer, maka saat ini merekalebih memilih jalan negosiasi. Pilihan negosiasidilakukan karena antara lain banyaknya sorotanmasyarakat luas, bahkan masyarakat internasional

Page 51: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

41Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

adat Kuntu hampir tidak ada. Mereka cenderung tidakmau tahu dan menyerahkan sepenuhnya kepadaperusahaan untuk menyelesaikan hal ini. Apalagidengan adanya desentralisasi, mereka merasa bahwakonflik tersebut terjadi karena kesalahan masa lalu,ketika Pemerintah Pusat memegang peranan yangdominan dalam pemberian izin HPH/HTI.Akibatnya, Pemerintah Daerah saat ini merasa tidakbertanggung jawab terhadap masalah yang terjadi.Sementara itu, di lain pihak perusahaan juga tidak

yang mengaitkan masalah konflik sosial denganpersyaratan ekspor. Apabila hal ini kurangdiperhatikan, perusahaan akan menerima kerugianbesar. Untuk itu, perusahaan juga berusaha untuklebih mendekatkan diri kepada masyarakat denganmelalui program-program pemberdayaan masyarakat(PPMR).

Peran pemerintah (Dinas Kehutanan) dalampenyelesaian konflik antara PT. RAPP dan masyarakat

Tabel 7. Pokok-pokok konflik PT. RAPP vs masyarakat Kuntu

Pokok SengketaPihak yang

BersengketaTuntutan Pihak yang

BersengketaKepentingan

Ketidakjelasan tatabatas antara arealkerja HTI dan lahanadat.

PT. RAPP Masyarakat tidak terus-menerus menuntutperusahaan, apalagidengan cara-carakekerasan;

Masyarakat mau mengikutiprogram-program yangditawarkan olehperusahaan.

Mempertahankan luas arealperusahaan

Masyarakat AdatKuntu

Perusahaan memberikankontribusi terhadappeningkatan kesejahteraanmasyarakat;

Perusahaan mengakuibatas-batas lahan adatmereka.

Mendapatkan kompensasidan pembangunaninfrastruktur Desa;

Dapat mengelola kembalilahan mereka yang pernahdipakai oleh perusahaan.

LSM (YayasanHakiki)

Perusahaan menghormatibatas-batas wilayah adatmasyarakat dan norma-norma adat yang berlaku dimasyarakat;

Pemerintah dapatmemberikan dukungankepada masyarakat adatuntuk dapatmempertahankan wilayahadat mereka.

Dapat membantumasyarakat;

Mendapatkan kepercayaanmasyarakat untuk dapatmenjalankan program-program kerjanya.

Dinas KehutananProponsi Riau

Perusahaan maupunmasyarakat dapatmenyelesaikan masalahnyadengan cara-caramusyawarah;

Adanya informasi yangdisampaikan kepadapemerintah agar merekadapat membantu pihak-pihak yang terlibat.

Perusahaan dapatberoperasi dengan lancar,dan kesejahteraanmasyarakat lokal dapatterus ditingkatkan.

Page 52: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

42 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

pernah melibatkan Dinas Kehutanan dalam prosespenyelesaian konflik, bahkan cenderung menutupinya,sehingga Dinas tidak mendapatkan informasi yanglengkap mengenai kejadian-kejadian tersebut.

Penyelesaian konflik dengan cara memberikan uangganti rugi tidak memecahkan masalah secara tuntas.Kesalahan PT. RAPP terhadap masyarakat lokal dimasa lalu telah menyebabkan mereka selama inimerasa dirugikan. Pemberian ganti rugi pun dianggapterlalu kecil dari yang seharusnya mereka dapatkan.Ketidakpuasan ini mungkin akan memunculkantuntutan baru lagi. Apalagi dengan pengaruh daripihak-pihak luar dan tingkat kesejahteraanmasyarakat yang masih rendah.

3.4. Kasus HTI Perum PerhutaniUnit I, Jawa Tengah

Kasus ini menggambarkan konflik antara PerumPerhutani Unit I dengan masyarakat Randublatung,yang mencapai puncaknya setelah konflik antaramasyarakat dengan Perum Perhutani berlangsungcukup lama.

3.4.1. Gambaran Umum Wilayah PenelitianKabupaten Blora, konon terkenal sebagai daerahpenghasil kayu jati terbaik di pulau Jawa, yang berasaldari sekitar 80.000 ha hutan atau sekitar 49,1 % luaswilayahnya. Berdasarkan wilayah pengelolaan hutannya,Kabupaten Blora terbagi ke dalam tiga KesatuanPemangkuan Hutan (KPH), yaitu KPH Randublatung,KPH Cepu dan KPH Blora (Sutaryono, 2001). Namunsebagian wilayah hutan KPH Randublatung jugatermasuk dalam Kabupaten Grobogan.

KPH Randublatung terbagi dalam delapan BagianHutan (BH), 12 Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan(BKPH) dan 40 Resort Pemangkuan Hutan (RPH).Secara keseluruhan, wilayah hutan ini dikelilingi atauberbatasan dengan 39 desa hutan (desa yang berjarakkurang dari lima kilometer dari tepi hutan) denganjumlah penduduk sebesar 137.642 jiwa. Seluruh desahutan tersebut masuk ke dalam tujuh wilayahkecamatan: yaitu Randublatung, Jati, Kradenan,Banjarejo, Jepon, Kunduran dan Gabus. Dari ketujuhkecamatan tersebut, enam di antaranya termasuk kedalam wilayah Kabupaten Blora dan satu kecamatantermasuk ke dalam Kabupaten Grobongan, yakniKecamatan Gabus (Santoso, 2001).

Gambar 19. Peta lokasi penelitian di KPH Randublatung

Page 53: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

43Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Berdasarkan risalah sela19 tahun 1997, luas kawasanhutan KPH Randublatung adalah sebesar 32.464 ha,yang terdiri dari 97,3 % kawasan hutan produksidan 2,7 % kawasan hutan non produksi. Hutan jatiproduktif yang ada seluas 27.777 ha; hutan yangpertumbuhannya kurang seluas 1.787 ha, dan lahankosong seluas 689 ha. Luas lahan kosong inimeningkat menjadi 3.937 ha pada tahun 2000,sebagai akibat aksi penjarahan kayu besar-besaransejak pertengahan tahun 1998 (Santoso, 2001).

Fokus studi ini adalah Kecamatan Randublatung,dengan penekanan pada desa-desa hutan yangmemiliki dinamika sengketa sumber daya hutan yangtinggi, seperti Desa Temulus dan Bodeh. Sebagianbesar dari wilayah desa hutan yang dijadikan lokasistudi adalah kawasan hutan yang dikelola oleh PerumPerhutani KPH Randublatung. Kenyataan di lapanganmengungkapkan bahwa semakin besar luas kawasanhutan yang berada di sebuah desa maka semakin sempitruang kelola masyarakat di desa tersebut. Hal inidisebabkan oleh hak pengelolaan hutan yang beradadi tangan Perum Perhutani, yaitu KPH Randublatung.Umumnya tingkat kepemilikan lahan masyarakat desadapat digolongkan kecil, yaitu rata-rata di bawahseperempat hektar.

Desa Temulus berpenduduk 3.339 jiwa, sedangkanDesa Bodeh berpenduduk 1.538 jiwa, dengan tingkatkepadatan penduduk masing-masing 600 orang perkm2 untuk Temulus, dan 2.356 orang per km2 untukBodeh. Perhitungan ini diperlukan untuk mengetahuiseberapa besar ruang yang tersedia dan bisa diaksessepenuhnya oleh masyarakat, karena selama ini aksesmasyarakat hanya dalam porsi kecil melalui kegiatantumpangsari.

Sebagian besar mata pencaharian penduduk di desaTemulus dan Bodeh adalah bertani dan menjadiburuh tani, serta mata pencaharian lain yangbergantung pada sumber daya hutan, seperti menjadi

pesanggem, pencari recek (kayu bakar), pencari daunjati, atau kegiatan-kegiatan pengambilan kayu dikawasan Perhutani.

3.4.2. Sejarah KonflikKonflik ini berawal dari keinginan masyarakat untukmenumpahkan ketidakpercayaan kepada pemerintah,khususnya kepada aparat penjaga hutan, akibatmanipulasi yang dilakukannya dengan para pemodal.Keterlibatan para pemodal yang sebagian besarberperan sebagai penadah itu, dilihat oleh masyarakatdari dua sisi. Pertama, mereka semakin menyadaribahwa kegiatan kehutanan dapat menghasilkanpendapatan yang cukup besar dibandingkan dengankegiatan masyarakat selama ini yang hanya terlibatdalam skala kecil, misalnya upah tanam, hasiltumpangsari, upah tebangan dan upah dari berbagaikegiatan lain. Kedua, masyarakat menyadari bahwakegiatan kehutanan melibatkan begitu banyak pemainyang sebagian besar melanggar hukum. Kejadian-kejadian tentang keterlibatan oknum Perhutani,oknum militer, pemilik modal, dan pihak-pihak laindalam jaringan gelap tata usaha kayu, saat ini menjaditerbuka ketika warga juga terlibat di dalamnya. Halini menimbulkan suatu keberanian baru yang bersifatnegatif, yaitu mencontoh pelanggaran-pelanggaranhukum yang dilakukan oleh aparat yang terjadi dihadapan mereka. Pada beberapa kejadian terakhir,aparat sudah tidak lagi ditakuti oleh warga dan inimenunjukkan betapa motivasi warga telahberkembang cukup kompleks.

Konflik terbuka antara masyarakat dan PerumPerhutani dipicu ketika petugas Perhutani KPHRandublatung melakukan tindakan represif terhadappencurian kayu, yang menyebabkan dua orang wargamasyarakat tertembak pada pertengahan 1998.Selanjutnya kronologis penjarahan hutan di DesaTemulus disajikan dalam Tabel 8, yang merupakanhasil observasi Lembaga ARuPA Yogyakarta.Kejadian penjarahan hutan diawali oleh kerjasama

1 9 Keterangan sementara mengenai potensi hutan sebelum analisis semestinya yang biasanya dilakukan setiap 10 tahun.

Tabel 8. Luas hutan negara di Desa Temulus dan Bodeh

Temulus 1.046 489 47

Bodeh 2.498 2.391 96

Hutan Negara

Ha % dari Luas DesaDesa Luas Desa (Ha)

Page 54: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

44 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

KrisisMoneter

MeningkatnyaUS$

Barang DalamNegeri Murah

MeningkatnyaPermintaan Luar

Negeri

PeluangEksportir

ProdusenMasyarakat

Sekitar HutanMenjarah

PengepolI & 2

=

PENYEBAB AKIBAT

MasaPenjarahan

(1998-2001)

Gambar 20. Sebab-akibat konflik di Perhutani

Tabel 9. Kronologi Penjarahan Hutan di Temulus

Waktu Kejadian Deskripsi Kejadian

Maret 1998 - Kerjasama perangkat desa dan oknum Perhutani- Oknum Perhutani meloloskan kayu illegal

April 1998 - Ajun (Ajudan Administratur) mendatangi masyarakat,meminta kayu diserahkan

- Masyarakat meminta penengah dari Muspika

Mei 1998 - Ajun memimpin operasi, masyarakat melawan,petugas kocar-kacir

- Masyarakat mendirikan bangunan dari kayu ilegal- Masyarakat lain ikut-ikutan mengambil kayu ilegal- Perum melibatkan militer lokal (Koramil dan Polsek)- Oknum militer malah ikut ‘bermain’

Juni 1998 - Unit I berinisiatif mendatangkan Brimob- 28 Juni, tiga orang warga Desa Bapangan tertembak- 29 Juni, masyarakat Bapangan, Menden, Temulus

dan sekitarnya membakar beberapa bangunanPerhutani

Juli – September 1998 - Penjarahan berlangsung terus- Terjadi mutasi beberapa pegawai Perum setempat

Oktober 1998 - Ada pergantian beberapa petugas Koramil danPolsek

- Dilakukan operasi oleh Polda, penjarahan berkurang- Beberapa warga ditangkap, namun diloloskan setelah

membayar polisi

November 1998 - Operasi berhenti, penjarahan mulai terjadi lagi

Desember 1998 - Penjarahan masih berjalan- Ada pemilihan Kades baru- Penjarahan mulai berkurang, namun ada kasus

bibrikan (perambahan)

Januari 1999-2001 - Penjarahan masih berjalan

Sumber: Kutipan dari Penjarahan Hutan di Sekitar Desa, Temulus Randublatung.ARuPA, 1999.

Page 55: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

45Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

antara masyarakat/perangkat desa dan oknumPerhutani setempat untuk bekerja sama dalammeloloskan kayu-kayu ilegal.

3.4.3. Persepsi Pihak-pihak yang TerlibatResponden yang diwawancarai dalam studi kasus initerdiri pihak-pihak yang terlibat langsung dalamkonflik dan juga pihak-pihak terkait lainnya. Pihakmasyarakat diwakili oleh 11 warga masyarakatTemulus dan Bodeh dan satu orang kepala desa;sedangkan dari Perhutani diwakili oleh lima orangpetugas (tiga orang dari KPH Blora dan dua orangdari KPH Randublatung, yang semuanya merupakanpihak-pihak yang terlibat langsung). Sementara daripihak terkait lainnya yang diwawancarai terdiri darilima orang anggota DPRD Blora, dan satu orangdari Lembaga ARuPA yang mendampingi masyarakatsekitar wilayah Perhutani Unit 1.

A. MasyarakatBagi masyarakat, faktor utama penyebab konflik danpenjarahan adalah adanya kesenjangan sosial antaramasyarakat dengan Perhutani, yang berkembangmenjadi kecemburuan sosial. Beberapa keinginanmasyarakat yang tidak terpenuhi, seperti keinginanuntuk terlibat dalam usaha-usaha Perhutani,menambah kebencian mereka terhadap Perhutani.Menurut penilaian mereka, selama ini Perhutanihanya melibatkan orang-orang yang dekat denganPerhutani.

Perhutani juga dianggap sangat arogan terhadapmasyarakat sekitar hutan. Ini tercermin ketikaPerhutani membuat peraturan tentang pelarangan

kegiatan pengumpulan rencek dan pemungutan hasilhutan non-kayu. Keadaan ini dipertahankan terus-menerus oleh Perhutani, sementara PemerintahDaerah kurang memberikan perhatian terhadapmasalah yang terjadi di masyarakat. Karena irtumasyarakat tidak lagi percaya terhadap pemerintah.

Pergantian rejim penguasa di Indonesia, yaitu dariOrde Baru ke pemerintahan Reformasi, memilikiimplikasi yang luar biasa. Berbagai persoalan sosialdan politik yang tidak pernah terselesaikan atausengaja ditutup-tutupi, muncul kembali pada masaReformasi. Penjarahan yang terjadi di kawasanPerhutani memanfaatkan eforia reformasi, namunkrisis moneter yang memuncak pada tahun 1998 ikutmemarakkannya.

Dari hasil wawancara dengan masyarakat, insidentertembaknya dua warga masyarakat di wilayahTemulus merupakan pemicu terjadinya penjarahanbesar-besaran yang kemudian melebar sampai keseluruh wilayah KPH Randublatung. Ketika itumasyarakat menganggap perlakuan Perhutani telahmelampaui batas sehingga mengakibatkan dua orangwarga masyarakat terbunuh. Kejadian ini memaksamasyarakat untuk melakukan balas dendam terhadapperlakuan petugas Perhutani tersebut.

Masyarakat meminta agar pelaku penembakandiserahkan dan diproses secara hukum. Tetapipermintaan ini tidak pernah dipenuhi oleh pihakPerhutani, sehingga akhirnya mereka marah danmembabat hutan, merusak semua fasilitas yangdimiliki Perhutani, dan mengancam petugas Perhutani

Gambar 21. Kawasan Perhutani pasca penjarahan

Page 56: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

46 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

yang mereka temui. Tindakan kekerasan yangdilakukan petugas Perhutani sesungguhnya bukanterjadi pada saat itu saja. Sudah beberapa kali halseperti itu terjadi, tetapi ketika itu masyarakat masihtakut akan risikonya. Setelah pergantianpemerintahan, masyarakat mulai berani untukmelampiaskan kemarahannya dengan melakukanperlawanan secara terbuka, yaitu melakukanpenjarahan secara besar-besaran.

B. LSM - Aliansi Relawan untuk PenyelamatanAlam (ARuPA)

Peristiwa penjarahan hutan di KPH Randublatungbermula dari adanya kesepakatan antara masyarakatdan oknum Perhutani setempat untuk bekerja samameloloskan kayu-kayu curian. Ternyata kesepakatanitu diingkari oleh Perhutani, yang melakukan operasipenyitaan kayu curian tersebut. Masyarakat kecewadan meminta kayu yang disita diserahkan kembalidengan alasan sudah ada kesepakatan dengan oknumpetugas, bahkan masyarakat membayarnya untuksetiap batang kayu. Ketegangan ini pada awalnyabisa ditengahi oleh perangkat desa. Namunkemudian pihak Perhutani kembali mengadakanoperasi penyitaan kayu-kayu curian, bahkan kali inioperasi dilakukan dengan mengerahkan aparatmiliter setempat (Koramil dan Polsek). Ironisnya,berdasarkan informasi masyarakat, pihak Koramildan Polsek justru ikut bermain dalam transaksi kayucurian tersebut. Karena itulah operasi itu ditentangmasyarakat dan dilawan secara fisik. Namun operasiini terus dilakukan oleh pihak Perhutani, dan bahkandengan mengerahkan bantuan Brimob dariSemarang.

Perlawanan masyarakat yang semula berupa upayamenuntut balas itu, terus berkembang menjadibentuk-bentuk perlawanan yang lain, yaituperlawanan pada sistem tata niaga kayu. Merekabekerjasama dengan blandong (para pencuri kayu)melakukan penjarahan, baik dalam skala kecilsebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari,maupun pencurian kayu untuk keuntungan pribadiserta pembangkangan-pembangkangan yang terkaitdengan masalah lahan. Perlawanan menuntut balastersebut dijadikan pokok konflik klasik yangsemakin menguat antara Perhutani dan masyarakatdesa hutan, yakni sengketa dalam hal pemenuhankebutuhan subsisten masyarakat desa hutan, baikkebutuhan pangan maupun papan (ARuPA, 1999).

Bahkan bukan hanya itu, perlawanan menuntut balasjuga dijadikan alasan untuk pencurian-pencurianskala besar yang selama ini hanya dilakukan secaradiam-diam. Sejak terjadi penembakan dua wargamasyarakat yang kemudian melahirkan perlawananmenuntut balas, berbagai bentuk perlawanan dimasyarakat desa hutan Randublatung dilakukansecara terbuka. Pengambilan kayu dari hutan tidaklagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kemudianmasyarakat tanpa izin begitu saja menggarap lahan-lahan hutan bekas penjarahan, serta melakukanperdagangan kayu curian yang melibatkan banyakpihak, mulai dari tingkat desa hingga ke kota.

Banyaknya kejadian dan konflik di masa lalu,menekan harapan warga untuk dapat secara mandirimengatur ketergantungan hidupnya kepada sumberdaya hutan di sekitar mereka. Keinginan yang sudahlama terpendam, ditambah dengan melunturnyakepercayaan masyarakat desa kepada aparat militermaupun kepada aparat Perhutani, telah membuatkeadilan hukum di mata masyarakat semakin tidakdirasakan lagi. Mereka sangat jarang mendengar ataumelihat adanya tindakan hukum terhadap oknum(pemerintahan, Perhutani, militer, pemilik modal)yang selama ini terlibat pencurian kayu. Namunmasyarakat desa sering mengalami tindakan represifPerhutani terhadap warga yang melakukanpengambilan kayu ilegal, walaupun dalam skala kecil-kecilan.

C. PerhutaniAdministratur KPH Blora dan Kepala TeknikKehutanan Umum (KTKU) KPH Randublatungmenjelaskan bahwa penjarahan terjadi karena hutanmerupakan aset terbuka dengan nilai ekonomi yangtinggi, terutama hutan jati. Hal lain yangmempengaruhi masyarakat untuk melakukan jarahhutan adalah karena masyarakat belum merasakansecara langsung manfaat yang diberikan oleh hutan.Seandainya masyarakat dapat merasakan manfaatkeberadaan hutan secara adil, maka mereka pastitidak akan melakukan penjarahan. Perhutani menilaibahwa akar masalah yang mendorong penjarahanadalah ketidakpuasan masyarakat terhadap Perhutaniyang dibuktikan oleh kesenjangan ekonomi danperaturan yang sentralistis.

Perhutani juga menuduh adanya tokoh intelektualdibalik penjarahan tersebut yang melakukan

Page 57: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

47Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

pembodohan terhadap masyarakat. Reformasi dankrisis ekonomi yang berkepanjangan merupakankesempatan yang baik bagi mereka untukmempengaruhi masyarakat untuk menjarah hutan jatimilik Perhutani dengan iming-iming keuntungan yangbesar.

Pihak Perhutani bekerjasama dengan POLRI,Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, tokoh-tokohmasyarakat desa, dan para anggota Dewan Perwakilanrakyat Daerah (DPRD) untuk menyelesaikanpenjarahan yang terjadi. Dalam hal ini telah dilakukanpendekatan sosial dan pendekatan keamanan. Untukpendekatan keamanan, Perhutani bekerjasama denganPOLRI; sedangkan untuk pendekatan sosial,Perhutani secara terus-menerus melakukanpenyuluhan dan memberikan pengertian kepadamasyarakat bahwa hutan yang ada bukan hanya untukkepentingan Perhutani, tetapi juga untuk kepentinganseluruh umat manusia. Oleh karena itu, Perhutanijuga berusaha untuk menyadarkan masyarakat bahwapengelolaan hutan saat ini bukan hanya tanggungjawab Perhutani saja, melainkan harus dilakukanbersama dengan semua elemen yang ada, baik itumasyarakat maupun pihak yang lain. Ide inilah yangakhirnya menjadi cikal bakal munculnya programPengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Bagi Perhutani, PHBM merupakan salah satu upayauntuk mengatasi penjarahan hutan, karena PHBMmelibatkan masyarakat secara partisipatif. Dalammelaksanakan PHBM, dibuat perjanjian antaraLembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) denganPerhutani, meliputi pembagian ruang dan bagi hasil.Selain itu, dikembangkan juga usaha yang dapatmeningkatkan kesejahteraan masyarakat berupabudidaya tanaman dan beternak. Dari 34 desa yangada di sekitar wilayah KPH Randublatung, 12diantaranya sudah mengadakan perjanjian denganPerhutani melalui LMDH; sedangkan dari 20 desayang ada di dalam KPH Blora, 13 desa sudahmelakukan hal yang sama. Perhutani menilai bahwaPHBM cukup berhasil karena masyarakat sudah mulaimemperhatikan kelestarian hutan. Indikasinya adalahangka pencurian kayu yang menurun drastis. Saat ini,Perhutani juga akan melakukan rehabilitasi lahankritis dan akan melakukan reboisasi akibat aksipenjarahan sampai dengan tahun 2007. ProgramPHBM diyakini menjadi salah satu terobosanPerhutani agar kejadian penjarahan tidak terulang

kembali karena program ini menerapkan konsep bagihasil. Program ini juga dinilai telah menggeserparadigma pengelolaan hutan yang berbasis hasil kayu(timber management) ke pengelolaan yang berbasissumber daya (resource management ) yangmengedepankan pengelolaan sumber daya hutanpartisipatif dan dilakukan bersama masyarakat ataukelompok masyarakat yang memiliki kepentinganterhadap kelestarian sumber daya hutan.

D. DPRD BloraMenurut penilaian lima anggota DPRD KabupatenBlora, konflik yang terjadi disebabkan karenaPerhutani telah melakukan kesalahan dalammenerapkan metode pengelolaan hutan. Salah satucontohnya adalah masyarakat di sekitar hutan tidakpernah diberi kesempatan menjadi mitra kerja dalammengelola hutan. Selain itu, konflik antara Perhutanidengan masyarakat juga disebabkan oleh ketatnyaperaturan yang ada di Perhutani dan birokrasi yangpanjang. Disisi lain, tingkat kesejahteraan pegawaiPerhutani relatif lebih tinggi dibandingkan denganmasyarakat di sekitar hutan. Hal ini telahmenimbulkan kesenjangan dan kecemburuan sosialmasyarakat, yang akhirnya memunculkan perlawanandari masyarakat karena Perhutani dianggap tidakpernah memperhatikan kebutuhan mereka.Penjarahan besar-besaran yang berlangsung selamatahun 1998-2001 bukan saja merugikan Perhutani,tetapi juga telah merugikan Pemerintah Daerah.Kerugian ini bukan saja dari segi materi, tetapi sampaimemakan korban jiwa.

Lemahnya penegakan hukum juga turut mempengaruhimaraknya penjarahan karena banyak terjadi kasuspencurian kayu tidak ditangani dengan serius olehpihak yang berwenang. Hal ini yang membuatmasyarakat semakin berani untuk mencuri kayu dihutan jati Perhutani, dengan asumsi bila nantinyatertangkap maka akan dapat diselesaikan dengan cepat.

Ketika terjadi penjarahan besar-besaran, DPRD telahberusaha untuk mempertemukan masyarakat denganpihak Perhutani. Bersama dengan Polres, DPRD turutserta ke lapangan untuk meredakan penjarahan danmencari pelaku utamanya. DPRD juga telahmengajak Pemda Blora, Dinas Kehutanan Blora, sertatokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa maupunyang duduk di DPRD untuk bersama-sama mengatasipenjarahan ini.

Page 58: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

48 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Menurut DPRD, upaya yang sebaiknya dilakukanPerhutani agar kejadian penjarahan tidak terulangkembali adalah melakukan pendekatan secaraekonomi dan sosial. Hal ini dapat dilakukan,misalnya, dengan pengelolaan dan penjagaan hutanbersama masyarakat, yang dapat dituangkan dalamsebuah perjanjian kontrak mitra kerja. Selain itu,Perhutani juga dapat menyediakan pinjaman denganbunga rendah kepada masyarakat, dalam bentuk uangmaupun ternak dan melakukan pembinaan terhadapmasyarakat di sekitar hutan. Upaya lain adalahpenegakan hukum bagi siapa saja yang mencuri, tidakterkecuali terhadap petugas Perhutani sendiri.

Mengenai program PHBM, DPRD juga merasakanketerbatasan program ini untuk menampungkeinginan masyarakat. Ini dibuktikan dengan masihadanya masyarakat yang menolak program PHBMkarena terdapat beberapa aturan yang tidakmenguntungkan masyarakat. Misalnya aturanmengenai kerusakan hutan, yang menjadi tanggungjawab masyarakat sebagai pengelola hutan, dan bukanmenjadi tanggung jawab bersama dengan Perhutanisebagai pemilik hutan.

3.4.4. Upaya Penanganan KonflikPenyelesaian konflik yang dilakukan oleh pihakPerhutani melalui pendekatan sosial dan keamanantampaknya belum mampu menghentikan perlawanan-perlawanan masyarakat secara signifikan. Pendekatanini rupanya belum sepenuhnya menyentuh akarmasalah yang menyebabakan konflik, yaitu ruangkelola yang terlalu kecil bagi masyarakat, kebutuhandasar masyarakat yang masih belum terpenuhi, dankecemburuan sosial.

Bagi Perhutani, PHBM merupakan alternatif solusiyang dapat diandalkan karena PHBM memilikiparadigma yang berbeda dengan konsep-konsep yangpernah diterapkan sebelumnya. PHBM melibatkanmasyarakat baik dalam pengamanan maupunpembagian hasil tanaman dan memiliki konsep bagihasil.

Namun bagi masyarakat, khususnya di Temulus,PHBM belum menjawab masalah yang ada dimasyarakat, yaitu bagaimana memenuhi kebutuhansubsisten kayu, bagaimana memperluas ruang kelolamasyarakat, dan bagaimana menciptakan hubunganyang harmonis antara Perhutani dan masyarakat.

Masyarakat juga menilai bahwa PHBM belumsepenuhnya sesuai dengan konsep awalnya. Sebagaicontoh dalam pembagian hasil, bila pengelolaantanaman berhasil, maka proporsi yang diterimamasyarakat adalah 25 persen dan untuk Perhutani75 persen. Namun apabila produksi berkurangkarena adanya kerusakan, maka yang dikurangiadalah proporsi hak masyarakat, sedangkan hakPerhutani tetap. Selain itu, masyarakat juga merasajarang dilibatkan pada pertemuan-pertemuan dalampengambilan keputusan.

Masyarakat lebih memilih sistem Manajemen Rejim(MR) Mozaik yang menjadi salah satu instrumenresolusi konflik, khususnya untuk wilayah DesaTemulus. Sistem ini dikembangkan dari hasilkesepakatan antara Perum Perhutani KPHRandublatung, masyarakat Temulus dan LembagaAruPA. Kebijakan yang mulai dikembangkan padatahun 2000 ini bersifat kasus per kasus dan hanyaterdapat di KPH Randublatung. MR Mozaik padadasarnya merupakan modifikasi dan adaptasi konsepMR yang dikembangkan oleh Prof. Simon di KPHMadiun dan Surakarta. Sistem MR Mozaik inimemperluas ruang kelola masyarakat denganmengangkat kembali kearifan-kearifan lokal.Misalnya dengan menerapkan konsep maro, yaitubekerja sama dengan masing-masing pihakmemperoleh setengah dari hasil. Konsep inimerupakan salah satu bentuk kearifanan tradisionalyang tidak pernah diterapkan secara formal dalampengelolaan sumber daya hutan yang melibatkanmasyarakat.

Dalam pelaksanaan MR, masyarakat berhak menguasailahan tetapi tidak berhak untuk menjualbelikannya.Masyarakat berhak untuk menanami lahan seluassetengah hektar untuk tanaman pertanian. Dalampembagian hasilnya, Perhutani mendapat bagian 60persen dan masyarakat memperoleh 40 persen.

3.4.5. Kesimpulan dan Pelajaranyang Bisa Diambil

Pengelolaan hutan di KPH Randublatung telahmenimbulkan sengketa antara masyarakat di sekitarhutan dengan Perhutani. Sengketa ini muncul dalamberbagai bentuk perlawanan masyarakat, baik secaratertutup maupun terbuka. Perlawanan tersebutdidasari oleh motif ekonomi dan juga dipengaruhioleh motif non-ekonomi. Perlawanan masyarakat desa

Page 59: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

49Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

hutan juga dilakukan terhadap peraturan kehutananyang dibuat oleh Perhutani. Salah satu peraturan yangdianggap tidak relevan oleh masyarakat adalahlarangan bagi masyarakat untuk mengambil rencek(kayu bakar).

Perlawanan dengan motif ekonomi pada umumnyabersumber pada kebutuhan kayu dan ruang kelola(kebutuhan atas lahan) oleh masyarakat, karenatingkat kepemilikan lahan masyarakat desa padaumumnya kecil. Ketika sumber pemenuhan ekonomimasyarakat tidak tersedia, maka satu-satunya pilihanuntuk memenuhi kebutuhan hidup adalah melakukanpencurian di hutan yang dikelola oleh Perhutani.Perlawanan ini, biasanya ditunjukkan denganmelakukan pencurian kayu di lahan Perhutani, melaluikerja-sama dengan para blandong .

Perlawanan masyarakat yang dengan motif non-ekonomi bersumber dari upaya masyarakat untukmelakukan balas dendam terhadap cara-cara Perhutanidalam mengamankan hutan. Pendekatan represif yangsering dilakukan Perhutani dan merugikan masyarakatdan sikap Perhutani yang sering dianggap semena-mena terhadap masyarakat sekitar hutan telah memicutindakan balas dendam ini.

3.5. Kasus Hutan LindungPegunungan Meratus,Kalimantan Selatan

Kasus ini menggambarkan konflik yang terjadi dikawasan hutan lindung Pegunungan Meratus.Penyebab utama konflik adalah pengalihan fungsihutan di kawasan tersebut. Konflik ini melibatkanbanyak pihak, dan pihak masyarakat yang terkaitlangsung adalah masyarakat Dayak Meratus.

3.5.1. Gambaran Umum Wilayah PenelitianGambaran umum wilayah penelitian untuk studi kasusini sama dengan studi kasus PT. Kodeco Timber(Lihat 3.1.1.). Karena kedua lokasi studi kasus inimasih berada dalam satu kecamatan.

3.5.2. Sejarah KonflikSejak jaman kolonial Belanda, kawasan hutanPegunungan Meratus telah ditetapkan sebagai hutancadangan untuk kepentingan pengatur tata air.Kebijakan ini didasarkan pada Gouvernements Bisluit(GB) No. 10 dan 11 yang dikeluarkan pada tanggal10 Februari 1928. Kebijakan ini menetapkankawasan hutan Meratus sepanjang Kotabaru hinggaPaser sebagai kawasan hutan lindung yang tidak boleh

Gambar 22. Peta lokasi penelitian di kawasan rencana alih fungsihutan lindung Pegunungan Meratus

Page 60: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

50 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

digunakan untuk kepentingan lain apapun.Selanjutnya kebijakan itu menegaskan pula bahwakawasan hutan Pegunungan Meratus sepanjang HuluSungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST),Hulu Sungai Utara (HSU), hingga Tabalong, yangdisebut sebagai “Sabuk Hijau Meratus” ditetapkansebagai kawasan hutan lindung (LPMA, 1999).

Berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan(TGHK) Provinsi Kalimantan Selatan tahun 1984,kawasan hutan Pegunungan Meratus ditetapkansebagai hutan lindung. Kemudian berdasarkanRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)Kalimantan Selatan (1996), sebagian fungsi lindungtersebut diubah menjadi kawasan lindung danbudidaya. Pada tahun 1998 dilakukan paduserasiTGHK dan RTRWP yang hasilnya menetapkankawasan hutan Pegunungan Meratus sebagai kawasanhutan lindung. Ketetapan ini diputuskan dalam SuratKeputusan Menteri Kehutanan dan PerkebunanNo.453/Kpts-II/1999.

Masalah di kawasan hutan lindung ini mulai setelahkeluarnya keputusan Presiden yang menetapkankawasan hutan lindung Pegunungan Meratus sebagaidaerah tangkapan air (catchment area) untukmendukung kelangsungan Kawasan PengembanganEkonomi Terpadu (KAPET) Batulicin di KabupatenKotabaru (Keppres No.11 tahun 1998). Untukmendukung pelaksanaan KAPET ini, GubernurKalimantan Selatan (waktu itu Drs.Gt. Hasan Aman)mengusulkan kepada Menteri Kehutanan danPerkebunan (waktu itu Dr. Muslimin Nasution),untuk mengubah sebagian fungsi lindung menjadiHutan Produksi Terbatas (HPT). Kawasan ini akandialokasikan sebagai pengganti areal kerja PT.Kodeco Timber seluas ±57.000 ha dan PT InhutaniII seluas ±9000 ha yang saat itu arealnya digunakanKAPET. Usulan Gubernur itu dituangkan dalam suratnomor 525/0224/EKO tanggal 31 Mei 1999.

Selanjutnya Menteri Kehutanan dan Perkebunan(Menhutbun) menyetujui usulan tersebut melaluisuratnya nomor 1117/Menhutbun-VIII/99 tanggal19 Agustus 1999 dan menetapkannya dengan SuratKeputusan (SK) Menhutbun No.742/Kpts-II/1999tanggal 22 September 1999. Berdasarkan SK ini,kemudian ditetapkan areal pengganti untuk PTKodeco dengan mengubah fungsi kawasan hutan diPegunungan Meratus dari hutan lindung menjadi

Hutan Produksi Terbatas (HPT), yang dituangkandalam SK No.741/Kpts-II/1999). KeputusanMenhutbun ini kemudian diikuti dengan persetujuanprinsip pencadangan areal HPT tersebut kepada PT.Kodeco Timber melalui surat Menhutbun No.1793/Menhutbun-VI/1999. Sebagai tindak lanjutnya,dilaksanakanlah survei inventarisasi potensi dananalisis dampak lingkungan (AMDAL).

Pada tanggal 1 Desember 1999, diselenggarakan rapatkoordinasi penetapan perubahan fungsi kawasanlindung Meratus. Rapat dihadiri oleh Ketua BappedaTingkat I, Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I, KetuaBapedalda Tingkat I, Pimpinan PT Kodeco Timber,Ketua BKPMD, LSM, Bupati Kotabaru, mediamassa, serta Kakanwil Kehutanan dan PerkebunanProvinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasilkesimpulan rapat, ternyata sebagian besar pesertamenolak alih fungsi ini. Kemudian hal ini disampaikankepada Gubernur sebagai bahan rekomendasi olehketua BKPMD (Drs. HM. Sjahriel Darham). Sebagaitindak lanjut, Gubernur mengeluarkan surat nomor526/06705/Eko yang mengusulkan kepada MenteriKehutanan untuk meninjau kembali status alih fungsikawasan tersebut, mencabut SK 741 dan 742 danmenghentikan survei inventarisasi dan penyusunanAMDAL.

Sementara SK Menhutbun belum dicabut, surveiinventarisasi potensi dan AMDAL terus berjalan,bahkan hasil survei potensi dan AMDAL inimendapatkan persetujuan dari DPRD ProvinsiKalimantan Selatan sesuai dengan suratnya nomor162/286/DPRD tanggal 29 September 2000, danGubernur Kalimantan Selatan (Drs. HM. SjahrielDarham) melalui suratnya nomor 660.1/281/Bapedalda tanggal 4 Oktober 2000.

Kemudian pada tanggal 23 Oktober 2000, MenteriKoordinator Bidang Perekonomian dengan suratnyanomor S-85/M.Ekon/10/2000 meminta kepadaMenteri Kehutanan (pada waktu itu Marzuki Usman)untuk mencabut SK Menhutbun No.1793/Menhutbun-VI/1999 dan No.741/Kpts-II/1999. Halini kemudian diikuti oleh surat Bupati HST No.050/17441/Bappeda-III, tanggal 17 Desember 2000.

Akan tetapi pada tanggal 22 Desember 2000,Gubernur Kalimantan Selatan memberitahukankepada Menteri Kehutanan bahwa areal relokasi alih

Page 61: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

51Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Peta TGHK Kalsel 1984

Sebagianmenjadi Kawasan

Lindung & Budidaya

Peta RTRWPKalsel 1996

Paduserasi TGHK & RTRWP

Kalsel 1998

KepMenhutbunNo.453/Kpts-II/1999

KepMenhutbunNo.741/Kpts-II/1999

Perda No.9 Thn 2000tentang RTRWP

Surat Menhut No.164/Menhut-VIII/2002

Keppres No. 11 thn 1998Surat Gubernur KalselNo. 525/02240/EKOSurat MenhutbunNo.1117/Menhutbun-VIII/99KepMenhutbunNo.742/Kpts-II/1999

Surat Menko BidangPerekonomianNo.S-85/M.EKON/10/2000SK KaBaplanhutNo.42/Kpts/VII-KP/2001)

Hutan Lindung

Hutan Lindung

Hutan Lindung

Hutan ProduksiTerbatas

(± 46.270 ha)

Gambar 23. Diagram proses alih fungsi kawasan Pegunungan Meratus

fungsi hutan lindung menjadi HPT telah diakomodirdalam Peraturan Daerah (Perda) No.9 Tahun 2000tanggal 21 Desember 2000 tentang RTRWPKalimantan Selatan (Surat Gubernur KalimantanSelatan No.525/02884/Eko).

Menanggapi surat tersebut, Menteri Kehutananmengeluarkan Surat No.34/Menhut-VII/RHS/2001tanggal 22 Juni 2001 yang menyatakan bahwaberdasarkan hasil kajian Tim Terpadu terhadap areal

seluas ±57.560 ha di DAS Balangan Kabupaten HSU,kawasan tersebut perlu ditetapkan sebagai hutanlindung dan sebagian arealnya diusulkan untukditingkatkan menjadi taman nasional (surat KepalaBalai Planologi Kehutanan Kalimantan Selatan no.42/Kpts/VII-KP/2001).

Namun kemudian Gubernur Kalimantan Selatankembali meminta Menteri Kehutanan dengansuratnya nomor 500/165-BA/EKO tanggal 22 Januari

Proses Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Pegunungan Meratus

Page 62: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

52 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

2002, yang pada prinsipnya meminta agar suratpengalihan fungsi tersebut segera diterbitkan untukmemperoleh kepastian hukum atas kawasanPegunungan Meratus.

Menteri Kehutanan (Dr. Prakosa) menanggapipermintaan Gubernur tersebut melalui suratnyaNo.164/Menhut-VIII/2002 tanggal 5 Februari 2002yang prinsipnya tetap menolak rencana alih fungsikawasan hutan lindung Pegunungan Meratus danmerekomendasikan agar seluruh kawasan tersebutdikembalikan fungsinya sebagai hutan lindung.Selanjutnya Menteri Kehutanan meminta agar PerdaNo.9 Tahun 2000 tentang RTRWP disesuaikandengan hasil kajian Tim Terpadu.

Sementara itu, DPRD Kalimantan Selatan melaluisuratnya nomor 063/SKM/VIII/2002 tanggal 22September 2002, sependapat dengan MenteriKehutanan untuk tetap mempertahankan kawasanhutan Pegunungan Meratus sebagai hutan lindung,dan DPRD akan mempelajari ulang peta alih fungsikawasan yang termuat dalam Perda No. 9 Tahun 2000tentang RTRWP dengan memperhatikan kondisirealistis yang ada di lapangan.

Diagram di bawah ini memberikan gambaran alurproses perubahan kawasan hutan Pegunungan Meratusyang sampai kini masih terkatung-katung.

3.5.3. Persepsi Pihak–pihak yang TerlibatSampai sekarang, menurut LPMA kawasan hutanPegunungan Meratus masih dalam status quo dandianggap tidak jelas. Walaupun Menteri Kehutanandan DPRD Kalimantan Selatan sudah menyatakanuntuk tetap mengembalikan fungsi hutan PegununganMeratus sebagai hutan lindung, Gubernur pada saatini tidak melakukan keputusan apapun terhadapkawasan tersebut, termasuk perubahan Perda No. 9Tahun 2000 tentang RTRWP.

Dalam menghadapi masalah ini, instansi-instansiyang terkait pun tidak mencoba untuk menyamakanpersepsi dan visinya untuk menyelamatkan hutan ini.Masing-masing instansi, baik Pemerintah Daerah,BKSDA sebagai wakil dari Pemerintah Pusat didaerah, dan juga LSM, mempunyai pendapat masing-masing untuk mempertahankan kewenangan sertakepentingannya sendiri.

A. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)Kalimantan Selatan

Berdasarkan hasil diskusi dengan Kepala BKSDAKalimantan Selatan dan stafnya, BKSDA dan DinasKehutanan mempunyai pandangan yang berbedamengenai kawasan lindung Pegunungan Meratus.BKSDA mendukung keputusan Menteri Kehutananyang terakhir yaitu tetap mempertahankan fungsilindung, bahkan menurut keterangan Kepala BKSDAKalimantan Selatan, BKSDA telah mengajukan untukmeningkatkan sebagian arealnya sebagai tamannasional sejak tahun 1996, namun sampai saat inibelum ada tanggapan lebih lanjut. Selain itu, sebagailembaga konservasi, BKSDA tidak memilikikewenangan apapun selain melakukan kajian-kajiandan memberikan rekomendasi kepada PemerintahPusat. BKSA juga mengeluhkan keterbatasan staf dandana BKSDA dalam memantau dan mempertahankankawasan lindung. Sementara di lain pihak, PemerintahDaerah semakin tidak mempedulikan kebijakanapapun yang berasal dari Pemerintah Pusat.

B. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatandan Pemda

Dinas Kehutanan sebagai bagian dari PemerintahanDaerah mendukung Gubernur untuk mengubahfungsi kawasan lindung menjadi HPT. Walaupunpada saat ini mereka mengakui Surat KeputusanMenteri Kehutanan No.164/Menhut-VIII/2002,mereka juga tidak mendesak Gubernur untuk segeramengubah Perda No. 9 tahun 2000 tentang RTRWP.Dengan demikian terkesan adanya kesengajaan untukmenunda perubahan ini, sebagai cara untuk tetapmempertahankan status kawasan hutan tetap tidakjelas.

Demikian pula sikap Bupati Kotabaru tampak tidakjelas. Menurut RTRWP Kabupaten Kotabaru,kawasan ini berfungsi sebagai hutan lindung, sehinggaseharusnya Bupati pun setuju untuk mempertahankankawasan ini sebagai hutan lindung. Akan tetapi yangterjadi di lapangan tidak demikian. Di kawasan inibanyak terdapat Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yangdikeluarkan oleh Bupati. Saat ini ada beberapa IPKyang beroperasi dengan luas areal mencapai 2500ha. Secara operasional, pelaksanaan IPK ini punsudah menyimpang, karena IPK seharusnyadijalankan oleh masyarakat di kawasan tanah adatdan tanpa menggunakan alat-alat berat. Kenyataannyasemua kegiatan produksi dilakukan oleh PT Kodeco

Page 63: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

53Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

sebagai pembeli kayu-kayu tersebut. Sayangnya,verifikasi dengan pihak PT Kodeco Timber tidakdapat dilakukan untuk memastikan kebenarannya.

C. MasyarakatPersepsi masyarakat di sekitar areal “alih fungsi”terbagi dalam dua kubu yang saling berlawanan.Sebagian masyarakat setuju dengan rencana alihfungsi ini dan sebagian lagi menolak. Masyarakatyang setuju dengan rencana ini beranggapan bahwamasuknya perusahaan (seperti perusahaan kayu), akanmeningkatkan kesejahteraan mereka, karena akanterbuka kesempatan kerja baru. Di samping itu akanada pembangunan jalan dan sarana prasarana lainnya(salah satu desa yang termasuk dalam areal alih fungsiini berjarak 18 km atau lebih kurang 10 jam berjalankaki dari ibukota kecamatan).

Sementara itu, masyarakat yang menolak rencanaini mempunyai alasan bahwa mereka telah belajardari desa yang termasuk dalam areal kerja PT. Kodecoyang lama (masih dalam satu kecamatan). Ternyata,

kesejahteraan mereka tidak meningkat denganmasuknya perusahaan. Selain jalan penghubung, desatetangga tidak mendapatkan apa-apa. Jalan itu pundibangun bukan untuk kepentingan masyarakat,tetapi untuk kepentingan perusahaan semata. Selainitu, kerugian yang ditimbulkan perusahaan lebihbanyak dibandingkan manfaat yang diperolehmasyarakat. Mereka berpendapat bahwa denganmasuknya perusahaan, akses mereka untuk masukke dalam hutan akan berkurang, yang berarti jugaakan menghilangkan sebagian besar mata pencaharianmereka. Semua alasan ini akan memicu konflikantara masyarakat dan perusahaan.

Masyarakat yang tergabung dalam LembagaMusyawarah Masyarakat Dayak (LMMD) termasukdalam kelompok yang menentang keras rencana alihfungsi ini. Bahkan masyarakat yang tergabung dalamPersatuan Masyarakat Adat Kalimantan Selatan(Permada) mendesak Pemerintah Provinsi danKabupaten untuk mengakui dan menghormatikeberadaan masyarakat adat dan mendesak

Kotak 12. Kongres Adat Adat Tuntut Hormati Haknya; Desak Izin Eksploitasi Hutan, Dicabut

Masyarakat Adat di Kalimantan Selatan mendesak pencabutan izin PT Kodeco, PT Aya Yayang, PT MeratusSumber Mas (PT Placer Dome Indonesia dan PT Scorpio Placer Dome), PT Bina Alam Lestari Indah, yangdiduga cuma mengeksploitasi hutan.

BANJARMASIN, KP - Persatuan Masyarakat Adat Kalimantan Selatan menuntut Pemerintah Provinsi danDPRD Kalimantan Selatan agar menghormati hak-hak mereka atas tanah dan lingkungan hutan di sekitarnya,khususnya dari kegiatan eksploitasi maupun pengambil-alihan hasil hutan.

Alasannya, karena masyarakat adat telah mendiami lokasi tersebut secara turun-temurun, tetapi kinijustru terpinggirkan dengan masuknya aktivitas perusahaan yang melakukan eksploitasi hutan, tutur KetuaBadan Pelaksana Persatuan Masyarakt Adat Kalimantan Selatan, Jonson Masri.

Hal tersebut diungkapkannya saat berdialog dengan Ketua DPRD Kalimantan Selatan H. Mansyah Add,yang didampingi anggota lainnya. seperti H.Sofwat Hadi, Addy Chairuddin, dan Agus Martadi, dalam rangkaianKongres Masyarakat Adat Se- Kalimantan Selatan, Kamis (26/6), di Banjarmasin.

Jonson Masri yang dikelilingi sekitar 750 orang yang mewakili 300 balai atau kampung adat di wilayahKalimantan Selatan yang berpartisipasi dalam Kongres Masyarakat Adat baru-baru tadi, juga menyampaikandeklarasi dan menetapkan 26 Juni 2003 sebagai hari kebangkitan masyarakat adat.

Untuk itulah, masyarakat adat mendesak agar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten (Pemprop/Pemkab)mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat, baik yang menyangkut agama asli, adat istiadat,hukum adat maupun tanah adat.

”Keberadaan tanah adat hingga kini belum mendapatkan pengakuan dari Pemprop/Pemkab, sehinggapemerintah bisa dengan mudah memberikan izin bagi perusahaan untuk melakukan eksploitasi hutan,”ujarnya.

Pihaknya menginginkan penghentian pengambilalihan hak-hak masyarakat adat dan mencabut seluruhkebijakan legalisasi HGU, HPH, HTI, Pertambangan, Perkebunan, Pensertifikatan tanah adat dan proyek-proyek lainnya, mengingat kegiatan tersebut hanya merugikan masyarakat adat dan lingkungan hidup disekitarnya, tambah Jonson.

Sumber: Kalimantan Post, Jumat 27 Juni 2003

Page 64: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

54 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

pencabutan izin PT. Kodeco, PT. Aya Yayang, PT.Meratus Sumber Mas dan PT. Bina Alam Lestari Indahyang diduga hanya sekedar mengeksploitasi hutan(Kaltim Post, 2003).

D. LSM-LPMABerdasarkan penuturan dari Direktur EksekutifLPMA dan ketua koordinator Aliansi AdvokasiMeratus, mereka menolak rencana alih fungsi ini.Aliansi Advokasi Meratus yang merupakan gabungandari 33 LSM yang ada di Kalimantan Selatanditambah dengan Lembaga Pengkajian MasyarakatAdat (LPMA), dan Presidium Gabungan AksiReformasi Damai (GARDA) Kalimantan Selatan.Beberapa LSM yang tergabung dalam AliansiAdvokasi Meratus saat ini mendampingi masyarakatdi beberapa desa yang termasuk dalam areal rencanaalih fungsi. Selain melakukan advokasi dan membukaforum-forum diskusi dalam rangka penyelamatankawasan lindung ini, mereka juga melakukanpeningkatan pemberdayaan masyarakat di sekitarkawasan, termasuk menyertakan masyarakat dalampelatihan-pelatihan pengolahan dan pengelolaan SDA.

Menurut mereka, perubahan status kawasan inidikhawatirkan akan menyebabkan bencana alam,mengingat kondisi kawasan hutan yang rawanbencana apabila tidak dilindungi. Selain itu, kehadiranperusahaan di kawasan tersebut, akan membuka akseske kawasan lindung dan dikhawatirkan akanmengancam kelestarian kawasan hutan lindung.

3.5.4. Upaya Penanganan KonflikBerbagai upaya telah dicoba untuk menyelesaikankasus ini. Salah satunya adalah dengan melakukanrapat-rapat koordinasi yang dihadiri oleh berbagaiinstansi pemerintah yang terkait, pihak perusahaan,LSM, dan media massa. Walaupun sebagian besarpeserta rapat tidak setuju dengan alih fungsi ini,kegiatan eksploitasi berjalan terus.

Upaya yang lain adalah pembentukan Tim Terpaduyang dikoordinasi oleh BKSDA untuk mengkajikelayakan “alih fungsi” kawasan ini. Hasil akhir darikajian ini menyatakan bahwa kawasan ini tidak dapatdialihfungsikan karena akan menimbulkan banyakdampak negatif terutama terhadap lingkungan disekitarnya. Bahkan hasil kajian merekomendasikanagar kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung.Namun tampaknya sebagian pihak yang berwenang

atas kawasan ini tidak dapat menerima hasil kajian,dan tetap menginginkan alih fungsi kawasan inidilakukan.

3.5.5. Kesimpulan dan Pelajaranyang Bisa Diambil

Pada saat ini pihak-pihak yang terkait dengan konflikalih fungsi ini saling mempertahankan pendapatnyamasing-masing untuk melindungi kepentingangolongan/kelompoknya. Seharusnya semua pihakmempunyai niat baik untuk menyelesaikan konflik inidan meninggalkan kepentingan kelompoknya untukkepentingan bersama; kemudian mencari solusimelalui kompromi yang akan menguntungkan semuapihak, tidak hanya untuk jangka pendek saja, tetapijuga untuk masa depan. Tabel 10 menjelaskan pokok-pokok konflik Meratus dan tuntutan dari masing-masing pihak yang terkait.

Dari pembahasan tentang kepentingan kawasan,Pegunungan Meratus sebaiknya dipertahankanfungsinya sebagai hutan lindung. Sebagian besarkawasan ini memenuhi kriteria kelerengan sebagaihutan lindung (kelerengan > 40%). Selain itu, kawasanini merupakan wilayah hulu Daerah Aliran Sungai(DAS), yang akan terganggu fungsi hidrologisnya,apabila terjadi alih fungsi. Kemudian dari segi sosial,dikhawatirkan akan menyebabkan konflik baru antaramasyarakat dan pemegang hak pengelola hutanproduksi tersebut.

Pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kasus iniadalah kentalnya nuansa tarik ulur antara PemerintahPusat dan Daerah, sehingga menimbulkanketidakpastian atas fungsi kawasan. Ketidakpastianyang berlangsung lama telah mengundang munculnyaberbagai kegiatan eksploitatif, sehingga mengancamkelestarian hutan. Selama masalah ini belumdiselesaikan secara bersama-sama, kelestarian hutanPengunungan Meratus dikhawatirkan akan terusterancam.

3.6. Kasus Taman NasionalKutai, Kalimantan Timur

Kasus ini menggambarkan konflik yang terjadi diTaman Nasional Kutai (TNK), Kalimantan Timur.Konflik terjadi antara masyarakat yang berada di dalamkawasan TNK dengan Balai TNK sebagai pengelolakawasan konservasi ini.

Page 65: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

55Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

3.6.1. Gambaran Umum Wilayah PenelitianSejak jaman Belanda, TNK sudah berstatus sebagaikawasan konservasi. Secara umum kawasan inimerupakan dataran rendah dengan ketinggian berkisarantara 0 – 400 m di atas permukaan laut (dpl). Sebagiantopografinya berbukit (bergelombang ringan, sedangsampai berat), dan di bagian barat serta utara berbukitdengan ketinggian yang mencapai 70-200 m dpl. TNKmempunyai keunikan sistem ekosistem denganbeberapa tipe hutan yang terdapat di dalamnya, yangsangat penting bagi kelangsungan hidup berbagaimacam jenis flora dan fauna yang dilindungi.

Secara administrasi pemerintahan, TNK terletak diKabupaten Kutai Timur (±80%), Kabupaten KutaiKartanegara (±17,48%), dan Kota Bontang (±2,52%).Sedangkan secara geografis berada di antara 0o7’54”–0o33’53” LU dan 116 o58’48” – 117 o35’29” BT.

Kawasan TNK ini membentang sepanjang gariskhatulistiwa mulai dari pantai Selat Makassar yangmerupakan batas paling timur. Kawasan ini jugadibatasi oleh Sungai Sangatta di sebelah utara; hutanlindung Bontang dan HPH Surya Hutani Jaya di sebelahselatan; dan HPH PT Kiani Lestari di sebelah barat.

Tabel 10. Pokok-pokok konflik hutan Pegunungan Meratus

Kepentingan

Mendapatkan kawasan sebagaipendukung KAPET Batulicin;Memperoleh Pendapatan AsliDaerah (PAD).

Mempertahankan kawasankonservasi

Mendapatkan areal kerja barusebagai pengganti areal kerjamereka yang telah dirubah olehPemda sebagai daerahtangkapan air pendukungKAPET

Mempertahankan kawasankonservasi dan mencegah HPHmengambil hak masyarakatadat yang selama ini mengelolahutan tersebut

Mendapatkan kesempatankerja, meningkatkankesejahteraan , danmemperoleh sarana jalan danaksesibilitas dari desa mereka

PokokSengketa

Pihak yangBersengketa

Tuntutan Pihak yangBersengketa

Rencana AlihFungsi KawasanHutan LindungPegununganMeratus

Pemerintah DaerahProvinsi Kalsel

Kawasan yang dulu sudahdisetujui perubahan fungsinyamenjadi HPT tidak dicabut lagidan menjadi HL kembali

DepartemenKehutanan

Pemda tidak membuatperaturan-peraturan yangbertentangan dengan kebijakanpusat dan segera mengembali-kan fungsi kawasan hutanpegunungan Meratus menjadihutan lindung kembali.

PT. Kodeco Timber Baik Pemda maupun Pusatmemberikan persetujuan untukperubahan fungsi kawasan inisebagai HPT danmengesahkannya sebagaiareal kerja HPH PT. Kodecoyang baru.

LSM Kawasan ini dipertahankanfungsinya sebagai kawasankonservasi

Masyarakat sekitarkawasan yang setujuatas rencana alihfungsi (pro)

Pemerintah merubah fungsikawasan ini sebagai HPT.

Masyarakat sekitarkawasan yang tidaksetuju atas rencanaalih fungsi (kontra)

Pemerintah tetapmempertahankan fungsikawasan ini sebagai hutanlindung.

Mempertahankan kelestarianalam sekitar mereka danmencegah orang dari luarmasuk mengambil kekayaanalam di wilayah mereka danmembatasi akses masyarakatmasuk ke dalam hutan

Page 66: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

56 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Selain itu, TNK juga berdekatan dengan industri-industri besar seperti PT Badak NGL, PT PupukKaltim, PT Kaltim Prima Coal, PT Porodisa, PTIndomico Mandiri, serta Pertamina yang sejak jamanBelanda berada dalam kawasan TNK.

TNK yang dikelilingi daerah industri telahmengundang masyarakat untuk bermukim di dalammaupun di luar kawasan TNK, karena merekaberharap dapat memperoleh lapangan pekerjaan.Sebelum tahun 1982, yaitu saat kawasan iniditetapkan menjadi taman nasional, di dalam kawasanini telah terdapat pemukiman (enclave) di beberapatempat terpisah. Pada saat ini pemukiman tersebuttelah menjadi desa definitif, yaitu Desa Sangatta

Selatan, Desa Singa Geweh, Desa Sangkimah danDesa Teluk Pandan. Sampai dengan tahun 2002,penduduk yang bermukim di keempat desa tersebutberjumlah 19.794 orang, sebagaimana diperlihatkandalam Tabel 11.

3.6.2. Sejarah KonflikSejak berdiri TNK memang tidak pernah lepas dariberbagai macam konflik, yang sudah berlangsungsepanjang sejarah permukiman di dalam kawasandan perubahan status kawasan sejak jaman Belanda.Masalah pemukiman ini memang telah ada sejaklama, namun pada waktu itu jumlah pemukim masihsedikit dan mereka tidak berani melawan terhadappetugas yang mengawasi TNK.

Tabel 11. Jumlah penduduk di dalam kawasan TNK (2000-2001)

Jumlah PendudukApril 2002

19.794

Gambar 24. Peta lokasi penelitian di kawasan Taman Nasional Kutai

6.7303.5614.4825.021

Sumber: Pusat Informasi BTNK, 2002

Desa2001

1. Di dalam enclave

2. Di luar enclave

18.821

361

a. Sangatta Selatanb. Singa Gewehc. Sangkimad. Teluk Pandan

5.9553.9233.5805.363

Page 67: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

57Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Sejak tahun 1934, luas kawasan ini terus berkurangsecara drastis karena berbagai kepentingan, sepertiHPH, perluasan industri pupuk dan gas alam sertapengembangan fasilitas Pemerintahan Daerah.Pengurangan luas ini diperkirakan akan terus terjadikarena masih terdapat usulan pelepasan kawasan seluas15.000 ha untuk pemukiman.

Menurut keterangan seorang penduduk, desa-desayang telah ada sebelum kawasan ini berstatus sebagaikawasan konservasi adalah Desa Sangatta Selatan danDesa Sangkimah, yang dijadikan lokasi penelitian ini.Pada awalnya Desa Sangkimah didirikan olehsekelompok orang Basap yang kemudian digantikanoleh Suku Dayak. Akan tetapi karena merekaberpindah-pindah dan semakin menjauhi pantai,akhirnya wilayah ini ditempati oleh Suku Kutai.Namun kemudian datang Suku Bugis dari KecamatanSegeri, Pangkep, Sulawesi Selatan yang sampai saatini bermukim di Desa Sangkimah. Berdasarkan hasilwawancara dengan BIKAL, sebuah LSM lokal yangberkedudukan di Kota Bontang dan telah banyakmelakukan pendampingan dan penelitian mengenaimasyarakat di lokasi penelitian, kedatangan pertamapenduduk dari Sulawesi ini terjadi pada tahun 1924.Perintis Bugis ini terdiri dari satu kelompok yangberanggotakan kurang dari sepuluh orang.

Pada tahun 1934, berdasarkan GB No. 3843/AZ/1934, kawasan TNK ditetapkan oleh pemerintahBelanda sebagai hutan cadangan dengan luas2.000.000 ha. Kemudian pada tahun 1936,Pemerintah Kutai menetapkan kawasan ini sebagaiSuaka Marga Satwa Kutai dengan luas 306.000 ha,berdasarkan ZB No. 80/22-ZB/1936. Pada tahun yangsama (1936), perusahaan pertambangan minyak milikpemerintah Hindia Belanda/BPM mulai beroperasidengan membawa pekerja dari Jawa dan jugamempekerjakan penduduk lokal di Sangatta Selatandan Sangkimah. Kemudian pada awal kemerdekaanIndonesia terjadi gelombang kedatangan pendudukdari Sulawesi Selatan secara besar-besaran denganalasan keamanan, yaitu adanya perang kemerdekaandan juga operasi pemberantasan gerombolanpemberontak terhadap negara Republik Indonesia.Kedatangan penduduk berikutnya berasal dariSulawesi, Jawa dan bahkan dari wilayah lain diKalimantan Timur, yang terjadi pada saat industriperkayuan dan pertambangan mulai ramai pada tahun1960-an (Suharso dan Chan, 2001). Para pendatang

baru ini pada awalnya berharap akan mendapatpekerjaan, akan tetapi tidak semua orangmemperolehnya. Akhirnya mereka yang tidakmendapatkan pekerjaan lari ke hutan dan tinggal didalam kawasan itu untuk memenuhi kebutuhanhidupnya.

Pada tahun 1967, pemukiman di daerah TelukPandan mulai dibangun. Pemukimnya berasal dariKabupaten Bone, Sulawesi Selatan yang pada awalnyabermukim di daerah Sikattub, Bontang. Kepindahanini disebabkan karena persengketaan antara merekadan para pemukim lain.

Pada tahun 1971, berdasarkan Surat Keputusan (SK)Menteri Pertanian No.230/Kpts/Um/6/1971,sebagian kawasan ini yaitu seluas 106.000 hadilepaskan. Pelepasan seluas 60.000 ha inidiperuntukkan bagi HPH PT. Kayu Mas dan sisanyaseluas 46.000 ha untuk PT. Pupuk Kaltim dan PT.Badak NGL. Dengan adanya pelepasan kawasan,pemukim yang berada dalam areal ini diharuskanpindah dan mereka mendapatkan ganti rugi lahan dariperusahaan. Akan tetapi pemukim ini hanya berpindahdari kawasan yang telah dilepas ke bagian hutan lainnyayang masih dalam kawasan konservasi.

Pada tahun 1982, dalam Kongres Taman NasionalIII Sedunia di Bali, kawasan ini dideklarasikansebagai taman nasional dengan luas 200.000 ha.Penunjukan ini kemudian ditetapkan oleh SKMenteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982.

Pada tahun 1990 disepakati perjanjian pinjam pakaikawasan antara Departemen Kehutanan danDepartemen Perhubungan untuk membangun jalantrans-Kalimantan. Jalan ini berada di dalam kawasanTNK dan tepat membelah TNK menjadi dua bagian.Pembukaan jalan ini kemudian menjadi salah satupemicu yang mempercepat pengurangan luas hutandi kawasan ini karena telah membuka akses untukmengangkut hasil hutan ke luar dari kawasan ini.

Tahun 1991 berdasarkan SK Menteri PertanianNo.435/Kpts-VIII/1991, kawasan TNK ini dikurangilagi sebesar 1.371 ha untuk perluasan Kota Bontangdan PT. Pupuk Kaltim, sehingga luas kawasan TNKmenjadi 198.629 ha Pada tahun 1997 GubernurKaltim menetapkan tiga desa definitif yang ada didalam wilayah TNK.

Page 68: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

58 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Selain pengurangan luas taman nasional sebagai akibatberbagai kebijakan, kebakaran hutan juga telahmengurangi luas areal TNK. Kebakaran hutan yangterjadi pada bulan Agustus-Oktober 1997 danJanuari-Mei 1998 semakin memperlihatkanketidakmampuan Pemerintah Pusat dan Balai TamanNasional Kutai dalam menjaga kawasan hutan ini.Lahan bekas terbakar ini pun semakin mengundangbanyak masyarakat untuk bermukim dan melakukanusaha pertanian. Menurut BIKAL (2001), akibatperambahan ini luas hutan TNK berkurang seluas±16.000 ha sepanjang jalan Bontang-Sangatta. Selainitu, pada tahun ini juga luas TNK kembali berkurangseluas 25 ha ini untuk perluasan Kota AdministratifBontang, sesuai dengan SK Menteri KehutananNo.997/Menhut-VII/1997.

Pada tahun 1999, Pemerintah Kabupaten KutaiTimur mengusulkan perubahan sebagian areal TNKmenjadi Kawasan Budidaya Non -Kehutanan (KBNK)seluas 15.700 ha. Areal ini dicadangkan untukrelokasi desa-desa dan pemukiman yang saat iniberada di dalam wilayah TNK, serta untukpembangunan ibukota Kutai Timur, Sangatta,termasuk pembangunan lapangan udara danpelabuhan. Pada bulan April 2000, DepartemenKehutanan dan Perkebunan menyatakanpersetujuannya untuk membuat enclave, yangkemudian ditindaklanjuti oleh Surat Perintah Kerja(SPK) Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam(PKA) No. 830/DJ-V/LH/2000. SPK tersebut padadasarnya menyatakan bahwa Pemerintah KabupatenKutai Timur dapat melaksanakan tata batas enclave

di empat desa, yaitu Sangatta Selatan, Singa Geweh,Sangkimah dan Teluk Pandan.

Tahun 2001 Bupati Kutai Timur menetapkan TimEnclave yang kemudian melakukan inventarisasi,membuat peta kerja dan instruksi kerja. Namundemikian, hingga saat ini enclave tersebut belum dapatdiselesaikan karena beberapa masalah. Masalahpokok yang dihadapi Tim Enclave adalah keterbatasandana sehingga kegiatan tata batas di Desa TelukPandan belum dapat dilaksanakan. Masalah lainnyaadalah trayek pada peta kerja tidak dapat diterimaoleh warga Dusun I/Sangkimah Dam, Dusun Sidrapdan Kanibungan. Ketiga dusun tersebut masih belumdapat diputuskan apakah masuk ke dalam wilayahDesa Teluk Pandan atau Kecamatan Bontang. Selainitu, luas areal enclave berkembang dari 15.000 hamenjadi 24.000 ha.

Saat ini kegiatan enclave tidak diteruskan karenaberbagai masalah tersebut. Sementara itu, terjadiperubahan kebijakan di Pemerintahan Pusat yangtidak lagi mengijinkan keberadaan enclave di dalamkawasan taman nasional. Masalah enclave ini jugamerupakan akibat perbedaan persepsi mengenaidefinisi enclave antara Pemerintah Daerah danPemerintah Pusat.

3.6.3. Persepsi Pihak–pihak yang TerlibatA. Balai Taman Nasional KutaiBerikut ini adalah pandangan dari Balai TamanNasional Kutai (BTNK) yang didapatkan dari hasilwawancara dengan staf BTNK yang banyak menangani

Gambar 25. Pemukiman penduduk di dalam kawasan TNK

Page 69: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

59Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

masalah-masalah antara TNK dengan masyarakat danjuga dilengkapi dengan hasil tulisan yang dibuat olehstaf BTNK dan tenaga sukarelawan VSO (VoluntaryService Overseas) di BTNK (lihat Suharso dan Chan,2001).

Menurut BTNK, bagaimanapun juga keberadaanmasyarakat di dalam kawasan TNK merupakan halyang ilegal. Satu-satunya solusi adalah memindahkanmasyarakat ke luar dari kawasan TNK, karena apabiladibiarkan dan hanya diberi batas (enclave), pendudukdalam kawasan akan terus berkembang dan hampirdipastikan akan menambah tekanan terhadap wilayahTNK.

Selanjutnya menurut pihak BTNK, enclave tidak akandapat menyelesaikan masalah pemukiman. Apalagidengan adanya perbedaan persepsi antara PemerintahDaerah dan Pemerintah Pusat mengenai definisienclave. Menurut Pemerintah Pusat, desa yangberada di enclave masih tetap berada di bawahpengelolaan BTNK. Kegiatan enclave dilakukan hanyauntuk membatasi aktivitas masyarakat di kawasanTNK sehingga tidak lagi merambah areal lain di dalamenclave. Namun, menurut persepsi Pemerintah Daerah,kawasan enclave sepenuhnya harus dilepaskan dan akanberada di bawah pengelolaan dan pengawasanPemerintah Daerah, sehingga masyarakat akan bisamendapatkan sertifikat tanah tersebut.

Untuk menghadapi berbagai konflik yang terjadi didalam kawasan TNK, pihak BTNK merasa bahwapenegakan hukum harus dilakukan. Apalagi pada saatini pihak BTNK sudah kehilangan wibawa dankekuatannya dimata masyarakat. Sejak masaReformasi, masyarakat menjadi sangat berani.Hampir setiap bentuk pengamanan yang dilakukanoleh pihak TNK mendapatkan perlawanan darimasyarakat. Mereka sudah tidak merasa takut kepadasiapapun, sehingga mereka bisa menjadi sangat nekatmenggunakan parangnya untuk mengancam petugas.Sementara itu, upaya pendekatan masyarakat melaluipenyuluhan dan bantuan kepada masyarakat selalumendapatkan hambatan. Sejak awal masyarakatsudah beranggapan bahwa kegiatan penyuluhan tidakbermanfaat dan sebaliknya hanya akan menyulitkanmereka saja.

Ketidakmampuan BTNK dalam mencegah kebakaranhutan, karena keterbatasan sumber daya manusia,

fasilitas, dana dan juga jalur koordinasi yang panjang(ke Jakarta), semakin melemahkan posisi BTNK.

BTNK mengharapkan agar pemerintah pusatmempunyai sikap yang lebih tegas dan konsisten dalammenghadapi masalah ini. Kasus enclave, misalnya,menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidakkonsisten dalam menangani masalah ini. WalaupunPemerintah Pusat pernah mengeluarkan SPK dariDirektorat Jenderal Perlindungan Alam danKonservasi Alam,pergantian kepemimpinan diJakarta menyebabkan pergantian kebijakan pula.

Pada saat ini Pemerintah Pusat menolak enclave ini dantidak mengakui hasil enclave sebelumnya. KemudianSurat Menteri Kehutanan No. 1889/Menhut-II/2002tanggal 21 November 2002 menyatakan bahwaDepartemen Kehutanan tidak bermaksud melepaskanwilayah enclave dari TNK. Dalam kaitan ini, BTNKsetuju dengan kebijakan Pemerintah Pusat tersebutkarena pada dasarnya di kawasan taman nasional tidakboleh ada enclave. Namun BTNK juga mengharapkanadanya pernyataan resmi dan sosialisasi denganmasyarakat dan Pemerintah Daerah.

Ketidakjelasan status enclave saat ini akhirnyadimanfaatkan oleh para spekulan tanah dan penebangliar untuk mengambil keuntungan. Ketidakjelasan inijuga meningkatkan perambahan hutan olehmasyarakat di dalam wilayah enclave. Dan staf BTNKpun tidak lagi bisa menindak segala bentuk kegiatanyang dilakukan oleh siapa pun di dalam kawasanenclave.

Dalam pengelolaan dan pengawasan kawasan TNK,BTNK pun merasa tidak mampu melakukannyasendiri karena keterbatasan sumber daya manusiadan fasilitas. Oleh karena itu, BTNK sangatmengharapkan bantuan dari pihak-pihak lain yangterkait untuk ikut serta menjaga dan melestarikanTNK.

B. Pemerintah Kabupaten Kutai TimurPersepsi Pemerintah Kabupaten Kutai Timurdiperoleh dari hasil wawancara dengan Kepala DinasLingkungan Hidup (LH) Kabupaten Kutai Timur dansatu orang stafnya.

Menurut mereka, konflik yang terjadi di TNK sudahberlangsung sejak lama. Selama itu pula pihak BTNK

Page 70: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

60 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

dianggap sangat lambat dalam menghadapi berbagaipermasalahan, sementara Pemerintah Pusat terkesansama sekali tidak ada upaya untuk menyelesaikanpermasalahan. Akibatnya, laju kerusakan TNKberlangsung dengan sangat cepat dan semakin parah.

Pemda merasa berkewajiban untuk ikut serta dalampenyelesaian masalah-masalah konflik yang terjadi diTNK walaupun sebenarnya TNK bukan merupakanwewenangnya. Namun masyarakat pemukim sangatberharap bahwa Pemda dapat membantu merekauntuk menyelesaikan masalah konflik yang terjadi diantara mereka dengan BTNK. Apalagi masyarakattersebut telah bermukim sejak dahulu di dalamkawasan tersebut, dan Pemda tidak bisa begitu sajamengabaikan keberadaan mereka di sana. Hal inilahyang mendorong Pemda untuk menetapkan empatdesa definitif yang berada di dalam kawasan TNK.

Selain itu, Pemda menganggap Pemerintah Pusat tidakmempunyai kemampuan untuk mengelola TNK,seperti ketidakmampuan BTNK untuk mengendalikankebakaran hutan, penebangan liar dan lajuperambahan yang semakin meningkat dan tidakterkendali. Oleh sebab itu seharusnya PemerintahPusat memberikan kepercayaan kepada Pemda untukmengelola TNK sesuai dengan semangat desentralisasi.Menurut mereka, Pemerintah Daerah bisa lebih proaktif dalam menyelesaikan berbagai konflik karenajalur koordinasinya yang lebih dekat kepadamasyarakat. Selama ini Pemda selalu ingin ikut sertadalam pelestarian TNK, akan tetapi dalampelaksanaannya kadang-kadang terbentur padakewenangan yang tidak diberikan oleh PemerintahPusat.

Berkaitan dengan kelanjutan enclave, PemdaKabupaten telah melakukan pengajuan Rancangan

Peraturan Daerah (Raperda) kepada Pemerintah Pusatmelalui surat nomor 177/BS-SIG/IX/2002 tanggal 5September 2002, namun sampai saat ini belum adatanggapan dari Pemerintah Pusat.

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh PemdaKabupaten untuk membantu BTNK dan PemerintahPusat dalam pelestarian TNK adalah membuat studimengenai penelurusan data Taman Nasional Kutai.Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas LingkunganHidup (LH) Kabupaten Kutai Timur, bekerjasamadengan DFID yang berlangsung sejak November 2002sampai Januari 2003. Hasilnya berupa buku mengenaidata dan informasi tentang Taman Nasional Kutai.

C. Masyarakat Sekitar Taman Nasional KutaiPersepsi masyarakat dikumpulkan dari hasilwawancara dengan tiga orang tokoh masyarakat dariDesa Sangkimah dan satu orang warga biasa.Disamping itu, persepsi masyarakat diperoleh darihasil-hasil penelitian sebelumnya (lihat BIKAL, 2001;Suharso dan Chan, 2001).

Di mata masyarakat, BTNK dipandang sebagaipenyebab ketertinggalan dan keterbelakanganpembangunan masyarakat dalam kawasan TNK. Tidakmasuknya jaringan listrik ke desa dan tidakdibangunnya jembatan menurut masyarakat adalahakibat larangan dari BTNK (Suharso-Chan, 2001).Namun, menurut staf BTNK pelanggaran inididasarkan atas kewajiban pengelola untuk menjagakeaslian kawasan TNK sehingga segala bentukpembangunan di dalam kawasan taman nasional tidakdiijinkan.

Masyarakat juga tidak mengerti mengapa mereka tidakboleh bermukim di sana, sementara Pertaminadiperbolehkan untuk beroperasi dengan segala

Kotak 13. Kejadian Perusakan Fasilitas TNK

Pada bulan September 1999 pihak BTNK menahan puluhan kubik kayu yang diduga merupakan hasilpenjarahan masyarakat yang akan dijual kepada pengusaha asal Bontang Selatan. Akan tetapi hal inimenimbulkan kemarahan masyarakat dan akhirnya mereka melakukan tindakan perusakan pondok penelitiandan pondok jaga TNK. Aksi ini dilakukan oleh sekitar 30 orang warga masyarakat dari Desa Sangkimah.Menurut masyarakat, kayu itu diperuntukkan untuk membangun jembatan dan masjid. Sebelumnya merekatelah meminta kayu sebanyak 400 meter kubik untuk keperluan tersebut, namun pihak BTNK tidak mengizinkandengan alasan bahwa tidak boleh ada kegiatan penebangan kayu di wilayah TNK. Namun kemudian tanpapersetujuan pihak BTNK, Kepala Desa Sangkimah mengeluarkan surat izin penebangan.

Sumber: BIKAL. 2001. Potret Taman Nasional Kutai

Page 71: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

61Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

fasilitasnya yang mewah. Mereka pun merasa sakithati karena menganggap bahwa keberadaan satwa dikawasan taman nasional lebih dipentingkan daripadakeberadaan manusianya. Masyarakat merasa berhakberada di kawasan tersebut karena mereka telahbermukim di sana sejak lama dan turun-temurun,jauh sebelum kawasan konservasi ini ditetapkan (lihatsejarah kedatangan mereka pada bagian 3.6.2). Padaawal kedatangannya, mereka tidak mengetahui dantidak ada yang memberitahukan bahwa merekaberada di dalam kawasan konservasi. Namun sampaisaat ini mereka merasa tidak ada masalah dengankeberadaan mereka di kawasan tersebut. Merekamulai merasa terganggu pada tahun 1982, sejakkawasan ini ditetapkan menjadi taman nasional.Pengawasan yang dilakukan pihak pengelola menjadilebih intensif karena pada waktu itu pun perambahan,perburuan dan penebangan liar sudah ada.

Menurut masyarakat, sejak saat itu petugas TNKdinilai bertindak kejam terhadap mereka, sehinggamereka tidak bisa hidup dengan tenang. Apabila adadi antara mereka yang tertangkap sedang melakukankegiatan di kawasan ini (seperti bertani, menebangpohon, dll), mereka akan diperingatkan dengan kasardan semua peralatan mereka disita. Suatu saat merekajuga melakukan pembakaran terhadap rumah-rumahpenduduk yang ada di dalam kawasan TNK. Padasaat itu mereka tidak berani melawan kepada petugasTNK, namun mereka akan kembali melakukankegiatan-kegiatannya manakala tidak ada petugas,karena didorong oleh kebutuhan hidup sehari-hari.Mereka hanya bisa bermain “kucing-kucingan”dengan petugas untuk bisa melakukan kegiatanpertanian, berburu ataupun menebang pohon.

Setelah masa Reformasi, masyarakat menjadi lebihberani karena merasa mendapatkan dukungan dari luarterutama dari Pemda Kabupaten. Apalagi pada saatpemilihan Bupati Kutai Timur, dalam satukampanyenya menjanjikan untuk melepaskan kawasanyang mereka tempati dari wewenang TNK. Oleh karenaitu, mereka beranggapan bahwa pembukaan lahan TNKbukan lagi sesuatu yang ilegal. Apalagi sepanjang merekaketahui, pemilik tanah yang telah dikapling di dalamkawasan TNK bukan hanya penduduk di sekitarnyasaja, tetapi juga penduduk dari luar kawasan, danbahkan para pejabat pemerintah.

Pada saat akan dilakukan enclave mereka pun sempat

melakukan protes kepada Tim enclave yang dianggaphanya bekerja di atas meja. Masyarakat yang merasatidak puas menuntut Tim enclave untuk segeramengubah batas-batas enclave yang telah ditentukansebelumnya. Bahkan mereka sempat menahan Timenclave di Desa Sangkimah selama dua hari sampaimereka setuju membuat batas-batas enclave yang barusesuai dengan hasil kesepakatan dengan masyarakat.Hal inilah salah satu penyebab luas areal yang dienclave menjadi lebih besar.

Saat ini masyarakat telah menghentikan pembukaanareal baru dan mulai menunjukkan sikap konservasionis,seperti melakukan penanaman untuk rehabilitasimangrove. Bahkan untuk melaksanakannya, merekatelah membuat Rancangan Peraturan Desa (Raperdes).Namun demikian, mereka masih tetap menuntutpengesahan hasil enclave.

Ketika disinggung mengenai rencana relokasi ketempat lain mereka menyatakan tidak akan maudipindahkan, karena di tempat itulah mereka telahdilahirkan dan dibesarkan secara turun-temurun.Menurut mereka, yang harus dipindahkan adalahpara pendatang baru saja.

D. LSM - Bina Kelola Lingkungan (BIKAL)BIKAL merupakan LSM lokal yang banyak melakukanstudi dan pendampingan masyarakat yang berada didalam kawasan hutan. BIKAL banyak berperan dalammenjembatani diskusi dengan berbagai pihak yangberkepentingan yang terlibat dalam konflik. Padatahun 2000 BIKAL memulai diskusi regular (setiapsatu bulan) antara Balai TNK, Pemerintah KabupatenKutai Timur, masyarakat sekitar dan perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar TNK.

“Konflik kepentingan berbagai pihak”, mungkinitulah kata-kata yang dapat kita ungkap sebagaipenyebab hancurnya kawasan warisan Sultan RajaKutai. Akhir-akhir ini, konflik yang ada semakindipacu dengan adanya kesalahpahaman para penentukebijakan mengenai konsep Desentralisasi dan prosesdesentralisasi yang sedang bergulir. Di lapisan bawah,masyarakat memahami reformasi sebagaikesempatan untuk melakukan balas dendam. Segalasesuatu yang tadinya tidak boleh, sekarang menjadiboleh dan sah, atas nama reformasi. “Eforiareformasi”, begitulah yang sering dikatakan orang(BIKAL, 2001).

Page 72: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

62 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

TNK merupakan kawasan konservasi yang dikelilingioleh banyak perusahaan berskala besar bahkan salahsatu diantaranya (Pertamina) berada di dalam kawasanTNK. Dengan adanya pemekaran wilayah, kawasanini telah diapit oleh dua kota yang sedang berkembangyaitu Bontang–Sangatta, yang dihubungkan oleh jalanyang membelah TNK. Selain itu, sebelum menjaditaman nasional di dalam kawasan ini sudah adamasyarakat yang tinggal di beberapa lokasi yangterpisah, yang saat ini bahkan telah menjadi empatdesa definitif.

Memang sudah sejak lama banyak masalah yang harusdihadapi dalam pelestarian TNK. Penebangan liardan perambahan telah ada sejak dulu, bersamaandengan hadirnya beberapa perusahaan yangberbatasan langsung dengan TNK dan adanyapemukiman di dalam kawasan ini. Berbagai kebijakanpemerintah juga telah membuat kawasan ini semakinberkurang luasnya, dan menyebabkan kecemburuanbagi masyarakat yang telah lama bermukim di dalamkawasan tersebut. Sementara pemerintah mengalamikesulitan untuk memindahkan mereka dari kawasantersebut, beberapa perusahaan besar diperbolehkanuntuk beroperasi di sana. Masyarakat merasadiperlakukan tidak adil karena mereka sudah sejak lamadan lebih dulu berada di sana, sementara perusahaan-perusahaan tersebut baru berdatangan kemudian.

Setelah masa Reformasi, perambahan hutan yangterjadi di TNK sangat dahsyat. Dalam jangka waktudua bulan saja, luas areal yang dirambah mencapai75 km dari kanan-kiri jalan Bontang-Sangatta. Halini terjadi setelah keluarnya pernyataan Bupatimelalui kantor camat yang menyatakan bahwakawasan tersebut akan dikeluarkan dari pengelolaanBTNK. Pernyataan ini diartikan sebagai legalitasuntuk pembukaan lahan di kawasan TNK. Kemudianuntuk mengatasi hal ini, pihak-pihak yang terlibatmenyetujui untuk membuat enclave. Akan tetapikarena adanya perbedaan persepsi mengenai enclaveantara Pemerintah Pusat dan Pemda Kabupaten,sampai saat ini masalah enclave tidak kunjung selesai.Sedangkan bagi masyarakat sendiri mereka tidakpeduli definisi enclave yang mana yang akan dipakai.Mereka hanya peduli untuk mendapatkanpembebasan lahan dan memperoleh sertifikat tanahsebagaimana yang dicanangkan melalui “SertifikatProgram Nasional” dari Pemda Kabupaten.

E. Universitas MulawarmanPandangan dari Universitas ini diperoleh dari hasilwawancara dengan dua orang dosen UniversitasMulawarman (Unmul) yang banyak melakukankegiatan penelitian di kawasan TNK.

Menurut mereka, masalah konflik kehutanan dikawasan TNK sebenarnya sudah ada sejak lama, akantetapi mulai memuncak sejak kebijakan Desentralisasidigulirkan. Dengan adanya pemekaran wilayah, makaBupati Kutai Timur menetapkan Sangatta menjadiIbukota Kabupaten Kutai Timur. Penetapan ibukotakabupaten ini memang menimbulkan banyakpertanyaan dari berbagai pihak, karena penetapannyatidak didahului oleh analisis dampak lingkungan.

Sangatta merupakan kota kecil, dengan potensi yangterbatas, dan bersebelahan langsung dengan TNK.Jaraknya dekat dengan Bontang yang merupakan kotaindustri. Setelah dijadikan ibukota kabupaten,Sangatta berkembang pesat dan para pendatang cepatmeningkat pula. Apalagi dengan adanya pernyataandi media massa dari Bupati Kutai Timur yang padasaat itu baru diangkat menyatakan undangan bagisiapa saja untuk datang ke Kutai Timur dan merekaakan mendapatkan tanah berapa saja luasnya. Halini diartikan lain oleh sebagian masyarakat sehinggamereka membawa keluarganya dari luar daerah(terutama Sulawesi) dan kemudian membuka lahanbaru di dalam kawasan TNK.

Para pendatang berharap akan mendapatkan pekerjaandi Kota Sangatta. Namun ketika yang diharapkan tidakterwujud, mereka mulai merambah hutan, membuatgubuk dan bertani di dalam kawasan TNK, dankemudian mulai menebang kayu. Setelah dua sampaitiga tahun berada di sana, mereka sudah tidak maudipindahkan lagi. Selain itu, adanya pengakuan secaratidak langsung dari Pemda melalui pembuatan KTP,kehadiran mereka merasa diakui dan tidak lagimerasa sebagai pemukim ilegal.

Saat ini eforia reformasi dan gejolak Otonomi Daerahsudah mulai mereda dan Pemda kabupaten juga telahbanyak memikirkan kelestarian TNK. Hal ini dapatdilihat dari perumusan rancangan-rancanganperaturan daerah (Raperda) mengenai TNK,walaupun dalam prosesnya Raperda ini ditolak olehPemerintah Pusat.

Page 73: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

63Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

3.6.4. Upaya Penanganan KonflikSalah satu upaya dalam penyelesaian konflik kehutanandi TNK adalah dengan membuka ruang dialog dalambentuk lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal28-29 April 1999 dan 22 Juli 1999. Lokakarya inidiselenggarakan atas kerja-sama antara ProgramNatural Resources Management (NRM/EPIQ-USAID), Balai Taman Nasional Kutai, BappedaTingkat I Provinsi Kaltim, BIKAL, PLASMA danMitra Kutai. Selain para penyelenggara, pihak-pihaklain yang berpartisipasi dalam acara ini adalahinstansi pemerintah (Kanwil Dephutbun Kaltim,Pemda Kabupaten Kutai, BPN Kabupaten Kutai),Aparat Keamanan dan Ketertiban Masyarakat(POLDA Kaltim), perusahaan swasta (PT. PupukKaltim), perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat.Salah satu hasil lokakarya adalah adanya keinginanmasyarakat untuk segera melakukan penetapan batasfisik di lapangan sebagai batas pengelolaan mereka.

Lokakarya ini juga merekomendasikan pembentukanenclave sebagai salah satu alternatif yang diyakini dapatmenyelesaikan konflik. Namun ternyata Tim enclavesendiri mengalami kesulitan di lapangan, sehinggapada akhirnya enclave tidak dapat diselesaikan.Ketidakjelasan ini justru kemudian menimbulkanperambahan hutan yang lebih luas. Perbedaanpersepsi dan keterbatasan dana dalam kegiatanenclave merupakan kendala utama pelaksanaanenclave.

Upaya lainnya yaitu dengan melakukan kampanyepenyadaran masyarakat mengenai pentingnya TNKdengan membangkitkan rasa bangga terhadappelestarian TNK. Salah satu kegiatan kampanye diTNK dilakukan oleh KENARI (Kelola Wana Lestari),yang melibatkan berbagai instansi/lembaga, termasuk

BTNK, Pemda (berbagai dinas terkait), LSM, guru,dan berbagai perusahaan yang beroperasi di sekitarTNK. Sampai saat ini hasil yang sudah tampakadalah masyarakat pemukim mulai menyadarikepentingan konservasi di dalam kawasan TNK ini.Contohnya, masyarakat pesisir TNK tidak lagimembuka lahan untuk tambak dan sudah maumelakukan penanaman di daerah tersebut.

3.6.5. Kesimpulan dan Pelajaranyang Bisa Diambil

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflikyang terjadi di TNK sangat erat kaitannya dengansejarah panjang perubahan status kawasan ini. Selainitu, konflik ini terkait pula dengan sejarah pemukimandi dalam kawasan TNK yang memang telah adasebelum kawasan ini berstatus sebagai taman nasional.Pemicu konflik yang lain adalah kenyataan bahwakawasan taman nasional ini dikelilingi oleh berbagaiperusahaan besar, yang menjadikan daya tarik yangbesar bagi banyak orang untuk bermukim di sekitarkawasan TNK.

Pokok-pokok konflik dan tuntutan dari pihak-pihakyang bersengketa dijelaskan dalam Tabel 12.

Pelajaran penting yang dapat kita petik dari kasuskonflik di TNK adalah tanpa melibatkan masyarakatsecara aktif dalam penetapan suatu kawasan tamannasional, maka sudah bisa dipastikan akan terjadiberbagai benturan-benturan di kemudian hari.Benturan-benturan ini muncul karena perbedaanpersepsi dan kepentingan dari berbagai pihak.Penetapan kawasan TNK secara sepihak tidak akanmenyelesaikan masalah, dan bisa dinilai tidak adiloleh masyarakat karena akses mereka menjaditerbatas.

Page 74: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

64 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Tabel 12. Pokok-pokok Konflik di Taman Nasional Kutai

PokokSengketa

Pihak yangBersengketa

Tuntutan Pihak yangBersengketa

Kepentingan

Batas-batas dankewenangandalampengelolaan lahandi kawasan TNK

BTNK

Masyarakat

Pemda

LSM

Masyarakat tidak mengganggukawasan konservasi ini denganmerambah hutan untuk pemukimanmaupun untuk lahan pertanian;

Pemda tidak membuat pernyataan-pernyataan yang dapat disalahartikanoleh masyarakat sebagai pembebasankawasan TNK.

Pemerintah membebaskan kawasanyang telah lama mereka tempati dantidak membatasi akses masyarakat kedalam hutan.

Mempertahankan kawasanTNK sebagai wilayahkonservasi;

Melaksanakan kebijakanPusat.

Mendapatkan lahan untuktempat tinggal, bertani ladangdan kebun, dan investasi;

Dapat memanfaatkan SDHuntuk memenuhi kebutuhanhidup mereka.

Sebaiknya Pemerintah Pusatmenyerahkan kewenanganpengelolaan kawasan ini kepadaPemda sesuai dengan semangatDesentralisasi. Selain itu jugamengesahkan hasil enclave danmemberikan sertifikat tanah kepadamasyarakat yang pengawasannyakemudian berada di bawah Pemda.

Memperoleh kewenangandalam pengelolaan TNK.

Mendapatkan dukungan darimasyarakat

Semua pihak terkait bersama-samamembuka forum komunikasi agardapat berdialog untuk menyelesaikankonflik ini dan juga menyadari artipentingnya hutan tersebut.

Pemerintah Pusat mengesahkan hasilenclave dan memberikan akseskepada masyarakat serta menjagakeutuhan sisa kawasan tersebut.

Mempertahankan kawasankonservasi;

Menumbuhkan kesadaranpentingnya kelestarian hutanbagi semua pihak.

Page 75: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

4.1. Kesimpulan

Penelitian ini memberikan gambaran bahwa konflikkehutanan merupakan masalah yang keberadaannyaperlu diakui dalam pengelolaan hutan di Indonesia.Konflik kehutanan telah ada sepanjang sejarahperkembangan pengelolaan kehutanan di Indonesiakarena sumber daya alam ini diperebutkan untukdiambil manfaatnya oleh berbagai pihak yang berbedakepentingannya, baik antara individu atau kelompok,maupun antara kepentingan lokal, nasional maupuninternasional. Kemudian dilihat dari skala, bentukmaupun frekuensinya, konflik kehutanan jugabervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya,antara satu pemanfaatan kawasan hutan denganpemanfaatan hutan lainnya, dan antara pihak-pihakyang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu,penanganan konflik bukan lagi sesuatu yang bisadiremehkan dan perlu dijadikan salah satu prasyaratdalam pengelolaan kawasan hutan Indonesia di masayang akan datang.

Dilihat dari frekuensinya, konflik kehutanancenderung meningkat setelah masa Reformasi, baikdi tingkat nasional maupun di tingkat provinsi(Kalimantan Timur). Masa Reformasi dan kebijakanDesentralisasi ternyata merupakan alasan utamameningkatnya frekuensi konflik kehutanan, baikpada tingkat nasional maupun tingkat provinsi.

Pada tingkat nasional, frekuensi konflik mencapaipuncaknya pada tahun 2000, yang juga merupakanpuncak masa Transisi antara masa Orde Baru danmasa Reformasi, yaitu sebanyak 153 kasus atau 43%dari total konflik yang tercatat antara kurun waktuenam tahun (1997 - 2003). Demikian pula yangterjadi pada tingkat provinsi, peristiwa konflik palingbanyak dilaporkan pada tahun 2000, yaitu sebesar21% dan pada tahun 2002 sebesar 25% dari seluruhperistiwa konflik yang tercatat selama enam tahun.Selain reformasi, lonjakan frekuensi konflik yangtinggi pada kurun waktu tersebut, didorong pula olehkrisis moneter yang melanda Indonesia padapertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknyapada awal tahun 1998. Faktor lain yang memicu

konflik kehutanan adalah bencana alam dan musimkemarau yang panjang, serta kebakaran hutan padatahun 1997/1998 yang menggagalkan panen padimasyarakat di banyak tempat.

Berdasarkan penggunaan kawasan hutan, konflik yangterjadi tidak terbatas pada satu pihak atau jenispemanfaatan lahannya saja. Di tingkat nasional,konflik yang terjadi di areal HTI, HPH dan kawasankonservasi berlangsung hampir merata, walaupunbervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.Sementara di tingkat provinsi (Kaltim), konflik palingbanyak terjadi di kawasan konservasi dan areal HPH.Berbagai konflik ini melibatkan masyarakat,perusahaan swasta dan perusahaan pemerintah,Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Hal inimemperlihatkan bahwa konflik adalah sesuatu yangumum dan menunjukkan bahwa dalam banyak kasusada isu-isu mendasar yang bersumber dari perbedaanpandangan antara banyak pihak yang berkonflik.

Selain itu, dari seluruh konflik yang diamati secaranasional, lebih dari separuhnya terjadi di KalimantanTimur, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Di antaraketiga provinsi tersebut, Kalimantan Timurmerupakan daerah yang terbanyak mengalamiperistiwa konflik, yaitu 30% dari semua konflik yangterjadi secara nasional. Sangat sulit diketahui apakahhal ini disebabkan di daerah tersebut memang terjadikonflik sedemikian seringnya atau apakah karenawartawan paling aktif melakukan kegiatannya didaerah ini?

Isu-isu yang sering dijadikan alasan munculnya konflikantara lain adalah; kurangnya perhatian perusahaanHPH atau HTI terhadap kesejahteraan masyarakatlokal, kompensasi yang tidak memuaskan, atau janji-janji yang tidak ditepati. Penelitian ini menyimpulkanbahwa penyebab konflik bisa digolongkan menjadilima kategori, yaitu, perambahan hutan, pencuriankayu, perusakan lingkungan, tata batas atau akses danalih fungsi kawasan. Penyebab yang paling menonjoldi tingkat nasional dan terutama terjadi di Kalimantan

Kesimpulan danRekomendasi 4

Page 76: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

66 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Timur (dengan mayoritas 68%) adalah karenaketidakjelasan tata batas kawasan dan keterbatasanakses masyarakat terhadap sumber daya hutan.

Masalah tata batas, khususnya, berkaitan dengan aspeklegalitas suatu kawasan. Dari studi kasus diketahuibahwa perusahaan kehutanan berpegang pada izin daripemerintah, sementara di pihak lain masyarakatberpegang pada faktor sejarah dan adat. Perbedaan carapandang terhadap kawasan yang sama ini telah menjadialasan utama yang sering memicu konflik antaramasyarakat lokal dengan perusahaan, pemerintah,maupun badan hukum lain yang diberikan hak dankewenangan untuk mengelola suatu kawasan hutantertentu. Sedangkan dalam penetapan kawasanlindung atau taman nasional, penetapan batas kawasanhutan telah membatasi akses masyarakat terhadapsumber daya hutan.

Kebanyakan dari peristiwa-peristiwa konflik yangterjadi merupakan konflik laten yang telah ada sejaklama, yang kemudian muncul ke permukaan karenadidorong oleh “eforia reformasi”. Hasil pengamatanstudi kasus menunjukkan bahwa walaupun konfliktelah terjadi sejak lama, konflik yang disertaikekerasan baru muncul setelah masa Reformasi.Kebijakan Desentralisasi telah memberdayakanmasyarakat lokal secara sosial, legal dan politik untukmelakukan tuntutan yang sebelumnya tidak pernahmereka lakukan karena takut akan tekanan dari militer.Karena eforia reformasi, masyarakat lokal yang selamaini terpinggirkan dengan berani menuntut hak-hakmereka, suatu hal yang mustahil terjadi di masaOrde Baru.

Tantangan untuk mengatasi konflik bukan sekedarmemahami penyebabnya saja. Studi kasusmemperlihatkan adanya sejarah yang kompleks danberagamnya jenis konflik. Studi kasus jugamemperlihatkan sulitnya mengatasi konflikkehutanan. Proses penyelesaian konflik yang telahditempuh meliputi banyak ragam. Mulai dari prosesspontan antara pihak yang terlibat konflik (misalnyamelalui musyawarah), melalui cara sederhana sepertipembayaran kompensasi, pemberian bantuanmediasi oleh pihak ketiga yang sering kurangberkualitas atau bersifat bias, sampai yang melibatkanPolisi (dalam kasus penembakan warga diRandublatung, misalnya).

Dalam banyak kasus, terlihat bahwa kewenangan dankapasitas masyarakat sangat terbatas dalam mengelolakonflik dibandingkan pihak lainnya yang lebih kuatdan berpengaruh. Perusahaan dan pemerintah telahmenggunakan strategi hubungan kemasyarakatan danpembayaran kompensasi di masa lalu. Akan tetapi halini terbukti hanya merupakan penyelesaian sementara,dan tidak menyelesaikan pokok masalah dalam jangkapanjang. Perusahaan dan pemerintah perlu sekalimengembangkan cara-cara yang lebih efektif untukmengakui keberadaan masyarakat lokal secara adil.Kasus di TNK memperlihatkan bagaimana enclavedapat digunakan sebagai salah satu cara, walaupunpada akhirnya tidak dilanjutkan karena masih adanyamasalah lain yang belum terselesaikan.

Berdasarkan analisis, sesungguhnya banyak kekerasanyang dapat dihindari apabila permintaan bantuan danmediasi bagi masyarakat mendapatkan tanggapan lebihawal. Atau apabila perusahaan memberikan informasiyang memuaskan, dan melakukan negosiasi izin dankesepakatan mengenai penggunaan lahan denganmasyarakat lokal (dan tidak melanggar kesepakatantersebut). Konflik yang mencapai tahap kekerasanbiasanya disebabkan karena frustasi akibat cara-caralegal yang telah ditempuh gagal atau diabaikan.Kekerasan sering mengakibatkan jatuhnya korban darisituasi yang tidak adil.

Dalam banyak hal, dan juga dalam studi kasus yangdiamati, proses penyelesaian konflik belummenunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini terlihatdari belum satupun kasus konflik yang betul-betulterselesaikan tuntas. Implikasi dari kenyataan iniadalah bahwa memang diperlukan penanganan yangserius dari semua pihak yang berkepentinganterhadap konflik yang semakin merebak di sektorkehutanan.

4.2. Rekomendasi

Sampai saat ini belum ada resep mujarab untuk bisamenyelesaikan konflik kehutanan di Indonesia yangsudah sedemikian rumitnya. Berdasarkan hasilLokakarya yang diselenggarakan pada tanggal 17November 2003, beberapa hal yang dapatdirekomendasikan untuk mengatasi masalah-masalahyang berkaitan dengan pengelolaan konflik kehutanandi Indonesia, adalah sebagai berikut:

Page 77: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

67Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

• Melakukan penelitian-penelitian yang dapatmeningkatkan pengetahuan dan kesadaran parapihak yang terlibat dalam konflik terhadap manfaatdari adanya konflik dan mengembangkan upaya-upaya pengelolaan konflik yang lebih konstruktif.

• Memprakarsai upaya-upaya nyata dalampenyelesaian konflik melalui berbagai kegiatanproaktif yang melibatkan pihak-pihak yang terlibatdalam konflik.

• Meningkatkan upaya-upaya pengembangansumber daya manusia yang secara khusus mampumenangani pengelolaan konflik di bidangkehutanan.

• Mencari cara-cara penanganan konflik yang lebihefektif, dan melakukan uji coba terhadap suatulembaga mediasi yang terpilih untuk menjembatanipara pihak yang terlibat dalam konflik secara adildan bertanggung gugat.

• Secara nasional, menata dan mengatur ulangkeseluruhan dimensi yang terkait denganpermasalahan konflik kehutanan (dimensi sumberdaya dan lingkungan, dimensi ekonomi danmanfaat, serta dimensi kebijakan dankelembagaan).

Page 78: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

Anau, N., Iwan, R., Heist, M. van, Limberg, G.,Sudana, M. dan Wollenberg, E. 2002.Negotiating more than boundaries: Conflict,power, and agreement building in thedemarcation of village border in Malinau. Dalam:Technical Report Phase I 1997-2000. ITTOProject PD 12/97 Rev.1.(F) Forest, Science andSustainability: The Bulungan Model Forest, 131-156. CIFOR, Bogor.

ARuPA. 1999. Penjarahan Hutan di Sekitar Desa,Temulus Randublatung; Fenomena Gunung Es diTengah Lautan Reformasi Kehutanan.

BIKAL. 2001. Potret Taman Nasional Kutai. BIKAL.Samarinda.

BPS. 2000. Provinsi Sumatera Utara dalam Angka.Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan.Palembang.

Buckles, Daniel. 1999. Cultivating Peace: Conflictand Collaboration in Natural ResourceManagement. International DevelopmentResearch Centre (IDRC) – Ottawa, Canada.

Daniels, S.E. and Walker, G.B. 2001. Workingthrough Environmental Conflict: TheCollaborative Learning Approach. PraegerPublishers, Westport, Connecticut.

Fisher, S., Abdi, D.K., Ludin, J., Smith, R.,Williams, S., dan Williams, S. 2001. Mengelolakonflik: keterampilan dan strategi untukbertindak. The British Council, Indonesia.

Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch2001. Potret keadaan hutan Indonesia. Bogor,Indonesia: Forest Watch Indonesia dan WorldResource Institute, Washington D.C.: GlobalForest Watch

Forest Watch Indonesia dan Lembaga PemberdayaanMasyarakat Adat. 2002. Aplikasi SistemInformasi Geografis dan Penginderaan Jauh untukMonitoring Kondisi Hutan, Kawasan HutanLindung Meratus Kalimantan Selatan. ForestWatch Indonesia dan Lembaga PemasyarakatanMasyarakat Adat. Borneo Selatan.

Glasl, F., 1999. Confronting conflict: A first-aid kitfor handling conflict. Howthorn Press. Hudson,U.S.A.

Keang Nam Development Indonesia. 1999/2000.Rencana Kerja Tahunan PT. Keang NamDevelopment Indonesia.

LPMA. 1999. Kronologis Usulan Perubahan DASBatulicin Sebagai Kawasan Lindung pada KAPETBatulicin dan Areal Penggantinya. LPMA.Kalimantan Selatan.

Miall, H. 2001. Conflict transformation: a multi-dimensional task. Dalam: “The Berghof handbookfor conflict transformation”, 1-23. Berghofresearch center for constructive conflictmanagement.

Moeliono, I dan Fisher, L. 2003. Research asmediation: linking participatory action researchto environmental conflict management in EastNusa Tenggara, Indonesia. Dalam: Castro, A.Pand Nielsen, E (eds). Natural resource conflictmanagement case studies: an analysis of power,participation and protected areas, 207-230. FAO,Rome.

Rhee, S. 2000. De facto decentralization and themanagement of natural resources in EastKalimantan during a period of transition. Asia-Pacific Community Forestry Newsletter (13):2.

Santoso, H. 2001. Sengketa Pengelolaan SumberdayaHutan; Studi Perlawanan Masyarakat Desa Hutandi Perum Perhutani KPH Randublatung.

Suharso, A dan Chan, J. 2001. Upaya MenyelesaikanKonflik Penggunaan Lahan di Taman NasionalKutai Melalui Enclave. Paper untuk LokakaryaRegional Spark. Indonesia.

Suporahardjo (ed). 2000. Inovasi penyelesaiansengketa pengelolaan sumberdaya hutan. PustakaLATIN. Bogor.

Suporahardjo dan Wodicka, S. 2003. Conflicts overcommunity-based “Repong” resourcemanagement in Pesisir Krui region, Lampungprovince, Indonesia. Dalam: Castro, A.P andNielsen, E (eds). Natural resource conflictmanagement case studies: an analysis of power,participation and protected areas, 81-100. FAO,Rome.

Sutaryono. 2001. Perberdayaan Setengah Hati; KasusPengelolaan Hutan Randublatung.

Daftar Pustaka

Page 79: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

69Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Tadjudin, D. 2000. Manajemen kolaborasi. PustakaLATIN. Bogor

Walker, G.B dan Daniels, S.E. 1997. Foundation ofnatural resource conflict: Conflict theory andpublic policy. Dalam Solberg, B dan Mina (eds).Conflict management and participation in landmanagement, 7-36. European Forestry InstitutesProceedings No. 14. Joensuu. Finland.

Wenban-Smith, J (ed). 2001. Forests of fear: Theabuse of human rights in forest conflicts.Fern,Brussels.

Wollenberg, E., Edmunds, D. dan Anderson, J. 2001.Special Issue on accommodating multiple interestin local forest management. International Journal

of Agriculture, Resources, Governance, andEcology (IJARGE), Volume 1, Nos. 3/4.

Wondolleck, J. 1998. Public lands conflict andresolution: managing national forest disputes.Plenum Press, New York.

Yasmi, Y. 2002. Conflict in forest management: Astudy for collaborative forest management inIndonesia. M.Sc. Thesis, Wageningen Universityand Research Center, The Netherlands.

Yasmi, Y. 2003. Understanding conflict in the co-management of forest: A case of BulunganResearch Forest. International Forestry Review5 (1): 38-44.

Page 80: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

Lampiran

Lampiran 1. Informasi yang Direkam dalam Database Konflik

1. ID : Nomor identitas setiap peristiwa konflik yang dilaporkan oleh media massa(suatu peristiwa konflik yang bisa dilaporkan oleh lebih dari satu media massa,sehingga mempunyai ID yang sama)

2. Media : Nama sumber informasi yang melaporkan kejadian konflik3. Tanggal : Tanggal diterbitkannya artikel tersebut di media4. Judul : Judul artikel5. Topik : Arena konflik (HPH,HTI,Perkebunan atau Kawasan Konservasi)6. Kejadian : Peristiwa konflik yang dilaporkan (mis: penyerobotan lahan, tumpang tindih,

demonstrasi, dll)7. Eskalasi : Tingkat keseriusan sebagai perwujudan peristiwa konflik (pembunuhan,

penganiayaan, penggusuran/ penyerobotan lahan)8. Resume : Ringkasan artikel/peristiwa konflik yang dilaporkan9. Tahun : Tahun kejadian peristiwa konflik

10. Pihak terkait : Pihak-pihat yang terlibat konflik11. Penanganan : Upaya yang telah ditempuh untuk mengatasi konflik12. Status : Status peristiwa konflik pada saat dilaporkan (sudah selesai, masih dalam

proses penyelesaian, dll)13. Korban dan kerugian : Dampak negative yang diderita pihak terkait akibat adanya peristiwa konflik14. Provinsi, Kabupaten : Tempat kejadian peristiwa konflik Kecamatan

Page 81: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

71Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003L

amp

iran

2.

Con

toh

Dat

abas

e

Bas

e ca

mp

peru

saha

anpe

meg

ang

HP

H P

T M

RT

dib

akar

saat

sek

elom

pok

mas

sa d

atan

gin

gin

men

emui

pim

pina

npe

rusa

haan

itu

, tig

a te

rsan

gka

kini

dita

han.

19

99

Pe

ng

an

iaya

an

1 2 3 3

HP

H

HP

H

HP

H

HP

H

1 2 3 4

Kom

pas

Kom

pas

Me

dia

Indo

nesi

a

Me

dia

Indo

nesi

a

04/3

0/99

04/2

9/00

11/2

5/99

11/2

5/99

War

ga M

arah

,"B

ase

Cam

p"H

PH

Dib

akar

HP

H R

usak

Hut

an A

ceh

Sel

atan

Dito

lak,

Per

ubah

anF

ungs

i H

utan

Mer

atus

Kal

sel

Dito

lak,

Per

ubah

anF

ungs

i H

utan

Mer

atus

Kal

sel

HP

H

HP

H

HP

H

HP

H

Per

amb

ahan

Hu

tan

Per

amb

ahan

Hu

tan

Per

amb

ahan

Hu

tan

Per

amb

ahan

Hu

tan

Per

usak

anFa

silit

as

Pen

olak

anH

PH

Per

usak

anH

utan

Per

usak

anH

utan

Dua

tah

un b

erju

ang

dan

sem

pat

dipi

ngpo

ng k

esan

a ke

mar

i,m

asya

raka

t de

sa k

anda

ng,

kem

bali

men

data

ngi

Dep

hutb

un,

mer

eka

men

untu

t pe

ncab

utan

izi

nha

k pe

ngus

ahaa

n hu

tan

(HP

H)

PT

Med

an R

emaj

a T

imbe

r ya

ngdi

nila

i m

erus

ak h

utan

dan

lingk

unga

n.

Har

us a

da s

urve

i da

n pe

nelit

ian

jika

mau

men

guba

h ka

was

anhu

tan

lindu

ng m

erat

us m

enja

dihu

tan

prod

uksi

.

Har

us a

da s

urve

i da

n pe

nelit

ian

jika

mau

men

guba

h ka

was

anhu

tan

lindu

ng m

erat

us m

enja

dihu

tan

prod

uksi

.

19

99

19

99

20

00

IDK

on

flik

IDTo

pik

No

Med

iaTa

ngg

alJu

dul

Topi

kP

enye

bab

Kej

adia

nE

skal

asi

Res

um

eTa

hun

4H

PH

6M

ed

iaIn

done

sia

05/1

4/99

19 D

esa

Tunt

utD

ua H

PH

Kal

teng

Gan

tiR

ug

i

HP

HP

encu

rian

Kay

uG

anti

Rug

iP

endu

duk

mem

inta

gan

ti ru

gim

iliar

an r

upia

h ke

pada

dua

peru

saha

an H

PH

di

Kal

teng

, ya

ituP

T E

rna

Julia

wat

i da

nP

T K

orin

do,

kare

na k

edua

PT

ini

did

uga

tela

h m

elak

ukan

pene

bang

an p

ohon

kay

u ya

ngdi

lara

ng e

kspl

oita

si H

PH

kar

ena

mer

upak

an s

umbe

r pe

nghi

dupa

nm

erek

a.

19

99

3H

PH

5M

ed

iaIn

done

sia

11/2

5/99

Dito

lak,

Per

ubah

anF

ungs

i H

utan

Mer

atus

Kal

sel

HP

HP

eram

bah

anH

uta

nP

erus

akan

Hut

anH

arus

ada

sur

vei

dan

pene

litia

njik

a m

au m

engu

bah

kaw

asan

huta

n lin

dung

mer

atus

men

jadi

huta

n pr

oduk

si.

19

99

Page 82: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

72 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

4H

PH

6M

edia

Indo

nesi

a05

/14/

9919

Des

a Tu

ntut

Dua

HP

HK

alte

ng G

anti

Rug

i

HP

HP

encu

rian

Kay

uG

anti

Rug

iP

endu

duk

mem

inta

gan

ti ru

gim

iliar

an r

upia

h ke

pada

dua

peru

saha

an H

PH

di K

alte

ng,

yaitu

PT

Ern

a Ju

liaw

ati d

an P

TK

orin

do,

kare

na k

edua

PT

ini

didu

ga t

elah

mel

akuk

anpe

neba

ngan

poh

on k

ayu

yang

dila

rang

eks

ploi

tasi

HP

Hka

rena

mer

upak

an s

umbe

rpe

nghi

dupa

n m

erek

a

1999

IDK

on

flik

IDTo

pik

No

Med

iaTa

ng

gal

Jud

ul

Top

ikP

enye

bab

Kej

adia

nE

skal

asi

Res

um

eTa

hu

n

Pih

akTe

rkai

t 1

Pih

akTe

rkai

t 2

Pen

ang

anan

Sta

tus

Ko

rban

Pen

gan

iaya

anK

orb

anJi

wa

Ker

ug

ian

Pro

pin

siK

abu

pat

enK

ecam

atan

Lo

kasi

Pih

akTe

rkai

t 3

PT

Med

anR

emaj

aT

imbe

r

PT

Med

anR

emaj

aT

imbe

r

PT

Kod

eco

Tim

ber

Mas

yara

kat

Loka

l

Mas

yara

kat

Loka

l

Mas

yara

kat

Ada

t

DI

Ace

h

DI

Ace

h

Kal

sel

Ace

hS

elat

an

Ace

hS

elat

an

Hul

u S

unga

iTe

ngah

Klu

etS

elat

an

Klu

etS

elat

an

Har

uyan

Kan

dan

g

Kan

dan

g

Kan

dan

g

PT

Kod

eco

Tim

ber

Mas

yara

kat

Ada

tK

alse

lH

ulu

Sun

gai

Teng

ahP

adan

gB

atun

gM

erat

us

PT

Kod

eco

Tim

ber

Mas

yara

kat

Ada

tK

alse

lH

ulu

Sun

gai

Teng

ahTe

laga

Lang

sat

Mer

atu

s

PT

Ern

aD

julia

wat

iM

asya

raka

tLo

kal

Kal

teng

Kot

awar

ingi

nT

imur

Ser

uyan

Hul

uM

erat

us

Lam

pir

an 2

. La

njut

an

Page 83: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

73Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Lampiran 3. Pedoman Wawancara

Data Ancaman & KonflikDapat diperbanyak jika perlu

PENGUSAHAAN HUTAN

1. Apakah ada perusahaan konsesi atau taman nasional (kawasan konservasi) yang masih beroperasi? a. Jenis Perusahaan Perkebunan Besar Hutan Tanaman Industri (HTI) Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Taman Nasional (TN) b. Keterangan Perusahaan Nama Perusahaan/TN : Pemegang Saham/Pengelola : Tahun Mulai Operasi : Luas Areal : Jenis Tanaman : Kepemilikan (beritanda sesuai dengan jenis perusahaan) Swasta Nasional PTPN (Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara) PBSN (Perusahaan Besar Swasta Nasional) Rakyat Lainnya (sebutkan) : c. Keterangan Khusus Perkebunan Sudah ditanami Areal Kosong Hutan Tanaman Industri, batas akhir HGU : f. Apakah menyentuh kawasan konservasi? Tidak Jika Ya, Nama kawasan konservasi :

keterangan tambahan

Keterangan : Beri tanda (X) pada kotak

Page 84: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

74 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

KONFLIK

ceriterakan penyebabnya

ceriterakan

1. Apakah pernah terjadi konflik di areal/kawasan ini?

2. Jika Ya, konflik terjadi antara dengan

Konflik terjadi sejak tanggal :

3. Mengapa terjadi konflik?

4. Bagaimana ceritera lengkapnya (evolusi konflik)?

Page 85: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

75Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

KONFLIK

ceriterakan

5. Kapan saja terjadi konfllik tersebut? Sudah berapa kali terjadi kasus konflik?

6. Sampai tingkat mana kasus konflik tersebut? (apakah ada penganiayaan, pembunuhan atau penggusuran?)

7. Apakah konflik tersebut lebih banyak terjadi pada waktu sebelum adanya otonomi daerah atau sesudahnya?

8. Mengapa? (Apakah karena ada kaitan dengan kebebasan berekspresi atau perubahan persepsi mengenai hak atas lahan adat)

ceriterakan

ceriterakan

ceriterakan

Page 86: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

76 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

KONFLIK

9. Usaha yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan konflik

10. Apa hasil yang dicapai dari usaha tersebut?

ceriterakan

ceriterakan

Page 87: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

77Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Lampiran 4. Daftar Responden

Lokasi Studi Responden Jabatan Responden Instansi yang Diwakili

PT Kodeco Timber, 1 orang Ketua LMMD-KH Masyarakat

Kalsel 1 orang Pengurus LMMD-KH Masyarakat1 orang Kepala Desa Pramasan 2x9 Masyarakat1 orang Warga Desa Kec. Hampang Masyarakat3 orang Staf LPMA LSM

Pegunungan Meratus, 1 orang Kepala BKSDA Kalsel BKSDA KalselKalsel 1 orang Staf BKSDA Kalsel BKSDA Kalsel

Kepala Dinas Dishut Prov. Kalsel3 orang Staf Dishut Prov. Dishut Prov. Kalsel

Direktur Eksekutif LPMA LSM3 orang Staf LPMA LSM1 orang Kepala Balai Masyarakat1 orang Kepala Balai Masyarakat1 orang Tokoh Pemuda Masyarakat

PT RAPP, Riau 1 orang Kepala Divisi Community Development PerusahaanPT RAPP

3 orang Staf Divisi CD PT RAPP PerusahaanKepala Bagian HTI Dinas Kehutanan Prov. Riau

2 orang Staf Dishut Prov. Riau Dinas Kehutanan Prov. Riau1 orang Direktur Eksekutif Hakiki LSM-Hakiki2 orang Staf Hakiki LSM-Hakiki2 orang Tokoh Adat Kuntu Masyarakat1 orang Kepala Desa Kuntu Masyarakat

Taman Nasional Kutai, 1 orang Staff Balai Taman Nasional Balai Taman Nasional KutaiKaltim Kutai

Kepala Dusun MasyarakatWarga Desa Sangkimah MasyarakatWarga Desa Sangkimah Masyarakat

1 orang Kepala Adat Masyarakat1 orang Kepala Dinas LH Pemkab Kutim1 orang Staf Dinas LH Pemkab Kutim1 orang Kepala BKSDA Kaltim BKSDA Kaltim2 orang Staf BIKAL LSM-Bikal2 orang Staf NRM- Samarinda LSM-NRM

2 orang pengajar Dosen UNMUL Universitas- UNMUL

PT Keang Nam, 4 orang Tokoh Masyarakat MasyarakatSumatera Utara 1 orang Kepala Desa Masyarakat

1 orang Warga Desa Masyarakat1 orang Direktur PT Keang Nam Perusahaan1 orang Staf Perusahaan PT Keang Nam Perusahaan1 orang Kasubag PH Dinas Kehutanan Prov. Sumut1 orang Staf Kasubag PH Dinas Kehutanan Prov. Sumut1 orang Kasubdis Bina Program Dinas Kehutanan

Kab. Mandailing Natal2 orang Staf YLL LSM

Perum Perhutani, 11 orang Warga Desa Temulus dan Bodeh MasyarakatBlora, Jawa Tengah 1 orang Kepala Desa Masyarakat

ADM KPH Blora Perhutani2 orang Staf KPH Blora Perhutani1 orang KTKU KPH Randublatung Perhutani1 orang Staf KTKU KPH Randublatung Perhutani5 orang Anggota Dewan DPRD Blora1 orang Staf AruPA LSM

Page 88: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

78 Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 - 2003

Lampiran 5. Daftar Peserta Lokakarya

No. Nama Lembaga Alamat Kantor

1. Thung Ju Lan LIPI PMB-LIPI, Widya Graha Lt.6 Jl. GatotSubroto No. 10, Jakarta 12190

2. Boedhi Widjarjo RACA Jl. Kartika Wanasari Blok D-11 No. 5Kel. Wanasari, Kec. Cibitung BEKASI

3. Pratikna CESERF-FORDA Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor

4. Nunung P. CESERF-FORDA Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor

5. Ilya Moeliono World Neighbors Bandung

6. Tri Nugroho/Sudradjat DFID Gedung Manggala Wanabakti Bl. VIILt. 6, Jl. Gatot Subroto, Jakarta 10270

7. Ujjwal Pradhan Ford Foundation S. Widjojo Bldg, 11th Floor,Jl. Jendral Sudirman Kav. 71, Jakarta 12190

8. Agung Nugraha APHI Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 9Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270

9. Lisken Situmorang ICRAF Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor

10. M. Zulfan Tadjoedin UNSFIR Surya Building 9th floorJl. MH. Thamrin Kav 9, Jakarta 10350

11. M. Agung Sardjono CSF - UNMUL Jl. Ki Hajar Dewantara No.7 Kampus GunungKelua, Samarinda 75123, Kalimantan Timur

12. Didik Suhardjito Lab Sosek - Fakultas Kehutanan,Fahutan IPB IPB, Darmaga, Bogor

13. Agus Mulyana Koppesda Jl. Piere Tendean No.1 KampungArab Waingapu - Sumba Timur

14. Yuyun Indradi AMAN Jl. Pisang No. 17 Komp. PertanianPasar Minggu Jakarta Selatan 12250

15. Rina Agustine Forest Watch Jl. Sempur Kaler 26 BogorIndonesia

16. Christian Purba Forest Watch Jl. Sempur Kaler 26 BogorIndonesia

17. Godwin Limberg CIFOR Malinau

18. Carol Colfer CIFOR Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor

19. Heri Purnomo CIFOR Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor

20. Lini Wollenberg CIFOR Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor

21. Moira Moeliono CIFOR Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor

22. Yurdi Yasmi CIFOR Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor

23. Yuliana Wulan CIFOR Jl. Cifor, Situ Gede, Bogor

Page 89: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

79Yuliana Cahya Wulan Yurdi Yasmi Christian Purba Eva Wollenberg

Pada hari ini, Sabtu 24 Maret 2001 bahwa masyarakat Kuntu dan Teluk Paman mengklaim tanah ulayatyang digunakan oleh PT RAPP namun sampai dengan saat ini belum ada kata sepakat. Dengan demikianmasyarakat mengambil langkah untuk memblokir jalan keluar dari Base Camp.

Untuk itu masyarakat tersebut meminta pertanggung-jawaban atas pemblokiran jalan serta pagar yangsudah dipasang.

Oleh sebab itu kami bertanggung-jawab jika terjadi pengrusakan atas pagar tersebut.Demikianlah surat pernyataan ini kami buat. Atas perhatian dari semua pihak kami ucapkan terima kasihdan harap memaklumi.

Dibuat Oleh:

Henry Cornedy Rudy SantosoPA KTU

NB: Mengenai penyegelan kantor adalah kehendak dari masyarakat itu sendiri, yaitu: Desa Kuntu dan TelukPaman.

Lampiran 7. Surat Pernyataan Pemblokiran Jalan oleh Masyarakat Desa Kuntu dan Teluk Paman

Lampiran 6. Agenda Lokakarya

Agenda LokakaryaAnalisis Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia (1997 - 2003)

CIFOR Bogor, 17 November 2003

08.30 – 09.00 Registrasi

09.00 – 09.15 Sambutan dan pembukaan oleh Dr. Doris Capistrano (Direktur Program Forests andGovernance CIFOR)

09.15 – 09.45 Presentasi hasil penelitian CIFOR dan FWI oleh Yurdi Yasmi, Yuliana C. Wulan (CIFOR)dan Christian Purba (FWI))

09.45 – 10.00 Coffee break

10.00 – 10.40 Tanggapan dari Reviewer 1 (M. Agung Sardjono) dan Reviewer 2 (Thung Ju Lan)

10.30 – 12.00 Diskusi

12.00 – 13.30 Istirahat dan Makan Siang

13.30 – 14.00 Diskusi dalam Kelompok Kecil

Group 1: mendiskusikan pendekatan penelitian

Group 2: mendiskusikan database nasional & provinsi

Group 3: mendiskusikan studi kasus

14.00 – 14.30 Presentasi (Group 1) dan pertanyaan-pertanyaan

14.30 – 14.45 Coffee break

14.45 – 15.30 Presentasi (Group 2 & Group 3) dan pertanyaan-pertanyaan

15.30 – 16.00 Pandangan umum dan komentar akhir (Ilya Moeliono)

16.00 – 16.30 Tanggapan dari peserta

16.30 – 17.00 Tindak lanjut dan penutupan (Moira Moeliono, Lini Wollenberg dan Yurdi Yasmi)

Page 90: Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997-2003 ... · Studi Kasus Konflik Kehutanan 19 3.1. Kasus HPH PT. Kodeco Timber, Kalimantan Selatan 19 ... Klaim Tanah dan Kayu Hambat

Studi ini menggambarkan profil konflik sektor kehutanan di Indonesia mulai tahun 1997

sampai dengan Juni 2003 berdasarkan artikel-artikel koran nasional dan provinsi serta enam

studi lapangan di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Hasil studi ini menunjukkan bahwa

konflik meningkat paling tajam pada tahun 2000 selama masa transisi menuju era

desentralisasi. Pada umumnya frekuensi konflik dalam masa transisi dan sesudah era

desentralisasi lebih tinggi dibandingkan dengan masa Orde Baru. Konflik-konflik ini

dilaporkan paling banyak terjadi di Kalimantan Timur, kemudian diikuti oleh Sumatera dan

Jawa Tengah. Penyebab utama konflik adalah adanya perbedaan cara pandang mengenai tata

batas, hak pemanfaatan hutan, pembayaran kompensasi dan distribusi manfaat dari hutan.

Walaupun laporan media lebih terfokus pada eskalasi konflik setelah masa reformasi, studi

lapangan menunjukkan bahwa sejarah konflik sangatlah kompleks mulai dari yang bersifat

laten sampai dengan penyelesaian konflik melalui pembayaran kompensasi yang tidak

memuaskan dan terbukti tidak berhasil dalam menyelesaikan konflik dalam jangka panjang.

Penelitian ini merekomendasikan agar (i) pengelolaan konflik dipertimbangkan sebagai

elemen dalam pengelolaan hutan, (ii) pemantauan konflik kehutanan terus dilakukan agar

kejadian, penyebab dan cara untuk mengelolanya dapat dipelajari lebih jauh, dan (iii) pilihan-

pilihan metode untuk pengelolaan konflik harus digali lebih mendalam.