Pneumothorax referat
-
Upload
ayu-sulung-nariratri -
Category
Documents
-
view
249 -
download
3
Transcript of Pneumothorax referat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara atau gas dalam rongga
pleura, yaitu, di ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Secara normal,
tekanan di dalam paru-paru lebih besar dibandingkan tekanan dalam rongga
pleura yang mengelilingi paru. Namun, jika udara memasuki ruang pleura,
tekanan pada pleura akan menjadi lebih besar dari pada tekanan paru-paru,
menyebabkan paru kolap sebagian atau seluruhnya.
Pneumotoraks dapat terjadi tanpa diketahui dengan jelas faktor
penyebabnya (pneumotoraks spontan idiopatik). Beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan pneumotoraks adalah tuberkulosis paru, pneumonia, abses paru,
infark paru, keganasan, asma, dan penyakit paru obstruktif menahun. Bentuk ini
dikenal sebagai pneumotoraks spontan simtomatik. Pneumotoraks adakalanya
dibuat secara sengaja untuk tujuan diagnostik dan terapetik. Adapun
pneumotoraks traumatik terjadi akibat trauma tembus atau tidak tembus, dan
seringkali bersifat iatrogenik akibat tindakan medik tertentu, seperti trakeostomi,
intubasi endotrakea, kateterisasi vena sentralis, atau biopsi paru.
Insiden pneumotoraks diperkirakan sebesar 9/100.000 orang per tahun.
Jenis yang paling banyak ditemukan adalah pneumotoraks spontan, terutama
dijumpai pada penderita laki-laki dengan badan kurus dan tinggi, berumur 20-40
tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 5:1, dan lebih banyak
terdapat pada hemitoraks kanan, sementara pneumotoraks bilateral sebanyak 2%
dan semua pneumotoraks spontan.
1. 2 Tujuan
1. Mengetahui etiologi pneumotoraks
2. Menegakkan diagnosa pneumotoraks
2
3. Mengetahui penatalaksanaan pneumotoraks
4. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar
paru yang menyebabkan paru kolaps. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi
dimana terdapat udara pada kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura
tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga
dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal
dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini
disebut sebagai closed pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura
viseralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat
inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat
ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga
mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan
terjadinya tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat
hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang
yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara
cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus
respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam
rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum
pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru
ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat,
akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut.
Kondisi ini disebut sebagai open pneumotoraks (Berck, 2010).
4
2.2 Epidemiologi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan
traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba
tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis ini
dibagi lagi menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru
yang mendasari) maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder, namun pria
lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko
pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non
perokok. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi
puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).
Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma
langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi
iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe
pneumotoraks yang sangat sering terjadi (Berck, 2010).
Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun
Seks : Lebih sering pada pria
Pneumotoraks spontan primer
Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia
10-30 tahun
Incidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per
tahun pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada
perempuan
Pneumotoraks spontan sekunder
Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus
per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000
orang per tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik per tahun (McCool FD, 2008)
Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang per
tahun dan 6 per 100.000 perempuan per tahunnya.
5
Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks spontan
primer jarang terjadi di atas usia 40.
Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan 65.
Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospitalbaik untuk
pneumotoraks spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000
orang per tahun dan 5,8 per 100.000 perempuan per tahun.
Rekurensiakan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder
pneumotoraks. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam
waktu 3 tahun. (Korom S, 2011)
2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian
2.3.1 Pneumotoraks Spontan
2.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru
yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian
pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan
1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya,
kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia antara 18-40
tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb
subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara yang
terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan
klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai PSP
mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian
serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini
(Heffner and Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah
terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan
porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan
emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko
terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke
apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan
6
terhadap meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses pembentukan kista
subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena
tidak adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004).
Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan
dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga pleura sekitar
1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen sebesar 10
lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan empat kali lipat
(Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan pada
pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa
pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner and
Huggins, 2004).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society
(BTS) dan American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan
untuk besar-kecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik
dan PSP simtomatik yang stabil di antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007).
Berikut adalah ringkasan gabungan panduan terapi menurut BTS dan ACCP
(Mackenzie and Gray, 2007).
a. Clinically stable small pneumotoraks
Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan
pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala
minimal adalah dengan melakukan observasi dan di-KRS-kan.
Panduan ACCP menyarankan dilakukannya observasi sekitar 3-6
jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan dengan instruksi lengkap,
dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari berikutnya.
b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS
merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama
pada PSP luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil
simtomatis. CXR dilakukan setelah aspirasi untuk menentukan
apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak ada perbaikan atau pasien
masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang dari 2,5 liter
7
aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah
lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka
pemasangan drain interkostal harus dilakukan.
c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan
pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus
dapat mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR
dilakukan setiap 24 jam.
d. Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat
kebocoran udara persisten atau paru-paru gagal melakukan re-
ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi dilakukannya operasi meliputi
terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua, pneumotoraks
kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan seperti
penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya
menjalani tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan
yang dapat dilakukan seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc
pleurodesis, pleurectomy, dan open thoracostomy (Mackenzie and
Gray, 2007)
Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak
mempengaruhi efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi
antara ukuran drain dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien
dirawat. Namun kateter dengan diameter kecil tidak dapat digunakan apabila
terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya kebocoran udara
(menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat). Suction hanya dapat
dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko
terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada dokter ahli
paru-paru. BTS merekomendasikan sistem suction dengan volume besar dan
tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali
diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV. Pengekleman drain dapat
berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka keberhasilan
8
atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila terdapat
kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan tension
pneumotoraks.
2.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder
PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit
paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis
kistik, tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat
terjadi ada penyakit intersisiel paru seperti sarcoidosis,
lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and tuberous sclerosis.
Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli yang
melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat adanya
kondisi komorbid.
Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat.
Apabila pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif
muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda
signifikan untuk mortalitas pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks
meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50%
pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis tidak dilakukan
(Heffner and Huggins, 2004).
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube
untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna
mencegaj rekurensi. Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi
dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru
yang mendasari ringan. Sebagian besar pasien membutuhkan drainase melalui
chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-ekspansi paru dan
resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan terakhir dan
dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi dan mengalami
pneumotoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).
9
2.3.2 Pneumotoraks Traumatik
2.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik
Pneumotoraks iatrogenikmerupakan pneumotoraks yang terjadi akibat
pembukaan rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi invasif
dilakukan . Tindakan seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter
vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial,
aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif dapat menjadi etiologinya.
Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz, et al, 2002).
Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi jarm
halus transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah ukuran dan
kedalaman lesi. Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko pneumotoraks
meningkat. Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan kateter vena sentral.
Penyebab lainnya antara lain akupunkktur transthoracic, resusitasi jantung-paru,
dan penyalahgunaan obat melalui vena leher (Sharma, 2009).
2.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik
Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang
merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan
udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju
pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka
tembak secara langsung melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya
hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda ajam
(Sharma, 2009).
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek
oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan
peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli.
Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju
pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada
pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura. Manifestasi
klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di mana hilus paru
10
terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten dengan
chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009).
Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat
barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan
tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara
yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat di ketinggian
permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara yang terjebak dalam
bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks. Hal ini biasanya
terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam, udara yang
terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan sewaktu naik ke
permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara
cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat menyebabkan
pneumotoraks (Sharma, 2009)
2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya
2.4.1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi
negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru
belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun
tekanan di dalamnya sudah kembali negatif.Pada waktu terjadi gerakan
pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan
pada pleura viseralis dan paru atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk
vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff, 2009).
2.4.2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan
antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar
karena terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura
11
sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura
sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif
dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif.Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound) (Alsagaff, 2009).
2.4.3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang
positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus
serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.
Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi
tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan
paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Alsagaff, 2009).
2.5 Patofisiologi Pneumotoraks
Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,
iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan
primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ
paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi
diagnostic ataupun terapeutik.
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru
yang mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula
subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan
tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus
pneumotoraks spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok
yang mendasari pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian
12
dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan
bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan
perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun
sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi
oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses
ini menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-
antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses
inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran
udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura
parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi
oleh udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai
tercapainya keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut
ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya
pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak akibat
berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam
patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus
pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti:
sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru
yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan
tekanan alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan
berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum.
Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke
rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya
pneumotoraks spontan sekunder adalah:
Penyakit saluran napas
o PPOK
o Kistik fibrosis
13
o Asma bronchial
Penyakit infeksi paru
o Pneumocystic carinii pneumonia
o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram
negatif atau staphylokokus)
Penyakit paru interstitial
o Sarkoidosis
o Fibrosis paru idiopatik
o Granulomatosis sel langerhans
o Limfangioleimiomatous
o Sklerosis tuberus
Penyakit jaringan penyambung
o Artritis rheumatoid
o Spondilitis ankilosing
o Polimiositis dan dermatomiosis
o Sleroderma
o Sindrom Marfan
o Sindrom Ethers-Danlos
Kanker
o Sarkoma
o Kanker paru
Endometriosis toraksis
Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun
non-penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat
menimbulkan pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes
karena tidak ada lagi tarikan ke luar dnding dada. Pengembangan dinding dada
pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang baik atau
bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang normalnya
negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada bagian
yang mengalami pneumotoraks.
14
Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau
bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik
(transthoracic needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi
mekanik tekanan positif (positive pressure mechanical ventilation).Angka
kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak
berpengalaman.
Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada
parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah.Katup ini
mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya
aliran balik dari udara tersebut.Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan
intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi
mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik.
Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga
pleura sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah
kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya
hipoksia. Curah jantung turun karena venous return ke jantung berkurang,
sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yang
kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah
jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika
tidak ditangani secara tepat.
2.6 Diagnosis Pneumotoraks
2.6.1 Keluhan Subyektif
a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya
padasaat bernafas dalam atau batuk.
b) Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila
sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali
c) Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.
d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen
(cyanosis)
15
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan
nafas, tertinggal pada sisi yang sakit
b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar,
iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara
melemah atau menghilang.
c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar,
batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya
tinggi
d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat
amforik apabila ada fistel yang cukup besar
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis:
1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general
2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi
avaskuler.
3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya
kolaps dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru
yang terdesak ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan
tumor.
4. Biasanya arah kolaps ke medial
5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada
jantung misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita
kenal sebagai tension pneumothorax
6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang
berlawanan.
b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien
16
2.7. Penatalaksanaan Pneumotoraks
2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan
stabiisasi leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan
cara memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat
kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC
(airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw
thrust (bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head
tilt chin lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab
mengunakan jari telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada
pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah
jatuh dan menutup jalan nafas (Boon, 2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan
dilakukan secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan
dinding dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara
nafas menurun bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor. Bila
didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan tindakan needle
thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan
memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila
terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan
kristaloid (Boon, 2008).
2.7.2 Penatalaksanaa Pada Pneumotoraks Spontan dan Sekunder
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society
(BTS) dan American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan
untuk besar-kecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik
dan PSP simtomatik yang stabil di antara keduanya (Mackenzie and Gray, 2007).
17
British Thoracic Society membagi terapi untuk Pneumotoraks Spontan Primer
berdasarkan pada klasifikasi yaitu (MacDuff et all, 2010)
1. Pneumotoraks Primer dengan Gejala Minimal
Pneumotoraks primer dengan gejala minimal tidak membutuhkan tindakan
yang intesif. Tindkakan Observasi tidak harus dilakukan terhadap kasus
seperti ini. Sebesar 80% kasus dapat terjadi pemulihan sempurna.
2. Pneumotoraks Primer dengan pneumotoraks tension atau bilateral harus
dirawat di rumah sakit dan dilakukan chest drain.
3. Pneumotoraks Primer dengan gejala
Gejala yang biasanya timbul adalah sesak nafas pada pasien. Sesak nafas
pada pasien dengan ukuruan pneumotoraks <2 cm mengarahkan pada
kejadian tension pneumotoraks. Untuk kasus seperti ini disarankan untuk
dirawat di rumah sakit untuk observasi. Pada observasi diiberikan oksigen
aliran tinggi yaitu sebesar 10l/menit. Tujuan pemberian dari oksigen aliran
tinggi adalah untuk mengurangi tekanan total gas pada capiler pleura
dengan cara mengurangi tekanan parsial dari nitrogen. Tindakan ini akan
meningkatkan gradient tekanan antara kapiler pelura dan rongga pleura
sehingga dapat meningkatkan absorpsi udara dari kavitas pleura
(MacDuff, 2010).
Tingkat resolusi/reabsorpsi dari pneumotoraks spontan adalah 1,25-1,8%
dari volume hemitoraks setiap 24 jam. Pada hasil penelitian yang melibatkan 11
pasien dengan pnemotoraks dengan luas pneumotoraks sebesar 16-100 %, tingkat
dari reabsoprsi adalah 1,8% perhari dan fullreexpansi dalam jangka waktu 3,2
minggu. Pada 15% kasus pneumotoraks tingkat resolusi penuh dicapai pada 8-12
hari. Tindakan yang lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan aspirasi
dengan jarum atau dengan melakukan chest drainase. Berikut adalah panduan
yang dikeluarkan untuk penanganan pneumotoraks spontan baik primer maupun
sekunder berdasarkan British Thoracic Society (MacDuff et all, 2010).
18
Menurut ACCP pneumotoraks dibagi menjadi dua macam, pneumotoraks spontan
primer dan pneumotoraks sekunder. Pneumotoraks primer terjadi pada pasien
yang tidak memiliki kelainan klinis pada paru-parunya. Pneumotoraks sekunder
didasari oleh penyakit paru, yang tersering adalah PPOK (Baumann, 2001).
Manajemen pneumotoraks
1. Pneumotoraks spontan primer
a. Pasien yang secara klinis stabil dengan pneumotoraks yang kecil.
Pikirkan pemulangan Pasien
Berhasil (<2 CM) dan pernapasan membaik
Ukuran 1-2 cm
Aspirasi 16-18G canul Aspirasi<2,5l
Berhasil (< 1CM) dan pernapasan membaik
Chest Drain ukuran 8-14 FrPulangkan
PulangkanOksigen aliran tinggiObservasi untuk 24 jam
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak Ya
Tidak
Ukuran > 2 cm dan/ sesak
Aspirasi 16-18G canul Aspirasi<2,5l
Ukuran >2 cm atau tanpa sesak
Ya
Pneumotoraks SpontanJika Bilateral/hemodinamik tidak
stabil maka langsung ke Chest Drain
Usia >50 dan terdapat bukti riwayat merokok atau terdapat bukti adanya
penyakit paru pada penilaian atau CXR
YaTidak
Pneumotorakas Primer
Pneumotorakas Sekunder
19
Dilakukan observasi selama 3 sampai 6 jam dan dipulangkan jika hasil
radiografi tidak menunjukkan adanya perburukan. Pasien harus
dihimbau untuk melakukan pemeriksaan ulang dalam 12 jam sampai 2
hari.
Aspirasi sederhana pada pneumotoraks atau memasukkan chest tube
tidak dianjurkan untuk kebanyakan pasien, walaupun pneumotoraks
memburuk.
b. Pasien yang secara klinis stabil dengan pneumotoraks yang besar.
Dilakukan prosedur untuk mengembangkan kembali paru dan harus di
rawat di rumah sakit. Pengembangan paru dilakukan menggunakan
chest tube ukuran 16 F sampai 22 F. Chest tube dihubungkan dengan
Heimlich valve atau ke WSD dan dibiarkan sampai paru mengembang
dan menyentuh dinding dada dan kebocoran udara telah diatasi. Jika
paru gagal mengembang dengan cepat, penghisapan harus dilakukan
ke WSD. Pasien yang menolak untuk di rawat di rumah sakit dan
keadaannya memungkinkan dapat dipulangkan dengan small-bore
catheter tetap menempel ke Heimlich valve jika paru sudah
mengembang kembali setelah menghilangkan udara yang ada di
pleura.
c. Pasien yang tidak stabil secara klinis dengan pneumotoraks yang luas.
Harus dilakukan perawatan di rumah sakit dengan pemasangan kateter
untuk mengembangkan paru. Kebanyakan pasien menggunakan chest
tube ukuran 16 F atau 22 F atau dengan menggunakan small-bore
catheter. Chest tube ukuran 24 F hingga 28 F dapat digunakan untuk
mengantisipasi fistula bronkopleural dengan kebocoran udara yang
besar atau membutuhkan ventilasi tekanan positif. WSD dapat
digunakan tanpa alat hisap, namun penggunaan alat hisap diharuskan
jika paru gagal mengembang (Baumann, 2001).
2. Pneumotoraks spontan sekunder
a. Pasien yang secara klinis stabil dengan pneumotoraks yang kecil
20
Pasien tidak perlu di tatalaksana secara intensif, atau hanya dilakukan
aspirasi sederhana tanpa hospitalisasi.
b. Pasien yang secara klinis stabil dengan pneumothorax luas
Harus di rawat di rumah sakit dan dilakukan pemasangan chest tube
untuk mengembangkan paru kembali. Dan tidak perlu dilakukan
thorakoskopi
c. Pasien yang secara klinis tidak stabil dengan pneumothorax segala
ukuran
Harus di rawat di rumah sakit dan dilakukan pemasangan chest tube
untuk mengembangkan paru kembali. Dan tidak perlu dilakukan
thorakoskopi.
Manajemen pemasangan chest tube
Ukuran chest tube yang digunakan pada pasien dengan pneumothoraks sekunder
tergantung pada kondisi klinisnya. Pada pasien tidak stabil dan pasien yang
memiliki risiko kebocoran pleura yang besar dianjurkan menggunakan ukuran 24
F sampai 28 F. Pada pasien stabil yang tidak memiliki risiok kebocoran udara
yang besar dianjurkan menggunakan ukuran 16 F sampai 22 F (Baumann, 2001).
2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Kebanyakan simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan
intecostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya
yang hanya terlihan dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data
diobservasi berdasarkan status klinis pasien prosedur yang direncanakan
berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus yang terdapat multiple
injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau pasien yang
akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension
pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004).
21
2.7.4 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus
dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh
menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada
open pneumotoraks adalah menutup luka dan segera memasang intercostal chest
drain (Brohi, 2004).
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada
tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk
memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak
masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas
dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasang dan
luka ditutup (Brohi, 2004).
2.7.5 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax
2.7.5.1 Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada
emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada
Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan
hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum.
Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan
cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini
mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).
2.7.5.2 Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension
pnemothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan
pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik
untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan
hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk
22
melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),
tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa
terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual
dengan tekanan positif (Brohi, 2004).
2.8 Komplikasi Pneumotoraks
Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah
pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi
melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya
adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung
bronkovaskuler menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum.
Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan.
Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan
peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung terhadap
jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah
jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis.
Apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi
kompresi jalan napas dan jantung (Carolan, 2010).
Gambar 2.1 Pneumomediastinum
Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal,
dan selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan, 2010). Emfisema
subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi
23
sebagai pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas.
Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis adalah radiolusen di tepian
struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat memperparah keadaan pasien
dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas. Pertolongan pertama yang
dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan pisau pada
daerah kulit yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum
pleura akibat robeknya pleura viseralis atau robeknya dinding dada dan pleura
parietalis
2. Pneumotoraks diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kejadian yakni
spontan dan primer, jenis fistel menjadi simple dan tension pneumotoraks, dan
lokalisasinya
3. Diagnosa pneumotoraks ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik,
serta ditunjang oleh pemeriksaan radiologis
4. Penatalaksanaan awal pneumotoraks dilakukan berdasarkan pemeriksaan
Airway, Breathing, dan Circulation sedangkan penatalaksanaan lanjutan
seperti pemasangan chest tube, thoracotomy, dan pleurodesis, dilakukan
berdasarkan jenis pneumotoraks dan perkembangan keadaan klinis pasien
5. Komplikasi yang dapat berkembang dari kejadian pneumotoraks antara lain
emfisema subkutis dan pneumomediastinum dapat berlanjut menjadi depresi
saluran napas gangguan kontraksi jantung dan berujung pada kematian
25
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press
Arief N, Syahruddin E. 2008. Pneumotoraks.
http://www.pulmo-ui.com/tesis/PratamaAD.pdf. Diakses tanggal 23
September 2011 jam 21.00
Bascom R. 2006. Pneumothorax.
http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm. Diakses tanggal
22 September 2011 jam 21.00
Bascom, R. 2011. Peumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547.
Diakses tanggal 23 September 2011 jam 21.00
Berck, M. 2010. Pneumothorax.
http://nefrologyners.wordpress.com/2010/11/03/pneumothorax-2/. Diakses
tanggal 25 September 2011 jam 15.20
Boowan JG. 2006 Pneumotoraks, Tension and Traumatic.
http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM. Diakses tanggal 23
September 2011 jam 20.00
Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Open.
http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTopen.html. Diakses tanggal
26 September 2011 jam 19.30
Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Simple.
http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTpneumo.html. Diakses
tanggal 26 September 2011 jam 19.00
Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Tension.
http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html. Diakses
tanggal 26 September 2011 jam 19.00
Carolan, PL. 2010. Pneumomediastinum. Medscape Reference. Emedicine.
http://www.medscape.com/article/1003409. Diakses tanggal 29 September
2011 Jam 03.00
26
Chang AK. 2007. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and
Pneumomediastinum. http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM.
Diakses tanggal 29 September 2011 jam 03.00
Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous
Pneumthorax: Thers’s Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192.
Korom S, Conyurt H, Missbach A, et al. 2011. Pneumothorax.
http://www.patient.co.uk/doctor/Pneumothorax.htm. Diakses tanggal 25
September 2011. jam 15.15
Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all
the confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of
Physicians of Edinburgh; 37:335-338
McCool FD, Rochester DF, et al. 2008. Pneumothorax.
http://www.harrisonspractice.com/practice/ub/view/Harrisons
%20Practice/141278/all/Pneumothorax. Diakses tanggal 25 September
2011 jam 15.00
Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains:
Subcutaneous Emphysema, Pneumomediastinum, and Pneumopericardium.
Cont edu Anaesth Crit Care & Pain. 8(6): 204-209. Oxford University
Press
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-
74
Yılmaz, A, Bayramgürler, B, Yazıcıoğlu, O, Ünver, M, Ertuğrul, M, Güngör, N,
Baran, R. 2002. Iatrogenic Pneumothorax: Incidence and Evaluation of
the Therapy. Turkish Respiratory Journal, August 2002, Vol.3, No.2