PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …
Transcript of PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN …
Copyright ©2021 Museum Nasional
All Rights Reserved
E- ISSN: 2807-1298
P- ISSN: 2355-5750
Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021 Page: 41-57
Jurnal Prajnaparamita 41
PISTHA AGENG : PERUBAHAN POLA JAMUAN BANGSAWAN
YOGYAKARTA TAHUN 1855-1939
Pistha Ageng ‘Royal Banquet’ :
A Transformation of the Yogyakarta Royal Banquet Arrangement in 1855-1939
Fajar Wijanarko
Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta
Jalan Wijilan No. 27D, Panembahan, Yogyakarta
Received: Jul 11, 2021 Accepted: Aug 15, 2021 Published: Aug 24,2021
Abstrak
Meski pola jamuan bergaya Eropa telah dikenal sejak awal abad ke-19, tetapi secara
terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VI memilih untuk mengadaptasinya sebagai pola baru
dalam jamuan di Keraton Yogyakarta. Perubahan tersebut secara nyata terjadi antara rentang
waktu 1855-1921 yang merupakan periode pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI
hingga Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Ketiga sultan kemudian merangsang setiap perubahan
dalam pola jamuan dengan kebijakannya masing-masing. Mengamati data sejarah tersebut, kajian
ini selanjutnya mengedepankan paparan historiografi multidimensi. Dalam hal ini, tidak hanya
perubahan pola jamuan yang disoroti tetapi juga penyebab dan akibat yang ditimbulkan.
Melalui metode pembacaan heuristik, kritik sumber, intepretasi, dan historiografi, berbagai
data sejarah dibedah serta disusun secara kronologis sebagai modal penulisan. Hasil dari tulisan ini
selanjutnya dapat digunakan untuk membaca pengaruh Eropa dalam perjamuan di Keraton Yogyakarta.
Di sisi lain, kajian ini mampu menjadi pijakan untuk menelusuri munculnya menu-menu Jawa
bercitarasa Eropa yang saat ini terus dipertahankan sebagai warisan kekayaan kuliner bangsawan
keraton.
Kata kunci : Jamuan Bangsawan, Rijsttafel, Keraton Yogyakarta.
Abstract
Even though the European-style dining arragement has been known since the early 19th
century, Sri Sultan Hamengku Buwono VI openly chose to adapt it as a new arragement for royal
banquets at the Yogyakarta Palace. This change actually occurred between 1855-1921, which
was the period of the reign of Sri Sultan Hamengku Buwono VI to Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII. The three sultans then stimulated every change in the arragement of the meal with their
respective policies. Observing such historical data, this study then puts forward the exposure of
multidimensional historiography. In this case, not only the changes in the arrangement of dining
are highlighted, but also the causes and effects.
Through heuristic reading methods, source criticism, interpretation, and historiography,
various historical data are dissected and arranged chronologically as writing capital. The results
of this paper can then be used to read European influences in the royal banquet at the Yogyakarta
Palace. On the other hand, this study is able to become a steping stone to trace the emergence of
Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 _________________________________________________________________________________
___
Fajar Wijanarko
Jurnal Prajnaparamita 42
European-flavored Javanese menus which are currently being maintained as a legacy of the
culinary of the royal palace.
Keywords: Royal Banquet, Rijsttafel, Yogyakarta Palace.
PENDAHULUAN
Dua tahun terakhir, Indonesia mengalami fase
krisis di berbagai sektor karena pandemi.
Tidak hanya sektor kesehatan, ekonomi, dan
pembangunan yang terdampak, tetapi juga
sektor pangan. Di dalam berbagai pemberitaan
media yang bertubi, pandemi memberi
ancaman besar pada ketahanan pangan dunia.
Organisasi Pangan Sedunia (FAO) yang
dikutip langsung oleh Kompas.com
(2/11/2020) menyatakan bahwa potensi krisis
pangan pada masa pandemi akan mengancam
dunia termasuk Indonesia1. Jika tidak
mendapat perhatian dengan saksama, kondisi
krisis ini akan semakin buruk mengingat
perubahan ekologi Indonesia yang tidak
terkendali beberapa puluh tahun terakhir.
Menyoal perubahan ekologi dan krisis
pangan di Indonesia saat ini merupakan hal
mengherankan. Pasalnya, dalam berbagai
catatan sejarah yang ditulis tentang Indonesia
khususnya di Jawa dan Yogyakarta, kawasan
ini merupakan sumber pangan. Kekayaan
bumi agraris dari Jawa tidak dapat dielakkan.
Pada studi kasus Yogyakarta pada kurun
waktu 1800 awal, sejarawan Peter Carey
menyebutkan bahwa Bagelen merupakan
kawasan “kaki-tangan” dari kerajaan. Predikat
tersebut merusuk pada pemahaman tentang
daerah subur yang bertindak sebagai lumbung
padi kerajaan. Bagelen dalam sejarah agraris
Yogyakarta memang dianugerahi tanah yang
subur, daerahnya paling makmur dengan
1 Disarikan dari berbagai pemberitaan di media
daring, Indonesia mengalami ancaman kemiskinan
dan kerawanan pangan saat pandemi covid. Dikutip
dari Kompas.com (2/11/2020) Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri
Handoko memaparkan bahwa pandemi berdampak
pada ketahanan pangan masyarakat secara nasional.
Sementara itu, dalam pemberitaan daring
Katadata.co.id (4/10/2020), disebutkan bahwa
penduduk yang begitu padat. Kekuatan
ekonomi dari provinsi ini terletak pada hasil
padi dan usaha tenun. Bagelen Barat
merupakan kawasan sekitar Rawa
Tambakboyo yang menjadi produsen padi
yang selalu surplus. Daerah ini sekaligus juga
penghasil kedelai. Kedu juga dicatat sebagai
gudang padi dan bahan pangan lain untuk
daerah timur Jawa Tengah, seperti Mataram
dan Pajang. Setidaknya seperempat dari
keseluruhan hasil panen padi di Bagelen dijual
ke luar Bagelen (Carey, 2012: 28) Mengenai
sumber pangan yang melimpah di Jawa,
Raffles memberi catatan bahwa pada
pertengahan abad ke-18 Jawa tidak hanya
menghasilkan padi dengan kualitas unggul,
tetapi juga tanaman ekspor. Kawasan-
kawasan tersebut oleh Marsekal Inggris
digambarkan pada peta tahun 1817 yang
disesuaikan ulang oleh J. Wilbur Wright dari
Oxford (Carey, 2012: 31-32).
Gambar 1
pandemi menyebabkan krisis kesehatan
sekaligus krisis ekonomi. Pada media ini,
Bank Dunia menyebutkan bahwa lebih dari
sepertiga darti total rumah tangga di
Indonesia terindikasi kekurangan makan,
penyebabnya adalah kekurangan uang.
Sementara itu, seperempat rumah tangga
lainnya menyatakan kekurangan bahan
pangan.
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
Jurnal Prajnaparamita 43
Peta Daerah Penghasil Tanaman Impor di Jawa
Tahun 1877 (Repro: Carey, 2012: 32)
Pertumbuhan Jawa sebagai lahan dan
ladang pertanian yang subur tidak terlepas dari
peran Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-
1792) dan putranya, Raden Mas Sundoro yang
kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono
II (1792-1828). Dua sultan pertama rupanya
merupakan pelopor dalam mendorong
rakyatnya untuk membuka lahan baru di
negara Yogyakarta. Di Kecamatan Lowanu di
Bagelen Utara dan Menoreh di Kedu Selatan,
para petani yang hidup di sepanjang tepi jalan
raya dari Brengkelan ke Magelang begitu
bersemangat membangun sawah baru sampai
mereka menggali-gali jalan dan menanaminya
di berbagai tempat. Kawasan bagian utara
Yogyakarta menjadi bagian terbesar dari
jaringan irigasi yang bertumpu pada aliran air
dari Merapi-Merbabu. Irigasi ini merupakan
karya para petani yang hidup di kabupaten-
kabupaten Sleman dan Kalasan. Kegiatan
serupa juga ditemukan di Pajang dan Kedu
(Carey, 2012: 41-43). Merujuk pada
2 Dikutip langsung dari Chairunnisa, dkk. 2017.
“Operasionalisasi Konsep Among Tani Dagang
Layar untuk Pembangunan Wilayah di Daerah
Istimewa Yogyakarta” dalam Jurnal Bumi
Indonesia, Vol. 6, No. 1, p.1. 3 Tanah-tanah kerajaan selain digunakan untuk
kebutuhan raja, juga diberikan sementara kepada
sentana dan narapraja sebagai bumi gadhuhan.
Bumi Narawita atau tanah yang “dipesan” untuk
penguasa merupakan tanah kerajaan yang
penghasilannya diperuntukkan bagi penguasa dan
keluarga langsungnya. Tanah-tanah itu terdiri atas,
a) Bumi Pamajegan yang menghasilkan pajak uang;
kompendium agraris Yogyakarta tersebut, Sri
Sultan Hamengku Buwono X dalam pidato
visi misi dan program calon gubernur
Yogyakarta tahun 2012 memaparkan
harapan perubahan paradigma baru
pembangunan dari daerah yang dahulu
merupakan negara kerajaan. Perihal ini
secara serius diwujudkan dalam paradigma
amog tani dagang layar, upaya
pembaharuan pembangunan dari daratan
menuju arah maritim2. Pada paradigma
baru tersebut, Gubernur mengaitkan
memori sejarah-sosial dari tanah Mataram
Yogyakarta. Sebuah kontestasi among tani
yang merujuk pada lahan subur milik
Keraton Yogyakarta salumahing bumi lan
langit kagunganing nata3.
Tarik-menarik antara geografis
wilayah dan sistem mata pencaharian hidup
masyarakat Yogyakarta menghadirkan
analogi kritis tentang menu-menu jamuan
berbahan beras. Berbagai jamuan yang
disuguhkan bagi para bangsawan kerajaan
hingga masyarakat pribumi tidak terlepas
dari hasil bumi maupun unggas. Pada satu
dokumentasi upacara adat Malam Selikur,
Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-
1921) mewarisi tata-cara jamuan leseh
dengan suguhan berupa nasi gurih, nasi
putih, nasi merah, nasi kuning, nasi golong,
tumpeng langgeng, tumpeng damar murup,
tumpeng robyong terhidang lengkap
dengan lauk pauk berupa ingkung ayam
jago, rempeyek gereh, rempeyek kedelai,
sambal goreng, ento-ento, daging ayam
b) Bumi Pangrembe yang khusus ditanami padi dan
tanaman lain untuk keperluan istana; c) Bumi
Gladhag yaitu tanah-tanah yang penduduknya
diberi tugas transportasi, misalnya pada waktu pesta
pernikahan, kematian, kelahiran dan pesta lainnya.
Disamping itu, ada pula Bumi Lungguh atau tanah
apanage, yaitu tanah yang diberikan kepada sentana
dan narapraja sebagai gaji; tanah itu diberikan
kepada sentana selama mereka mempunyai
hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja, dan
kepada narapraja selama mereka masih menduduki
jabatan pada pemerintahan (Suhartono, 1991).
Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________
Fajar Wijanarko
Jurnal Prajnaparamita 44
goreng, perkedel, tempe bacem, telur
ceplok, kecambah, kemangi, jengkol,
sambal pecel, sambal pencok, ikan giling,
kedelai hitam goreng, mentimun, telur
rebus bumbu lembaran, pecel lele, sedah
ayu, jangan menir, krecek goreng, acar dan
krupuk udang. Ada pula ketan, kolak,
apam, rujak, jenang merah, jenang putih,
roti dan buah-buahan seperti jeruk, jambu,
rambutan, sawo manila, pisang raja dan
manggis (Jandra dkk., 1991:241).
Di dalam jamuan ini, para bupati
dan abdi dalem duduk memenuhi halaman
timur Masjid Gedhe yang berbatasan
dengan Alun-alun Utara. Mereka duduk di
atas tikar dan menyantap hidangan dengan
tangannya4. Tradisi jamuan seperti ini telah
diberlakukan sejak pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono I sebagai bagian dari
peringatan sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadan Pasa (Palupi, 2021: 30).
Menilik catatan perjamuan Periode
tahun 1855-1921, secara terbuka keraton
telah melakukan akulturasi budaya meja
makan dengan kebiasaan jamuan Eropa.
Perubahan ini telah dicatat sejak masa Sri
Sultan Hamengku Buwono VI (1855-
1877). Puncak dari perubahan pola jamuan
yang digelar di keraton terjadi pada periode
pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII (1921-1939). Pada periode
ini, Budaya Eropa di meja makan sudah
menjadi lumrah ditemukan di keraton.
Sultan pada saat itu juga gemar menggelar
jamuan santap siang maupun santap malam
ala rijsttafel dengan hidangan yang
melimpah dan tata cara yang megah.
Keterangan ini didukung oleh Moens
tentang kemunculan juru masak masakan
Eropa di Yogyakarta pada tahun 1900 yang
begitu banyak hingga pertumbuhan toko-
toko Indo-Eropa di kawasan Tugu dan
Malioboro (Platenalbum Jogja 28-30;
Fauziah, 2018: 182-183).
4 Makanan Jawa pada dasarnya disiapkan untuk
dimakan sesuap demi sesuap sehingga tidak
diperlukan pisau untuk memotong makanan yang
ada di alas makan layaknya hidangan Eropa.
Melihat potret jamuan yang digelar
di Keraton Yogyakarta tiga dekade terakhir,
pola-pola Eropa dengan label internasional
menjadi acuan penyelenggaraannya. Akan
tetapi, perihal perubahan pola jamuan ini
telah tercatat sejak paruh abad ke-19.
Perubahan pola jamuan ini pun memberi
dampak sosial hingga perekonomian di
keraton dan Yogyakarta secara umum.
Keraton pun mengalami perombakan besar-
besaran dalam segi pembangunan ruang
fisik di kompleks inti kerajaan yang
difungsikan sebagai ruang jamuan. Berawal
dari upaya penelusuran perubahan pola
jamuan Jawa menjadi tata aturan rijsttafel
di keraton, tulisan ini akan menyajikan
ulasan sejarah mengenai berbagai hal yang
berkaitan dengan tata aturan meja jamuan
hingga perkembangan sosial-ekonomi di
Yogyakarta pada akhir abad ke-20. Batasan
periode yang diketengahkan pada tulisan
ini adalah pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono VI (1855-1877) hingga
akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII (1921-1939).
Landasan Teori
Di dalam sudut pandang historiografi
tradisional, penulisan sejarah lebih
menekankan pada konteks konvensional
yang menonjolkan segi-segi proses dari
sesuatu peristiwa sejarah dan tokoh politik
serta mengungkapkannya sebagai tulisan
deskriptif-naratif. Pada tahapan ini,
penulisan sejarah hanya mengedepankan
singularitas peristiwa, memilih peristiwa
yang dianggap spektakuler dan
mengabaikan peristiwa yang bersifat lokal.
Sejarah konvensional ini dianggap sekadar
menceritakan kejadian serta prosesnya,
tanpa menjelaskan mengapa dan bagaimana
peristiwa tersebut terjadi (Suhartono, 2014:
9-10; Abdurrahman, 2011: 94-96).
Kebiasaan inilah yang melahirkan adab mencuci
tangan sebelum dan sesudah makan sebagai
keharusan perjamuan Jawa (Palupi, 2021: 30).
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
Jurnal Prajnaparamita 45
Pada masa pascakolonial Indonesia,
terdapat langgam baru dalam penulisan
sejarah dengan pola dan metode yang logis.
Perihal ini kemudian disebut dengan istilah
sejarah total, yang analisisnya berdasarkan
pendekatan multidimensional. Suhartono
mengungkapkan bahwa sejarah baru adalah
sejarah yang menggunakan atau
memanfaatkan teori dan metodologi.
Sejarah baru juga menjelaskan asal
mulanya (genesis), sebab-sebabnya
(cause), kecenderungannya (trend),
kondisional dan konstektual serta
perubahannya (changes). Yang sangat
penting adalah analisis peristiwa sejarah itu
dilakukan dengan mengaitkan masalah
sosial, politik, kultural, dan lain-lain dalam
proses sejarah. Alat analisis itu disesuaikan
dengan objek yang akan diteliti, artinya alat
itu cocok apa tidak. Kalau tidak cocok alat
itu tidak harus dipaksakan. Selanjutnya
untuk membuat analisis diperlukan
kerangka pemikiran yang meliputi konsep
dan teori. Sejalan dengan perkembangan
baru, terutama perkembangan ilmu sosial,
sejarah memanfaatkan ilmu lain, yaitu
ilmu-ilmu sosial. Dari ilmu-ilmu sosiallah
bantuan alat analitis itu diambil sehingga
sejarah menjadi makin kuat daya
penjelasnya (Suhartono, 2014: 9-10).
Sementara sejarah total adalah
sejarah tentang seluruh aspek kehidupan
masyarakat, tidak hanya berkisar pada
bidang-bidang yang dianggap paling
penting yang hanya bertitiktolak dari
sejarah politik. Helius Sjamsuddin,
mengistilahkan sejarah total dengan sejarah
yang ingin membahas semua dimensi
kehidupan manusia. Pada perkembangan
lebih lanjut, lingkup sejarah sosial melebihi
dari gerakan-gerakan sosial yang juga
mengacu kepada sejumlah aktivitas
manusia yang agak sulit diklasifikasikan
karena begitu luasnya, seperti kebiasaan
(manners), adat istiadat (customs) dan
kehidupan sehari-hari (everyday life) dalam
istilah Jerman biasanya disebut kultur atau
sittengeschichte. Sejarah sosial atau
sejarah global, lebih popular lagi, sejarah
total (total history), yang sering juga
disebut sebagai new history merupakan
suatu corak historiografi Indonesia yang
relatif baru. Sampai saat ini tidak banyak
karya-karya sejarah Indonesia sampai saat
ini yang menggunakan pola penulisan
sejarah total ini (Sjamsuddin, 2016: 192).
Berdasarkan terminologi baru pada
pendekatan historiografi, maka
penelusuran sumber mengenai perubahan
pola perjamuan bangsawan Keraton
Yogyakarta dilakukan secara menyeluruh.
Paparan sejarah dilakukan pula secara
multidimensional yang mencakup latar
belakang peristiwa, penyebab, dampak, dan
akibat yang ditimbulkan dari peristiwa
sejarah itu.
Di samping teori tentang sejarah,
pada kajian ini digunakan pula teori
representasi budaya yang disampaikan oleh
Stuart Hall dalam bukunya Represetation:
Cultural Representation dan Signifying
Practices. Hall menyebutkan bahwa
representasi merupakan suatu produksi
makna dan bahasa yang berhubungan
dengan kebudayaan. Hall menghubungkan
makna ini dengan konsep suatu benda
dengan pikiran pemilik benda hingga
kebudayaan yang melatarbelakangi
kelahiran benda tersebut (Hall, 2003: 17).
Dengan demikian, melalui teori Hall
pengelola museum dapat memaknai koleksi
sebagai produk/ benda budaya sebagai
representasi identitas.
METODE PENELITIAN
Di dalam upaya menelusuri perubahan pola
jamuan para bangsawan di Yogyakarta tahun
1855-1921, langkah-langkah yang digunakan
antara lain pembacaan heuristik, kritik
sumber, intepretasi, dan historiografi.
Heuristik merupakan langkah untuk
membaca sumber dan dokumen sejarah yang
berkaitan dengan fokus penulisan. Pada tahap
ini dilakukan pula studi pustaka sebagai
Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________
Fajar Wijanarko
Jurnal Prajnaparamita 46
pembanding sekaligus pendukung kajian.
Berbeda dengan heuristik, tahapan kritik
sumber adalah langkah dalam menentukan
sumber-sumber primer dan sekunder yang
telah disusun terlebih dahulu pada tahap
sebelumnya. Pada tahapan kritik sumber, tidak
semua sumber-sumber sekunder relevan
dengan kajian, sehingga perlu ditelusuri ulang
penulis utamanya, biasanya sumber tersebut
berupa jurnal maupun saduran.
Setelah kritik sumber, tahap
intepretasi menjadi langka ketiga yang harus
dilakukan. Pada tahap ini, sumber yang telah
dipilih ditafsirkan, dihubungkan secara
kronologis, kemudian dikritisi dengan fakta
sejarah yang ada. Pada tahap ini analisis
deskriptif tentang sumber-sumber sejarah
dilakukan secara detil. Tahap terakhir adalah
historiografi atau penulisan kembali fakta-
fakta sejarah. Pada tahap ini penulisan sejarah
dihasilkan dari data-data yang telah
dikumpulkan dan dipilah kebenarannya.
Dengan demikian, penulisan sejarah secara
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perihal barat dan timur dalam catatan arsip
Pigeaud bukan persoalan geografis,
melainkan elemen besar yang dimaknai
sebagai budaya. Keduanya dapat saling
berbenturan atau sebaliknya, saling
menyemai bibit kebudayaan dan saling
bertumbuh. Merujuk pada arsip Pigeaud
salinan tahun 1933 tersebut, tertulis bahwa
Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada
paruh abad ke-19 menaruh perhatian
khusus pada hubungan diplomasi antara
keraton sebagai pusat pemerintahan kota-
kerajaan dan Pemerintah Hindia Belanda.
Kondisi ini diamini dengan adanya
informasi bahwa Sultan kerap menggelar
pesta besar sakedhap-sakedhap
angawontenaken pista ageng dengan
etiket ala Eropa.
Berbicara mengenai pista ageng
dan etiket jamuan, keduanya bukan hal
baru bagi Jawa, begitu pula Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi dalam satu
kompendium yang ditulis oleh Ricklefs,
nyatanya merupakan sosok pangeran yang
telah akrab dengan berbagai kultur Barat
di meja perjamuan. Ricklefs menyebutkan
pada peristiwa Perjanjian Jatisari, kedua
pembesar Jawa tersebut menyepakati
perundingan budaya dengan model tata
laku asing, mengangkat gelas, menepuk
tangan, dan saling berpelukan sebagai
tanda persaudaraan. Babad Ngayogyakarta
dengan kronik peristiwa berlatar
pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono II merekam peristiwa jamuan
dengan suguhan roti berlapis mentega
‘makan roti lawan sun tampuh martega’.
Tidak berhenti pada roti dan mentega saja,
tetapi pesta perjamuan beretiket Barat pun
ditunjukkan dalam narasi babad ini.
Diceritakan bahwa Sultan sebagai tuan
rumah menjamu Tuan Ideler dengan para
tamu yang mengelilingi meja. Putra
Mahkota Hamengku Negara terlibat dalam
jamuan yang digelar di Bangsal
Manguntur Tangkil. Ia menyajikan
jamuan khusus untuk Ramanda Sultan
(Ricklef, 2002).
Apabila membaca kembali memori
Yogyakarta pada rentang periode 1792-
1810, relasi keraton dengan pemerintah
kolonial begitu mengikat. Kedua elemen
kekuasaan ini saling mempengaruhi, bisa
dikatakan keduanya saling berakulturasi
tanpa saling mendominasi. Hubungan
kedua budaya besar ini rupanya terjalin
pula melalui diplomasi “meja makan”.
Budaya saling berkunjung kemudian
terbentuk sebagai sebuah kewajiban sosial
yang terjadi pada masa-masa tersebut.
Pangeran Adipati Anom dalam hal ini
sebagai putra mahkota utusan Sultan,
kerap berkunjung ke kediaman residen
untuk menghadiri pesta perjamuan.
Mengenai hidangan yang disuguhkan,
Peter Carey mencatat bahwa menu yang
disajikan merupakan menu Eropa. Ketika
putra mahkota menghadiri undangan dari
Residen Pieter Engelhard, ia mendapat
jamuan teh bercampur susu seperti halnya
para pejabat Belanda dan tamu-tamunya
lainnya (Carey, 2012). Kudapan yang
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
Jurnal Prajnaparamita 47
menyertai teh-susu tersebut tidak lain
berupa roti, biskuit, atau olahan keju.
Asumsi kuat ini hadir seiring dengan
catatan Babad Mentawis dengan latar
pengasingan Sri Sultan Hamengku
Buwono II di Saparua, yang menangkap
kebiasaan dari para petinggi kolonial saat
menjamu pembesar Jawa. Jamuan teh
bercampur dengan susu yang dahulu
disuguhkan kepada Putra Mahkota calon
Sri Sultan Hamengku Buwono III
kemudian diwariskan sebagai minuman
kebesaran di Keraton Yogyakarta. Hal ini
dapat diidentifikasi dari perangkat jamuan
minum teh Sultan yang selalu dilengkapi
dengan teko susu atau poang.
Gambar 2
Perangkat Minum Teh Sri Sultan Hamengku
Buwono VI dan Teko Susu Poang.
(Dokumentasi Pribadi)
Berangkat dari memori kolektif
babad serta arsip Yogyakarta, tidak
mengherankan ketika Sri Sultan
Hamengku Buwono VI menaruh perhatian
khusus pada menu hidangan yang
disajikan oleh keraton. Terlebih lagi ketika
melihat pendahulunya, Sri Sultan
Hamengku Buwono IV dengan para
petinggi di Hindia Belanda memiliki
kedekatan khusus hingga kerap menjalin
pesta perjamuan. Keterikatan sosial dan
politik yang dibangun antara kedua
penguasa besar di tanah “Ayodya” ini,
menempatkan keduanya dalam posisi
sepadan. Manifestasi dari keadaan yang
nyatanya rumit kerap diwujudkan dalam
menu-menu jamuan. Keduanya saling
‘mengada-adakan’ hingga mencoba
menyajikan menu yang berasal dari kultur
para tamu undangan, meski nyatanya
justru fakta ini banyak ditemukan di
keraton.
Abdi Dalem Encik: Juru Masak
Masakan Eropa di Keraton
Keinginan Sri Sultan Hamengku Buwono
VI untuk memiliki juru masak khusus
bukan tanpa sebab. Di dalam uraian
sebelumnya dijelaskan bahwa budaya
jamuan Eropa telah menjadi bagian dari
kebudayaan Jawa yang telah mapan. Pada
kasus ini, Jawa dan keraton sebagai
elemen penting dari penyangga budaya
berupaya upaya mengimitasi pola-pola
Barat ke dalam sistem jamuan di keraton.
Piliang dalam pendekatannya terhadap
hibridisasi budaya menegaskan bahwa
tindakan mengawin-silangkan budaya
merupakan bagian dari proses parasitisme
dalam sebuah sistem entitas kepada entitas
lain. Meski terdapat kemungkinan
keduanya akan melebur, tetapi tidak
menutup kemungkinan kedua budaya
tersebut memproduksi budaya baru,
dengan bangunan identitas yang
didasarkan pada ekologi pikir
penggunanya (Piliang, 2008). Pada tahap
inilah tindakan meminjam, meniru,
mempertukarkan, hingga menemukan hal
baru kerap terjadi (Webner, 1997).
Berpijak pada fenomena hibridisasi
budaya, dalam kasus ini budaya jamuan,
Sultan memerintahkan Tuan Sekeng,
kepala bidang kebudayaan di Sanasewu
untuk mencari seorang juru masak yang
memahami tata cara pengolahan makanan
ala Eropa mangertos dhateng kawruh
ocal-ocal. Barulah setelah mendapatkan
juru masak tersebut, Tuan Sekeng
mengantarkan kepada Sultan. Juru masak
yang dikenalkan bernama Encik Purtin
dene namanipun Encik Purtin, yang
berasal dari Hindia-Belanda. Meski dalam
catatan arsip Moens disebutkan bahwa
Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________
Fajar Wijanarko
Jurnal Prajnaparamita 48
Encik Purtin dibeli oleh Sultan, namun
secara terhormat Encik Purtin diwisuda
dengan pangkat Lurah sekaligus mendapat
tanah lenggah berupa sawah seluas 5 jung
serta mendapat abdi dalem sebanyak 20
orang yang membantu mengolah hidangan
di dapur keraton.
Tugas Abdi Dalem Encik tidak
terbatas pada jamuan tetapi memiliki tugas
lain layaknya Abdi Dalem lainnya.
Berkantor di Gedong Sedahan, Abdi
Dalem Encik memiliki tugas lain seperti
merawat perlengakapan jamuan ‘bekakas’
hingga tambal-sulam motif renda di
tempat duduk khusus Sultan ‘tambal
sulam palenggahan ingkang sarwa
rendan’. Sementara itu, dalam upaya
mempersiapkan hidangan jamuan, para
Encik dibantu Abdi Dalem Keparak Estri
untuk memotong-motong bawah merah,
bawang putih, cabai, dan sayur lainnya
kabantu dening Abdi Dalem Keparak Estri
kadosta rajang-rajang brambang,
bawang, lombok, sesaminipun. Moens
menambahkan dalam arsip yang ditulisnya
tentang kondisi jamuan di keraton sebelum
adanya para Encik. Para tamu
digambarkan merasa terpaksa dan tidak
senang dalam pesta jamuan kapeksa, sami
kirang rahap saha seneng ing mangsa
pista. Lebih jauh, Moens menguraikan
penyebab dari keadaan tersebut antara lain
sebagai berikut.
1. Dhaharanipun kirang pepak, asring
sok andadoskaen kirang mathukipun
ingkang kasegah.
2. Sasrawunganipun lan para
ngamanca kirang, upami ing
bab ginem, awit ing wekdal
semanten awis ingkang saged
gineman cara Mlajar.
3. Ing bab pangangge, dereng saged
sami katata anjalari regaking para
tamu ingkang badhe ngundang, mawi
badhe mundhut punapa-punapa.
Terjemahan:
1. Hidangan yang disuguhkan kurang
lengkap, sering tidak sesuai di hati
para tamu.
2. Pergaulan dengan tamu-tamu Eropa
yang kurang, seperti halnya soal
pembicaraan, sebab pada masa itu
jarang (abdi dalem) yang dapat
berbicara dengan Bahasa Melayu.
3. Perihal busana, belum dapat ditata
hingga membuat pusing para tamu
yang akan mengundang, atau saat
akan mengambil (hidangan) apapun.
Membaca narasi Moens tentang
para Encik, tampaknya kelompok Abdi
Dalem ini cukup diperhitungkan dalam
mengolah hidangan hingga menyajikan
jamuan di Keraton Yogyakarta. Di luar
keraton, para Encik ini juga berjualan roti
‘nyambi sade dhedhaharan roti’ maupun
menjadi juru masak para pembesar Jawa
maupun saudagar. Kebutuhan akan Encik
sebagai juru masak semakin hari semakin
tinggi. Awalnya hanya Encik Purtin yang
mengabdi di keraton, tetapi seiring dengan
permintaan ‘pasar jamuan’, bertambahlah
para Encik yang berasal dari Negeri Arab
dan Negeri Minangkabau. Dari narasi
sederhana tentang Abdi Dalem Encik,
dapat ditarik benang merah bahwa pada
periode 1858-1877 hibridisasi budaya
begitu kentara. Arus dari Budaya Barat
dan cakrawala dari Budaya Timur saling
mengisi tanpa ada posisi yang tumpang
tindih.
Toko Indo-Eropa di Yogyakarta
Konstruksi sosial di Yogyakarta
berkembang pesat pada masa pemerintah
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Kawasan-kawasan strategis dari kota
kerajaan mulai berubah menjadi ladang
industri. Kawasan sepanjang raja-marga
menjadi ruang tumbuhnya perekonomian
Yogyakarta. Di samping warga Indo-Eropa
yang mendirikan toko-toko menu olahan
khusus, Pasar Beringharjo mulai dibangun
secara permanen. Beringharjo kemudian
mendapat julukan Een de Mooiste Passers
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
Jurnal Prajnaparamita 49
op Java ‘pasar terindah di Jawa’. Semakin
permanen bangunan pasar sentral di kota
kerajaan ini, semakin banyak pula para
pedagang semakin banyak berdatangan
pula. Keadaan ini berdampak pada
munculnya variabel komoditi-dagang di
Yogyakarta yang beranekaragam.
Pada tahun 1900-an, Moens dalam
arsip Platen Album Jogja 20-23 mencatat
bahwa tahun-tahun itu banyak juru masak
hidangan Eropa di Yogyakarta. Ombak
perubahan cita rasa Barat terjadi secara
besar-besaran terjadi. Potret Yogyakarta
pada saat itu benar-benar metropolitan,
terutama pada sisi kulinernya kadosta ing
wekdal punika sampun kathah tiyang
ingkang mangertos damel dhaharan
ingkang eca-eca ‘pada tahun-tahun itu
sudah banyak orang yang mengetahui cara
memasak makanan yang enak’. Moens
menambahkan keterangan bahwa keraton
kerap menggelar jamuan dengan menu-
menu yang dipesan dari Restoran Bruinn en
Tijssen. Di sisi lain, keraton juga
melembagakan pramusaji yang dikenal
dengan kelompok Abdi Dalem Kanca
Sewidak (Platen Album Jogja 20-23, 1933:
297).
“Kanca Sawidakan wau boten kapatah
ocal-ocalan kados Encik, nanging
namung lugu ngladosi para tamu,
panampining dhaharan sampun mateng,
inggih punika saking salah satunggiling
restoran bangsa Walandi Brehintissen”
(Platen Album Jogja 20-23, hal 297).
Terjemahan:
Kanca Sewidak tidak ditugasi untuk
memasak seperti halnya Encik, tetapi
hanya khusus melayani para tamu,
menerima makanan yang sudah
matang dari salah satu restoran
Belanda Brehintissen ‘Bruinn en
Tijssen’
Keterangan Moens ini menjadi jalan
melihat perkembangan Yogyakarta berlatar
sejarah pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII. Toko-toko Indo-Eropa
membanjiri kawasan raja-marga
(Toegoeweg dan Malioboro). Di dalam
Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta Tahun
1922 No. 2 dan No. 3 yang lebih dulu
dikutip oleh Fauziah dalam Jurnal
Lembaran Sejarah, sedikitnya terdapat 12
toko yang menjual kudapan roti hingga es
krim. Beberapa toko tersebut bernama Toko
Roti Bruins en Tijssen, Toko Roti Poa Ping
Hiem, Toko Permen dan Manisan Maison
Voorhouders hingga Tric-trac Ice Cream
Palace (Cabang Oen). Bukan hanya warga
Indo-Eropa saja yang membuka toko di
kawasan sentral kota kerajaan ini, data toko
dan pemilik yang terdapat di rijksblad
warga Tionghoa turut pula mengambil
bagian. Selain toko, kawasan Toegoeweg-
Malioboro juga banyak ditemukan restoran
dan hotel. Pada keterangan Fauziah,
restoran dan snoephuis (snoep= manis/ kue,
huis=rumah) banyak tersebar di sepanjang
Malioboro. Bahkan beberapa restoran di
Malioboro ini tidak hanya menyediakan
makanan dan minuman, tetapi juga
menyediakan pub dan hiburan lainnya
(Fauziah, 2018:182).
Mengenai bangunan hotel, Fauziah
juga mencatat bahwa Malioboro pada masa
itu seperti halnya kawasan pariwisata
dengan deret hotel yang berjajar. Hotel
Tugu, Hotel Mataram, Hotel Centrum, dan
Grand Hotel de Djokja (sekarang Hotel
Grand Inna Malioboro) merupakan hotel-
hotel yang ditemukan pada periode 1800
akhir hingga 1900 awal. Diantara keempat
hotel milik Eropa tersebut, Grand Hotel de
Djokja merupakan hotel terbaru (1911),
sedangkan Hotel Tugu berdasarkan iklan-
iklan di surat kabar merupakan hotel tertua
yang sudah ada pada tahun 1884 sebelum
Stasiun Tugu selesai dibangun (Fauziah,
2018:184). Berbicara mengenai Hotel Tugu,
pada akhir pemerintahan Sri Sultan
Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________
Fajar Wijanarko
Jurnal Prajnaparamita 50
Hamengku Buwono VIII, hotel inilah yang
menjadi pemasok makanan bagi Sultan.
“weten we nu dat Hamengkoe Boewono
VIII leed aan suikerziekte, een kwaal die
hij voor de buitenwereld zoveel mogelijk
verborgen hield. Ook is bekend dat de
sultan uit angst voor vergiftiging -
enkele van zijn voorgangers, onder wie
zijn oudere broers, waren op
raadselachtige wijze overleden - zijn
maaltijden met in de kraton het
bereiden, maar in Hotel Toegoe, van
waar ze dagelijks in een gesloten kist
werden overgebracht” (Bruggen,
M.P.V. and Wassing. 1998)
Pada periode inilah Yogyakarta
benar-benar mendapat satu “tamparan
budaya” Barat, terutama dalam hal
perjamuan. Keterbukaan pasar dan
ekonomi di Yogyakarta memiliki andil
yang cukup besar dalam munculnya budaya
rijsttafel. Rijsttafel sebagai budaya jamuan
makan diungkapkan oleh Rahman sebagai
sajian makan nasi yang dihidangkan secara
spesial ‘eten van de rijsmaaltijd een special
tafel gebruikt’ (Rahman, 2016: 37-
38). Pada jamuan rijsttafel Abdi Dalem
Sawidakan bertugas melayani tamu-tamu
undangan di keraton. Dari narasi singkat
para Encik di Yogyakarta, secara sederhana
dapat disimpulkan bahwa perkembangan
etiket jamuan dipengaruhi oleh perubahan
sosial-ekonomi dan kebiasaan masyarakat.
Kebiasaan inilah yang secara sistematis
dimaknai sebagai budaya. Jamuan dan
budaya sosial selanjutnya bekerja bersama
menghadirkan perubahan pada ruang-ruang
perjamuan kenegaraan.
Perubahan Ruang-Ruang Jamuan di
Keraton Yogyakarta
Pada awalnya para elit kolonial yang
berkunjung ke keraton mendapat jamuan di
Bangsal Kencana. Oleh karena itu, orang
Belanda menyebut bangsal ini sebagai
ruang tamu (ontvangzaal). Kemudian Sri
Sultan Hamengku Buwono VI mendirikan
sebuah bangsal makan (eetzaal) di sebelah
Bangsal Kencana. Saat itu belum diketahui
nama dari bangunan baru itu. Bangunan
bangsal ini kemudian difungsikan sebagai
ruang makan, sekaligus digunakan sebagai
ruang dansa (danszaal) (Setyawati, 2021:
83-84).
Pada tahun 1810 Jawa atau 1879
Masehi, pada masa Sri Sultan Hamengku
Buwono VII bangunan bangsal tersebut
direnovasi. Lokasinya dipindahkan, digeser
(maju) ke arah timur dari lokasinya semula.
Berdasarkan denah kompleks Keraton
Yogyakarta tahun 1890-an, denah
bangunannya berbentuk persegi panjang,
tanpa teras seperti saat ini. Beberapa foto
dari tahun 1900-an yang ditemukan
menunjukkan bahwa sebelumnya bangunan
bangsal ini merupakan sebuah bangunan
beratap sirap kayu dengan pagar langkan
sederhana. Ketika keraton sudah dialiri
listrik pada tahun 1883, beberapa lampu
dipasang untuk menerangi bangsal ini.
Sayangnya, tidak banyak foto Bangsal
Manis dari periode Sri Sultan Hamengku
Buwono VII yang dapat ditemukan. Meski
demikian, Sultan pada saat ini menamai
bangunan bangsal tersebut dengan sebutan
Sanabojana ‘ruang jamuan’ (Setyawati:
2021: 83). Barulah pada pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII, bangsal
yang secara khusus dibangun sebagai ruang
makan ini direnovasi kembali dan dinamai
sebagai Bangsal Manis.
Rupanya Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII merenovasi Bangsal Manis
bersamaan dengan Bangsal Kencana dan
Gedong Prabayeksa (De Telegraaf 18
November, 1924). Kali ini letak Bangsal
Manis digeser ke barat (mundur) atau
dikembalikan ke letaknya semula seperti
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono
VI. Tahun dimulainya renovasi Bangsal
Manis ditandai dengan sengkalan memet
yang berbunyi "Werdu Yakso Nogo Rojo"
yang menunjukan tahun 1853 Jawa atau
1922 Masehi. Sengkalan ini disematkan di
bagian langkan teras depan (timur) dan teras
belakang (barat) (Setyawati, 2021: 84). Di
samping Bangsal Manis, pada periode
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
Jurnal Prajnaparamita 51
pemerintahan Sultan Ketujuh dan Sultan
Kedelapan terdapat pembangunan keraton
secara menyeluruh. Di dalamnya termasuk
pembangunan ruang-ruang perjamuan.
Merujuk pada peta keraton tahun
1890 yang dikutip melalui sumber KITLV
dan dimodifikasi oleh Setyawati (2021),
dapat dilihat bahwa terdapat sedikitnya 5
bangunan di dalam kompleks keraton yang
berfungsi sebagai ruang-ruang di balik
jamuan kenegaraan.
Gambar 3
Peta Keraton Yogyakarta Tahun 1890
(Repro: Setyawati, 2021: 87)
1. Sirih en Bereide Spijzen ‘Persiapan
Sirih dan Makanan’
‘Sirih en Bereide Spijzen’ dapat
diartikan sebagai ruang persiapan
jamuan, letaknya berada di sebelah
selatan Bangsal Manis yang sekarang
disebut Gedong Sedahan. Dahulu
gedong ini merupakan tempat ‘Abdi
Dalem Encik’ bertugas menyiapkan
jamuan makan di keraton. Kelompok
abdi dalem yang dibentuk di masa Sri
Sultan Hamengku Buwono VI
tersebut, dipercaya untuk memasak
hidangan-hidangan Eropa. Disamping
memasak, mereka juga mengatur
hidangan ke dalam pinggan-pinggan
hingga menyajikannya di atas meja-
meja jamuan (Platen Album Jogja 20-
23: 293-297).
Gedong Sedahan tidak hanya
digunakan sebagai ruang persiapan,
tetapi juga ruang penyimpanan
perlengkapan jamuan seperti, peralatan
makan, serta meja dan kursi. Beberapa
meja beralas marmer yang dulu sering
digunakan dalam jamuan tampak
tersimpan dalam kondisi baik disini.
Sekarang Gedong Sedahan digunakan
sebagai kantor tempat Abdi Dalem
Keparak sekaligus kantor untuk Tepas
Tandha Yekti dan Tepas Parentah
Hageng.
2. Keuken ‘Pawon/Dapur’
Terdapat beberapa pawon di dalam
kompleks keputren, tetapi salah satu
yang cukup besar dan dekat dengan
ruang jamuan adalah pawon yang
terletak tepat di sebelah barat Gedong
Sedahan. Kemungkinan dahulu pawon
ini yang digunakan Abdi Dalem Encik
yang khusus memasak hidangan
Eropa. Pawon ini sekarang sudah tidak
difungsikan lagi.
3. Dranken Huis ‘Gedong Minuman’
Terletak di sebelah timur Bangsal
Kencana, Gedong Minuman juga
dikenal sebagai Gedong Sarangbaya.
Gedong Minuman dahulu merupakan
ruang servis yang digunakan untuk
preparasi dan tempat penyimpanan
minuman. Minuman yang dimaksud
disini adalah liqueur dan minuman
ringan seperti sirup, limun soda
(limonade), dan air Belanda (sejenis air
mineral). Minuman tersebut biasanya
disajikan kepada tamu-tamu Eropa.
Dahulu terdapat Abdi Dalem
Minuman, kelompok abdi dalem yang
Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________
Fajar Wijanarko
Jurnal Prajnaparamita 52
bertugas menyiapkan dan menyajikan
minuman. Sekarang Abdi Dalem
tersebut sudah tidak ada, dan Gedong
Minuman atau Sarangbaya menjadi
kantor dari Kawedanan Hageng
Punakawan Purayakara.
4. Theehuis ‘Gedong Patehan’
Di Pawon Patehan yang berada di
Gedong Patehan inilah ‘Abdi Dalem
Patehan’ meracik dan menyiapkan
minuman teh untuk sultan, jamuan,
serta keperluan upacara di keraton.
Sejak dulu hingga sekarang para abdi
dalem masih menggunakan teknik
yang sama dalam menyeduh teh.
Minuman teh yang berasal dari Pawon
Patehan selalu diseduh menggunakan
air yang berasal dari sumur Nyai
Jalatunda yang terletak di belakang
Gedong Patehan.
Para abdi dalem juga bertugas untuk
menyiapkan set peralatan minum teh
yang disebut rampadan. Satu set
rampadan biasanya terdiri atas teko
teh, teko susu/air, tempat gula, dan
cangkir. Sebagian besar peralatan
minum teh yang ada di keraton
merupakan tinggalan dari masa Sri
Sultan Hamengku Buwono VI hingga
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
masih digunakan sampai sekarang.
5. Sampen Huis ‘Gedong Sampanye’
Terletak di sebelah timur Gedong
Patehan, yang sekarang digunakan
sebagai kantor Kawedanan Hageng
Punakawan Danartapura Lami.
Sampanye dan minuman anggur
lainnya tidak dapat dipisahkan dari
perayaan dan jamuan ala Eropa yang
diselenggarakan di keraton pada masa
lalu. Oleh karena itu, terdapat ruang
penyimpanan khusus untuk minuman
anggur. Ruang penyimpanan anggur
kini sudah tidak ada lagi.
Sajian Menu Eropa dalam Rijsstafel
Budaya makan rijsttafel merupakan salah
satu Kebudayaan Indis yang popular di
masa kolonial. Secara harfiah, rijst berarti
nasi dan tafel berarti meja. Jika disatukan
berarti, kata ini berarti ‘hidangan nasi’.
Disebut demikian karena makanannya nasi
beserta lauk pauk tidak terbatas, seperti ini
dimakan oleh orang Eropa dan Indo-
Eropa.27 Orang Belanda jarang makan nasi
sehingga menganggap peristiwa makan
nasi sebagai peristiwa yang istimewa,
meskipun mereka hidup di tengah
masyarakat pribumi yang makan nasi
(Gonggryp: 1991: 1259).
Gambar 4
Daftar Menu Jamuan Makan Siang Pagelaran
Wayang Orang di Keraton Yogyakarta, 22-24
Juli 1933 (Repro: Kartika, 2018: 95)
Keterangan Menu
Lunch
gegeven door Sampejandalem Ingkang
Sinoewoen Kangdjeng Sultan
HAMENGKOE BOEWONO DE ACHTSTE
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
Jurnal Prajnaparamita 53
van Djokjakarta bij gelegenheid van de
generale repetitie van de Wajang Orang
Voorstelling te houden op den
22sten, 23sten, en 24sten Juli 1933
Potage a la Reine
Petit Pain de Crevettes
Tranche de Cacap bouilli Sauce Diplomate
Escalope de Veau a la Colbert Petits-pois fins
Pommes sautees
Sorbet au Marasquin
Gateau Grand Maitre
Glance Domino
Cafe
Djokja, 24 Juli 1933
Maison Davis e.h. Bruins en Tijssen
Fenomena rijsttafel kemudian
terjadi secara masif pada penghujung abad
ke-19 hingga paruh abad ke-20 di
Yogyakarta. Penetrasi Budaya Eropa di
ruas-ruas inti budaya Jawa benar-benar
mempengaruhi sektor kuliner. Pelbagai
menu jamuan yang mulanya mengandalkan
hasil bumi dan unggas dari daerah subur di
Yogyakarta, berubah menjadi menu
pesanan yang merujuk pada menu Eropa-
sentris. Momen jamuan santap siang yang
digelar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII bersamaan dengan gladi bersih
Pagelaran Wayang Orang tanggal 22-24
Juli 1933. Saat itu terdapat menu ala Eropa
seperti sup, udang gulung, hingga es krim.
Pada kartu menu yang tertulis
dalam Bahasa Perancis, tercatat beberapa
menu seperti sup ala ratu, udang gulung,
sepotong Kakap Rebus dengan saus, irisan
Daging Sapi muda digoreng a la Colbert,
kentang goreng, minuman sorbet, kue
grand master, es krim domino, dan ditutup
dengan kopi. Poin penting yang menjadi
perhatian dari kartu menu tersebut adalah
Davis House e.h. Bruins en Tijssen yang
merupakan restoran penyiap jamuan pada
masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Restoran ini ada dalam iklan di Majalah
Mooi Indie yang terdapat di kawasan Tugu,
saat ini Jalan Marga Utama. Pada iklan
tersebut terdapat keterangan
Hofleverancier van Z.H. Den Sultan van
Jogjakarta ‘pemasok jamuan Sultan
Yogyakarta’, Toegoe Telf No. 255
Djokjakarta (Wijanarko, 2021: 70). Pada
masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII (1921-1939), sepanjang
kawasan Tugu dan Malioboro menjadi
sentra pertumbuhan toko Indo-Eropa di
Yogyakarta.
Pada momen peringatan kenaikan
takhta Ratu Wilhelmina yang ke-40 tahun,
Bruinn en Tijssen pula yang berperan
sebagai penyedia jamuan. Peristiwa ini
diselenggarakan di Bangsal Manis pada
hari Sabtu, 10 September 1938 dengan tata
aturan jamuan makan malam. Menu
hidangan yang disajikan antara lain sup
krim asparagus, olahan ikan kakap, lidah
sapi ala Colbert, galantine daging unggas,
es krim nanas, dan kopi. Menu gala-diner
ini ditulis kembali dalam Bahasa Prancis
dan Bahasa Belanda. Undangan perjamuan
makan ini disertai denah meja makan di
Bangsal Manis dengan seluruh tamu
undangan berjumlah 105 orang.
Gambar 5
Iklan Restoran Bruinn en Tijssen di Majalah
Mooi Indie (Repro: Wijanarko, 2021:70)
Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________
Fajar Wijanarko
Jurnal Prajnaparamita 54
Gambar 6
Sampul Undangan Jamuan Makam Malam
Peringatan 40 Tahun Kenaikan Takhta Ratu
Wilhelmina (Repro: Kartika, 2018: 99)
Perubahan pola jamuan ini menjadi
representasi hubungan erat antara Jawa-
Eropa yang terjadi di Keraton Yogyakarta.
Berawal dari sektor kuliner, berbagai
diplomasi antara dua kepentingan besar di
Yogyakarta banyak terjadi. Di kemudian
hari, para bangsawan keraton semakin
akrab dengan jamuan bercitarasa Eropa.
Identifikasi rasa inilah yang memicu
lahirnya menu-menu bercitarasa Eropa
dalam leksikografi menu Jawa.
Cita Rasa Eropa di Kalangan
Bangsawan Jawa
Perkawinan Jawa-Eropa dalam cita rasa di
Keraton Yogyakarta tidak terlepas dari
toko-toko Indo-Eropa sebagai pemasok
bahan pangan untuk Sultan. Semenjak
pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono V (1823-1855), keraton telah
memiliki pemasok bahan pangan untuk
jamuan. Pasokan bahan pangan tersebut
dimonopoli oleh Berrety, seorang
pengusaha Eropa di Yogyakarta. Residen
R. de Filliettaz Bousquet (1830-1856)
tampaknya menjadi tokoh yang berperan
sebagai perantara dalam upaya pengadaan
bahan pangan antara Beretty dan keraton.
Ketika Beretty menetap di Yogyakarta, ia
meminta izin Bousquet agar bisa diterima
oleh Sultan sehingga dia bisa menawarkan
jasa. Beretty berhasil mencapai sebuah
kesepakatan dengan Sultan dan melaporkan
hal itu pada residen. Sejak saat itu, dia akan
menjadi pemasok tunggal bahan-bahan
makanan, anggur, dan barang-barang
serupa itu untuk keraton. Sultan Kelima
sendiri membenarkan adanya kesepakatan
ini, dan sekaligus meminta Bousquet untuk
mencocokkan dan mengecek jumlah dan
harga barang-barang yang dipasok,
khususnya barang-barang yang
diperuntukkan bagi pangeran (Houben,
2002: 278).
Pada dekade berikutnya, tradisi
bercita-rasa Eropa ini muncul dalam menu-
menu jamuan kenegaraan dan hidangan
kegemaran Sultan kersanan dalem.
Berbagai olahan menu Barat, seperti halnya
menu-menu yang tercatat pada kartu menu
jamuan makan siang yang digelar Sultan
pada 22-24 Juli 1933, disajikan rapi dengan
tata urutan yang sudah dirancang
sedemikian rupa. Tata aturan dalam jamuan
pun terlihat khidmat seperti pada
dokumentasi Sultan Kedelapan saat
menggelar perayaan 40 tahun kenaikan
takhta Ratu Wilhelmina di Bangsal Manis.
Pada dokumentasi koleksi Museum
Sonobudoyo, tampak Gubernur
Yogyakarta J. Bijleveld bersantap malam
bersama Sultan dan permaisuri.
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
Jurnal Prajnaparamita 55
Munculnya cita rasa Eropa dalam
leksikografi rasa para Bangsawan Jawa
memberi inovasi menu yang lahir dari
akulturasi kedua budaya besar tersebut.
Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono VII lahir menu-menu kegemaran
Sultan seperti roti jok5 dan bir Jawa6.
Sementara itu, pada periode Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII, kegemaran
Sultan yang memiliki akulturasi cita rasa
barat di antaranya selat usar, panekuk, dan
manuk enom7. Pada periode pemerintahan
selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono
IX memiliki kedekatan sosial dengan
keluarga Belanda, sehingga kegemaran
Sultan seperti havermut, zwaartzuur, dan
bluderdeg8 bukan perkara asing bagi beliau
(Gardjito, 2010: 67-73).
Gambar 7
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan
Gubernur J. Bijleveld pada jamuan satap
malam (Koleksi Museum Sonobudoyo)
5 Roti jok serupa dengan roti apam namun dimakan
bersama dengan semur ayam. Kebiasaan makan roti
dengan campuran semur atau sayur serupa banyak
dilakukan oleh bangsawan Perancis. 6 Gastronom Gardjito menjelaskan bahwa bir Jawa
merupakan suguhan minuman dari keraton berbahan
rempah-rempah. Suguhan minuman ini lahir seiring
dengan tingginya harga anggur pada periode Sultan
Ketujuh, sedangkan jumlah tamu undangan yang
harus dijamu dengan minuman ini begitu banyak.
Gardjito menuliskan bahwa bir Jawa tidak ubahnya
wedang secang yang berbahan dasar kulit secang
tetapi diberi perasan jeruk nipis sehingga berwarna
kuning menyerupai bir (Gerdjito, 2010: 216-217). 7 Baik selat usar, panekuk, dan manuk enom
merupakan menu berbahan keju, telur, maupun susu.
Ketiga menu ini didominasi dengan cita rasa manis
Keterangan:
Suasana santap malam Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII, permaisuri dan J. Bijleveld pada
perayaan 40 tahun kenaikan takha Ratu
Wilhelmina pada 10 September 1938 di
Bangsal Manis.
Gambar 8
Jamuan Rijsttafel dengan berbagai
perlengkapan dan Pelayan Jamuan
(Koleksi Museum Sonobudoyo)
dan gurih yang begitu terasa. Pada sebuah catatan
majalah berbahasa Belanda, Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII memang menyukai makanan manis,
sehingga dikabarkan beliau menderita diabetes pada
usia senjanya. 8 Sri Sultan Hamengku Buwono IX sejak kecil
dititipkan oleh ayahandanya kepada keluarga
Belanda. Kebiasaan Dorodjatun kecil dalam
menyantap sajian bercitarasa Eropa tentu tidak perlu
dipertanyakan. Olahan roti seperti bluderdeg
(pastry), makanan pengganti beras seperti havermut,
serta masakan daging zwaartzuur atau bebek suwar-
suwir merupakan santapan sehari-hari. Tidak
mengherankan apabila Dorodjatun dewasa banyak
menggemari menu-menu masa kecilnya yang
dimasaka seperti halnya olahan ala Barat.
Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939 ____________________________________________________________________________________
Fajar Wijanarko
Jurnal Prajnaparamita 56
Keterangan:
Terlihat berbagai pelengkapan jamuan yang
tersedia di atas meja makan. Hal itu
menunjukkan beragam olahan menu Eropa
yang akan disajikan dalam jamuan makan
malam bergaya rijstaffel serta Abdi Dalem
Kanca Sewidak yang bertugas menyajikan
makanan (berdiri di belakang Sultan dan
Gubernur).
Kegemaran Sultan terhadap olahan
menu-menu Eropa bukan tanpa alasan.
Moens dalam arsip yang disusun bersama
Pigeaud menyebutkan bahwa Sri Sultan
Hamengku Buwono VI (1855-1877)
memiliki hubungan yang begitu dekat
dengan Belanda. Kondisi ini melahirkan
dampak sosial, yakni Sultan gemar
menggelar pesta di keraton untuk menjamu
kolega-kolega Belandanya (Platen Album
Jogja 20-23). Meski tidak dipungkiri,
tradisi bersantap ala Eropa telah dikenal
jauh sebelum Yogyakarta lahir. Dari ruang
yang sempit ini, Budaya Jawa-Eropa saling
berakulturasi. Kedua budaya tersebut tidak
jarang mempengaruhi satu sama lain, tanpa
saling bertumpang-tindih. Warisan tradisi
inilah yang terus digenggam hingga saat
ini, yang membentuk Yogyakarta 20
dasawarsa berikutnya sebagai kota budaya.
SIMPULAN
Berdasarkan data sejarah mengenai perubahan
pola jamuan para Bangsawan di Keraton
Yogyakarta, maka dapat simpulkan bahwa
kondisi tersebut sejatinya telah berlangsung
begitu lama. Catatan Babad Mentawis yang
menyebutkan bahwa Sri Sultan Hamengku
Buwono II telah terbiasa menyantap roti tawar
dengan mentega. Hal ini menunjukkan bahwa
keresahan tentang pertukaran Budaya Eropa
dan Jawa dalam sektor kuliner telah lama
terjadi. Kondisi ini kemudian secara terang-
terangan ditunjukkan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono VI yang memilih untuk
membentuk juru masak khusus guna
memasak menu-menu Eropa saat Sultan
menggelar jamuan di keraton.
Pada periode Sri Sultan Hamengku
Buwono VII, meski tidak secara terang-
terangan menggelar jamuan besar bernuansa
Eropa, tetapi Sultan banyak membangun
ruang-ruang penyiap jamuan. Bahkan, secara
khusus Sultan melembagakan Abdi Dalem
Minuman yang bertugas untuk menyajikan
minuman Jawa dan minuman Eropa saat
digelarnya jamuan. Berbeda halnya dengan
periode Sri Sultan Hamengku Buwono VIII,
pada masa ini pertumbuhan Budaya Eropa di
Yogyakarta begitu kental. Sektor sosial,
ekonomi, hingga kuliner di Yogyakarta
banyak sekali dipengaruhi cara-cara Barat.
Lahirnya toko-toko Indo-Eropa juga memiliki
andil dalam perubahan pola jamuan dan
pemilihan menu di meja hidang. Sultan
Kedelapan secara taktis mengubah pola
jamuan di keraton yang semula duduk leseh,
berubah menjadi jamuan kursi. Periode ini
menandai akulturasi Eropa yang begitu kental
dalam pola jamuan kenegaraan di Keraton
Yogyakarta. Pada periode inilah istilah
rijsttafel banyak digunakan dalam
penelusuran perjamuan Bangsawan Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. 2011. Metodologi
Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta:
Ombak.
Bruggen, M.P.V. and Wassing. 1998.
Djokja en Solo: Beeld van de
Vorstensteden. Purmerend: Asia
Maior.
Carey, Peter. 2012. Kuasa Ramalan,
Pangeran Diponegoro dan Akhir
Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.
Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Chairunnisa, dkk. 2017. ‘Operasionalisasi
Konsep Among Tani Dagang Layar
untuk Pembangunan Wilayah di
Daerah Istimewa Yogyakarta’ dalam
Jurnal Bumi Indonesia, Vol. 6, No. 1.
Fauziah, Siti Mahmudah N. 2018. ‘Dari
Jalan Kerajaan Menjadi Jalan
Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-
1941’ dalam Lembar Sejarah, Vol. 4,
No. 2: 171-193.
Jurnal Prajnaparamita Volume 10 Nomor 1, Agustus 2021
e-ISSN: 2807-1298
p-ISSN: 2355-5750
Jurnal Prajnaparamita 57
Gardjito, Murdijati, dkk. 2010. Potret
Kekayaan Kuliner Yogyakarta,
Kersanan Ndalem Menu Favorit Para
Raja. Yogyakarta: Kanisius.
Gonggryp, G. F. E. 1991. Geillustreerde
Encyclopaedie van Nederlandsch-
Indie. Wijk en Aalburg: Pictures
Publishers.
Hall, Stuart. 2003. Representation:
Cultural Representation and
Signifying Practices. London: Sage
Publication.
Houben, Vincent J.H. 2017. Keraton dan
Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta
1830-1870. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Jandra dkk. 1991. Perangkat/Alat-alat dan
Pakaian Serta Makna Simbolis
Upacara Keagamaan di Lingkungan
Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:
Department of Education and Culture.
Kartika, Dinda S. 2018. Pengaruh
Kebudayaan Indis di Surakarta Tahun
1904-1942 (Studi Kasus Budaya
Kuliner Rijsttafel). Skripsi Jurusan
Ilmu Sejarah, FIB, UNS.
Palupi, Arum N. 2021. ‘Dari Tanah Olahan
Hingga Meja Hidang: Menu-menu
Sajian dalam Jamuan Kenegaraan
Keraton Yogyakarta’ dalam Katalog
Pameran Bojakrama Jamuan
Kenegaraan Keraton Yogyakarta.
Yogyakarta: Keraton Yogyakarta.
Piliang, Yasraf Amir, 2008. Multiplisitas
dan Diferensi : Redefinisi Desain,
Teknologi, dan Humanitas ,
Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Rahman, Fadly. 2016. Rijsttafel-Budaya
Kuliner di Indonesia Masa Kolonial
1870-1942. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ricklefs. 2002. Yogyakarta di Bawah
Sultan Mangkubumi 1749-1792.
Yogyakarta: Mata Bangsa.
Setyawati, Martha. 2021. ‘Menilik Bangsal
Manis: Ruang Perjamuan Keraton
Yogyakarta’ dalam Katalog Pameran
Bojakrama Jamuan Kenegaraan
Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:
Keraton Yogyakarta.
Sjamsuddin, Helius. 2016. Metodologi
Sejarah. Yogyakarta. Ombak.
Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel:
Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta (1830-1920). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
________. 2014. Teori & Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Webner, Pnina, 1997. “Introduction: The
Dialectics of Cultural Hybridity”,
dalam Webner, Pnina dan Modood,
Tariq, Debating Cultural Hybridity,
London and Books.
Wijanarko, Fajar. 2021. ‘Abdi Dalem
Encik: Catatan Juru Masak di Keraton
Yogyakarta’ dalam Katalog Pameran
Bojakrama Jamuan Kenegaraan
Keraton Yogyakarta. Yogyakarta:
Keraton Yogyakarta.
Arsip dan Manuskrip
Babad Mentawis (XP 10), Koleksi Museum
Sonobudoyo.
Platenalbum Yogyakarta, 20-23, F30/ PBB.
34, Koleksi Museum Sonobudoyo
Yogyakarta.
Laman
https://www.kompas.com/sains/read/2020/
11/02/190300423/pandemi-ancam-
krisis-ketahanan-pangan-apa-yang-
harus-dilakukan- diakses 11 Juli 2021
pukul 20.00 WIB.
https://katadata.co.id/muhammadridhoi/an
alisisdata/5f76a6e7a1930/ancaman-
kemiskinan-dan-kerawanan-pangan-
saat-pandemi-covid-19 11 Juli 2021
pukul 21.00 WIB.