PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

17
Copyright ©2021 Museum Nasional All Rights Reserved E- ISSN: 2807-1298 P- ISSN: 2355-5750 Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021 Page: 41-57 Jurnal Prajnaparamita 41 PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN YOGYAKARTA TAHUN 1855-1939 Pistha Ageng ‘Royal Banquet’ : A Transformation of the Yogyakarta Royal Banquet Arrangement in 1855-1939 Fajar Wijanarko Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta Jalan Wijilan No. 27D, Panembahan, Yogyakarta [email protected] Received: Jul 11, 2021 Accepted: Aug 15, 2021 Published: Aug 24,2021 Abstrak Meski pola jamuan bergaya Eropa telah dikenal sejak awal abad ke-19, tetapi secara terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VI memilih untuk mengadaptasinya sebagai pola baru dalam jamuan di Keraton Yogyakarta. Perubahan tersebut secara nyata terjadi antara rentang waktu 1855-1921 yang merupakan periode pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI hingga Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Ketiga sultan kemudian merangsang setiap perubahan dalam pola jamuan dengan kebijakannya masing-masing. Mengamati data sejarah tersebut, kajian ini selanjutnya mengedepankan paparan historiografi multidimensi. Dalam hal ini, tidak hanya perubahan pola jamuan yang disoroti tetapi juga penyebab dan akibat yang ditimbulkan. Melalui metode pembacaan heuristik, kritik sumber, intepretasi, dan historiografi, berbagai data sejarah dibedah serta disusun secara kronologis sebagai modal penulisan. Hasil dari tulisan ini selanjutnya dapat digunakan untuk membaca pengaruh Eropa dalam perjamuan di Keraton Yogyakarta. Di sisi lain, kajian ini mampu menjadi pijakan untuk menelusuri munculnya menu-menu Jawa bercitarasa Eropa yang saat ini terus dipertahankan sebagai warisan kekayaan kuliner bangsawan keraton. Kata kunci : Jamuan Bangsawan, Rijsttafel , Keraton Yogyakarta. Abstract Even though the European-style dining arragement has been known since the early 19th century, Sri Sultan Hamengku Buwono VI openly chose to adapt it as a new arragement for royal banquets at the Yogyakarta Palace. This change actually occurred between 1855-1921, which was the period of the reign of Sri Sultan Hamengku Buwono VI to Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. The three sultans then stimulated every change in the arragement of the meal with their respective policies. Observing such historical data, this study then puts forward the exposure of multidimensional historiography. In this case, not only the changes in the arrangement of dining are highlighted, but also the causes and effects. Through heuristic reading methods, source criticism, interpretation, and historiography, various historical data are dissected and arranged chronologically as writing capital. The results of this paper can then be used to read European influences in the royal banquet at the Yogyakarta Palace. On the other hand, this study is able to become a steping stone to trace the emergence of

Transcript of PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Page 1: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Copyright ©2021 Museum Nasional

All Rights Reserved

E- ISSN: 2807-1298

P- ISSN: 2355-5750

Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021 Page: 41-57

Jurnal Prajnaparamita 41

PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN

YOGYAKARTA TAHUN 1855-1939

Pistha Ageng ‘Royal Banquet’ :

A Transformation of the Yogyakarta Royal Banquet Arrangement in 1855-1939

Fajar Wijanarko

Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta

Jalan Wijilan No. 27D, Panembahan, Yogyakarta

[email protected]

Received: Jul 11, 2021 Accepted: Aug 15, 2021 Published: Aug 24,2021

Abstrak

Meski pola jamuan bergaya Eropa telah dikenal sejak awal abad ke-19, tetapi secara

terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VI memilih untuk mengadaptasinya sebagai pola baru

dalam jamuan di Keraton Yogyakarta. Perubahan tersebut secara nyata terjadi antara rentang

waktu 1855-1921 yang merupakan periode pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI

hingga Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Ketiga sultan kemudian merangsang setiap perubahan

dalam pola jamuan dengan kebijakannya masing-masing. Mengamati data sejarah tersebut, kajian

ini selanjutnya mengedepankan paparan historiografi multidimensi. Dalam hal ini, tidak hanya

perubahan pola jamuan yang disoroti tetapi juga penyebab dan akibat yang ditimbulkan.

Melalui metode pembacaan heuristik, kritik sumber, intepretasi, dan historiografi, berbagai

data sejarah dibedah serta disusun secara kronologis sebagai modal penulisan. Hasil dari tulisan ini

selanjutnya dapat digunakan untuk membaca pengaruh Eropa dalam perjamuan di Keraton Yogyakarta.

Di sisi lain, kajian ini mampu menjadi pijakan untuk menelusuri munculnya menu-menu Jawa

bercitarasa Eropa yang saat ini terus dipertahankan sebagai warisan kekayaan kuliner bangsawan

keraton.

Kata kunci : Jamuan Bangsawan, Rijsttafel, Keraton Yogyakarta.

Abstract

Even though the European-style dining arragement has been known since the early 19th

century, Sri Sultan Hamengku Buwono VI openly chose to adapt it as a new arragement for royal

banquets at the Yogyakarta Palace. This change actually occurred between 1855-1921, which

was the period of the reign of Sri Sultan Hamengku Buwono VI to Sri Sultan Hamengku Buwono

VIII. The three sultans then stimulated every change in the arragement of the meal with their

respective policies. Observing such historical data, this study then puts forward the exposure of

multidimensional historiography. In this case, not only the changes in the arrangement of dining

are highlighted, but also the causes and effects.

Through heuristic reading methods, source criticism, interpretation, and historiography,

various historical data are dissected and arranged chronologically as writing capital. The results

of this paper can then be used to read European influences in the royal banquet at the Yogyakarta

Palace. On the other hand, this study is able to become a steping stone to trace the emergence of

Page 2: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 _________________________________________________________________________________

___

Fajar Wijanarko

Jurnal Prajnaparamita 42

European-flavored Javanese menus which are currently being maintained as a legacy of the

culinary of the royal palace.

Keywords: Royal Banquet, Rijsttafel, Yogyakarta Palace.

PENDAHULUAN

Dua tahun terakhir, Indonesia mengalami fase

krisis di berbagai sektor karena pandemi.

Tidak hanya sektor kesehatan, ekonomi, dan

pembangunan yang terdampak, tetapi juga

sektor pangan. Di dalam berbagai pemberitaan

media yang bertubi, pandemi memberi

ancaman besar pada ketahanan pangan dunia.

Organisasi Pangan Sedunia (FAO) yang

dikutip langsung oleh Kompas.com

(2/11/2020) menyatakan bahwa potensi krisis

pangan pada masa pandemi akan mengancam

dunia termasuk Indonesia1. Jika tidak

mendapat perhatian dengan saksama, kondisi

krisis ini akan semakin buruk mengingat

perubahan ekologi Indonesia yang tidak

terkendali beberapa puluh tahun terakhir.

Menyoal perubahan ekologi dan krisis

pangan di Indonesia saat ini merupakan hal

mengherankan. Pasalnya, dalam berbagai

catatan sejarah yang ditulis tentang Indonesia

khususnya di Jawa dan Yogyakarta, kawasan

ini merupakan sumber pangan. Kekayaan

bumi agraris dari Jawa tidak dapat dielakkan.

Pada studi kasus Yogyakarta pada kurun

waktu 1800 awal, sejarawan Peter Carey

menyebutkan bahwa Bagelen merupakan

kawasan “kaki-tangan” dari kerajaan. Predikat

tersebut merusuk pada pemahaman tentang

daerah subur yang bertindak sebagai lumbung

padi kerajaan. Bagelen dalam sejarah agraris

Yogyakarta memang dianugerahi tanah yang

subur, daerahnya paling makmur dengan

1 Disarikan dari berbagai pemberitaan di media

daring, Indonesia mengalami ancaman kemiskinan

dan kerawanan pangan saat pandemi covid. Dikutip

dari Kompas.com (2/11/2020) Kepala Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri

Handoko memaparkan bahwa pandemi berdampak

pada ketahanan pangan masyarakat secara nasional.

Sementara itu, dalam pemberitaan daring

Katadata.co.id (4/10/2020), disebutkan bahwa

penduduk yang begitu padat. Kekuatan

ekonomi dari provinsi ini terletak pada hasil

padi dan usaha tenun. Bagelen Barat

merupakan kawasan sekitar Rawa

Tambakboyo yang menjadi produsen padi

yang selalu surplus. Daerah ini sekaligus juga

penghasil kedelai. Kedu juga dicatat sebagai

gudang padi dan bahan pangan lain untuk

daerah timur Jawa Tengah, seperti Mataram

dan Pajang. Setidaknya seperempat dari

keseluruhan hasil panen padi di Bagelen dijual

ke luar Bagelen (Carey, 2012: 28) Mengenai

sumber pangan yang melimpah di Jawa,

Raffles memberi catatan bahwa pada

pertengahan abad ke-18 Jawa tidak hanya

menghasilkan padi dengan kualitas unggul,

tetapi juga tanaman ekspor. Kawasan-

kawasan tersebut oleh Marsekal Inggris

digambarkan pada peta tahun 1817 yang

disesuaikan ulang oleh J. Wilbur Wright dari

Oxford (Carey, 2012: 31-32).

Gambar 1

pandemi menyebabkan krisis kesehatan

sekaligus krisis ekonomi. Pada media ini,

Bank Dunia menyebutkan bahwa lebih dari

sepertiga darti total rumah tangga di

Indonesia terindikasi kekurangan makan,

penyebabnya adalah kekurangan uang.

Sementara itu, seperempat rumah tangga

lainnya menyatakan kekurangan bahan

pangan.

Page 3: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

Jurnal Prajnaparamita 43

Peta Daerah Penghasil Tanaman Impor di Jawa

Tahun 1877 (Repro: Carey, 2012: 32)

Pertumbuhan Jawa sebagai lahan dan

ladang pertanian yang subur tidak terlepas dari

peran Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-

1792) dan putranya, Raden Mas Sundoro yang

kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono

II (1792-1828). Dua sultan pertama rupanya

merupakan pelopor dalam mendorong

rakyatnya untuk membuka lahan baru di

negara Yogyakarta. Di Kecamatan Lowanu di

Bagelen Utara dan Menoreh di Kedu Selatan,

para petani yang hidup di sepanjang tepi jalan

raya dari Brengkelan ke Magelang begitu

bersemangat membangun sawah baru sampai

mereka menggali-gali jalan dan menanaminya

di berbagai tempat. Kawasan bagian utara

Yogyakarta menjadi bagian terbesar dari

jaringan irigasi yang bertumpu pada aliran air

dari Merapi-Merbabu. Irigasi ini merupakan

karya para petani yang hidup di kabupaten-

kabupaten Sleman dan Kalasan. Kegiatan

serupa juga ditemukan di Pajang dan Kedu

(Carey, 2012: 41-43). Merujuk pada

2 Dikutip langsung dari Chairunnisa, dkk. 2017.

“Operasionalisasi Konsep Among Tani Dagang

Layar untuk Pembangunan Wilayah di Daerah

Istimewa Yogyakarta” dalam Jurnal Bumi

Indonesia, Vol. 6, No. 1, p.1. 3 Tanah-tanah kerajaan selain digunakan untuk

kebutuhan raja, juga diberikan sementara kepada

sentana dan narapraja sebagai bumi gadhuhan.

Bumi Narawita atau tanah yang “dipesan” untuk

penguasa merupakan tanah kerajaan yang

penghasilannya diperuntukkan bagi penguasa dan

keluarga langsungnya. Tanah-tanah itu terdiri atas,

a) Bumi Pamajegan yang menghasilkan pajak uang;

kompendium agraris Yogyakarta tersebut, Sri

Sultan Hamengku Buwono X dalam pidato

visi misi dan program calon gubernur

Yogyakarta tahun 2012 memaparkan

harapan perubahan paradigma baru

pembangunan dari daerah yang dahulu

merupakan negara kerajaan. Perihal ini

secara serius diwujudkan dalam paradigma

amog tani dagang layar, upaya

pembaharuan pembangunan dari daratan

menuju arah maritim2. Pada paradigma

baru tersebut, Gubernur mengaitkan

memori sejarah-sosial dari tanah Mataram

Yogyakarta. Sebuah kontestasi among tani

yang merujuk pada lahan subur milik

Keraton Yogyakarta salumahing bumi lan

langit kagunganing nata3.

Tarik-menarik antara geografis

wilayah dan sistem mata pencaharian hidup

masyarakat Yogyakarta menghadirkan

analogi kritis tentang menu-menu jamuan

berbahan beras. Berbagai jamuan yang

disuguhkan bagi para bangsawan kerajaan

hingga masyarakat pribumi tidak terlepas

dari hasil bumi maupun unggas. Pada satu

dokumentasi upacara adat Malam Selikur,

Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-

1921) mewarisi tata-cara jamuan leseh

dengan suguhan berupa nasi gurih, nasi

putih, nasi merah, nasi kuning, nasi golong,

tumpeng langgeng, tumpeng damar murup,

tumpeng robyong terhidang lengkap

dengan lauk pauk berupa ingkung ayam

jago, rempeyek gereh, rempeyek kedelai,

sambal goreng, ento-ento, daging ayam

b) Bumi Pangrembe yang khusus ditanami padi dan

tanaman lain untuk keperluan istana; c) Bumi

Gladhag yaitu tanah-tanah yang penduduknya

diberi tugas transportasi, misalnya pada waktu pesta

pernikahan, kematian, kelahiran dan pesta lainnya.

Disamping itu, ada pula Bumi Lungguh atau tanah

apanage, yaitu tanah yang diberikan kepada sentana

dan narapraja sebagai gaji; tanah itu diberikan

kepada sentana selama mereka mempunyai

hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja, dan

kepada narapraja selama mereka masih menduduki

jabatan pada pemerintahan (Suhartono, 1991).

Page 4: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________

Fajar Wijanarko

Jurnal Prajnaparamita 44

goreng, perkedel, tempe bacem, telur

ceplok, kecambah, kemangi, jengkol,

sambal pecel, sambal pencok, ikan giling,

kedelai hitam goreng, mentimun, telur

rebus bumbu lembaran, pecel lele, sedah

ayu, jangan menir, krecek goreng, acar dan

krupuk udang. Ada pula ketan, kolak,

apam, rujak, jenang merah, jenang putih,

roti dan buah-buahan seperti jeruk, jambu,

rambutan, sawo manila, pisang raja dan

manggis (Jandra dkk., 1991:241).

Di dalam jamuan ini, para bupati

dan abdi dalem duduk memenuhi halaman

timur Masjid Gedhe yang berbatasan

dengan Alun-alun Utara. Mereka duduk di

atas tikar dan menyantap hidangan dengan

tangannya4. Tradisi jamuan seperti ini telah

diberlakukan sejak pemerintahan Sri Sultan

Hamengku Buwono I sebagai bagian dari

peringatan sepuluh hari terakhir di bulan

Ramadan Pasa (Palupi, 2021: 30).

Menilik catatan perjamuan Periode

tahun 1855-1921, secara terbuka keraton

telah melakukan akulturasi budaya meja

makan dengan kebiasaan jamuan Eropa.

Perubahan ini telah dicatat sejak masa Sri

Sultan Hamengku Buwono VI (1855-

1877). Puncak dari perubahan pola jamuan

yang digelar di keraton terjadi pada periode

pemerintahan Sri Sultan Hamengku

Buwono VIII (1921-1939). Pada periode

ini, Budaya Eropa di meja makan sudah

menjadi lumrah ditemukan di keraton.

Sultan pada saat itu juga gemar menggelar

jamuan santap siang maupun santap malam

ala rijsttafel dengan hidangan yang

melimpah dan tata cara yang megah.

Keterangan ini didukung oleh Moens

tentang kemunculan juru masak masakan

Eropa di Yogyakarta pada tahun 1900 yang

begitu banyak hingga pertumbuhan toko-

toko Indo-Eropa di kawasan Tugu dan

Malioboro (Platenalbum Jogja 28-30;

Fauziah, 2018: 182-183).

4 Makanan Jawa pada dasarnya disiapkan untuk

dimakan sesuap demi sesuap sehingga tidak

diperlukan pisau untuk memotong makanan yang

ada di alas makan layaknya hidangan Eropa.

Melihat potret jamuan yang digelar

di Keraton Yogyakarta tiga dekade terakhir,

pola-pola Eropa dengan label internasional

menjadi acuan penyelenggaraannya. Akan

tetapi, perihal perubahan pola jamuan ini

telah tercatat sejak paruh abad ke-19.

Perubahan pola jamuan ini pun memberi

dampak sosial hingga perekonomian di

keraton dan Yogyakarta secara umum.

Keraton pun mengalami perombakan besar-

besaran dalam segi pembangunan ruang

fisik di kompleks inti kerajaan yang

difungsikan sebagai ruang jamuan. Berawal

dari upaya penelusuran perubahan pola

jamuan Jawa menjadi tata aturan rijsttafel

di keraton, tulisan ini akan menyajikan

ulasan sejarah mengenai berbagai hal yang

berkaitan dengan tata aturan meja jamuan

hingga perkembangan sosial-ekonomi di

Yogyakarta pada akhir abad ke-20. Batasan

periode yang diketengahkan pada tulisan

ini adalah pemerintahan Sri Sultan

Hamengku Buwono VI (1855-1877) hingga

akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku

Buwono VIII (1921-1939).

Landasan Teori

Di dalam sudut pandang historiografi

tradisional, penulisan sejarah lebih

menekankan pada konteks konvensional

yang menonjolkan segi-segi proses dari

sesuatu peristiwa sejarah dan tokoh politik

serta mengungkapkannya sebagai tulisan

deskriptif-naratif. Pada tahapan ini,

penulisan sejarah hanya mengedepankan

singularitas peristiwa, memilih peristiwa

yang dianggap spektakuler dan

mengabaikan peristiwa yang bersifat lokal.

Sejarah konvensional ini dianggap sekadar

menceritakan kejadian serta prosesnya,

tanpa menjelaskan mengapa dan bagaimana

peristiwa tersebut terjadi (Suhartono, 2014:

9-10; Abdurrahman, 2011: 94-96).

Kebiasaan inilah yang melahirkan adab mencuci

tangan sebelum dan sesudah makan sebagai

keharusan perjamuan Jawa (Palupi, 2021: 30).

Page 5: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

Jurnal Prajnaparamita 45

Pada masa pascakolonial Indonesia,

terdapat langgam baru dalam penulisan

sejarah dengan pola dan metode yang logis.

Perihal ini kemudian disebut dengan istilah

sejarah total, yang analisisnya berdasarkan

pendekatan multidimensional. Suhartono

mengungkapkan bahwa sejarah baru adalah

sejarah yang menggunakan atau

memanfaatkan teori dan metodologi.

Sejarah baru juga menjelaskan asal

mulanya (genesis), sebab-sebabnya

(cause), kecenderungannya (trend),

kondisional dan konstektual serta

perubahannya (changes). Yang sangat

penting adalah analisis peristiwa sejarah itu

dilakukan dengan mengaitkan masalah

sosial, politik, kultural, dan lain-lain dalam

proses sejarah. Alat analisis itu disesuaikan

dengan objek yang akan diteliti, artinya alat

itu cocok apa tidak. Kalau tidak cocok alat

itu tidak harus dipaksakan. Selanjutnya

untuk membuat analisis diperlukan

kerangka pemikiran yang meliputi konsep

dan teori. Sejalan dengan perkembangan

baru, terutama perkembangan ilmu sosial,

sejarah memanfaatkan ilmu lain, yaitu

ilmu-ilmu sosial. Dari ilmu-ilmu sosiallah

bantuan alat analitis itu diambil sehingga

sejarah menjadi makin kuat daya

penjelasnya (Suhartono, 2014: 9-10).

Sementara sejarah total adalah

sejarah tentang seluruh aspek kehidupan

masyarakat, tidak hanya berkisar pada

bidang-bidang yang dianggap paling

penting yang hanya bertitiktolak dari

sejarah politik. Helius Sjamsuddin,

mengistilahkan sejarah total dengan sejarah

yang ingin membahas semua dimensi

kehidupan manusia. Pada perkembangan

lebih lanjut, lingkup sejarah sosial melebihi

dari gerakan-gerakan sosial yang juga

mengacu kepada sejumlah aktivitas

manusia yang agak sulit diklasifikasikan

karena begitu luasnya, seperti kebiasaan

(manners), adat istiadat (customs) dan

kehidupan sehari-hari (everyday life) dalam

istilah Jerman biasanya disebut kultur atau

sittengeschichte. Sejarah sosial atau

sejarah global, lebih popular lagi, sejarah

total (total history), yang sering juga

disebut sebagai new history merupakan

suatu corak historiografi Indonesia yang

relatif baru. Sampai saat ini tidak banyak

karya-karya sejarah Indonesia sampai saat

ini yang menggunakan pola penulisan

sejarah total ini (Sjamsuddin, 2016: 192).

Berdasarkan terminologi baru pada

pendekatan historiografi, maka

penelusuran sumber mengenai perubahan

pola perjamuan bangsawan Keraton

Yogyakarta dilakukan secara menyeluruh.

Paparan sejarah dilakukan pula secara

multidimensional yang mencakup latar

belakang peristiwa, penyebab, dampak, dan

akibat yang ditimbulkan dari peristiwa

sejarah itu.

Di samping teori tentang sejarah,

pada kajian ini digunakan pula teori

representasi budaya yang disampaikan oleh

Stuart Hall dalam bukunya Represetation:

Cultural Representation dan Signifying

Practices. Hall menyebutkan bahwa

representasi merupakan suatu produksi

makna dan bahasa yang berhubungan

dengan kebudayaan. Hall menghubungkan

makna ini dengan konsep suatu benda

dengan pikiran pemilik benda hingga

kebudayaan yang melatarbelakangi

kelahiran benda tersebut (Hall, 2003: 17).

Dengan demikian, melalui teori Hall

pengelola museum dapat memaknai koleksi

sebagai produk/ benda budaya sebagai

representasi identitas.

METODE PENELITIAN

Di dalam upaya menelusuri perubahan pola

jamuan para bangsawan di Yogyakarta tahun

1855-1921, langkah-langkah yang digunakan

antara lain pembacaan heuristik, kritik

sumber, intepretasi, dan historiografi.

Heuristik merupakan langkah untuk

membaca sumber dan dokumen sejarah yang

berkaitan dengan fokus penulisan. Pada tahap

ini dilakukan pula studi pustaka sebagai

Page 6: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________

Fajar Wijanarko

Jurnal Prajnaparamita 46

pembanding sekaligus pendukung kajian.

Berbeda dengan heuristik, tahapan kritik

sumber adalah langkah dalam menentukan

sumber-sumber primer dan sekunder yang

telah disusun terlebih dahulu pada tahap

sebelumnya. Pada tahapan kritik sumber, tidak

semua sumber-sumber sekunder relevan

dengan kajian, sehingga perlu ditelusuri ulang

penulis utamanya, biasanya sumber tersebut

berupa jurnal maupun saduran.

Setelah kritik sumber, tahap

intepretasi menjadi langka ketiga yang harus

dilakukan. Pada tahap ini, sumber yang telah

dipilih ditafsirkan, dihubungkan secara

kronologis, kemudian dikritisi dengan fakta

sejarah yang ada. Pada tahap ini analisis

deskriptif tentang sumber-sumber sejarah

dilakukan secara detil. Tahap terakhir adalah

historiografi atau penulisan kembali fakta-

fakta sejarah. Pada tahap ini penulisan sejarah

dihasilkan dari data-data yang telah

dikumpulkan dan dipilah kebenarannya.

Dengan demikian, penulisan sejarah secara

ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perihal barat dan timur dalam catatan arsip

Pigeaud bukan persoalan geografis,

melainkan elemen besar yang dimaknai

sebagai budaya. Keduanya dapat saling

berbenturan atau sebaliknya, saling

menyemai bibit kebudayaan dan saling

bertumbuh. Merujuk pada arsip Pigeaud

salinan tahun 1933 tersebut, tertulis bahwa

Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada

paruh abad ke-19 menaruh perhatian

khusus pada hubungan diplomasi antara

keraton sebagai pusat pemerintahan kota-

kerajaan dan Pemerintah Hindia Belanda.

Kondisi ini diamini dengan adanya

informasi bahwa Sultan kerap menggelar

pesta besar sakedhap-sakedhap

angawontenaken pista ageng dengan

etiket ala Eropa.

Berbicara mengenai pista ageng

dan etiket jamuan, keduanya bukan hal

baru bagi Jawa, begitu pula Yogyakarta.

Pangeran Mangkubumi dalam satu

kompendium yang ditulis oleh Ricklefs,

nyatanya merupakan sosok pangeran yang

telah akrab dengan berbagai kultur Barat

di meja perjamuan. Ricklefs menyebutkan

pada peristiwa Perjanjian Jatisari, kedua

pembesar Jawa tersebut menyepakati

perundingan budaya dengan model tata

laku asing, mengangkat gelas, menepuk

tangan, dan saling berpelukan sebagai

tanda persaudaraan. Babad Ngayogyakarta

dengan kronik peristiwa berlatar

pemerintahan Sri Sultan Hamengku

Buwono II merekam peristiwa jamuan

dengan suguhan roti berlapis mentega

‘makan roti lawan sun tampuh martega’.

Tidak berhenti pada roti dan mentega saja,

tetapi pesta perjamuan beretiket Barat pun

ditunjukkan dalam narasi babad ini.

Diceritakan bahwa Sultan sebagai tuan

rumah menjamu Tuan Ideler dengan para

tamu yang mengelilingi meja. Putra

Mahkota Hamengku Negara terlibat dalam

jamuan yang digelar di Bangsal

Manguntur Tangkil. Ia menyajikan

jamuan khusus untuk Ramanda Sultan

(Ricklef, 2002).

Apabila membaca kembali memori

Yogyakarta pada rentang periode 1792-

1810, relasi keraton dengan pemerintah

kolonial begitu mengikat. Kedua elemen

kekuasaan ini saling mempengaruhi, bisa

dikatakan keduanya saling berakulturasi

tanpa saling mendominasi. Hubungan

kedua budaya besar ini rupanya terjalin

pula melalui diplomasi “meja makan”.

Budaya saling berkunjung kemudian

terbentuk sebagai sebuah kewajiban sosial

yang terjadi pada masa-masa tersebut.

Pangeran Adipati Anom dalam hal ini

sebagai putra mahkota utusan Sultan,

kerap berkunjung ke kediaman residen

untuk menghadiri pesta perjamuan.

Mengenai hidangan yang disuguhkan,

Peter Carey mencatat bahwa menu yang

disajikan merupakan menu Eropa. Ketika

putra mahkota menghadiri undangan dari

Residen Pieter Engelhard, ia mendapat

jamuan teh bercampur susu seperti halnya

para pejabat Belanda dan tamu-tamunya

lainnya (Carey, 2012). Kudapan yang

Page 7: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

Jurnal Prajnaparamita 47

menyertai teh-susu tersebut tidak lain

berupa roti, biskuit, atau olahan keju.

Asumsi kuat ini hadir seiring dengan

catatan Babad Mentawis dengan latar

pengasingan Sri Sultan Hamengku

Buwono II di Saparua, yang menangkap

kebiasaan dari para petinggi kolonial saat

menjamu pembesar Jawa. Jamuan teh

bercampur dengan susu yang dahulu

disuguhkan kepada Putra Mahkota calon

Sri Sultan Hamengku Buwono III

kemudian diwariskan sebagai minuman

kebesaran di Keraton Yogyakarta. Hal ini

dapat diidentifikasi dari perangkat jamuan

minum teh Sultan yang selalu dilengkapi

dengan teko susu atau poang.

Gambar 2

Perangkat Minum Teh Sri Sultan Hamengku

Buwono VI dan Teko Susu Poang.

(Dokumentasi Pribadi)

Berangkat dari memori kolektif

babad serta arsip Yogyakarta, tidak

mengherankan ketika Sri Sultan

Hamengku Buwono VI menaruh perhatian

khusus pada menu hidangan yang

disajikan oleh keraton. Terlebih lagi ketika

melihat pendahulunya, Sri Sultan

Hamengku Buwono IV dengan para

petinggi di Hindia Belanda memiliki

kedekatan khusus hingga kerap menjalin

pesta perjamuan. Keterikatan sosial dan

politik yang dibangun antara kedua

penguasa besar di tanah “Ayodya” ini,

menempatkan keduanya dalam posisi

sepadan. Manifestasi dari keadaan yang

nyatanya rumit kerap diwujudkan dalam

menu-menu jamuan. Keduanya saling

‘mengada-adakan’ hingga mencoba

menyajikan menu yang berasal dari kultur

para tamu undangan, meski nyatanya

justru fakta ini banyak ditemukan di

keraton.

Abdi Dalem Encik: Juru Masak

Masakan Eropa di Keraton

Keinginan Sri Sultan Hamengku Buwono

VI untuk memiliki juru masak khusus

bukan tanpa sebab. Di dalam uraian

sebelumnya dijelaskan bahwa budaya

jamuan Eropa telah menjadi bagian dari

kebudayaan Jawa yang telah mapan. Pada

kasus ini, Jawa dan keraton sebagai

elemen penting dari penyangga budaya

berupaya upaya mengimitasi pola-pola

Barat ke dalam sistem jamuan di keraton.

Piliang dalam pendekatannya terhadap

hibridisasi budaya menegaskan bahwa

tindakan mengawin-silangkan budaya

merupakan bagian dari proses parasitisme

dalam sebuah sistem entitas kepada entitas

lain. Meski terdapat kemungkinan

keduanya akan melebur, tetapi tidak

menutup kemungkinan kedua budaya

tersebut memproduksi budaya baru,

dengan bangunan identitas yang

didasarkan pada ekologi pikir

penggunanya (Piliang, 2008). Pada tahap

inilah tindakan meminjam, meniru,

mempertukarkan, hingga menemukan hal

baru kerap terjadi (Webner, 1997).

Berpijak pada fenomena hibridisasi

budaya, dalam kasus ini budaya jamuan,

Sultan memerintahkan Tuan Sekeng,

kepala bidang kebudayaan di Sanasewu

untuk mencari seorang juru masak yang

memahami tata cara pengolahan makanan

ala Eropa mangertos dhateng kawruh

ocal-ocal. Barulah setelah mendapatkan

juru masak tersebut, Tuan Sekeng

mengantarkan kepada Sultan. Juru masak

yang dikenalkan bernama Encik Purtin

dene namanipun Encik Purtin, yang

berasal dari Hindia-Belanda. Meski dalam

catatan arsip Moens disebutkan bahwa

Page 8: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________

Fajar Wijanarko

Jurnal Prajnaparamita 48

Encik Purtin dibeli oleh Sultan, namun

secara terhormat Encik Purtin diwisuda

dengan pangkat Lurah sekaligus mendapat

tanah lenggah berupa sawah seluas 5 jung

serta mendapat abdi dalem sebanyak 20

orang yang membantu mengolah hidangan

di dapur keraton.

Tugas Abdi Dalem Encik tidak

terbatas pada jamuan tetapi memiliki tugas

lain layaknya Abdi Dalem lainnya.

Berkantor di Gedong Sedahan, Abdi

Dalem Encik memiliki tugas lain seperti

merawat perlengakapan jamuan ‘bekakas’

hingga tambal-sulam motif renda di

tempat duduk khusus Sultan ‘tambal

sulam palenggahan ingkang sarwa

rendan’. Sementara itu, dalam upaya

mempersiapkan hidangan jamuan, para

Encik dibantu Abdi Dalem Keparak Estri

untuk memotong-motong bawah merah,

bawang putih, cabai, dan sayur lainnya

kabantu dening Abdi Dalem Keparak Estri

kadosta rajang-rajang brambang,

bawang, lombok, sesaminipun. Moens

menambahkan dalam arsip yang ditulisnya

tentang kondisi jamuan di keraton sebelum

adanya para Encik. Para tamu

digambarkan merasa terpaksa dan tidak

senang dalam pesta jamuan kapeksa, sami

kirang rahap saha seneng ing mangsa

pista. Lebih jauh, Moens menguraikan

penyebab dari keadaan tersebut antara lain

sebagai berikut.

1. Dhaharanipun kirang pepak, asring

sok andadoskaen kirang mathukipun

ingkang kasegah.

2. Sasrawunganipun lan para

ngamanca kirang, upami ing

bab ginem, awit ing wekdal

semanten awis ingkang saged

gineman cara Mlajar.

3. Ing bab pangangge, dereng saged

sami katata anjalari regaking para

tamu ingkang badhe ngundang, mawi

badhe mundhut punapa-punapa.

Terjemahan:

1. Hidangan yang disuguhkan kurang

lengkap, sering tidak sesuai di hati

para tamu.

2. Pergaulan dengan tamu-tamu Eropa

yang kurang, seperti halnya soal

pembicaraan, sebab pada masa itu

jarang (abdi dalem) yang dapat

berbicara dengan Bahasa Melayu.

3. Perihal busana, belum dapat ditata

hingga membuat pusing para tamu

yang akan mengundang, atau saat

akan mengambil (hidangan) apapun.

Membaca narasi Moens tentang

para Encik, tampaknya kelompok Abdi

Dalem ini cukup diperhitungkan dalam

mengolah hidangan hingga menyajikan

jamuan di Keraton Yogyakarta. Di luar

keraton, para Encik ini juga berjualan roti

‘nyambi sade dhedhaharan roti’ maupun

menjadi juru masak para pembesar Jawa

maupun saudagar. Kebutuhan akan Encik

sebagai juru masak semakin hari semakin

tinggi. Awalnya hanya Encik Purtin yang

mengabdi di keraton, tetapi seiring dengan

permintaan ‘pasar jamuan’, bertambahlah

para Encik yang berasal dari Negeri Arab

dan Negeri Minangkabau. Dari narasi

sederhana tentang Abdi Dalem Encik,

dapat ditarik benang merah bahwa pada

periode 1858-1877 hibridisasi budaya

begitu kentara. Arus dari Budaya Barat

dan cakrawala dari Budaya Timur saling

mengisi tanpa ada posisi yang tumpang

tindih.

Toko Indo-Eropa di Yogyakarta

Konstruksi sosial di Yogyakarta

berkembang pesat pada masa pemerintah

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Kawasan-kawasan strategis dari kota

kerajaan mulai berubah menjadi ladang

industri. Kawasan sepanjang raja-marga

menjadi ruang tumbuhnya perekonomian

Yogyakarta. Di samping warga Indo-Eropa

yang mendirikan toko-toko menu olahan

khusus, Pasar Beringharjo mulai dibangun

secara permanen. Beringharjo kemudian

mendapat julukan Een de Mooiste Passers

Page 9: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

Jurnal Prajnaparamita 49

op Java ‘pasar terindah di Jawa’. Semakin

permanen bangunan pasar sentral di kota

kerajaan ini, semakin banyak pula para

pedagang semakin banyak berdatangan

pula. Keadaan ini berdampak pada

munculnya variabel komoditi-dagang di

Yogyakarta yang beranekaragam.

Pada tahun 1900-an, Moens dalam

arsip Platen Album Jogja 20-23 mencatat

bahwa tahun-tahun itu banyak juru masak

hidangan Eropa di Yogyakarta. Ombak

perubahan cita rasa Barat terjadi secara

besar-besaran terjadi. Potret Yogyakarta

pada saat itu benar-benar metropolitan,

terutama pada sisi kulinernya kadosta ing

wekdal punika sampun kathah tiyang

ingkang mangertos damel dhaharan

ingkang eca-eca ‘pada tahun-tahun itu

sudah banyak orang yang mengetahui cara

memasak makanan yang enak’. Moens

menambahkan keterangan bahwa keraton

kerap menggelar jamuan dengan menu-

menu yang dipesan dari Restoran Bruinn en

Tijssen. Di sisi lain, keraton juga

melembagakan pramusaji yang dikenal

dengan kelompok Abdi Dalem Kanca

Sewidak (Platen Album Jogja 20-23, 1933:

297).

“Kanca Sawidakan wau boten kapatah

ocal-ocalan kados Encik, nanging

namung lugu ngladosi para tamu,

panampining dhaharan sampun mateng,

inggih punika saking salah satunggiling

restoran bangsa Walandi Brehintissen”

(Platen Album Jogja 20-23, hal 297).

Terjemahan:

Kanca Sewidak tidak ditugasi untuk

memasak seperti halnya Encik, tetapi

hanya khusus melayani para tamu,

menerima makanan yang sudah

matang dari salah satu restoran

Belanda Brehintissen ‘Bruinn en

Tijssen’

Keterangan Moens ini menjadi jalan

melihat perkembangan Yogyakarta berlatar

sejarah pemerintahan Sri Sultan Hamengku

Buwono VIII. Toko-toko Indo-Eropa

membanjiri kawasan raja-marga

(Toegoeweg dan Malioboro). Di dalam

Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta Tahun

1922 No. 2 dan No. 3 yang lebih dulu

dikutip oleh Fauziah dalam Jurnal

Lembaran Sejarah, sedikitnya terdapat 12

toko yang menjual kudapan roti hingga es

krim. Beberapa toko tersebut bernama Toko

Roti Bruins en Tijssen, Toko Roti Poa Ping

Hiem, Toko Permen dan Manisan Maison

Voorhouders hingga Tric-trac Ice Cream

Palace (Cabang Oen). Bukan hanya warga

Indo-Eropa saja yang membuka toko di

kawasan sentral kota kerajaan ini, data toko

dan pemilik yang terdapat di rijksblad

warga Tionghoa turut pula mengambil

bagian. Selain toko, kawasan Toegoeweg-

Malioboro juga banyak ditemukan restoran

dan hotel. Pada keterangan Fauziah,

restoran dan snoephuis (snoep= manis/ kue,

huis=rumah) banyak tersebar di sepanjang

Malioboro. Bahkan beberapa restoran di

Malioboro ini tidak hanya menyediakan

makanan dan minuman, tetapi juga

menyediakan pub dan hiburan lainnya

(Fauziah, 2018:182).

Mengenai bangunan hotel, Fauziah

juga mencatat bahwa Malioboro pada masa

itu seperti halnya kawasan pariwisata

dengan deret hotel yang berjajar. Hotel

Tugu, Hotel Mataram, Hotel Centrum, dan

Grand Hotel de Djokja (sekarang Hotel

Grand Inna Malioboro) merupakan hotel-

hotel yang ditemukan pada periode 1800

akhir hingga 1900 awal. Diantara keempat

hotel milik Eropa tersebut, Grand Hotel de

Djokja merupakan hotel terbaru (1911),

sedangkan Hotel Tugu berdasarkan iklan-

iklan di surat kabar merupakan hotel tertua

yang sudah ada pada tahun 1884 sebelum

Stasiun Tugu selesai dibangun (Fauziah,

2018:184). Berbicara mengenai Hotel Tugu,

pada akhir pemerintahan Sri Sultan

Page 10: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________

Fajar Wijanarko

Jurnal Prajnaparamita 50

Hamengku Buwono VIII, hotel inilah yang

menjadi pemasok makanan bagi Sultan.

“weten we nu dat Hamengkoe Boewono

VIII leed aan suikerziekte, een kwaal die

hij voor de buitenwereld zoveel mogelijk

verborgen hield. Ook is bekend dat de

sultan uit angst voor vergiftiging -

enkele van zijn voorgangers, onder wie

zijn oudere broers, waren op

raadselachtige wijze overleden - zijn

maaltijden met in de kraton het

bereiden, maar in Hotel Toegoe, van

waar ze dagelijks in een gesloten kist

werden overgebracht” (Bruggen,

M.P.V. and Wassing. 1998)

Pada periode inilah Yogyakarta

benar-benar mendapat satu “tamparan

budaya” Barat, terutama dalam hal

perjamuan. Keterbukaan pasar dan

ekonomi di Yogyakarta memiliki andil

yang cukup besar dalam munculnya budaya

rijsttafel. Rijsttafel sebagai budaya jamuan

makan diungkapkan oleh Rahman sebagai

sajian makan nasi yang dihidangkan secara

spesial ‘eten van de rijsmaaltijd een special

tafel gebruikt’ (Rahman, 2016: 37-

38). Pada jamuan rijsttafel Abdi Dalem

Sawidakan bertugas melayani tamu-tamu

undangan di keraton. Dari narasi singkat

para Encik di Yogyakarta, secara sederhana

dapat disimpulkan bahwa perkembangan

etiket jamuan dipengaruhi oleh perubahan

sosial-ekonomi dan kebiasaan masyarakat.

Kebiasaan inilah yang secara sistematis

dimaknai sebagai budaya. Jamuan dan

budaya sosial selanjutnya bekerja bersama

menghadirkan perubahan pada ruang-ruang

perjamuan kenegaraan.

Perubahan Ruang-Ruang Jamuan di

Keraton Yogyakarta

Pada awalnya para elit kolonial yang

berkunjung ke keraton mendapat jamuan di

Bangsal Kencana. Oleh karena itu, orang

Belanda menyebut bangsal ini sebagai

ruang tamu (ontvangzaal). Kemudian Sri

Sultan Hamengku Buwono VI mendirikan

sebuah bangsal makan (eetzaal) di sebelah

Bangsal Kencana. Saat itu belum diketahui

nama dari bangunan baru itu. Bangunan

bangsal ini kemudian difungsikan sebagai

ruang makan, sekaligus digunakan sebagai

ruang dansa (danszaal) (Setyawati, 2021:

83-84).

Pada tahun 1810 Jawa atau 1879

Masehi, pada masa Sri Sultan Hamengku

Buwono VII bangunan bangsal tersebut

direnovasi. Lokasinya dipindahkan, digeser

(maju) ke arah timur dari lokasinya semula.

Berdasarkan denah kompleks Keraton

Yogyakarta tahun 1890-an, denah

bangunannya berbentuk persegi panjang,

tanpa teras seperti saat ini. Beberapa foto

dari tahun 1900-an yang ditemukan

menunjukkan bahwa sebelumnya bangunan

bangsal ini merupakan sebuah bangunan

beratap sirap kayu dengan pagar langkan

sederhana. Ketika keraton sudah dialiri

listrik pada tahun 1883, beberapa lampu

dipasang untuk menerangi bangsal ini.

Sayangnya, tidak banyak foto Bangsal

Manis dari periode Sri Sultan Hamengku

Buwono VII yang dapat ditemukan. Meski

demikian, Sultan pada saat ini menamai

bangunan bangsal tersebut dengan sebutan

Sanabojana ‘ruang jamuan’ (Setyawati:

2021: 83). Barulah pada pemerintahan Sri

Sultan Hamengku Buwono VIII, bangsal

yang secara khusus dibangun sebagai ruang

makan ini direnovasi kembali dan dinamai

sebagai Bangsal Manis.

Rupanya Sri Sultan Hamengku

Buwono VIII merenovasi Bangsal Manis

bersamaan dengan Bangsal Kencana dan

Gedong Prabayeksa (De Telegraaf 18

November, 1924). Kali ini letak Bangsal

Manis digeser ke barat (mundur) atau

dikembalikan ke letaknya semula seperti

pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono

VI. Tahun dimulainya renovasi Bangsal

Manis ditandai dengan sengkalan memet

yang berbunyi "Werdu Yakso Nogo Rojo"

yang menunjukan tahun 1853 Jawa atau

1922 Masehi. Sengkalan ini disematkan di

bagian langkan teras depan (timur) dan teras

belakang (barat) (Setyawati, 2021: 84). Di

samping Bangsal Manis, pada periode

Page 11: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

Jurnal Prajnaparamita 51

pemerintahan Sultan Ketujuh dan Sultan

Kedelapan terdapat pembangunan keraton

secara menyeluruh. Di dalamnya termasuk

pembangunan ruang-ruang perjamuan.

Merujuk pada peta keraton tahun

1890 yang dikutip melalui sumber KITLV

dan dimodifikasi oleh Setyawati (2021),

dapat dilihat bahwa terdapat sedikitnya 5

bangunan di dalam kompleks keraton yang

berfungsi sebagai ruang-ruang di balik

jamuan kenegaraan.

Gambar 3

Peta Keraton Yogyakarta Tahun 1890

(Repro: Setyawati, 2021: 87)

1. Sirih en Bereide Spijzen ‘Persiapan

Sirih dan Makanan’

‘Sirih en Bereide Spijzen’ dapat

diartikan sebagai ruang persiapan

jamuan, letaknya berada di sebelah

selatan Bangsal Manis yang sekarang

disebut Gedong Sedahan. Dahulu

gedong ini merupakan tempat ‘Abdi

Dalem Encik’ bertugas menyiapkan

jamuan makan di keraton. Kelompok

abdi dalem yang dibentuk di masa Sri

Sultan Hamengku Buwono VI

tersebut, dipercaya untuk memasak

hidangan-hidangan Eropa. Disamping

memasak, mereka juga mengatur

hidangan ke dalam pinggan-pinggan

hingga menyajikannya di atas meja-

meja jamuan (Platen Album Jogja 20-

23: 293-297).

Gedong Sedahan tidak hanya

digunakan sebagai ruang persiapan,

tetapi juga ruang penyimpanan

perlengkapan jamuan seperti, peralatan

makan, serta meja dan kursi. Beberapa

meja beralas marmer yang dulu sering

digunakan dalam jamuan tampak

tersimpan dalam kondisi baik disini.

Sekarang Gedong Sedahan digunakan

sebagai kantor tempat Abdi Dalem

Keparak sekaligus kantor untuk Tepas

Tandha Yekti dan Tepas Parentah

Hageng.

2. Keuken ‘Pawon/Dapur’

Terdapat beberapa pawon di dalam

kompleks keputren, tetapi salah satu

yang cukup besar dan dekat dengan

ruang jamuan adalah pawon yang

terletak tepat di sebelah barat Gedong

Sedahan. Kemungkinan dahulu pawon

ini yang digunakan Abdi Dalem Encik

yang khusus memasak hidangan

Eropa. Pawon ini sekarang sudah tidak

difungsikan lagi.

3. Dranken Huis ‘Gedong Minuman’

Terletak di sebelah timur Bangsal

Kencana, Gedong Minuman juga

dikenal sebagai Gedong Sarangbaya.

Gedong Minuman dahulu merupakan

ruang servis yang digunakan untuk

preparasi dan tempat penyimpanan

minuman. Minuman yang dimaksud

disini adalah liqueur dan minuman

ringan seperti sirup, limun soda

(limonade), dan air Belanda (sejenis air

mineral). Minuman tersebut biasanya

disajikan kepada tamu-tamu Eropa.

Dahulu terdapat Abdi Dalem

Minuman, kelompok abdi dalem yang

Page 12: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________

Fajar Wijanarko

Jurnal Prajnaparamita 52

bertugas menyiapkan dan menyajikan

minuman. Sekarang Abdi Dalem

tersebut sudah tidak ada, dan Gedong

Minuman atau Sarangbaya menjadi

kantor dari Kawedanan Hageng

Punakawan Purayakara.

4. Theehuis ‘Gedong Patehan’

Di Pawon Patehan yang berada di

Gedong Patehan inilah ‘Abdi Dalem

Patehan’ meracik dan menyiapkan

minuman teh untuk sultan, jamuan,

serta keperluan upacara di keraton.

Sejak dulu hingga sekarang para abdi

dalem masih menggunakan teknik

yang sama dalam menyeduh teh.

Minuman teh yang berasal dari Pawon

Patehan selalu diseduh menggunakan

air yang berasal dari sumur Nyai

Jalatunda yang terletak di belakang

Gedong Patehan.

Para abdi dalem juga bertugas untuk

menyiapkan set peralatan minum teh

yang disebut rampadan. Satu set

rampadan biasanya terdiri atas teko

teh, teko susu/air, tempat gula, dan

cangkir. Sebagian besar peralatan

minum teh yang ada di keraton

merupakan tinggalan dari masa Sri

Sultan Hamengku Buwono VI hingga

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan

masih digunakan sampai sekarang.

5. Sampen Huis ‘Gedong Sampanye’

Terletak di sebelah timur Gedong

Patehan, yang sekarang digunakan

sebagai kantor Kawedanan Hageng

Punakawan Danartapura Lami.

Sampanye dan minuman anggur

lainnya tidak dapat dipisahkan dari

perayaan dan jamuan ala Eropa yang

diselenggarakan di keraton pada masa

lalu. Oleh karena itu, terdapat ruang

penyimpanan khusus untuk minuman

anggur. Ruang penyimpanan anggur

kini sudah tidak ada lagi.

Sajian Menu Eropa dalam Rijsstafel

Budaya makan rijsttafel merupakan salah

satu Kebudayaan Indis yang popular di

masa kolonial. Secara harfiah, rijst berarti

nasi dan tafel berarti meja. Jika disatukan

berarti, kata ini berarti ‘hidangan nasi’.

Disebut demikian karena makanannya nasi

beserta lauk pauk tidak terbatas, seperti ini

dimakan oleh orang Eropa dan Indo-

Eropa.27 Orang Belanda jarang makan nasi

sehingga menganggap peristiwa makan

nasi sebagai peristiwa yang istimewa,

meskipun mereka hidup di tengah

masyarakat pribumi yang makan nasi

(Gonggryp: 1991: 1259).

Gambar 4

Daftar Menu Jamuan Makan Siang Pagelaran

Wayang Orang di Keraton Yogyakarta, 22-24

Juli 1933 (Repro: Kartika, 2018: 95)

Keterangan Menu

Lunch

gegeven door Sampejandalem Ingkang

Sinoewoen Kangdjeng Sultan

HAMENGKOE BOEWONO DE ACHTSTE

Page 13: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

Jurnal Prajnaparamita 53

van Djokjakarta bij gelegenheid van de

generale repetitie van de Wajang Orang

Voorstelling te houden op den

22sten, 23sten, en 24sten Juli 1933

Potage a la Reine

Petit Pain de Crevettes

Tranche de Cacap bouilli Sauce Diplomate

Escalope de Veau a la Colbert Petits-pois fins

Pommes sautees

Sorbet au Marasquin

Gateau Grand Maitre

Glance Domino

Cafe

Djokja, 24 Juli 1933

Maison Davis e.h. Bruins en Tijssen

Fenomena rijsttafel kemudian

terjadi secara masif pada penghujung abad

ke-19 hingga paruh abad ke-20 di

Yogyakarta. Penetrasi Budaya Eropa di

ruas-ruas inti budaya Jawa benar-benar

mempengaruhi sektor kuliner. Pelbagai

menu jamuan yang mulanya mengandalkan

hasil bumi dan unggas dari daerah subur di

Yogyakarta, berubah menjadi menu

pesanan yang merujuk pada menu Eropa-

sentris. Momen jamuan santap siang yang

digelar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono

VIII bersamaan dengan gladi bersih

Pagelaran Wayang Orang tanggal 22-24

Juli 1933. Saat itu terdapat menu ala Eropa

seperti sup, udang gulung, hingga es krim.

Pada kartu menu yang tertulis

dalam Bahasa Perancis, tercatat beberapa

menu seperti sup ala ratu, udang gulung,

sepotong Kakap Rebus dengan saus, irisan

Daging Sapi muda digoreng a la Colbert,

kentang goreng, minuman sorbet, kue

grand master, es krim domino, dan ditutup

dengan kopi. Poin penting yang menjadi

perhatian dari kartu menu tersebut adalah

Davis House e.h. Bruins en Tijssen yang

merupakan restoran penyiap jamuan pada

masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Restoran ini ada dalam iklan di Majalah

Mooi Indie yang terdapat di kawasan Tugu,

saat ini Jalan Marga Utama. Pada iklan

tersebut terdapat keterangan

Hofleverancier van Z.H. Den Sultan van

Jogjakarta ‘pemasok jamuan Sultan

Yogyakarta’, Toegoe Telf No. 255

Djokjakarta (Wijanarko, 2021: 70). Pada

masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku

Buwono VIII (1921-1939), sepanjang

kawasan Tugu dan Malioboro menjadi

sentra pertumbuhan toko Indo-Eropa di

Yogyakarta.

Pada momen peringatan kenaikan

takhta Ratu Wilhelmina yang ke-40 tahun,

Bruinn en Tijssen pula yang berperan

sebagai penyedia jamuan. Peristiwa ini

diselenggarakan di Bangsal Manis pada

hari Sabtu, 10 September 1938 dengan tata

aturan jamuan makan malam. Menu

hidangan yang disajikan antara lain sup

krim asparagus, olahan ikan kakap, lidah

sapi ala Colbert, galantine daging unggas,

es krim nanas, dan kopi. Menu gala-diner

ini ditulis kembali dalam Bahasa Prancis

dan Bahasa Belanda. Undangan perjamuan

makan ini disertai denah meja makan di

Bangsal Manis dengan seluruh tamu

undangan berjumlah 105 orang.

Gambar 5

Iklan Restoran Bruinn en Tijssen di Majalah

Mooi Indie (Repro: Wijanarko, 2021:70)

Page 14: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________

Fajar Wijanarko

Jurnal Prajnaparamita 54

Gambar 6

Sampul Undangan Jamuan Makam Malam

Peringatan 40 Tahun Kenaikan Takhta Ratu

Wilhelmina (Repro: Kartika, 2018: 99)

Perubahan pola jamuan ini menjadi

representasi hubungan erat antara Jawa-

Eropa yang terjadi di Keraton Yogyakarta.

Berawal dari sektor kuliner, berbagai

diplomasi antara dua kepentingan besar di

Yogyakarta banyak terjadi. Di kemudian

hari, para bangsawan keraton semakin

akrab dengan jamuan bercitarasa Eropa.

Identifikasi rasa inilah yang memicu

lahirnya menu-menu bercitarasa Eropa

dalam leksikografi menu Jawa.

Cita Rasa Eropa di Kalangan

Bangsawan Jawa

Perkawinan Jawa-Eropa dalam cita rasa di

Keraton Yogyakarta tidak terlepas dari

toko-toko Indo-Eropa sebagai pemasok

bahan pangan untuk Sultan. Semenjak

pemerintahan Sri Sultan Hamengku

Buwono V (1823-1855), keraton telah

memiliki pemasok bahan pangan untuk

jamuan. Pasokan bahan pangan tersebut

dimonopoli oleh Berrety, seorang

pengusaha Eropa di Yogyakarta. Residen

R. de Filliettaz Bousquet (1830-1856)

tampaknya menjadi tokoh yang berperan

sebagai perantara dalam upaya pengadaan

bahan pangan antara Beretty dan keraton.

Ketika Beretty menetap di Yogyakarta, ia

meminta izin Bousquet agar bisa diterima

oleh Sultan sehingga dia bisa menawarkan

jasa. Beretty berhasil mencapai sebuah

kesepakatan dengan Sultan dan melaporkan

hal itu pada residen. Sejak saat itu, dia akan

menjadi pemasok tunggal bahan-bahan

makanan, anggur, dan barang-barang

serupa itu untuk keraton. Sultan Kelima

sendiri membenarkan adanya kesepakatan

ini, dan sekaligus meminta Bousquet untuk

mencocokkan dan mengecek jumlah dan

harga barang-barang yang dipasok,

khususnya barang-barang yang

diperuntukkan bagi pangeran (Houben,

2002: 278).

Pada dekade berikutnya, tradisi

bercita-rasa Eropa ini muncul dalam menu-

menu jamuan kenegaraan dan hidangan

kegemaran Sultan kersanan dalem.

Berbagai olahan menu Barat, seperti halnya

menu-menu yang tercatat pada kartu menu

jamuan makan siang yang digelar Sultan

pada 22-24 Juli 1933, disajikan rapi dengan

tata urutan yang sudah dirancang

sedemikian rupa. Tata aturan dalam jamuan

pun terlihat khidmat seperti pada

dokumentasi Sultan Kedelapan saat

menggelar perayaan 40 tahun kenaikan

takhta Ratu Wilhelmina di Bangsal Manis.

Pada dokumentasi koleksi Museum

Sonobudoyo, tampak Gubernur

Yogyakarta J. Bijleveld bersantap malam

bersama Sultan dan permaisuri.

Page 15: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

Jurnal Prajnaparamita 55

Munculnya cita rasa Eropa dalam

leksikografi rasa para Bangsawan Jawa

memberi inovasi menu yang lahir dari

akulturasi kedua budaya besar tersebut.

Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku

Buwono VII lahir menu-menu kegemaran

Sultan seperti roti jok5 dan bir Jawa6.

Sementara itu, pada periode Sri Sultan

Hamengku Buwono VIII, kegemaran

Sultan yang memiliki akulturasi cita rasa

barat di antaranya selat usar, panekuk, dan

manuk enom7. Pada periode pemerintahan

selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono

IX memiliki kedekatan sosial dengan

keluarga Belanda, sehingga kegemaran

Sultan seperti havermut, zwaartzuur, dan

bluderdeg8 bukan perkara asing bagi beliau

(Gardjito, 2010: 67-73).

Gambar 7

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan

Gubernur J. Bijleveld pada jamuan satap

malam (Koleksi Museum Sonobudoyo)

5 Roti jok serupa dengan roti apam namun dimakan

bersama dengan semur ayam. Kebiasaan makan roti

dengan campuran semur atau sayur serupa banyak

dilakukan oleh bangsawan Perancis. 6 Gastronom Gardjito menjelaskan bahwa bir Jawa

merupakan suguhan minuman dari keraton berbahan

rempah-rempah. Suguhan minuman ini lahir seiring

dengan tingginya harga anggur pada periode Sultan

Ketujuh, sedangkan jumlah tamu undangan yang

harus dijamu dengan minuman ini begitu banyak.

Gardjito menuliskan bahwa bir Jawa tidak ubahnya

wedang secang yang berbahan dasar kulit secang

tetapi diberi perasan jeruk nipis sehingga berwarna

kuning menyerupai bir (Gerdjito, 2010: 216-217). 7 Baik selat usar, panekuk, dan manuk enom

merupakan menu berbahan keju, telur, maupun susu.

Ketiga menu ini didominasi dengan cita rasa manis

Keterangan:

Suasana santap malam Sri Sultan Hamengku

Buwono VIII, permaisuri dan J. Bijleveld pada

perayaan 40 tahun kenaikan takha Ratu

Wilhelmina pada 10 September 1938 di

Bangsal Manis.

Gambar 8

Jamuan Rijsttafel dengan berbagai

perlengkapan dan Pelayan Jamuan

(Koleksi Museum Sonobudoyo)

dan gurih yang begitu terasa. Pada sebuah catatan

majalah berbahasa Belanda, Sri Sultan Hamengku

Buwono VIII memang menyukai makanan manis,

sehingga dikabarkan beliau menderita diabetes pada

usia senjanya. 8 Sri Sultan Hamengku Buwono IX sejak kecil

dititipkan oleh ayahandanya kepada keluarga

Belanda. Kebiasaan Dorodjatun kecil dalam

menyantap sajian bercitarasa Eropa tentu tidak perlu

dipertanyakan. Olahan roti seperti bluderdeg

(pastry), makanan pengganti beras seperti havermut,

serta masakan daging zwaartzuur atau bebek suwar-

suwir merupakan santapan sehari-hari. Tidak

mengherankan apabila Dorodjatun dewasa banyak

menggemari menu-menu masa kecilnya yang

dimasaka seperti halnya olahan ala Barat.

Page 16: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________

Fajar Wijanarko

Jurnal Prajnaparamita 56

Keterangan:

Terlihat berbagai pelengkapan jamuan yang

tersedia di atas meja makan. Hal itu

menunjukkan beragam olahan menu Eropa

yang akan disajikan dalam jamuan makan

malam bergaya rijstaffel serta Abdi Dalem

Kanca Sewidak yang bertugas menyajikan

makanan (berdiri di belakang Sultan dan

Gubernur).

Kegemaran Sultan terhadap olahan

menu-menu Eropa bukan tanpa alasan.

Moens dalam arsip yang disusun bersama

Pigeaud menyebutkan bahwa Sri Sultan

Hamengku Buwono VI (1855-1877)

memiliki hubungan yang begitu dekat

dengan Belanda. Kondisi ini melahirkan

dampak sosial, yakni Sultan gemar

menggelar pesta di keraton untuk menjamu

kolega-kolega Belandanya (Platen Album

Jogja 20-23). Meski tidak dipungkiri,

tradisi bersantap ala Eropa telah dikenal

jauh sebelum Yogyakarta lahir. Dari ruang

yang sempit ini, Budaya Jawa-Eropa saling

berakulturasi. Kedua budaya tersebut tidak

jarang mempengaruhi satu sama lain, tanpa

saling bertumpang-tindih. Warisan tradisi

inilah yang terus digenggam hingga saat

ini, yang membentuk Yogyakarta 20

dasawarsa berikutnya sebagai kota budaya.

SIMPULAN

Berdasarkan data sejarah mengenai perubahan

pola jamuan para Bangsawan di Keraton

Yogyakarta, maka dapat simpulkan bahwa

kondisi tersebut sejatinya telah berlangsung

begitu lama. Catatan Babad Mentawis yang

menyebutkan bahwa Sri Sultan Hamengku

Buwono II telah terbiasa menyantap roti tawar

dengan mentega. Hal ini menunjukkan bahwa

keresahan tentang pertukaran Budaya Eropa

dan Jawa dalam sektor kuliner telah lama

terjadi. Kondisi ini kemudian secara terang-

terangan ditunjukkan oleh Sri Sultan

Hamengku Buwono VI yang memilih untuk

membentuk juru masak khusus guna

memasak menu-menu Eropa saat Sultan

menggelar jamuan di keraton.

Pada periode Sri Sultan Hamengku

Buwono VII, meski tidak secara terang-

terangan menggelar jamuan besar bernuansa

Eropa, tetapi Sultan banyak membangun

ruang-ruang penyiap jamuan. Bahkan, secara

khusus Sultan melembagakan Abdi Dalem

Minuman yang bertugas untuk menyajikan

minuman Jawa dan minuman Eropa saat

digelarnya jamuan. Berbeda halnya dengan

periode Sri Sultan Hamengku Buwono VIII,

pada masa ini pertumbuhan Budaya Eropa di

Yogyakarta begitu kental. Sektor sosial,

ekonomi, hingga kuliner di Yogyakarta

banyak sekali dipengaruhi cara-cara Barat.

Lahirnya toko-toko Indo-Eropa juga memiliki

andil dalam perubahan pola jamuan dan

pemilihan menu di meja hidang. Sultan

Kedelapan secara taktis mengubah pola

jamuan di keraton yang semula duduk leseh,

berubah menjadi jamuan kursi. Periode ini

menandai akulturasi Eropa yang begitu kental

dalam pola jamuan kenegaraan di Keraton

Yogyakarta. Pada periode inilah istilah

rijsttafel banyak digunakan dalam

penelusuran perjamuan Bangsawan Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 2011. Metodologi

Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta:

Ombak.

Bruggen, M.P.V. and Wassing. 1998.

Djokja en Solo: Beeld van de

Vorstensteden. Purmerend: Asia

Maior.

Carey, Peter. 2012. Kuasa Ramalan,

Pangeran Diponegoro dan Akhir

Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.

Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Chairunnisa, dkk. 2017. ‘Operasionalisasi

Konsep Among Tani Dagang Layar

untuk Pembangunan Wilayah di

Daerah Istimewa Yogyakarta’ dalam

Jurnal Bumi Indonesia, Vol. 6, No. 1.

Fauziah, Siti Mahmudah N. 2018. ‘Dari

Jalan Kerajaan Menjadi Jalan

Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-

1941’ dalam Lembar Sejarah, Vol. 4,

No. 2: 171-193.

Page 17: PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …

Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021

e-ISSN: 2807-1298

p-ISSN: 2355-5750

Jurnal Prajnaparamita 57

Gardjito, Murdijati, dkk. 2010. Potret

Kekayaan Kuliner Yogyakarta,

Kersanan Ndalem Menu Favorit Para

Raja. Yogyakarta: Kanisius.

Gonggryp, G. F. E. 1991. Geillustreerde

Encyclopaedie van Nederlandsch-

Indie. Wijk en Aalburg: Pictures

Publishers.

Hall, Stuart. 2003. Representation:

Cultural Representation and

Signifying Practices. London: Sage

Publication.

Houben, Vincent J.H. 2017. Keraton dan

Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta

1830-1870. Yogyakarta: Mata Bangsa.

Jandra dkk. 1991. Perangkat/Alat-alat dan

Pakaian Serta Makna Simbolis

Upacara Keagamaan di Lingkungan

Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:

Department of Education and Culture.

Kartika, Dinda S. 2018. Pengaruh

Kebudayaan Indis di Surakarta Tahun

1904-1942 (Studi Kasus Budaya

Kuliner Rijsttafel). Skripsi Jurusan

Ilmu Sejarah, FIB, UNS.

Palupi, Arum N. 2021. ‘Dari Tanah Olahan

Hingga Meja Hidang: Menu-menu

Sajian dalam Jamuan Kenegaraan

Keraton Yogyakarta’ dalam Katalog

Pameran Bojakrama Jamuan

Kenegaraan Keraton Yogyakarta.

Yogyakarta: Keraton Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir, 2008. Multiplisitas

dan Diferensi : Redefinisi Desain,

Teknologi, dan Humanitas ,

Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

Rahman, Fadly. 2016. Rijsttafel-Budaya

Kuliner di Indonesia Masa Kolonial

1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Ricklefs. 2002. Yogyakarta di Bawah

Sultan Mangkubumi 1749-1792.

Yogyakarta: Mata Bangsa.

Setyawati, Martha. 2021. ‘Menilik Bangsal

Manis: Ruang Perjamuan Keraton

Yogyakarta’ dalam Katalog Pameran

Bojakrama Jamuan Kenegaraan

Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:

Keraton Yogyakarta.

Sjamsuddin, Helius. 2016. Metodologi

Sejarah. Yogyakarta. Ombak.

Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel:

Perubahan Sosial di Pedesaan

Surakarta (1830-1920). Yogyakarta:

Tiara Wacana.

________. 2014. Teori & Metodologi

Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Webner, Pnina, 1997. “Introduction: The

Dialectics of Cultural Hybridity”,

dalam Webner, Pnina dan Modood,

Tariq, Debating Cultural Hybridity,

London and Books.

Wijanarko, Fajar. 2021. ‘Abdi Dalem

Encik: Catatan Juru Masak di Keraton

Yogyakarta’ dalam Katalog Pameran

Bojakrama Jamuan Kenegaraan

Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:

Keraton Yogyakarta.

Arsip dan Manuskrip

Babad Mentawis (XP 10), Koleksi Museum

Sonobudoyo.

Platenalbum Yogyakarta, 20-23, F30/ PBB.

34, Koleksi Museum Sonobudoyo

Yogyakarta.

Laman

https://www.kompas.com/sains/read/2020/

11/02/190300423/pandemi-ancam-

krisis-ketahanan-pangan-apa-yang-

harus-dilakukan- diakses 11 Juli 2021

pukul 20.00 WIB.

https://katadata.co.id/muhammadridhoi/an

alisisdata/5f76a6e7a1930/ancaman-

kemiskinan-dan-kerawanan-pangan-

saat-pandemi-covid-19 11 Juli 2021

pukul 21.00 WIB.